BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap penelitian yang dilakukan memiliki hubungan yang relevan terhadap penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Ada beberapa penelitian yang cukup relevan yang dapat dijadikan tinjauan pustaka dalam penelitian ini antara lain penelitian yang dilakukan oleh Alshumaimeri (2011: 194) yang berjudul The Effects of Reading Method on the Comprehension Performance of Saudi EFL Students. Dinyatakan bahwa kemampuan membaca diperoleh melalui praktek, bukan melalui pengaturan pendidikan
atau
metode
pengajaran. Hubungan penelitian yang dilakukan
peneliti dengan penelitian Alshumaimeri adalah sama-sama membahas tentang kemampuan membaca, walaupun dalam penelitian yang dilakukan oleh Alshumaimeri tidak membahas kemampuan membaca cerita anak, tetapi membahas tentang membaca pemahaman. Penelitian yang dilakukan Gilakjani dan Ahmadi (2011: 147) dengan judul The Relationship between L2 Reading Comprehension and Schema Theory: A Matter of Text Familiarity. Dalam penelitian tersebut disimpulkan, agar anak dapat memahami teks yang dibaca dengan baik seorang guru dapat merancang berbagai jenis kegiatan membaca dan bahan untuk meningkatkan pemahaman siswa, selain itu guru juga harus memotivasi siswa mereka dalam membaca bahan-bahan tersebut. Hubungan penelitian yang dilakukan dengan penelitian Gilakjani dan Ahmadi sama-sama membahas tentang kemampuan membaca, walaupun dalam penelitian yang dilakukan oleh Gilakjani dan Ahmadi tidak membahas kemampuan membaca cerita anak, tetapi membahas tentang membaca pemahaman. Kemampuan membaca cerita anak dalam penelitian ini juga dapat masuk dalam kategori membaca pemahaman. Perbedaannya, penelitian yang dilakukan oleh Gilakjani dan Ahmadi menekankan pada hubungan antara bahasa kedua dan skemata dengan membaca pemahaman, sedangkan dalam penelitian ini untuk keefektifan metode Kotak Kata dan motivasi belajar bahasa Indonesia dengan kemampuan membaca cerita anak. Penelitian yang dilakukan Dunst, Simkus, dan Hamby (2012:1) yang berjudul children’ Story Telling as Literacy and Language Enhancement Strategy menunjukkan bahwa anak-anak menceritakan kembali cerita yang telah dibaca dipengaruhi oleh
6
7
pemahaman dan kosa kata ekspresif serta bahasa reseptif. Hubungan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Dunst, Simkus, dan Hamby adalah sama-sama membahas cerita anak. Perbedaannya, penelitian yang dilakukan oleh Dunst, Simkus, dan Hamby membahas tentang pentingnya seorang anak memiliki kemampuan untuk menceritakan kembali kisah atau cerita untuk perkembangan literatur dan perkembangan bahasa. Namun, agar anak dapat menceritakan kembali kisah atau cerita, maka anak tersebut harus memiliki kemampuan membaca cerita yang baik.
Penelitian yang dilakukan oleh Fadel, Othoman, Shuqair yang berjudul The Impact of Motivation on English Language Learning in the Gulf State yang membahas motivasi belajar bahasa Inggris mengungkapkan bahwa motivasi belajar bahasa Inggris dapat mempengaruhi usaha seseorang dalam belajar bahasa. Hubungan dengan penelitian ini adalah membahas motivasi belajar bahasa. Perbedaannya adalah penelitian tersebut hanya membahas motivasi belajar bahasa Inggris saja tanpa mengkaitkan dengan kemampuan berbahasa dan metode pembelajaran. penelitian ini membahas motivasi belajar bahasa Indonesia yang dikaitkan dengan kemampuan membaca cerita anak dengan menggunakan metode pembelajaran Kotak Kata. Penelitian yang berkaitan dengan motivasi belajar juga dilakukan oleh Mahadi dan Jafari (2012: 230-235) dengan judul Motivation, Its Types, and Its Impact in Language Learning. Penelitian tersebut menemukan bahwa motivasi merupakan faktor yang sangat penting dan efektif dalam belajar bahasa. Pengajar harus menyadari bahwa pentingnya mengenali karakter setiap siswa dan memberikan motivasi sesuai yang dibutuhkan oleh siswa. Hal ini bertujuan agar proses belajar mengajar bahasa efektif, dan mencapai tujuan pembelajaran. Perbedaan dengan penelitian ini adalah penelitian ini membahas motivasi belajar bahasa Indonesia untuk mencapai hasil pembelajaran yang sesuai dengan tujuan. Penelitian yang menggunakan metode Word Square juga dilakukan oleh Wahyuni dan Abidinsyah (20015: 16-22) yang berjudul Meningkatkan Hasil Belajar dengan Model Pembelajaran Koooperatif Tipe Word Square. Penelitian tersebut menemukan bahwa pembelajaran kooperatif tipe Word Square dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Perbedaan dengan penelitian ini adalah metode penelitian yang digunakan, penelitian yang dilakukan oleh Wahyuni dan
8
Abidinsyah adalah penelitian tindakan kelas, sedangkan pada penelitian ini metode yang digunakan adalah kuasi eksperimen. B. Kajian Teori 1. Hakikat Kemampuan Membaca a. Hakikat Membaca Membaca merupakan salah satu di antara empat keterampilan berbahasa yang penting dikuasai dan dipelajari individu. Kegiatan membaca membuat seseorang dapat bersantai, berinteraksi dengan perasaan dan pikiran, memperoleh informasi, dan meningkatkan ilmu pengetahuan. Melalui kegiatan membaca, pemikiran terbuka untuk melihat antarhubungan ide-ide dan menggunakannya sebagain salah satu tujuan dari membaca. Kegiatan membaca merupakan suatu bentuk kemampuan dan keterampilan berbahasa yang harus dikuasai oleh pembelajar bahasa selain kemampuan mendengarkan, berbicara, dan menulis. Namun dalam kegiatan membaca lebih dikhususkan pada pemahaman wacana dalam bentuk tulisan. Hal tersebut senada dengan pendapat Zuchdi (2012: 3) yang mengatakan bahwa membaca dapat didefinisikan sebagai penafsiran yang bermakna terhadap bahasa tulis. Pengertian membaca yang disampaikan oleh Grabe (2009: 14) “Reading is the process of receiving and interpreting information encoded in language form via the medium of print.” Yang berarti membaca adalah proses menerima dan menginterpretasi informasi yang disusun dengan bahasa melalui media cetak. Kegiatan membaca bertujuan untuk menyampaikan pesan dari penulis kepada pembaca. Hal ini diperkuat oleh Soedarso (2006: 4) berpendapat, membaca adalah aktivitas yang kompleks dengan mengerahkan sejumlah besar tindakan yang terpisah-pisah, meliputi: pengertian, khayalan, mengamati, dan mengingat. Selain pemberian makna terhadap tulisan dan pemerolehan pesan dari penulis kepada pembaca, membaca dari segi linguistik disampaikan oleh Anderson (lewat Tarigan, 2008: 7) yang mengemukakan membaca adalah suatu proses penyandian kembali dan membaca sandi, berlainan dengan berbicara dan menulis yang justru melibatkan penyandian (encoding). Sebuah aspek pembaca sandi (decoding) adalah menghubungkan kata-kata tulis (written word) dengan
9
makna bahasa lisan (oral language meaning) yang mencakup pengubahan tulisan/cetakan menjadi bunyi yang bermakna. Hal itu diperkuat oleh pendapat Rahim (2007: 3) yang mengemukakan bahwa membaca sebagai proses psikolinguistik yaitu ketika membaca dapat membantu pembaca membangun makna. Proses membaca berupa penyandian dari lambang-lambang tertulis, menghubungkan bunyi dengan maknanya. Untuk memperoleh pemahaman bacaan,
seorang
pembaca
memerlukan
pengetahuan
kebahasaan
dan
