6
BAB II LANDASAN TEORI
A. Auditing 1. Definisi Auditing Kata “auditing” diambil dari bahasa latin yaitu “Audit” yang berarti mendengar dan dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah pemeriksaan akuntan. Ada beberapa pengertian auditing atau pemeriksaan akuntansi menurut beberapa pakar diantaranya adalah : Pengertiaan auditing menurut Arens dan Loebbecke yang diterjemahkan oleh Amir Abadi Jusuf (2003:1) yaitu : Auditing adalah proses pengumpulan dan pengevaluasian bahan bukti tentang informasi yang diukur mengenai suatu entitas ekonomi yang dilakukan seorang yang kompeten dan independen untuk dapat menentukan dan melaporkan kesesuaian informasi yang dimaksud dengan kriteria-kriteria yang ditetapkan. Pengertian auditing menurut Alvin A. Arens, Randal J. Elder dan Mark S.Beasley (2003:15) yaitu : Auditing adalah pengumpulan serta pengevaluasian bukti-bukti atas informasi untuk menentukan dan melaporkan tingkat kesesuaian informasi tersebut dengan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan.
7
Dari pengertian auditing menurut Arens dan Lobbecke, dan Alvin A. Arens, Randal J. Elder dan Mark S.Beasley maka dapat diketahui bahwa auditing merupakan proses pengumpulan dan pengevaluasian bahan bukti mengenai pernyataan-pernyataan suatu kegiatan ekonomi dan melaporkan kesesuaian antara penyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan kepada pemakai yang berkepentingan. Auditing mempunyai tujuan untuk memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keungan seperti yang diungkapkan oleh Sukrisno Agus (2004:3), yaitu : Auditing adalah suatu pemeriksaan yang dilakukan secara kritis dan sistematis, oleh pihak yang independen, terhadap laporan keuangan yang telah disusun oleh manajemen, beserta catatan-catatan pembuktian dan bukti-bukti pendukungnya, dengan tujuan untuk dapat memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut. Dari berbagai macam definisi yang telah dikemukakan oleh para ahli diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa auditing adalah suatu kegiatan untuk meyakini kewajaran laporan keuangan suatu perusahaan oleh pihak yang berkompeten dan independen, sehingga dapat dijadikan sumber informasi yang bermanfaat bagi pengguna laporan keuangan tersebut.
8
2. Jenis-jenis Audit Jenis audit ada tiga macam, yaitu: a. Audit laporan keuangan (Financial Statement Audits) Audit laporan keuangan bertujuan untuk menentukan apakah laporan keuangan telah disajikan wajar, sesuai dengan kriteria-kriteria tertentu. Kriteria tertentu tersebut adalah prinsip akuntansi yang berlaku umum. Prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia dimuat dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI). Asersi dari audit laporan keuangan ini merupakan informasi yang ada dalam laporan keuangan. Bukti audit yang tersedia dapat berupa dokumen, catatan dan bahan bukti yang berasal dari sumber-sumber diluar perusahaan. Hasil akhir sulit dalam bentuk opini auditor yang dihasilkan oleh akuntan publik sebagai auditor independen. Adapun penggunaan laporan keuangan yang dihasilakn oleh akuntan independen tersebut biasanya untuk pihak ekstern perusahaan, seperti analisis keuangan, kreditor, supplier, investor, dan pemerintah.
b. Audit Operasional (Operational Audits) Audit operasional menekankan pada ekonomisasi, fesiensi, dan efektivitas yang mencakup beranekaragam aktivitas yang luas, yang berhubungan dengan performa masa yang akan datang. Audit operasional dapat diminta oleh manajemen atau pihak ketiga. Hasil audit operasional dilaporkan kepada pihak yang meminta audit tersebut.
9
c. Audit Kepatuhan (Complience Audits) Audit kepatuhan bertujuan untuk menentukan apakah audit telah mengikuti kebijakan, prosedur, dan peraturan yang telah ditentukan pihak yang otoritasnya lebih tinggi. Audit kepatuhan dapat berupa penentuan apakah pelaksanaan akuntansi telah mengikuti prosedur yang telah ditetapkan oleh perusahaan peninjauan upah untuk menentukan kesesuaian peraturan UMR, pemeriksaan surat perjanjian dengan kreditur, dan memastikan perusahaan memenuhi ketentuan hukum yang berlaku. Hasil audit kepatuhan berupa pernyataan temuan atau tingkat kepatuhan, hasil audit kepatuhan dilaporkan kepada pemberi tugas, yaitu pimpinan organisasi, karena pimpinan organisasi yang paling berkepentingan atas dipatuhinya prosedur dan peraturan yang telah ditetapkan. Sehingga auditor yang diperkerjakan untuk melakukan tugas itu adalah Auditor Intern, Auditor Pemerintahan, dan Akuntan Publik.
