BAB II LANDASAN TEORI
2.1
Sistem Produksi dan Operasi
Sistem produksi adalah suatu aktivitas untuk mengolah atau mengatur penggunaan sumber daya (resources) yang ada dalam proses penciptaan barang-barang atau jasajasa dengan tujuan dapat memperbaiki tingkat efektivitas dan efisiensi dari proses produksi.(Purnomo, 2004. 1:25) Pengaruh Lingkungan
INPUTS
Bahan
Tenaga kerja
Modal
Manajemen
OUTPUTS Proses
Barang
Konversi
Jasa
Umpan Balik
Gambar 2.1 Aliran sistem produksi dan operasi
7
8
2.1.1
Pengertian Proses Produksi
Proses produksi merupakan bagian yang penting dalam kegiatan operasional perusahaan, karena proses produksi yang efektif dan efisien dapat menunjang kelancaran operasional perusahaan dalam mencapai tujuan. Menurut Sofyan Assauri dalam bukunya “Manajemen Produksi dan Operasi” menyatakan bahwa, proses produksi dapat diartikan sebagai cara atau metode dan teknik untuk menciptakan atau menambah kegunaan suatu barang atau jasa dengan menggunakan sumber-sumber (tenaga kerja, mesin, bahan dan dana) yang ada.(3:21)
2.1.2
Jenis-jenis proses produksi
Menurut Sofyan Assauri dalam bukunya “Manajemen Produksi dan Operasi” menerangkan bahwa proses produksi dapat dibedakan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu : 1. Proses produksi terus menerus (continous processes) Proses produksi ini digunakan untuk hasil yang besar (secara relatif unitnya kecil). 2. Proses produksi terputus-putus (uncontinous processes) Didalam bukunya yang berjudul “Petunjuk Kerja Las”, Sri Widharto menjelaskan bahwa terdapat berbagai macam proses manufacturing yang biasa dijumpai, akan tetapi untuk proses pengolahan logam (metal working) secara umum dapat dibedakan dalam : 1. Metallurgical Transformation (Proses transformasi metalurgis) Yaitu rangkaian proses khusus untuk memperbaiki sifat-sifat logam sehingga kemampuan dan daya gunanya dapat ditingkatkan. 2. Casting Process (Proses pengecoran) Casting Process (Proses pengecoran) yaitu suatu proses membentuk benda kerja dengan cara menuangkan logam cair kedalam sebuah rongga cetak (mold cavity) dan kemudian dibiarkan membeku didalamnya.
9
3. Metal Forming (Proses pembentukan logam) Proses ini merupakan proses pembentukan logam dengan cara ditekan (pressure) sampai menjadi bentuk yang dikehendaki, proses pembentukan dapat dilakukan secara panas (hot working) atau secara dingin (cold working). 4. Metal Cutting (Proses pemotongan logam) Merupakan suatu proses pemotongan atau perautan logam dengan menggunakan sebuah pahat potong (cutting tool). 5. Welding (proses pengelasan) Proses welding yaitu suatu proses penyambungan dua logam dengan jalan memanaskan atau menekan kedua logam tersebut satu sama lain. Dalam proses ini akan terjadi fusi diantara logam-logam yang akan disambung, yang mana hal tersebut bisa diperoleh dengan jalan menambahkan logam pengisi (filter metal) atau menekan dua logam induk (parent metal) tersebut kuat-kuat. Las titik (tack welding) atau las kunci adalah jenis pengelasan yang sangat kecil ukurannya dengan waktu yang sangat singkat. Pengelasan dapat dikelompokan menjadi beberapa jenis, antara lain : a) Las berdasarkan cara pengerjaannya Yang termasuk kedalam jenis ini adalah pengelasan datar (flat welding), pengelasan horizontal (horizontal welding), Pengelasan vertical (vertical welding) dan pengelasan diatas kepala (overhead). b) Las berdasarkan panas tenaga listrik Yang termasuk kedalam las jenis ini adalah (1) las busur nyala listrik terlindung (shielded metal arc welding/SMAW), yaitu pengelasan dengan mempergunakan busur nyala listrik sebagai sumber panas pencair logam; (2) Las busur terbenam (submerged arc welding/SAW), yaitu pengelasan dengan busur nyala listrik yang dilaksanakan secara otomatis atau setengah otomatis dan digunakan untuk jalur las yang besar dan panjang (sambungan las datar pada tangki penimbun); (3) pengelasan busur terhenti (electroslag welding/ESW), yaitu pengelasan yang sejenis dengan submerged arc welding/SAW namun bedanya demikian busur nyala mencairkan flux, busur terhenti dan proses pencairan flux berjalan terus
10
dan menjadi bahan pengantar arus listrik (konduktif), sehingga elektroda terhubungkan dengan benda yang dilas melalui konduktor tersebut; (4) las baut pondasi
(stud
welding),
yaitu
pengelasan
yang
dilaksanakan
dengan
menggunakan selang las khusus yang berguna untuk menyambung bagian suatu konstruksi baja dengan bagian yang terdapat didalam beton (baut angker, shear connector,
dan
lain-lain);
(5)
las
tahanan
listrik
(Electric
resistant
welding/ERW), yaitu pengelasan dengan tahanan besar, panas yang dihasilkan oleh aliran listrik menjadi sedemikian tingginya sehingga mencairkan logam yang akan di las; dan (6) las pemboman elektron (Electron Beam Welding/EBW), yaitu suatu pengelasan yang pencairan disebabkan oleh panas yang dihasilkan dari suatu berkas loncatan elektron yang dikonsentrasikan atau dimanfaatkan dan diarahkan pada benda yang dilas. c) Las berdasarkan panas dari kombinasi busur nyala listrik dan gas kekal (inert) Yang termasuk ke dalam las jenis ini adalah (1) Pengelasan dengan gas (Gas Metal Arc Welding/GMAW), yaitu; (2) Gas Tungsten Arc Welding (GTAW) atau lazim disebut TIG (Tungsten Inert Gas), yaitu pengelasan dengan memakai busur nyala yang dihasilkan oleh elektroda tetap terbuat dari tungsten; (3) las listrik dengan plasma (Plasma Arc Welding/PAW), yaitu las sejenis GTAW hanya bahan gas pelindungnya berbeda, yakni campuran antara argon, nistrogen (zat lemas) dan hydrogen (zat cair) yang lazim disebut plasma; (4) Electro Gas Welding/EGW, yaitu jenis las MIG yang otomatis dan hanya dipakai untuk posisi pengelasan vertikal saja. d) Las berdasarkan atas panas dari pembakaran campuran gas Yang termasuk kedalam jenis las
ini hanya satu yaitu Oxy Acetylene
Welding/OAW, yaitu sejenis las yang biasa disebut dengan las karbit atau las autogen. e) Las berdasarkan ledakan dan reaksi eksotermis Yang termasuk ke dalam las jenis ini adalah (1) explotion weld atau CAD weld, yaitu las yang sumber panasnya didapat dengan meledakan obat mesiu yang dipasang dalam suatu mold atau cetakan pada bagian yang disambung sehingga
11
terjadi pencairan bahan pada bagian tersebut dan mengisi cetakan yang tersedia; (2) Termit Welding/TW, yaitu las yang mempergunakan proses reaksi kimia isotermis yang menghasilkan suhu yang sangat tinggi untuk melebur metal yang dilas. 6. Joining and Assembly (proses penyambungan dan perakitan) Yaitu proses dimana berbagai macam komponen, part atau sub-assemblies akan digabungkan satu dengan yang lainnya untuk membentuk sebuah produk rakitan yang lengkap. 7. Finishing (proses penyelesaian akhir) Proses ini merupakan langkah-langkah kegiatan untuk memperoleh penampang benda kerja yang lebih halus, melindungi permukaan benda kerja ataupun juga untuk hal-hal yang lebih bersifat memperbaiki aspek estetikanya.
2.2
Plant Layout
Secara umum plant layout (tata letak pabrik) merupakan pengaturan fasilitas fisik perusahan yang terdiri dari susunan departemen, pusat kerja dan peralatan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan peralatan, bahan, orang dan energi.
2.2. 1 Tujuan dan Manfaat Tata Letak Tujuan tata letak secara umum (Purnomo, 2004. 4:149) adalah : 1. Mempermudah jalannya proses. 2. Meminimumkan pemindahan material. 3. Memelihara fleksibilatas. 4. Memelihara perputaran barang setengah jadi. 5. Menghemat pemakaian ruang bangunan. 6. Memberikan kemudahan, keselamatan, dan kenyamanan bagi karyawan dalam melakukan pekerjaannnya.
12
Manfaat dari tata letak fasilitas, antara lain : 1. Meningkatkan jumlah produksi, yaitu akan memberikan kelancaran proses produksi dan akhirnya akan memberikan hasil yang lebih besar dengan biaya yang sama atau bahkan lebih sedikit. 2. Mengurangi waktu tunggu, yaitu akan memberikan keseimbangan beban dan waktu antara satu mesin dengan mesin lain. 3. Mengurangi proses pemindahan bahan, yaitu akan memberikan jarak pemindahan bahan secara seminimum mungkin pada saat proses produksi sedang berlangsung. 4. Penghematan penggunaan ruangan, yaitu akan memberikan manfaat penggunaan ruangan yang efisien atau mengurangi pemborosan ruangan. 5. Memperlancar waktu proses, yaitu waktu yang diperlukan bahan baku untuk perpindahan dari mesin satu ke mesin lain dapat diperoleh sehingga waktu produksi dapat dipersingkat. 6. Meningkatkan kepuasan dan keselamatan kerja. Agar dapat menciptakan suasana ruang dan lingkungan kerja yang nyaman, aman, tertib dan rapih sehingga kepuasan dan keselamatan kerja dapat lebih ditingkatkan. Kondisi ini akan meningkatkan kinerja yang lebih baik. 7. Mengurangi kesimpangsiuran. Perpindahan bahan secara teratur dan selalu bergerak akan mengurangi kesimpangsiuran dan kemacetan dalam beraktivitas.
