BAB II LANDASAN TEORI
A. Perseroan Terbatas Sebagai Badan Hukum Dengan Tanggungjawab Terbatas 1. Teori Badan Hukum didalam Perseroan Terbatas Dalam ilmu hukum dikenal berbagai teori tentang suatu badan hukum yang menyebabkan eksistensinya terpisah dari para anggota/pemengang sahamnya dengan berbagai konsekuensi yuridis dari keterpisahan tersebut. Teori-teori tentang badan hukum tersebut mempunyai interrelasi dengan pengakuan terhadap eksistensi teori piercing the corporate veil. Artinya, semakin kuat teori badan hukum tersebut mengakui keterpisahan badan hukum tersebut, semakin kecil pengakuannya kepada teori piercing the corporate veil, demikian juga sebaliknya.1 Sepanjang sejarah hukum perusahaan, dikenal beberapa teori tentang badan hukum perusahaan, yaitu sebagai berikut: a. Teori fiksi Teori fiksi disebut juga teori kesatuan semu. Teori ini mengajarkan bahwa perusahaan hanya ciptaan dan khayalan manusia, serta dianggap ada oleh manusia. Badan hukum hanyalah sebagai makhluk yang diciptakan oleh hukum.2 b. Teori individualisme Menurut teori individualisme ini, hanyalah manusia (tidak termasuk badan hukum) yang secara dapat mengklaim memiliki hak dan kewajiban dan manusia jugalah yang yang mempunyai hak dan kewajiban yang terbit dari hubungan hukum.3
c. Teori simbolis Menurut teori simbolis ini, perseroan hanya dianggap sebagai nama kolektif dari para pemegang saham. Perusahaan hanyalah kumpulan, simbol, atau kurungan bagi para pemegang saham.4 d. Teori realistis Teori realistis ini sering disebut juga disebut sebagai teori orgam, yang menganggap bahwa keberadaan badan hukum dalam tata hukum sama saja dengan 1
Ibid; hlm. 3 Ibid 3 Ibid 4 Ibid 2
keberadaaan manusia sebagai subjek hukum. Jadi, badan hukum bukanlah khayalan dari hukum sebagaimana diaarkan oleh teori fiksi, melainkan benar ada dalam kehidupan hukum. Dalam hal ini badan hukum tersebut bertindak lewat organ-organnya sehingga teori ini disebut juga dengan teori organ.5 e. Teori ciptaan diri sendiri Teori inis elairan dengan teori realistis, merupakan teori yang mengajarkan bahwa perusahaan hanyalah merupakan satu “unit” yang tercipta dengan sendirinya, bukan ciptaan hukum dan bukan juga fiksi, melainkan benar-benar ada dalam kenyataan.6 f. Teori kesatuan bisnis Menurut teori kesatuan bisnis, untuk menyatakan suatu perusahaan merupakan badan hukum, haruslah dilihat dari kenyataannya dalam bisnis.7 g. Teori kontrak Sejalan dengan teori kesatuan bisnis tersebut diatas, maka menurut teori kontrak, perusahaan dianggap sebagai kontrak antar para pemegang sahamnya. UUPT tegas mengakui teori kontrak ini dengan menaytakan bahwa pada dasarnya sebagai badan hukum, perseroan dibentuk berdasarkan perjanjian. Karena itu, perseroan harus mempunyai lebih dari satu orang pemegang saham (Penjelasan atas Pasal 7 ayat (1) UUPT).8 2. Karakteristik Perseroan Terbatas Sebagai Badan Hukum Perseroan Terbatas (Limited Liability Company, Naamloze Vennootschap) merupakan badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian untuk melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, serta memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam Undang-Undang dan peraturan pelaksanaannya. Kegiatan usaha dari perseroan harus sesuai dengan maksud dan tujuan didirikannya perseroan, serta tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan, ketertiban umum, dan kesusilaan. Perseroan terbatas merupakan subyek hukum yang berhak menjadi pemegang hak dan kewajiban, termasuk menjadi pemilik dari suatu benda atau harta kekayaan tertentu. Badan hukum ini adalah rekayasa manusia untuk membentuk suatu badan yang memiliki status, kedudukan, kewenangan yang sama seperti manusia. Oleh 5
Ibid; hlm. 4 Ibid 7 Ibid; hlm. 5 8 Ibid 6
karena badan ini adalah hasil rekayasa manusia, maka badan ini disebut juga sebagai artificial person9, yaitu sesuatu yang diciptakan oleh hukum untuk memenuhi perkembangan kebutuhan kehidupan masyarakat. Ketentuan tersebut dapat ditemukan pada ketentuan yang diatur dalam Pasal 519 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPdt) yang berbunyi “Ada barang yang bukan milik siapapun, barang lainnya adalah milik negara, milik persekutuan atau milik perorangan”. Unsur-unsur badan hukum pada perseroan terbatas dan unsur-unsur perseroan sebagai berikut: a. Unsur-unsur badan hukum pada Perseroan Terbatas Sebagai badan hukum10 (Dengan status PT. sebagai badan hukum, maka sejak itu hukum memberlakukan pemilik atau pemegang saham dan pengurus atau direksi terpisah dari PT itu sendiri yang dikenal dengan istilah “separate legal personality, yaitu sebagai individu yang berdiri sendiri. Dengan demikian pemegang saham tidak mempunyai kepentingan dalam kekayaan PT, sehingga tidak bertanggungjawab atas utang-utang perusahaan atau PT). Perseroan harus memenuhi unsur-unsur badan hukum seperti ditentukan dalam UUPT, yang diuraikan sebagai berikut: 1) Organisasi yang teratur, sebagai organisasi yang teratur, perseroan mempunyai organ yang terdiri dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi, dan Komisaris (Pasal 1 ayat (2) UUPT). Keteraturan organisasi dapat diketahui melalui ketentuan UUPT, Anggaran Dasar perseroan, Anggaran Rumah Tangga perseroan, dan keputusan RUPS. 2) Kekayaan sendiri, perseroan memiliki kekayaan sendiri berupa modal dasar yang terdiri dari seluruh nilai nominal saham (Pasal 31 ayat (1) UUPT) dan kekayaan dalam bentuk lain yang berupa benda bergerak dan tidak bergerak, benda berwujud dan tidak berwujud, misalnya kendaraan bermotor, gedung perkantoran, barang inventaris, surat berharga, piutang perseroan. 3) Melakukan hubungan hukum sendiri sebagai badan hukum, perseroan melakukan hubungan hukum sendiri dengan pihak ketiga yang diwakili oleh direksi. Menurut ketentuan Pasal 92 ayat (1) jo Pasal 98 ayat (1) UUPT, direksi bertanggungjawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan 9
Ridwan Khairandy, log.cit I.G.Rai Widjaya, Hukum Perusahaan, Ksaint Blanc, Bekasi, 2003, hlm. 131
10
dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. 4) Mempunyai tujuan sendiri sebagai badan hukum yang melakukan kegiatan usaha, perseroan mempunyai tujuan sendiri. Tujuan tersebut ditentukan dalam Anggaran Dasar perseroan (Pasal 15 ayat (1) huruf (b) UUPT). Karena perseroan menjalankan perusahaan, maka tujuan utama perseroan adalah mencari keuntungan dan atau laba. b. Unsur-unsur Perseroan Setiap perseroan harus memenuhi persyaratan UUPT dan peraturan pelaksanaannya. Unsur ini menunjukan bahwa perseroan menganut sistem tertutup (closed system). Dengan demikian dapat dilihat dan disimpulkan bahwa pada dasarnya suatu perseroan terbatas mempunyai ciri-ciri sekurang-kurangnya sebagai berikut:11 1) Memiliki status hukum tersendiri, yaitu sebagai suatu badan hukum, yaitu subyek hukum artificial, yang sengaja diciptakan oleh hukum untuk membantu kegiatan perekonomian, yang dipersamakan dengan individu manusia, orang-perorangan; 2) Memiliki harta kekayaan sendiri yang dicatatkan atas namanya sendiri, dan pertanggungjawaban sendiri atas setiap tindakan, perbuatan, termasuk perjanjian yang dibuat. Ini berarti perseroan dapat mengikatkan dirinya dalam satu atau lebih perikatan, yang berarti menjadikan perseroan sebagai subyek hukum mandiri (persona standi in judicio) yang memiliki kapasitas dan kewenangan untuk dapat menggugat dan digugat di hadapan pengadilan; 3) Tidak lagi membebankan tanggungjawabnya kepada pendiri, atau pemegang sahamnya, melainkan hanya untuk dan atas nama dirinya sendiri, untuk kerugian dan kepentingan dirinya sendiri; 4) Kepemilikannya tidak digantungkan pada orang perorangan tertentu, yang merupakan pendiri atau pemegang sahamnya. Setiap saat saham perseroan dapat dialihkan kepada siapapun juga menurut ketentuan yang diatur dalam Anggaran Dasar dan Undang-Undang yang berlaku pada suatu waktu tertentu; 5) Keberadaannya tidak dibatasi jangka waktunya dan tidak lagi dihubungkan dengan eksistensi dari pemegang sahamnya; 11
Gunawan Widjaja, Risiko Hukum Pemilik, Direksi & Komisaris PT, Cetakan Pertama, Forum Sahabat, Jakarta, 2008, hlm. 11–12
6) Pertanggungjawaban yang mutlak terbatas, selama dan sepanjang para pengurus (direksi), dewan komisaris dan atau pemegang saham tidak melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang tidak boleh dilakukan. 3. Organ Perseroan Terbatas Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) UUPT, organ perseroan tersebut terdiri dari: Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS); Direksi dan; Dewan Komisaris. a. RUPS Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) sebagai organ perseroan, ditegaskan dalam Pasal 1 angka (4) yang mengatakan, RUPS adalah Organ Perseroan. Dengan demikian menurut hukum, RUPS adalah Organ Perseroan yang tidak dapat dipisahkan dari Perseroan.12 Menurut Pujiyono RUPS adalah forum miliknya para pemegang saham perseroan.13 RUPS adalah rapat dari pemegang saham, pemegang-pemegang saham bersama-sama dalam rapat umum merupakan kekuasaan tertinggi dalam perseroan terbatas, kecuali hak-hak yang telah diberikan kepada pengurus atau orang-orang lain,14 yang padanya melekat kekuasaan untuk menentukan dasar arah dan tujuan perseroan. Namun perlu digaris bawahi bahwa rapat umum tersebutlah yang menjadi inti, karena kata pemegang saham hanya menunjukkan bahwa subyek hukum memiliki saham di perusahaan, karena itu rapat umum tersebutlah yang akan menentukan atau memutuskan tindakan atau rencana perseroan. Dalam menjalankan tujuan perseroan, pemegang saham haruslah bertindak melalui RUPS, karena bilamana pemegang saham melakukan tindakannya tidak melalui rapat maka tindakan demikian dapat dikategorikan sebagai campur tangan pemegang saham terhadap perseroan dan akhirnya pemegang saham dapat dimintakan pertanggungjawaban serta kehilangan pertanggungjawaban terbatas yang menjadi ciri perseroan terbatas. Segala keputusan-keputusan yang berkaitan dengan struktur organisasi perusahaan ditentukan oleh RUPS sehingga merupakan hal penting dalam perseroan. Oleh karena itu, dikatakan bahwa RUPS memiliki kewenangan eksklusif yang tidak diserahkan kepada pihak lain. Hal ini menggambarkan bahwa
12
M. Yahya Harahap., op.cit., hlm. 306 Pujiyono, Hukum Perusahaan, Pustaka Hanif, Surakarta, 2014, hlm. 101 14 C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 90 13
masing-masing organ mempunyai tugas dan kewajiban masing-masing yang tidak dapat mencampuri satu sama lain. RUPS memutuskan hal-hal penting mengenai kebijakan suatu perseroan yang tidak terbatas pada pengankatan atau pemberhentian komisaris dan direksi saja. Hak suara dalam RUPS dapat digunakan untuk berbagai maksud dan tujuan seperti, rencana penjualan asset dan pemberian jaminan utang, menyetujui laporan keuangan yang disampaikan oleh direksi, pertanggungjawaban direksi, rencana penggabungan, peleburan, pengambilalihan dan rencana pembubaran perseroan.15 Pasal 1 ayat (4) UUPT disebutkan bahwa, “Rapat Umum Pemegang Saham, yang selanjutnya disebut RUPS, adalah Organ Perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam undang-undang ini dan/atau anggaran dasar.” Dengan wewenang seperti tersebut dalam ayat di atas, RUPS mempunyai hak untuk memperoleh segala keterangan yang berkaitan dengan kepentingan perseroan dari direksi dan komisaris. b. Direksi Pada dasarnya anggota direksi adalah buruh atau pegawai perseroan. Perseroan sebagai badan hukum adalah majikan anggota direksi. Didalam PT Tertutup seringkali pemegang saham juga menjadi direksi perseroan yang bersangkutan. Walaupun direktur itu adalah pemegang saham, namun ketika dia menjadi direktur, maka dia terikat pada hubungan kerja dengan perseroan. Dengan perkataan lain, dia adalah karyawan perseroan.16 Direksi ini dipilih dan diberhentikan oleh RUPS dan karenanya segala tugas pengurusan perseroan harus dipertanggungjawabkan kepada RUPS.17 Direksi kedudukannya sebagai eksekutif dalam perseroan, direksi merupakan organ perseroan yang bertanggungjawab penuh atas pengurusan perseroan, mewakili perseroan baik didalam, maupun diluar pengadilan berdasarkan anggaran dasar, atau dengan kata lain direksi dibatasi oleh anggaran dasar perseroan.18 15
Kurniawan, Hukum Perusahaan Karakteristik Badan Usaha Berbadan Hukum dan Tidak Berbadan Hukum Di Indonesia, Genta, Yogyakarta, 2014, hlm. 66 16 Ridwan Khairandy, op.cit., hlm. 204 17 Kurniawan, op.cit., hlm. 78 18 Gatot Supramono, Hukum Perseroan Terbatas, cet. Ke-4, Djambatan, Jakarta, 2007, hlm. 4
Pasal 1 ayat (5) UUPT dengan jelas dikatakan bahwa “Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.” Lebih lanjut dari Pasal 92 ayat (1) dan ayat (2) UUPT bahwa direksi dalam pengurusannya harus: 1) Memperhatikan kepentingan perseroan; 2) Sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan; 3) Memperhatikan ketentuan mengenai larangan dan batasan yang diberikan dalam undang-undang dan anggaran dasar. Kemudian dalam Pasal 97 ayat (1) dan ayat (2) UUPT dapat dilihat dengan jelas bahwa setiap anggota direksi wajib menjalankan pengurusan direksi dengan itikad baik dan penuh tanggungjawab. UUPT memberikan syarat-syarat yuridis terhadap direksi dari suatu perseroan terbatas sebagai berikut: 1) Ditegaskan dalam Pasal 93 ayat (1) UUPT (1) Yang dapat diangkat menjadi anggota Direksi adalah orang perseorangan yang cakap melakukan perbuatan hukum, kecuali dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum pengangkatannya pernah: a. dinyatakan pailit; b. Menjadi anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu Perseroan dinyatakan pailit; atau c. Dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara dan/atau yang berkaitan dengan sektor keuangan. 2) Lebih dari satu orang untuk perusahaan tertentu. Pada prinsipnya suatu perseroan terbatas dapat hanya mempunyai satu orang direktur (direktur tunggal) atau lebih dari satu, akan tetapi menurut Pasal 92 ayat (4) UUPT, dalam hal-hal tertentu, sebuah PT haruslah mempunyai paling sedikit 2 (dua) orang direktur, yaitu dalam hal-hal sebagai berikut: a) Perseroan yang bidang usahanya mengerahkan dana masyarakat, atau b) Perseroan yang menerbitkan surat pengakuan hutang, atau c) Perseroan terbuka.