Menurut Sukrisno Agoes (2004:10) : a. Ditinjau dari luasnya pemeriksaan, audit bisa dibedakan atas : 1) General Audits (Pemeriksaan Umum) Suatu pemeriksaan umum atas laporan keuangan yang dilakukan oleh KAP independen dengan tujuan untuk bisa memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan secara keseluruhan. Pemeriksaan tersebut harus dilakukan sesuai dengan Standar Profesional/ Akuntan Publik dan memperhatikan Kode Etik Akuntan Indonesia, Aturan Etika
10
KAP yang telah disahkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia serta Standar Pengendalian Mutu.
2) Special Audits (Pemeriksaan Khusus) Suatu pemeriksaan terbatas (sesuai dengan permintaan audience) yang dilakukan oleh KAP yang independen, dan pada akhir pemeriksaanya auditor tidak perlu memberikan pendapat terhadap kewajaran laporan keuangan secara keseluruhan. Pendapat yang diberikan terbatas pada pos atau masalah tertentu yang diperiksa, karena prosedur audit yang dilakukan juga tertentu. Misalnya KAP diminta untuk memeriksa apakah terdapat kecurangan terhadap penagihan piutang usaha di perusahaan.
b. Ditinjau dari jenis pemeriksaan, audit bisa dibedakan atas : 1) Manajemen Audit (Operational Audit) Suatu pemeriksaan terhadap kegiatan operasi suatu perusahaan, termasuk kebijakan akuntansi dan kebijakan operasional yang telah ditentukan oleh manajemen, untuk mengetahui apakah kegiatan operasi tersebut sudah dilakukan secara efektif, efesien dan ekonomis.
2) Pemeriksaan Ketaatan (Compliance Audit) Pemeriksaan
yang
dilakukan
untuk
mengetahui
apakah
perusahaan sudah mentaati peraturan-peraturan dan kebijakan-kebijakan
11
yang berlaku, baik yang ditetapkan oleh pihak intern perusahaan (manajemen, dewan komisaris) maupun pihak ekstern (Pemerintah, Bapepam, Bank Indonesia, Direktorat Jendral Pajak, dan lain-lain). Pemeriksaan bisa dilakukan baik oleh KAP maupun Bagian Internal Audit.
3) Pemeriksaan Internal (Internal Audit) Pemeriksaan yang dilakukan oleh bagian internal audit perusahaan, baik terhadap laporan keuangan dan catatan akuntansi perusahaan maupun ketaatan terhadap kebijakan manajemen yang telah ditentukan.
4) Computer Audit Pemeriksaan oleh KAP terhadap perusahaan yang memproses data akuntansinya dengan menggunakan EDP (Electronic Data Processing) sistem.
3. Standar Auditing Di Indonesia, badan yang berwenang menyusun standar auditing adalah Dewan Standar Profesioanl Akuntan Publik, Kompartemen Akuntan Publik dan Ikatan Akuntan Indonesia. Tidak setiap orang yang dapat melakukan audit terhadap laporan keuangan dapat menyatakan bahwa auditnya dilakukan berdasarkan standar auditing. Standar auditing mengatur syarat-syarat diri auditor, pekerjaan lapangan, dan penyusutan laporan audit.
12
Menurut Webster’s New International Dictionary, standar adalah sesuatu yang ditentukan oleh pengguna sebagai suatu peraturan untuk mengukur kualitas, berat, kas, nilai, atau mutu. Jika diterapkan dalam auditing, standar auditing adalah suatu ukuran pelaksanaan tindakan yang merupakan pedoman umum bagi auditor dalam melaksanakan audit. Standar auditing mengandung pula pengertian sebagai suatu ukuran baku atas mutu jasa auditing. Standar auditing terdiri dari sepuluh standar dan semua Pernyataan Standar Auditing (PSA) yang berlaku. Sepuluh standar auditing dibagi menjadi tiga kelompok: (1) standar umum, (2) standar pekerjaan lapangan, dan (3) standar pelapor. Standar umum mengatur syarat-syarat diri auditor, standar pekerjaan lapangan mengatur mutu pelaksanaan auditing, dan standar pelaporan memberikan panduan bagi auditor dalam mengkomunikasikan hasil auditnya melalui laporan audit kepada pemakai informasi keuangan Standar Auditing yang telah ditetapkan dan disahkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia dalam Pernyataan Standar Auditing (PSA) No. 01 (SA Seksi 150) Standar Auditing disajikan berikut ini.