nonkebahasaan. Berdasarkan beberapa konsep di atas dapat disintesiskan bahwa membaca merupakan sebuah keterampilan untuk menafsirkan atau memaknai sebuah wacana dalam bentuk tulisan untuk memahami pesan yang akan disampaikan penulis kepada pembaca. Kegiatan membaca merupakan suatu aktivitas reseptif, artinya membaca bersifat menerima informasi dari apa yang dibacanya. Berdasarkan hal tersebut keterampilan membaca wajib dikuasai oleh siswa sebagai bentuk tindak lanjut dari pembelajaran menyimak, berbicara, dan menulis. b. Kemampuan Membaca Pemahaman Membaca pada intinya merupakan proses memahami makna yang terkandung dalam teks bacaan. Pemahaman sebagai esensi membaca merupakan proses penghubung antara pengetahuan lama yang telah dimiliki. Hal ini berarti bahwa pemahaman terhadap teks merupakan bagian dari proses merekonstruksi makna teks. Pembaca tidak hanya memanfaatkan informasi yang ada dalam teksyang berupa kata atau struktur kata atau struktur teks tetapi juga pengetahuan yang telah dimiliki, tujuan dari membaca, serta konteks yang melatarbelakangi teks. Proses memahami isi teks, pembaca menggabungkan informasi baru yang didapatnya dari teks dengan pengetahuan (schemata) yang telah dimilikinya. Bormouth dalam Zuchdi (2012: 8) mengemukakan bahwa membaca pemahaman
merupakan
keterampilan
pemerolehan
pengetahuan
yang
memungkinkan pembaca memperoleh dan mewujudkan informasi yang diperoleh. Secara umum, membaca pemahaman merupakan proses memahami informasi yang secara langsung disebutkan dalam teks. Informasi atau makna baru diperoleh dengan menghubungkan fakta, konsep, dan generalisasi yang baru dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Arti penting dari
10
keterampilan membaca terletak pada peningkatan keefektifan dan efisiensi dalam pencapaian pemahaman. Keterampilan membaca pemahaman merupakan proses interaksi antara pembaca dengan teks dalam suatu peristiwa membaca. Proses ini sangat dituntut kemampuan mengolah informasi untuk menghasilkan pemahaman pada waktu terjadi proses komunikasi. Pembaca melakukan rekonstruksi pesan dengan yang terdapat dalam teks. Pembaca melakukan interaksi antara makna yang tersirat dalam teks dan makna yang tersurat dalam teks. Pada proses ini dituntut kemampuan mengolah informasi untuk menghasilkan pemahaman. Membaca pemahaman yang dikemukakan oleh Grabe (2009: 15) Reading is a strategic process in that a number of the skills and processes used in reading call for effort on the part of the reader to anticipate text information, select key information, organize and mentally summarize information, monitor comprehension output to reader goals. Pengertian membaca pemahaman di atas berarti membaca adalah suatu proses yang memiliki strategi di mana sejumlah kemampuan dan proses yang digunakan dalam membaca membutuhkan usaha pembacanya untuk menelaah informasi yang ada dalam teks, memilih informasi kunci, menyusun dan merangkum informasi, mengecek pemahaman, memperbaiki rincian pemahaman dan mencocokkan output pemahaman dengan tujuan membaca. Pembaca yang baik menurut Slamet (2008: 91) antara lain : (1) bersikap selektif; (2) bisa mencerna mana naskah yang baik dan memahami secara cepat; (3) bersikap kritis dan terbuka; (4) punya daya interaktif dan asosiatif, punya kemampuan mengabstraksi; (5) punya atensi yang tingi terhadap dunia keilmuan; (6) punya sikap apresiatif dan kecintaan terhadap nilai-nilai kehidupan; (7) punya kemampuan
merespons/mengomentari
dan menganalisis; (8) punya
kepekaan yang baik; (9) punya semangat baca yang tinggi; (10) punya kreativitas dan daya mengolahkembangkan apa yang dibacanya. Adapun yang diukur dalam membaca pemahaman cerita menurut Harsiati mencakup enam tingkatan yaitu literal, reorganisasi, simpulan, prediksi, evaluasi, dan respon individu. Kemampuan literal merupakan kemampuan memahami isi teks berdasarkan aspek kebahasaan yang tersurat. Kemampuan reorganisasi
11
adalah pencarian atau penataan kembali ide pokok paragraf yang mendukung tema bacaan. Simpulan yaitu kemampuan memahami isi teks baik yang tersirat maupun tersurat kemudian menyimpulkannya. Prediksi adalah kemampuan menduga cerita lanjutan berdasarkan simpulan isi sebelumnya. Evaluasi adalah kemampuan menilai keakuratan, kemanfaatan, dan kejelasan isi teks. Respon individu merupakan respon pembaca setelah membaca teks. Berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar membaca cerita anak kelas VII, tingkatan yang dicapai sampai pada tingkatan terakhir. Sintesis hakikat kemampuan membaca pemahaman dapat dinyatakan sebagai kemampuan memahami dan memberi makna, kemampuan menyeleksi fakta, minformasi, atau gagasan, serta kemampuan menarik kesimpulan dari apa yang dibaca. Dalam membaca pemahaman, pembaca dituntut aktif dalam membaca. Membaca pemahaman bertujuan untuk memahami isi bacaan yang tersurat maupun yang tersirat. Membaca pemahaman dapat diarikan sebagai suatu metode yang kita gunakan. c. Tujuan Membaca Tujuan kegiatan membaca secara umum adalah untuk memperoleh informasi, mencakup isi, memahami makna bacaan. Namun, secara lebih terperinci, tujuan dari kegiatan membaca yang dikemukakan oleh Anderson (lewat Tarigan, 2008: 10-11) adalah (a) membaca untuk memperoleh perincianperincian atau fakta-fakta (reading for details facts), (b) membaca untuk memperoleh ide-ide utama (reading for main ideas), (c) membaca untuk mengetahui urutan susunan, organisasi cerita (reading for sequence or organization), (d) membaca untuk menyimpulkan atau membaca inferensi (reading for inference), (e ) membaca untuk mengelompokkan membaca untuk mengklasifikasikan (reading to classify), (f) membaca menilai atau membaca mengevaluasi (reading to evaluate), (g) membaca untuk memperbandingkan atau mempertentangkan (reading to compare or contrast). Banyak ahli yang mengemukakan tentang tujuan membaca, selain pendapat di atas, Blanton dan Burns (lewat Rahim, 2007: 11) mengemukakan tujuan membaca yakni (a) kesenangan, (b) menyempurnakan membaca nyaring, (c) menggunakan strategi tertentu, (d) memperbaharui pengetahuannya tentang
12
suatu topik, (e) mengaitkan informasi baru dengan informasi yang telah diketahuinya, (f) memperoleh informasi untuk laporan lisan, (g) mengkonfirmasi atau menolak prediksi, (h) menjawab pertanyaan-pertanyaan yang spesifik, (h) menampilkan suatu eksperimen atau mengaplikasikan informasi yang diperoleh dari suatu teks dalam beberapa cara dan mempelajari tentang struktur teks. Grabe (2009: 10) mengemukakan tujuan membaca yaitu untuk mengevaluasi, mengkritik, dan menggunakan informasi yang selalu menunjukkan peningkatan level dan interaksi yang lebih kompleks dalam proses membaca. Tujuan yang lain yaitu pembaca dapat memutuskan bagaimana menghubungkan informasi dalam teks denganinformasi lainnya dan dengan pengetahuan dan keyakinan. Tujuan membaca yang dikemukakan oleh beberapa ahli di atas menunjukkan bahwa membaca mempunyai tujuan yang beraneka ragam. Pembaca dengan suatu tujuan, cenderung lebih memahami dengan pembaca yang tidak mempunyai tujuan dalam membaca. d. Faktor-faktor yang Memengaruhi Kemampuan Membaca Pemahaman Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
keberhasilan
seseorang
dalam
memahami bacaan dipengaruhi oleh banyak hal. Johnson dan Pearson (lewat Zuchdi, 2008: 23) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi komprehensi membaca dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu yang ada dalam dan yang di luar pembaca. Faktor-faktor yang berada dalam diri pembaca meliputi kemampuan linguistik (kebahasaan), minat (seberapa besar kepedulian pembaca terhadap bacaan yang dihadapinya), motivasi (seberapa besar kepedulian pembaca terhadap tugas membacaatau perasaan umum mengenai membaca dan sekolah), dan kumpulan kemampuan membaca (seberapa baik pembaca dapat membaca). Faktor-faktor di luar pembaca dibedakan menjadi dua kategori yaitu unsur-unsur bacaan dan lingkungan membaca. Unsur-unsur pada bacaan dan ciriciri tekstual meliputi kebahasaan teks (kesulitan bahan bacaan) dan organisasi teks (jenis pertolongan yang tersedia berupa bab dan subbab, susunan tulisan, dsb). Kualitas lingkungan membaca meliputi faktor-faktor: persiapan guru sebelum, pada saat, atau setelah pelajaran membaca guna menolong murid
