BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Hangeul Menurut Kim [11], Hangeul diciptakan sekitar akhir tahun 1443 atau Januari 1444. Kemudian diresmikan oleh raja keempat Dinasti Joseon yang bertahta waktu itu, Raja Sejong. Pada awal diciptakan Hangeul memiliki 28 huruf, namun sekarang menjadi 24 huruf dasar saja, terdiri dari 14 konsonan dan 10 vokal [11]. Hangeul tidak seperti bahasa latin yang ditulis secara sekuen, Hangeul ditulis berkelompok dalam satu blok, seperti 한 (han), yang kemudian menjadi satu suku kata. Meskipun 한 terlihat seperti satu karakter, sebenarnya terdiri dari huruf ㅎ (ha), ㅏ (a), dan ㄴ(n). Huruf-huruf Hangeul bisa dilihat di tabel di bawah ini:
Tabel 2.1 Konsonan Dasar Hangeul [1] No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Nama Giyeok Nieun Digeut Rieul Mieum Bieup Siot Ieung Jieut Chieut Kieuk Tieut Pieup Hieut
Bentuk ㄱ ㄴ ㄷ ㄹ ㅁ ㅂ ㅅ ㅇ ㅈ ㅊ ㅋ ㅌ ㅍ ㅎ
Bunyi g, k n d, t r, l m b, p s Ø, -ŋ j ch k t p h
Tabel 2.2 Vokal Dasar Hangeul [1] No. 1. 2. 3. 4. 5.
Nama a ya eo yeo o
Bentuk ㅏ ㅑ ㅓ ㅕ ㅗ
II-1
Bunyi a ya eo yeo o
II-2
No. 6. 7. 8. 9. 10.
Nama yo u yu eu i
Bentuk ㅛ ㅜ ㅠ ㅡ ㅣ
Bunyi yo u yu eu i
2.2 Pengolahan Citra Digital Menurut Shih [15], pengolahan citra digital merupakan bagian dari digital signal processing (pengolahan sinyal digital), yang bertujuan untuk mengestimasi karakteristik parameter sebuah sinyal atau untuk mengubah sebuah sinyal menjadi bentuk yang lebih mudah dipahami manusia. Untuk pengolahan citra digital, prosesnya dimulai dari satu citra dan menghasilkan hasil modifikasi citra tersebut. Secara umum, operasi pengolahan citra dapat dikategorikan menjadi empat jenis [12]: 1. Operasi pixel: keluaran pada satu pixel tergantung pada pixel masukan itu sendiri, tidak tergantung pada pixel lainnya. Salah satu contohnya adalah thresholding. 2. Operasi lokal (tetangga): keluaran pada satu pixel tergantung pada nilai masukan di tetangga pixel tersebut. Beberapa contohnya adalah pendeteksian tepi, smoothing (pelembutan), dan sharpening (sharpening). 3. Operasi geometris: keluaran pada satu pixel tergantung pada nilai masukan pixel lain yang didefinisikan oleh transformasi geometris. 4. Operasi global: keluaran pada satu pixel tergantung pada semua pixel lain pada citra pixel itu ada.
2.2.1 Smoothing Menurut Shih [15], smoothing (pelembutan) bertujuan untuk mengurangi noise pada citra. Dengan mengganti nilai satu pixel oleh nilai di sekitarnya, termasuk nilai pixel itu sendiri. Smoothing menggunakan filter pada operasinya, yang merepresentasikan bentuk dan ukuran yang akan digunakan untuk dikalkulasi.