a. Standar Umum 1) Audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis cukup sebagai auditor. 2) Dalam semua hal yang berhubungan dengan perikatan, independesi dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor.
13
3) Dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama.
b. Standar Pekerjaan Lapangan 1) Pekerjaan harus direncanakan sebaik-baiknya dan jika digunakan asisten harus disupervisi dengan semestinya. 2) Pemahaman memadai atas pengendalian intern harus diperoleh untuk merencanakan audit dan menentukan sifat, saat, dan lingkup pengujian yang akan dilakukan. 3) Bukti audit kompeten yang cukup harus diperoleh melalui inspeksi, pengamatan, permintaan keterangan, dan konfirmasi sebagai dasar memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan yang diaudit.
c. Standar Pelaporan 1) Laporan auditor harus menyatakan apakah laporan keuangan telah disusun dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. 2) Laporan auditor harus menunjukkan atau menyatakan jika ada, ketidakkonsistenan penerapan prinsip akuntansi dalam penyusunan laporan keuangan periode berjalan dibandingkan dengan penerapan prinsip akuntansi tersebut dalam periode sebelumnya. 3) Pengungkapan informatif dalam laporan keuangan harus dipandang memadai, kecuali lain dalam laporan auditor.
14
4) Laporan auditor harus memuat suatu pernyataan pendapat mengenai laporan secara keseluruhan atau suatu asersi bahwa pernyataan demikian tidak dapat diberikan. Jika pendapat keseluruhan tidak dapat diberikan, maka alasannya harus dinyatakan.
B. Profesionalisme Akuntan Publik 1. Pengertian Profesionalisme Masyarakat memberikan arti khusus pada istilah profesional. Mereka diharapkan bertindak pada tingkat yang lebih tinggi dari pada kebanyakan orang. Sebagai contoh jika akuntan publik melakukan tindak kriminal, sebagian besar masyarakat lebih merasa kecewa dari pada seandainya terjadi pada orang-orang yang tidak memiliki predikat profesional. Istilah profesional menurut Arens dan Loebbecke terjemahan Amir Abadi Jusuf (2003:78) Berarti tanggung jawab untuk berperilaku yang lebih dari sekedar memenuhi tanggung jawab yang dibebankan kepadanya dan lebih dari sekedar memenuhi undang-undang dan peraturan masyarakat terhadap klien, dan terhadap rekan seprofesi termasuk untuk berperilaku yang terhormat, sekalipun ini berarti pengorbanan pribadi.
15
2. Konsep Profesionalisme Menurut Hall R (Syahrir; 2002 : 7) terdapat lima dimensi profesionalisme, yaitu: a). Pengabdian pada profesi Pengabdian
pada
profesi
dicerminkan
dari
dedikasi
profesionalisme dengan menggunakan pengetahuan dan kecakapan yang dimilki. Keteguhan untuk tetap melaksanakan pekerjaan meskipun imbalan ekstrinsik kurang. Sikap ini adalah ekspresi dari pencurahan diri yang total terhadap pekerjaan. Pekerjaan didefinisikan sebagai tujuan, bukan hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan. Totalitas ini sudah menjadi komitmen pribadi, sehingga kompensasi utama yang diharapkan dari pekerjaan adalah kepuasan rohani, baru kemudian materi.
b). Kewajiban sosial Kewajiban sosial adalah pandangan tentang pentingnya peranan profesi dan manfaat yang diperoleh baik masyarakat maupun profesional karena adanya pekerjaan tersebut.
c). Kemandirian Kemandirian dimaksudkan sebagai suatu pandangan seseorang yang profesional harus mampu membuat keputusan sendiri tanpa tekanan dari pihak lain (pemerintah, klien, dan bukan anggota profesi). Setiap ada
16
campur tangan dari luar dianggap sebagai hambatan kemandirian secara profesional.
d). Keyakinan terhadap peraturan profesi Keyakinan terhadap profesi adalah suatu keyakinan bahwa yang paling berwenang menilai pekerjaan profesional adalah rekan sesama profesi, bukan orang luar yang tidak mempunyai kompetensi dalam bidang ilmu dan pekerjaan mereka.
e). Hubungan dengan sesama profesi Hubungan dengan sesama profesi adalah menggunakan ikatan profesi sebagai acuan, termasuk didalamnya organisasi formal dan kelompok kolega informal sebagai ide utama dalam pekerjaan. Melalui ikatan profesi ini para profesional membangun kesadaran profesional.