13
memahami teks; cara murid menanggapi tugas; dan suasana umum penyelesaian tugas (hambatan, dorongan, dsb.) semua faktor saling berhubungan. Kemampuan setiap
orang
dalam
memahami
bacaan
berbeda-beda
tergantung
pada
perbendaharaankata yang dimiliki, minat, jangkauan mata, kecepatan interpretasi, latar belakang pengalaman sebelumnya, kemampuan intelektual, keakraban dengan ide yang dibaca, tujuan membaca, dan keluwesan mengatur kecepatan (Soedarsono, 2010: 58-59). Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan siswa dalam membaca. Secara umum, faktor-faktor dapat diidentifikasi seperti guru, siswa, kondisi lingkungan, materi pelajaran, serta teknik pengajaran membaca. Faktor terakhir yang dapat mempengaruhi keberhasilan siswa dalam membaca adalah penguasaan teknik-tiknik membaca (Somadoyo, 2011: 2) Selain faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses membaca yang telah diuraikan, dalam proses membaca juga terdapat hambatan-hambatan seperti kurang bisa berkonsentrasi membaca (pada dasarnya kurang bisa berkonsetrasi, kesehatan sedang terganggu, susana hati yang tidak tenang, dan keadaan lingkungan yang kurang mendukung) dan daya tahan membaca cepat berkurang (posisi badan yang salah dan lampu atau penerangan yang tidak mendukung. e. Pengukuran Kemampuan Membaca Pemahaman Pemahaman terhadap suatu bacaan melibatkan aspek: pemahaman bahasa dan lambang tertulis, gagasan, serta nada dan gaya. Untuk memperoleh informasi, pembaca akan menggunakan strategi-strategi tertentu, yang berupa keterampilan mengani teks itu sendiri. Keterampilan menangani kata yang dimaksud adalah keterampilan memanfaatkan konteks, mulai dari berbagai pemarkah sampai
morfologis,
lingkungan
kata
yang
lazim
disebut
konteks,
dengan memanfaatkan konteks luar bahasa untuk memahami makna
dan nilai yang terdapat dalam teks. Dari pemahaman di atas dapat dinyatakan bahwa membaca dapat merupakan proses pengolahan bacaan atau teks untuk menggali informasi yang terdapat dalam teks. Kegiatan membaca melibatkan komponen kebahasaan, gagasan, dan komponen konteks yang berada di luar komponen kebahasaan.
14
Pemahaman terhadap suatu bacaan melibatkan aspek; pemahaman bahasa dan lambang tertulis, gagasan, serta nada dan gaya. Bahan untuk tes kemampuan membaca harus dapat digunakan untuk mengukur kemampuan siswa. bahan
yang
digunakan
Nurgiyantoro (2001: 249-251) berpendapat
dalam
tes
kemampuan
membaca hendaknya
dipertimbangkan dari: (1) tingkat kesulitan wacana; (2) isi wacana; (3) panjangpendeknya wacana; dan (4) bentuk wacana. Penilaian membaca pemahaman cerita anak menggunakan taksonimi Barret. Taksonomi Barret adalah taksonomi membaca yang mengandung dimensi kognitif dan afektif yang dikembangkan oleh Thomas C. Barret pada tahun 1968. Taksonomi tersebut digunakan untuk mengembangkan keterampilan membaca pemahaman. Barret (dalam Zuchdi, 2008: 99) menggunakan lima judul utama yaitu pengenalan dan pengingatan literal, reorganisasi, pemahaman inferensial, pemahaman evaluatif, dan apresiasi. Pemahaman literal, yakni kemampuan mengenal sesuatu atau fakta atau
mengingat
kembali
sesuatu
atau
fakta.
Penataan
kembali
(reorganisation), yakni kemampuan menganalisis, mensintesis, menata ide ide dan informasi yang diungkapkan secara eksplit dalam bacaan. Pemahaman inferensial, yakni kemampuan untuk menggunakan ide atau informasi yang secara eksplisit tertuang dalam bacaan berserta dengan intuisi dan pengalaman pribadi yang dimilikinya sebagai dasar untuk memecahkan persoalan. Pemahaman evaluatif, yakni kemampuan untuk memastikan dan menilai kulalitas, ketelitian, kebergunaan atau kebermanfaatan ide yang terdapat dalam wacana. Apresiasi, yakni kemampuan untuk menerapkan kepekaan emosional dan estetika yang dimilikinya dalam mersepon bentuk, gaya, struktur, serta teknik pemaparan ide dalam bacaan. Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat disintesiskan kemampuan membaca pemahaman berupa tes yang mempertimbangkan tingkat kesulitan siswa, isi wacana, panjang-pendeknya wacana, dan bentuk wacana. Salah satu penilaian membaca yaitu menggunakan taksonomi Barret.
15
2. Hakikat Kemampuan Membaca Cerita Anak a. Kemampuan Membaca Kemampuan berasal dari kata mampu yang mempunyai arti kesanggupan, kecakapan, atau kekuatan. Kemampuan seseorang juga dapat ditinjau dari cara mereka beradaptasi, menggunakan bahasa tubuh dan berkomunikasi. Dalam hal ini kemampuan kognitif bukanlah satu-satunya kemampuan yang dimiliki oleh seseorang. Setiap orang memiliki lebih dari satu kemampuan (tidak kognitif saja) melainkan kemampuan jamak (Prawiradilaga, 2008: kemampuan
adalah
kesanggupan
atau
kecakapan
87).
Jadi
seseorang dalam
menguasai suatu keahlian dan digunakan untuk mengerjakan beragam tugas dalam suatu pekerjaan. Namun, kemampuan seseorang belum tentu ditampilkan secara maksimal pada setiap melakukan kegiatan. Membaca adalah proses untuk memahami pesan yang disampaikan oleh teks tersebut baik secara implisit maupun eksplisit, tersirat ataupun tersurat. Dalam segala aspek kehidupan kita, kita tak pernah lepas dari yang namanya membaca. Membaca dapat didefinisikan “penafsiran yang bermakna terhadap bahasa tulis”. Hakikat kegiatan membaca adalah memperoleh makna yang tepat (Zuchdi, 2008: 19). Menurut Rahim (2008: 3) sebagai suatu proses berpikir, membaca mencakup pengenalan kata, pemahaman literal, interpretasi, membaca kritis, dan membaca kreatif. Indikator yang
mengindikasikan tercapai atau tidaknya
pembelajaran membaca di sekolah mencakup: (1) menjawab pertanyaan berkaitan dengan isi teks, (2) menyatakan pendapat atau perasaan berkaitan dengan isi teks, (3) menyimpulkan isi teks dalam satu kalimat (Rahim, 2008: 21). Persoalan yang muncul dalam tes kompetensi membaca adalah bagaimana mengukur kemampuan pemahaman isi pesan tersebut, yaitu apakah sekedar menuntut peserta didik memilih jawaban yang tersedia atau menanggapi dengan bahasa sendiri (Nurgiyantoro, 2012: 376). Dalam membuat bahan ujian membaca pemahaman yang berbentuk fiksi atau cerita, kita tidak boleh menanyakan hal-hal yang telah umum diketahui tanpa membaca. Soal yang umum ditanyakan dalam tes ini adalah tema, gagasan pokok, gagasan penjelas, makna tersurat dan tersirat,
16
bahkan juga makna istilah dan ungkapan (Nurgiyantoro, 2012: 378). Tes
kemampuan
membaca
yang
dipakai
dalam
penelitian
ini
dikembangkan dari taksonomi pembelajaran membaca Taksonomi Barret (Zuchdi, 2012: 71). Tingkat pemahaman bacaan diklasifikasikan menjadi lima, yaitu pemahaman harfiah, mereorganisasi, pemahaman inferensial, penilaian, dan apresiasi. a. Pemahaman Harfiah Pemahaman harfiah memberikan tekanan pada pokok-pokok pikiran dan informasi yang secara langsung diungkapkan dalam bacaan. Tugas dalam pemahaman harfiah adalah mengingat kembali serentetan fakta atau serangkaian kejadian dalam bacaan, menantukan kalimat utama dalam paragraf. b. Mereorganisasi Mereorganisasi
menghendaki
siswa
menganalisis,
mensintesis,
