BAB II LANDASAN TEORI Bab Landasan Teori memuat tinjauan pustaka, penelitian yang relevan, kerangka berpikir, dan hipotesis.
A. Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka memuat uraian sistematis tentang kajian teori dan tinjauan temuan-temuan hasil penelitian terdahulu yang bersangkutan dengan permasalahan penelitian. Adapun uraiannya sebagai berikut. 1. Hakikat Kemampuan Mengapresiasi Cerita Pendek Kemampuan menurut Chaplin (2000: 1) diartikan sebagai sebuah kecakapan, ketangkasan, bakat, kesanggupan; tenaga (daya kekuatan) untuk melakukan suatu perbuatan. Sejalan dengan pendapat Chaplin, Jaensch (Wellek dan Warren, 2014: 94) memaparkan bahwa kemampuan merupakan gejala menyatunya kemampuan berpikir dan kemampuan pengindraan. Oleh karena itulah kesanggupan berpikir dan pengndraan haruslah sejalan dan saling mendukung untuk mendapatkan harapan yang diinginkan. Berdasarkan definisi yang telah diungkapkan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa kemampuan adalah perilaku, tanggapan, serta tindakan siswa untuk menunjukkan aktivitas. Dalam kaitannya dengan penelitian ini yaitu tindakan, aktivitas serta kesanggupan yang ditunjukkan siswa dalam mengapresiasi cerita pendek. Apresiasi berasal dari bahasa Latin apreciatio yang berarti “mengindahkan” atau “menghargai”. Berarti secara harpiah apresiasi sastra adalah penghargaan terhadap karya sastra (Winarni, 2014: 25). Apresiasi mengacu pada pengertian, pemahaman, pengenalan yang tepat, pertimbangan, penilaian dan pernyataan yang memberikan penilaian (Hornby dalam Waluyo, 2011: 29). Waluyo juga menjelaskan bahwa kata “apresiasi” tidak
8
9
hanya berkaitan dengan aspek afektif dalam psikologi, namun juga aspek kognitif (sebelum terlibat emosinya, terlebih dahulu harus terlibat kognisinya yang berupa memahami dan menghayati), dan juga dapat berupa tindakan (psikomotor), yaitu dengan kegiatan apresiasi, seperti membaca puisi, deklamasi, bermain drama, membaca cerita pendek, dan sebagainya. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa kata apresiasi yang terendah adalah sesuatu yang berkaitan dengan pemahaman, sedangkan tingkatan tertinggi berkaitan dengan tindakan atau kegiatan. Aminudin (2009: 22) mengungkapkan bahwa kata apresiasi dalam perkembangannya mengacu pada kualifikasi aktivitas tertentu seperti memahami dan menyenangi, memberikan penghargaan dengan nilai tinggi, menjadi peka, menaksir dan menghargai secara kritis. Apresiasi terutama dalam karya sastra yakni adalah memberikan penilaian terhadap karya sastra. Hal-hal yang perlu diperhatikan saat mengapresiasi karya sastra adalah berupa pengamatan, penilaian, dan memberikan penghargaan terhadap karya sastra tersebut. Jamaludin (2005: 20) mengungkapkan bahwa bentuk apresiasi sastra yang diharapkan dapat berwujud kegiatan langsung maupun tak langsung. Apresiasi dapat diwujudkan dengan berbagai cara, yang pertama dapat diwujudkan dengan cara membaca dan atau menikmati karya-karya sastra kreatif secara langsung, dengan segala bentuk dan ragamnya. Bentuk apresiasi yang kedua dapat diwujudkan dengan melakukan berbagai cara yang dapat menunjang penikmatan dan atau pemahaman terhadap karya kreatif. Sedangkan bentuk apresiasi tak langsung yaitu antara lain melalui membaca kritik sastra atau ulasan yang dibuat para ahli, menonton sinetron atau film yang diangkat dari kisah dalam sebuah novel atau drama, menonton pertunjukan teater, mendokumentasikan karya-karya sastra, ikut dalam kegiatan membaca puisi dan deklamasi, serta dapat juga dengan menyelenggarakan lomba baca maupun cipta karya sastra kreatif. Ada 4 tingkatan apresiasi menurut Dissick (dalam Waluyo, 2011: 30), yaitu tingkat menggemari, tingkat menikmati, tingkat mereaksi, dan tingkat
10
produktif. Pertama adalah tingkat menggemari, yaitu ketika seseorang terlibat dengan karya sastra, ingin membacanya, dan jika ada kegiatan apresiasi sastra ingin ikut terlibat atau ingin menontonnya. Kedua, tingkat menikmati artinya tingkat yang menunjukkan bahwa seorang pembaca dapat terhibur dengan membaca karya sastra. Oleh karena itu, kegiatan membaca sastra bukan merupakan beban, namun merupakan kegiatan yang menyenangkan. Selanjutnya tingkatan mereaksi atau memberikan respons, adalah tingkatan yang menunjukkan seseorang bersikap kritis, dapat menilai di mana letak kebaikan dan kejelekan sebuah karya sastra berdasarkan kriteria-kriteria tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan. Terakhir, tingkatan produktif yaitu ketika seseorang yang mengapresiasi karya sastra sudah mampu melakukan kegiatan yang sifatnya produktif dalam kaitannya dengan karya sastra, misalnya menulis karya sastra, membuat resensi karya sastra, membuat kupasan dan ikhtisar karya sastra, pembacaan cerita pendek, dan sebagainya. Dengan begitu untuk mengapresiasi prosa fiksi seseorang harus memiliki kegemaran terlebih dahulu dalam membaca prosa fiksi sehingga selanjutnya dapat memahami, menilai hingga membuatnya. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa apresiasi adalah upaya seseorang dalam menghargai, menilai suatu karya seni termasuk seni sastra dengan cara mengenal, memahami, menghayati, menggemari, menikmati, dan mereaksi hingga menghasilkan sendiri sebuah karya seni baru dalam hal ini sastra. Untuk mengapresiasi karya sastra, kita harus langsung berhubungan dengan karya sastra atau mengenalnya secara langsung. Oleh karena itu untuk mengapresiasi karya sastra kita harus membacanya terlebih dahulu. Melalui membaca karya sastra tersebut seseorang dapat menghargai, mengenal, memahami, hingga menilainya. Cerita pendek atau cerpen merupakan bagian dari cerita fiksi. Sesuai dengan namanya, cerpen adalah cerita yang pendek. Akan tetapi, ukuran panjang pendek tersebut tidak ada aturan maupun kesepakatan di antara para pengarang dan para ahli. Nurgiyantoro (2010: 10) membagi jenis cerpen berdasarkan panjang pendeknya menjadi tiga, yakni cerpen yang pendek
11
(short short story), cerpen yang panjangnya cukupan (middle short story), dan cerpen yang panjang (long short story). Cerpen yang pendek, atau bahkan pendek sekali kurang lebih tersusun atas 500 kata. Cerpen yang panjang terdiri dari puluhan halaman. Meskipun demikian, tetap tidak ada ukuran yang pasti mengenai panjang pendeknya cerpen. Dalam referensi yang lain, dikatakan bahwa cerpen merupakan cerita fiksi yang hanya terdiri dari beberapa halaman, atau sekitar seribuan kata (Nurgiyanto, 2005: 287). Thahar (2009: 5) juga mengemukakan bahwa
sesuai dengan
namanya, cerpen adalah cerita yang pendek. Jika dibaca, biasanya jalannya peristiwa di dalam cerpen lebih padat. Sementara itu, latar maupun kilas baliknya disinggung sambil lalu saja. Di dalam cerpen juga hanya ditemukan sebuah peristiwa yang didukung oleh peristiwa-peristiwa kecil lainnya. Keadaan yang menyangkut pendeknya cerita tersebut membawa konsekuensi pada keluasan cerita yang dikisahkan dan penyajian berbagai unsur intrinsik yang mendukungnya. Cerpen tidak bisa menyajikan cerita secara panjang lebar tentang peristiwa yang dikisahkan karena dibatasi oleh jumlah halaman. Cerpen hanya bercerita mengenai hal-hal yang penting dan tidak sampai pada detil-detil kecil yang kurang penting. Meskipun demikian, hal itu justru membuat cerpen menjadi lebih kental sifat ke-unity-annya, lebih fokus karena lebih dimaksudkan untuk memberikan kesan tunggal. Keterbatasan
cerita
yang
dapat
disampaikan
dalam
cerpen
memungkinkan cerpen justru lebih “kaya‟ karena kemampuan
juga cerpen
mengemukakan lebih dari sekedar yang diceritakan secara eksplisit. Sebagai bagian dari fiksi, cerpen mempunyai unsur intrinsik sebagaimana cerita fiksi lainnya. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur cerita fiksi yang secara langsung berada di dalam, menjadi bagian dan ikut membentuk eksistensi cerita yang bersangkutan. Unsur-unsur intrinsik fiksi (termasuk di dalamnya cerpen) adalah sebagai berikut. Pertama, penokohan. Peristiwa dalam sebuah cerita fiksi, seperti halnya dalam kehidupan sehari-hari, selalu dibawakan
oleh tokoh atau
12
pelaku-pelaku tertentu. Pelaku yang membawakan peristiwa dalam cerita fiksi tersebut sehingga peristiwa mampu menjalin suatu rangkaian cerita disebut tokoh. Sementara itu, cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku itu disebut penokohan (Aminuddin, 2009: 79). Menurut Tarigan (2008, 147), penokohan atau karakterisasi adalah proses yang digunakan oleh seseorang pengarang untuk menciptakan tokoh-tokoh fiksinya. Jones (dalam Nurgiyantoro, 2010: 165) mengemukakan bahwa penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Menurut Wellek & Warren (2014: 287) penokohan yang paling sederhana adalah pemberian nama. Setiap “sebutan” adalah sejenis cara memberi kepribadian dan menghidupkan tokoh. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa penokohan adalah penempatan tokoh-tokoh tertentu (yang ditampilkan dalam sebuah cerita) dengan watakwatak tertentu yang digambarkan oleh pengarang. Tokoh dalam karya fiksi, termasuk cerpen dapat dibedakan atas tokoh utama
dan
tokoh
tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang
diutamakan penceritaannya dalam cerita yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Tokoh tambahan adalah tokoh yang pemunculannya dalam cerita relatif lebih sedikit, tidak dipentingkan, dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitan dengan tokoh utama, secara langsung ataupun tidak langsung. Tokoh dalam karya fiksi juga dapat dibedakan atas tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang biasanya dikagumi dan merupakan pengejawantahan norma-norma atau nilai-nilai yang ideal dalam masyarakat. Tokoh antagonis adalah tokoh yang menyebabkan terjadinya konflik, atau tokoh yang menentang normanorma atau nilai-nilai yang ideal dalam masyarakat tersebut. Tokoh dalam karya fiksi, termasuk cerpen dilukiskan dengan cara yang bermacam-macam,
yaitu melalui teknik ekspositori/teknik
analitis, teknik dramatik, dan catatan identifikasi tokoh (Nurgiyantoro, 2010: 194-214). Penggambaran tokoh dengan teknik ekspositori/analitis
13
dilakukan
dengan memberikan deskripsi, uraian atau penjelasan secara
langsung. Penampilan tokoh cerita dengan teknik dramatik mirip dengan penampilan
tokoh pada drama. Penokohan
ditampilkan
secara
tidak
langsung. Wujud penggambaran tokoh dengan teknik dramatik dapat dilakukan dengan berbagai cara. Pertama, teknik cakapan. Percakapan yang dilakukan oleh tokoh dalam cerita biasanya juga dimaksudkan untuk menggambarkan sifat tokoh yang bersangkutan. Kedua teknik tingkah
laku.