3. Cara Akuntan Publik Mewujudkan Perilaku Profesional IAI berwenang menetapkan standar (yang merupakan pedoman) dan aturan yang harus dipatuhi oleh seluruh anggota termasuk setiap kantor akuntan publik lain yang beroperasi sebagai auditor independen. Persyaratan-persyaratan ini dirumuskan oleh komite-komite yang dibentuk oleh IAI. Ada empat bidang utama dimana IAI berwenang menetapkan standar dan memuat aturan yang bisa meningkatkan perilaku profesional seorang auditor.
17
a). Standar auditing. Komite Standar Profesional Akuntan Publik (Komite SPAP) IAI bertanggung jawab untuk menerbitkan standar auditing. Standar ini disebut sebagai Pernyataan Standar Auditing atau PSA (sebelumnya disebut sebagai NPA dan PNPA). Di Amerika Serikat pernyataan ini disebut sebagai SAS (Statement on Auditing Standard) yang dikeluarkan oleh Auditing Standard Boards (ASB). Pada tanggal 10 November 1993 dan 1 Agustus 1994 pengurus pusat IAI telah mensahkan sejumlah pernyataan standar auditing (sebelumnya
disebut
sebagai
norma
pemeriksaan
akuntan-NPA).
Penyempurnaan ini terutama sekali bersumber pada SAS dengan penyesuaian terhadap kondisi Indonesia dan standar auditing internasional.
b). Standar kompilasi dan penelaahan laporan keuangan. Komite SPAP IAI dan Compilation and Review Standards Committee bertanggung jawab untuk mengeluarkan pernyataan mengenai pertanggungjawaban akuntan publik sehubungan dengan laporan keuangan suatu perusahaan yang tidak diaudit. Pernyataan ini di Amerika Serikat disebut Statements on Standards for Accounting and Review Services (SSARS) dan di Indonesia disebut Pernyataan Standard Jasa Akuntansi dan Review (PSAR). PSAR 1 disahkan pada 1 Agustus 1994 menggantikan pernyataan NPA sebelumnya mengenai hal yang sama. Bidang ini mencakup dua jenis jasa, pertama, untuk situasi dimana akuntan membantu kliennya menyusun laporan keuangan tanpa memberikan jaminan mengenai
18
isinya (jasa kompilasi). Kedua, untuk situasi dimana akuntan melakukan prosedur-prosedur pengajuan pertanyaan dan analitis tertentu, sehinggga dapat memberikan suatu keyakinan terbatas bahwa tidak diperlukan perubahan apapun terhadap laporan keuangan bersangkutan (jasa review).
c). Standar atestasi lainnya. Tahun 1986, AICPA menerbitkan Statement on Standards for Atestation Engagements. IAI sendiri mengeluarkan beberapa pernyataan standar atestasi pada 1 Agustus 1994 pernyataan ini mempunyai fungsi ganda, pertama, sebagai kerangka yang harus diikuti oleh badan penetapan standar yang ada dalam IAI untuk mengembangkan standar yang terinci mengenai jenis jasa atestasi yang spesifik. Kedua, sebagai kerangka pedoman bagi para praktisi bila tidak terdapat atau belum ada standar spesifik seperti itu. Komite Kode Etik IAI di Indonesia dan Committee on Professional Ethics di Amerika Serikat menetapkan ketentuan perilaku yang harus dipenuhi oleh seorang akuntan publik yang meliputi standar teknis. Standar auditing, standar atestasi, serta standar jasa akuntansi dan review dijadikan satu menjadi Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP).
d). Kode Etik Profesi Komite kode etik IAI di Indonesia dan Committee on Professional Ethics di AS menetapkan ketentuan perilaku yang harus dipenuhi oleh seorang akuntan publik yang meliputi standar teknis, standar auditing,
19
standar atestasi, serta standar jasa akuntansi, dan review dijadikan satu menjadi Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP).