mereorganisasi informasi yang dikemukakan secara eksplisit di dalam bacaan. Hasil pemikiran yang diinginkan pada tahap ini adalah untuk memparafrasekan atau menerjemahkan informasi dalam bacaan serta mampu menemukan tema. c. Pemahaman Inferensial Pemahaman inferensial merupakan komprehensi yang menghendaki siswa untuk menganalisis, menyintesis, dan mengorganisasi buah pikiran atau informasi yang dikemukakan secara implisit di dalam wacana. Pada komprehensi ini pembaca melakukan penafsiran bacaan. d. Penilaian Pada tingkat penilaian, pada dasarnya adalah kemampuan menafsirkan dan menilai kualitas, ketelitian, kebergunaan atau kebermanfaatan ide yang terdapat dalam bacaan. Penilaian diberlakukan pada benar tidaknya bahasa yang digunakan, kesimpulan menulis, dan informasi yang disampaikan disesuaiakan dengan fakta. Selain itu perlu yang diberlakukan juga pada lengkap tidaknya informasi yang diberikan oleh penulis. e. Apresiasi Apresiasi melibatkan seluruh dimensi afektif. Apresiasi menghendaki pembaca peka terhadap suatu karya secara emosional dan estetis. Selain itu, pembaca juga diharapkan untuk bereaksi terhadap nilai dan kekayaan unsur
17
psikologis dan artistik di dalam karya itu. Apresisasi mencakup respon emosional terhadap bacaan, missal mampu menghargai gagasan penulis atau manfaat yang dapat dipetik dari bacaan. Pendapat di atas dapat disintesiskan bahwa kemampuan membaca adalah kesanggupan atau kecakapan seseorang dalam proses pemahaman, penafsiran, dan pemaknaan yang melibatkan interaksi antara pembaca dan teks. Namun, hal ini bersifat komunikatif, dengan tujuan untuk memperoleh informasi, mencakup isi, dan memahami makna bacaan. b. Cerita Anak Cerita anak adalah sastra anak yang dapat dikatakan bahwa suatu karya sastra berupa prosa yang bahasa dan isinya sesuai dengan perkembangan usia dan kehidupan anak, baik ditulis oleh pengarang yang sudah dewasa, remaja, atau oleh anak sendiri. Secara konseptual, sastra anak-anak tidak jauh berbeda dengan sastra orang dewasa (adult literacy). Keduanya sama berada pada wilayah sastra yang meliputi kehidupan dengan segala perasaan, pikiran dan wawasan kehidupan. Yang membedakannya hanyalah dalam hal fokus pemberian gambaran kehidupan yang bermakna bagi anak yang diurai dalam karya tersebut. Sastra anak adalah sastra yang layak untuk anak. Perkembangan anak akan berjalan wajar dan sesuai dengan periodenya bila disugui bahan bacaan yang sesuai pula. Sastra yang akan dikonsumsikan bagi anak harus mengandung tema yang mendidik, alurnya lurus dan tidak berbelit-belit, menggunakan setting yang ada di sekitar mereka atau ada di dunia mereka, tokoh dan penokohan mengandung peneladanan yang baik, gaya bahasanya mudah dipahami tapi mampu mengembangkan bahasa anak, sudut pandang orang yang tepat, dan imajinasi masih dalam jangkauan anak (Puryanto, 2008: 2). Sastra bukan sekedar sastra yang dibaca oleh anak-anak, tetapi lebih dari itu. Menurut Sarumpaet (2010: 2) sastra anak adalah sastra terbaik yang mereka baca dengan karakteristik beraneka ragam, tema, dan format. Kita mengenal banyak sekali jenis sastra untuk anak seperti buku bacaan bergambar, buku cerita tentang binatang, cerita rakyat, kisah-kisah fantasi, cerita realistik, fiksi kesejarahan dan masih banyak lagi. Dilihat dari temanya karya sastra anak juga
18
sangat beragam, tentunya senang girang susah sedih yang mengikatnya dan bersifat mendidik. Secara fisik langsung menarik perhatian yang membedakan bacaan orang dewasa dengan anak-anak adalah formatnya. Bentuknya bervariasi ada yang berbentuk persegi, persegi panjang, segitiga, bahkan bulat. Itulah sastra anak karya yang khas dunia anak, dibaca anak, serta pada dasarnya dibimbing orang tua. Cerita anak adalah media seni, yang memiliki ciri-ciri tersendiri sesuai dengan selera penikmatnya, dunia anak-anak tidak dapat diremehkan dalam proses kreatifnya. Maka dari itu, cerita anak-anak dicipta oleh orang dewasa seolah-olah merupakan ekspresi diri anak-anak lewat idiom-idiom bahasa anak (Sugihastuti, 2013: 78). Pengarang cerita anak mau tidak mau harus harus menciptakan karya mereka dalam semangat bahasa anak. Tanpa pengetahuan yang memadai pada bahasa anak dalam mencipkan karyanya, pengarang cerita anak-anak akan gagal. Dari berbagai pendapat di atas dapat disintesiskan cerita anak adalah sebuah cerita yang ditulis untuk anak, yang berbicara mengenai kehidupan anak dan sekitarnya yang mempengaruhi anak, dan tulisan itu hanyalah dapat dinikmati oleh anak dengan bantuan dan pengarahan orang dewasa. Pada dasarnya cerita
anak
merupakan cerita sederhana yang kompleks.
Kemampuan mengidentifikasi cerita yaitu kemampuan siswa dalam mengalisis sebuah karya sastra meliputi: tema cerita, plot atau kerangka cerita, penokohan dan perwatakan, setting atau tempat kejadian cerita atau disebut juga latar, sudut oandang pengarang atau point of view, gaya bahasa, dialog atau percakapan, latar belakang, waktu penceritaan, dan amanat. Pemaparan tiap unsur ini harus detail dan teliti agar didapatkan konsep cerita secara utuh. Melalui identifikasi cerita, diharapkan pada tingkat pembelajaran selanjutnya, siswa dapat mengapreasi cerita. Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disintesiskan kemampuan membaca cerita anak dalam peelitian ini adalah bentuk dari unjuk kerja sebagai hasil dari keterampilan, pengetahuan, dan perilaku dalam memahami pesan yang disampaikan oleh penulis denan enam tingkatan yaitu literal, reorganisasi, simpulan, prediksi, evaluasi, dan respon individu pada cerita fiksi realistik yang
19
berkisah tentang dunia anak-anak dengan tokoh utama anak yang memiliki nilai pendidikan terpuji bagi anak. c. Manfaat Cerita Anak bagi Anak Sastra Anak sumbangan positif untuk proses perkembangannya (Rukayah, 2012: 10). Cerita anak sangat efektif untuk mempengaruhi cara berpikir dan berperilaku anak karena mereka senang mendengarkan
cerita
walaupun berulang-ulang. Pengulangan, imajinasi anak dan nilai kedekatan guru atau orang tua membuat cerita menjadi efektif untuk mempengaruhi cara bepikir mereka (Musfiroh, 2008: 81). Cerita anak tergolong ke dalam genre sastra anak. Hunts (lewat Nurgiyantoro, 2005: 8) mengatakan bahwa sastra anak adalah buku bacaan yang dibaca oleh, yang secara khusus cocok untuk anak, dan secara khusus pula memuaskan sekelompok anggota yang kini disebut sebagai anak-anak. Sastra anak tidak harus berkisah tentang anak, tentang dunia anak, tentang berbagai peristiwa yang mesti melibatkan anak. Sastra anak dapat berkisah tentang apa saja yang menyangkut kehidupan. Anak yang dimaksudkan dalam sastra anak adalah orang yang berusia 2 tahun sampai 12-13 tahun, yaitu masa prasekolah dan berkelompok. Anak sudah masuk sekolah dan dalam masa awal remaja, yang dipetakan dengan jenjang pendidikannya adalah TK, SD, SMP-awal (Kurniawan, 2009: 39). Sastra anak bermanfaat juga untuk mengenalkan suatu budaya kepada anak-anak. Hal ini sesuai dengan pendapat Kelley (2013: 143), dalam jurnalnya, ia menyatakan Joel Chandler Harris dan Thomas Nelson penulis dari Amerika, kedua penulis yang menulis untuk anak-anak dan yang mulai menerbitkan karya-karya di tahun 1880-an yang difokuskan pada budak berkulit hitam dan budaya yang ada di sana, dengan adanya cerita anak seperti ini diharapkan budaya perbudakan dari generasi negro bisa segera berlalu. Sama seperti gadisgadis kulit putih cerita tersebut menunjukkan pengaruh budaya budak di imajinasi mereka, dengan menggunakan bahasa yang sama mengungkapkan pengaruh ini. Anak-anak menggunakan bahasa untuk membantu membangun rasa dari dunia mereka tinggal dan penempatan mereka di dunia itu.