Hak direksi bila diteliti di dalam UUPT ada beberapa hak atau kewenangan direksi. Dalam pelaksanaannya hak direksi sesuai Pasal 92 ayat (2) UUPT dibatasi oleh 2 (dua) hal, yaitu UUPT dan anggaran dasar perseroan, namun dalam UUPT tidak dijelaskan jenis perbuatan apa yang dibatasi dilakukan direksi baik didalam UUPT maupun didalam anggaran dasar perseroan. UUPT direksi mempunyai hak atau kewenangan sebagai berikut: 1) Menjalankan pengurusan perseroan (Pasal 92 ayat (1) UUPT); 2) Mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan (Pasal 98 ayat (1) UUPT); 3) Mendapatkan upah (Pasal 96 UUPT); 4) Memberikan ijin kepada pemegang saham untuk memeriksa daftar pemegang saham, daftar khusus, risalah RUPS, risalah rapat direksi (Pasal 100 ayat (3) UUPT) Didalam UUPT ada beberapa kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh direksi yaitu: 1) Membuat rencana kerja tahunan yang akan datang dan meminta persetujuan dari dewan komisaris atau RUPS (Pasal 63 dan 64 ayat (1) UUPT); 2) Meminta persetujuan RUPS untuk mengalihkan kekayaan perseroan atau untuk menjadikan jaminan utang kekayaan perseroan yang merupakan lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kekayaan bersih perseroan dalam 1 (satu) transaksi atau lebih, baik yang berkaitan satu sama lain maupun tidak (Pasal 102 ayat (1) UUPT). 3) Membuat daftar pemegang saham, daftar khusus, risalah RUPS, risalah rapat direksi (Pasal 100 ayat (1) huruf (a) UUPT); 4) Membuat laporan tahunan dalam dokumen keuangan (Pasal 100 ayat (1) huruf (b) UUPT). Pengaturan tentang direksi dalam UUPT diatur dalam bagian-bagian yang khusus mengatur tentang direksi, yaitu dari Pasal 92 sampai dengan 107 UUPT, dan diatur dalam bagian-bagian lain dari UUPT secara terpisah-pisah, yakni dalam bagian-bagian yang tidak khusus mengatur tentang direksi. Kemudian dalam Pasal 97 ayat (1) dan ayat (2) UUPT dapat dilihat dengan jelas bahwa setiap anggota direksi wajib menjalankan pengurusan direksi dengan itikad baik dan penuh tanggungjawab, Pasal 97 ayat (6) menyebutkan bahwa “Atas nama Perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu
persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat mengajukan gugatan melalui pengadilan negeri terhadap anggota Direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada Perseroan.” Dilihat dalam Pasal 97 ayat (6) tersebut “unsur kesalahan atau kelalaian” direksi menjadi ukuran yang menjadikan dirinya dapat dimintai pertanggungjawaban secara pribadi atas kerugian yang diderita perseroan.19 c. Dewan Komisaris Komisaris adalah organ perseroan terbatas yang bertugas melakukan pengawasan kepada anggota direksi dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya menjalankan perseroan. Dewan komisaris melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya, baik mengenai perseroan maupun usaha perseroan. Selain menjalankan fungsi pengawasan, dewan komisaris juga berhak memberikan nasihat kepada direksi. Baik pengawasan maupun nasihat yang diberikan oleh dewan komisaris adalah dalam rangka untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan sebagaimana tertuang didalam anggaran dasar.20 Menurut Munir Fuady, pengertian dari komisaris adalah suatu organ perusahaan disamping organ perusahaan lainnya, yang mengawasi pelaksanaan tugas direksi dan jalannya perusahaan pada umumnya, serta memberikan nasihatnasihat kepada direksi maupun kepada pemegang saham/ Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), baik jika diminta maupun apabila tidak diminta.21 Pasal 1 ayat (2) UUPT yang bunyinya sebagai berikut: “Organ Perseroan adalah Rapat Umum Pemegang Saham, Direksi, dan Dewan Komisaris” dan Pasal 1 ayat (6) jo Pasal 108 ayat (1) UUPT menyebutkan bahwa: “Dewan Komisaris adalah Organ Perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi.” Bahkan menurut Pasal 108 ayat (5) UUPT menyebutkan bahwa: “Perseroan yang kegiatan usahanya berkaitan dengan menghimpun dan/atau mengelola dana masyarakat, Perseroan yang menerbitkan surat pengakuan utang kepada masyarakat atau Perseroan Terbuka wajib mempunyai paling sedikit 2 (dua) orang anggota Dewan Komisaris.” Latar 19
Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, PT. Alumni, Bandung, 2004, hlm. 181 Pujiyono, op.cit., hlm. 152 21 Munir Fuady, Perseroan Terbatas Paradigma Baru, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm. 105 20
belakang pertimbangannya, karena perseroan itu diperlukan pengawasan yang lebih ketat dibanding dengan perseroan terbatas lainnya, karena menyangkut kepentingan masyarakat umum. Penjelasan pasal-pasal tersebut di atas, perkataan komisaris mengandung pengertian baik sebagai organ perseroan terbatas maupun sebagai orang perseorangan. Sebagai organ perseroan terbatas, komisaris lazim disebut juga dewan komisaris, sedangkan sebagai orang perseorangan disebut anggota komisaris, sebagai organ perseroan terbatas, pengertian komisaris termasuk juga badan-badan lain yang menjalankan tugas pengawasan khusus. Komisaris pada umumnya bertugas untuk mengawasi kebijaksanaan direksi dalam mengurus perseroan serta memberikan nasehat-nasehat kepada direksi, demikian menurut Pasal 108 UUPT. Tugas pengawasan itu bisa merupakan bentuk pengawasan preventif atau represif. Pengawasan preventif ialah melakukan tindakan dengan menjaga sebelumnya agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan yang akan merugikan perseroan, misalnya untuk beberapa perbuatan dari direksi yang harus dimintakan persetujuan komisaris, apakah hal tersebut sudah dilaksanakan atau belum. Dalam hal komisaris harus selalu mengawasi, sedangkan apa yang dimaksud dengan pengawasan represif ialah pengawasan yang dimaksudkan untuk menguji perbuatan direksi, apakah semua perbuatan yang dilakukan direksi itu tidak menimbulkan kerugian bagi perseroan dan tidak bertentangan dengan undang-undang dan Anggaran Dasar. Apakah nasihat-nasihat dari komisaris sudah benar-benar diperhatikan oleh direksi, selanjutnya Pasal 114 ayat (2) UUPT menyebutkan bahwa: “Setiap anggota Dewan
Komisaris
wajib
dengan
itikad
baik,
kehati-hatian,
dan
bertanggungjawab dalam menjalankan tugas pengawasan dan pemberian nasihat kepada Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan.” 4. Perolehan Status Badan Hukum Perseroan Terbatas Lahirnya PT sebagai badan hukum mutlak didasarkan pada keputusan pengesahan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Hal ini ditegaskan pada Pasal 7 ayat (4) UUPT yang berbunyi: “Perseroan memperoleh status badan hukum pada tanggal diterbitkannya keputusan menteri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan.” Pengesahan akta pendirian ini tidak hanya semata-mata sebagai kontrol administrasi atau wujud campur tangan pemerintah terhadap dunia usaha, tetapi juga
dalam rangka tugas umum pemerintah untuk menjaga ketertiban dan ketenteraman usaha serta dicegah-nya hal-hal yang bertentangan dengan kepentingan umum dan kesusilaan. Proses kelahiran perseroan atau pendirian perseroan yang memenuhi syaratsyarat dan prosedur yang ditentukan peraturan perundang-undangan diuraikan sebagai berikut: a. Didirikan oleh dua orang atau lebih. Menurut ketentuan Pasal 7 ayat (1) UUPT, perseroan didirikan oleh dua orang atau lebih, yang dimaksud dengan orang adalah orang perseorangan atau badan hukum. Ketentuan sekurang-kurangnya dua orang menegaskan prinsip yang dianut oleh UUPT bahwa perseroan sebagai badan hukum dibentuk berdasarkan perjanjian, oleh karena itu harus mempunyai lebih dari satu orang pemegang saham sebagai pendiri. Ketentuan dua orang pendiri atau lebih tidak berlaku bagi perseroan Badan Usaha Milik Negara. (Pasal 7 ayat (7) UUPT). b. Didirikan dengan akta otentik. Menurut ketentuan Pasal 7 ayat (1) UUPT, perjanjian pendirian perseroan harus dibuat dengan akta otentik di muka notaris mengingat perseroan adalah badan hukum. Akta otentik tersebut merupakan akta pendirian yang memuat Anggaran Dasar perseroan. c. Modal dasar perseroan Dalam Pasal 32 ayat (1) UUPT ditentukan bahwa “Modal dasar Perseroan paling sedikit 50 (limapuluh) juta rupiah”, tetapi undang-undang atau peraturan pelaksanaan yang mengatur bidang usaha tertentu dapat menentukan jumlah minimum modal dasar perseroan yang melebihi 50 (limapuluh) juta rupiah. Bidang usaha tertentu itu antara lain perbankan, perasuransian (Penjelasan UUPT Pasal 32 ayat (2)). Menurut ketentuan Pasal 33 ayat (1) UUPT, pada saat pendirian perseroan, paling sedikit 25% (duapuluhlima persen) dari modal dasar harus telah ditempatkan, dan modal dasar tersebut harus ditempatkan dan disetor penuh. 5. Kekayaan Perseroan Terbatas Terpisah Dari Kekayaan Pemegang Saham, Dewan Komisaris dan Direksi. Agar badan hukum dapat berinteraksi dalam dunia hukum seperti membuat perjanjian dan melakukan kegiatan usaha tertentu diperlukan modal. Modal awal badan hukum itu berasal dari kekayaan pendiri yang dipisahkan. Modal awal itu
menjadi kekayaan badan hukum, terlepas dari kekayaan pendiri. Unsur kekayaan yang terpisah dan tersendiri dari pemilikan subyek hukum lain, merupakan unsur yang paling pokok dalam suatu badan untuk disebut sebagai badan hukum yang berdiri sendiri. Unsur kekayaan yang tersendiri itu merupakan persyaratan penting bagi badan hukum yang bersangkutan sebagai berikut: a. Sebagai alat baginya untuk mengejar tujuan pendirian atau pembentukan nya, kekayaan tersendiri yang dimiliki badan hukum itu; b. Dapat menjadi objek tuntutan dan sekaligus menjadi; c. Objek jaminan bagi siapa saja atau pihak-pihak lain dalam mengadakan hubungan hukum dengan badan hukum yang bersangkutan. Pasal 31 ayat (1) UUPT menyebutkan bahwa “modal perseroan terdiri seluruh nilai nominal saham.” Modal dasar merupakan keseluruhan nilai nominal saham yang ada dalam perseroan. Pasal 32 ayat (1) UUPT menentukan, bahwa “modal dasar perseroan paling sedikit sejumlah Rp.50.000.000,00 (limapuluh juta rupiah)”, namun Pasal 32 ayat (2) UUPT menentukan pula bahwa “Undang-Undang yang mengatur kegiatan usaha tertentu dapat menentukan jumlah minimum modal Perseroan yang lebih besar daripada ketentuan modal dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”. Misalnya, pengaturan jumlah modal bagi perusahaan-perusahaan yang berkaitan dengan kegiatan pasar modal diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal jo. Peraturan Pelaksanaan Nomor 45 Tahun 1995. Penentuan jumlah minimum jauh lebih tinggi daripada yang ditentukan dalam Pasal 32 ayat (3) UUPT. Terpisahnya kekayaan perseroan terbatas dengan harta kekayaan pribadi pemegang saham dapat dilihat dalam “pertangungjawaban terbatas” sebagaimana Pasal 3 ayat (1) UUPT, bahwa: 22 a. Perseroan tidak bertanggungjawab terhadap utang pemegang saham (not liable of its shareholders) sebaliknya pemegang saham tidak bertanggung jawab terhadap utang perseroan; b. Kerugian yang ditanggung pemegang saham hanya terbatas harga saham yang mereka investasikan (their lose is limited to their investment); Pemegang saham,
