BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Penyakit Ginjal Kronis Penyakit Ginjal Kronis (PGK) adalah suatu proses patofisiologis. dengan etiologi yang beragam yang dapat mengakibatkan penurunan fungsi ginjal secara progresif dan pada umumnya akan berakhir dengan gagal ginjal. Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, dimana pada suatu derajat sehingga memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, baik berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra, 2006). Pada pedoman KDOQI, batasan PGK adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama atau lebih dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patologik atau petanda kerusakan ginjal seperti kelainan pada urinalisis. Selain itu, batasan ini juga memperhatikan derajat fungsi ginjal atau laju filtrasi glomerulus (LFG), seperti terlihat pada tabel di bawah ini (KDOQI, 2002). Tabel 1. Kriteria PGK ( Suwitra, 2006). Kriteria PGK 1. Kerusakan ginjai (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi: • •
Kelainan patologis Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam test pencitraan (imaging test)
2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/l,73m2 selama 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal
Klasifikasi stadium PGK ditentukan oleh nilai laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai laju filtrasi glomerulus yang-lebih rendah, Tabel 2. Klasifikasi PGK atas dasar derajat penyakit (Suwitra, 2006). Derajat Penjelasan
LFG
1
Kerusakan ginjal dengan LFG nonnal atau
>90
2
Kerusakan ginjal dengan LFG turun ringan
60-89
3
Kerusakan ginjal dengan LFG turun sedang
30-59
4
Kerusakan ginjal dengan LFG turun berat
15-29
5
Gagal ginjal
< 15 /dialisa
Klasifikasi atas dasar derajat penyakit dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan menggunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut: LFG(60ml/menit/i,73m2) =
(140-umur) x berat badan 72 x kreatinin plasma(mg/dl)
*) pada perempuan dikalikan 0,85 2. Morbiditas dan Mortalitas Penyakit Jantung Vaskuler pada Penyakit Ginjal Kronis Penyakit ginjal kronis dan penyakit jantung vaskuler mempunyai dampak kesehatan yang luas diseluruh dunia, terutama dinegara barat. Progresifitas PGK atau PJV secara independen memberikan efek sinergis terhadap penurunan kemampuan organ satu sama lain, sebagai contoh, pasien dengan PGK memiliki kecenderungan untuk mengalami kematian akibat PJV dibanding PGK nya sendiri (Small.,2012). Penyakit jantung vaskuler menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas pasien PGK disemua stadium (Skorecki.,2005) dan juga merupakan penyebab kematian paling penting pada pasien yang menjalani hemodialisa, yaitu 44% dari semua mortalitas. Sebagai
gambaran, mortalitas PJV pada populasi umum (2.000 kematian) dibandingkan mortyalitaas pada pasien hemodialisis (50.000 kematian). Hasil tersebut menunjukkan bahwa tingkat mortalitas PJV per tahun lebih tinggi pada pasien hemodialisa tanpa mempertimbangikahn jenis kelamin, ras, atau usia. Banyak data menunjukkan bahwa pasien hemodialisa memiliki prevalensi penyakit jantung iskemik dan gagal jantung kongestif lebih tinggi dibandingkan populasi umum. (Gambar 1) (Sarnak.,2003)
Gambar 1.
Mortalitas PJV pada populasi umum dibandingkan dengan pasien PGK stadium terminal yang menjalani dialisa. GP= General population (sarnak, 2003)
3. Manifestasi Komplikasi Kardiovaskuler pada Penyakit Ginjal Kronis Terdapat beberapa kelainan patologik dan manifestasi klinik PKV pada PGK. Pada arteri terdapat aterosklerosis dan arteriosklerosis. Aterosklerosis adalah radang pada pembuluh darah yang disebabkan penumpukan
plak
ateromatous
pada
tunika
intima
sedangkan
arteriosklerosis adalah suatu remodeling dari arteri besar yang disertai dengan kalsifikasi di tunika media dan berkurangnya elastisitas arteri tersebut (Campean V et el., 2005). Presentasi klinis seperti pada populasi umum yaitu penyakit jantung iskemik, penyakit serebrovaskuler, penyakit vaskuler perifer atau gagal jantung (Suhardjono, 2009).