20
Menurut Musfiroh (2012: 86) melalui sebuah cerita, anak tidak saja terdorong untuk menyimak cerita, tetapi anak juga senang bercerita atau berbicara. Anak belajar tata cara berdialog dan bernarasi selain itu juga terangsang untuk menirukannya. Kemampuan verbal anak lebih terstimulasi secara efektif pada saat guru melakukan semacam tes pada anak untuk menceritakan kembali isi cerita. Dengan cara seperti ini anak belajar berbicara, menuangkan kembali gagasan yang didengar atau dibacanya dengan gayanya sendiri. Kinayati dalam Rukayah (2012: 9) menyatakan bahwa dengan sastra, anak akan terdorong ke arah: (1) berpikir kritis, anak mengerti apa dan bagaimana cerita tersebut, mengapa cerita tersebut demikian; (2) peka terhadap lingkungan, anak peka dengan berbagai macam ragam kehidupan, sehingga akan mendidik anak ke arah yang lebih dewasa; (3) mendorong minat baca anak; (4) merangsang kreativitas anak.
Berbagai pendapat di atas dapat disintesiskan berbagai manfaat dari cerita anak antara lain: (1) efektif untuk mempengaruhi cara berpikir dan berperilaku anak; (2) mengenalkan suatu budaya kepada anak-anak; (3) memperbaiki moral anak-anak itu sendiri; (4) melatih perkembangan pribadinya; (5) meningkatkan bahasa anak dalam belajar; (6) berpikir kritis, anak mengerti apa dan bagaimana cerita tersebut, mengapa cerita tersebut demikian; (7) peka terhadap lingkungan, anak peka dengan berbagai macam ragam kehidupan, sehingga akan mendidik anak ke arah yang lebih dewasa; (8) mendorong minat baca anak; dan (9) merangsang kreativitas anak. Dengan melihat berbagai manfaat yang diperoleh dari pembelajaran sastra pada anakanak terutama cerita anak maka penting pembelajaran sastra diberikan pada siswa SMP terutama cerita anak. Lewat cerita pesan-pesan yang ingin disampaikan bisa ditangkap atau diterima dengan baik oleh anak, terlebih jika penyajian ceritanya menarik bagi anak. d. Pengukuran Kemampuan Membaca Cerita Anak
Berdasarkan kajian teori yang telah diuraikan sebelumnya, maka untuk mengetahui seberapa baik kemampuan membaca cerita anak yang dimiliki siswa diperlukan tes kemampuan membaca cerita anak. Dalam membuat tes kemampuan membaca cerita anak dapat dibedakan menjadi beberapa tingkatan antara lain: (1) tingkatan pemahaman literal, yaitu pemahaman isi bacaan
21
sebagaimana yang tertulis melalui pemahaman arti kata, serta paragraf dalam bacaan; (2) tingkat pemahaman interpretasi, yaitu pemahaman isi bacaan tidak secara langsung dinyatakan dalam teks bacaan; (3) tingkat pemahaman kritis, yaitu pemahaman isi bacaan yang dilakukan pembaca dengan berpikir secara kriris terhadap isi bacaan, dalam pemahaman ini pembaca tidak hanya menginterpretasikan maksud penulis tetapi juga memberikan penilaian terhadap apa yang disampaikan oleh penulis; (4) tingkat pemahaman kreatif, yaitu pemahaman terhadap isi bacaan yang dilakukan dengan kegiatan membaca melalui berpikir secara interpretatif dan kritis untuk memeperoleh pandanganpandangan baru, gagasan-gagasan yang segar, dan pemikiran-pemikiran yang orisinil.
3. Metode Pembelajaran Kotak Kata a.
Pengertian Metode Pembelajaran Kotak Kata Andayani (2015: 252) menyatakan bahwa metode pembelajaran kotak
kata atau Word Square merupakan salah satu dari sekian banyak metode pembelajaran
yang
dapat
digunakan
guru
dalam
mencaai
tujuan
pembelajaran. Metode pembelajaran kotak kata merupakan pengembangan dari metode kontekstual yang diperkaya. Metode pembelajaran kotak kata adalah metode pembelajaran yang memadukan kemampuan menjawab pertanyaan dengan kejelian dalam mencocokan jawaban pada kotak-kotak jawaban. Mirip seperti mengisi tekateki silang tetapi bedanya jawabannya sudah ada namun disamarkan dengan menambahkan kotak tambahan dengan sembarang huruf penyamar atau pengecoh. Metode pembelajaran kotak kata menurut Widodo (2009: 13) adalah metode pembelajaran yang memadukan kemampuan menjawab pertanyaan dengan kejelian dalam mencocokan jawaban pada kotak jawaban. Mirip seperti mengisi teka-teki silang tetapi bedanya jawabannya namun
disamarkan
dengan
menambahkan kotak
sembarang huruf/angka penyamar pengecoh.
sudah
tambahan
ada
dengan
22
Menurut Supartono (2003: 9) metode pembelajaran kotak kata merupakan salah satu metode yang membutuhkan suatu kejelian dan ketelitian siswa yang dapat merangsang siswa untuk berpikir efektif melalui permainan
acak
huruf
dalam
pembelajaran.
Sedangkan
pendapat
Winataputra (2009:27) mengenai pengertian metode pembelajaran Kotak Kata merupakan salah satu metode yang digunakan untuk mengetahui sejauh mana kemampuan siswa menjawab pertanyaan dengan kejelian dalam mencocokkan jawaban pada kotak-kotak jawaban. Instrumen utama metode ini adalah lembar kegiatan atau kerja berupa pertanyaan atau kalimat yang perlu dicari jawabannya pada susunan huruf acak pada kolom yang telah disediakan. Beberapa pendapat di atas dapat disintesisikan metode kotak kata merupakan metode pembelajaran yang membutuhkan kejelian dalam menjawab pertanyaan dengan mencocokkan jawaban pada kotak-kotak jawaban. Seperti mengisi teka-teki silang, oerbedaannya jawabannya sudah ada tetapi disamarkan dengan menambahkan kotak tambahan dengan sembarang huruf sebagai pengecoh. b. Langkah-langkah metode pembelajaran kotak kata Langkah-langkah metode pembelajaran kotak kata menurut Andayani (2015: 252) adalah sebagai berikut: 1) guru menyampaikan materi sesuai kompetensi, 2) guru membagikan lembar kegiatan, 3) siswa menjawab soal kemudian mengarsir huruf dalam kotak sesuai jawaban. 4) berikan poin setiap jawaban dalam kotak. Widodo (2009: 14) menyatakan bahwa langkah-langkah dalam pembelajaran kotak kata adalah sebagai berikut: 1) Buat kotak sesuai keperluan, buat soal sesuai KD. 2) Guru menyampaikan materi sesuai kompetensi yang ingin dicapai. 3) Guru membagikan lembaran kegiatan sesuai contoh. 4) Siswa menjawab soal kemudian mengarsir huruf dalam kotak sesuai jawaban.
23
5) Berikan poin setiap jawaban dalam kotak. Uno dan Mohamad (2012: 92) mengemukakan langkah-langkah model pembelajaran Kotak Kata sebagai berikut: 1) sampaikan materi sesuai kompetensi, 2) bagikan lembar jawaban sesuai contoh, 3) siswa disuruh menjawab soal kemudian mengarsir huruf dalam kotak sesuai jawaban, 4) berikan poin setiap jawaban dalam kotak. Kotak Kata merupakan salah satu alat bantu atau media pembelajaran berupa kotak-kotak kata yang berisi kumpulan huruf. Pada kumpulan huruf tersebut terkandung konsep-konsep yang harus ditemukan oleh siswa sesuai dengan pertanyaan yang berorientasi pada tujuan pembelajaran. Langkah-langkah atau cara membuat Kotak Kata yaitu: menentukan topik sesuai konsep atau subkonsep; menuliskan kata-kata kunci sesuai dengan tujuan yang akan dicapai; menuliskan kembali kata-kata kunci dimulai dengan kata-kata terpanjang; membuat kotak-kotak Kotak Kata; mengisikan kata-kata kunci pada kotak Kotak Kata; menambahkan huruf dan pengisian ke kotak kosong secara acak.