22
M. Yahya Harahap, op.cit., hlm. 58-59
tidak bertanggungjawab lebih lanjut kepada kreditor perseroan atas aset pribadinya. “Organ Perseroan adalah Rapat Umum Pemegang Saham, Direksi, dan Dewan Komisaris” (Pasal 1 ayat (2) UUPT). “Rapat Umum Pemegang Saham, yang selanjutnya disebut RUPS, adalah Organ Perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam undang-undang ini dan/atau anggaran dasar.” (Pasal 1 ayat (4) UUPT), “Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggungjawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.” (Pasal 1 ayat (5) UUPT), sedangkan “Komisaris adalah Organ Perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi.” (Pasal 1 ayat (6) UUPT) Para pemegang saham melimpahkan wewenangnya kepada direksi untuk menjalankan dan mengembangkan perusahaan sesuai dengan tujuan dan bidang usaha perusahaan. Dalam kaitan dengan tugas tersebut, direksi berwenang untuk mewakili Perusahaan, mengadakan perjanjian, kontrak, dan sebagainya. Apabila terjadi kerugian yang amat besar (diatas 50%) maka direksi harus melaporkannya ke para pemegang saham dan pihak ketiga, untuk kemudian dirapatkan. Dalam melaksanakan tugas-tugas dan kewenangan untuk kepentingan perseroan harus dilakukan dengan itikad baik dan dengan kehati-hatian agar tidak merugikan kepentingan perseroan. Apabila direksi atau dewan komisaris melakukan perbuatan untuk kepentingan pribadi bukan untuk kepentingan perseroan, maka segala akibat hukum maupun biaya yang timbul akibat perbuatan tersebut menjadi tanggungjawab pribadi direksi atau dewan komisaris. Pasal 97 ayat (3) UUPT menyebutkan bahwa “Setiap anggota Direksi bertanggungjawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)”, sedangkan, Pasal 97 Ayat (2) UUPT menyebutkan bahwa “Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggungjawab”. Dari rumusan diatas dapat disimpulkan bahwa direksi bertangungjawab secara pribadi apabila kerugian perseroan diakibatkan karena kesalahan atau kelalaiannya
yang dilakukan dengan itikad buruk (bad faith), sehingga apabila terjadi kerugian financial, maka pembayaran kerugian tersebut menggunakan harta kekayaan pribadi direksi bukan harta kekayaan perseroan. Kerugian perseroan tersebut menjadi tanggungjawab perseroan bukan tanggungjawab pribadi direksi, apabila anggota direksi dapat membuktikan (Pasal 97 ayat (5) UUPT): a. kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; b. telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan; c. tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan d. telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut. Dengan adanya unsur keterpisahan harta didalam badan hukum perseroan terbatas, maka siapa saja yang menjadi pemilik, pendiri dan pengurus badan hukum tersebut serta pihak-pihak lain yang berhubungan dengan badan hukum yang bersangkutan, haruslah benar-benar memisahkan antara unsur pribadi beserta hak milik pribadi, dengan institusi dan harta kekayaan badan hukum yang bersangkutan. Karena itu, perbuatan hukum pribadi orang yang menjadi anggota atau pengurus badan hukum itu dengan pihak ketiga tidak mempunyai akibat hukum terhadap harta kekayaan badan hukum yang sudah terpisah tersebut. Jadi, dengan demikian dapat dilihat bahwa kekayaan perseroan terbatas terpisah dengan kekayaan pribadi pemegang saham, dewan komisaris, dan direksi. 6. Terbatasnya Tanggungjawab Perseroan Terbatas Perseroan Terbatas terdiri dari dua kata, yakni perseroan dan terbatas. “Perseroan” merujuk kepada modal PT yang terdiri dari sero-sero atau saham-saham, sedangkan kata “terbatas” merujuk kepada tanggungjawab pemegang saham yang luasnya hanya terbatas pada nilai nominal saham yang dimilikinya.23 Dasar pemikiran bahwa modal PT itu terdiri atas sero-sero atau saham-saham dan PT adalah badan hukum dapat ditelusuri dari ketentuan Pasal 1 ayat (1) UUPT, yaitu: “Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian,
23
Ridwan Khairandy, op.cit., hlm. 1
melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya”. Perseroan terpisah dan berbeda dengan pemiliknya/pemegang saham, maka tanggungjawab pemegang saham hanya terbatas sebesar nilai sahamnya sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (1) UUPT: “Pemegang saham Perseroan tidak bertanggungjawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggungjawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimiliki”. Ketentuan dalam ayat ini mempertegas bahwa pemegang saham hanya bertanggungjawab sebesar setoran atas seluruh saham yang dimilikinya dan tidak meliputi harta kekayaan pribadinya. Tanggungjawab terbatas ini memberikan fleksibilitas dalam mengalokasikan risiko dan keuntungan antara pemegang saham (equity holders) dan pemegang utang (debt holders), mengurangi biaya pengumpulan transaksi-transaksi dalam perkara tidak mampu membayar utang (insolvensi), dan mempermudah serta secara substansial menstabilkan harga saham.24 Tanggungjawab terbatas juga berperan penting dengan memberikan kemudahan dalam pendelegasian manajemen, selain itu dengan mengalihkan risiko bisnis dari pemegang saham ke kreditor, maka tanggungjawab terbatas memasukkan kreditor sebagai pengawas manajer perusahaan. Tugas pengawasan ini lebih baik jika dijalankan oleh kreditor daripada oleh pemegang saham dalam perusahaan yang kepemilikan sahamnya tersebar secara luas. Tanggungjawab terbatas dalam perjanjian harus dibedakan dengan tanggungjawab dalam perbuatan melawan hukum (tort).25 Ketika menggunakan istilah tanggungjawab terbatas, maka hal ini mengacu pada tanggungjawab terbatas dalam perjanjian, yaitu tanggungjawab terbatas pada kreditor secara suka rela yang memiliki tuntutan kontraktual dan korporasi. Adapun tanggungjawab terbatas dalam tort adalah tanggungjawab terbatas pemegang saham terhadap kreditor korporasi dengan tidak sukarela, misalnya pihak ketiga yang dirugikan akibat tindakan kelalaian korporasi.26 Keperluan adanya tanggungjawab terbatas bagi harta kekayaan pribadi pemegang saham, memberikan manfaat kepada pemegang saham bahwa tidak semua kegiatan dari pengurus perseroan terbatas memerlukan pengetahuan bahkan 24
Ibid; hlm. 15 Ibid 26 Ibid 25
persetujuan dari pemegang saham. Konteks ini akhirnya mengurangi peran pemegang saham dalam melakukan pengawasan secara terus-menerus terhadap kegiatan pengelolaan perusahaan. Peran ini kemudian disederhanakan menjadi peran Rapat Umum Pemegang Saham pada setiap tahunnya dalam bentuk Rapat Umum Tahunan Pemegang Saham. Dalam hal tertentu, yang diperkirakan membawa akibat pengaruh finansial atau kebijakan yang luas dan besar bagi perseroan, keterlibatan pemegang saham juga dapat dimintakan, yang terwujud dalam bentuk penyelenggaraan Rapat Umum Luar Biasa Pemegang Saham. Hal tersebut disadari atau tidak, pada akhirnya memberikan kebebasan kepada pengurus perseroan untuk mengelola perseroan dan mencari keuntungan bagi perseroan dengan tetap berpedoman pada maksud dan tujuan serta untuk kepentingan perseroan. Hal inilah juga yang nantinya menjadi dasar kebijakan bagi lahirnya “business judgment rule principle” yang memberikan perlindungan bagi setiap keputusan usaha atau bisnis yang diambil oleh direksi yang telah dilakukannya dengan penuh kehati-hatian dan dengan itikad baik sesuai maksud dan tujuan serta untuk kepentingan perseroan.27 M. Yahya Harahap,28 memberikan pendapat mengenai “pertanggung jawaban terbatas” sebagaimana Pasal 3 ayat (1) UUPT, bahwa: Perseroan tidak bertanggungjawab terhadap utang pemegang saham (not liable of its shareholders) sebaliknya pemegang saham tidak bertanggungjawab terhadap utang perseroan; Kerugian yang ditanggung pemegang saham hanya terbatas harga saham yang mereka investasikan (their lose is limited to their investment); Pemegang saham, tidak bertanggungjawab lebih lanjut kepada kreditor perseroan atas aset pribadinya. Namun hal itu tidak mengurangi kemungkinan pemegang saham bertanggungjawab sampai meliputi harta pribadinya, apabila dia secara itikad buruk (bad faith) memperalat perseroan untuk kepentingan pribadi, atau pemegang saham bertindak sebagai borgtoch terhadap kreditor atas utang perseroan. John H. Matheson berpendapat: “Limited liability of business owners for the contracts, torts and other liabilities of their companies has been commonplace for over one hundred and fifty years. This concept of limited liability means that a business owner's potential personal loss is a fixed amount, namely, the amount invested in the business, usually in the form of stock ownership. Consequently, if the 27 28
Gunawan Widjaja, op.cit., hlm. 21-22 M. Yahya Harahap, op.cit., hlm.59
business succeeds, the owner obtains the profits, but if the business fails, all of the losses beyond the owner's fixed investment are absorbed by others, that is, voluntary or involuntary creditors, or society at large.29” Pengertian ini dapat diterjemahkan secara bebas yaitu terbatasnya tanggungjawab pemilik perseroan baik dalam hal kontrak, perbuatan melawan hukum, maupun tanggungjawab lainnya dari perseroan tersebut sudah menjadi hal yang lazim dalam kurun waktu seratus lima puluh tahun. Konsep tanggungjawab terbatas adalah potensi kerugian pribadi pemilik bisnis jumlahnya pasti, yaitu sejumlah investasi yang ditanamkan pada perseroan tersebut, biasanya dalam bentuk saham. Konsekuensinya, jika bisnis berhasil, pemegang saham mendapat keuntungan, tetapi jika bisnis tidak berhasil atau gagal, segala kerugian diluar jumlah yang ditanamkan, menjadi tanggungan orang atau pihak lain, dalam hal ini kreditur tetap atau tidak tetap dan masyarakat pada umumnya. Tanggungjawab terbatas dari pemegang saham PT merupakan salah satu karakteristik PT, namun dengan demikian adakalanya tanggungjawab terbatas dari pemegang saham tersebut bisa hapus atau hilang. Hal ini bisa terjadi apabila terbukti antara lain oleh adanya itikad buruk (bad faith) dari pemegang saham atau telah terjadi pembauran harta kekayaan pribadi dengan harta kekayaan perseroan, sehingga perusahaan atau PT didirikan hanya semata-mata sebagai alat yang dipergunakan oleh pemegang saham untuk kepentingan pribadinya. Menurut Chao Xi30; “limited liability has never been as absolute as it purports to be. Creditors of insolvent corporations may ask courts, under a judicially developed doctrine known as “Piercing The Corporate Veil”, to disregard the corporate form and hold a shareholder personally responsible for the corporation’s obligations”. Pengertian ini dapat diterjemahkan secara bebas yaitu tanggungjawab terbatas tidaklah bersifat absolute. Pihak yang merasa dirugikan dapat menggugat ke pengadilan yang didasarkan pada doktrin Piercing The Corporate Veil untuk memintakan pertanggungjawaban pribadi pada pemegang saham untuk pembayaran utang perseroan. Menurut Pasal 3 ayat (2) UUPT, tanggungjawab terbatas pemegang saham hapus atau tidak berlaku apabila: 29