Teknik
tingkah
laku
menunjuk pada tindakan yang bersifat nonverbal/fisik dapat digunakan untuk menggambarkan watak seorang tokoh. Ketiga, teknik pikiran dan perasaan. Teknik ini menggunakan keadaan dan jalan pikiran serta perasaan tokoh untuk menggambarkan karakternya. Keempat, teknik arus kesadaran. Teknik arus kesadaran banyak digunakan untuk melukiskan sifat kedirian tokoh. Arus kesadaran merupakan sebuah teknik narasi yang berusaha menangkap pandangan dan aliran proses mental tokoh, di mana tanggapan indera bercampur dengan kesadaran dan ketaksadaran pikiran, perasaan, ingatan, harapan, dan asosiasi acak. Teknik arus kesadaran berkaitan erat dengan teknik pikiran dan perasaan. Kelima, teknik reaksi
tokoh. Teknik reaksi tokoh dimaksudkan
sebagai reaksi tokoh terhadap suatu kejadian, masalah, keadaan, kata, sikap, tingkah laku orang lain, dan sebagainya yang berupa rangsangan dari luar tokoh yang bersangkutan. Cara tokoh mereaksi kejadian, masalah, dan sebagainya seperti disebutkan di atas dapat mencerminkan karakternya. Keenam, teknik reaksi tokoh lain. Reaksi tokoh lain yang dimaksudkan di sini adalah reaksi yang diberikan oleh tokoh lain terhadap tokoh utama atau tokoh yang sedang dipelajari kediriannya, yang berupa pandangan, pendapat, sikap, komentar, dan lain-lain. Ketujuh, teknik pelukisan latar. Suasana latar sekitar tokoh yang digambarkan penulis juga sering dipakai untuk menggambarkan karakter tokoh. Keadaan latar tertentu dapat menimbulkan kesan tertentu pula di pihak pembaca. Kedelapan, teknik pelukisan fisik. Pelukisan keadaan fisik tokoh dapat membantu menguatkan
14
karakter tokoh yang bersangkutan, terutama jika tokoh tersebut memiliki bentuk
fisik
yang
khas.
Dengan
demikian,
pembaca
dapat
menggambarkannya secara imajinatif. Pelukisan tokoh juga dapat dilakukan dengan catatan tentang identifikasi tokoh. sekaligus
Tokoh cerita
hadir
menampakkan karakternya
ke
secara
hadapan pembaca tidak keseluruhan,
melainkan
sedikit demi sedikit sejalan dengan kebutuhan dan perkembangan cerita. Usaha
pengidentifikasian
karakter
tokoh tersebut
dilakukan
dengan
prinsip-prinsip sebagai berikut. Pertama, prinsip pengulangan. Tokoh cerita yang belum dikenal pembaca akan menjadi dikenal dan terasa akrab bila pembaca dapat menemukan dan mengidentifikasi adanya kesamaan sifat, sikap, watak, dan tingkah laku pada bagian-bagian selanjutnya. Kedua, prinsip pengumpulan. Usaha pengidentifikasian tokoh dengan prinsip ini dapat dilakukan dengan mengumpulkan data-data yang tersebar dalam seluruh cerita, sehingga akhirnya pembaca dapat memperoleh data yang lengkap tentang karakter seorang tokoh. Dilihat dari jumlah tokoh yang terlibat, jumlah tokoh cerita yang terlibat dalam cerpen lebih terbatas dibanding dalam novel. Keterbatasan tersebut juga berkaitan dengan data-data jati diri tokoh. Jati diri tokoh yang dimaksud berkaitan dengan perwatakan, ciri-ciri fisik, keadaan sosial, tingkah laku, sifat dan kebiasaan, dan lain-lain. Kedua, alur cerita (plot). Pengertian alur dalam karya fiksi pada umumnya adalah
rangkaian cerita
yang dibentuk oleh tahapan-tahapan
peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita (Aminuddin, 2009: 83). Brooks dan Warren (dalam Tarigan, 2008: 156) memaknai alur sebagai struktur gerak atau laku dalam suatu fiksi atau drama. Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2010: 113) mengemukakan bahwa plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan peristiwa yang lain . Kenny (dalam Nurgiyantoro, 2010:
15
113) juga mengemukakan bahwa plot adalah peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang tidak bersifat sederhana, karena pengarang menyusun peristiwaperistiwa itu berdasarkan kaitan sebab akibat. Berdasarkan pendapat beberapa ahli di atas, dapat dipahami bahwa unsur utama plot adalah hubungan sebab akibat antarperistiwa yang ditampilkan dalam cerita. Peristiwa yang satu menyebabkan atau disebabkan oleh peristiwa yang lain. Dengan demikian, keseluruhan peristiwa dalam cerita merupakan jalinan cerita yang saling berkaitan. Plot disusun atas tiga unsur, yaitu peristiwa, konflik, dan klimaks (Nurgiyantoro, 2010: 116). Peristiwa merupakan peralihan dari satu keadaan yang satu kepada keadaan yang lain (Luxemburg dkk, dalam Nurgiyantoro, 2010: mengacu
pada
117). Konflik
adalah
sesuatu
yang
dramatik,
pertarungan antara dua kekuatan yang seimbang dan
menyiratkan adanya aksi dan aksi balasan (Wellek & Warren, 2014: 285). Peristiwa dan konflik merupakan dua hal yang brekaitan erat, dapat saling menyebabkan terjadinya satu dengan yang lain. Bahkan, konflik pun sebenarnya juga merupakan peristiwa. Klimaks adalah peristiwa saat konflik telah mencapai tingkat intensitas tertinggi, dan saat (hal) itu merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari kejadiannya. Klimaks merupakan titik pertemuan antara dua hal (atau lebih) hal (keadaan) yang dipertentangkan dan menentukan bagaimana permasalahan (konflik itu) akan diselesaikan (Nurgiyantoro, 2010: 127). Plot terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap awal (tahap perkenalan), tengah (tahap pertikaian), dan akhir (tahap peleraian) (Nurgiyantoro, 2010: 142). Tahap awal (tahap perkenalan) sebuah cerita umumnya berisi informasi penting yang berkaitan dengan berbagai hal yang akan dikisahkan pada tahap-tahap berikutnya. Tahap awal biasanya berisi deskripsi setting (latar) dan pengenalan tokoh cerita. Tahap tengah (tahap pertikaian) menampilkan pertentangan atau konflik yang sudah mulai dimunculkan pada tahap sebelumnya, menjadi semakin meningkat dan menegangkan. Tahap akhir (tahap
16
peleraian) menampilkan adegan tertentu sebagai akibat klimaks. Tahap ini berisi akhir sebuah cerita atau penyelesaian sebuah cerita. Tidak bertentangan dengan penahapan plot seperti yang telah dikemukakan di atas, Lubis (dalam Tarigan, 2008: 156) membedakan tahapan plot dalam lima bagian. Kelima bagian itu adalah tahap situation, generating circumstances, rising action, climax, dan denouement. Tahap situation berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh cerita. Tahap generating circumstances merupakan tahap awal munculnya konflik. Tahap rising action merupakan tahap peningkatan konflik. Konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya. Tahap klimaks yaitu pada saat konflik yang terjadi, yang ditimpakan kepada para tokoh mencapai titik intensitas puncak. Klimaks sebuah cerita dialami oleh tokoh utamanya. Tahap
denouement
merupakan tahap
penyelesaian. Konflik yang telah mencapai klimaks diberi penyelesaian. Menurut Lubis, penyelesaian dalam cerita dapat berupa penyelesaian yang membahagiakan, penyelesaian yang menyedihkan dan
solution,
yakni
penyelesaian yang masih bersifat terbuka karena pembaca sendirilah yang dipersilahkan menyelesaikan lewat daya imajinasinya. Alur (plot) cerpen pada umumnya tunggal, hanya terdiri dari satu urutan peristiwa sampai cerita berakhir. Urutan peristiwa dapat dimulai dari mana saja, tidak harus dari tahap pengenalan (para) tokoh atau latar. Kalaupun ada pengenalan tokoh dan latar, biasanya tidak dinyatakan dengan panjang lebar mengingat keterbatasan halaman cerpen. Ketiga, latar. Latar (setting) dapat dipahami sebagai landas tumpu berlangsungnya berbagai peristiwa dan kisah yang diceritakan dalam cerita fiksi. Latar menunjukkan pada tempat, yaitu lokasi di mana cerita itu terjadi, waktu, kapan cerita terjadi, dan lingkungan sosial-budaya, keadaan kehidupan bermasyarakat tempat tokoh dan peristiwa terjadi. Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi (Nurgiyantoro, 2010: 227). Latar waktu
17
berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritaklan dalam sebuah karya fiksi (Nurgiyantoro, 2010: 230). Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam suatu karya fiksi (Nurgiyantoro, 2010: 233). Tidak berbeda dengan apa yang diungkapkan Nurgiyantoro di atas, Sayuti (2000: 126-127) mengemukakan bahwa latar dikategorikan dalam tiga bagian, yakni latar waktu, tempat, dan sosial. Latar tempat adalah hal yang berkaitan dengan masalah geografis. Latar waktu berkaitan dengan masalah historis. Latar sosial berkaitan dengan kehidupan kemasyarakatan. Dalam hal ini, latar sosial merupakan lukisan status yang menunjukkan hakikat tokoh dalam masyarakat yang ada di sekelilingnya. Aminuddin (2009: 67) mengemukakan bahwa latar dalam karya fiksi tidak hanya berfungsi fisikal, tetapi juga memiliki fungsi psikologis. Latar yang bersifat fisikal berhubungan dengan tempat serta benda-benda dalam lingkungan tertentu yang tidak menuansakan apa-apa. Sementara itu, latar psikologis adalah latar cerita yang berupa lingkungan atau benda-benda dalam lingkungan yang mampu menuansakan suatu makna serta mampu melibatkan emosi pembaca. Latar yang bersifat fisikal dapat dipahami oleh pembaca melalui segala sesuatu yang tersurat dalam cerita. Di sisi lain, latar yang bersifat psikologis membutuhkan adanya penghayatan dan penafsiran. Pelukisan latar dalam cerpen umumnya tidak disajikan dengan detail. Cerpen hanya memerlukan pelukisan latar secara garis besar saja, asalkan telah dapat menggambarkan suasana tertentu yang dimaksudkan oleh pengarang. Dengan demikian, cerpen benar-benar hanya melukiskan latar-latar tertentu yang dipandang perlu. Keempat, tema. Tema adalah gagasan utama atau pikiran pokok (Tarigan, 2008: 167). Tema menurut Scharbach (dalam Aminuddin, 2009: 91)
berasal
dari bahasa Latin yang berarti “tempat meletakkan suatu
perangkat‟. Disebut demikian karena tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperanan juga sebagai pangkal tolak pengarang
18
dalam menyampaikan karya fiksi yang diciptakannya. Stanton dan Kenny (dalam Nurgiyantoro, 2010: 67) mengemukakan bahwa tema (theme) adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Tema kurang lebih dapat bersinonim dengan ide utama dan tujuan utama. Dengan demikian, tema dapat dipahami sebagai dasar cerita atau gagasan dasar umum sebuah cerita. Tema dapat dipahami dan ditafsirkan melalui cerita dan unsurunsur pembangun