II-3
Shih [15] menyebutkan salah satu metode pelembutan adalah median filtering, yaitu nilai pixel yang termasuk pada filter akan diurutkan dari nilai terkecil ke terbesar atau sebaliknya, lalu dinilai nilai tengah dari urutan tersebut. Ilustrasi proses smoothing:
Gambar 2.1 Ilustrasi Proses Smoothing dengan Median Filter (http://www.scimedia.com/) Hasil pelembutan dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Gambar 2.2 (a) Citra Lena, (b) Citra Lena Hasil Smoothing
2.2.2 Grayscaling Grayscaling adalah proses mengubah citra berwarna menjadi citra abu-abu. Operasi grayscaling mengubah nilai channel warna yaitu merah (red), hijau (green), dan biru (blue) pada tiap pixel. Setiap nilai channel warna dikalikan
II-4
koefisien tertentu, setiap hasil perkalian itu dijumlahkan, maka didapatkan nilai keabuannya. Pada penelitian ini koefisien yang digunakan adalah [6]: 𝑌′ = 0.299𝑅 + 0.587𝐺 + 0.114𝐵 Dimana: Y’
: nilai tingkat keabuan;
R
: nilai channel warna merah;
G
: nilai channel warna hijau;
B
: nilai channel warna biru. Ilustrasi grayscaling dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Gambar 2.3 Ilustrasi Proses Grayscaling [5] Hasil grayscaling dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Gambar 2.4 (a) Citra Lena, (b) Citra Lena Hasil Grayscaling
II-5
2.2.3 Segmentasi dan Thresholding Segmentasi merupakan proses pengelompokan pixel menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Salah satu metodenya adalah thresholding. Thresholding adalah metode untuk mengubah citra abu-abu menjadi citra biner [8]. Pada operasi thresholding, nilai intensitas pixel dipetakan ke salah satu dari dua nilai, α₁ atau α₂, berdasarkan nilai ambang (threshold) T, dapat ditunjukkan seperti pada persamaan berikut [2]: 𝑓(𝑥, 𝑦)′ =
1 , f(x, y) < 𝑇 2 , f(x, y) ≥ T
Ilustrasi thresholding dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Gambar 2.5 Ilustrasi Proses Thresholding
Hasil thresholding dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Gambar 2.6 (a) Citra Lena, (b) Citra Lena Hasil Proses Thresholding
2.3 Template Matching Template matching adalah salah satu teknik dalam pengolahan citra digital yang berfungsi untuk mencocokkan tiap-tiap bagian dari suatu citra dengan citra
II-6
yang menjadi acuan. Brunelli [3] menjelaskan bahwa template matching sudah terbukti sebagai alat yang sangat berguna untuk proses persepsi pintar dan menjadikan komputer memiliki kemampuan performa superhuman dalam tugas seperti pengenalan wajah. Teknik sederhana ini bisa dikembangkan untuk menjadi alat yang bagus dan fleksibel untuk mendukung perkembangan sistem computer vision. Pada penelitian ini, template matching digunakan untuk membandingkan antara citra masukan dengan citra acuan. Citra masukan akan mempunyai tingkat kemiripan sendiri (similarity) terhadap masing-masing citra acuan. Bila nilai tingkat kemiripan berada di bawah nilai batas ambang (similarity threshold) maka citra objek tersebut dikategorikan sebagai objek tidak dikenal. Menurut Andriessen [2] pada prinsipnya metode template matching memiliki karakteristik antara lain relatif mudah untuk diaplikasikan dalam teknik pengolahan citra digital dan hasilnya mendeteksi kesalahan hingga ukuran pixel. Algoritma template matching yang dapat dilihat pada pseudocode di bawah ini[18]: minDiff = 0; for ( int x = 0; x <= S_rows-T_rows; x++ ) { for ( int y = 0; y <= S_cols-T_columns; y++ ) { diff = 0.0; for ( int j = 0; j < T_cols; j++ ) for ( int i = 0; i < T_rows; i++ ) { p_SearchIMG = S[x+i][y+j]; p_TemplateIMG = T[i][j]; diff += abs( p_SearchIMG - p_TemplateIMG ); } if ( minDiff > diff ) { minDiff = diff; bestRow = x; bestCol = y; bestDiff = diff; } }