Proses pembentukan aterosklerosis disebut aterogenesis yang terjadi beberapa tahap. Fase awal terjadi disfungsi endotel dengan degradasi ikatan dan struktur mosaik, sehingga memungkinkan senyawa yang terdapat di dalamplasma darah seperti low density lipoprotein (LDL) untuk menerobos dan mengendap pada ruang subendotel akibat peningkatan permeabilitas (Deanfield, 2007). Aterosklerosis adalah penyakit progresif dan dinamis yang merupakan kombinasi disfungsi endotel dan inflamasi. Aterosklerosis melibatkan beberapa komponen inflamasi, remodeling dan deposit lemak vaskuler, fibrgsis serta trombosis. Aterosklerosis merupakan proses proliferasi dan respon inflamasi yang berlebihan dari otot polos vaskuler, infiltrasi set inflamasi, neovaskuladsasi, produksi matriks ekstraseluler dan akumulasi lemak (Arici dan Walls, 2001). Disfungsi endotel merupakan prekursor munculnya aterosklerosis dan berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya PKV (Stinghen dan Pecoits, 2007). Kombinasi faktor resiko tradisional pada PGK tidak cukup menjelaskan tingginya insiden PKV pada PGK dan disfungsi endotel diduga berperan dalam peningkatan resiko PKV pada PGK (Martens dan Edwards, 2011). Stres oksidatif telah diketahui sebagai faktor yang terlibat didalam menginisiasi
kedua
keadaan
PGK
dan
PJV
(sstevinkel.,2008).
Progresivitas dari PGK menjadi PJV melalui beberapa jalur, antara lain: inflamasi dan pelepasan sitokin proinflamasi, disfungsi endotel akibat retensi dari toksin uremik dan penurunan sintesis L-arginin yang menyebabkan gangguan signaling dari NO, ketidakseimbangan antara produksi ROS/RNS dengan antioksidan endogen
Gambar 2 CKD dan PJV disatukan oleh stres oksidatif (Small.,2013) Pasien PGK dengan retensi uremik merupakan penyebab potensial dari stress oksidatif dan inflamasi peningkatan toksisitas uremik dapat dihubungkan dengan meningkatnya perburukan PJV (Santoro dan Mancini.,2002) Toksin uremik diklasifikasikan berdasar keadaan fisiknya (kelarutan dalam air, molecular weight, terikat protein atau tidak), berdasar asalnya (metabolism endogen, metabolism mikroba, intake dari mar) (evenepoel.,2009). Dua toksin uremi yang berasal dari mikroba yang dikaitkan dengan progresivitas yang buruk pada pasien PGK adalah indol sulfat dan p-cresyl sulfat(Niwa.,2010)
Gambar 3.
Metabolisme dan ikatan kompetitif antara indoxyl sulfat dan pcresyl sulfat(small.,2013) Kedua toksin uremik berdasarkan teori metabolit protein
menyebabkan perburukan pada PGK. Penurun kliren ginjal akibat berkurangnya nefron meningkatkan toksin uremik sirkulasi. Lingkaran seian ini akan berakhir menjadi penyakit ginjal tahap aknir. Pada kondisi PGK, selain kerusakan ginjal, organ-organ lain juga akan mengalami kerusakan, terutama organ jantung. (Aoyama.,1999) KLASIK Hipertensi Hiperlipidemia Diabetes Merokok TERKAIT-UREMIA
LDL teroksidasi Radikal bebas Hiperhomosisteinemia Infeksi: herpes, klamidia Asidosis Toksin
TERKAIT-DIALISIS Bioinkompatibilitas Infeksi Endotoksin
PELEPASAN SITOKIN PROINFLAMASI
DIDUNGSI ENDOTEL
PROTEIN REAKTAN FASE AKUT (CPR, SAA, FIBRINOGEN) RESPON DMFLAMASI SISTEMIK PERCEPATAN ATEROSKLEROSIS
Gambar 4.
Faktor risiko aterosklerosis pada uremia (Santoro and Mancini, 2002)
4. Inflamasi pada Pasien Penyakit Ginjal Kronis Inflamasi kronis yang terdapat pada penyakit ginjal kronis terjadi tanpa adanya infeksi akut atau penyakit sistemik aktif. Peningkatan kadar penanda inflamasi yang bersirkulasi, seperti IL-6, IL-18, S-albumin, leukosit, fibrinogen, hyaluronan, myeloperoxidase, CRP, dan pentraxin-3 (PTX3) berhubungan dengan morbiditas kardiovaskuler dan mortalitas pada pasien PGK (Stevinkel, 2008). Telah dibuktikan bahwa peningkatan CRP serum terdapat pada 30-60% pasien dialisis dan berkorelasi dengan prevalensi penyakit kardiovaskuler yang tinggi pada populasi tersebut Hal tersebut tidak terbatas pada pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir (PGTA) yang telah menjalani dialisis, bahkan pasien dengan gangguan fungsi ginjal yang ringan menunjukkan tanda-tanda mikro-inflamasi (Sarnak, 2003). Tampaknya bahwa peningkatan klirens sitokin proinflamasi yang bersirkulasi, endotoksemia akibat volume overload dan stres oksidatif berkontribusi pada fenomena tersebut (Alscher and Thomas, 2005).