C. Materialitas 1. Pengertian Materialitas Pengertian materialitas menurut Alvin A. Arens, Randal J. Elder dan Mark S. Beasley (2003:339) : Besarnya nilai penghapusan atau kesalahan penyajian informasi keuangan yang dalam hubungannya dengan sejumlah situasi yang melingkupinya, membuat hal itu memiliki kemungkinan besar bahwa pertimbangan yang dibuat oleh seorang yang mengandalkan informasi tersebut akan berubah atau terpengaruh oleh penghapusan atau kesalahan penyajian tersebut. Sedangkan dalam Standar Profesionalisme Akuntan Publik (SPAP) SA Seksi 312 materialitas didefinisikan sebagai : Besarnya informasi akuntansi yang apabila terjadi penghilangan atau salah saji, dilihat dari keadaan, yang melingkupinya mungkin dapat mengubah/mempengaruhi
pertimbangan
orang
yang
meletakan
kepercayaan atau informasi tersebut. Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa materialitas merupakan suatu jumlah atau besarnya salah saji dalam informasi akuntansi yang dalam kaitannya dengan kondisi yang bersangkutan, yang mungkin dapat membuat pertimbangan keputusan
20
pihak yang berkepentingan berubah atau terpengaruh oleh salah saji tersebut. Definisi tersebut mengakui pertimbangan materialitas dilakukan dengan mempertimbangkan keadaan yang melingkupi dan perlu melibatkan baik pertimbangan kuantitatif maupun kualitatif. Pertimbangan materialitas diperlukan dalam menentukan jumlah bukti yang harus dikumpulkan atau kecukupan bukti, bagaimana bukti itu akan diperoleh dan kriteria yang digunakan untuk mengevaluasi bukti tersebut. Kecukupan bukti audit digunakan sebagai dasar yang layak untuk menyatakan pendapat auditor atas laporan keuangan yang diaudit, seperti tersebut dalam standar pekerjaan lapangan ketiga. Menurut Boynton, Johnson dan Kell (2003 : 73) pendapat auditor atas laporan keuangan dapat berbentuk : (1) Wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion), yang menyatakan bahwa laporan keuangan menyajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, posisi keuangan, hasil usaha, arus kas entitas sesuai dengan prinsip akuntansi yang diterima umum. (2) Wajar dengan pengecualian (qualified opinion) untuk hal yang mendapat pengecualian tersebut telah disajikan sesuai prinsip akuntansi berterima umum. Pendapat ini diberikan pada saat lingkup audit dibatasi atau terdapat penyimpangan material pada hal yang mendapat pengecualian dari prinsip akuntansi yang berterima umum. (3) Pendapat tidak wajar (adverse opinion) diberikan bila laporan keuangan tidak disajikan sesuai dengan prinsip akuntansi berterima umum secara
21
signifikan sehingga tidak menggambarkan kondisi perusahaan secara sesungguhnya. (4) Tidak berpendapat (disclaimer opinion) bila terjadi pembatasan yang luar biasa terhadap lingkup audit sehingga auditor tidak mendapatkan bukti yang cukup untuk memberikan pendapatnya. Dalam memberikan pendapatnya, auditor tidak memeriksa semua transaksi yang terjadi dalam tahun yang diaudit dan tidak dapat menentukan apakah semua transaksi yang terjadi telah dicatat, diringkas, digolongkan, dan dikompilasi secara semestinya ke dalam laporan keuangan. Dengan memperhatikan faktor waktu dan ekonomi, auditor memusatkan perhatiannya pada item-item yang penting dan menghindari pemborosan untuk hal-hal yang tidak perlu. Pertimbangan materialitas berpengaruh terhadap pendapat auditor karena berhubungan dengan tanggung jawab auditor atas pernyataan kewajaran penyajian laporan keuangan yang diperiksanya. Standar yang tinggi dalam praktik akuntansi akan memecahkan masalah yang berkaitan dengan konsep materialitas. Pedoman materialitas yang beralasan, yang diyakini oleh sebagian besar anggota profesi akuntan adalah standar yang berkaitan dengan informasi laporan keuangan bagi para pemakai, akuntan harus menentukan berdasarkan pertimbangannya tentang besarnya sesuatu/informasi yang dikatakan material. Peran konsep materialitas ini adalah untuk mempengaruhi kualitas dan kuantitas informasi akuntansi yang diperlukan oleh auditor dalam
22
membuat keputusan yang berkaitan dengan bukti. Konsep materialitas menyatakan bahwa tidak semua informasi keuangan diperlukan atau tidak semua informasi seharusnya dikomunikasikan. Dalam laporan akuntansi, hanya informasi yang material yang seharusnya disajikan. Informasi yang tidak material sebaiknya diabaikan dan dihilangkan. Materialitas seharusnya tidak hanya dikaitkan dengan keputusan investor, baik yang hanya berdasarkan tipe informasi tertentu maupun metoda informasi yang disajikan. Beberapa penelitian tentang pertimbangan tingkat materialitas berfokus pada penemuan tentang jumlah konsisten yang ada diantara para profesional dalam membuat pertimbangan tingkat materialitas. Ada juga penelitian yang dilakukan, yang berkaitan dengan materialitas memeriksa pengaruh atau variabel (ukuran suatu item seperti prosentase pendapatan) dalam pertimbangan materialitas.