4. Metode Pembelajaran Kontekstual a. Pengertian Metode Pembelajaran Kontekstual Kontekstual adalah suatu pendekatan pendidikan yang berbeda, melakukan lebih dari pada menuntun para siswa dalam menggabungkan subjek-subjek akademik dengan konteks dalam keadaan mereka sendiri (Elaine B. Johnson, 2007: 64). Pengertian Kontekstual (contextual) berasal dari kata konteks (contex). Konteks (contex) berarti “bagian suatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna, situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian” (Depdiknas,2001: 591). Kontekstual (contextual) diartikan “sesuatu yang berhubungan dengan konteks (contex)” (Depdiknas, 2001: 591). Sesuai dengan pengertian konteks maupun kontekstual tersebut, pembelajaran kontekstual (contextual learning) merupakan sebuah pembelajaran yang dapat memberikan dukungan dan penguatan pemahaman konsep siswa dalam menyerap sejumlah materi pembelajaran serta mampu memperoleh makna dari apa yang mereka
24
pelajari dan mampu menghubungkannya dengan kenyataan hidup sehari hari. Hal ini juga sejalan dengan pendekatan pembelajaran kontekstual yang berasumsi sebagi berikut. Secara alamiah proses berpikir dalam menemukan makna sesuatu itu bersifat kontekstual dalam arti ada kaitannya dengan pengetahuan dan pengalaman yang telah mereka (siswa) memiliki yaitu ingatan, pengalaman, dan balikan (respon), oleh karenanya berpikir itu merupakan proses mencari hubungan untuk menemukan makna dan manfaat pengetahuan tersebut ( Gafur, 2003: 1 ). Penemuan
makna
adalah
ciri
utama
dari
Model
pembelajaran
kontekstual. Di dalam kamus “makna” diartikan sebagai arti dari sesuatu atau maksud (Johnson, 2007: 35 ). Ketika diminta untuk mempelajari sesuatu yang tidak bermakna, para siswa
biasanya
bertanya,
“Mengapa
kami
harus
mempelajari ini?”. Karena otak terus-menerus mencari makna dan menyimpan hal-hal yang bermakna, proses mengajar harus melibatkan para siswa dalam pencarian makna. Model pembelajaran kontekstual adalah sebuah sistem yang merangsang
otak
untuk
menyusun
pola-pola
yang mewujudkan makna
dengan menghubungkan muatan akademis dengan konteks dari kehidupan seharihari siswa. Proses mengajar harus memungkinkan para siswa memahami arti pelajaran yang mereka pelajari. Dalam model pembelajaran kontekstual pembelajaran kontekstual meminta para siswa melakukan hal itu. Karena kontekstual mengajak
para
siswa membuat hubungan-hubungan yang mengungkapkan
makna, maka kontekstual memiliki potensi untuk membuat para siswa berminat belajar. Model pembelajaran Learning)
atau
CTL
kontekstual (Contextual
merupakan
konsep
belajar
Teaching
and
yang membantu guru
mengkaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan
mendorong
dimilikinya dengan anggota
keluarga
diharapkan
lebih
siswa
membuat
penerapannya
hubungan dalam
antara
pengetahuan
kehidupan
mereka
yang sebagai
dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran bermakna
bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung
25
alamiah
dalam
bentuk
kegiatan
siswa
bekerja dan mengalami, bukan
mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa. Pembelajaran kontekstual merupakan proses belajar yang menghubungkan alam pikiran (pengetahuan dan pengalaman) dengan keadaan yang sebenarnya dalam kehidupan. Jika siswa mampu menghubungkan kedua hal tersebut, pengetahuan dan pengalaman yang mereka miliki dari akan
lebih
kontekstual
bermakna pada
dan
prinsipnya
dapat
dirasakan
pemahaman
konsep
manfaatnya. Pembelajaran
sebuah pembelajaran yang berorientasi pada
penekanan makna pengetahuan dan pengalaman melalui hubungan pemanfaatan dalam kehidupan yang nyata.
b. Komponen Metode Pembelajara Kontekstual Pembelajaran berbasis kontekstual menurut Sanjaya (Sugiyanto, 2009: 17) melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran, yakni kontruktivisme, bertanya, menemukan, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi dan penilaian sebenarnya. Model pembelajaran kontekstual memiliki tujuh komponen yaitu: 1) Kontruktivisme, yaitu pengetahuan siswa dibangun oleh dirinya sendiri atas dasar pengalaman, pemahaman konsep, persepsi dan perasaan siswa, bukan dibangun atau diberikan oleh orang lain. Jadi, guru hanya berperan dalam menyediakan kondisi atau memberikan suatu permasalahan. 2) Inquiry (menemukan), dalam hal ini sangat diharapkan bahwa apa yang dimiliki siswa baik pengetahuan
dan ketrampilan
diperoleh dari hasil
menemukan sendiri bukan hasil mengingat dari apa yang disampaikan guru. Inkuiri diperoleh melalui tahap observasi (mengamati), bertanya (menemukan dan merumuskan masalah), mengajukan dugaan (hipotesis), mengumpulkan data, menganalisa dan membuat kesimpulan. 3) Bertanya, dalam pembelajaran kontekstual, bertanya dapat digunakan oleh guru untuk mendorong, membimbing dan menilai kemampuan siswa. Sehingga siswa pun akan dapat menemukan berbagai informasi diketahuinya.
yang belum
26
4) Masyarakat Belajar, hal ini mengisyaratkan bahwa belajar itu dapat diperoleh melalui kerja sama dengan orang lain. Masyarakat belajar ini dapat kita latih dengan kerja kelompok, diskusi kelompok, dan belajar bersama. 5) Pemodelan, agar dalam menerima sesuatu siswa tidak merasa samar atau kabur dan bingung maka perlu adanya model atau contoh yang bisa ditiru. Model tak hanya berupa benda tapi bisa berupa cara, metode kerja atau hal lain yang bisa ditiru oleh siswa. 6) Refleksi yaitu cara berpikir tentang apa yang telah dipelajari sebelumnya, atau apa- apa yang sudah dilakukan dimasa lalu dijadikan acuan berpikir. Refleksi ini akan berguna agar pengetahuan bisa terpatri dibenak siswa dan bisa menemukan langkah- langkah selanjutnya. 7) Penilaian yang sebenarnya ( Authentic Assessement ) yaitu penilaian yang sebenarnya terhadap pemahaman
konsep siswa. Penilaian yang
sebenarnya tidak hanya melihat hasil akhir, tetapi kemajuan belajar siswa dinilai dari proses, sehingga dalam penilaian sebenarnya tidak bisa dilakukan hanya dengan satu cara tetapi menggunakan berbagai ragam cara penilaian.
5.
Motivasi Belajar Bahasa Indonesia a. Pengertian Motivasi Belajar Menurut Springer (2008: 4) perilaku
motivasi dapat digambarkan
sebagai
yang menggambarkan dorongan, antusiasme, penghargaan, atau
dedikasi. Motivasi secara umum adalah proses yang memainkan peran utama dalam pilihan individu untuk terlibat dalam suatu kegiatan tertentu. Motivasi menurut Ahmadi (2004: 83) sebagai faktor inner (batin) berfungsi menimbulkan, mendasari, mengarahkan perbuatan.