Gambar 5. Toksin uremik dan inflamasi pada PGK (Stinghen dan Pecoits.,2007) 5. Peran TGF-β1 sebagai faktor resiko aterosklerosis pada PGK Peran sitokin dan faktor pertumbuhan (growth factor) sangat penting dalam proses inflamasi yang mendasari pembentukan jaringan sklerotik dan fibrosis pada glomerulonefritis. Transforming growth factor (TGF-β1) merupakan sitokin multipoten yang disekresi oleh b^rbagai sel dalam tubuh. Sitokin TGF-β1 mempunyai kapasitas untuk mengaktivasi fibroblas interstisial, menginduksi apoptosis (yang menyebabkan sel intrinsik ginjal hilang, digantikan dengan jaringan fibrotik), dan diferensiasi
sel
tubulus
menjadi
miofibroblas,
sehingga
terjadi
pembentukan jaringan parut ginjal. Jumlah TGF- β1 di daerah tubulointerstisial berkorelasi dengan derajat inflamasi interstisial dan atrofi tubulus. Keterlibatan TGF-β1 pada pembentukan jaringan parut ginjal juga melalui peningkatan sintesis matriks ekstra selular. Diketahui bahwa TGF- β 1 berperan dalam progresivitas penyakit ginjal. (Lan., 2011).
Transforming growth factor-beta (TGF-β1) adalah regulator multifungsi yang memodulasi proliferasi sel, diferensiasi, apoptosis, adhesi dan migrasi berbagai jenis sel dan menginduksi produksi protein ECM. TGF- β1 superfamili, ditandai dengan 6 residu sistein, dikodekan oleh 42 kerangka terbuka dan terdiri dari >30 anggota pada mamalia, termasuk 3 TGF- β1, 4 activin dan lebih dari 20 bone morphogenetic protein (BMP). Tiga isoform mamalia dari subfamili TGF-β (TGF-βl, TGF-β2, TGF- β3) disusun oleh 70-82% asam amino homolog dan melakukan aktivitas kualitatif serupa dalam sistem yang berbeda. Bentuk aktif dari sitokin TGF-β adalah dalam bentuk dimer distabilkan oleh interaksi hidrofobik, yang diperkuat oleh jembatan disulfida intersubunit. TGF-β1 adalah peptida dari 112 residu asam amino yang diperoleh melalui pembelahan proteolitik dari C-terminal protein prekursor. Protein ini berinteraksi dengan reseptor permukaan sel golongan kinase protein serin/treonin, dan menghasilkan sinyal intraseluler menggunakan Smads. Mereka memainkan peran penting dalam regulasi proses biologis dasar seperti pertumbuhan, perkembangan, homeostasis jaringan dan regulasi sistem imunitas tubuh (Loefflerdan Wolf, 2013). TGF-βl adalah sitokin yang mempunyai multifiingsi. Dari penelitian invitro maupun invivo disimpulkan bahwa TGF-β1 mempunyai tiga aktivitas biologik terpenting, yaitu dampak biologik terhadap proliferasi sel, matriks ekstra selular, dan efek imunosupresif TGF-βl disintesis oleh berbagai sel, termasuk sel haematopoietik imatur, sel T dan B aktif, makrofag, neutrofil dan sel dendrit, serta semua jenis sel ginjal dan dikeluarkan sebagai kompleks prekursor laten (latent TGF-β1) dengan latent TGF-β1 binding proteins (LTBP). TGF-β1 menjadi aktif ketika TGF-β1 dibebaskan dari latency-associatedpeptide (LAP) dan dipisahkan dari LTBP melalui pembelahan proteolitik oleh plasmin, ROS, thrombospondin-1, dan asam. TGF-β aktif kemudian terikat pada reseptornya dan berfungsi sebagai autokrin dan parakrin untuk mengerahkan aktivitas biologis dan patologis melalui jalur sinyal
yang tergantung dan tidak tergantung Smad. Namun, mekanisme Smaddependent
dianggap
sebagai
jalur
utama
dalambanyak
proses
patofisiologi penyakit ginjal (Lan, 2011; Loefflerdan Wolf, 2013). TGF- βl memainkan peran penting dalam memodulasi respon inflamasi dan proses biologis lainnya seperti remodelling jaringan dan perkembangan kanker melalui pengaturan produksi MMP, yang produksinya diatur melalui lintas jalur antara Smad dan Nf-KB (Bambang, 2010; Lan, 2011).