cerita. Dengan demikian, tema sebuah cerita dapat
ditafsirkan setelah cerita tersebut selesai dibaca dan disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu dari cerita.Umumnya, cerpen hanya berisi satu tema. Hal ini terkait dengan plot yang tunggal dan tokoh yang terbatas yang dapat disajikan dalam cerpen. Berbeda dengan novel yang dapat menawarkan lebih dari satu tema karena dapat menyajikan plot utama dan sub subplot sehingga memungkinkan adanya tema utama dan tema-tema tambahan. Kelima, moral. Moral, amanat, atau messages dapat dipahami sebagai sesuatu yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca. Sesuatu itu selalu berkaitan dengan berbagai hal yang berkonotasi positif, bermanfaat bagi kehidupan, dan mendidik. Moral berkaitan dengan masalah baik dan buruk. Namun, istilah moral selalu dikonotasikan dengan hal-hal yang baik. Moral dalam cerita biasanya dimaksudkan sebagai suatu saran yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis,
yang
dapat
diambil
(dan
ditafsirkan)
lewat cerita yang
bersangkutan oleh pembaca (Kenny dalam Nurgiyantoro, 2010: 321). Keenam, sudut pandang. Aminuddin (2009: 90) mengemukakan bahwa sudut pandang adalah cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkannya. Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2010: 248) mengemukakan bahwa
sudut
pandang
merupakan
cara
dan
atau
pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah teks fiksi kepada pembaca. Jadi, sudut pandang pada hakikatnya adalah sebuah cara, strategi atau siasat yang secara sengaja dipilih
19
pengarang untuk mengungkapkan cerita dan gagasannya. Sudut pandang (point of view) merupakan cara sebuah cerita dikisahkan. Berdasarkan pembedaan persona tokoh cerita, sudut pandang dibedakan menjadi dua, yaitu sudut pandang persona ketiga dan persona pertama. Pengisahan cerita yang menggunakan sudut pandang persona ketiga, gaya “dia”, narator adalah seseorang yang berada di luar cerita yang menampilkan tokohtokoh cerita dengan menyebut
nama, atau
kata
gantinya: ia, dia, mereka. Sudut pandang persona ketiga dibagi lagi menjadi dua macam. Pertama, “Dia” Mahatahu. Dalam sudut pandang ini, cerita dikisahkan dari sudut “dia”, namun pengarang, narator, dapat menceritakan hal-hal apa saja yang berhubungan dengan tokoh “dia” tersebut. Narator mengetahui segalanya. Ia bersifat mahatahu. Kedua, “Dia” Terbatas/ “Dia”
Sebagai
Pengamat.
Dalam
sudut
pandang
ini
pengarang
memposisikan diri seperti dalam “dia” mahatahu, namun hanya terbatas hanya pada seorang tokoh saja. Oleh karena itu, dalam teknik ini hanya ada
seorang tokoh yang terseleksi untuk diungkap. Tokoh tersebut
merupakan fokus, cermin, atau pusat kesadaran (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2010: 260). Pengisahan cerita dengan menggunakan sudut pandang persona pertama, narator adalah seseorang yang ikut terlibat dalam cerita. Ia adalah si “aku”, tokoh yang berkisah, mengisahkan kesadaran dirinya sendiri, mengisahkan peristiwa dan tindakan yang diketahui, dilihat, didengar, dialami, dan dirasakan. Pembaca hanya dapat
melihat
dan
merasakan
secara terbatas seperti yang dilihat dan dirasakan tokoh si “aku” tersebut. Sudut pandang persona pertama dibagi menjadi dua, yaitu “aku” tokoh utama dan “aku” tokoh tambahan. Dalam sudut pandang “aku” tokoh utama, si “aku” mengisahkan berbagai peristiwa dan tingkah laku yang dialaminya. Si “aku” menjadi fokus/ pusat cerita. Dalam sudut pandang “aku” tokoh tambahan, tokoh “aku” hadir bukan sebagai tokoh utama melainkan sebagai tokoh tambahan. Tokoh “aku” hadir untuk membawakan cerita kepada pembaca, sedangkan tokoh cerita yang dikisahkan itu “dibiarkan” untuk
20
mengisahkan sendiri
berbagai
pengalamannya.
Tokoh
cerita
yang
dibiarkan berkisah sendiri itulah yang merupakan tokoh utama. Dengan demikian, dalam sudut pandang ini si “aku” hanya tampil sebagai saksi atas berlangsungnya cerita yang tokoh utamanya adalah orang lain. Selain sudut pandang persona ketiga dan pertama seperti telah dikemukakan di atas, terdapat sudut pandang campuran. Penggunaan sudut pandang ini merupakan kombinasi kedua sudut pandang tersebut. Pengarang dapat berganti-ganti dari teknik yang satu ke teknik yang lain sesuai kemauan dan kreativitas pengarang. Ketujuh, stile dan nada. Stile (style) dapat dipahami sebagai sebuah
cara pengungkapan dalam bahasa, cara bagaimana seseorang
mengungkapkan
sesuatu
yang
akan
diungkapkan
(Abrams
dalam
Nurgiyantoro 2010: 276). Stile adalah seluruh tampilan kebahasaan yang secara langsung dipergunakan dalam teks-teks sastra yang bersangkutan. Stile pada hakikatnya adalah cara pengekspresian jati diri seseorang karena tiap orang akan mempunyai cara-cara tersendiri yang berbeda dengan orang lain. Nada (tone) dalam pengertian yang luas dapat diartikan sebagai pendirian atau sikap yang diambil pengarang (tersirat, implied author) terhadap pembaca dan terhadap (sebagian) masalah
yang dikemukakan (Leech &
Short dalam Nurgiyantoro, 2010: 284). Nada dalam tulisan dibangun dari diksi yang dipilih pengarang dalam ceritanya. Nada mencerminkan sikap dan pendirian pengarang terhadap hal-hal yang dikisahkan dalam sebuah cerita fiksi dan sekaligus juga terhadap pembaca untuk menggiringnya pada sikap dan pendirian yang kurang lebih sama. Dalam bahasa lisan, nada dapat dikenali melalui intonasi ucapan, misalnya nada
rendah, lemah, lembut, santai, meninggi, sengit, dan
sebagainya. Dalam bahasa tulis, nada sangat ditentukan oleh kualitas stile. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa sesungguhnya stile adalah sarana, sedangkan nada adalah tujuan. Salah satu kontribusi penting dari stile adalah untuk membangkitkan nada.
21
Berdasarkan beberapa teori yang telah diungkapkan, kemampuan mengapresiasi cerita pendek adalah kesanggupan seseorang untuk mengenal, menghargai, atau mengagumi, menginterpretasi atau memberi makna, mengerti atau memahami, menyenangi atau menikmati, dan memberi penilaian terhadap karya sastra bentuk cerita pendek. Penilaian tersebut dapat dilihat dari unsur instrinsiknya maupun unsur ekstrinsik karya sastra. Kedua unsur tersebut tidak dapat dipisahkan dalam sastra. Berpijak dari beberapa teori atau konsep yang telah dikemukakan sebelumnya, kemampuan mengapresiasi cerita pendek dapat diartikan sebagai hasil belajar yang diperoleh pembelajar setelah dia mengikuti proses belajar tentang cerita pendek yang : a) bersifat fiktif atau khayali dan yang berbentuk prosa; b) isinya singkat padat; c) memiliki satu kesatuan yang kuat; d) berpusat pada satu konflik pokok; e) memiliki tautan budaya dengan tempat tumbuh kembangnya karya sastra berbentuk cerpen itu sendiri dengan mencakup konsep mengenal atau mengerti, menyenangi atau menikmati, menghargai atau mengagumi, menginterpretasi atau memberi makna, dan dapat menilai terhadap karya sastra bentuk cerita pendek. 2. Hakikat Metode Pembelajaran Metode pembelajaran menurut Andayani (2015: 85) adalah istilah yang berkaitan perencanaan secara menyeluruh untuk menyajikan materi pelajaran secara runtut dan teratur. Selanjutnya Andayani juga menjelaskan bahwa metode lebih bersifat prosedural yakni penerapan suatu metode dalam pembelajaran dikerjakan dengan langkah-langkah yang teratur dan secara bertahap, dimulai dari penyusunan perencanaan pembelajaran, penyajian bahan pembelajaran, proses belajar mengajar, sampai pada penilaian hasil belajar. Selain itu, metode pembelajaran juga dapat dimaknai sebagai caracara yang berbeda untuk mencapai hasil pembelajaran yang berbeda di bawah kondisi yang berbeda. Sependapat dengan Andayani, Sani (2014: 90) mengungkapkan bahwa metode pembelajaran
adalah langkah atau cara operasional
untuk
22
menyampaikan materi pelajaran dalam upaya mencapai tujuan pembelajaran. Metode pembelajaran biasanya digunakan oleh guru untuk menciptakan lingkungan belajar dan mendasari aktivitas guru dan peserta didik. Sani juga menyebutkan bahwa metode merupakan cara mengajar yang telah disusun berdasarkan prinsip dan sistem tertentu. Metode pembelajaran menurut Sutikno (2014: 34) adalah cara-cara menyajikan materi pelajaran yang dilakukan oleh pendidik agar terjadi proses belajar pada diri peserta didik dalam upaya untuk mencapai tujuan. Dengan demikian, salah satu keterampilan guru yang memegang peranan penting dalam proses pembelajaran adalah keterampilan memilih metode. Pemilihan metode berkaitan langsung dengan usaha-usaha guru dalam menampilkan pembelajaran yang sesuai dengan situasi dan kondisi sehingga pencapaian tujuan pembelajaran diperoleh secara optimal. Sumantri (2001: 114) mengatakan bahwa metode merupakan caracara yang ditempuh guru untuk menciptakan situasi pengajaran yang benarbenar menyenangkan dan mendukung bagi kelancaran proses belajar mengajar dan tercapainya prestasi anak yang memuaskan. Metode juga merupakan cara yang di dalam fungsinya merupakan alat untuk mencapai suatu tujuan, makin baik metode itu, makin efektif pula pencapaian tujuan (Surachmad, 1990: 96). Uno (2008: 2) mendeskripsikan metode pembelajaran sebagai cara yang digunakan guru dalam menjalankan fungsinya merupakan alat untuk mencapai tujuan pembelajaran, metode pembelajaran lebih bersifat prosedural yaitu berisi tahapan tertentu. Metode secara harfiah berarti cara, yakni dalam pemakaian yang umum dapat diartikan sebagai suatu cara atau prosedur yang dipakai untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam kaitannya dengan pembelajaran, metode didefinisikan sebagai cara-cara menyajikan bahan pelajaran pada peserta didik untuk tercapainya tujuan yang telah diterapkan. Dengan demikian, salah satu keterampilan yang harus dimiliki oleh seorang guru dalam pembelajaran adalah keterampilan memilih metode (Rohman & Amri, 2013: 28).
