BAB II LANDASAN TEORI
Bab ini memuat pokok landasan bahasan untuk kepentingan penelitian. Disajikan berupa variabel, oleh penjelasan dari topik dan tema yang diangkat, penjabaran dari permasalahan-permasalahan yang terjadi pada proyek, landasan teori yang menjabarkan penyelesaian terhadap permasalahan tersebut. Dari hasil kajiankajian landasan tersebut maka didapatkan sebuah hipotesis. 2.1
Variabel Penelitian Yang Berkaitan Variable pada penelitian ini yaitu terfokus pada lokasi permukiman pesisir Desa Tanjung Pasir yang mempunyai permasalahan kekumuhan dan selalu menjadi langganan rob atau abrasi, serta mencari masalah-masalah yang ada, sehingga dapat dipecahkan dengan konsep desain, sebagaimana yang sudah dilampirkan dan dijabarkan dalam bab satu.
2.2
Definisi Dan Landasan Terhadap Perancangan Lingkup sustainable development (redevelopment, model penanganan permukiman kumuh dan pembangunan/pengembangan permukiman ke arah horizontal/vertikal), permukiman pesisir dan budaya nelayan serta sustainable ecology (lahan basah, mangrove dan keanekaragaman ekosistem pesisir)
26
27 2.2.1 Sustainable Development (Pengembangan secara berkelanjutan) Definisi konsep pembangunan berkelanjutan diinteprestasikan oleh beberapa ahli secara berbeda-beda. Namun demikian pembangunan berkelanjutan sebenarnya didasarkan kepada kenyataan bahwa kebutuhan manusia terus meningkat. Kondisi yang demikian ini membutuhkan suatu strategi pemanfaatan sumberdaya alam yang efesien. Ada pula pakar yang memberikan rumusan untuk lebih menjelaskan makna dari pembangunan yang berkelanjutan (Abdurrahman, 2003): -
Emil Salim Pembangunan berkelanjutan atau suistainable development adalah suatu proses pembangunan yang mengoptimalkan manfaat dari sumberdaya alam dan sumberdaya manusia, dengan menyerasikan sumber alam dengan manusia dalam pembangunan (Yayasan SPES, 1992 :3). Ada beberapa asumsi dasar serta ide pokok yang mendasari konsep pembangunan berlanjut ini, yaitu: a. Proses pembangunan ini mesti berlangsung secara berlanjut, terus menerus di topang oleh sumber alam, kualitas lingkungan dan manusia yang berkembang secara berlanjut. b. Sumber alam terutama udara, air dan tanah memiliki ambang batas, dimana penggunaannya akan menciutkan kualitas dan kuantitasnya. Penciutan ini berarti berkurangnya kemampuan sumber alam tersebut untuk menopang pembangunan secara berkelanjutan, sehingga menimbulkan gangguan pada keserasian sumber alam dengan daya manusia.
28 c. Kualitas lingkungan berkorelasi langsung dengan kualitas kualitas hidup. Semakin baik kualitas lingkungan, semakin positif pengaruhnya pada kualitas hidup, yang antara lain tercermin pada meningkatnya kualitas fisik, pada harapan hidup, pada turunnya tingkat kematian dan lain sebagainya. Dipahami ipahami bahwa konsep pembangunan pembangunan berkelanjutan didirikan atau didukung oleh 3 pilar, yaitu: ekonomi, sosial dan lingkungan. Ketiga pendekatan tersebut bukanlah pendekatan yang berdiri sendiri, tetapi saling terkait dan mempengaruhi satu sama lain. Secara skematis, keterkaitan ant antar 3 komponen dimaksud dapat digambarkan sebagai berikut (Munasinghe (Munasinghe-Cruz, 1995).
Gambar 2.1 Tiga pilar pembangunan berkelanjutan Sumber: http://www.damandiri.or.id/file/sulistionoipbbab2.pdf
Redevelopment Merupakan salah satu dari tiga kategori peremajaan dan sekaligus
sebagai perangkat pelaksanaan yang didasarkan kepada sifat dan tingkat/skala peremajaan yaitu: yaitu
29 1.