Gambar 6.
Proses yang terlibat dalam inflamasiginjal(Gerritsma., 2006)
Pengikatan TGF- βl ke reseptor TGF-β tipe II (TPRII) dapat mengaktifkan reseptor TGF-βtipe I (TβRI)-kinase, sehingga terjadi fosforilasi Smad2 dan Smad3. Selanjutnya, Smad2 dan Smad3 yang terfosforilasi berikatan dengan Smad4 dan membentuk kompleks Smad, yang bertranslokasi ke inti untuk mengatur transkripsi gen sasaran, termasuk Smad? (Gambar 2.9). Smad? adalah penghambat Smad sebagai regulator negatif aktivasi dan fungsi Smad2 dan Smad3 dengan sasaran
untuk degradasi TβRI dan Smads melalui mekanisme degradasi proteasome ubiquitin (Lan, 2011). Dari hasil berbagai penelitian pemberian BMP-7 mengurangi
aktivitas
glomerulosklerosis
TGF-βl
sehingga
mencegah
akan
terjadinya
dan interstisial fibrosis (Motazed et al, 2008;
Zeisberg dan Kalluri, 2008).
Gambar 7.
Jalur crosstalk TGF-β / Smads pada fibrosis dan inflamasi ginjal. Setelah mengikat TβRII, TGF-βl mengaktifkan TβRI-kinase yang
memfosforilasi Smad2 dan Smad3. Smad2 dan Smad3 yang terfosfofilasi kemudian mengikat Smad4 dan membentuk kompleks Smad, yang transiokasi ke dalam inti dan mengatur transkripsi gen sasaran, termasuk Smad7. Smad? adalah penghambat Smad yang berfungsi untuk memblokir aktivasi Smad 2/3 dengan mendegradasi TβRI dan Smads dan menghambat respons inflamasi yang digerakkan NF-kB dengan menginduksi IкBα (penghambat NF-kB). Perhatikan bahwa Ang II dan AGEs dapat mengaktifkan Smads yang tidak tergantung TGF-β1 melalui
jalur crosstalk ERK/p38/MAPK. Garis biru (simbol) menunjukkan jalur regulasi negatif atau pelindung, sedangkan panah merah (simbol) merupakan jalur regulasi positif atau patogenik (Lan, 2011).
Gambar 8.
TGF-β1 berpartisipasi dalam banyak penyakit manusia,termasuk kanker, penyakit autoimun dan gangguan fibrotik serta penyakit kardiovaskular. TGF-β1 mengatur respon seluler dengan cara yang positif atau negatif. Misalnya,si fat anti-inflamasi dari TGF-β1 yang bermanfaat dalam aterosklerosis, sedangkan efek profibrotik berkontribusi fibrosis hipertensi dan kerusakan jantung (Marta.,2007) Semakin banyak bukti menunjukkan bahwa TGF-βl merupakan
mediator kunci dalam patogenesis fibrosis ginjal karena TGF-βl sangat ditingkatkan pada penyakit ginjal dengan fibrosis ginjal berat. TGF-β1 menjadi perantara fibrosis ginjal progresif dengan merangsang produksi sekaligus menghambat degradasi ECM. Selain itu, TGF-βl juga menjadi perantara fibrosis ginjal dengan menginduksi transformasi sel epitel tubular menjadi miofibroblas melalui EMT. Peran fungsional TGF-β1 dalam EMT dan fibrosis ginjal ditunjukkan oleh kemampuan pemblokiran TGF-β1 dengan antibodi TGF-β untuk mencegah atau
memperbaiki fibrosis ginjal baik secara in vivo dan in vitro. Bukti langsung peran TGF-βl pada fibrosis ginjal berasal dari penelitian bahwa tikus yang mengekspresikan bentuk aktif TGF-βl dalam hati akan berkembang fibrosis hati dan ginjal yang progresif (Huang et al, 2008; Lan, 2011). 6. Interleukin-6 Interleukin-6 adalah suatu polipeptida dengan berat molekul 22-27 kDa yang disekresikan oleh monosit terakativasi, makrofag, fibroblast, sel adiposit dan sel endotel sebagai respon terhadap berbagai stimuli seperti TNF-α,
IL-1β , endotoksin bakteri, stress oksidatif (Baratawidjadja,
2006). Interleukin-6 adalah interleukin yang bertindak baik sebagai sitokin proinflamasi dan anti inflamasi. IL-6 mempunyai berbagai fungsi yaitu berfungsi pada imunitas non spesifik dan spesifik. Pada imunitas non spesifik, IL-6 merangsang hepatosit untuk memproduksi APP dan bersama CSF merangsang progenitor di sumsum tulang untuk memproduksi neutrophil sedangka dalam imunitas spesifik, IL-6 merangsang pertumbuhan dan diferensiasi sel B menjadi sel mast yang memproduksi antibodi (Baratawidjadja, 2006). Penyakit Ginjal Kronis merupakan suatu penyakit inflamasi, dimana stimulus inflamasi yang banyak terdapat pada pasien PGK menyebabkan dilepaskannya sitokin termasuk IL-1, IL-6 dan TNF- α (Guntur, 2004). Bagaimana IL-6