23
Berdasarkan
pendapat
di
atas
metode
pembelajaran
adalah
perencanaan pembelajaran yang bersifat prosedural yakni berupa cara atau langkah
operasional
yang
dilakukan
untuk
menyampaikan
materi
pembelajaran. Cara-cara atau langkah-langkah yang dilakukan dapat berbedabeda untuk mencapai hasil pembelajaran yang berbeda dengan kondisi yang berbeda pula. Metode pembelajaran ini biasanya disusun berdasarkan prinsip dan sistem tertentu dengan langkah yang runtut dan teratur guna membantu proses pembelajaran. Metode berbeda dengan model, pendekatan, maupun teknik pembelajaran. Model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam tutorial dan untuk menentukan perangkat-perangkat pembelajaran. Model pembelajaran disini memiliki makna yanglebih luas daripada pendekatan, strategi, metode atau prosedur. Sedangkan pendekatan pembelajaran dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran dan merujuk pada pandangan terjadinya proses yang sifatnya masih sangat umum. Oleh karena itu, strategi dan metode pembelajaran yang digunakan dapat bersumber dari pendekatan tertentu. Selain model, pendekatan dan metode, ada juga teknik pembelajaran. Teknik pembelajaran
adalah
cara
yang
dilakukan
orang
dalam
rangka
mengimplementasikan suatu metode, yaitu cara yang dilakukan agar metode yang dilakukan berjalan dengan efektif dan efisien. Dari paparan yang disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran yang diterapkan oleh guru akan tergantung pada pendekatan yang digunakan, sedangkan bagaimana menjalankan model itu dapat diterapkan
berbagai
metode
pembelajaran.
Sedangkan
bagaimana
menjalankan metode pembelajaran, guru dapat menentukan teknik yang dianggap relevan dengan metode, dan penggunaan teknik itu setiap guru memiliki taktik yang berbeda antara guru yang satu dengan yang lain. Ada berbagai jenis metode pembelajaran bahasa Indonesia, seperti yang di ungkapkan oleh Richards dan Rodgers dalam Andayani (2015: 92)
24
jenis-jenis metode yang dapat diterapkan diantaranya adalah metode sugestopedia, metode silent way, dan metode St. Cloud. Metode-metode tersebut lahir sebagai upaya pembaharuan dalam pembelajaran bahasa dari yang berorientasi pada tata bahasa ke orientasi pada penggunaan-penggunaan bahasa atau aspek komunikatif dan kontekstual. Berikut ini penjelasan tentang metode-metode pembelajaran tersebut. a. Metode St. Cloud Metode St. Cloud ini lahir di St. Cloud Perancis dengan ciri khas pemakaian multimedia dalam prosedur pembelajaran bahasa (Hamied, 2007: 134). Pembelajaran bahasa dengan metode ini dimulai dengan cara siswa melihat gambar diagram alur melalui media visual. Kemudian langkah selanjutnya adalah siswa menyaksikan film strip penggunaan bahasa dalam sebuah wacana tutur. Lalu dilanjutkan dengan langkah siswa yang mengulang bahan secara bersama-sama. Langkah selanjutnya adalah siswa tidak boleh melihat bahasa tulisan selama 60 jam pelajaran, kemudian diakhiri dengan mempraktikkan bahasa yang dipelajari. Metode ini ditemukan sebagai metode yang efektif. Keefektifan metode ini ditujukan oleh keberhasilannya dalam pembelajaran kelas bahasa di kelas-kelas rendah. Kesimpulannya, metode ini merupakan metode pembelajaran bahasa yang berorientasi pada aspek komunikatif (Andayani, 2015: 93). b. Metode Penguatan Situasional Metode ini berupaya memperbaiki kekurangan yang ada pada metode St. Cloud yang dianggap tidak sesuai dengan situasi. Ketidaksesuaian dalam metode St. Cloud ditunjukkan pada ragam bahasa yang ditampilkan dalam media audiovisual yang tidak aktual dan tidak sesuai dengan situasi nyata (Andayani, 2015: 94). Dalam buku tersebut juga dijelaskan mengenai prosedur pembelajaran bahasa dengan metode penguatan situasional mengikuti langkah-langkah sebagai berikut: (1)
25
pembelajaran bahasa bermula dari belajar bahasa lisan; (2) guru memilih bahasa yang dipelajari merupakan bahasa yang akan digunakan siswa satu kelas; (3) guru menentukan bahwa penjelasan yang detail baru akan diperkenalkan sesuai dengan situasi; (4) siswa dikenalkan dengan prosedurpenyeleksian kosa kata; (5) guru menjelaskan kalimat mulai dari yang sederhana ke yang rumit; dan (6) siswa mengikuti prinsip bahwa belajar membaca dan menulis baru dimulai apabila dasar-dasar leksikal dan gramatikal telah memadai. c. Metode Silent Way Metode silent way dianggap sebagai metode yang unik karena dalam pelaksanaan pembelajaran bukan hanya guru yan diam selama 90% dari waktu pembelajaran. Ada saat-saat siswa diam, tidak membaca, tidak berbicara, tetapi waktunya dihabiskan 90% untuk berkonsentrasi pada bahasa yang baru didengarnya. Dalam pembelajaran ini guru tidak menggunakan benda-benda sebagai media, selain balok.
Dalam
penerapan metode ini guru menerapkan prinsip “membuat siswa bicara” dan “membuat siswa bebas” setelah siswa selesai menyimak bahasa yang dipelajari (Andayani, 2015, 95). Adapun langkah-langkah pembelajaran dengan metode silent way sebagai berikut. langkah pertama adalah siswa memperhatikan guru, dan guru mengangkat sebuah balok sambil mengucapkan kata. Langkah kedua guru mengulangi mengangkat balok dengan warna yang berbeda, dan mengucapkan warnanya, dan seterusnya. Langkah berikutnya guru meminta dengan menggunakan bahasa isyarat agar dua orang siswa maju ke depan dan mengatakan pada salah satunya melalui isyarat pula untuk mengambil balok berwarna tertentu dan siswa lain mengambil balok berwarna lain. perintah ini tanpa penjelasan verbal. Langkah terakhir adalah memberi kesempatan siswa memahami sendiri kosa kata yang berasal dari media miniatur benda.
26
d. Metode Sugestopedia Metode sugestopedia memiliki pengertian yang berasal dari dari istilah sugesti atau memberi sugesti (Tarigan, 2001: 88). Metode ini merupakan metode pemberian sugesti agar siswa dapat belajar bahasa dengan keberanian yang baik khususnya dalam aspek produktif (berbicara dan menulis) (Andayani, 2015: 96). Metode sugestopedia berasal dari Bulgaria, dikembangkan olehGeorgi Lozanov sejak tahun 1978. e. Metode Audiolingual Metode audiolingual adalah metode pembelajaran bahasa yang mengutamakan penggunaan indera audio dan indera visual. Metode ini sangat mengutamakan drill (pengulangan) yang difokuskan pada penguasaan struktur tata bahasa. Dalam penerapan metode audiolingual yang bersdasarkan pendekatan struktural itu, bahasa yang diajarkan dicurahkan pada lafal kata, dan pelatihan pola-pola kalimat berkali-kali secara intensif. Guru meminta siswa untuk mengulang-ulang sampai tidak ada kesalahan. f. Metode Komunikatif Metode komunikatf dalam pembelajaran bahasa adalah metode yang difokuskan pada kemampuan siswa untuk berkomunikasi. Desain yang bermuatan komunikatif harus mencakup semua keterampilan berbahasa. Setiap tujuan diorganisasikan ke dalam pembelajaran. Setiap pembelajaran dikhususkan ke dalam tujuan konkret yang merupakan produk akhir. Sebuah produk di sini dimaksudkan sebagai sebuah informasi yang dapat dipahami, ditulis, diutarakan, atau disajikan ke dalam nonlinguistik.