John H. Matheson, Why Courts Pierce: An Empirical Study of Piercing The Corporate Veil, Berkeley Business Law Journal Volume 7 | Issue 1 Article 1 June 2010, hlm. 3, http://scholarship.law.berkeley.edu/bblj/vol7/iss1/1, 11 Maret 2016, 23:00 30 Chao Xi* Piercing The Corporate Veil in China: How Did We Get There?, Journal of Business Law, Issue 5 © 2011, page 413, Thomson Reuters (Professional) UK Limited and Contributors, year 2011, http://ssrn.com/abstract=1907079, 07 Maret 2016, 18:00
a. Persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi; b. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi; c. Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perseroan; atau d. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan, yang mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang Perseroan. Hapusnya atau tidak berlakunya tanggungjawab terbatas disebut dengan istilah “Piercing The Corporate Veil” atau “Lifting The Corporate Veil” yang artinya menembus cadar perusahaan atau membuka tabir perusahaan.31
B. Asas-Asas Hukum Dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas Asas atau prinsip adalah sesuatu yang dapat dijadikan alas, dasar, tumpuan, tempat untuk menyandarkan, untuk mengembalikan sesuatu hal, yang hendak dijelaskan. Dalam arti sempit, kata principle dipahami sebagai sumber yang abadi dan tetap dari banyak hal, aturan atau dasar bagi tindakan seseorang, suatu pernyataan (hukum, aturan, kebenaran) yang dipergunakan sebagai dasar untuk menjelaskan sesuatu peristiwa.32 Keberadaan asas hukum dalam aturan hukum lebih tepat dianalogikan dengan keberadaan “otak” dalam tubuh manusia. Otak mempunyai fungsi yang sangat vital, yaitu pusat sistem syaraf, yang mengatur dan mengkoordinasi sebahagian besar gerakan, perilaku, fungsi tubuh, emosi dan segala bentuk pelajaran lainnya. Asas hukum juga mempunyai fungsi yang sangat vital bagi aturan hukum, yaitu menjadi pusat sistem pemikiran hukum yang mengatur emosi (semangat hukum) dan denyut nadi hukum (responsibilitas hukum), serta mengkoordinasi alur dan alir hukum, sehingga mampu menjaga keseimbangan dalam aturan hukum yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat.33 Apabila dikaji secara komprehensif, dalam sistem hukum perusahaan Indonesia terdapat asas-asas hukum yang dijadikan dasar pembentukan hukum perusahaan yang berlaku. Asas-asas tersebut seperti dijelaskan di bawah ini: 1. Asas-asas Hukum Perjanjian 31
I.G.Rai Widjaya, op.cit., hlm. 146 Mahadi, log.cit 33 Muhammad Syaifuddin, Hukum Kontrak Memahami Kontrak dalam Perspektif Filsafah, Teori, Dogmatik dan Praktik Hukum (Seri Pengayaan Hukum Perikatan), CV. Mandar Maju, Bandung, 2012, hlm. 71 32
Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbulah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan.34 Asas ini dapat ditemukan dalam pengertian perseroan terbatas sebagai salah satu bentuk badan usaha yang berbadan hukum, dalam Pasal 1 ayat (1) UUPT disebutkan bahwa: “Perseroan terbatas adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian....dst”. Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa PT sebagai badan usaha didirikan atas dasar perjanjian yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih. Dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa kedua subjek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki pihak yang lain.35 Dengan adanya perjanjian para pihak yang dituangkan dalam akta notaris dalam bentuk anggaran dasar perseroan terbatas maka berlakulah asas-asas hukum perjanjian dalam pendirian, pelaksanaan perseroan tersebut. Asas-asas umum hukum perjanjian tersebut antara lain; a. Asas Konsensualisme; Asas konsensualitas yang terkandung dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata yang menentukan bahwa kontrak itu telah lahir cukup dengan adanya kata sepakat, tidak seharusnya ditafsirkan secara gramatikal semata-mata melainkan harus ditafsirkan juga dalam hubungannya dengan syarat-syarat lainnya yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Jika syarat-syarat lainnya dalam Pasal 1320 KUH Perdata tidak terpenuhi, akibat hukumnya adalah kontrak itu tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.36 b. Asas Kebebasan Berkontrak; Asas kebebasan membuat kontrak membebaskan para pihak menentukan apa saja yang ingin mereka perjanjikan sekaligus menentukan apa saja yang tidak dikehendaki untuk dicantumkan dalam kontrak atau kehendak para pihak yang diwujudkan dalam kesepakatan adalah merupakan dasar mengikatnya suatu
34
Subekti, Hukum Perjanjian, Cet. Ke-19, Intermasa, Jakarta, 2002, hlm. 1 Ibid; hlm 17 36 Muhammad Syaifuddin, op.cit., hlm.78 35
perjanjian.37 Namun, asas kebebasan membuat kontrak tidak berarti bebas tanpa batas, karena negara harus intervensi untuk melindungi pihak yang lemah secara sosial dan ekonomi atau untuk melindungi ketertiban umum, kepatutan dan kesusilaan.38 Faktor yang mempengaruhi pembatasan asas kebebasan berkontrak adalah39; semakin berpengaruhnya ajaran iktikad baik, yang tidak hanya ada pada pelaksanaan kontrak, tetapi juga harus ada pada saat dibuatnya kontrak dan semakin berkembangnya ajaran penyalahgunaan keadaan. c. Asas Pacta sunt servanda; Asas kekuatan mengikat kontrak mengharuskan para pihak memenuhi apa yang telah merupakan ikatan mereka satu sama lain dalam kontrak yang mereka buat. Asas hukum ini disebut juga asas pacta sunt servanda, yang secara konkrit dapat dicermati dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPer yang memuat ketentuan imperatif, yaitu “semua kontrak yang dibuat sesuai dengan Undang-Undang berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya”.40 Ketentuan imperatif dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPer mengarahkan pemahaman bahwa sebenarnya setiap subjek hukum (orang dan badan hukum) dan sesama subjek hukum lainnya dapat melakukan perbuatan hukum seolah-olah sebagai pembentuk Undang-Undang dengan menggunakan kontrak.41 Para pihak yang membuat kontrak secara otonom mengatur pola dan substansi hubungan hukum kotraktual diantara mereka. Kekuatan mengikat kontrak yang dibuat secara sah (vide Pasal 1320) mempunyai daya berlaku seperti halnya Undang-Undang yang dibentuk oleh pembentuk Undang-Undang, sehingga harus ditaati oleh para pihak yang membuat kontrak tersebut.42 d. Asas Keseimbangan; Kata „keseimbangan‟ menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti „keadaan seimbang (seimbang sama berat, setimbang, sebanding, setimpal).‟43 Dalam hubungannya dengan kontrak, secara umum asas keseimbangan bermakna sebagai
37
Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Cetakan ke-8, Kencana Pranada Media Group, Jakarta, 2014, hlm. 3 38 Muhammad Syaifuddin, op.cit., hlm. 89 39 Ridwan Khairandy, Nandang Sutrisno dan Jawahir Tontowi, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, Gama Media, Yogyakarta, 1996, hlm. 2 40 Muhammad Syaifuddin, op.cit., hlm. 91 41 Ibid 42 Ibid; hlm. 93 43 Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa-Depdikbud RI. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1997, hlm. 373
keseimbangan posisi para pihak yang membuat kontrak.44 Asas keseimbangan, menurut Herlien Budiono45, dilandaskan pada upaya mencapai suatu keadaan seimbang yang sebagai akibat darinya harus memunculkan pengalihan kekayaan secara absah. Tidak terpenuhinya keseimbangan berpengaruh terhadap kekuatan yuridikal kontrak. Dalam terbentuknya kontrak, ketidakseimbangan dapat muncul, karena perilaku para pihak sendiri maupun sebagai konsekuensi dari substansi (muatan isi) kontrak atau pelaksanaan kontrak. Pencapaian keadaan seimbang, mengimplikasikan, dalam konteks pengharapan masa depan yang objektif, upaya mencegah dirugikannya satu diantara dua pihak dalam kontrak. e. Asas Itikad Baik (good faith); Kontrak harus dilaksanakan dengan iktikad baik46. Makna iktikad baik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kepercayaan, keyakinan yang teguh, maksud, kemauan (yang baik)47. Menurut teori klasik hukum kontrak, asas itikad baik dapat diterapkan dalam situasi dimana perjanjian sudah memenuhi syarat hal tertentu.48 Iktikad baik terdiri dari dua macam, yaitu: 1) Iktikad baik pada waktu mulai berlakunya suatu hubungan hukum, yang biasanya berupa perkiraan atau anggapan seseorang bahwa syarat-syarat dimulainya
hubungan
hukum
telah
terpenuhi.
Hukum
memberikan
perlindungan kepada pihak yang beriktikad baik, sedangkan bagi pihak yang beriktikad tidak baik (te kwader trouw) harus bertanggungjawab dan menanggung resiko. Iktikad baik ini antara lain terkandung dalam Pasal 1977 BW dan Pasal 1963 BW, yang menentukan syarat untuk memperoleh hak milik atas barang melalui daluwarsa. Iktikad baik ini bersifat subjektif dan statis. 2) Iktikad baik pada waktu pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam hubungan hukum itu, sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) BW, yang bersifat objektif dan dinamis mengikuti situasi sekitar perbuatan hukumnya serta titik beratnya terletak pada tindakan yang akan dilakukan oleh kedua belah pihak, yaitu tindakan sebagai pelaksanaan sesuatu hal.49 44
Muhammad Syaifuddin, op.cit., hlm.97 Herlien Budiono, Asas Keseimbangan bagi ukum Perjanjian Indoensia: Hukum Perjanjian Berlandaaskan Asas-Asas wigati Indonesia, PT. CitraAditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 317-318 46 Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata 47 Tim Penyusun........, op.cit., hlm. 369 48 Suharnoko, op.cit., hlm. 5 49 R. Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Perdata, Sumur, Bandung, 1992, hlm. 56-62 45
Didalam UUPT tidak dijelaskan mengenai pengertian itikad baik tersebut. Menurut J. Satrio50 itikad baik itu dapat diartikan sebagai berikut: 1) Itikad baik yang subyektif, yaitu berkaitan sikap batinnya, apakah yang bersangkutan sendiri menyadari atau sadar akan tindakannya, bahwa tindakannya bertentangan dengan itikad baik. 2) Itikad baik yang obyektif, yaitu berkaitan dengan pendapat umum, apakah umum menganggap tindakan yang seperti itu bertentangan dengan itikad baik. 3) Itikad baik membuat dan memelihara daftar pemegang saham, risalah RUPS dan risalah rapat direksi. 4) Itikad baik menyelenggarakan pembukuan perseroan yang semuanya disimpan di tempat kedudukan perseroan. 5) Melaporkan
kepada
perseroan
tentang
kepemilikan
sahamnya,
dan
keluarganya baik yang ada di dalam perseroan maupun di luar perseroan. 6) Wajib meminta persetujuan dari RUPS untuk mengalihkan atau menjadikan jaminan utang, seluruh atau sebagian besar kekayaan perseroan dan tidak boleh merugikan pihak ketiga. f. Asas Kepatutan; Kontrak-kontrak tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat kontrak,
diharuskan
oleh
„kepatutan‟,
kebiasaan
atau
undang-undang51.