dapat diekspresikan dalam darah dapat
diterangkan pada gambar 2.7. Produk dari bakteri yang berupa lipopolisakarida
(LPS)
dapat
merangsang
makrofag
untuk
mengekskresikan IL-6. Pada jalur lain virus, parasit, jamur yang berperan sebagai superantigen melalui sel limfosit merangsang pembentukan Interferon (IFN) yang pada akhirnya juga dapat merangsang makrofag untuk mengekskresikan IL-6 (Guntur, 2004).Kadar IL-6 ditemukan
meningkat pada 40-50% pasien PGK. Secara epidemiologi IL-6 terbukti sebagai prediktor yang kuat untuk terjadinya atherosklerosis pada PGK. Pada penelitian meta analisis didapatkan bahwa IL-6 merupakan biomarker yang lebih kuat dibandingkan albumin, CRP dan Fetuin-A sebagai prediktor untuk komplikasi kardiovaskular dan mortalitas (Filiopoulus, 2009). Faktor faktor yang kemungkinan menyebabkan meningkatnya kadar IL-6 pada pasien PGK adalah hilangnya fungsi ginjal, uremia beserta komplikasinya (seperti penimbunan cairan, stress oksidatif dan kerentanan terhadap infeksi),faktor faktor yang berkaitan dengan proses dialisis itu sendiri (Stenvinkel et al, 2005).Proses hemodialisis dapat meningkatkan ekpresi dari IL-6, kemungkinan faktor-faktor yang berperan
adalah
membrane
dialisis
yang
tidak
biokompetible,
penggunaan cairan dialisat yang tidak steril. Oleh Caglar et al dilaporkan terjadinya peningkatan kadar IL-6 dua jam setelah proses hemodialisa selesai, di mana hal ini membuktikan bahwa pada proses hemodialisa terjadi HD-induced delayed inflammatory response (Stenvinkel et al, 2005). Temuan temuan yang memperkuat bukti bahwa IL-6 merupakan sitokin pro-atherogenik : kadar IL-6 yang meningkat merupakan stimuli utama ekpresi ICAM permukaan
endotel,
yang akan menarik lekosit bermigrasi ke IL-6
juga
berkontribusi
terhadap
proses
atherosclerosis melalui berbagai mekanisme metabolik, endothelial dan koagulasi, serta IL-6 juga berperan pada pembentukan plak fibrous pada proses
atherosclerosis,
peningkatan
IL-6
juga
berperan
secara
independent terhadap progresifitas atherosklerosis carotid pada periode 12 bulan pertama terapi dialisis. (Stinghen dan Pecoits, 2007) 7. Vitamin D Vitamin D berbentuk Kristal putih yang tidak larut di dalam air, tetapi larut di dalam minyak dan zat-zat pelarut lemak. Vitamin mi tahan terhadap panas dan oksidasi. Penyinaran ultraviolet mula-mula
menimbulkan aktivitas vitamin D, tetapi bila terlalu kuat dan terlalu lama terjadi pengrusakan dari zat-zat yang aktif tersebut. (Norman et al, 2008) Vitamin D, yang dikenal sebagai vitamin sinar matahari, semakin diakui sebagai hormon autokrin dan parakrin untuk mengatur fiingsi biologis selain dari efek klasik pada tulang dan homeostasis kalsium. Sebagian besar penelitian yang berkembang menyatakan vitamin D yang memiliki
bentuk
aktif
calcitriol
(1,25-dihydroxyvitamin
D3
[1,25(OH)2D3] ), adalah hormon secosteroid yang mengikat reseptor vitamin D (VDR), anggota dari superfamili reseptor hitiuntuk hormon steroid, hormon tiroid, dan asam retinoat. Ligan VDR mengatur kalsium dan metabolisme tulang, proliferasi dan diferensiasi sel kontrol, dan sebagai imunoregulator. Efek imunomodulator terutama pada kekurangan vitamin D. Data epidemiologis menunjukkan hubungan yang signifikan antara kekurangan vitamin D dan peningkatan kejadian atau risiko penyakit autoimun dan kardiovaskular serta beberapa kanker. Proses sintesis dari vitamin D melalui beberapa proses dalam tubuh. Vitamin D3 terutama diproduksi di lapisan basal dan suprabasal dari kulit dengan pembelahan fotolitik dari 7-dehydrocholesterol (7DHC). Selanjumya 25(OH)D akan dilakukan hidroksilasi di sel tubulus proksimal ginjal membentuk kalsitriol (1,25-dihydroxy vitamin D3) yang dianggap sebagai vitamin D aktif. (Valdivielso et al, 2006) Tabel 3 Efek langsung terapi vitamin D (Tang, 2009) Tissue/organ system Cardiovascular 1. 2. 3. 4. 5. 6. Mineral 1. 2. Muscuioskelet 1. al 2.