27
g. Metode Produktif Metode produktif adalah metode pembelajaran bahasa yang diarahkan pada kemampuan berbicara dan menulis atau ranah produktif yang harus dikuasai siswa. Siswa harus banyak berbicara atau menuangkan gagasannya. Dengan menggunakan metode prodeuktif diharapkan siswa dapat menuangkan gagasan yang terdapat dalam pikirannya ke dalam keterampilan berbicara dan menulis secara runtut. Semua gagasan yang disampaiakan dengan menggunakan bahasa yang komunikatif. Yang dimaksud dengan komunikatif disini adalah adanya metode yang bertujuan memberikan kesempatan untuk mendapatkan respon dari lawan bicara. Dengan demiian, dalam metode ini pembicara atau penulis emndapatkan reson dapat berbentuk respon verbal maupun respon tulisan. h. Metode Langsung Metode langsung berasumsi bahwa belajar bahasa yang bai adalah belajar yang langsung menggunakan bahasa secara intensif dalam komunikasi. Tujuan metode ini adalah penggunaan bahasa secar lisan agar siswa dapat berkomunikasi secara alamiah seperti pengguanan bahasa Indonesia di masyarakat. Siswa diberi latihan-latihan untuk mengasosiasikan kalimat degan artinya melalui demonstrasi, peragaan, gerakan, serta mimik secara langsung. i. Metode Partisipatori Metode partisipatori lebih menekankan keterlibatan siswa secara penuh. Siswa dianggap sebagai penentu keberhasilan belajar. Siswa didudukkan sebagai subjek belajar. Dengan berpartisipasi aktif, siswa dapat menemukan hasil belajar. Guru hanya bersifat sebagai pemandu atau fasilitator. Dalam metode ini, siswa menjadi lebih aktif, dinamis, dan berlaku sebagai subjek. Namun, bukan berarti guru harus pasif, tetapi guru juga aktif dalam memfasilitasi belajar siswa dengan suara, gambar,
28
tulisan dinding, dan sebagainya. Guru berperan sebagai pemandu yang penuh dengan motivasi, pandai berperan sebagai moderator dan kreatif. Dalam metode pembelajaran partisipatori ini siswa menjadi tumpuan utama. j. Metode Membaca Metode membaca bertujuan agar siswa mempunyai kemampuan memahami teks bacaan yang diperlukan dalam proses belajar siswa. k. Metode Tematik Dalam metode tematik, semua komponen materi diintegrasikan ke dalam tema yang sama dalam satu unit pertemuan. Tema disini bukanlah tujuan, melainkan alat yang digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Tema tersebut harus disajikan secara kontekstualitas, kontemporer, konkret, dan konseptual. Selain itu, tema yang telah ditentukan juga harus diolah sesuai dengan perkembangan lingkungan siswa yang terjadi saat ini. l. Metode Kerja Kelompok Kecil (Small-Group Work) Metode ini dapat dilakukan untuk mengajarkan materi-materi khusus. Metode ini berpusat kepada siswa, siswa dituntut untuk memperoleh pengetahuan sendiri melalui bekerja secara bersama-sama. Tugas guru hanyalah memonitor apa yang dikerjakan siswa. Sedangkan hal yang ingin diperoleh melalui kerja kelompok adlah kemampuan interaksi sosial, atau kemampuan akademik atau mungkin juga keduanya. m. Metode Alamiah Metode alamiah ini memiliki prinsip bahwa mengajar bahasa baru (seperti bahasa kedua) harus sesuai dengan kebiasaan belajar berbahasa yang sesungguhnya sebagaimana yang dilalui oleh anak-anak ketika belajar bahasa ibunya. Proses alamiah inilah yang harus dijadikan
29
landasan dalam setiap langkah yang harus ditempuh dalam pengajaran bahasa kedua, seperti bahasa Indonesia. n. Metode Terjemahan Metode terjemahan adalah metode yang lazim digunakan untuk pengajaran bahasa asing, terutama dalam hal ini Bahasa Indonesia yang pda umumnya merupakan bahasa kedua setelah bahasa ibu (bahasa daerah). Prinsip utama pembelajarannya adalah bahwa penguasaan bahasa asing dapat dicapai dengan cara latihan terjemahan dari bahasa asing ke dalam bahasa ibu atau bahasa yang dikausai. o. Metode Pembatasan Bahasa Metode ini menekankan pada pembatan dan penggradasian kosakata dan struktur bahasa yang akan diajarkan. Pembatasan itu dalam hal kekerapan atau penggunaan kosakata dan urutan penyajiannya. Katakata dan pola kalimat yang tinggi pemakaiannya di masyarakat diambil sebagai sumber bacaan dan latihan penggunaan bahasa. Pola-pola kalimat, perbendaharaan kata, dan latihan lisan maupun tulisan dikontrol dengan baik oleh guru. Selain metode-metode yang telah dijelakan di atas, masih ada metode pembelajaran lain yang cocok dan masih jarang digunakan dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Itulah metode yang akan digunakan dalam penelitian ini. Metode pembelajaran yang akan digunakan dalam penelitian ini berasal dari pendekatan kooperatif, yakni dalam pendakatan ini pembelajaran dilakukan secara berkelompok. Adapun metode pembelajaran yang termasuk dalam pendekatan kooperatif yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode reciprocal learning dan talking stick. Penjelasan lebih lanjut mengenai kedua metode tersebut akan dijelaskan pada pembahasan dibawah ini.
30
a. Metode Pembelajaran Reciprocal Learning Metode pembelajaran reciprocal learning atau yang biasa juga disebut dengan reciprocal teaching merupakan metode pembelajaran yang pertama kali diperkenalkan oleh Anne M. Polincar dan Anne Brown. Metode pembelajaran ini merupakan metode pembelajaran yang digunakan untuk meningkatkan pemahaman terhadap suatu topik. Silver, et al. (2012: 169) memaparkan pembelajaran reciprocal sebagai berikut. Pembelajaran resiprokal adalah metode pemasangan peserta didik yang dirancang dengan mengingat prinsip-prinsip pembinaan yang efektif. Pembelajaran resiprokal yang dimaksud adalah dengan membagi dua peserta didik ke dalam satu kelompok untuk membentuk kemitraan belajar yang berkomitmen dalam mencapai tujuan pembelajaran tertentu. Masing-masing peserta didik dalam kelompok ini memiliki peran sebagai pemain dan pelatih. Sebagai pemain, peserta didik bertugas untuk menyelesaikan sebuah aktivitas atau menyelesaikan permasalahan sambil mengeluarkan pendapat, sedangkan sebagai pelatih peserta didik mengobservasi pekerjan dan mendengarkan pendapat pemain sembari memberikan pujian, umpan balik, dan petunjuk yang membantu pemain menyelesaikan tugasnya. Reciprocal learning adalah metode pembelajaran instruksional kooperatif dengan model dialog alami dan mengungkapkan proses berpikir peserta didik tentang pengalaman belajar bersama. Guru mendorong pengajaran timbal balik melalui keyakinan mereka bahwa pembangunan kolaboratif antara mereka dan siswa mengarah ke kualitas yang lebih tinggi dari pembelajaran (Allen, 2003). Siswa memiliki peran mereka masingmasing dalam pembelajaran reciprocal learning sehingga mereka merasa nyaman mengungkapkan ide-ide dan pendapat mereka dalam dialog terbuka. Komunitas belajar dapat memperkuat pemahaman untuk melihat, mendengar, dan mencari kebenaran atas kesalahan. Semua anggota kelompok telah berbagi tanggung jawab untuk memipin dan mengambil agian dalam dialog selama prose pembelajaran dengan metode ini (Hashey dan Connors, 2003). Reciprocal learning didasarkan pada teori Vygotsky dari peran fundamental interaksi sosial dalam pengembangan kognisi. Berpikir dan diskusi, kemudian mengkarifikasi dan merevisi hasil pembelajaran, itu yang
31
disebut pengembangan kognisi. Dalam pembelajaran reciprocal learning, dukungan dan umpan balik harus diberikan untuk memfasilitasi pembelajaran (Oczks, 2003). Pembelajaran reciprocal learning yang efektif meliputi membuat kerangka pemikiran, berpikir keras, menggunakan pembelajaran kooperatif, dan memfasilitasi metakognisi dengan langkah-langkah. Masingmasing strategi yang diajarkan oleh guru harus dipahami dengan jelas oleh siswa sebelum melanjutkan ke strategi berikutnya (Hashey et. al, 2003). Prosedur pertama kali dimodelkan oleh guru, kemudian mereka berlatih dan melatih rekan dan melukan umpan balik ke guru. Selanjutnya strategi kerja kelompok tersebut dierahkan kepada siswa (Allen, 2003). Siswa memprediksi, menyusun pertanyaan, mengklarifiksi dan meringkas hasil diskusinya. Guru memantau dan mengevaluasi untuk menentukan mana kerangka yang diperlukan untuk membantu siswa dalam menggunakan metode. Siswa menjadi tahu akan proses belajar mereka sendiri dan mereka belajar berpikir kritis. Kelompok diskusi harus mencakup tidak kurang dari empat dan tidak lebih dari enam orang sehingga semua siswa memiliki kesempatan yang sama untuk melakukan setiap strategi dalam metode itu. Ada empat strategi dalam pembelajaran menggunakan metode reciprocal learning. Strategi pertama adalah memprediksi. Siswa diminta untuk membuat prediksi dari apa yang akan mereka baca. Hal ini dapat membantu untuk mengatur tujuan membaca. Memprediksi juga membantu siswa untuk lebih terlibat dalam cerita, ketika siswa memprediksi bacaan, hal itu membantu sisiwa untuk mengembangkan pemikiran tingkat yang lebih tingi tentang apa yang terjadi dalam cerita. Berpikir tentang apa yang telah terjadi dan apa yang akan terjadi selanjutnya membuat siswa lebih mudah untuk menunjukkan dan memahami peristiwa yang akan datang dan memungkinkan mereka untuk fokus pada ide utama dalam cerita (Hashey, et. al, 2003). Strategi kedua adalah mempertanyakan, yakni membuatpertanyaanpertanyaan yang berkaitan dengan bahan bacaan. Strategi ketiga adalah klarifikasi, yaitu siswa mengklarifikasi ketepatan prediksi dan pertanyaan mereka kepada teman satu kelompok. Strategi yang terakhir adalah
32
meringkas, yakni siswa meringkas hasil diskusi yang telah mereka lakukan baik berupa prediksi, pertanyaan, maupun hasil klarifikasi. Menurut Huda (2014: 216) reciprocal learning ditujukan untuk mendorong siswa mengembangkan skill-skill yang dimiliki oleh pembaca dan pembelajar