2.2. 2 Tipe Tata Letak Fasilitas Produksi Dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Teknik Industri”, Hari Purnomo menyebutkan bahwa secara garis besar ada 4 (empat) tipe tata letak pabrik (4:150), yaitu : 1. Tata letak berdasarkan proses (process layout) Pada tata letak jenis ini mesin-mesin dengan fungsi yang sama dikelompokkan pada lokasi yang sama. Process layout dilakukan bila volume produksi kecil, dan terutama untuk jenis produk yang tidak standar, biasanya berdasarkan order.
13
Kondisi ini biasa disebut “job shop”. Contoh Process layout, misalnya mesin bubut, mesin las, mesin gerinda dan sebagainya disatukan kelompoknya.
Gambar 2.2 Process Layout
2. Tata letak berdasarkan produk (product layout) Pada tata letak jenis ini, mesin-mesin ditempatkan sesuai dengan urutan proses pembuatan
produk.
Pada
umumnya
product
layout
digunakan
untuk
memproduksi produk dalam jumlah besar dan terstandarisasi atau proses produksi kontinyu.
Gambar 2.3 Product Layout
14
3. Tata letak berdasarkan lokasi material tetap (fixed product layout) Tata letak yang berposisi tetap ditunjukan bahwa tenaga kerja, peralatan atau mesin dan material yang menuju lokasi tetap dan kemudian dikerjakan pada lokasi tersebut sampai menjadi produk akhir. Tata letak ini biasanya digunakan untuk proses perakitan, memproduksi barang yang relatif berat dan memproduksi barang yang besar sehingga tidak mungkin dilakukan pemindahan dari satu tempat ke tempat lainnya, seperti pesawat terbang, kereta api, dan lain-lain.
Gambar 2.4 Fixed Product Layout
4. Tata letak kombinasi (Group Layout) Pada tata letak ini, produk dikelompokan kedalam famili-famili produk dan kemudian diproses sesuai dengan famili-famili tersebut. Mengelompokan produk kedalam famili-famili biasanya pada kesamaan urutan proses, berdasarkan kesamaan peralatan yang digunakan. Famili-famili produk terbentuk yang sesuai dengan kemiripan atribut, kemudian diproses dalm keompok-kelompok mesin.
15
Gambar 2.5 Group Layout 2.3
Peta Kerja
Peta kerja adalah suatu alat yang menggambarkan kegiatan kerja secara sistematis dan jelas (Purnomo,2004. 2:37). Dengan peta kerja ini kita bisa melihat semua langkah atau kejadian yang dialami oleh suatu benda kerja dari mulai masuk proses sampai menjadi produk, kemudian menggambarkan semua langkah yang dialaminya.
2.3. 1 Lambang peta kerja Pada tahun 1947, American Society of Mechanical Engineering (ASME) membuat standar lambang peta kerja yang terdiri dari 5 (lima) lambang. Lambang yang di buat oleh American Society of Mechanical Engineering (ASME) merupakan modifikasi dari lambang yang digunakan oleh Gilbert. Lambang dari American Society of Mechanical Engineering (ASME) inilah yang akan digunakan dalam pembahasan selanjutnya. Lambang-lambang tersebut dapat diuraikan sebagai berikut : Simbol
Arti simbol
Keterangan Suatu kegiatan operasi terjadi apabila benda kerja
Operasi
mengalami perubahan, baik secara fisik maupun kimiawi,
mengambil
informasi
maupun
memberikan informasi pada suatu kejadian juga termasuk operasi.
16
Simbol
Arti simbol
Keterangan Suatu kegiatan pemeriksaan terjadi apabila benda
Pemeriksaan/Inspeksi kerja atau peralatan mengalami pemeriksaan baik untuk segi kualitas maupun kuantitas. Menandakan
gerak
pekerja,
bahan
atau
perlengkapan dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Suatu transportasi terjadi apabila suatu Transportasi
objek bergerak dari tempat yang satu ke tempat yang lain terkecuali apabila pergerakan itu merupakan bagian dari operasi atau disebabkan oleh petugas pada tempat bekerja sewaktu suatu operasi atau pemeriksaan sedang berlangsung. Menandakan terhentinya urutan peristiwa atau kejadian
apabila
pekerja/perlengkapan tidak
mengalami kegiatan apa-apa kecuali menunggu( Menunggu/delay
biasanya sebentar). Misalnya, pekerja menunggu antara dua operasi yang berurutan, atau tiap objek yang dikesampingkan untuk sementara tanpa pencatatan sampai objek itu sendiri diperlukan kembali.
Menandakan suatu penyimpanan yang diawasi, bahan diterima kedalam atau dikeluarkan dari Penyimpanan
penyimpanan berdasarkan suatu kuasa, atau barang ditahan untuk maksud pengecekan.
Selain kelima lambang diatas, kita dapat menggunakan lambang lain apabila merasa perlu untuk mencatat suatu aktifitas yang memang terjadi selama proses berlangsung dan tidak terungkapkan oleh lambang-lambang tadi. Lambang tersebut adalah :
17
Simbol
Arti simbol
Keterangan Suatu aktifitas gabungan antara proses operasi
Aktivitas Gabungan
dengan
inspeksi
atau
pemeriksaan
yang
dilakukan secara bersamaan atau dilakukan pada suatu tempat kerja.
2.3. 2 Peta Proses Operasi dan Peta Aliran Proses Peta proses operasi atau operation process chart (OPC) merupakan suatu diagram yang menunjukan urutan-urutan dari operasi, pemeriksaan, transportasi, menunggu dan penyimpanan yang terjadi selama proses berlangsung. (Purnomo, 2004. 2:38). Purnomo Hari dalam bukunya yang berjudul „Pengantar Teknik Industri”, menyebutkan bahwa kegunaan peta aliran proses adalah : 1. Untuk mengetahui aliran bahan mulai masuk proses sampai aktivitas berakhir 2. Untuk mengetahui jumlah kegiatan yang dialami bahan selama proses berlangsung. 3. Sebagai alat untuk melakukan perbaikan proses atau metode kerja 4. Memberikan informasi masalah waktu penyelesaian suatu proses. Prinsip peta operasi dapat digambarkan pada gambar berikut ini : Arah material yang masuk Mt Bagian
Mt
Mt
Materrial yang beri MT
Bagian
dari
dari
bagian
bagian
yang
yang
dirakit
dirakit
W
O-N
M
Produk utama
W
I-N
Utama perubahan dalam
M
proses
Mt
Gambar 2.6 Prinsip pembuatan peta proses operasi
18
Keterangan gambar : W
: Waktu yang ddibutuhkan untuk suatu operasi
O–N
: Nomor urut untuk suatu kegiatan
I–N
: Nomor urut untuk kegiatan pemeriksaan
M
:Menunjukan mesin/tempat dimana kegiatan tersebut dilaksanakan
Peta aliran proses mempunyai beberapa kegunaan secara umum, antara lain adalah : 1. Dapat digunakan untuk mengetahui aliran bahan atau aktivitas orang mulai dari awal masuk dalam suatu proses atau prosedur sampai aktivitas terakhir 2. Dapat memberikan informasi mengenai waktu penyelesaian suatu proses atau prosedur 3. Dapat digunakan untuk mengetahui jumlah kegiatan yang dialami bahan atau dilakukan oleh orang selama proses atau prosedur berlangsung khusus untuk peta yang hanya menggambarkan aliran yang dialami oleh suatu komponen atau satu orang.
2.4
Studi Kerja
Studi kerja adalah suatu aktivitas yang ditujukan untuk mempelajari prinsip-prinsip dan teknik-teknik mendapatkan rancangan sistem dan tata kerja yang paling efektif dan efisien (Wignjosoebroto, 2003). Secara umum, studi kerja adalah penelahaan secara sistematik terhadap pekerjaan, dengan maksud untuk : 1. Mengembangkan sistem dan metode kerja yang lebih baik 2. Membakukan sistem dan metode kerja yang sudah baik 3. Menetapkan waktu baku untuk pekerjaan tersebut 4. Membantu melatih pekerja dengan berbagai pekerjaan yang telah diperbaiki Dasar unsur pokok studi kerja adalah : 1. Perancangan metode kerja (metodhe design), dimaksudkan untuk menetapkan tata cara kerja atau penyederhanaan pekerjaan dan mengusulkan cara yang lebih baik.
19
2. Pengukuran kerja (work measurement), ditujukan untuk menetapkan waktu penyelesaian suatu pekerjaan secara pantas oleh pekerja yang normal dengan metode kerja yang sudah dirancang dengan baik. Perancangan Metode Kerja Untuk menyederhanakan pekerjaan dan metode kerja yang lebih ekonomis
Studi Kerja
Pengukuran Kerja Untuk menetapkan beberapa waktu yang dibutuhkan dalam menyelesaikan pekerjaan
Peningkatan Produktivitas
Gambar 2.7 Studi Kerja
2.4.1
Perancangan Metode Kerja
A.
Telaah metode kerja
Yaitu kegiatan pencatatan secara sistematis dan pemeriksaan secara seksama mengenai cara-cara yang berlaku atau diusulkan untuk melaksanakan kerja (Wignjosoebroto, 2003). Aktivitas telaah metode kerja perlu dilakukan apabila diketahui dengan metode kerja yang lama akan dijumpai kondisi-kondisi kerja yang kurang layak, seperti : 1.
Adanya kemacetan-kemacetan (bottle necks) dalam pelaksanaan penyelesaian jadwal kerja.
20
2.
Adanya target-target kerja yang tidak bisa dipenuhi dan tidak sesuai dengan perencanaan yang dibuat (baik menyangkut kuantitas maupun kualitas hasil kerja).
3.
Adanya kecelakaan kerja yang sering dijumpai dan ketidaknyamanan kerja yang diakibatkan lingkungan kerja yang tidak ergonomis.