Pemberlakuan asas kepatutan dalam suatu kontrak mengandung dua fungsi, yaitu: 1). Fungsi melarang, artinya suatu kontrak yang bertentangan dengan asas kepatutan itu dilarang atau tidak dapat dibenarkan; 2). Fungsi menambah, artinya suatu kontrak dapat ditambah dengan atau dilaksanakan asas kepatutan untuk mengisi kekosongan dalam pelaksanaan suatu kontrak, yang tanpa isian tesebut, maka tujuan dibuatnya kontrak tidak akan tercapai.52 g. Asas Kebiasaan; Asas kebiasaan mengarahkan suatu kontrak tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang diatur secara tegas dalam undang-undang, yurisprudesi dan sebagainya, tetapi juga hal-hal yang menjadi kebiasaan yang diikuti masyarakat umum. Pasal 50
J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Lahir Dari Perjanjian, Buku I, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hlm. 177-179 51 Pasal 1339 KUH Perdata 52 Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis) Buku Kedua, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm. 82
1347 KUH Perdata berbunyi; “hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan, dianggap secara diam-diam dimasukkan dalam kontrak, meskipun tidak dengan tegas dinyatakan.” h. Asas Moral; Kontrak tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan sebagai moral yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat53. Seseorang yang melakukan suatu perbuatan sukarela (moral) mempunyai kewajiban hukum untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya.54 Kebebasan individu yang mengikatkan dirinya secara kontraktual terhadap individu lainnya dibatasi oleh kewajiban moralnya, yang mengarahkan kontrak itu diadakan, dilaksanakan dan diputuskan sesuai dengan nilai-nilai yang dianggap baik dan merefleksikan penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia yang baik. 2. Asas Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan (Corporate Social Responsibility/ CSR) Tanggungjawab sosial korporasi atau corporate social responsibility (CSR) menjadi suatu gagasan yang menyita perhatian banyak kalangan, dari masyarakat akademik, lembaga swadaya masyarakat (LSM), sampai para pelaku bisnis. Tidak mengherankan jika laporan tahunan beberapa perusahaan multinasional yang telah melakukan praktek CSR keberhasilan meraih keuntungan tidak lagi ditempatkan sebagai satu-satunya alat ukur keberhasilan dalam mengembangkan eksistensi perusahaan.55 Istilah CSR hanya diterapkan pada korporasi. Karena korporasi merupakan institusi yang dominan dibumi ini dimana korporasi pasti berhadapan dengan persoalan lingkungan dan sosial yang mempengaruhi kehidupan manusia.56 Doktri CSR yang diciptakan sebagai suatu etika atau moral dalam perilaku perusahaan telah diterima kedalam aturan hukum, Undang-Undang, regulasi yang ada dalam Code-Code dan European System. Namun demikian, istilah CSR memiliki makna yang berbeda dengan etika, moral, philantrophi, dan hukum.57 Dilihat dari sudut pandang hukum bisnis, setidaknya ada dua tanggungjawab yang harus diajarkan dalam etika bisnis, yaitu tanggungjawab hukum (legal responsibility) yang meliputi aspek perdata (civil liability) dan aspek pidana (crime liability), dan aspek tanggungjawab sosial (social responsibility) yang dibangun diatas 53
Muhammad Syaifuddin, op.cit., hlm. 103 Ibid 55 Bambang Sulistiyo, Wangi Sebelum Ada Peraturan, Gatra, Jakarta, 2006, hlm. 81 56 Ridwan Khairandy, Perseroan...., op.cit., hlm. 136 57 Ibid; hlm. 137 54
landasan norma moral yang berlaku didalam masyarakat. Artinya, sekalipun suatu kegiatan bisnis secara hukum (perdata dan pidana) tidak melanggar Undang-Undang atau peraturan, tetapi bisnis tersebut dilakukan dengan melanggar moral masyarakat atau merugikan masyarakat, maka bisnis tersebut dianggap sebagai perbuatan tidak etis (unethical conduct).58 Asas tanggungjawab sosial ini merupakan asas yang mengharuskan setiap pelaku usaha (perusahaan) guna ikut mewujudkan upaya pembangunan ekonomi berkelenjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi pelaku usaha (perusahaan), komunitas setempat dimana pelaku usaha (perusahaan) menjalankan usahanya, maupun bagi masyarakat pada umumnya. Hal ini sangat penting demi terjalinnya hubungan pelaku usaha (perusahaan) yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat. Asas ini sudah diterapkan di Indonesia dengan dinyatakan secara tegas dalam Pasal 74 UUPT disebutkan bahwa: “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan”. 3. Asas Corporate Separate Legal Personality Asas ini dikenal dalam perseroan terbatas, yang esensinya bahwa suatu perusahaan, dalam hal ini PT, mempunyai personalitas atau kepribadian yang berbeda dari orang yang menciptakannya. Doktrin dasar PT adalah perseroan merupakan kesatuan hukum yang terpisah dari subjek hukum pribadi yang menjadi pendiri atau pemegang saham dari perseroan tersebut. Ada suatu tabir (veil) pemisah antara perseroan sebagai suatu legal entity dengan para pemegang saham dari perseroan tersebut. Konsep dan prinsip entitas terpisah (separate entity) dan tanggungjawab terbatas (limited liability) yang diatur dalam UUPT 2007, sama dengan ketentuan yang terdapat pada Pasal 3 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.59 Asas ini secara konkrit dapat ditemukan pada Pasal 3 ayat (1) UUPT yang menentukan Pemegang Saham Perseroan tidak bertanggungjawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan dan tidak bertanggungjawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimilikinya. 4. Asas Piercing The Corporate Veil
58 59
Ibid; hlm. 138 M. Yahya Harahap, op.cit., hlm. 70
Berkaitan dengan asas Corporate Separate Legal Personality tersebut diatas yang membatasi tanggungjawab pemegang saham, dalam hal-hal tertentu pembatasan tersebut dapat diterobos dengan syarat dan keadaan tertentu. Sehingga tanggungjawab pemegang saham tidak lagi terbatas pada nilai pemilikan sahamnya. 5. Asas Fiduciary Duty Doktrin fiduciary duty adalah suatu konsep dimana direksi adalah pihak yang dipercaya oleh pihak lain dalam hal ini adalah pemegang saham, untuk bertindak untuk dan atas nama serta demi kepentingan pihak yang memberikan kepercayaan tersebut, dengan demikian direksi berkewajiban untuk melaksanakan kepercayaan tersebut dengan itikad baik dan penuh tanggungjawab.60 Secara konseptual doktrin fiduciary duty mengandung 2 (dua) faktor/prinsip penting yaitu sebagai berikut: a. Prinsip yang merujuk pada kemampuan serta kehati-hatian tindakan direksi (duty of skill and care) b. Prinsip yang merujuk pada itikad baik dari direksi untuk bertindak semata-mata demi kepentingan dan tujuan perseroan, kemampuan, serta kehati-hatian tindakan direksi (duty of loyalty and good faith)61 Esensi dari asas ini bahwa direksi sebagai salah satu organ dalam perseroan terbatas yang bertanggungjawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik didalam maupun diluar pengadilan. Sebagaimana halnya tanggungjawab terbatas pemegang saham PT, keterbatasan tanggungjawab itu juga berlaku terhadap anggota direksi meskipun tidak secara tegas dinyatakan dalam pasal-pasal UUPT. Hal tersebut dapat diketahui dari Pasal 97 ayat (3) UUPT yang mengatur bahwa setiap anggota direksi bertanggungjawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Dari ketentuan itu secara a contrario dapat diartikan bahwa apabila anggota direksi tidak bersalah dan tidak lalai menjalankan tugasnya, maka berarti direksi tidak bertanggungjawab penuh secara pribadi. 6. Asas Fiduciary Skill & Care Asas ini menekankan bahwa seorang direksi suatu perseroan haruslah seseorang yang memiliki keahlian dan kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum
60 61
Kurniawan, op.cit., hlm. 82 Ibid; hlm. 82-84
dan harus memiliki tanggungjawab sebagai “bapak rumah yang baik” dalam mengelolan perseroan. 7. Asas Domisili Asas domisili adalah asas yang mengharuskan suatu badan usaha mempunyai tempat kedudukan yang biasanya disebutkan dalam akta pendirian tempat kedudukan (domisili) ini berfungsi sekaligus sebagai kantor pusat suatu badan usaha. Domisili atau tempat kedudukan badan usaha ini untuk mempermudah suatu badan usaha dalam mengadakan hubungan hukum dengan pihak lain. 8. Asas Publisitas Sejalan dengan tuntutan yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan, dalam rangka tertib administrasi, maka setiap pendirian badan usaha badan hukum diwajibkan dalam bentuk akta otentik yang dibuat dihadapan Notaris selaku pejabat umum yang ditetapkan oleh undang-undang. Pendaftaran dilakukan di tempat domisili badan usaha badan hukum, dimaksudkan agar Pemerintah mudah melakukan pembinaan dan pengawasan. Dalam Pasal 30 UUPT menyebutkan bahwa: (1) Menteri mengumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia: a. Akta pendirian Perseroan beserta keputusan menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4); b. Akta perubahan anggaran dasar Perseroan beserta
keputusan menteri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1); c. Akta perubahan anggaran dasar yang telah diterima pemberitahuannya oleh Menteri. (2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri dalam waktu paling lambat 14 (empatbelas) hari terhitung sejak tanggal diterbitkannya keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b atau sejak diterimanya pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengumuman dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Di samping itu, asas publisitas dapat juga memberikan akses publik untuk mengetahui keberadaan badan usaha tersebut. Asas publisitas hendaknya disinergikan dengan asas domisili, guna mendukung kepatuhan terhadap kewajiban pendiri, maupun anggota dimana badan usaha badan hukum itu berada
9. Asas Kekeluargaan Asas kekeluargaan ini merupakan suatu asas yang dinyatakan secara konstitusional dalam UUD 1945 pada Pasal 33 ayat (1) yang menyebutkan bahwa Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Dimaksudkan bahwa dalam melakukan pengurusan perusahaan, direksi, pemegang saham dan komisaris serta karyawan yang bekerja dalam perusahaan dituntut untuk membangun sistem kekeluargaan sebagai bangsa Indonesia dengan menghormati dan menjunjung tinggi keberagaman. Asas kekeluargaan dimaksud tidak diartikan sebagai semangat nepotistik yang bersifat kekerabatan (family system).
C. Doktrin Piercing The Corporate Veil Pada perkembangannya doktrin-doktrin modern hukum perusahaan khususnya dalam sistem common law mengenal eksistensi doktrin Piercing The Corporate Veil. Robert B. Thompson mengatakan; “Piercing The Corporate Veil is the most litigated issue in corporate law' and yet it remains among the least understood. As a general principle, corporations are recognized as legal entities separate from their shareholders, officers, and directors. Corporate obligations remain the liability of the entity and not of the shareholders, directors, or officers who own and/or act for the entity. "Piercing The Corporate Veil" refers to the judicially imposed exception to this principle by which courts disregard the separateness of the corporation and hold a shareholder responsible for the corporation's action as if it were the shareholder's own.62” Pengertian ini dapat diterjemahkan secara bebas yaitu Piercing The Corporate Veil menjadi topik paling popler dalam hukum perseroan terbatas, namun masih sedikit yang memahami. Pada umumnya perseroan dikenal dengan adanya keterpisahan harta kekayaan perseroan dengan pemegang saham, komisaris dan direktur. Tanggungjawab perseoran juga terpisah antara perseroan dengan organ perseroan. Doktrin Piercing The Corporate Veil secara hukum mengecualikan ketentuan tersebut melalui pengadilan dan dapat memintakan tanggungjawab pada pemegang saham untuk tindakan perseroan tersebut bilamana pemegang saham tersebutlah yang bertindak. Doktrin “Piercing The Corporate Veil” terdiri dari kata-kata sebagai berikut63: 1. Pierce (ing) = menyobek/mengoyak/menembus. 62
Robert B. Thompson, PIERCING THE CORPORATE VEIL:AN EMPIRICAL STUDY, Cornell Law Review Volume 76 Issue 5 July 1991 Article 2, hlm. 1036, http://scholarship.law.cornell.edu/clr/vol76/iss5/2, 09 Maret 2016, 21:00 63 Munir Fuady, Doktrin-Doktrin...., op.cit., hlm.7-8
2. Veil = tirai atau pembatas. 3. Corporate = perusahaan. Secara harfiah istilah Piercing The Corporate Veil berarti mengoyak/ menyingkapi “tirai” atau pembatas tanggungjawab dalam perusahaan, sedangkan dalam ilmu hukum perusahaan, istilah Piercing The Corporate Veil merupakan suatu doktrin atau teori yang diartikan sebagai suatu proses untuk membebani tanggungjawab atas pihak lain atau perusahaan lain yang bukan perusahaan itu sendiri, tanpa melihat kepada fakta bahwa perbuatan materil sebenarnya dilakukan oleh perseroan pelaku (badan hukum), tanpa melihat kepada fakta bahwa perbuatan tersebut sebenarnya dilakukan oleh perseroan terbatas yang bersangkutan.64 Tujuan keberadaan doktrin ini adalah untuk mencegah kerugian yang mungkin diderita pihak yang beritikad baik atau menciptakan keadilan dalam kegiatan perseroan terbatas. Dengan menggunakan doktrin ini pengadilan akan mengeyampingkan prinsip separate existence dari perseroan terbatas yang berakibat pada tanggungjawab terbatas yang dinikmati setiap organ perseroan. Hal senada juga diungkapkan oleh Matthew D. Caudill; A corporation exists independent of its owners as a separate legal entity." A corporation's distinct legal existence insulates its shareholders from liability: shareholders of a corporation are liable only for the amount of their investments and not for the debts of the corporation itself.' Courts will only pierce in the unusual circumstance, to prevent fraud, achieve equity or avert the violation of a statute or public policy." Under the piercing doctrine, courts may hold liable corporate actors who misuse the corporate form in such a manner as to accomplish their own personal affairs rather than that of the business of the corporation."65 Pengertian ini dapat diterjemahkan secara bebas yaitu suatu perseroan mengenal pemisahan harta kekayaan. Pemegang saham hanya bertanggungjawab sebatas pada saham yang ditanamnya dan tidak pada kerugian atau utang pada perseroan tersebut. Dengan adanya doktrin Piercing The Corporate Veil, pengadilan dimungkinkan untuk menjerat aktor yang menyebabkan kerugian perseroan tersebut dan mengutamakan kepentingan pribadinya daripada tujuan bisnis perseroan.
64
Munir Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek Buku Ketiga, Cetakan ke-II, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm.7 65 Matthew D. Caudill, Piercing The Corporate Veil of a New York Not For Profit Corporation, Fordham Journal of Corporate & Financial Law Volume 8, Issue 2 Article 4, year 2003, hlm. 463, The Berkeley Electronic Press (bepress). http://ir.lawnet.fordham.edu/jcfl, 10 Maret 2016, 05:00
Nicholas Allen berpendapat “limited liability has its limits. When a corporation is used as a shield for liability or for an illegitimate business purpose, courts will exercise their equitable power by applying the “ equally fundamental principle” of Piercing The Corporate Veil. While exact definitions vary by state, courts will disregard the corporate entity, or pierce the corporate veil, when it is shown that a corporation is an “alter ego.” A corporation is an alter ego when it is used as a “ mere instrumentality for the transaction of affairs without regard to separate and independent corporate existence.66” Pengertian ini dapat diterjemahkan secara bebas yaitu suatu tanggungjawab terbatas memiliki batasannya. Ketika perseroan tersebut digunakan sebagai tameng untuk bisnis illegal yang keluar dari tujuan utama bisnis tersebut, pengadilan akan menggunakan kekuasaannya untuk menerapkan „prinsip dasar yang sama‟ dari Piercing The Corporate Veil ketika terbukti perseroan tersebut digunakan sebagai „alter ego‟. Perseroan disebut alter ego bila „perseroan tersebut hanya digunakan sebagai alat untuk kepentingan pribadi organ perseroan tanpa memperhatikan kemandirian dan keterpisahan harta perseroan.” Black’s Law Dictionary memberikan definisi Piercing The Corporate Veil sebagai berikut: “The judicial act of imposing personal liability on otherwise immune corporate officers, directors and shareholders for the corporation’s wrongful acts.”67 Pengertian ini dapat diterjemahkan secara bebas yaitu doktrin menembus tirai perseroan adalah suatu tindakan hukum yang memberlakukan tanggungjawab pribadi dan mengabaikan kekebalan direksi dan pemegang saham atas tindakan perseroan yang salah. “Piercing The Corporate Veil. Judicial process whereby court will disregard usual immunity of corporate officers or entitie from lialibility for corporate activates: e.g. when incorporation was for sale purpose of perpetrating fraud. The doctrine which holds that the corporate structure with its attendant limited imposed on stockholder, officer and directors in the case of fraud. The court, however, may look beyond the corporate from only for the defeat of fraud or wrong or remedying of injustice.68” Dari definisi tersebut bisa disimpulkan bahwa struktur perusahaan dengan tanggungjawab terbatas dapat mengabaikan tanggungjawab pemegang saham, komisaris dan direksi dalam kasus kelalaian dan kesalahan bahkan kejahatan sehingga mengakibatkan perseroan mengalami kerugian. 66
Nicholas Allen, Reverse Piercing of the Corporate Veil: A Straightforward Path to Justice, NY Business Law Journal | Summer 2012 | Vol. 16 | No. 1, page.25, http://scholarship.law.stjhons.edu/viewcontent, 10 Maret 2016, 16:00 67 Black Law Dictionary – Free Online Legal Dictionary, http://thelawdictionary.org, 19 Februari 2016, 23:00 68 Pujiyono, op.cit., hlm.184
Piercing The Corporate Veil is a legal phrase referring to instances when the corporate entity can not protect the personal assets of stockholders, officers and directors.69 Definisi di atas dapat diterjemahkan secara bebas yaitu menyingkap tirai perseroan adalah sebuah istilah hukum yang mengacu pada keadaan dimana status badan hukum perseroan tidak dapat melindungi asset pribadi pemegang saham, komisaris dan direksi. Dari definisi-definisi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa doktrin Piercing The Corporate Veil adalah suatu prinsip yang mengabaikan tanggung jawab terbatas yang berlaku bagi pemegang saham dan tanggungjawab secara pribadi bagi direksi dan dewan komisaris perseroan terbatas walaupun kerugian yang timbul diakibatkan oleh tindakan perseroan terbatas. Pada prinsipnya, Piercing The Corporate Veil akan diterapkan jika terdapat keadaan bahwa sangat tidak adil jika dalam hal-hal tertentu yang demikian merugikan bagi perusahaan, tanggungjawab hanya dimintakan pada perusahaan sebagai badan hukum semata-mata. Prinsip pertanggungjawaban terbatas selain berlaku pada pemegang saham,
juga
berlaku
bertanggungjawab
atas
kepada
anggota
perbuatannya,
direksi
melainkan
perseroan menjadi
terbatas.