Konservasi dan Preservasi.
2.
Gentrifikasi dan Rehabilitasi.
3.
Redevelopment (pembangunan kembali) Redevelopment atau pembangunan kembali adalah upaya penataan
kembali suatu kawasan dengan cara mengganti sebagian dari, atau seluruh, unsur-unsur lama dari kawasan tersebut dengan unsur-unsur yang lebih baru dengan tujuan untuk meningkatkan vitalitas serta kualitas lingkungan kawasan tersebut. Yang merupakan upaya penataan kembali suatu kawasan dengan terlebih dahulu melakukan pembongkaran sarana dan prasarana dari sebagian atau seluruh kawasan tersebut yang telah dinyatakan tidak dapat dipertahankan lagi kehadirannya. Contoh: 1.
Perombakan beberapa gedung bioskop untuk kemudian dijadikan pusat perbelanjaan bertingkat 3 yang bersifat multiguna.
2.
Perombakan persil-persil kecil pertokoan di sepanjang jalan penting pada kawasan komersial di pusat kota, untuk kemudian dibangun pusat perbelanjaan bertingkat yang bersifat multiguna.
3.
Rencana pembangunan kembali Segi-Tiga Senen Jakarta.
4.
Rencana pemanfaatan bekas landasan udara Kemayoran sebagai sistem sirkulasi utama. Kebijaksanaan Pembangunan kembali suatu kawasan kota diambil
dan/atau digariskan berdasarkan penilaian atas, (a) Tingkat permasalahan yang dihadapi, (b) Potensi dan (c) Prospek yang dimiliki kawasan kota tersebut. Hasil kajian atas ketiga penilaian tersebut sangat menentukan tingkat kebijaksanaan dan pelaksanaan dari peremajaan suatu wilayah, artinya apakah perlu dilakukan peremajaan yang bersifat menyeluruh, sebagian atau
30 memanfaatkan potensi dari aset yang ada/yang dimiliki seoptimum mungkin dengan membatasi perombakan struktur kawasan pada lokasi-lokasi yang strategis saja. Untuk terciptanya suatu proses redevelopment yang baik pada suatu wilayah, maka biasanya kategori peremajaan jenis ini dilakukan bersamaan dengan melakukan kebijakan Konsolidasi Lahan yang nantinya sangat berguna untuk pengaturan pertanahannya.
Model penanganan permukiman kumuh Model penanganan permukiman kumuh dapat dilakukan dengan
mempertimbangkan kondisi status tanah, kepadatan bangunan, tingkat kekumuhan, kesesuaian dengan RUTR, sehingga model penanganan yang ada adalah: Permukiman di atas tanah yang sebagian adalah ilegal dengan kondisi sebagai berikut: -
Tingkat kekumuhan yang tinggi.
-
Penggunaan tata guna tanah yang tidak sesuai RUTR. Pada kondisi ini maka model penanganan yang tepat adalah
peremajaan. Beberapa alternatif yang dapat dipakai sebagai bentuk peremajaan adalah: a.
Pemindahan penduduk (Resettlement)
b.
Pembangunan/pengembangan permukiman ke arah vertikal.
Pembangunan/Pengembangan ke arah horizontal/vertikal Merupakan salah satu dari empat kategori peremajaan suatu model yang
menjadi acuan dalam upaya untuk memperbaiki permukiman yang
31 mengalami degradasi lingkungan. Beberapa model dalam menangani masalah permukiman kumuh antara lain: -
Model Land Sharing.
-
Model Resettlement.
-
Pembangunan/pengembangan permukiman ke arah horizontal/vertikal.