2.4.2
Pengukuran Kerja
Pengukuran kerja atau pengukuran waktu kerja (time study) adalah suatu aktivitas untuk menentukan waktu yang dibutuhkan oleh seorang operator (yang memiliki skill rata-rata dan terlatih baik) dalam melaksanakan sebuah kegiatan kerja dalam kondisi dan tempo yang normal (Wignjosoebroto, 2003.5:130). Pada dasarnya studi waktu bertujuan untuk menentukan waktu baku (standard time). Waktu standard adalah waktu yang diperlukan seorang karyawan normal untuk menyelesaikan satu unit pekerjaan ditambah cadangan-cadangan waktu yang diperlukan sehingga karyawan tersebut dapat melaksanakan tugas dengan baik. Secara historis dalam menentukan waktu baku terdapat dua pendekatan yaitu pendekatan dari bawah ke atas (bottom-up) dan pendekatan dari atas ke bawah (topdown). Waktu yang terdapat dalam penentuan waktu baku (standard time), yaitu : 1.
Waktu normal (normal time), yaitu waktu yang diperlukan untuk seorang operator yang terlatih dan memiliki keterampilan rata-rata untuk melaksanakan suatu aktivitas dibawah kondisi dan tempo kerja normal.
2.
Tempo kerja normal (normal pace), yaitu tempo pekerja atau performansi kerja yang ditunjukan oleh seorang operator yang memiliki keterampilan rata-rata, terlatih baik dan dengan kesadaran tinggi mau bekerja secara normal (tidak terlalu cepat atau terlalu lambat) selama 8 jam/hari (satu shift kerja).
3.
Waktu pengamatan (actual time), yaitu waktu pengamatan yang diperoleh dari hasil pengamatan dan pengukuran waktu yang diperlukan seorang operator untuk menyelesaikan sebuah aktivitas atau elemen pekerjaan.
4.
Kelonggaran waktu (allowance time), yaitu merupakan sejumlah waktu yang harus ditambahkan dalam waktu normal (normal time) untuk mengantisipasi
21
terhadap kebutuhan-kebutuhan waktu guna melepaskan lelah (fatique), kebutuhan-kebutuhan yang bersifat pribadi (personal needs) dan kondisi-kondisi menunggu atau menganggur baik yang bisa dihindarkan ataupun tidak bisa dihindarkan (avoidable or unavoidable delays).
Secara umum teknik pengukuran waktu kerja dapat dibedakan menjadi 2, yaitu : 1.
Pengukuran waktu kerja dengan metode pengukuran langsung (Direct Time Study) Yang termasuk ke dalam metode pengukuran waktu kerja langsung adalah : a) Stop-Watch Time Study Metode ini dikenal juga sebagai metode direct stop-watch time stuyi, yaitu merupakan teknik pengukuran kerja dengan menggunakan stop watch sebagai alat pengukur waktu yang ditunjukan dalam penyelesaian suatu aktivitas yang diamati (actual time) (Wignjosoebroto, 2003).. Waktu yang berhasil diukur dan dicatat kemudian dimodifikasikan dengan mempertimbangkan tempo kerja operator dan menambahkannya dengan allowances. Metode ini baik sekali diaplikasikan untuk pekerjaan yang singkat dan berulang-ulang (repetitive). Secara sistematis langkah pengukuran waktu kerja dengan jam henti dapat dilihat pada gambar.
22
Langkah persiapan -Pilih dan definisikan pekerjaan yang akan diatur dan akan diterapkan waktu stadarnya. -Informasikan maksud dan tujuan pengukuran pada supervisor / pekerja -Pilih operator dan catat semua data yang berkaitan dengan sistem operasi kerja yang akan diukur waktunya.
Elemental Breakdown Bagi siklus kegiatan yang berlansung kedalam elementelement kegiatan sesuai dengan aturan yang ada
Pengamatan Dan Pengukuran -Laksanakan
pengamatan
dan
pengukuran
waktu
sejumlah N pengamatan untuk sejumlah siklus element kegiatan -Tetapkan performance rating dan kegiatan yang ditunjukan operator.
N’=N+n Cek Keseragaman Dan Kecukupan Data -Keseragaman data Common sense ( subjektif ) Batas control Buang data ekstrim -Kecukupan data.
Tidak
N’<=N Ya Waktu normal = waktu observasi rata2 x performance rating
Waktu standar = waktu normal x (100% (100%-% allowance)) Output standar = 1 / waktu standar
Gambar 2.8 Langkah Stop Watch Time Study
23
Pada pengukuran aktivitas waktu pekerjaan diurai menjadi elemen-elemen kerja. Terdapat tiga aturan yang harus diikuti untuk membagi suatu proses operasi kerja kedalam elemen-elemen kerja yaitu sebagai berikut : 1) Elemen-elemen kerja dibuat sedetail dan sependek mungkin akan tetapi masih mudah untuk diukur waktunya dengan teliti. 2) Handling time seperti loading dan unloading time harus dipisahkan dari machining time. 3) Elemen-elemen kerja yang konstan harus dipisahkan dengan elemen-elemen kerja yang variable. Untuk
menetapkan
jumlah
pengamatan
dapat
dilakukan
dengan
menggunakan persamaan berikut : k 2 2 20 s N x x N x
2
Dengan : k = Tingkat keyakinan (99%≈3 ; 95%≈2) s = Derajat ketelitian N = Jumlah pengamatan yang sudah dilakukan N‟ = Jumlah pengamatan yang seharusnya dilakukan Jika N‟ ≤ N, data dianggap cukup, jika N‟ > N data tidak cukup (kurang) dan perlu dilakukan penambahan data. Tingkat ketelitian menunjukan penyimpangan maksimum hasil pengukuran dari waktu penyelesaian sebenarnya. Sedangkan tingkat keyakinan menunjukan besarnya keyakinan pengukur akan ketelitian data waktu yang telah diamati dan dikumpulkan. Pengaruh tingkat ketelitian dan keyakinan adalah bahwa semakin tinggi tingkat ketelitian dan semakin besar tingkat keyakinan, semakin banyak pengukuran yang diperlukan. Selain kecukupan data juga perlu dilakukan mengenai keseragaman data, yaitu untuk memastikan bahwa data yang terkumpul berasal dari sistem yang sama. Keseragaman data dapat dilihat melalui peta kontrol
(control chart).
24
Adapun rumus yang digunakan dalam pengujian keseragaman data untuk stop watch adalah sebagai berikut :
BKA = X + k BKA = X - k
( x x)
2
N 1
Dengan : BKA = Batas kontrol atas BKB = Batas control bawah X
= Nilai rata-rata
= Standar deviasi
k
= Tingkat keyakinan
Jika data masuk dalam range antara BKA dan BKB, maka data dikatakan seragam.
b) Work Sampling Work sampling atau metode sampling kerja adalah suatu aktivitas pengukuran kerja untuk mengestimasikan proporsi waktu yang hilang (idle/delay) selama siklus kerja berlangsung atau untuk melihat proporsi kegiatan tidak produktif yang terjadi (ratio delay study) (Wignjosoebroto, 2003). Pengamatan dilaksanakan secara random selama siklus kerja berlangsung untuk beberapa saat tertentu.
2.
Pengukuran waktu kerja dengan metode tidak langsung (Indirect Time Study)
Indirect Time Study merupakan kebalikan dari direct time study, yaitu pengamatan yang dilakukan secara tidak langsung, tidak langsung disini adalah kegiatan pengamatan atau pengukuran untuk memperoleh data pengamatan (waktu atau prosentase idle time) tidak dilaksanakan secara langsung ditempat kegiatan yang ingin diukur (Wignjosoebroto, 2003).
25
Jenis metode Indirect Time Study yaitu : a)
Time Study Standard Yaitu suatu metode yang di terapkan terhadap suatu elemen kerja yang mempunyai aktivitas berulang, pada hal tersebut tidak perlu dilakukan time study secara mendetail untuk setiap aktivitas yang harus dilaksanakan; melainkan cukup dilakukan time study secara detail sekali dan kemudian data mengenai elemen-elemen tersebut dicatat, dihitung dan disimpna dalam standar data file. Kemudian dilain keesempatan bilamana dijumpai suatu kegiatan lain tetapi memiliki unsur-unsur elemen aktivitas yang sama dengan yang distandarkan tersebut maka tinggal mengambil dan mengaplikasikannya langsung dari data yang dimiliki. (Wignjosoebroto, 2003).
b)
Predeterminal Time System Predeterminal time system pada prinsipnya hampir sama dengan time study standard, dimana dalam hal ini nilai-nilai waktu diperoleh dari tabel yang tercatat sebelumnya (Wignjosoebroto, 2003).
2.5 Line Balancing (keseimbangan lintasan) Dalam lingkungan perusahaan bertipe repetitive manufacturing dengan produksi massal, peranan perencanaan produksi sangat penting, terutama dalam penugasan kerja pada lintas perakitan (assembly line). Pengaturan dan perencanaan yang tidak tepat mengakibatkan setiap stasiun kerja di lintas perakitan mempunyai kecepatan produksi yang berbeda. Akibat selanjutnya adalah terjadi penumpukan material diantara stasiun kerja yang tidak berimbang kecepatan produksinya. Lini perakitan dapat didefinisikan sebagai sekelompok orang dan atau mesin yang melakukan tugas-tugas sekuensial dalam merakit suatu produk (Purnomo, 2004.3:118). Lini perakitan merupakan lini produksi dimana material bergerak secara kontinyu dengan rata-rata laju kedatangan material berdistribusi uniform melewati stasiun kerja yang mengerjakan perakitan. Secara sederhana, lini perakitan dapat digambarkan sebagai berikut :
26
SK1
SK3
Input material
Final Assembly Material Handling Tool SK2
SK4
Gambar 2.9 Gambar lini perakitan
Pada lini perakitan, secara garis besar, ada dua tujuan yang harus dicapai, yaitu : 1. Menyeimbangkan stasiun kerja, 2. Menjaga lini perakitan beroperasi secara kontinyu.