Ia
tidak
tanggungjawab
yang
diwakilinya, yaitu perseroan terbatas yang bersangkutan. Dalam perkembangannya prinsip tanggungjawab terbatas pada badan hukum tidak berlaku mutlak, dengan adanya doktrin Piercing The Corporate Veil, dimana dalam hal tertentu terdapat kemungkinan dihapusnya tanggungjawab terbatas direksi perseroan terbatas (jika anggota direksi sangat mendominasi dalam melakukan perbuatan yang menyebabkan timbulnya Piercing The Corporate Veil). Kekebalan (immunity) yang biasa dimiliki oleh pemegang saham, direksi dan komisaris, yaitu tanggungjawabnya terbatas, dibuka dan diterobos menjadi tanggungjawab tidak terbatas hingga kekayaan pribadi apabila terjadi pelanggaran, penyimpangan atau kesalahan dalam melakukan pengurusan perseroan.70
D. Terjadinya Pailit Dalam Suatu Perseroan Terbatas (PT) Arti kepailitan ialah segala sesuatu yang berhubungan dengan peristiwa pailit. Pailit ialah keadaan berhenti membayar (utang-utangnya). Berhenti membayar disini 69
Judon Farmbough, “Corporate Law: Piercing The Corporate Veil”, http://assets.recenter.tamu.edu/pdf/1011.pdf, 20 Februari 2016, 09:00 70 Doktrin Fiduciary Duty dan Peran Direksi, http://www.portalhr.com/majalah/edisisebelumnya/strategi/1id281.html, 07 Juni 2015, 22.00
bukan berarti bahwa si debitor berhenti sama sekali untuk membayar utang-utangnya, melainkan debitor tersebut pada waktu diajukan permohonan pailit, berada dalam keadaan tidak membayar utang tersebut.71 Pranata hukum kepailitan atau dalam bahasa Inggris disebut bankruptcy, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut failliet72 merupakan pranata hukum yang dikenal banyak negara, baik yang menganut sistem hukum Civil Law maupun Common Law. Dalam bahasa Indonesia sehari-hari sering dipakai istilah “bangkrut”, sedangkan dalam sistem hukum Common Law terkadang dipergunakan juga istilah Insolvency. Istilah Insolvency dimaksudkan sebagai suatu ketidaksanggupan membayar utang ketika utangnya itu jatuh tempo pada saat bisnis dari debitor akan kolaps. Sementara yang dimaksud dengan istilah bankruptcy adalah status hukum dari debitur yang sangat khusus, status mana ditetapkan oleh Pengadilan. Pasal 1131 KUHPerdata menetapkan bahwa “semua harta kekayaan debitur (siberutang) baik benda bergerak atau benda tidak bergerak baik yang ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari menjadi jaminan untuk semua perikatan-perikatan pribadinya”. Pasal 1132 KUHPerdata menetapkan bahwa “benda-benda milik debitor tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi para krediturnya (siberpiutang) dan hasil penjualan benda-benda milik debitur itu dibagi menurut keseimbangan (proporsional) yaitu menurut besar kecilnya tagihan kreditor masing-masing kreditor, kecuali apabila diantara kreditor ada alasan-alasan untuk didahulukan” Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata merupakan perwujudan adanya jaminan kepastian pembayaran atas transaksi-transaksi yang telah diadakan oleh debitor terhadap kreditur-krediturnya dengan kedudukan yang proporsional, adapun hubungan kedua pasal tersebut adalah bahwa kekayaan debitur (Pasal 1131) merupakan jaminan bersama bagi semua krediturnya (Pasal 1132) secara proporsional, kecuali kreditor dengan hak mendahului (hak Preferens). Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
dan
Penundaan
Kewajiban
Pembayaran
Utang
selanjutnya
disebut
(UUK&PKPU) menyebutkan bahwa “Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan
71 72
C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, op.cit., hlm.174 Rahayu Hartini, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia Dualisme Kewenangan Pengadilan Niaga dan Lembaga Arbitrase, Kencana Pranada Media Group, Jakarta, 2009, hlm. 71
Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini” Debitor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) UUK&PKPU menyebutkan bahwa “Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau Undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan”. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam kepailitan ada unsurunsur: 1. Adanya keadaan „berhenti membayar‟ atas suatu utang; 2. Adanya permohonan pailit; 3. Adanya pernyataan pailit (oleh Pengadilan Niaga); 4. Adanya sita dan eksekusi atas harta kekayaan pihak yang dinyatakan pailit (debitur); 5. Dilakukan oleh pihak yang berwenang; 6. Semata-mata untuk kepentingan kreditur. Dalam Undang-Undang Kepailitan disebutkan pada Pasal 2 ayat (1) UUK&PKPU disebutkan bahwa: ”Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya” Dari paparan di atas, maka telah jelas bahwa untuk bisa dinyatakan pailit, debitur harus telah memenuhi tiga syarat yaitu: 1. Memiliki Minimal Dua Kreditur; Keharusan ada dua kreditur yang disyaratkan dalam Undang-Undang Kepailitan merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Karena seorang debitor tidak dapat dinyatakan pailit jika debitor hanya mempunyai seorang kreditor adalah tidak ada keperluan untuk membagi asset debitor diantara para kreditor. Hal ini merupakan persyaratan sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 2 ayat (1) UUK&PKPU, yang merupakan realisasi dari ketentuan Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dari ketentuan Pasal 1132 tersebut dapat diketahui bahwa pada dasarnya setiap kebendaan yang merupakan harta kekayaan seseorang harus di bagi secara adil kepada setiap orang yang berhak atas pemenuhan perikatan individu ini, yang disebut dengan nama kreditor. Yang dimaksud dengan adil disini adalah bahwa harta kekayaan tersebut harus dibagi secara: a. Pari passu, dengan pengertian bahwa harta kekayaan tersebut harus dibagikan secara bersama-sama diantara para kreditornya tersebut.
b. Prorata, sesuai dengan besarnya imbangan piutang masing-masing kreditor terhadap utang debitor secara keseluruhan.73 Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, yang dimaksud dengan kreditor adalah pihak yang berpiutang dalam suatu hubungan utang-piutang tertentu, sedangkan menurut ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUK&PKPU menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undangundang yang dapat ditagih di muka pengadilan. Kreditor Konkuren adalah golongan kreditor biasa yang tidak dijamin dengan jaminan khusus74 atau kreditor yang sama sekali tidak didahulukan pembayaran utangnya75 kreditor yang harus berbagi dengan para kreditor yang lain secara proporsional (secara pari passu), yaitu menurut perbandingan besarnya masing-masing tagihan mereka, dari hasil penjualan harta kekayaan debitor yang tidak dibebani dengan hak jaminan. Kreditur preferen yaitu Kreditor yang didahulukan dari kreditorkreditor lainnya untuk memperoleh pelunasan tagihannya dari hasil penjualan harta kekayaan debitor asalkan benda tersebut telah dibebani dengan hak jaminan tertentu bagi kepentingan kreditor tersebut.76 2. Harus Ada Utang Didalam Pasal 1 ayat (6) UUK&PKPU disebutkan bahwa yang dimaksud dengan: ”Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitor.” 3. Jangka Waktu Dan Dapat Ditagih Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUK&PKPU yang dimaksud dengan: "utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih” adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu 73
Pengaruh Kepailitan terhadap Pelaksanaan Hukum https://elearning.usu.ac.id/mod/resource/view.php?id=6448, 12 Maret 2016, 23:45 74 Ridwan Khairandy, Perseroan......., op.cit., hlm. 348 75 Munir Fuady, Hukum Jaminan Utang, Erlangga, Jakarta, 2013, hlm. 32 76 Ibid; hlm 30
penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter atau majelis arbitrase. Prasyarat jatuh waktu yang dapat ditagih merupakan satu kesatuan. Maksudnya, utang yang telah jatuh waktu atau lebih dikenal jatuh tempo secara otomatis telah menimbulkan hak tagih pada kreditor. Lalu bagaimanakah menentukan saat jatuh tempo suatu utang. Pada dasarnya, debitor dianggap lalai apabila ia tidak atau gagal memenuhi kewajibannya dengan melampaui batas waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian, sehingga untuk melihat apakah suatu utang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, harus menunjuk pada perjanjian yang mendasari utang tersebut. Namun demikian ketentuan Pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa debitor dianggap lalai apabila dengan suatu surat perintah atau dengan sebuah akta telah dinyatakan lalai atau demi perikatannya sendiri, jika ia menetapkan bahwa debitor dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan. Dari rumusan pasal tersebut dapat dilihat bahwa, dalam perikatan untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu, undang-undang membedakan kelalaian berdasarkan adanya ketepatan waktu dalam perikatan, dimana: a. Dalam hal terdapat ketetapan waktu, maka saat jatuh tempo adalah saat atau waktu yang telah ditentukan dalam perikatannya tersebut, yang juga merupakan saat atau waktu pemenuhan kewajiban bagi debitor; b. Dalam hal ini tidak ditentukan terlebih dahulu saat mana debitor berkewajiban untuk melaksanakan kewajibannya tersebut dalam perikatannya, maka saat jatuh tempo adalah saat dimana debitor telah ditegur oleh kreditor untuk memenuhi atau menunaikan kewajibannya. Tanpa adanya teguran tersebut maka kewajiban atau utang debitor kepada kreditor belum dianggap jatuh tempo. Dalam hal yang demikian maka bukti tertulis dalam bentuk teguran yang disampaikan oleh kreditor kepada debitor untuk memenuhi kewajibannya menjadi dan merupakan satu-satunya bukti debitor lalai, akan tetapi jika penentuan jatuh temponya suatu utang berdasarkan kesepakatan para pihak dalam perjanjian, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1138 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, kesepakatan tersebut mengikat para pihak yang membuatnya seperti undang-undang, sehingga yang menjadi pegangan dalam penentuan apakah utang tersebut sudah jatuh tempo atau belum adalah perjanjian yang mendasari hubungan perikatan itu sendiri.
Pihak-pihak yang dapat dinyatakan Pailit dalam Pasal 2 UUK&PKPU disebutkan bahwa debitor bisa orang-perorangan maupun badan hukum. Pihak-pihak yang dapat dinyatakan pailit antara lain: 1. Orang perorangan 2. Harta peninggalan (warisan) 3. Perkumpulan perseroan (holding company) 4. Penjamin (guarantor) 5. Badan hukum 6. Perkumpulan bukan badan hukum 7. Bank 8. Perusahaan efek 9. Perusahaan asuransi, reasuransi, dana pension, dan badan usaha milik Negara Mengenai pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pernyataan kepailitan, Pasal 2 UUK&PKPU menyebutkan sebagai berikut: (1) Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat juga diajukan oleh kejaksaan untuk kepentingan umum. (3) Dalam hal Debitor adalah bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia. (4) Dalam hal Debitor adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal. (5) Dalam hal Debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan. Pihak yang dapat dinyatakan pailit adalah debitor, yaitu orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan. Debitor bisa merupakan orang perseorangan, badan hukum atau persekutuanpersekutuan yang bukan merupakan badan hukum. Dalam Penjelasan Pasal 3 Ayat (1) UUK&PKPU menyebutkan bahwa “Yang dimaksud dengan "hal-hal lain", adalah antara lain, actio pauliana, perlawanan pihak
ketiga terhadap penyitaan, atau perkara dimana Debitor, Kreditor, Kurator, atau pengurus menjadi salah satu pihak dalam perkara yang berkaitan dengan harta pailit termasuk gugatan Kurator terhadap Direksi yang menyebabkan perseroan dinyatakan pailit karena kelalaiannya atau kesalahannya.” UUK&PKPU dalam penjelasannya menyebutkan bahwa keberadaan undangundang ini mendasarkan pada sejumlah asas-asas kepailitan yakni: 1. Asas Keseimbangan yaitu di satu pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Debitor yang tidak jujur, di lain pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Kreditor yang tidak beritikad baik.77 2. Asas Kelangsungan Usaha, dalam undang-undang ini, terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan Debitor yang prospektif tetap dilangsungkan;78 3. Asas Keadilan, dalam kepailitan asas keadilan mengandung pengertian, bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Asas rasa keadilan ini untuk mencegah terjadinya kesewenangwenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap Debitor, dengan tidak memperdulikan Kreditor lainnya;79 4. Asas Intergrasi adalah sistem hukum formil dan hukum materilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional,80 lembaga hukum yang mempunyai fungsi penting, sebagai realisasi dari 2 (dua) pasal penting dalam KUH Perdata yakni Pasal 1131 dan Pasal 1132 mengenai tanggungjawab debitor terhadap utang-utangnya.