-
Program Perbaikan Kampung/ Kampung Improvement Program (KIP). Pembangunan/pengembangan
permukiman
ke
arah
horizontal
merupakan cara perkembangan mengarah keluar, artinya daerah bertambah sedangkan ketinggian dan kuanitas lahan terbangun (coverage) tetap sama, terjadi pada daerah pinggir kota. Pembangunan/pengembangan permukiman ke arah vertikal merupakan suatu model penanganan permukiman kumuh dengan mengubah kondisi lingkungan permukiman yang sangat padat penduduknya dan dinilai tidak memenuhi syarat lagi sebagai tempat hunian yang layak. Cara yang dilakukan dalam pembangunan permukiman ke arah vertikal adalah dengan memperkecil lahan untuk permukiman tetapi dengan meningkatkan luas lantai. Lahan sisa (residual land) dimanfaatkan untuk penempatan fungsi produktif misalnya komersial, perkantoran atau pusat hiburan dan penempatan prasarana lingkungan (jalan dan utilitas umum) dan sarana lingkungan (fasos dan fasum). Pembangunan permukiman ke arah vertikal merupakan sebagai suatu bangunan rumah bertingkat yang terdiri atas satuan atau unit dengan batasan yang jelas baik ukuran maupun luasnya. Pembangunan kembali pada kawasan permukiman kumuh secara vertikal maksimal 4 (empat) lantai dengan maksud sebagai berikut: 1.
Supaya dapat menampung seluruh penghuni.
2.
Harga tanah di pusat kota relatif tinggi.
32 3.
Sebagian tanah digunakan untuk kebutuhan sosial.
4.
Sebagian tanah dijual kepada pihak swasta atau pemerintah guna memperkecil biaya pembangunan untuk meringankan harga sewa atau cicilan.
5.
Sebagian tanah diserahkan pada pemerintah untuk membangun infrastruktur dan fasilitas sosial lainnya sebagai pendukung kawasan.
2.2.2 Permukiman Pesisir
Karakteristik fisik lingkungan
a.
Secara topografi, merupakan pertemuan antara darat dan air, dataran landai, serta sering terjadi erosi, abrasi dan sedimentasi yang bisa menyebabkan pendangkalan badan perairan. Topografi tanah dapat dibedakan atas 3 (tiga) kategori, yaitu: - Daerah perbukitan dengan kemiringan dataran 20-60 % (di darat) - Daerah relatif datar/kemiringan 0-20 % (di darat dan termasuk daerah pasang surut) - Daerah rawa atau di atas air.
b.
Secara hidrologi merupakan daerah pasang surut, mempunyai air tanah tinggi, terdapat tekanan air laut terhadap air tanah serta merupakan daerah retensi sehingga run-off air rendah.
c.
Secara geologi, sebagian besar mempunyai struktur batuan lepas, tanah lunak, serta rawan bencana tsunami.
d.
Secara penggunaan lahan memiliki hubungan intensif antara air dan elemen kota.
e.
Secara klimatologi memiliki dinamika iklim, cuaca, angin, suhu dan kelembaban tinggi.
33 f.
Pergeseran fungsi badan perairan laut sebagai akibat kegiatan di sekitarnya menimbulkan beberapa permasalahan lingkungan, seperti pencemaran.
Karakteristik perumahan dan permukiman
a.
Sejarah awal keberadaan lingkungan perumahan/permukiman di kawasan pesisir dapat dibedakan atas 2 (dua) kronologis, yaitu: - Perkembangan yang dimulai oleh kedatangan sekelompok etnis tertentu di suatu lokasi di pantai, yang kemudian menetap dan berkembang secara turun-temurun membentuk suatu klan/komunitas tertentu serta cenderung bersifat sangat homogen, tertutup dan mengembangkan tradisi dan nilai-nilai tertentu, yang pada akhirnya merupakan karakter dan ciri khas permukiman tersebut. - Perkembangan sebagai daerah alternatif permukiman, karena peningkatan arus urbanisasi, yang berakibat menjadi kawasan liar dan kumuh.
b.
Tahapan perkembangan kawasan perumahan/permukiman di pesisir adalah: - Tahap awal ditandai oleh dominasi pelayanan kawasan perairan sebagai sumber air untuk keperluan hidup masyarakat. Masih berupa suatu kelompok permukiman di pantai dan di atas air. - Ketika kota membutuhkan komunikasi dengan lokasi lainnya (kepentingan perdagangan) maka kawasan perairan merupakan prasarana transportasi dan dapat diduga perkembangan fisik kota yang cenderung memanjang di pantai (linear).