Actions Reduces cardiac hypertrophy Reduces myacardial fibrosis Protects against vascular calcifications Protects endotheiium Lowers risks of myocardial infarction Suppresses renin production increases calcium absorption Increases phosphate absorption Enhances muscle mass/strength Maintains normal bone formation
Endocrine
immune systent inflammation Renal
1. Increases insulin sensitivity 2. Prevents parathyroid gland hyperptasia and suppresses PTH synthesis 3. Stimulates VDR and CaSR in parathyroid cells 1. Reduces inflammation & 2. Improves immune function
1. Reduces nephroscterosis/gtomerutosclerosis 2. Reduces proteinurra 3. Delays progression of CKD 4. Reduces mortality in patients with CKD and ESRD Tumor/cancer 1. Promotes differention, inhibist proliferation 2. Inhibist angiogenesis 3. Reduces cancer risk and metastatic potential VDR = vitamin D receptor ; PTH = parathyroid hormone; CaSR = calcium sensing receptor ; CKD = chronic kidney disease; ESRD = end-stage renal disease. a.
Vitamin D pada PGK Komplikasi dari PGK meiiputi tahap akhir dari PGK yang
membutuhkan dialisis rutin dan transplantasi ginjal, penyakit tulang, morbiditas dan mortalitas karena penyakit kardiovaskular. (National Foundation Kidney, 2003). Vitamin D mempunyai peran dalam manajemen dari PGK. Bukti menunjukkan bahwa efek vitamin D tidak hanya terbatas pada sistem rangka, akan tetapi juga bermanfaat untuk fungsi imun dan kardiovaskular. (Judd, 2011; Kemen, 2010). Pada suatu metanalisis menunjukkan bahwa semakin tinggi dari kadar 25-hydroxyvitamin D (25(OH)D atau calcidiol dalam serum menyebabkan penurunan kematian pada PGK semua stadium. (Pilz, et al, 2011). Salah satu poin utama pada PGK adalah perubahan metabolisme vitamin D yang m,enyebabkan perubahan pada metabolisme mineral dan tulang. Ginjal adalah tempat utama perubahan dari of 25(OH)D menjadi bentuk hormonal dari vitamin D yaitu calcitriol (1,25(OH)2D) oleh enzim hydroxylase. (Tebben, 2011). Karena progresi dari penyakit ginjalnya dan penurunan dari massa ginjal, sehingga terjadi penurunan dari jumlah enzim la-
hydroxylase sehingga menyebabkan penurunan dari calcitriol, yang selanjutnya terjadi mekanisme kompensasi dengan peningkatan hormon paratriroid (hiperparatiroidisme sekunder) yang menyebabkan terjadinya hipokalsemia. (Dusso, 2009;. Jones, 2007) Faktor lain seperti peningkatan dari fibroblast growth factor (FGF)-23 (Gutierrez et al, 2005; Perward et al, 2007), akumulasi dari fragmen hormon paratiroid (N-terminal atau C-terminal) (Usati, et al, 2007), toksin uremia (Hshu et al, 1992), penurunan laju dari glomerular filtration rate (GFR) dan megalin menyebabkan gangguan produksi calcitriol pada PGK. (Dusso, 2011)
Akan
tetapi
ternyata
pada
pasien
dengan
PGK
dapat
mempertahankan produksi calcitriol dari 25(OH)D, baik melalui sisa fungsi ginjal ataupun melalui produksi calcitriol dari jaringan lain. (Jean et al, 2008; Wasse et al, 2012)
Gambar 9. Sintesis, aktivasi dan katabolisme vitamin D3 (Dusso et al, 2005). Sel jaringan di luar ginjal yang memproduksi calcitriol seperti sel paratiroid, smooth muscle cells, sel endotel, sel pankreas, dan sel imunomodulator. (Holick, 2007) Oleh karena itu kemampuan menjaga