2.5.1 Pengertian dan Keuntungan Line Balancing (keseimbangan lintasan) Line Balancing (keseimbangan lintasan) adalah upaya untuk meminimumkan ketidakseimbangan diantara mesin-mesin atau personil untuk mendapatkan waktu yang sama disetiap stasiun kerja sesuai dengan kecepatan produksi yang diinginkan. (Purnomo, 2004.3:119). Secara teknis keseimbangan lintasan dilakukan dengan jalan mendistribusikan setiap elemen kerja ke stasiun kerja dengan acuan waktu siklus atau cycle time(CT). Keuntunngan yang dapat diperoleh dari balancing process, antara lain : 1. Pengurangan aktivitas material handling 2. Pembagian tugas secara merata sehingga kongesti (kemacetan) dapat dihindarkan 3. Memacu operator untuk selalu bekerja dengan target-target tertentu yang harus dicapai.
2.5.2 Terminologi Lintasan a. Elemen kerja , adalah pekerjaan yang harus dilakukan dalam suatu kegiatan perakitan. b. Stasiun kerja, adalah lokasi-lokasi tempat elemen kerja dikerjakan.
27
c. Waktu siklus atau cycle time (CT), adalah waktu yang diperlukan untuk membuat satu unit produk pada satu stasiun kerja. d. Waktu stasiun kerja atau Station Time (ST), adalah waktu yang dibutuhkan oleh sebuah stasiun kerja untuk mengerjakan semua elemen kerja yang didistribusikan pada stasiun kerja tersebut e. Waktu operasi, adalah waktu standar untuk menyelesaikan suatu operasi. f. Waktu menganggur (idle time), yaitu selisih atau perbedaan antara cycle time (CT) dengan Station Time (ST), atau CT dikurangi ST. Delay time merupakan waktu menganggur yang terjadi setiap stasiun kerja.
n Idle Time = n.Ws-∑Wi i=1
Keterangan : n
= jumlah stasiun kerja
Ws = Waktu stasiun kerja terbesar Wi = Waktu sebenarnya pada stasiun kerja g. Keseimbangan waktu senggang (balanced delay), merupakan ukuran dari ketidakefisienan lintasan yang dihasilkan dari waktu menggganggur yang sebenarnya yang disebabkan karena pengalokasian yang kurang sempurna diantara stasiun-stasiun kerja. Rumus yang digunakan untuk menentukan balanced delay lini perakitan adalah sebagai berikut. n.C - ∑ ti D=
x 100% (n.ti)
Keterangan : D = Balanced Delay (%) n
= Jumlah stasiun kerja
28
C
= Waktu siklus terbesar dalam stasiun kerja
∑ ti = Jumlah semua waktu operasi ti
= Waktu operasi
Usaha penyeimbangan yang baik adalah usaha yang dapat menurunkan balanced delay lini perakitan. h. Precedence diagram, adalah diagram yang menggambarkan urutan dan keterkaitan antar elemen kerja perakitan sebuah produk. Pendistribusian elemen kerja yang dilakukan untuk setiap stasiun kerja harus memperhatikan precedence diagram. Untuk mengukur performance sebelum dan sesudah dilakukan proses keseimbangan lintasan dilakukan kriteria-kriteria berikut ini. 1. Efisiensi Stasiun Kerja Efisiensi stasiun kerja merupakan rasio antara waktu operasi tiap stasiun kerja (Wi) dan waktu operasi stasiun kerja terbesar (Ws). Efisiensi stasiun kerja dapat dirumuskan sebagai berikut :
Efisiensi Stasiun Kerja = Wi x 100% Ws
2. Efisiensi Lintasan Produksi (Line Efficiency) Line Efficiency merupakan rasio dari total waktu stasiun kerja dibagi dengan siklus dikalikan jumlah stasiun kerja. Line Efficiency dapat dirumuskan sebagai berikut :
k ∑ STi i=1 Line Efficiency =
x 100% (K)(CT)
29
Keterangan : STi
= Waktu stasiun kerja dari ke-i
CT
= Waktu siklus
K
= jumlah stasiun kerja
Keseimbangan lintasan yang baik adalah jika efisiensi setelah diseimbangkan lebih besar dari efisiensi sebelum diseimbangkan. 3. Indeks penghalusan (Smoothes Index/SI) Indeks penghalusan merupakan indeks yang menunjukan kelancaran relative dari penyeimbangan lini perakitan tertentu. Formula yang digunakan untuk menentukan besarnya SI adalah sebagai berikut : k SI = √∑(STmax - STi) i=1 Keterangan : STmax = Maksimum waktu di stasiun STi
= Waktu stasiun di stasiun kerja i
2.5.3 Metode Penyeimbang Lini Perakitan Terdapat beberapa metode penyeimbang lini perakitan, antara lain sebagai berikut : 1. Metode Kilbrigde-Wester Heuristic 2. Metode helgeson – Birnie 3. Metode Moodie Young 4. Metode Immediate Updater Fisrt-Fit Heuristic 5. Metode Rank and Assign Heuristic
2.5.4 Langkah Pemecahan Masalah Line Balancing Langkah-langkah yang dapat ditempuh dalam pemecahan line balancing adalah dengan : 1. Mengidentifikasi tugas-tugas individual atau aktivitas yang akan dilakukan
30
2. Menentukan waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan setiap tugas 3. Menetapkan precedence constraints, jika ada yang berkaitan dengan tugas 4. Menentukan output dari assembly line yang dibutuhkan 5. Menentukan waktu total yang tersedia untuk memproduksi output 6. Menghitung cycle time yang dibutuhkan 7. Memberikan tugas-tugas kepada pekerja dan atau mesin 8. Menetapkan minimum banyaknya stasiun kerja (work station) yang dibutuhkan untuk memproduksi output yang diinginkan 9. Mencari terobosan-terobosan untuk perbaikan proses terus-menerus (continous improvement)
2.5.5 Penggunaan Metode Line balancing dalam penentuan efisiensi waktu produksi Setiap perusahaan baik perusahaan besar maupun kecil. Produksi baik mesin-mesin, buruh dan fasilitas lainnya harus disediakan pada tempatnya masing-masing agar dapat bekerja dengan baik. Lay out berhubungan dengan masalah penyusuna mesin dan peralatan produksi dari pabrik. Persoalannya adalah bagaimana kita menyusun mesin-mesin dan peralatan produksi seefektif mungkin. Oleh karena itu dengan diterapkannya metode line balancing diharapkan penentuan efisiensi waktu yang digunakan perusahaan dapat terpenuhi pada pelaksanaannya, sehingga pengurangan waktu produksi yang tidak bermanfaat dapat dihindarkan dan proses produksi dapat berjalan lancar.
2.6 Kaizen 2.6.1
Konsep dan Cara Pandang Kaizen
Dalam bahasa Jepang, kaizen berarti perubahan berkesinambungan. Secara lebih luas kaizen diartikan sebagai perbaikan berkesinambungan, yang melibatkan semua orang, baik manajemen puncak, manajer maupun karyawan.(Imai, 1998. 1:1) Tujuan dari Kaizen adalah untuk meningkatkan kualitas, menurunkan cost, meningkatkan safety, memperpendek lead time, dan meningkatkan produktivitas.
31
Unsur terpenting dalam kaizen adalah kesadaran akan muda, mura dan muri serta mau memperbaikinya. Aspek kunci dari kaizen ini adalah sebuah proses improvement yang selalu berjalan, dan tiada akhir. Kaizen merupakan sebuah metode yang halus dan bertahap, berlawanan dengan Re-engineering yang terbiasa untuk membuang segala sesuatu dan memulai dengan yang baru. Konsep kaizen ini mengindikasikan bahwa manusia harus terus menerus melakukan perbaikan. Konsep kaizen memiliki konsep yang sama dengan PDCA Cycle (Siklus Plan, Do, Check, Action). Sedangkan 3 (tiga) kunci utama dalam membangun kaizen, adalah : 1. Menghilangkan muda, mura, muri 2. 5R (Ringkas, Rapi, Resik, Rawat, Rajin) 3. Standarisasi
2.6.2
3M (Muda, Mura, Muri)
A. Definisi Muda, Mura dan Muri Menurut Liker, 2006 dalam bukunya “The Toyota Way”, pengertian dari muda, mura dan muri adalah sebagai berikut : 1. Muda artinya tidak memberi nilai tambah. Ini adalah aktivitas yang tidak berguna yang memperpanjang lead time, menimbulkan gerakan tambahan untuk memperoleh komponen atau peralatan, menciptakan kelebihan persediaan, atau berakibat pada berbagai jenis waktu tunggu. Dengan kata lain Muda di manufaktur adalah unsur produksi yang hanya meningkatkan nilai cost. 2. Mura artinya memberi beban berlebih kepada orang atau peralatan. Dari sudut pandang tertentu, hal ini merupakan ujung yang bersebrangan dari spektrum muda. Muri adalah memanfaatkan mesin atau orang diluar batas kemampuannya. Membebani orang secara berlebih menimbulkan masalah dalam keselamatan kerja dan kualitas. Membebani peralatan secara berlebih menyebabkan kerusakan dan produk cacat. Contoh : dari sisi manusia ketidakteraturan loading pekerjaan dan dari sisi mesin ketidakteraturan cara pakai mesin.
32
3. Muri artinya ketidakseimbangan. Di sistem produksi yang normal, kadangkadang terdapat lebih banyak pekerjaan dibanding dengan yang dapat ditangani oleh orang atau mesin yang ada, dan pada saat yang lain hanya ada sedikit pekerjaan. Ketidakseimbangan diakibatkan oleh jadwal produksi yang tidak teratur atau volume produksi yang berfluktuasi karena masalah internal, seperti kerusakan mesin atau kekurangan komponen atau produk cacat. Muda merupakan akibat dari Mura. Ketidakseimbangan tingkat produksi berarti perlu memiliki peralatan, material dan orang untuk melakukan tingkat produksi yang tertinggi, bahkan bila permintaan rata-ratanya jauh lebih rendah dari itu.