34 - Perkembangan selanjutnya ditandai dengan semakin kompleksnya kegiatan fungsional, sehingga intensitas kegiatan di sekitar perairan makin tinggi. Jaringan jalan raya menawarkan lebih banyak kesempatan mengembangkan kegiatan. Walaupun begitu, jenis fungsi perairan tidak berarti mengalami penurunan, bahkan mengalami peningkatan (makin beragam). c.
Kawasan permukiman di atas air cenderung rapat (kepadatan bangunan tinggi dan jarak antar bangunan rapat) dan kumuh (tidak teratur, kotor, dll). Dominasi kawasan perumahan/permukiman nelayan, yang umumnya kumuh dan belum tertata.
d.
Pola perumahan dipengaruhi oleh keadaan topografi, dibedakan atas 3 (tiga), yaitu: - Daerah perbukitan cenderung mengikuti kontur tanah. - Daerah relatif datar cenderung memiliki pola relatif teratur, yaitu pola Grid atau Linear dengan tata letak bangunan berada di kirikanan jalan atau linear sejajar dengan (mengikuti) garis tepi pantai. - Daerah atas air pada umumnya cenderung memiliki pola cluster, yang tidak teratur dan organik. Pada daerah-daerah yang telah ditata umumnya menggunakan pola grid atau linear sejajar garis badan perairan.
e.
Orientasi bangunan semula umumnya menghadap perairan sesuai orientasi kegiatan berbasis perairan. Perkembangan selanjutnya orientasi kegiatan ke darat semakin meningkat (bahkan lebih dominan), maka orientasi bangunan cenderung menghadap ke arah darat dan lebih mempertimbangkan aspek fungsional dan aksesibilitas.
35 f.
Secara arsitektural, bangunan pada permukiman di kota pantai dibedakan atas: - Bangunan di atas tanah. - Bangunan panggung di darat. - Bangunan panggung di atas air. - Bangunan rakit di atas air (pernah ada dan saat ini sudah jarang dijumpai) Arsitektural bangunan dibuat dengan kaidah tradisional maupun modern, sesuai dengan latar belakang budaya dan suku/etnis masingmasing.
g.
Tipologi bangunan menggunakan struktur dan konstruksi sederhana, tradisional dan konvensional, yang kurang memperhitungkan pengaruh angin, tsunami, gempa, dll.
h.
Sering
terjadinya
kebakaran
karena
kelalaian,
penggunaan
bahan/peralatan berbahaya dan mudah terbakar, serta belum tersedianya sarana dan pedoman penanggulangan kebakaran, khususnya untuk perumahan di atas air.
Karakteristik sarana dan prasarana lingkungan
a.
Mempunyai aksesibilitas yang sangat tinggi sebab dapat dicapai dari darat dan dari air, sehingga peran dermaga/pelabuhan menjadi titik pertumbuhan.
b.
Sistem dan pola jaringan jalan di darat umumnya sudah terpola, memadai serta dapat melayani fungsi-fungsi yang ada. Hanya beberapa konstruksi jalan perlu disesuaikan dengan standar dan tingkat pelayanan yang harus disediakan. Jalan setapak dan beberapa jalan lingkungan
36 umumnya berpola organik mengikuti pola perumahan. Sistem jaringan jalan di daerah pasang surut dan bertanah lunak umumnya menggunakan konstruksi batu (dengan perkerasan atau makadam) atau konstruksi kayu, sedangkan jaringan jalan di atas air sepenuhnya menggunakan konstruksi kayu. Pola jaringan jalan umumnya tidak teratur/ organik mengikuti perkembangan bangunan dan tidak bisa dilalui oleh kendaraan roda 4. c.
Sistem drainase memerlukan penanganan relatif lebih rumit, karena merupakan daerah retensi yang sering tergenang air/banjir dan menjadi muara daerah hulunya.
d.
Pembuangan air limbah memerlukan penanganan khusus, karena muka air tanah yang tinggi serta menjadi muara daerah hulunya. Masyarakat cenderung membuang air limbah langsung ke badan air, baik dari kakus individu maupun MCK.
e.