Motivasi dapat
menentukan baik tidaknya dalam mencapai tujuan sehingga
semakin besar
motivasinya akan semakin besar kesuksesannya dalam belajar. Seorang yang besar motivasinya akan giat berusaha, tampak gigih, tidak mau menyerah, giat membaca buku-buku untuk meningkatkan prestasinya untuk memecahkan masalahnya. Sebaliknya mereka yang motivasinya lemah, tampak acuh tak acuh, mudah
putus
asa, perhatiannya tidak
tertuju
pada
pelajaran,
suka
menganggu kelas, sering meninggalkan pelajaran akibatnya banyak mengalami
27
kesulitan belajar. Hal tersebut sejalan dengan Slameto (2010: 171) menyebutkan ada bermacam-macam teori motivasi, salah satu teori yang terkenal kegunaannya untuk menerangkan motivasi siswa adalah yang dikembangkan oleh Maslow. Maslow percaya bahwa tingkah laku manusia dibangkitkan dan diarahkan oleh kebutuhan-kebutuhan tertentu. Kebutuhan- kebutuhan tersebut dibagi dalam tujuh kategori yaitu (1) fisiologis. Kategori fisiologis
ini
merupakan
kebutuhan manusia yang paling dasar, meliputi kebutuhan akan makanan, pakaian, tempat berlindung, yang penting untuk mempertahankan hidup. (2) Rasa aman, ini merupakan kebutuhan
kepastian keadaan dan lingkungan
yang dapat diramalkan, ketidakpastian,
ketidakadilan, keterancaman, akan
menimbulkan kecemasan dan ketakutan pada diri individu. (3) Rasa cinta, ini merupakan kebutuhan afeksi dan pertalian dengan orang lain. (4) Penghargaan, ini merupakan kebutuhan rasa berguna, penting, dihargai, dikagumi, dihormati oleh orang-orang lain. Secara tidak langsung ini merupakan kebutuhan perhatian, ketenaran, status, martabat, dan lain sebagainya. (5) Aktualisasi diri, ini merupakan kebutuhan manusia untuk mengembangkan diri sepenuhnya, merealisasikan potensi-potensi yang dimilikinya. (6) Mengetahui dan mengerti, ini merupakan kebutuhan manusia untuk memuaskan rasa ingin tahunya, untuk mendapatkan pengetahuan, untuk mendapatkan keterangan- keterangan, dan
untuk mengerti sesuatu. (7) Kebutuhan
estetik, kebutuhan
ini
dimanifestasikan sebagai kebutuhan akan keteraturan, keseimbangan dan kelengkapan dari suatu tindakan. Orang termotivasi terlibat dalam perilaku yang diarahkan pada tujuan dan
bertahan
sampai
mereka
telah
mencapai
tujuan. Sebagai sifat
personality, motivasi merupakan kecenderungan yang relatif stabil untuk terlibat dalam perilaku fokus dan persisten. Tiap orang
menunjukkan perbedaan
berbagai tingkat motivasi terlepas dari tugas yang mereka kejar. Faktor yang berhubungan dengan tingkat motivasi adalah kepercayaan diri dan penghargaan diri, orang yang merasa tidak dapat berhasil dalam tugas tidak akan berupaya untuk melakukannya. Sebaliknya, orang yang merasa bahwa mereka dapat berhasil biasanya mengeluarkan upaya yang diperlukan. Selain
28
penghargaan dan kepercayaan diri, kemungkinan mendapat hadiah juga akan memotivasi perilaku seseorang. Motivasi tiap siswa berdeda-beda tergantung dari kebutuhannya. Jika siswa belajar karena bertujuan memenuhi kebutuhan penghargaan saja, maka pujian dan sanjungan dari guru dan teman sudah dapat memenuhi kebutuhan siswa tersebut. Namun, jika kebutuhan siswa adalah aktualisasi diri, maka ia akan berusaha keras untuk belajar dalam rangka menambah ilmu pengetahuan mereka. Pada tujuan kedua ini belajar akan lebih menyenangkan karena adanya keinginan dan semangat yang kuat dalam dirinya. Berbagai pendapat di atas, dapat disintesiskan bahwa motivasi merupakan
usaha-usaha untuk
menyediakan
kondisi-kondisi tertentu,
sehingga seseorang mau dan ingin melakukan sesuatu dirangsang dari luar diri seseorang maupun tumbuh di dalam diri seseorang. Motivasi bertalian dengan suatu
tujuan
yang
mendorong
seseorang
untuk
melakukan
suatu
kegiatan/pekerjaan. Menurut Brophy siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi berciri: (1) menyukai situasi atau tugas yang menuntut tanggung jawab pribadi atas hasilhasilnya dan bukan atas dasar untung-untungan, nasib, atau kebetulan; (2) memilih tujuan dan rwalitas tetapi menantang dari tujuan yang terlalu mudah dicapai atau terlalu besar resikonya; (3) mencari situasi atau pekerjaan di mana ia memperoleh umpan balik dengan segera dan nyata untuk menentuksn baik atau tidaknya hasil pekerjaannya; (4) senang bekerja sendiri dan bersaing untuk mengungguli orang lain; (5) mampu menangguhkan pemuasan keinginandemi masa depan yang lebih baik; dan (6) tidak tergugah untuk sekedar mendapatkankeuntungan, ia akan mencari apabila hal-hal tersebut merupakan lambing prestasi, suatu ukuran keberhasilan. Pendapat Broophy tersebut selanjutnya sebagai dimensi yang diukur dalam motivasi belajar siswa. b.
Jenis-jenis Motivasi
Jenis motivasi menurut Hamzah B. Uno (2006: 33) meliputi motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah dorongan yang tidak diketahui dengan jelas, bukan karena insting dan bersumber pada motif yang
tidak
dipengaruhi lingkungan. Motivasi
ekstrinsik dorongan yang
29
menyebabkan perilaku individu yang hanya muncul karena pengaruh dari luar diri seseorang. Hal tersebut senada dengan Syaiful Bahri yang membedakan motivasi yaitu motivasi ekstrinsik dan intrinsik. Menurut Syaiful Bahri (2002:115) motivasi intrinsik yaitu motif-motif yang menjadi aktif atau berfungsinya tidak memerlukan rangsangan dari luar, karena dalam diri setiap individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu. Sedangkan motivasi ekstrinsik merupakan motif-motif yang aktif karena dorongan atau rangsangan dari luar. c.
Motivasi Belajar Bahasa Indonesia
Motivasi belajar bahasa Indonesia tidak terlepas dari belajar itu sendiri, begitu juga faktor yang mempengaruhi terhadap prestasi belajar tidak jauh berbeda dengan faktor yang mempengaruhi belajar. Secara singkatnya faktor yang mempengaruhinya terhadap prestasi belajar menurut Slamet (2003: 54) terbagi menjadi dua , yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Motivasi sangat mempengaruhi seseorang
untuk
melakukan suatu
kegiatan. Termasuk dalam hal belajar bahasa Indonesia. Motivasi mempengaruhi seseorang untuk melakukan suatu kegiatan. Motivasi belajar bahasa Indonesia adalah usaha untuk menyediakan kondisi-kondisi tertentu, sehingga seseorang mau dan ingin belajar bahasa Indonesia. Motivasi dapat
menentukan baik
tidaknya dalam mencapai tujuan. Semakin besar motivasinya akan semakin besar kesuksesannya dalam belajar. Seorang yang besar motivasinya akan giat berusaha, tampak gigih, tidak mau menyerah, giat membaca buku-buku untuk meningkatkan prestasinya untuk memecahkan masalahnya begitu juga dalam membaca. Menurut Sardiman (2006: 83) ciri-ciri siswa yang memiliki motivasi tinggi adalah (1) tekun menghadapi tugas, (2) ulet menghadapi kesulitan, (3) menunjukkan minat terhadap bermacam-macam masalah, (4) lebih senang bekerja sendiri, (5) cepat bosan pada tugas-tugas yang rutin, (6) dapat mempertahankan pendapat-pendapatnya, (7) tidak mudah melepaskan hal-hal yang diyakini, (8) senang mencari dan memecahkan soal-soal. Senada dengan Sardiman, Prayitno (dalam Riduwan, 2005: 31) menyatakan tentang indikator dalam motivasi belajar yaitu (1) ketekunan dalam belajar, (2) ulet dalam
30
menghadapi kesulitan, (3) minat dan ketajaman perhatian dalam belajar, (4) berprestasi dalam belajar, dan (5) mandiri dalam belajar. Brophy (2004) menjelaskan bahwa siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi memiliki ciri-ciri (1) bertanggung jawab pribadi atas hasil-hasilnya dan bukan atas dasar untung-untungan, (2) memilih tujuan dan realitas tetapi menantang dari tujuan yang terlalu mudah dicapai atau terlalu besar resikonya, (3) mencari situasi atau pekerjaan dimana ia memperoleh umpan balik dengan segera dan nyata untuk menentukan baik tidaknya hasil pekerjaannya, (4) senang bekerja sendiri dan bersaing untuk mengungguli orang lain, (5) mampu menangguhkan pemuasan keinginannya demi masa depan yang lebih baik, (6) tidak tergugah untuk sekadar mendapat keuntungan, ia akan mencari apabila halhal tersebut merupakan lambing prestasi, suatu ukuran keberhasilan. Pendapat tersebut menambah indikator dalam menentukan motivasi belajar siswa. Siswa yang memiliki motivasi belajar bahasa Indonesia adalah yang tekun menghadapi tugas pada pembelajaran bahasa Indonesia, mampu menangguhkan pemuasan keinginannya demi masa depan yang lebih baik, menunjukkan minat terhadap bermacam-macam masalah yang dihadapi pada saat pembelajaran bahasa Indonesia, suka tantangan pada pembelajaran bahasa Indonesia, menyukai kritik terhadap pekerjaannya, senang bekerja sendiri dan bersaing untuk mengungguli orang lain, senang mencari dan memecahkan soal-soal dalam pembelajaran bahasa Indonesia, dan tidak tergugah untuk sekadar mendapatkan keuntungan, ia akan mencari apabila hal-hal tersebut merupakan lambang prestasi, suatu ukuran keberhasilan.