Hubungan 3M (Muda, Mura, Muri) dapat dilihat pada gambar dibawah ini :
Muda Pemborosan
Mura Memberi beban berlebih
Muri Ketidak seimbangan
Gambar 2.10 Hubungan 3M (Muda, Mura, Muri)
B. 8 Muda (Hatchi Muda) Menurut Liker 2006,dalam bukunya yang berjudul “The Toyota Way” menjelaskan bahwa muda dalam kaizen atau Toyota Production System (TPS) dikategorikan menjadi 8 muda (Hatchi Muda), yaitu : 1. Muda produksi berlebih atau over production. Memproduksi barang-barang yang belum dipesan, akan menimbulkan pemborosan seperti kelebihan tenaga kerja
33
dan kelebihan tempat penyimpanan dan biaya transportasi yang meningkat karena adanya persediaan berlebih. 2. Muda gerakan atau gerakan yang tidak perlu, yaitu gerakan manusia yang tidak ada nilai tambah. Setiap gerakan karyawan yang mubazir saat melakukan pekerjaannya, seperti mencari, meraih, atau menumpuk komponen, alat dan lain sebagainya. Berjalan juga merupakan suatu pemborosan. 3. Muda menunggu (waktu). Para pekerja hanya mengamati mesin otomatis yang sedang berjalan atau berdiri menunggu langkah proses selanjutnya, dan lain sebagainya atau menganggur saja karena kehabisan material, keterlambatan proses, mesin rusak dan bottleneck (sumbatan) kapasitas. 4.
Muda transportasi atau transportasi yang tidak perlu. Membawa barang dalam proses (WIP) dalam jarak yang jauh, menciptakan angkutan tidak efisien karena alat yang buruk dan rancangan produk yang buruk, menyebabkan gerakan yang tidak perlu dan memproduksi barang yang cacat. Pemborosan terjadi ketika membuat produk yang memiliki kualitas yang lebih tinggi daripada yang diperlukan.
5. Muda proses, yaitu memproses secara berlebih atau memproses secara keliru. Melakukan langkah yang tidak diperlukan untuk memproses komponen. Melaksanakan pemrosesan yang tidak efisien karena alat yang buruk dan rancangan produk yang buruk, menyebabkan gerakan yang tidak perlu dan memproduksi barang cacat. Pemborosan terjadi ketika membuat produk yang memiliki kualitas lebih tinggi daripada yang diperlukan. 6. Muda stock atau persediaan berlebih. Kelebihan material, barang dalam proses, atau barang jadi menyebabkan lead time yang panjang, barang kadaluwarsa, barang rusak, peningkatan biaya pengangkutan dan penyimpanan, dan keterlambatan. Persediaan berlebih juga menyembunyikan masalah seperti ketidakseimbangan produksi, keterlambatan pengiriman dari pemasok, produk cacat, mesin rusak dan waktu set up yang panjang. 7. Muda defect atau produk cacat. Memproduksi komponen cacat atau yang memerlukan perbaikan. Perbaikan atau pengerjaan ulang, scrap, memproduksi
34
barang pengganti, dan inspeksi berarti tambahan penanganan, waktu dan upaya sia-sia. 8. Muda kreativitas karyawan yang tidak dimanfaatkan. Kehilangan waktu, gagasan, keterampilan, peningkatan dan kesempatan belajar karena tidak melibatkan atau mendengarkan karyawannya.
8 (delapan) muda (hatchi muda) dapat digambarkan seperti pada gambar di bawah ini :
Gambar 2.11 8 Muda (Hatchi Muda)
2.6.3
Aktivitas Kaizen
Dalam melakukan kaizen, ada beberapa tahapan aktivitas yang biasa dilakukan yaitu : 1. Mulai dengan melakukan kaizen gerakan Kaizen gerakan merupakan bagian dari kaizen operasi. Dimana kaizen operasi terbagi menjadi 2 bagian, yaitu : 1) Kaizen gerakan, yaitu kaizen yang dilakukan dengan lebih terfokus pada gerakan-gerakan yang ada. Keuntungan dari kaizen ini adalah berbiaya
35
rendah, berdampak langsung dan beresiko rendah. Kesulitan-kesulitan dalam melakukan kaizen gerakan antara lain adalah tidak semua orang seragam cara kerjanya (kidal atau bertangan kanan), kondisi fisiknya (tinggi atau rendah), serta kemampuannya (cepat atau lambat). 2) Kaizen fasilitas, yaitu kaizen yang dilakukan dengan memfokuskan diri pada fasilitas yang ada atau digunakan. Kelemahan dari kaizen fasilitas adalah membutuhkan biaya yang relatif tinggi, memakan waktu yang lama dan membutuhkan banyak waktu untuk mengulang. Sehingga pada prinsipnya adalah biaya kaizen fasilitas akan lebih murah apabila kaizen gerakan dilakukan terlebih dahulu. 2. Letakkan part dan tools lebih dekat dengan titik penggunaan, sehingga jarak pada saat penggunaan lebih dekat. 3. Tools dan material diletakkan dekat dan didepan pekerja. 4. Pemindahan benda kerja secara horizontal, sebisa mungkin hindari pemindahan secara vertikal. 5. Hindari merubah arah pergerakan yang cepat, dan buatlah pergerakan secara bebas tanpa adanya halangan. 6. Jangan melakukan gerakan berlebih (atas-bawah, kanan-kiri) pada kaki, pinggang, kepala dan bahu. 7. Improve pada proses akhir, sehingga pekerja dapat melanjutkan proses berikutnya dengan mudah. Salah satu bentuk kaizen dalam industri adalah improvement terhadap operasi yang dilakukan dengan metode improvements in human motion. Metode tersebut menekankan bahwa waktu keseluruhan operasi dapat diturunkan sebesar 10% sampai dengan 20% dengan memenuhi tiga kondisi berikut : 1. Semua barang harus disusun dengan rapi. 2. Semua barang sebisa mungkin disusun sejajar (uniformly aligned). 3. Semua barang harus dapat diakses dengan mudah di posisi yang tepat.
36
Dalam metode improvements in human motion memiliki tiga elemen, yaitu : 1. Takt time dan line takt time Takt time menunjukan kecepatan penjualan kepada pelanggan, sedangkan dibagian produksi itu berarti waktu yang telah ditentukan untuk menyeselesaikan satu buah produk. Line takt time sendiri menunjukan waktu yang telah ditentukan untuk menyelesaikan satu produk di suatu lini. Line takt time dihitung dengan cara membagikan jumlah waktu kerja murni dengan permintaan produksi perhari seluruh produk yang melewati suatu lini.
Takt time part dapat dihitung dengan rumus berikut : Takt Time (TT) =
Waktu Kerja Murni
∑produksi permintaan customer per hari
Sedangkan Line takt time dapat dihitung dengan rumus berikut ini : Line takt time = Waktu Kerja Murni ∑permintaan per hari Tujuan bekerja berdasarkan takt time, yaitu : 1) Produksi dengan jumlah produk, jenis produk dan waktu yang diinginkan cutomer dapat dipenuhi dengan tepat. 2) Adanya irama/waktu yang fix untuk menjadi acuan kecepatan di semua proses dalam menghasilkan produk, sehingga secara produksi per hari sampai per bulan dapat dicapai sesuai dengan kebutuhan customer. Manfaat yang dapat diperoleh oleh pihak perusahaan dengan menjadikan takt time sebagai acuan pada suatu proses adalah antara lain : 1) Dengan takt time maka setiap pekerja mempunyai acuan waktu dalam menyelesaikan setiap pekerjaannya. 2) Sebagai dasar dalam menentukan jumlah kanban dan pembuatan standar kerja.
37
3) Sebagai alat kontrol, yang terukur bagi pengawas dalam mengontrol plan vs actual (mengenai volume produksi). 2. Cycle Time (CT) Cycle time (CT) merupakan waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu unit produk. Cycle time proses adalah waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan suatu proses produksi. Cycle time biasanya digunakan untuk perhitungan kapasitas mesin atau kapasitas proses produksi dalam satuan waktu tertentu. 3. Baratsuki Baratsuki diperoleh dari selisih waktu proses yang terpanjang dengan waktu proses yang terpendek. Baratsuki digunakan untuk mengidentifikasi kesetabilan kerja operator, dimana semakin tinggi nilai baratsuki artinya kesetabilan kerja operator tersebut semakin rendah.
2.6.4
Standarisasi Kerja
Standarisasi kerja adalah alat untuk membuat produk yang berkualitas berdasarkan pergerakan pekerja, yang ditata dalam urutan yang tepat tanpa muda. Tujuan dari standarized work adalah menjelaskan metode pelaksanaan produksi dalam membuat produk yang berkualitas dengan aman dan murah sekaligus berfungsi sebagai alat untuk mempertahankan hasil improvement yang telah dicapai. Selain itu, standarized work adalah langkah pertama menuju perbaikan (kaizen), dan akan selalu diubah oleh langkah perbaikan atau pengurangan man power serta jumlah produksi. Standarisasi kerja akan menghasilkan standar kerja, yaitu lembar petunjuk yang dapat berupa instruksi atau cara kerja yang wajib dilakukan oleh semua pihak yang terlibat dalam proses tersebut agar proses dan hasil kerja sesuai dengan yang diharapkan. Dalam kaizen standarisasi kerja di bagi menjadi menjadi 3 (tiga) tipe, yaitu : 1. Standarisasi kerja tipe I Yang dimaksud dengan standarisasi kerja tipe I adalah
standar kerja yang
digunakan berulang-ulang memakai tiga elemen yang digunakan di dalam proses produksi. Dimana proses kerjanya mempunya takt time dan satu model. Standar yang dipakai adalah tabel kapasitas produksi, Tabel Standarisasi Kerja
38
Kombinasi (TSKK), Tabel Standarisasi kerja (TSK) dan Working Instructions. Contoh : machining. 2. Standarisasi kerja tipe II Merupakan standarisasi kerja yang takt time-nya dapat dihitung, tetapi jenis penggabungannya banyak sehingga sulit memisahkan besarnya pekerjaan yang dilakukan (banyak model). Standar yang dipakai adalah Elemen Instruction Sheet (EIS), Tabel Standarisasi Kerja Kombinasi (TSKK), Yamazumi Chart, Tabel Standarisasi kerja (TSK) dan Working Instructions. Contoh : Assy, Painting dan welding. 3. Standarisasi kerja tipe III Yang disebut Standarisasi kerja tipe III adalah standard kerja yan dipakai di proses yang bukan pekerjaan berulang – ulang tanpa menghitung Takt Time. Sasarannya untuk mengkonfirmasi operasi keseluruhan plant dengan membuat Standarisasi Kerja baik Line Gai (Off – Line Operator) maupun pekerjaan setiap orang di dalam proses. Standar yang dipakai adalah Working Instructions, Yamazumi Chart, dan Analys Line Operation (ALO). Contoh : Logistik, beberapa pekerjaan office, dan lain-lain. Berdasarkan buku internal training Triputra Executive Kaizen System (TEKS) Dharma mengenai standarisasi kerja, terdapat 3 (tiga) unsur penting dalam standarisasi kerja yaitu : 1. Takt Time Merupakan waktu yang menentukan satu unit atau satu buah part harus dibuat dalam beberapa menit atau beberapa detik. Takt time ini merupakan waktu yang ditetapkan oleh customer untuk menarik satu buah part kepada supplier-nya.