Kebutuhan air bersih biasanya belum tercukupi karena pada umumnya belum terjangkau jaringan air bersih/minum kota (PAM/PDAM) dan kondisi air tanah yang dijadikan sumber air bersih kebanyakan payau, sehingga perlu penjernihan air.
f.
Umumnnya sampah dibuang/ditimbun di pinggir laut atau dibuang langsung ke laut sehingga sering menimbulkan bau serta menjadi sarang lalat dan nyamuk.
g.
Sistem penanggulangan bahaya kebakaran (sarana, prasarana, tata cara dan pedoman), khususnya di atas air memerlukan penanganan serius. Beberapa permukiman pesisir dapat diklasifikasikan sebagai berikut
(Refshauge, 2003):
37 -
Kota Pantai/Coastal Cities-penduduk lebih dari 20,000 orang.
-
Kampung Kota Pantai/Coastal Towns -3,000-20,000 orang.
-
Desa Pantai/Coastal Villages-jumlah populasi hingga 3,000 orang.
-
Daerah Berpusat di Pantai/Inland Coastal Centres.
-
Permukiman Pantai Baru/New Coastal Settlements.
Ketentuan perencanaan lingkungan permukiman yang terintegrasi pusat perkotaan dengan ketentuan SNI Lokasi lingkungan perumahan harus memenuhi ketentuan sebagai
berikut: a.
Lokasi perumahan harus sesuai dengan rencana peruntukan lahan yang diatur dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) setempat atau dokumen perencanaan lainnya yang ditetapkan dengan peraturan daerah setempat, dengan kriteria sebagai beriku, (1) kriteria keamanan, (2) kriteria
kesehatan,
(3)
kriteria
keindahan/keserasian/keteraturan
kenyamanan,
(kompatibilitas),
(4)
kriteria
(5)
kriteria
fleksibilitas, (6) kriteria keterjangkauan jarak dan (7) kriteria lingkungan berjati diri. b.
Lokasi perencanaan perumahan harus berada pada lahan yang jelas status kepemilikannya dan memenuhi persyaratan administratif, teknis dan ekologis.
c.
Keterpaduan antara tatanan kegiatan dan alam di sekelilingnya, dengan mempertimbangkan jenis, masa tumbuh dan usia yang dicapai, serta pengaruhnya terhadap lingkungan, bagi tumbuhan yang ada dan mungkin tumbuh di kawasan yang dimaksud.
38 Ketentuan dasar fisik lingkungan perumahan harus memenuhi faktorfaktor berikut ini: a)
Ketinggian lahan tidak berada di bawah permukaan air setempat, kecuali dengan rekayasa/ penyelesaian teknis.
b)
Kemiringan lahan tidak melebihi 15% (lihat Tabel 2.1) dengan ketentuan: 1) Tanpa
rekayasa
untuk
kawasan
yang
terletak
pada
lahan
bermorfologi datar-landai dengan kemiringan 0-8%. 2) Diperlukan rekayasa teknis untuk lahan dengan kemiringan 8-15%. Tabel 2.1 Kesesuaian penggunaan lahan berdasarkan kemiringan lereng Kelas Sudut Lereng (%) Peruntukan Lahan 0-3 3-5 5-10 10-15 15-20 20-30 30-40 >40 Jalan raya Parkir Taman bermain Perdagangan Drainase Permukiman Trotoar Bidang resapan septic Tangga umum Rekreasi Sumber: Acuan diambil dari, SNI 03-1733-2004 Tata Cara Perencanaan Lingkungan Permukiman Yang Terintegrasi Dengan Pusat Perkotaan
Data dasar lingkungan perumahan -
1 RT: terdiri dari 150–250 jiwa penduduk.
-
1 RW: (2.500 jiwa penduduk) terdiri dari 8–10 RT.
-
1 kelurahan (≈lingkungan): (30.000 jiwa penduduk) terdiri dari 10–12 RW.
-
1
kecamatan:
(120.000
kelurahan/lingkungan.
jiwa
penduduk)
terdiri
dari
4–6
39 -
1 kota: terdiri dari sekurang-kurangnya 1 kecamatan. Asumsi dasar lingkungan perumahan
-
Jumlah penghuni rumah rata-rata: 5 jiwa.