efektif,
seperti
merangkum,
bertanya,
mengklarifikasi,
memprediksi, dan merespons apa yang dibaca. Siswa menggunakan empat strategi pemahaman tersebut secara berpasangan maupun dalam kelompok kecil. Huda (2014: 216-218) dalam bukunya juga menjelaskan langkahlangkah pembelajaran menggunakan metode pembelajaran reciprocal learning sebagai berikut. Pertama, peragaan awal, guru memberikan contoh teks dengan menerapkan
strategi
membaca
efektif,
yang
meliputi
meringkas,
mengklarifikasi, mempertanyakan, dan memprediksi. Kedua, pembagian peran, siswa dibagi dalam kelompok kecil yang terdiri dari empat anggota kemudian membagi peran untuk masing-masing siswa yang menjadi anggota kelompok sebagai perangkum, penanya, pengklarifikasi, dan penduga. Ketiga, pembacaan dan pencatatan, salah satu siswa diminta untuk membaca beberapa paragraf dari teks kemudian siswa diminta untuk mencatat, menggarisbawahi, mengcoding, dan sebagainya. Keempat, pelaksanaan diskusi, siswa memainkan perannya masing-masing seperti yang sudah dibagi sebelumnya. Dan kelima, pertukaran peran, siswa bertukar peran satu sama lain sampai teks atau wacana yang disediakan selesai dipelajari. Berbeda dengan pendapat Huda di atas, Suyitno (2006: 19) memaparkan langkah-langkah metode pembelajaran recipropecal learning yang terdiri dari 7 langkah. 1) Guru menyiapkan materi ajar yang harus dipelajari siswa secara mandiri, 2) siswa melakukan tugas yang diberikan guru dengan merangkum dan bertanya, 3) guru mengoreksi hasi pekerjaan siswa, 4) guru menyuruh beberapa siswa untuk menjelaskan hasil temuannya di depan kelas, 5) guru mengungkapkan kembali pengembangan soal tersebut untuk melihat pemahaman siswa yang lain dengan menggunakan metode tanya jawab, 6) guru memberi tugas soal latihan secara individual, termasuk
33
untuk memberikan soal yang mengacu pada kemampuan siswa dalam memprediksi kemungkinan pengembangan materi, 7) guru melakukan evaluasi diri atau refleksi, mengamati keberhasilan penerapan pembelajaran berbalik yang telah dilakukan. Berdaarkan langkah-langkah metode tersebut, metode pembelajaran ini mengutamakan tentang diskusi yang memiliki kemungkinan besar dapat membuat siswa lebih mudah menerima pelajaran. Setiap metode pembelajaran pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Seperti halnya dengan metode pembelajaran reciprocal learning yang memiliki 3 kelebihan menurut Suyitno (2006: 20). Kelebihan yang pertama adalah melatih kemampuan siswa belajar untuk mandiri. Kedua, melatih peserta didik untuk menjelaskan kembali materi yang dipelajari kepada pihak lain. sedangkan kelebihan yang ketiga yaitu adanya orientasi pembelajaran, yang dimaksud orientasi pembelajaran adalah investigasi dan penemuan yang pada dasarnya adalah pemecahan masalah. Silver, et al. (2012: 169) juga mengungkapkan metode pembelajaran reciprocal learning memiliki beberapa kelebihan, antara lain adalah kemitraan siswa dapat meningkatkan interaksi sosial, kemitraan siswa menjadikan diskusi kelas mendalam dan lebih substansif, kemitraan siswa meningkatkan intensitas akademis para siswa tanpa menambahkan durasi intruksional. Selain itu, kelebihan yang lainnya yaitu para siswa akan memerlukan lebih banyak waktu pengerjaan sebuah tugas ketika bekerja bersama seorang mitra dibandingkan yang akan mereka perlukan ketika bekerja secara mandiri, para siswa yang bekerja dalam kemitraan rekan sebaya menjadikan perolehan akademis terukur dan mengembangkan sikap yang lebih positif terhadap materi pelajaran. Hal lain yang merupakan kelebihan metode ini menurut silver adalah kemitraan siswa mengarah pada proses belajar-mengajar yang lebih produktif, lebih hangat (ramah dan ceria), yakni para siswa lebih mandiri dan kurang bergantung pada guru, dan tentunya ketika diaplikasikan pada aktivitas membaca, kemitraan siswa meningkatkan keterampilan dekode, memperdalam pemahaman, serta membantu para peserta didik mempelajari cara membaca teks yang sukar.
34
Metode pembelajaran reciprocal learning selain memiliki kelebihan juga
tentunya
memiliki
kekurangan,
adapun
kekurangan
metode
pembelajaran reciprocal learning ada 2. Pertama, siswa kurang bersungguhsungguh memainkan perannya. Kedua, siswa yang tidak sedang memainkan perannya
sering
menertawakan
tingkah
laku
siswa
yang
sedang
mempraktekkan perannya, sehingga merusak suasana kelas dan tujuan pembelajaran sulit tercapai. Berpijak pada pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa metode pembelajaran reciprocal learning merupakan metode pembelajaran yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan pembaca dan pembelajar efektif dalam hal kemampuan memahami suatu bacaan. Kemampuan memahami isi bacaan didapat melalui merangkum, bertanya, mengklarifikasi dan memprediksi terhadap suatu teks bacaan. Pemahaman siswa terhadap suatu bacaan diperoleh dari tanggungjawab dan peran yang dibebankan kepada siswa, sehingga siswa memiliki kewajiban untuk memahami isi bacaan, saling bertukar dan berbagi informasi yang terdapat dalam teks dengan teman sekelompoknya. b. Metode Pembelajaran Talking Stick Talking stick merupakan metode pembelajaran kelompok dengan bantuan tongkat. Kelompok yang memegang tongkat terlebih dahulu wajib menjawab pertanyaan dari guru setelah mereka mempelajari materi pokoknya. Kegiatan ini diulang terus hingga semua kelompok mendapat gilian untuk menjawab pertanyaan dari guru (Huda, 2014: 224). Menurut Suprijono (2009: 109), pembelajaran dengan metode pembelajaran talking stick dapat mendorong siswa untuk berani dalam mengemukakan pendapat. Pembelajaran dengan metode talking stick adalah pembelajaran yang dipergunakan guru dalam mencapai tujuan pembelajaran yang diinginkan. Proses belajar mengajar di kelas berorientasi pada terciptanya kondisi belajar melalui permainan tongkat yang diberikan kepada satu siswa kepada siswa yang lainnya. Siswa yang memegang tongkat saat
35
guru mengajukan pertanyaan maka siswa itulah yang menjawab pertanyaan dari guru. Hal ini dilakukan agar semua siswa mendapat kesempatan untuk menjawab pertanyaan dari guru. Ada 3 tahapan dalam metode pembeajaran talking stick. Tahap pertama, talking (berbicara): memberikan materi yang akan dipelajari dan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk membaca dan mempelajari materi, pada tahap ini guru menyampaikan materi pokok yang akan dipelajari. Kemudian memberi kesempatan kepada peserta didik untuk membaca dan mempelajari materi pada pegangannya. Tahap kedua, Stick (tongkat): mengambil tongkat, memberikan pertanyaan serta menjawabnya. Pada tahap ini guru mempersilahkan siswa untuk menutup bukunya kemudian guru mengambil tongkat dan memberikan kepada siswa, setelah itu guru memberikan pertanyaan dan siswa yang memegang tongkat tersebut harus menjawabnya. Demikian seterusnya hngga sebagian besar siswa mendapat bagian untuk menjawab setiap pertanyaan guru. Tahap ketiga, Evaluasi: memberikan rangkuman dari materi yang telah dipelajari, pada tahap ini guru memberi kesimpulan dan memberikan soal tes kepada siswa. Pembelajaran menggunakan metode talking stick tentunya memiliki beberapa langkah-langkah yang harus dilakukan guna tercapai pembelajaran yang sesuai. Adapun langkah-langkah metode pembelajaran talking stick menururt Huda (2014: 225) ada 8 langkah. Langkah yang pertama, guru menyiapkan tongkat yang panjangnya ± 20 cm. Kedua, Guru menyampaikan materi pokok yang akan dipelajari, kemudian memberikan kesempatan para kelompok untuk membaca dan mempelajari materi pelajaran. Ketiga, siswa berdiskusi membahas masalah yang terdapat di dalam wacana. Keempat, setelah siswa selesai membaca materi pelajaran dan mempelajari isinya, guru mempersilakan siswa untuk menutup isi bacaan. Kemudian kelima, guru mengambil tongkat dan memberikannya kepada salah satu siswa, setelah itu guru memberi pertanyaan dan siswa yang memegang tongkat tersebut harus menjawabnya. Demikian seterusnya sampai sebagian besar siswa mendapat bagian untuk menjawab setiap pertanyaan dari guru. Keenam dan ketujuh
36
guru memberi kesimpulan dan melakukan evaluasi/penilaian. Sedangkan yang terakhir, guru menutup pembelajaran. Aqib
(2014:
26-27)
menjelaskan
langkah-langkah
metode
pembelajaran talking stick meliputi 6 langkah. 1) Guru menyiapkan sebuah tongkat. 2) Guru menyampaikan materi pokok yang akan dipelajari kemudian memberikan kesempatan kepada siswa untuk membaca dan mempelajari materi pada pegangannya/ paketnya. 3) Setelah selesai membaca buku dan mempelajarinya, kemudian mempersilahkan siswa untuk menutup bukunya. 4) Guru mengambil tongkat dan memberikan kepada siswa, setelah itu guru memberikan pertanyaan dan siswa yang memegang tongkat tersebut harus menjawabnya, demikian seterusnya sampai sebagian besar siswa mendapat bagian untuk menjawab setiap pertanyaan dari guru. 5) Guru memberikan kesimpulan. Dan 6) Guru melakukan evaluasi. Menurut Suprijono (2009: 109) langkah-langkah pembelajaran metode pembelajaran talking stick meliputi 10 langkah. 1) Guru menjelaskan materi pokok yang akan dipelajari. 2) Siswa diberi kesempatan membaca dan mempelajari materi tersebut. 3) Guru meminta kepada siswa untuk menutup bukunya. 4) Guru mengambil tongkat yang telah dipersiapkan sebelumnya. 5) Kemudian tongkat tersebut diberikan kepada salah satu siswa. 6) Siswa yang menerima tongkat dari guru tersebut harus menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru. 7) Begitu seterusnya sampai sebagian besar siswa mendapat pertanyaan dari guru. 8) Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk merefleksikan materi yang telah dipelajari. 9) Guru memberikan ulasan terhadap seluruh jawaban yang diberikan siswa. 10) Guru dan siswa merumuskan kesimpulan. Metode pembelajaran talking stick memiliki kelebihan sekaligus kekurangan. Kelebihan metode pembelajaran talking stick ini antara lain menguji kesiapan siswa dalam belajar, melatih keterampilan dalam membaca dan memahami serta mengerti secara mendalam tentang materi yang dipelajari. Selain itu juga melatih konsentrasi siswa, membuat siswa lebih giat dalam belajar, mengajak siswa untuk siap dalam situasi apapun, dan dapat