2. Menentukan Pertimbangan Awal Tingkat Materialitas Idealnya, auditor menentukan pada awal audit jumlah gabungan dari salah saji. Dalam laporan keuangan yang akan dipandang material. Hal ini disebut pertimbangan awal tingkat materialitas karena menggunakan unsur pertimbangan profesional, dan masih dapat berubah jika sepanjang audit yang akan dilakukan ditemukan perkembangan yang baru. Pertimbangan awal tingkat materialitas adalah jumlah maksimum salah saji dalam laporan keuangan yang menurut pendapat auditor, tidak mempengaruhi pengambilan keputusan dari pemakai. Penentuan jumlah ini
23
adalah salah satu keputusan terpenting yang diambil oleh auditor, yang memerlukan pertimbangan profesional yang memadai. Tujuan penetapan materialitas ini adalah untuk membantu auditor merencanakan pengumpulan bahan bukti yang cukup. Jika auditor menetapkan jumlah yang rendah maka lebih banyak bahan bukti yang harus dikumpulkan dari pada jumlah yang tinggi, begitu juga sebaliknya. Seringkali mengubah jumlah materialitas dalam pertimbangan awal ini selama audit. Jika ini dilakukan, jumlah yang baru tadi disebut pertimbangan yang direvisi mengenai materilitas. Sebab-sebabnya antara lain perubahan faktor-faktor yang digunakan untuk menetapkannya, atau auditor berpendapat jumlah dalam penetapan awal tersebut terlalu kecil atau besar.
D. Hasil Penelitian Terdahulu Penelitian yang sedang dilakukan oleh penulis mengacu pada penelitian sebelumnya, dimana penelitian sebelumnya ini mengambil judul “Pengaruh Profesionalisme Auditor Terhadap Tingkat Materealistas dalam Pemeriksaan Laporan Keuangan” Hendro Wahyudi dan Aida Ainul Mardiyah (2006) dan “Analisis
Hubungan
Antara
Profesionalisme
Auditor
dengan
tingkat
Materialitas Dalam Audit Laporan Keuangan” Erik H. , (2009). Dalam penelitian Hendro Wahyudi dan Aida Ainul Mardiyah menilai apakah ada hubungan profesionalisme auditor terhadap tingkat materialitas dalam pemeriksaan laporan keuangan. Kesimpulan dari penelitian Hendro Wahyudi
24
dan Aida Ainul antara lain : Hasil penelitian dari analisa regresi berganda menunjukkan ada 4 variabel yang secara signifikan berpengaruh terhadap pertimbangan tingkat materialitas
yaitu:
variabel pengabdian pada profesi
(X1), kemandirian (X3 ), keyakinan terhadap peraturan profesi (X4 ), dan hubungan dengan rekan seprofesi (X5). Sedangkan variabel kewajiban sosial (X2) tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap
tingkat materialitas.
Sedangkan penelitian Erik Hermanto menilai apakah ada hubungan antara profesionalisme auditor dengan tingkat materialitas dalam audit laporan keuangan. Kesimpulan dari penelitian Erik Hermanto antara lain : Tingkat profesionalisme auditor mempunyai hubungan yang signifikan dengan tingkat pertimbangan materialitas. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semaikin tinggi tingkat profesionalisme auditor, maka akan semakin baik pada tingkat pertimbangan materialitas.