C. Kerangka Berpikir Berdasarkan deskripsi teori yang telah dipaparkan di atas, maka dapat disusun kerangka berpikir sebagai berikut: 1. Keefektifan Metode Pembelajaran Kotak Kata terhadap Kemampuan Membaca Cerita Anak Siswa Pembelajaran
Kotak
Kata
merupakan
pendekatan
pembelajaran
kooperatif. Pendekatan kooperatif merupakan pendekatan yang berorientasi pada kerja sama antarsiswa. Metode Kotak Kata merupakan alat bantu pembelajaran
31
yang berisi kumpulan huruf acak. Kumpulan huruf acak tersebut mengandung konsep-konsep yang harus ditemukan oleh siswa yang berorientasi pada tujuan pembelajaran dan dapat meningkatkan kreatifitas dan kemandirian siswa. Metode ini membuat siswa memadukan kemampuan menjawab pertanyaan dengan kejelian dalam mencocokkan jawaban pada kotak-kotak jawaban. Penelitian ini secara khusus meneliti tentang membaca cerita anak yang menggunakan metode pembelajaran Kotak Kata. Membaca cerita anak sendiri mempunyai memiliki dua aspek penting yaitu sastra dan bahasa. Membaca cerita anak memiliki tujuan untuk memaknai sebuah cerita. Kemampuan membaca cerita anak adalah kesanggupan seseorang dalam proses pemahaman, penafsiran, dan pemaknaan yang melibatkan interaksi antara pembaca dan teks, bersifat komunikatif dengan tujuan untuk memperoleh informasi, mencakup isi, dan memahami makna sebuah cerita tentang anak dan lingkungannya yang mempengaruhi anak. Kemampuan anak dalam memhami suatu bacaan dapat diuji dengan menjawab pertanyaan lalu mencari jawabannya ke dalam kotak-kotak jawaban. Semakin tinggi pemahaman siswa terhadap suatu bacaan, maka kotakkotak jawaban akan terisi dengan tepat. Penggunaan metode ini juga akan membuat siswa merasa tertantang untuk menjawab dan akan membuat mereka tertarik pada pembelajaran cerita anak. Dari uraian di atas maka diduga kemampuan membaca cerita anak siswa yang diajar dengan metode Kotak Kata lebih baik daripada siswa yang diajar dengan metode kontekstual. 2. Keefektifan Motivasi Belajar Bahasa Indonesia dengan Kemampuan Membaca Cerita Anak Berdasarkan
kajian
teori
tentang
kemampuan
membaca
pemahaman di depan, bahwa kemampuan ini akan semakin baik jika siswa itu mempunyai motivasi belajar bahasa Indonesia yang baik. Adanya motivasi belajar yang tinggi mendorong siswa tertarik untuk mengikuti pembelajaran membaca. Dalam membaca dibutuhkan kecerdasan dan kepandaian untuk memahami isi bacaan pembelajaran
membaca
yang dibaca. Siswa akan menikmati seluruh aktivitas cerita
anak
sebagai
aktivitas
kegiatan
yang
menyenangkan, bukan tugas tuntutan guru. Semakin tinggi motivasi belajar
32
bahasa Indonesia akan semakin baik kemampuan membaca pemahamannya khususnya cerita anak. Sebaliknya, dorongan rendah menyebabkan siswa kurang antusias dalam mengikutu pembelajaran. Kegiatan membaca cerita anak dirasa berat dan membosankan. Motivasi yang rendah ini mempengaruhi aktivitas membaca yang pada akhirnya mempengaruhi kompetensi membacanya. Oleh karena itu, diduga siswa yang memiliki motivasi belajar rendah akan memiliki kemampuan membaca yang rendah pula, sedangkan siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi, kemampuan membacanya tinggi pula. Diduga siswa yang mempunyai motivasi belajar bahasa Indonesia tinggi lebih baik daripada siswa yang mempunyai motivasi belajar bahasa Indonesia rendah. 3. Interaksi antara Metode Pembelajaran dan Motivasi Belajar Bahasa Indonesia terhadap Kemampuan Membaca Cerita Anak Kemampuan membaca pemahaman dipengaruhi banyak faktor yang saling terkait dan saling mempengaruhi satu sama lainnya. Beberapa faktor tersebut seperti sikap, minat, motivasi dan kebiasaan, di samping tentu saja kesempatan untuk terus menerus menggunakan strategi membaca yang tepat merupakan faktor yang amat menentukan keberhasilan seseorang dalam memahami suatu bacaan. Pemahaman terhadap salah satu elemen dasar dalam belajar membaca, khususnya pemahaman aspek-aspek teknis dan kendala-kendalanya memang tidak menjamin bahwa sebuah program pengajaran bahasa akan berhasil dengan baik. Tetapi dengan sedikit memahami aspek-aspek teknis semacam itu, para siswa dan khususnya para guru, diharapkan akan lebih mampu menyempurnakan
proses belajar-mengajar yang akan membawa mereka ke
tujuan akhir yang diharapkan. Indikator yang tidaknya pembelajaran
membaca
di
mengindikasikan tercapai atau
sekolah
mencakup: (1) menjawab
pertanyaan berkaitan dengan isi teks, (2) menyatakan pendapat atau perasaan berkaitan dengan isi teks, (3) menyimpulkan isi teks dalam satu kalimat. Tetapi dalam suatu kegiatan membaca dengan metode pembelajaran yang efektif tanpa adanya motivasi belajar bahasa Indonesia yang tinggi,
33
siswa dalam memahami bacaan akan terhambat. Siswa akan merasa kesulitan dalam membaca ketika mereka mempunyai motivasi belajar bahasa Indonesia yang rendah. Diduga terdapat interaksi antara strategi membaca dan kebiasaan membaca terhadap kemampuan membaca cerita anak. Berdasarkan uraian di atas, diduga terdapar pengaruh interaksi antara metode pembelajaran dan motivasi belajar terhadap kemampuan membaca cerita anak. Berikut ini adalah gambar alur berpikir penelitian:
Siswa
Metode Pembelajaran
Kotak Kata
Motivasi Belajar Bahasa Indonesia
Kontekstual
Tinggi
Kemampuan Membaca Cerita Anak Gambar 1: Alur berpikir
D. Hipotesis Penelitian Berdasarkan deskripsi teori dan kerangka berpikir yang telah dijabarkan di atas, maka diajukan hipotesis peneitian sebagai berikut. 1. Kemampuan membaca cerita anak siswa yang diajar dengan menggunakan metode kotak kata lebih baik daripada siswa yang diajar dengan menggunakan metode kontekstual. 2. Kemampuan membaca cerita anak siswa yang memiliki motivasi belajar bahasa Indonesia tinggi lebih baik daripada siswa yang memiliki motivasi belajar bahasa Indonesia rendah 3. Terdapat interaksi antara penggunaan metode pembelajaran dan motivasi belajar bahasa Indonesia dengan kemampuan membaca cerita anak.
Rendah
6