-
Kecepatan rata-rata pejalan kaki: 4.000 m / jam.
-
Jarak ideal jangkauan pejalan kaki: 400 m. Penggolongan Acuan penggolongan sarana hunian ini berdasarkan beberapa
ketentuan/peraturan yang telah berlaku, berdasarkan tipe wujud fisik arsitektural dibedakan atas: a)
Hunian Tidak Bertingkat Hunian tidak bertingkat adalah bangunan rumah yang bagian huniannya berada langsung di atas permukaan tanah, berupa rumah tunggal, rumah kopel dan rumah deret. Bangunan rumah dapat bertingkat dengan kepemilikan dan dihuni pihak yang sama.
b)
Hunian Bertingkat Hunian bertingkat adalah rumah susun (rusun) baik untuk golongan berpenghasilan rendah (rumah susun sederhana sewa), golongan berpenghasilan menengah (rumah susun sederhana) dan maupun golongan berpenghasilan atas (rumah susun mewah≈apartemen). Bangunan rumah bertingkat dengan kepemilikan dan dihuni pihak yang berbeda dan terdapat ruang serta fasilitas bersama.
40 Tabel 2.2 Penggolongan sarana hunian
Penggolongan Hunian
Hunian Tidak Bertingkat
Berdasarkan Wujud Fisik Arsitektural Jenis
Penyediaan Fasilitas Penunjang
Rumah tunggal Rumah kopel Rumah deret
Berupa sarana lingkungan bersama
Berdasarkan Keterjangkauan Harga Target Pasar Pemakai
Jenis
Kepemilikan Privat/sewa Privat/sewa Privat/sewa
Rumah susun sederhana sewa
Gol. Ekonomi Sewa Berupa rendah fasilitas Gol. Hunian Bertingkat => rumah bersama Rumah susun Ekonomi Privat/sewa susun dalam sederhana menengah bangunan Gol. hunian Rumah susun Ekonomi Privat/sewa mewah tinggi Sumber: Acuan diambil dari, SNI 03-1733-2004 Tata Cara Perencanaan Lingkungan Permukiman Yang Terintegrasi Dengan Pusat Perkotaan
Hunian bertingkat (≈ rumah susun) Hunian bertingkat dapat dikembangkan pada kawasan-lingkungan perumahan yang direncanakan untuk kepadatan penduduk >200 Jiwa/ha, berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah atau dokumen rencana lainnya, yaitu kawasan-kawasan: a)
Pusat kegiatan kota.
b)
Kawasan-kawasan
dengan
kondisi
kepadatan
penduduk
sudah
mendekati atau melebihi 200 jiwa/ha. c)
Kawasan-kawasan khusus yang karena kondisinya memerlukan rumah susun, seperti kawasan-kawasan industri, pendidikan dan campuran.
41 Tabel 2.3 Kebutuhan rumah susun berdasarkan kepadatan penduduk Klasifikasi Kawasan Kepadatan penduduk
Kepadatan Rendah
Sedang
< 150 jiwa/ha
151-200 jiwa/ha
Alternatif (untuk kawasan tertentu)
Disarankan (untuk pusatpusat kegiatan kota dan kawasan tertentu)
Kebutuhan Rumah Susun
Tinggi 200-400 jiwa/ha Disyaratkan (peremajaan lingkungan permukiman perkotaan)
Sangat Padat > 400 jiwa/ha Disyaratkan (peremajaan lingkungan permukiman perkotaan)
Sumber: Acuan diambil dari, SNI 03-1733-2004 Tata Cara Perencanaan Lingkungan Permukiman Yang Terintegrasi Dengan Pusat Perkotaan
Kebutuhan lahan bagi sarana pada unit RW (2.500 jiwa penduduk) 1.
Balai pertemuan warga luas lahan min. 300 m.
2.
Pos hansip luas lahan min. 12 m.
3.
Gardu listrik luas lahan min. 30 m.
4.
Telepon umum, bis surat, bak sampah kecil luas lahan min. 30 m.