kecukupan konsentrasi dari kadar serum 25(OH)D oleh la-hydroxylase dari sel selain ginjal dan produksi lokal dari vitamin D aktif menjadi sangat. penting padaPGK. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pada PGK prevalensi defisiensi (25(OH)D <20 ng/ml) dan insufisiensi vitamin D (25(OH)D <30 ng/ml). (Leclair et al, 2005; Mehrotta et al, 2008) Belum diketahui secara pasti mengapa prevalensi defisiensi vitamin D lebih banyak pada pasien PGK. Adanya proteinuria dan hilangnya urinary vitamin D binding protein (VDBP), (Mehrotta et al, 2008; Robinson et al, 2012) menyebabkan penurunan penggunaan ulang b25(OH)D oleh megalin pada sel tubulus proksimal (Dusso et al, 2011; Nykajer, 1999), adanya perbedaan pada diit, penurunan dari paparan sinar matahari, serta gaya hidup seperti terbatasnya aktifitas fisik menjadi berbagai alasan lain untuk rendahnya kadar serum vitamin D pada pasien PGK. (Chonchol et al, 2011. Adanya gangguan metabolisme vitamin D dan tingginya prevalensi defisiensi vitamin D pada pasien dengan PGK, dan diketahuinya efek pleiotrofik vitamin D, (Holick et al, 2007) dan adanya peningkatan risiko morbiditas dan mortalitas pada pasien PGK (Go As et al, 2004; Weiner et al, 2004) dan defisiensi vitamin D (Navaneethan et al, 2011; Zittermann et al, 2012) menjadi salah satu alasan suplementasi vitamin D pada PGK di mana pengubahan 25(OH)D menjadi calcitriol sudah berkurang. b.
Vitamin D dan aterosklerosis pada PGK Penurunan fungsi ginjal pada PGK akan disertai dengan
penurunan produksi 1,25-dihydroxyvitamin D, dimulai pada PGK stadium 2 yang secara progresif bertambah rendah dengan bertambahnya stadium penyakit. Rendahnya kadar 1,25-dihydroxyvitamin D tersebut akan menyebabkan beberapa efek samping pada pasien PGK, meliputi gangguan pada homeostasis mineral tulang dan hormon parathiroid,
kalsifikasi ekstraskeletal dan terganggunya fungsi biologi multiorgan (Moscovici et al, 2007). Vitamin D juga mencegah nefrosklerosis dan memperlambat progresivitas PGK melalui efek anti inflamasi dan anti proliferatimya. Pada pasien PGK stadium 3-5, terapi dengan calcitriol dihubungkan dengan tren ke depan dapat memperlambat kebutuhan inisiasi dialisis. (Schwarz, 1998).Vitamin D, dalam bentuk 1,25-(OH2)D3 atau analognya, pada awalnya dipergunakan untuk terapi hiperparatiroidisme sekunder dan abnormalitas metabolism kalsium dan fosfat pada PGK.
Gambar 10. Konsep model alur defisiensi vitamin D sampai menyebabkan progresivitas PGK dan komplikasinya (Williams et al, 2009) Beberapa, studi terdahulu mendapatkan bahwa, kelebihan vitamin D berkontribusi terhadap hiperkalsemia dan kalsifikasi vaskuler, yang berpengaruh terhadap morbiditas dan mortalitas PGK. Namun studi-studi terbaru menunjukkan bahwa, pada pasien-pasien dengan hemodialisis, vitamin D terbukti secara bermakna dapat menurunkan resiko kematian oleh berbagai sebab maupun oleh sebab kardiovaskuler. Diduga ada tiga mekanisme efek protektif yang dimiliki vitamin D yaitu, 1) dapat menghambat berbagai bentuk inflamasi yang dipercaya sebagai patogenesis proses aterosklerosis, 2) mempunyai efek antiproliferatif dan anti hipertrofi sel miokard yang merupakan patogenesis gagal jantung kongestif, dan 3) mempunyai efek regulator endoktrin negatif terhadap
sistem renin-angiotensin-aldosteron, yang berperan penting dalam patogenesis hipertensi dan kelainan kardiovaskuler. (Mehrotta et al92009) c.