E. Teori Yang Digunakan Dalam Penelitian Menganalisa mengenai pokok masalah yang menjadi kajian didalam sebuah penelitian dapat dilakukan dengan menggunakan teori. Teori pada hakekatnya adalah seperangkat konstruksi (konsep), batasan dan proposisi yang menyajikan suatu pandangan sistematis, tentang fenomena dan merinci hubungan antar variable, dengan tujuan menjelaskan dan memprediksi gejala itu.81
77
Rahayu Hartini, op.cit., hlm. 75 Ibid 79 Ibid; hlm. 76 80 Ibid 81 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 14 78
Teori juga berarti serangkaian asumsi, konsep, definisi, proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep.82 Oleh karena itu dalam bentuknya yang paling sederhana, suatu teori merupakan hubungan antara dua variable atau lebih yang telah teruji kebenarannya.83 Pada penelitian ini menggunakan beberapa teori yang terkait dengan pembahasan pokok masalah masing-masing. 1. Teori Keadilan Keadilan adalah kebajikan utama dalam institusi sosial, sebagaimana kebenaran dalam sistem pemikiran. Suatu teori, betapapun elegan dan ekonomisnya, harus ditolak atau direvisi jika ia tidak benar; demikian juga hukum dan institusi, tidak peduli betapapun efesien dan rapinya, harus di reformasi atau dihapuskan jika tidak adil.84 Keadilan sebagai fairness artinya keadilan sebagai keadilan, kejujuran dan kewajaran. Salah satu bentuk keadilan sebagai fairness adalah memandang berbagai pihak dalam situasi awal sebagai rasional dan sama-sama netral.85 Kehidupan bermasyarakat yang tertata dengan baik adalah jika dirancang untuk meningkatkan kesejahteraan bagi anggotanya serta secara efektif diatur oleh konsepsi publik mengenai prinsip-prinsip keadilan,86 yaitu: a. Setiap orang memiliki, menerima dan mengetahui bahwa orang lain menganut prinsip keadilan yang sama (kebebasan yang sama). b. Institusi sosial dasar yang sejalan dengan prinsip-prinsip tersebut, yaitu tidak ada pembedaan sewenang-wenang antara orang dalam memberikan hak dan kewajiban serta ketika aturan menentukan keseimbangan berdasarkan konsep keadilan yang pas ketika terdapat perbedaan yang saling berseberangan demi kemanfaatan kehidupan sosial. c. Adanya prinsip keseimbangan dan kelayakan dalam suatu kesenjangan sosial dan ekonomi yang dapat memberikan persamaan dan kebebasan yang sama dalam perbedaan yang ada mengenai pembagian keuntungan dalam kehidupan sosial.
82
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Cetakan Keenam, Rineka Cipta, Jakarta, 2010, hlm. 19 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. 3, UNI Press, Jakarta 2014, hlm 126-127 84 Rawls, John, Teori Keadilan Dasar-Dasar Filsafat Politik Untuk Mewujudkan Kesejateraan Sosial Dalam Negara, Cetakan II, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2011, hlm. 3-4 85 Ibid; hlm. 15 86 Ibid; hlm. 65 83
Subjek keadilan sebagai fairness menurut John Rawls,87 antara lain: a. Hukum, institusi, sistem sosial, tindakan-tindakan tertentu, termasuk keputusan, penilaian dan tuduhan. b. Subyek utama keadilan adalah struktur dasar masyarakat atau cara lembaga sosial mendistribusikan hak dan kewajiban fundamental serta menentukan pembagian keuntungan dari kerja sama sosial. Berdasarkan kompleksitas gagasan pokok tentang keadilan sebagai fairness, maka dapat dicoba untuk menyimpulkan bahwa prinsip keadilan sebagai fairness terdiri atas 2 bagian, yaitu: a. Interpretasi terhadap situasi awal atas persoalan pilihan yang ada. Posisi asali adalah menegaskan kesepakatan fundamental yang dicapai adalah fair dan tidak ada diskriminasi terhadap hak-hak dasar individu dalam masyarakat. b. Adanya seperangkat prinsip yang akan disepakati. Keadilan sebagai fairness merupakan teori pilihan rasional, pengertian rasional adalah bagaimana cara paling efektif untuk mencapai tujuan. Dapat dikatakan bahwa keadilan sebagai fairness adalah menekankan pada pengakuan hak dalam posisi asali individu dengan tetap berdasarkan pada hasil kesepakatan bersama dalam hubungan kerjasama sosial. Dapat disimpulkan bahwa teori keadilan John Rawls tentang prinsip keadilan sebagai fairness adalah menghargai hak-hak dasar individu dalam posisi asali, tanpa diskriminasi, untuk mewujudkan keadilan sosial melalui prinsip demokrasi/hasil kesepakatan bersama. Hal ini adalah sama seperti dalam pandangan Pancasila mengenai makna “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Dalam berbagai perbedaan kepentingan dalam masyarakat, demokrasi/kesepakatan bersama akan menghasilkan kesepakatan tentang keadilan sosial, sehingga tidak menghalalkan segala cara dengan mengorbankan kepentingan/hak individu demi kepentingan sosial. Keadilan menurut Mochtar Kusumaatmaja, dalam menguraikan asas-asas atau prinsip-prinsip
yang
terkandung
dalam
Undang-Undang
Dasar
1945
dan
pembukaannya yang seharusnya dijadikan pedoman dalam melakukan pembaharuan hukum nasional, menyebutkan: “Asas Keadilan Sosial mengamanatkan bahwa semua warga negara mempunyai hak yang sama dan bahwa semua orang sama di hadapan hukum”.88 87 88
Ibid; hlm. 7 Mochtar Kusumaatmaja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, 2006, hlm. 188
Plato merumuskan teorinya tentang hukum sebagai sarana keadilan demikian; (i) hukum merupakan tangan terbaik untuk menangani dunia fenomena yang penuh situasi ketidakadilan (ii), aturan-aturan hukum harus dihimpun dalam satu kitab, supaya tidak muncul kekacauan hukum, (iii) setiap UU harus didahului preambule tentang motif dan tujuan UU tersebut, manfaatnya adalah agar rakyat dapat mengetahui dan memahami kegunaan menaati hukum itu, dan insaf tidak baik menaati hukum hanya karena takut dihukum.89 Keadilan menurut Aristoteles mengungkapkan bahwa keadilan mengandung arti berbuat kebajikan, atau dengan kata lain keadilan adalah kebijakan yang utama. Prinsip ini berpijak dari asumsi untuk hal-hal yang sama diperlakukan secara sama dan yang tidak sama juga diperlakukan tidak sama, secara proposional.90 Hukum sebagai pengemban nilai keadilan, menurut Gustav Radburch, menjadi ukuran bagi adil tidak adilnya tata hukum. Tidak hanya itu, nilai keadilan juga menjadi dasar dari hukum sebagai hukum. Dengan demikian, keadilan memiliki sifat normative sekaligus konstitutif bagi hukum. Ia normative, karena berfungsi sebagai prasyarat trasendental yang mendasari tiap hukum positif yang bermartabat. Ia menjadi landasan moral hukum dan sekaligus tolok ukur sistem hukum positif, kepada keadilanlah, hukum positif berpangkal. Sedangkan konstitutif, karena keadilan harus menjadi unsur mutlak bagi hukum sebagai hukum. Tanpa keadilan, sebuah aturan tidak pantas menjadi hukum.91 Menurutnya lagi, gagasan hukum sebagai gagasan kultural, tidak bisa formal. Sebaliknya, ia terarah pada rechtside, yakni keadilan. Keadilan sebagai suatu cita, seperti ditunjukkan oleh Aristoteles tidak dapat mengatakan lain kecuali: „yang sama diperlakukan sama, dan yang tidak sama diperlakukan tidak sama‟. Untuk mengisi cita keadilan ini dengan isi yang konkret, kita harus menengok segi finalitasnya. Dan untuk melengkapi keadilan dan finalitas itu, dibutuhkan kepastian. Bagi Radburch, hukum memiliki tiga aspek, yakni keadilan, finalitas, dan kepastian. Aspek keadilan menunjuk pada „kesamaan hak di depan hukum‟. Aspek finalitas, menunjuk pada tujuan keadilan, yaitu memajukan kebaikan dalam hidup manusia. Aspek ini menentukan isi hukum. Sedangkan kepastian menunjuk pada jaminan bahwa hukum (yang berisi keadilan dan norma-norma yang memajukan kebaikan), benar-benar 89
Bernard L. Tanya, dkk, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang Lingkup dan Generasi, Cetakan IV, Genta Publishing, Yogyakarta, 2013, hlm. 39 90 Ibid; hlm. 44-45 91 Bernard L. Tanya, op.cit., hlm. 117
berfungsi sebagai peraturan yang ditaati. Dapat dikatakan dua aspek yang disebut pertama merupakan kerangka ideal dari hukum. Sedangkan aspek ketiga (kepastian) merupakan kerangka operasional hukum.92 Menurut Thomas Aquinas menyatakan bahwa keadilan distributif pada dasarnya merupakan penghormatan terhadap person manusia (acceptio personarum) dan keluhurannya (dignitas), dalam konteks keadilan distributif, keadilan dan kepatuhan (equitas) tidak tercapai semata-mata dengan penetapan nilai yang aktual, melainkan juga atas dasar kesamaan antara satu dengan hal lainnya, yaitu kesamaan kuantitas atau jumlah (aqualitas quantitas).93 Penghormatan terhadap person dapat terwujud apabila ada sesuatu yang diberikan/dibagikan kepada seseorang sebanding dengan seharusnya yang ia terima (preater proportion dagtinis ipsius), dengan dasar itu maka pengakuan terhadap person harus diarahkan pada pengakuan terhadap kepatutan (equality) kemudian pelayanan dan penghargaan didistribusikan secara proposional atas dasar harkat dan martabat manusia.94 Sejalan dengan alur pikir tersebut, dapat dikatakan bahwa teori keadilan dikaitkan dengan penerapan doktrin Piercing The Corporate Veil
adalah untuk
dapat mengungkap dan mengetahui pertanggungjawaban Direksi atas pailitnya suatu peseroan terbatas bilamana direksi tersebut terbukti melakukan perbuatan melawan hukum dan tidak serta merta segala tanggungjawab dibebankan kepada pemegang saham, direksi dan dewan komisaris, sehingga semua pihak bisa mendapat keadilan dengan mengimplementasikan asas keadilan tersebut. 2. Teori Kepastian Hukum Asas Kepastian Hukum sudah umum bilamana kepastian sudah menjadi bagian dari suatu hukum, hal ini lebih diutamakan untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan jati diri serta maknanya, karena tidak lagi dapat digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang. Kepastian sendiri hakikatnya merupakan tujuan utama dari hukum. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri, dari keteraturan akan menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian dalam melakukan kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat. 92
Ibid; hlm. 118 E. Sumaryono, Etika Hukum Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas, Kanisius, Yogyakarta, 2002, hlm. 90-91 94 Ibid 93
Menurut Peter Mahmud Marzuki menyatakan bahwa kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam Undang-Undang, melainkan juga ada konsistensi dalam putusan hakim antara putusan yang satu dengan putusan hakim yang lainnya untuk kasus yang telah diputuskan.95 Tujuan hukum yang mendekati realistis adalah kepastian hukum dan kemanfaatan hukum. Kaum Positivisme lebih menekankan pada kepastian hukum, sedangkan Kaum Fungsionalis mengutamakan kemanfaatan hukum, dan sekiranya dapat dikemukakan bahwa “summum ius, summa injuria, summa lex, summa crux” yang artinya adalah hukum yang keras dapat melukai, kecuali keadilan yang dapat menolongnya, dengan demikian kendatipun keadilan bukan merupakan tujuan hukum satu-satunya, akan tetapi tujuan hukum yang paling substantif adalah keadilan.96 Menurut Soedikno Mertokusumo menyatakan bahwa kepastian hukum merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam penegakan hukum, dalam hal ini mengartikan kepastian hukum merupakan perlindungan yustiable terhadap tindakan yang sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.97 Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.98 Kepastian hukum sangat diperlukan untuk menjamin ketentraman dan ketertiban dalam masyarakat. Kepastian hukum merupakan nilai yang pada prinsipnya memberikan perlindungan hukum bagi setiap warga negara dari kekuasaan yang sewenang-wenang, sehingga hukum memberikan tanggung jawab
95
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hlm. 158 Dominikus Rato, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum, Laksbang Pressindo, Yogyakarta, 2010, hlm.59 97 Soedikno Mertokusumo, Mengenai Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1999, hlm.145 98 Pengertian Asas Kepastian Hukum, http://tesishukum.com/pengertian-asas-kepastian-hukum-menurut-paraahli/, 02 februari 2016, 02.34 96
pada negara untuk menjalankannya. Dalam hal ini nampak terlihat relasi antara persoalan kepastian hukum dengan negara.99 Kepastian hukum ditujukan pada sikap lahir manusia, ia tidak mempersoalkan apakah sikap batin seseorang itu baik atau buruk, yang diperhatikan adalah bagaimana perbuatan lahiriahnya. Kepastian hukum tidak memberi sanksi kepada seseorang yang mempunyai sikap batin yang buruk, akan tetapi yang diberi sanksi adalah perwujudan dari sikap batin yang buruk tersebut atau menjadikannya perbuatan yang nyata atau konkrit, namun demikian dalam prakteknya apabila kepastian hukum dikaitkan dengan keadilan, maka akan kerap kali tidak sejalan satu sama lain. Adapun hal ini dikarenakan suatu sisi tidak jarang kepastian hukum mengabaikan prinsip-prinsip keadilan dan sebaliknya tidak jarang pula keadilan mengabaikan prinsip-prinsip kepastian hukum. Dalam keterkaitan dengan penulisan ini adalah kekuasaan dan tanggungjawab yang dimiliki direksi bukan berarti membuatnya menjadi kebal hukum dan tidak turut memikul tanggungjawab atas pailitnya suatu perusahaan, bilamana direksi terbukti melakukan tindakan yang tidak baik dalam menjalankan jabatannya yang mengakibatkan peseroan terbatas tersebut pailit.