5.
Parkir umum luas lahan min. 100 m (standar satuan parkir = 25 m) Sarana pendidikan dan pembelajaran Perencanaan
sarana
pendidikan
harus didasarkan
pada
tujuan
pendidikan yang akan dicapai, dimana sarana pendidikan dan pembelajaran ini akan menyediakan ruang belajar harus memungkinkan siswa untuk dapat mengembangkan pengetahuan, keterampilan serta sikap secara optimal. Oleh karena itu dalam merencanakan sarana pendidikan harus memperhatikan: a)
Berapa jumlah anak yang memerlukan fasilitas ini pada area perencanaan.
b)
Optimasi daya tampung dengan satu shift.
c)
Effisiensi dan efektifitas kemungkinan pemakaian ruang belajar secara terpadu.
d)
Pemakaian sarana dan prasarana pendukung.
42 e)
Keserasian dan keselarasan dengan konteks setempat terutama dengan berbagai jenis sarana lingkungan lainnya. Tabel 2.4 Kebutuhan program ruang minimum
No.
Jenis Sarana
Program Ruang
Taman KanakMemiliki minimum 2 ruang kelas @ 25-30 murid. Dilengkapi dengan kanak ruang-ruang lain dan ruang terbuka/bermain ± 700 m² 2. Sekolah Dasar Memiliki minimum 6 ruang kelas @ 40 murid dilengkapi dengan ruang3. SLTP ruang lain dan ruang terbuka/bermain ± 3000-7000 m² 4. SMU 5. Taman Bacaan Memiliki minimum 1 ruang baca @ 15 murid Sumber: Acuan diambil dari, SNI 03-1733-2004 Tata Cara Perencanaan Lingkungan Permukiman 1.
Yang Terintegrasi Dengan Pusat Perkotaan
Tabel 2.5 Kebutuhan sarana pendidikan dan pembelajaran
No
Jenis Sarana
Jumlah Penduduk Pendukung (jiwa)
Kebutuhan Per Satuan Sarana Luas Luas Lahan Lantai Min. Min. (m²) (m²)
Kriteria Standard (m²/jiwa)
Radius pencapaian
1.
Taman Kanakkanak
1.250
216 termasuk rumah penjaga 36 m²
2.
Sekolah Dasar
1.600
633
2000
1,25
1000 m²
3.
SLTP
4.800
2.282
9000
1,88
1000 m²
4.
SMU
4.800
3.835
12.500
2,6
3000 m²
5.
Taman Bacaan
2.500
72
150
0,09
1000 m²
500
0,28 m²/j
500 m²
Lokasi dan Penyelesaian Di tengah kelompok warga. Tidak menyebrang jalan raya. Bergabung dengan taman sehingga menjadi pengelompokan kegiatan. Dapat dijangkau dengan kendaraan umum. Disatukan dengan lapangan olah raga. Tidak selalu harus di pusat lingkungan Di tengah kelompok warga tidak menyeberang jalan lingkungan.
Keterangan
2 rombongan prabelajar @ 60 murid dapat bersatu dengan sarana lain
Kebutuhan harus berdasarkan perhitungan dengan rumus 2, 3 dan 4. Dapat digabung dengan sarana pendidikan lain, mis. SD, SMP, SMA dalam satu komplek
Sumber: Acuan diambil dari, SNI 03-1733-2004 Tata Cara Perencanaan Lingkungan Permukiman Yang Terintegrasi Dengan Pusat Perkotaan
43 Tabel 2.6 Kebutuhan sarana kesehatan
No.
Jenis Sarana
Jumlah Penduduk pendukung (jiwa)
Lokasi dan penyelesaian
500
Di tengah kelompok tetangga tidak menyeberang jalan raya.
2.
2.500
150
300
0,12
1000 m²
3.
BKIA/Klinik Bersalin
30000
1.500
3000
0,1
4000 m²
4.
Puskesmas Pembantu dan Balai Pengobatan Lingkungan
30000
150
300
0,006
1.500 m²
-idem-
5.