Pemberian.Suplementasi Vitamin D pada PGK Penurunan fungsi dan massa renal pada PGK akan menyebabkan
kemampuan memproduksi 1,25(OH)2D3 menurun, sehingga untuk memenuhi kekurangan tersebut maka perlu pemberian calcitriol atau analognya. Pada PGK, suplementasi dengan 25(OH)-vitamin D direkomendasikan pada permulaan penyakit, dan pemberian calcitriol mulai diberikan mulai PGK stadium 3. Data terbaru fokus pada efek non klasik dari vitamin D sehingga dilakukan revisi terhadap rekomendasi terbaru untuk kebutuhan harian antara orang normal dengan pasien PGK (Jones, 2007). Penelitian yang bam menyarankan dosis 4000 lU/hari untuk pemeliharaan kadar optimum vitamin D pada populasi normal dan dosis yang lebih tinggi diperlukan pada pasien PGK untuk memenuhi kebutuhannya. Diperkirakan untuk tiap 100 IU vitamin D dapat meningkatkan kadar serum vitamin D ±Ing/ml (2,5 nmol/L), meskipun terdapat variasi individu dalam merespon dosis tersebut. Toksisitas jarang menjadi problem yang signifikan pada pemberian viatmin D karena
batas
keamanannya
cukup
luas
antara
dosis
yang
direkomendasikan dengan dosis yang dianggap tidak aman (Heaney, 2008). Kadar serum 25(OH)D digunakan untuk menilai status vitamin D dalam tubuh. Dikatakan defisiensi vitamin D, jika kadar serum 25(OH)D <20 ng/ml dan dikatakan insuffisiensi vitamin D jika kadarnya <30ng/ml. Target pemberian vitamin D untuk mencapai kadar serum 25(OH) paling tidak 30 ng/ml, atau dalam rentang normal 40-80ng/ml dan dikatakan toksik jikamencapai >150 ng/ml. Gejala dari hipervitaminosis D meliputi fatig, mual, muntah dan kelemahan. Tetapi vitamin D yang berasal dari sinar matahari tidak dapat menyebabkan toksisitas (Querfeld and Mak, 2010). Resiko terjadinya hiperkalsemia dan hiperfosfatemia merupakan salah satu efek samping yang dikhawatirkan pada terapi vitamin D pada
PGK, tetapi pada penelitian meta analisis yang dilakukan Praveen et al, 2011 menyebutkan bahwa pemberian vitamin D dapat menurunkan kadar HPT, dan tidak didapatkan peningkatan yang signifikan pada kadar serum kalsium dan fosfat. Pada penelitian cohort experimental yang dilakukan oleh Jean G et al, 2008 menyatakan bahwa dengan pemberian preparat 25(OH)D3 per oral dengan dosis 10-30 jig/hari pada pasien PGK yang menjalani hemodialisis, dapat memperbaiki keadaan defisiensi atau insufisiensi vitamin D pada pasien tersebut, tanpa adanya efek toksisitas
B. Kerangka Konseptual
Keterangan : Mengaktivasi : Menghambat : Meningkatkan : Menurunkan : Variabel yang diperiksa TGF- βl : Transforming Growth Factor B1 NfKB
: nuclear factor-kappa B
IKK
: Inhibition of IκB kinase
Hs-CRP : high sensitivity C-reactive protein IL-6
: Interleukin 6
Keterangan Bagan Kerangka Konseptual Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversibel, pada suatu derajat memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra,2006). Terdapat peningkatan stres oksidatif dan inflamasi kronis pada pasien penyakit ginjal kronis (PGK) dan dialisis (Oberget al, 2004; Silverstein, 2009; Nanayakkara and Gaillard, 2010; Fontanet and Lavin, 2011). Penurunan fungsi ginjal pada PGK akan disertai dengan penurunan produksi 1,25-dihydroxyvitamin D, dimulai pada PGK stadium 2 yang secara progresif
bertambah
rendah
dengan
bertambahnya
stadium
penyakit.
Rendahnya kadar 1,25-dihydroxyvitamin D tersebut akan menyebabkan beberapa efek samping pada pasien PGK, meliputi gangguan pada homeostasis mineral tulang dan hormon parathiroid, kalsifikasi ekstraskeletal dan terganggunya fungsi biologi multiorgan (Moscovici et al, 2007). Fungsi non klasik dari vitamin D adalah sebagai imunoregulator (Williams et al, 2009).
Dan peran vitamin D disini sebagai anti inflamasi dengan melalui penekanan/ supresi pada jalur NF-ĸB, dimana jalur NF-ĸB ini sangat berperan penting dalam progresivitas penyakit ginjal, karena jalur tersebut akan memicu inflamasi dan fibrogenesis melalui pelepasan sitokin pro inflamasi (Lang CL et al, 2014). C. Hipotesis Penelitian 1. Pemberian calcitriol dapat menurunkan kadar TGF-β1 pada pasien PGK stadium V yang menjalani hemodialisa. 2. Pemberian calcitriol dapat menurunkan kadar IL-6 pada pasien PGK stadium V yang menjalani hemodialisa.