Takt Time actual Takt Time dihitung dengan waktu kerja murni, tetapi jika tidak dapat dihindarkan aeperti untuk pengangkutan, maka ada juga Takt Time yang diset dengan waktu yang tidak fixed.
39
Cycle Time Adalah waktu yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan dengan urutan kerja yang telah ditentukan untuk proses yang ditangani operator. 2. Urutan Kerja Urutan kerja menunjukan urutan atau langkah-langkah bagaimana mengerjakan suatu pekerjaan hingga menjadi barang jadi. 3. Standard In Process Stock Standar Work In Process atau standar stok dalam proses adalah jumlah stok minimum part yang dibutuhkan atau yang selalu ada untuk melaksanakan satu proses kerja. Pra syarat dari standarized work adalah (internal training TEKS Dharma Group, 2011) : 1. Cara kerja Tahapan pertama adalah memusatkan pada gerakan manusia untuk melakukan proses produksi. 2. Perlengkapan Tahapan kedua adalah meinimalkan gangguan proses produksi akibatnya kurangnya alat bantu produksi. 3. Kualitas angguan kualitas pada proses dan variasi produk harus seminimum mungkin.
Standarisasi kerja yang digunakan dalam kaizen yaitu : a. Tabel Standar Kerja Kombinasi (TSKK) Tabel Standar Kerja Kombinasi (TSKK) merupakan alat standar kerja yang menggambarkan dan mencatat kombinasi gerakan manusia dan mesin dalam kurun waktu tertentu (biasanya satu cycle). Tujuannya adalah untuk menyelaraskan elemen kerja manusia dengan elemen kerja mesin, serta menjadi panduan kerja bagi pelaksana. TSKK dapat mempermudah pengamatan terhadap gerakan manusia dan mesin, sehingga hal-hal seperti urutan kerja yang kurang efektif atau waktu kerja yang kurang atau berlebih ditemukan.
40
Inilah kemudian yang digunakan sebagai panduan untuk melakukan kaizen. Contoh TSKK dapat dilihat pada Tabel 2.1 : Tabel 2.1 Contoh Tabel Standard Kerja Kombinasi Contoh Tabel Standar Kerja Kombinasi Tangal/bulan Nomor/nama part
17111-24060 Intake manifold
Section/bagian
Urutan pekerjaan
1
Waktu Nama pekerjaan 5"
10"
15"
20"
Vol.produksi 62.11.30
pembuatan
Tabel Standar Kerja Kombinasi
25"
30"
55"
60"
Tack time
65"
70"
75"
80"
85"
90"
2
2
Mi - 1764 Ambil work, pasang, kenakan feeder
3
25
3
DR - 2424 Ambil work, pasang, kenakan feeder
3
21
4
TP - 1101 Ambil work, pasang, kenakan feeder
3
11
5
Ukur diameter screw/ulir
5
-
6
Peletakkan finished part
2
-
2
2
2 2
2
7 8 9 10 11 12
Waktu
Total
tunggu 18``
-
12``
(Sumber : Buku Internal Training TEKS Dharma Group, 2011)
Pembuatan TSKK menggunakan beberapa simbol, diantaranya adalah simbol untuk proses kerja orang , simbol untuk proses kerja mesin, simbol untuk langkah dan simbol untuk waktu menunggu. Penjelasan tiap-tiap simbol dapat dilihat pada pada gambar 2.12 berikut :
Gambar 2.12 Simbol Tabel Standard Kerja Kombinasi (TSKK) (Sumber : Buku panduan Internal TEKS Dharma, 2011)
Jalan
30 detik
2
Ambil blank material
Kerja mesin
menit
Div M/C Kamigo
Working hour (unit 1 skala 1 detik) T.T 35" 40" 45" 50"
Kerja manual
920 piece
per-shift
95"
41
TSKK dibuat berdasarkan data cycle time operator dan waktu tiap-tiap elemen kerja dan elemen gerak yang dilakukan. Untuk itu dalam pembuatan TSKK, perlu terlebih dahulu dilakukan pengamatan terhadap pekerjaan yang dilakukan. Pengamatan ini kemudian dicatat dalam sebuah tabel yang disebut lembar pengamatan waktu (LPW) atau lembar observasi (LO). LPW atau LO merupakan tabel yang menunjukan seluruh elemen kerja yang diperlukan oleh seorang operator untuk menyelesaikan suatu proses atau pekerjaan. Suatu elemen kerja terdiri dari beberapa elemen gerak, sehingga dalam LPW/LO, masing-masing elemen kerja yang telah diamati tadi akan di-brakedown menjadi beberapa elemen gerak, untuk kemudian diambil data waktunya. Pengambilan data dalam LPW/LO dilakukan dengan menggunakan time study. Pengambilan data urutan kerja (elemen kerja) dan cycle time dilakukan minimum tiga kali (Buku Panduan Training TEKS Dharma, 2011). Contoh LPW atau LO dapat dilihat pada gambar berikut.
PIC Observer : Tgl Observasi :
LEMBAR OBSERVASI
Nama Part : Area / Line Obervasi / Proses:
PT DHARMA POLIMETAL
No
Afco / Biz. Unit :
ELEMEN KERJA ( EK )
GABUNGAN EL.KERJA
OBSERVE 1
OBSERVE 2
OBSERVE 3
OBSERVE 4
OBSERVE 5
OBSERVE 6
OBSERVE 7
OBSERVE 8
OBSERVE 9
OBSERVE 10
INDIVIDUAL
INDIVIDUAL
INDIVIDUAL
INDIVIDUAL
INDIVIDUAL
INDIVIDUAL
INDIVIDUAL
INDIVIDUAL
INDIVIDUAL
INDIVIDUAL
BARATSUKI Total
IW
NIW
Gambar 2.13 Lembar Pengamatan Waktu/Lembar Observasi (Sumber : Buku Panduan training TEKS Dharma, 2011)
Tercepat
Rata-rata
Terlama
42
Penentuan cycle time dalam LPW/LO mempunyai beberapa aturan. Dari beberapa pengamatan yang telah dilakukan, akan didapatkan beberapa nilai cycle time. Cycle time yang akan digunakan dalam TSKK adalah cycle time yang nilainya dalam modus terkecil. Tiap elemen kerja yang dilakukan dicari modus terkecil dan terbesarnya, kemudian dijumlahkan sehingga terdapat masing-masing satu nilai yang mewakili modus terkecil dan modus terbesar. Nilai tersebut kemudian dibandingkan dengan data cycle time yang telah diamati, kemudian dipilh dua angka yang paling mendekati modus-modus tersebut. Angka yang paling mendekati modus terkecil digunakan sebagai cycle time pada TSKK, sedangkan angka yang paling mendekati modus terbesar digunakan sebagai acuan dalam menghitung baratsuki. Baratsuki diperoleh dengan cara menghitung selisih antara cycle time dengan nilai yang paling mendekati modus terbesar. Cara penentuan modus adalah dengan meninjau satu digit pertama dari seluruh data. Angka yang paling sering muncul adalah data dimana modus berasal. Kemudian dilakukan peninjauan terhadap satu digit ke dua dari data dimana modus berasal. Nilai yang paling sering muncul dan lebih kecil adalah data dimana modus minimum berada, sedangkan nilai yang paling sering muncul dan lebih besar adalah data dimana modus maksimum berada. Apabila syarat ini terpenuhi, maka dilanjutkan dengan peninjauan terhadap satu digit ketiga. Namun apabila tidak ada nilai yang sama, maka untuk menentukan modus minimum dilakukan dengan cara mencari ratarata dari seluruh data, kemudian nilai-nilai yang lebih kecil dari rata-rata diambil. Nilai-nilai ini disebut nilai bawah. Langkah selanjutnya adalah menghitung rata-rata dari nilai bawah tersebut adalah menghitung rata-rata dari nilai bawah tersebut, kemudian menentukan nilai yang paling mendekati nilai rata-rata tersebut sebagai modus minimum. Langkah yang sama digunakan untuk menentukan modus maksimum, hanya saja nilai yang diambil adalah nilai yang lebih besar dari rata-rata. Nilai ini disebut nilai atas. Peninjauan terhadap satu digit ke tiga dilakukan apabila syarat pada peninjauan satu digit kedua terpenuhi. Untuk menetukan modus minimum, maka dilakukan peninjauan terhadap digit ketiga dari data dimana modus minimum berada, nilai yyang paling sering muncul ditentukan sebagai modus
43
minimum. Sedangkan modus maksimum ditentukan dengan peninjauan terhadap satu digit ketiga dari data dimana modus maksimum berada, nilai yang paling sering muncul ditentukan sebagai modus maksimum. Apabila pada peninjauan satu digit ketiga tidak ada nilai yang sama, maka yang perlu dilakukan adalah meninjau kembali satu digit kedua bersama dengan satu digit ketiga. Nilai modus maksimum dan minimum dintentukan dari nilai yang mendekati rata-rata.