F. Penelitian Yang Relevan Penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah: No
Judul
Oleh
1.
Penelitian Tesis
Asepte
Dalam
“Tanggungjawab
Gaulle
mengenai
Dewan Komisaris
Ginting
mengalami pailit (corporate failure)
Perseroan Terbatas
99
Fokus tesis
dikarenakan
tersebut
banyaknya
dampak
membahas perusahaan
dari
krisis
Dalam Hal Terjadinya
moneter sebagai factor eksternal dan
Kepailitan Berdasarkan
organ perusahaan dalam hal ini dewan
Undang-Undang
komisaris sebagai factor internal. Hasil
Nomor 37 Tahun 2004
penelitian itu mengungkapkan bahwa
Tentang Kepailitan”
Dewan Komisaris dalam melakukan
Tahun 2010, Program
tugas dan kewenangannya mengacu
E Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum berkeadilan Tinjauan Hukum Kodrat dan Antitomi Nilai, Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2007, hlm. 94-95
Studi Magister Ilmu
pada konsep fiduciary duty dan juga
Hukum, Fakultas
good corperate governance. Artinya
Hukum Universitas
bahwa Dewan Komisaris harus selalu
Sumatera Utara, Medan
berhati-hati
dan
teliti
dalam
mengawasi dan memberi nasihat pada Direksi yang mengurus Perseroan. Pertanggung jawaban atas terjadinya kepailitan
erat
kaitannya
dengan
konsep teori Piercing The Corporate Veil dan Business Judgment Rule serta Good
Corporate
Kesalahan
atau
Governance. kelalaian
yang
dilakukan oleh Dewan Komisaris atas Pengurusan Direksi akan membawa tanggungjawab anggotanya. dikenakan
terhadap
semua
Tanggungjawab merupakan
yang
konsekuensi
logis. Bentuk tanggung jawab yang dikenakan pada Dewan Komisaris atas terjadinya kepailitan Perseroan adalah tanggung jawab renteng. Oleh karena itu, konsep fiduciary duty dan business judgment rule menjadi hal yang benarbenar
harus
diperhatikan
dan
dilakukan oleh Dewan Komisaris agar terhindar dari kemungkinan terjadinya kepailitan dalam Perseroan Terbatas. 2.
Penelitian Tesis
Ronald U.P
“Tanggungjawab
Sagala
Hasil
penelitian
menunjukan
tesis
tersebut
pemegang
saham
Terbatas Pemegang
perseroan tidak bertanggung jawab
Saham dan Hal-Hal
secara pribadi atas perikatan yang
Yang Menghapuskan
dibuat atas nama perseroan, dan tidak
Tanggungjawab
bertanggung
jawab
atas
kerugian
Terbatas Pemegang
perseroan melebihi nilai sahamnya
Sahan Menurut
dalam
perseroan.
Agar
Undang-Undang
terbatas memperoleh status sebagai
Perseroan Terbatas
badan
(Tinjauan Yuridis
memenuhi persyaratan yang ditetapkan
Putusan Mahkamah
hukum,
perseroan
dalam
Agung Nomor:
perseroan
harus
Undang-Undang.
Jika
pemegang saham tidak melaksanakan
21/SIP/1973)” Tahun
kewajibannya
untuk
memenuhi
2010, Magister
persyaratan perseroan terbatas sebagai
Kenotariatan Program
badan hukum, hal itu berarti pemegang
Pascasarjana
saham tidak menginginkan adanya
Universitas Indonesia,
pertanggungjawaban terbatas. Tujuan
Depok
dari pemisahan kekayaan pemegang saham
yang
dilakukan
saham
adalah
untuk
pemegang memisahkan
bahwa tanggung jawab pemegang saham adalah terbatas pada sejumlah hartanya yang dipisahkan dan disetor ke perseroan. Akan tetapi dalam hal tertentu
pemegang
dimintakan pribadi terbatas.
saham
dapat
pertanggung
jawaban
kewajiban
perseroan
atas
Upaya
memberlakukan
hukum
yang
tanggung
pribadi
pemegang
dengan
istilah
saham
jawab dikenal
menyingkap
tirai
tersebut
yang
perseroan terbatas. 3.
Penelitian Tesis
Mariske
Dalam
tesis
“Tanggungjawab Organ
Myeke
bersangkutan mengambil enam kasus
Perseroan Terbatas
Tampi
yang disertakan dalam tesis tersebut
Ddalam Kasus-Kasus
dan menganalisa variasi pertimbangan
Kepailitan.” Tahun
putusan Hakim Pengadilan Niaga dan
2012, Magister Ilmu
Mahkamah Agung dalam memutus
Hukum, Program
perkara
tersebut
dan
menganalisa
Pascasarjana
tanggungjawab masing-masing organ
Universitas Kristen
peseroan terbatas tersebut dilihat dari
Satya Wacana, Salatiga
doktrin fiduciary duty, ultra vires, Piercing The Corporate Veil, business judgement
rule
dan
doktrin
self
dealing. Keenam kasus tersebut adalah Kasus The Hongkong Chinese Bank Ltd. vs PT. Dok & Perkapalan Kodja Bahari, Kasus PT. Indosurya Mega Finance vs PT. Greatstar Perdana Indonesia, Kasus PT. Bank Mandiri vs PT.
Bakrie
Finance
Corporation,
Kasus PT. Aditya Toa Development vs PT. Wijaya Wisesa, Kasus PT. Heradi Utama vs PT. Central Total Finance, dan Kasus PT. Bank Negara Indonesia vs PT. Kalimas Sukses Baru Mandiri. 4.
Jurnal Premisse Law
Sugondo
Fokus penulisan ini terletak pada
Volume I “Analisa
bahwa ada direktur nominee dalam
Terhadap Batasan
praktek peseroan terbatas di Indonesia.
Tanggung Jawab
Tulisan
Direktur Nominee
hukum, batasan tanggung jawab dan
Dalam Perseroan
kewajiban, serta akibat hukum yang
Terbatas.”
mungkin timbul dalam pengelolaan PT yang
tersebut
dilakukan
mengkaji
oleh
dasar
Direktur
Nominee. 5.
Jurnal Braja Nitti
Siti Fitria
Fokus
penelitian
Volume. III, Nomor 1,
Nur Rafika,
permasalahan dalam pembagian harta
“Studi Tentang
Mahendra
pailit terhadap hak pekerja yang sering
TanggungJawab
Kurnia
dikesampingkan dibanding kreditor
Perseroan Terbatas (PT)
Putra, dan
Yang Divonis Pailit
Nur
separatis.
Hasil
tersebut
penelitian
adalah
itu
mengungkapkan bahwa antara pekerja
Terhadap Hak Pekerja”
Arifuddin
dan para kreditor baik separatis, preferen, dan konkuren pada dasarnya memiliki kedudukan hukum sama
(paritas
yang
creditorium)
dan
karenanya mereka mempunyai hak yang sama atas hasil eksekusi boedel pailit sesuai dengan besarnya tagihan mereka (kreditor) masing-masing (pari passu pro rata parte). Namun terdapat golongan kreditur yang memiliki hak istimewa
sehingga
creditorium konkuren
hanya saja.
menganut
asas
asas
paritas
untuk
kreditur
Dalam
kepailitan
keadilan
yaitu
ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak
yang
keadilan
berkepentingan.
ini
terjadinya
untuk
Asas
mencegah
Kesewenang-wenangan
pihak penagih yang mengusahakan pembayaran
atas
tagihan
masing-
masing terhadap Debitor, dengan tidak mempedulikan Kreditor lainnya.
Mencermati berbagai penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian yang penulis lakukan maka dapat disampaikan bahwa penelitian yang dilakukan oleh penulis memiliki perbedaan dengan penelitian sebelumnya. Perbedaan itu adalah pada rumusan masalah yang diangkat oleh penulis, pada rumusan masalah dalam penelitian ini adalah mengenai Doktrin Piercing The Corporate Veil diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas dan tanggungjawab Direksi pada Perseroan Terbatas menurut
UUPT
atas
terjadinya
kepailitan
Perseroan
Terbatas.
Penulis
juga
mencantumkan dua contoh Putusan Mahkamah Agung Nomor 1311 K/Pdt/2012 dan Nomor 514 K/PDT.SUS-PAILIT/2013 yang berkaitan dengan kepailitan suatu perseroan terbatas dan direktur yang dikenakan pertanggungjawaban sampai harta pribadi
dikarenakan diterapkannya doktrin Piercing The Corporate Veil. Teori yang digunakan untuk membantu penulis menjawab rumusan masalah ini adalah teori keadilan dan teori kepastian hukum.
G. Kerangka Berpikir Dalam konteks penelitian ini penulis menawarkan kerangka berpikir sebagaimana tergambar dalam bagan berikut ini :
Peseroan Terbatas (PT) UU. No.40 Tahun 2007 Tentang PT
PT
Direksi
RUPS
Bilamana PT tersebut rugi dan akhirnya pailit, maka direksi tidak dapat dimintai dan turut bertanggungjawab apabila terbukti dalam menjalankan tugasnya dengan baik.
Dewan Komisaris
Bilamana PT tersebut rugi dan akhirnya pailit, maka direksi dapat dimintai dan turut bertanggungjawab apabila terbukti dalam menjalankan tugasnya ia lalai sehingga menimbulkan kerugian.
Asas-asas
Tanggungjawab
Teori Kepastian Hukum
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1311 K/Pdt/2012
Putusan Mahkamah Agung Nomor 514 K/PDT.SUSPAILIT/2013
Teori Keadilan
Doktrin Piercing The Corporate Veil
Direksi sebagai organ PT merupakan pilar utama yang menjamin kelangsungan usaha perseroan. Keberadaan direksi menjadikan PT sebagai person yang hidup. Tanpa direksi, PT hanyalah sekedar person yang lumpuh. Direksi tidak pernah ada kalau tidak pernah dibentuk PT, karena itu PT adalah sebab adanya direksi. Hubungan direksi dengan PT dikenal dengan fiduciary relationship yakni suatu relasi yang didasarkan kepada suatu kepercayaan, suatu yang amanah. Dalam kaitannya dengan fiduciary relationship, tanggungjawab direksi dalam mengurus perseroan dapat diklasifikasikan adanya: 1. Tanggungjawab direksi berdasarkan kepercayaan, amanah atau fiduciary duties; 2. Tanggungjawab direksi berdasarkan kecakapan, keahlian, kehati-hatian dan ketekunan atau duties of skill and care; 3. Tanggungjawab direksi berdasarkan undang-undang atau statutory duties. Pada dasarnya prinsip tanggungjawab direksi tersebut adalah meletakan amanah pada direksi untuk melaksanakan pengurusan perseroan, dengan itikad baik dan penuh tanggungjawab, untuk kepentingan dan tujuan perseroan, serta mewakili perseoan baik di dalam maupun di
luar pengadilan. Pelanggaran
terhadap ketentuan tersebut
mengakibatkan direksi harus bertanggungjawab secara pribadi. Tanggungjawab pribadi direksi dimungkinkan terjadi dalam hubungannya dengan doktrin Piercing The Corporate Veil. Berkaitan dengan hal harta kekayan, PT sebagai badan hukum mandiri pada prinsipnya memiliki harta kekayaan tersendiri yang terpisah dari harta kekayaan pribadi para pemegang sahamnya. Ciri utama PT adalah bahwa PT merupakan subyek hukum yang berstatus badan hukum, dan pada gilirannya membawa tanggungjawab terbatas bagi para pemegang saham, direksi dan komisaris, beranjak dari pemikiran tersebut, apabila suatu perseroan menderita kerugian para pemegang saham hanya bertanggungjawab terbatas pada besaran modal yang ditanamkan dalam perseroan dan tidak menyangkut harta pribadi. Ruang lingkup yang menjadi pembahasan dalam penulisan tesis ini, yaitu mengenai Doktrin Piercing The Corporate Veil diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan tanggungjawab direksi pada perseroan terbatas menurut UUPT atas terjadinya kepailitan perseroan terbatas dengan adanya Putusan Mahkamah Agung Nomor 1311 K/Pdt/2012 dan Nomor 514 K/PDT.SUSPAILIT/2013 yang berkaitan dengan kepailitan suatu perseroan terbatas dan direksi yang dikenakan pertanggungjawaban sampai harta pribadi dikarenakan diterapkannya doktrin Piercing The Corporate Veil.