37
membangkitkan keberanian siswa dalam mengemukakan pertanyaan kepada teman lain maupun guru. Kelebihan lainnya yaitu dapat mengurangi rasa takut siswa dalam berdiskusi dengan teman maupun guru, dapat mengukur tingkat pemahaman siswa secara langsung dan secara individu, dapat meningkatkan keaktifan siswa dalam pembelajaran, dan dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. Sedangkan kelemahan pembelajaran dengan metode pembelajaran talking stick meliputi 3 hal. 1) Membuat siswa senam jantung. 2) Bagi siswa yang secara emosional belaum terlatih untuk bisa berbicara dihadapan guru, metide ini mungkin kurang sesuai. 3) Jika guru tidak bisa mengendalikan kondisi kelas, maka suasana kelas akan gaduh. Berdasarkan pendapat beberapa ahli di atas, metode talking stick adalah metode pembelajaran yang dipergunakan oleh guru dalam proses belajar mengajara di kelas yang berorientasi pada terciptanya kondisi belajar melalui permainan tongkat yang diberikan kepada siswa ke siswa lainnya dengan tujuan agar siswa pemegang tongkat menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru. 3. Hakikat Minat Membaca Karya Sastra Menurut Crow dan Crow (1963: 159) minat merupakan kemampuan untuk
memberikan
stimulasi
yang
mendorong
seseorang
untuk
memperhatikan seseorang, suatu barang, kegiatan, atau sesuatu yang dapat memberi pengaruh terhadap pengalaman yang disitimulasi oleh kegiatan itu sendiri. Minat menimbulkan kekuatan atau motivasi yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu dalam kehidupannya. Selain itu, minat juga dapat dijadikan prasarana seseorang untuk mencurahkan perhatiannya terhadap sesuatu atau aktivitas lain. Menurut Sutarno (2006: 27)
minat
seseorang terhadap sesuatu adalah kecenderungan hati yang tinggi, gairah atau keinginan seseorang tersebut terhadap sesuatu. Pendapat yang lebih lengkap dikemukakan oleh Chaplin (2000: 255) yang merumuskan minat dalam tiga buah rumusan, yaitu pertama, sebagai
38
suatu sikap yang menetap yang mengikat perhatian individu ke arah objekobjek tertentu secara selektif. Kedua, perasaan yang berarti bagi individu terhadap kegiatan, pekerjaan sambilan atau objek-objek yang dihadapi oleh setiap individu, dan ketiga, kesiapan individu yang mengatur atau mengendalikan perilaku dalam arah tertentu atau ke arah tujuan tertentu. Berdasarkan beberapa pengertian minat di atas, dapat disimpulkan minat adalah kemampuan untuk memberikan stimulisi yang mendorong seseorang untuk memperhatikan seseorang, suatu barang, kegiatan, atau sesuatu yang dapat memberi
pengaruh
terhadap
pengalaman
yang
disitimulisi oleh kegiatan itu sendiri sehingga menimbulkan kekuatan atau motivasi untuk melakukan sesuatu dalam kehidupannya yang disertai dengan perasaan senang. Menurut Rahim (2008: 28) minat membaca ialah keinginan yang kuat disertai usaha-usaha seseorang untuk membaca. Maksudnya orang yang mempunyai minat membaca yang kuat akan diwujudkan dalam kesediaannya untuk mendapatkan bahan bacaan, kemudian membacanya atas kesadarannya sendiri. Minat sendiri adalah rasa ketertarikan pada suatu kegiatan atau aktivitas yang ditunjukkan dengan keinginan atau kecenderungan untuk memperhatikan aktivitas tersebut tanpa ada yang menyuruh, dilakukan dengan rasa senang dan secara tidak sadar. Perhatian ini berhubungan erat dengan dorongan, motif-motif atau respon-respon emosional yang dapat berupa orang, benda, aktivitas maupun sesuatu yang mempengaruhi tujuan berpikir anak karena hal tersebut menyenangkan dan memberi nilai kepadanya. Sutarno (2006: 27) mengungkapkan bahwa minat baca seseorang dapat diartikan sebagai kecenderungan hati yang tinggi dari orang tersebut kepada suatu sumber bacaan tertentu. Sutarno juga menyebutkan bahwa faktor pendorong bangkitnya minat baca ialah ketertarikan, kegemaran dan hobi membaca. Berdasarkan uraian tersebut dapat dirumuskan pengertian minat membaca adalah keinginan yang kuat disertai usaha-usaha seseorang
39
untuk membaca yang disertai dengan perasaan senang terhadap kegiatan membaca tersebut sehingga seseorang membaca dengan kemauannya sendiri. Frymeir (dalam Rahim 2008: 28-29) mengidentifikasikan enam faktor yang mempengaruhi perkembangan minat baca anak. Faktor-faktor tersebut meliputi hal-hal berikut ini. Faktor yang pertama adalah pengalaman sebelumnya, artinya siswa tidak akan mengembangkan minatnya terhadap sesuatu jika mereka belum pernah mengalaminya. Misalnya seseorang yang mengalami
kesulitan
dalam
mengoperasikan
komputer,
tentu
akan
bersemangat dalam membaca buku mengenai komputer. Kedua, konsepsinya tentang diri, maksudnya siswa akan menolak informasi yang dirasa mengancamnya, sebaliknya siswa akan menerima jika informasi tersebut dipandang berguna dan membantu meningkatkan dirinya. Ketiga, faktor nilainilai, minat siswa timbul jika sebuah mata pelajaran disajikan oleh orang yang berwibawa. Selanjutnya adalah fakor mata pelajaran yang bermakna, maksudnya informasi yang mudah dipahami oleh anak akan menarik minat mereka. Selain itu juga faktor tingkat keterlibatan tekanan, artinya jika siswa merasa dirinya mempunyai beberapa tingkat pilihan dan kurang tekanan, minat membaca mereka akan lebih tinggi. Oleh karena itu suatu penyajian mata pelajaran khususnya membaca tidaklah boleh terlalu menekan anak dan sebaiknya anak diberi beberapa alternatif. Faktor yang terakhir adalah kekompleksitasan materi pelajaran, siswa yang lebih mampu secara intelektual dan fleksibel secara psikologis lebih tertarik kepada hal yang lebih kompleks. Suharyanti (2008: 106-108) mengungkapkan bahwa secara garis besar faktor yang mempengaruhi minat baca ada dua yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Faktor intern yang mempengaruhi minat membaca meliputi beberapa hal. Faktor intern yang pertama adalah pembawaan atau bakat. Pembawaan adalah kemampuan yang terbawa sejak lahir, mungkin karena keturunan atau karena kondisi dalam kandungan. Sedangkan bakat adalah kemampuan khusus yang sangat kuat pada individu. Bakat ini biasanya merupakan faktor keturunan dan diperkuat oleh faktor dari luar.
40
Kedua adalah faktor jenis kelamin. Kodrat manusia yang memiliki dua jenis kelamin laki-laki dan perempuan membuat perbedaan diantara keduanya. Hal ini membuat tugas hidup dan keadaan jiwanya juga berbeda. Begitu juga dengan hal bacaan, jika anak laki-laki lebih sering membaca sport, maka anak perempuan lebih senang membaca cerita karrier dan romansa. Pada umumnya anak laki-laki kurang senang untuk membaca buku untuk perempuan, sedan anak gadis/perempuan pada umumnya senang membaca buku-buku untuk anak laki-laki. Faktor ketiga adalah umur dan tingkat perkembangan. Perbedaan umur dapat menyebabkan adanya perbedaan minat bacaan yang disukai. Anak yang mempunyai tingkat perkembangan yang lebih tinggi akan mempunyai minat membaca yang lebih tinggi daripada anak yang tingkat perkembangannya lebih rendah. Faktor yang keempat yaitu keadaan fisik dan psikis. Keadaan fisik dan psikis seseorang pada waktu tertentu, mempengaruhi tingkah lakunya pada waktu itu. Demikian pula minat. Jika mereka dalam keadaan sakit, susah, bingung, dan sebagainya, tak akan tertarik pada buku-buku bacaan. Orang yang sedang payah akan berkurang minatnya terhadap sesuatu terutama bacaan. Faktor yang terakhir atau yang kelima adalah kebutuhan obyektif. Kebutuhan
obyektif
seseorang
merupakan
salah
satu
faktor
yang
mempengaruhi minat. Misalnya saja kebutuhan mendapatkan penghargaan, pujian, dan sebagainya mengakibatkan timbulnya minat membaca suatu bacaan yang dipandang dapat menjadi modal untuk memenuhi kebutuhannya. Adapun faktor ekstern yang mempengaruhi minat baca seseorang adalah aspek sosial dan aspek lingkungan. Aspek sosial yaitu faktor pergaulan dengan sesama manusia. Hal ini mencakup pergaulan dengan sesama teman di sekolah, sesama sebaya di luar sekolah, pengaruh guru di sekolah, serta pengaruh lingkungan sekolah. Sedangkan aspek lingkungan yaitu faktor keadaan lingkungan dimana si anak berada. Aspek lingkungan tersebut berupa adanya tempat membaca yang memadai, tersedianya fasilitas bacaan, dan pengaruh media masa seperti televisi, radio, dan sebagainya yang dapat mendorong minat baca.
41
Faktor-faktor yang telah disebutkan di atas merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi minat membaca seseorang, tentunya faktor-faktor tersebut juga mempengaruhi minat membaca karya sastra seseorang. Berdasarkan pendapat-pendapat tentang minat baca yang telah diungkapkan tersebut jika dikaitkan dengan karya sastra maka minat membaca karya sastra adalah keinginan yang kuat disertai usaha-usaha seseorang untuk membaca karya sastra baik puisi, cerpen, novel dan lain sebagainya. Keinginan dan usaha tersebut diiringi dengan perasaan senang terhadap kegiatan membaca tersebut sehingga seseorang membaca karya sastra dengan kemauannya sendiri.