b. Tabel Standar Kerja (TSK) Tabel Standard Kerja (TSK) berfungsi sebagai order pekerjaan, sama seperti TSKK yang menunjukan informasi lebih lengkap, yaitu gerakan manusia, proses, layout mesin dan alat, layout barang. Contoh TSK dapat dilihat pada tabel 2.2 berikut : Tabel 2.2 Tabel Standar Kerja (TSK)
(Sumber : Buku Panduan training TEKS Dharma, 2011)
c. Yamazumi Chart Yamazumi chart adalah sebuah stacked bar chart yang menunjukan keseimbangan beban kerja waktu siklus antara jumlah operator (biasanya dalam
44
sebuah perakitan atau sel kerja). Yamazumi chart dapat digunakan untuk satu produk atau multi produk lini perakitan (assembly line). Terdapat 4 (empat) jenis elemen kerja yang biasa digunakan dalam yamazumi chart , yaitu : 1. Pekerjaan Persiapan Pekerjaan yang sifatnya hanya timbul satu kali di awal atau di akhir kerja untuk satu unit pekerjaan, atau pekerjaan yang sifatnya hanya satu kali timbul di awal atau di akhir pekerjaan. 2. Pekerjaan Utama (Main Job) Adalah pekerjaan yang memberikan nilai tambah, yaitu pekerjaan yang dianggap sebagai sesuatu yang utama, yang memiliki peranan utama di dalam produksi. 3. Pekerjaan Tambahan (Incidental Job) Adalah pekerjaan yang tidak mempunyai nilai tambah. Pekerjaan yang timbul biasanya pada sebelum atau sesudah pekerjaan utama. 4. Pekerjaan Irregular (muda) Adalah pekerjaan yang tidak termasuk ke dalam area manapun baik itu pekerjaan persiapan, pekerjaan utama maupun pekerjaan tambahan.
Dalam Toyota Production System, pekerjaan utama biasa disebut dengan valuable work, sedangkan pekerjaan persiapan, incidental, dan irregular masuk ke dalam kategori Non valuable work. Yamazumi chart terdiri dari beberapa elemen yang ditumpuk (stacked), yaitu valuable work yang digambarkan dengan warna hijau, non valuable work digambarkan dengan warna kuning, baratsuki digambarkan dengan titik hitam dalam kotak berwarna putih, irregular work yang digambarkan dengan warna oranye, dan auto robot atau mesin digambarkan dengan warna abu-abu. Dengan demikian dapat dilakukan analisis terhadap tiap pekerjaan, sehingga dapat dilakukan kaizen.
45
Contoh yamazumi Chart dapat dilihat pada gambar 2.14
Gambar 2.14 Yamazumi Chart (Sumber : Buku Panduan training TEKS Dharma, 2011)
Melalui yamazumi chart ini dapat diketahui performansi suatu lini baik dari segi beban kerja masing-masing operasi maupun dari segi pencapaian efisiensi lini tersebut. Gambaran ini dapat mempermudah dalam analisa untuk melakukan improvement, diantaranya improvement melalui line balancing. Urutan Cara membuat yamazumi chart adalah sebagai berikut : 1. Summary gentan-i pekerjaan (TSK kerja tidak berulang) pada tiap pekerjaan (a). Gentan-i pekerjaan merupakan Interchange penggantian pekerjaan terhadap 1 buah instruksi kerja. Contoh : Ganti tools (waktu setiap 1 kali mengganti tools). 2. Kalkulasi unit working hour. 3. Disusun berdasarkan skill masing-masing operator. 4. Setiap unit pekerjaan disusun terhadap fixed working hour masing-masing. 5. Disusun
dengan
mempersempit
gap
atau
space,
dengan
benar-benar
memperhatikan trouble shouting dan waktu tunggu. 6. Setiap unit pekerjaan disusun penuh pada satu proses sesuai dengan fixed hour yang dimiliki, hal ini dilakukan agar mampu mengurangi jumlah orang.
46
d. Work Instruction (WI) Work instruction (WI) merupakan dokumen yang berisi uraian langkah demi langkah yang lebih rinci tentang suatu aktivitas dari satu unit kerja atau fungsi tertentu yang bersifat teknis. Instruksi kerja juga menggambarkan tentang tahapan bagaimana dan dengan apa suatu aktifitas dilaksanakan pada unit kerja yang bersangkutan. Dalam aplikasinya work instruction(WI) digunakan bersama-sama dengan TSK dan TSKK sebagai panduan dan standard kerja yang menginformasikan mengenai bagaimana suatu pekerjaan dilakukan, alat-alat dan mesin yang digunakan, urutan proses, standar waktu tiap elemen kerja, detail gerakan dari tiap elemen kerja, layout mesin dan alat, dan hal-hal lain yang perlu diperhatikan dalam pekerjaan tersebut. Contoh Work Instruction (WI) dapa dilihat pada gambar 2.15 berikut :
Gambar 2.15 Work Instruction (WI) (Sumber : Buku Panduan training TEKS Dharma, 2011)
47
2.6.5
Siklus Plan-Do-Check-Action (PDCA)
Plan-Do-Check-Action (PDCA) adalah empat langkah pengendalian mutu yang ditemukan oleh Walter Shewhart dan diperkenalkan oleh H.Edward Deming. Tools ini sering dikaitkan dengan continous improvement karena sifatnya yang cyclic sehingga merupakan alat yang tepat untuk tetap melanjutkan improvement di perusahaan. Berikut definisi tiap langkah dari PDCA : 1. Plan Plan dilakukan denngan improvement dalam sistem operasional perusahaan yang dimulai dengan menemukan permasalahan yang sedang terjadi. Dengan menemukan permasalahan, ide penyelesaian dapat mulai dicari. 2. Do Do dimulai dengan mengimplementasikan ide yang telah di desain pada langkah plan untuk mengatasi masalah dalam sebuah percobaan kecil terlebih dahulu. Percobaan kecil dilakukan untuk meminimalisasi gangguan perubahan terhadap kebiasaan kerja yang belum tentu sesuai. 3. Check Saat percobaan kecil tersebut telah mencapai hasil yang diinginkan maupun tidak, pengecekan dilakukan secara kontinyu terhadap perubahan yang diimplementasikan. Hal ini dilakukan untuk memastikan kualitas dari output yang telah dihasilkan dari implementasi. 4. Action Action dimulai dengan mengimplementasikan dalam skala yang lebih besar jika percobaan sukses. Hal ini juga berarti akan terdapat perubahan rutinitas dari aktifitas perusahaan begitu juga dengan rutinitas para pekerjanya. Perubahan tersebut hendaknya diiringi dengan pelibatan opini atau masukan dari tiap pekerja untuk mendapatkan ide-ide yang berguna untuk perbaikan siklus berikutnya.
48
Siklus Plan –Do- Check-Action (PDCA) dapat dilihat pada gambar dibawah ini :
Menciptakan proses mengalir (Act)
Mengevaluasi hasil
Memunculkan Menghilangkan Pemborosan
(Check)
masalah (Plan)
Penanggulanga n masalah (Do)
Gambar 2.16 Siklus PDCA
2.7
Toyota Production System (TPS)
Toyota Production System (TPS) adalah sistem produksi yang canggih, yang semua bagiannya berkontribusi terhadap keseluruhan. Keseluruhan sistem pada intinya berfokus untuk mendukung dan mendorong orang agar terus menerus meningkatkan proses yang mereka kerjakan. Sedangkan apabila dilihat lebih luas, Toyota Production System (TPS) adalah penerapan prinsip-prinsip Toyota Way. Fokus awal ada pada lantai pabrik, tapi prinsip-prinsipnya luas dan bahkan dapat diterapkan dengan baik dalam engineering dan operasi bisnis jasa.(Liker, 2006. 3:42) Toyota Production System (TPS) dicetuskan oleh Mr. Saikici Toyoda, Mr. Kiichiro Toyoda dan Taiichi Ohno dari Toyota Motor Coorporation (TMC) di Jepang. Sistem ini diperkenalkan pada tahun 1940-1960 di TMC Jepang.
49
Berikut adalah pilar-pilar yang mendasari Toyota Production System (TPS) yang dikembangkan oleh murid Taiichi Ohno yaitu Fujio Cho, dimana diagram ini digambarkan dalam bentuk sebuah diagram sederhana – sebuah rumah (Liker, 2006, 3:40) :
Kualitas Terbaik-Biaya Terendah-Lead Time Tersingkat-Keselamatan KerjaTerbaik- Semangat Kerja Yang Tinggi Dengan mempersingkat aliran produksi dengan memberantas pemborosan
Just- In- Time Komponen yang tepat, jumlah yang tepat , waktu yang tepat.
Perencanaan waktu takt Aliran yang continue sistem tarik Change over yang cepat Logistik yang terintegrasi
Orang dan Kerja Sama Kelompok *Seleksi *Sasaran bersama *Penambilan keputusan ala Ringi *Cross- trained
Jidoka (kualitas dalam proses) Membuat masalah menjadi terlihat
Continous Improvement PenguranganPemborosan *Genchi Genbutsu *5 Mengapa *Kepekaan terhadap pemborosan *Pemecahan masalah
Penghentian otomatis Andon Pemisahan orang - mesin Anti kesalahan Pengendalian kualitas dalam stasiun Memecahkan permasalahan (5x Mengapa)
Produksi Campur Merata (heijunka) Proses yang Stabil dan Terstandarisasi Manajemen visual Filosofi Toyota Way
Gambar 2.17 House of Toyota Production System
Prinsip dasar dari diagram Toyota Production Syste (TPS) House adalah dimulai dengan tujuan untuk meraih kualitas terbaik, biaya terendah dan lead time tersingkat – Atap. Kemudian ada dua pilar luar Just In Time dan jidoka, yang pada intinya berarti tidak pernah membiarkan produk cacat lewat ke stasiun berikutnya dan
50
membebaskan orang dari mesin – otomasi dengan sentuhan manusia. Terakhir, terdapat berbagai elemen inti yang memasukan kebutuhan akan standarisasi, stabilitas, proses yang handal, dan juga heijunka, yang berarti mencampur dan meratakan jadwal produksi, baik dalam volume maupun bauran produk. Skedul campur merata atau heijunka diperlukan untuk mempertahankan agar sistem produksitetap stabil dan persediaan menjadi minimal. Adapun sasaran Toyota Production Syste (TPS) adalah menghapuskan muda secara tuntas. Langkah yang harus diambil untuk mencapai langkah tersebut adalah : 1. Membuat produk dengan jumlah yang sesuai dengan pesanan customer (JIT). 2. Membuat produk bermutu tinggi. 3. Membuat produk dengan harga lebih murah. 4. Membuat sistem kerja yang kuat dan fleksibel.
2.7.1 Just In Time (JIT) A.
Pengertian dan Konsep Just in Time(JIT)
Just In Time (JIT) adalah serangkaian prinsip, alat dan teknik yang memungkinkan perusahaan memproduksi dan mengirim produk dalam kuantitas kecil, dengan lead time yang singkat, untuk memenuhi keinginan pelanggan yang spesifik (Liker,2006). Dalam TPS, JIT dapat didefinisikan menjadi tiga bagian (Liker, 2006,), yaitu : 1. Membuat barang yang hanya diperlukan atau dibutuhkan. 2. Menbuat barang pada waktu yang diperlukan atau dibutuhkan. 3. Membuat barang dengan jumalah yang diperlukan atau dibutuhkan. Tujuan utama dari sistem produksi tepat waktu ini adalah mengurangi ongkos produksi dan meningkatkan produktivitas total industri secara keseluruhan dengan dengan cara menghilangkan pemborosan (waste) secara terus menerus melalui beberapa tindakan antara lain : 1.
Optimalisasi setiap langkah proses manufacturing.
2.
Pengendalian kuantitas sehingga sistem dapat menyesuaikan dengan fluktuasi permintaan harian dan bulanan dalam hal kuantitas dan jenisnya.
51
3.
Jaminan kualitas dengan melakukan perbaikan berkelanjutan sehingga produk yang dihasilkan dijamin mempunyai standar kualitas yang baik, dan bebas dari produk cacat.
4.
B.
Komitmen dengan pemasok dan pelanggan untuk saling bekerja sama.
Perbandingan Filosofi Sistem Produksi Tradisional dengan JIT
Perbedaan mendasar antara proses manufaktur tradisional dengan produksi tepat waktu terdapat pada filosofinya. Secara tradisional dalam sistem produksi dilakukan penganggaran dan pengaturan persediaan baik persediaan bahan baku, bahan setengah jadi maupun barang yang sudah jadi. Sedangkan proses produksi dengan Just In Time
hanya akan melakukan aktivitas produksi pada saat dan sebesar
kuantitas dan kualitas yang diperlukan pelanggan. Jadi, dalam hal ini JIT menerapkan metode persediaan minimum.
C.
Keuntungan Sistem Produksi Tepat Waktu (Just In Time/JIT)
Terdapat beberapa keuntungan dan merupakan sasaran utama dari sistem produksi tepat waktu, antara lain adalah sebagai berikut : 1. Pengurangan scrap dan rework 2. Meningkatkan jumlah pemasok yang ikut Just In Time 3. Meningkatkan kualitas proses industri (orientasi zero defect) 4. Mengurangi inventory (orientasi zero inventory) 5. Reduksi penggunaan ruang pabrik 6. Linearitas output pabrik (berproduksi pada tingkat yang konstan selama waktu tertentu) 7. Pengurangan overhead 8. Meningkatkan produktivitas total industri secara keseluruhan
D.
Sistem Kanban
Sistem informasi untuk mengendalikan jumlah produksi dalam setiap proses pada konsep JIT dikenal dengan istilah kanban. Kanban berasala dari bahasa Jepang yang
52
berarti label atau tanda. Pada umumnya alat kanban yang digunakan adalah kayu, maka sering sekali disebut sebagai kartu kanban. Dalam suatu proses produksi, kanban dipergunakan sebagai tanda kepada stasiun ketja pemasok untuk segera mengirim material kepada stasiun pengguna sesuai dengan kebutuhan yang tertera dalam kartu kanban. Tanpa adanya kartu kanban tidak akan ada material yang dipindahkan atau dikirimkan ke stasiun kerja berikutnya. Dalam sistem kanban dikenal 3 (tiga) jenis kanban yang biasa digunakan, yaitu : 1. Kanban Tarik (Withdrawal Kanban) Kartu ini digunakan untuk menentukan jumlah yang digunakan oleh proses selanjutnya (subsequent process) yang harus diambil dari proses sebelumnya (preceding process). Kanban tarik bergerak diantara pusat-pusat kerja dan digunakan sebagai alat sah untuk memindahkan material dari satu pusat kerja ke pusat kerja lain.
2. Kanban Produksi (Production Kanban) Kartu ini dipakai untuk menentukan jumlah yang harus di produksi pada proses sebelumnya. Dengan demikian, kanban produksi berfungsi sebagai alat yang sah untuk mengeluarkan pesanan produksi kepada proses sebelumnya agar membuat atau memproduksi part lagi.
3. Kanban Pemasok (Kanban Subkontraktor) Kartu ini digunakan untuk memberitahu pada pemasok, agar mengirim sejumlah tertentu komponen-komponen atau bahan–bahan, dan menentukan kapan komponen atau bahan-bahan tersebut diperlukan.
53
Mekanisme aliran ketiga jenis kanban secara sederhana dapat digambarkan sebagai berikut :
Departemen 1
Departemen 2 SK2
Kanban produksi
SK2
SKn
Kanban Tarik
Kanban subkontaraktor
Sub kontraktor
Gambar 2.18 Mekanisme sistem Kanban
Sistem kanban mempunyai peraturan dasar, berikut peraturan dasar dalam sistem kanban tersebut : 1. Pemindahan suatu kanban dilakukan hanya bila lot akan diperlukan. 2. Tanpa adanya kanban maka tidak diperbolehkan ada penarikan parts. 3. Banyak parts yang dikeluarkan ke proses berikutnya harus tepat sesuai dengan spesifikasi kanban. 4. Kanban harus selalu dilampirkan atau ditaruh pada produk-produk fisik, dengan tujuan agar selalu kelihatan oleh pekerja dan akan memudahkan tugas untuk mengidentifikasi nomor parts dan jumlah parts. 5. Dalam memproduksi parts, proses sebelumnya harus memproduksi dalam jumlah yang sesuai dengan yang ditarik oleh proses sesudahnya. 6. Part yang cacat tidak diperbolehkan untuk dikirim ke proses sesudahnya. 7. Proses kanban dalam setiap pusat kerja dilakukan dengan susunan atau urutan tibanya kanban di pusat kerja.
54
2.7.2
Jidoka
Usaha untuk menghilangkan pemborosan adalah dengan menciptakan aliran produksi yang kontinyu. Aliran produksi yang kontinyu dapat dilakukan dengan sistem produksi tepat waktu dan dibantu dengan sistem automasi. Automasi dapat diartikan sebagai pengendalian cacat secara otonom. Automasi sangat mendukung Just In Time (JIT) dengan tidak memungkinkan unit cacat dari proses terdahulu untuk mengalir ke proses berikutnya. Dengan peralatan otomatis, proses produksi secara otomatis akan berhenti apabila ditemukan adanya bagian-bagian yang cacat dalam proses produksi tersebut. Dengan demikian, sejak awal bagian-bagian yang cacat telah dapat disingkirkan secara otomatis. Dalam Toyota Production System (TPS) hal ini dikenal dengan nama jidoka. Jidoka merupakan suatu prinsip untuk menghentikan aktivitas-nya dengan segera apabila terjadi problem mesin atau problem kualitas. Dilakukan secara otomatis oleh mesin atau oleh operator. Pada prinsipnya jidoka merupakan otomasi peralatan yang bekerja secara harmonis dengan operatornya. Berikut merupakan gambar ilustrasi dari prinsip jidoka :
Gambar 2.19 Ilustrasi prinsip jidoka Dalam jidoka, jaminan kualitas yang diutamakan sehingga menempatkan operator sebagai : 1.
Setiap operator adalah inspector dimana kualitas dibangun dalam setiap proses yaitu tidak meneruskan cacat ke proses berikutnya dan inspector bukan satusatunya orang atau badan yang bertanggungjawab terhadap kualitas.
55
Gambar 2.20 Setiap operator adalah inspector
2. Setiap operator dapat menghentikan mesin walau untuk cacat kecil, sehingga apabila ditemukan defect, operator harus mematikan lini saat itu juga, repair secepatnya kemudian kirim ke proses berikutnya.
Gambar 2.21 Setiap operator dapat menghentikan mesin apabila ditemukan cacat
Adapun kegunaan dari jidoka adalah : 1) Produk atau part cacat tidak diteruskan ke proses berikutnya 2) Mencegah kemacetan atau kerusakan mesin 3) Menghemat tenaga kerja
56
4) Masalah menjadi jelas sehingga mempermudah dalam perbaikan
Tools atau alat yang biasa digunakan dalam jidoka antara lain, yaitu : 1. Andon, yaitu berupa papan lampu listrik, yang akan memberi lampu tanda jika ada kerusakan atau keterlambatan pada suatu stasiun kerja yang bisa mengakibatkan lini produksi berhenti.
Gambar 2.22 Andon 2. Fix Position Stop System, yaitu kondisi abnormal operator menarik tali lini tetap berjalan sampai posisi tertentu.
Gambar 2.23 Fix Position Stop System 3. Pokayoke, yaitu alat atau sistem yang mampu mendeteksi kondisi abnormal. Melalui pokayoke dapat membantu menghapuskan pengecekan ulang dengan menghilangkan kesalahan produksi, kesalahan part, perakitan yang tidak sempurna, kecelakaan, peralatan yang tidak berfungsi dan lain-lain.
57
Gambar 2.24 Pokayoke
Melalui penerapan tools jidoka, diharapakan mampu meningkatkan
urgensi
untuk mngindentifikasi atau memperbaiki masalah serta menantang orang untuk berfikir. Dalam jidoka itu sendri terdapat empat langkah praktis yang biasa dilakukan yaitu (1) mendeteksi ketidaknormalam;(2) berhenti ;(3) memperbaiki dan koreksi kondisi dengan segera; dan (4) investigasi akar permasalahan dan membuat tindakan perbaikan.