B. Penelitian yang Relevan Penelitian yang dilakukan oleh Khan, dkk (2015, 10-14) yang berjudul “Stylistic Analysis of the Short Story ‘The Last Word’ by Dr. A. R. Tabassum” . Penelitian ini membahas tentang analisis gaya cerita pendek yang berjudul The Last Word yang ditulis oleh Tabassum. Penelitian ini berkaitan dengan penelitian yang akan dilakukan karena dalam mengapresiasi cerpen juga diperlukan pemahaman mengenai gaya sebuah cerpen. Hal ini akan memudahkan seseorang dalam mengapresiasi cerpen secara lebih lanjut. Ching dan Hui (2013, 13-27) yang berjudul “The Cooperative Learning Effects on English Reading Comprehension and Learning Motivation of EFL Freshmen”. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang menyelediki efek dari penggunaan pembelajaraan kooperatif untuk meningkatkan pemahaman bacaan bahasa inggris dan motivasi EFL mahasiswa dengan membandingkan instruksi pembelajaran kooperatif dan instruksi kuliah tradisional. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan adalah sama-sama merupakan
penelitian
ekspreimental
dengan
menggunakan
pembelajaran
kooperatif. Perbedaannya dalam penelitian ini dilakukan untuk pembelajaran membaca
pemahaman
mengapresiasi cerpen.
sedangkan
yang
akan
dilakukan
adalah
untuk
42
Sun (2011, 1405-1410) melakukan penelitian dengan judul ”The Clash between the Desire and the Real World—A Stylistic Analysis of the Short Story “Theft””. Penelitian ini mengkaji tentang analisis stilistik sebuah cerpen tentang pencurian. Persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah karena penelitian ini memiliki variabel yang sama dengan salah satu variabel dalam penelitian yang akan diteliti yaitu variabel tentang cerita pendek atau cerpen. Ibnian (2010, 181-194) melakukan penelitian yang berjudul “The Effect of Using the Story- Mapping Technique on Developing Tenth Grade Students’ Short Story Writing Skills in EFL”. Penelitian ini dilakukan untuk menyelidiki efek dari penggunaan teknik pemetaan cerita pada pengembangan keterampilan menulis cerpen siswa kelas X di EFL. Penelitian ini relevan dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu sama-sama menguji tentang teknik ataupun metode pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan siswa. Hanya saja dalam penelitian ini lebih difokuskan pada menulis cerpen sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan lebih difokuskan pada apresiasi cerpen. Penelitian yang dilakukan oleh Daniel (2013, 222-232) dengan judul “A Critical Look at the Teacher Factor in Senior Secondary School Students’ Poetic Appreciation Skills Development”. Penelitian ini mengkaji tentang pentingnya faktor guru dalam pengembangan keterampilan apresiasi puisi pada sekolah menengah atas. Hal ini relevan dengan salah satu variabel penelitian yang akan dilakukan yaitu sama-sama mengapresiasi sastra hanya saja dalam penelitian ini lebih terfokus pada apresiasi puisi, sedangkan penelitian yang akan dilakukan lebih terfokus pada apresiasi cerpen. Penelitian yang dilakukan oleh Braaksama, dkk (2009, 91-116) dengan judul “Self-Questioning In The Literature Classroom: Effects on students’ interpretation and appreciation of short stories”. Penelitian ini meneliti tentang apakah self questioning pada kelas sastra dapat memberikan efek pada interpretasi siswa dan apresiasi cerita pendek. Hal ini relevan dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu sama-sama memiliki variabel tentang apresiasi cerita pendek.
43
C. Kerangka Berpikir 1. Perbedaan Kemampuan Mengapresiasi Cerita Pendek antara Siswa yang diajar dengan Menggunakan Metode Pembelajaran Reciprocal Learning dan Metode Pembelajaran Talking Stick. Kemampuan mengapresiasi cerita pendek merupakan salah satu kemampuan
bersastra
yang
penting
untuk
dipelajari.
Kemampuan
mengapresiasi cerita pendek adalah kesanggupan seseorang untuk mengenal, menghargai, atau mengagumi, menginterpretasi atau memberi makna, mengerti atau memahami, menyenangi atau menikmati, dan memberi penilaian terhadap karya sastra bentuk cerita pendek. Untuk dapat mengapresiasi cerpen dengan baik dan memiliki kemampuan yang baik maka diperlukan metode pembelajaran yang mendukung agar tercapai tujuan pembelajaran yang diharapkan. Salah satu alternatif untuk menarik perhatian siswa dan meningkatkan motivasi belajar siswa dapat digunakan metode pembelajaran reciprocal learning. Metode pembelajaran reciprocal learning merupakan metode pembelajaran yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan pembaca dan pembelajar efektif dalam hal kemampuan memahami suatu bacaan. Kemampuan memahami isi bacaan didapat melalui merangkum, bertanya, mengklarifikasi dan memprediksi terhadap suatu teks bacaan. Melalui metode pembelajaran ini diharapkan siswa kelas X SMA Negeri di Kota Yogyakarta dapat bekerja sama secara kelompok dan membantu siswa lain yang tidak mampu menjadi mampu. Metode pembelajaran reciprocal learning ini menekankan pada kerja sama antar siswa dalam suatu kelompok. Hal ini dilandasi oleh pemikiran bahwa peserta didik lebih mudah menemukan dan memahami suatu konsep jika mereka saling mendiskusikan masalah tersebut dengan temannya. Dengan sistem pembelajaran kelompok ini tentunya akan semakin memotivasi siswa untuk memunculkan rasa ingin tahu serta keinginan untuk belajar dengan bantuan temannya.
44
Metode pembelajaran talking stick sama-sama menggunakan metode diskusi, hanya saja diskusi dalam metode pembelajaran talking stick tidak mengupas materi secara mendalam dan terarah. Sedangkan diskusi dalam metode pembelajaran reciprocal learning dilakukan secara terarah dan setiap siswa
memiliki
peran
masing-masing
dalam
kelompok
diskusinya.
Berdasarkan hal tersebut, diduga ada perbedaan antara siswa yang diberi pembelajaran dengan metode pembelajaran reciprocal learning dan siswa yang diberi pembelajaran tanpa metode pembelajaran talking stick. Metode pembelajaran reciprocal learning diduga dapat digunakan sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan mengapresiasi cerita pendek. 2. Perbedaan Kemampuan Mengapresiasi Cerita Pendek antara Siswa yang Memiliki Minat Membaca Karya Sastra Tinggi dan Siswa yang Memiliki Minat Membaca Karya Sastra Rendah. Kemampuan mengapresiasi cerita pendek dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut dibedakan atas dua macam, yaitu faktor yang bersumber dari dalam diri manusia dan faktor yang berasal dari luar diri manusia tersebut. Faktor yang berasal dari dalam diri manusia di antaranya adalah minat. Minat membaca yang ada pada diri siswa akan mempengaruhi hasil apresiasi siswa karena dengan membaca, siswa semakin banyak menguasai kosa kata dan memahami banyak hal. Siswa yang memiliki minat membaca terutama membaca karya sastra tinggi akan semakin banyak memahami banyak hal dan cenderung memiliki banyak pengetahuan, sehingga dengan mudah dia dapat mengungkapkan halhal yang ia baca lebih cepat, tanggap dan penuh wawasan. Sedangkan siswa yang memiliki minat membaca karya sastra rendah, maka pemahaman akan bacaan dan pengetahuannya pun kurang baik, sehingga dia akan mengalami kesulitan untuk mengungkapkan ide/gagasannya untuk mengapresiasi bacaan yang ia baca dalam hal ini adalah cerita pendek.
45
3. Interaksi antara Metode Pembelajaran dan Minat Membaca Karya Sastra terhadap Kemampuan Mengapresiasi Cerita Pendek. Metode pembelajaran dan minat membaca karya sastra merupakan dua faktor yang mempengaruhi kemampuan mengapresiasi cerita pendek. Dalam hal ini siswa yang memiliki minat membaca karya sastra tinggi maupun rendah turut mempengaruhi atau menentukan metode pembelajaran mengapresiasi cerita pendek. Siswa yang memiliki minat membaca karya sastra yang berbeda tidak selamanya memberikan hasil yang sama baiknya dalam semua situasi dan kondisi. Agar dapat memberikan kemampuan mengapresiasi cerita pendek yang baik dan maksimal, maka perlu adanya kesesuaian antara minat membaca karya sastra siswa dengan metode pembelajaran. Siswa yang diberikan pembelajaran dengan metode pembelajaran reciprocal learning dan memiliki minat membaca karya sastra tinggi hasil kemampuan mengapresiasi cerita pendeknya diperkirakan terbilang sangat baik. Dalam penggunaan metode pembelajaran reciprocal learning siswa diberi stimulus untuk memancing ide-ide atau gagasan pemahaman mereka terhadap cerita pendek yang dibaca kemudian mengungkapkannya dalam bentuk apresiasi terhadap cerita pendek. Siswa yang memiliki minat membaca karya sastra tinggi akan dengan mudah menuangkan ide/gagasan yang sudah dipancing menggunakan metode pembelajaran reciprocal learning dalam apresiasi cerpen. Siswa yang diberi pembelajaran dengan metode pembelajaran talking stick namun memiliki minat membaca karya sastra yang rendah, diperkirakan hasilnya kurang memuaskan. Siswa tersebut dapat memperoleh hasil dibawah rata-rata nilai siswa yang memiliki minat membaca karya sastra tinggi. Jadi, diduga ada interaksi antara penggunaan teknik pembelajaran dan minat membaca karya sastra siswa untuk meningkatkan keterampilan mengapresiasi cerita pendek siswa.
46
Siswa
Metode Pembelajaran (X1)
Metode Pembelajaran Reciprocal Learning
Minat Membaca Karya Sastra (X2)
Metode Pembelajaran Talking Stick
Tinggi
Rendah
Kemampuan Mengapresiasi Cerita Pendek (Y)
Gambar 1: Kerangka Pikir Penelitian
D. Hipotesis Penelitian Berdasarkan kajian teori dan kerangka pikir di atas, maka hipotesis peneilitian yang dapat diajukan adalah sebagai berikut. 1. Hipotesis Nihil (H0) a. Kemampuan mengapresiasi cerita pendek antara kelompok siswa yang diajar dengan menggunakan metode pembelajaran reciprocal learning tidak lebih baik daripada kelompok siswa yang diajar dengan menggunakan metode pembelajaran talking stick. b. Kemampuan mengapresiasi cerita pendek siswa yang memiliki minat membaca karya sastra tinggi tidak lebih baik dibandingkan dengan siswa yang memiliki minat membaca karya sastra rendah.
47
c. Tidak ada interaksi antara metode pembelajaran dan minat membaca karya sastra dengan kemampuan mengapresiasi cerita pendek. 2. Hipotesis Alternatif (Ha) a. Kemampuan mengapresiasi cerita pendek antara kelompok siswa yang diajar menggunakan metode pembelajaran reciprocal learning lebih baik daripada kelompok siswa yang diajar menggunakan metode pembelajaran talking stick. b. Kemampuan mengapresiasi cerita pendek antara siswa yang memiliki minat membaca karya sastra tinggi lebih baik daripada siswa yang memiliki minat membaca karya sastra rendah. c. Terdapat interaksi antara metode pembelajaran dan minat membaca karya sastra terhadap kemampuan mengapresiasi cerita pendek.