Puskesmas dan Balai Pengobatan
120000
420
1000
0,008
3000 m²
-idem-
18
-
-
1.500 m²
-idem-
120
250
0,025
1.500 m²
-idem-
7.
30000
0,048
Radius pencapaian
Balai Pengobatan Warga
5000
60
Standard (m²/jiwa)
Posyandu
Tempat Praktek Dokter Apotik/Rumah Obat
36
Kriteria
1.
6.
1.250
Kebutuhan Per Satuan Sarana Luas Luas Lantai Lahan Min. Min. (m²) (m²)
Di tengah kelompok tetangga tidak menyeberang jalan raya. Dapat dijangkau dengan kendaraan umum
Keterangan
Dapat bergabung dengan balai warga atau sarana hunian Dapat bergabung dalam lokasi balai warga
Dapat bergabung dalam lokasi kantor kelurahan Dapat bergabung dalam lokasi kantor kecamatan Dapat bersatu dengan rumah tinggal/tempat usaha/apotik
Sumber: Acuan diambil dari, SNI 03-1733-2004 Tata Cara Perencanaan Lingkungan Permukiman Yang Terintegrasi Dengan Pusat Perkotaan
Sarana peribadatan Jenis sarana peribadatan sangat tergantung pada kondisi setempat dengan memperhatikan struktur penduduk menurut agama yang dianut dan tata cara atau pola masyarakat setempat dalam menjalankan ibadah agamanya. Adapun jenis sarana ibadah untuk agama Islam, direncanakan sebagai berikut: a)
Kelompok penduduk 250 jiwa, diperlukan musholla/langgar.
b)
Kelompok penduduk 2.500 jiwa, disediakan masjid.
c)
Kelompok penduduk 30.000 jiwa, disediakan masjid kelurahan.
44 d)
Kelompok penduduk 120.000 jiwa, disediakan masjid kecamatan. Tabel 2.7 Kebutuhan sarana peribadatan Kebutuhan Per Satuan Sarana Luas Lantai Luas Lahan Min. (m²) Min. (m²)
No.
Jenis Sarana
Jumlah Penduduk penukung (jiwa)
1.
Musholla/ Langgar
250
45
100 bila bangunan tersendiri
0,36
100 m²
2.
Masjid Warga
2.500
300
600
0,24
1000 m²
3.
Masjid Lingkungan (Kelurahan)
30000
1.800
3.600
0,12
4.
Masjid Kecamatan
120000
3.600
5.400
0,03
5.
Sarana ibadah agama lain
Tergantung sistem kekerabata/ hirarki lembaga
Tergantung kebiasaan setempat
Tergantung kebiasaan setempat
-
Standard (m²/jiwa)
Kriteria Radius pencapaian
-
Lokasi dan Penyelesaian Di tengah kelompok tetangga. Dapat merupakan bagian dari bangunan sarana lain Di tengah kelompok tetangga tidak menyeberang jalan raya. Dapat bergabung dalam lokasi balai warga. Dapat dijangkau dengan kendaraan umum Berdekatan dengan pusat lingkungan/kelurahan. Sebagian sarana berlantai 2, KDB 40 %
-
Sumber: Acuan diambil dari, SNI 03-1733-2004 Tata Cara Perencanaan Lingkungan Permukiman Yang Terintegrasi Dengan Pusat Perkotaan
Sarana perdagangan dan niaga Menurut skala pelayanan, penggolongan jenis sarana perdagangan dan niaga adalah: a)
Toko/warung (skala pelayanan unit RT≈250 penduduk), yang menjual barang-barang kebutuhan sehari-hari.
b)
Pertokoan (skala pelayanan 6.000 penduduk), yang menjual barangbarang kebutuhan sehari-hari yang lebih lengkap dan pelayanan jasa seperti wartel, fotocopy dan sebagainya.
c)
Pusat pertokoan dan atau pasar lingkungan (skala pelayanan unit kelurahan≈30.000 penduduk) yang menjual keperluan sehari-hari termasuk sayur, daging, ikan, buah- buahan, beras, tepung, bahan-bahan
45 pakaian, pakaian, barang-barang kelontong, alat-alat pendidikan, alatalat rumah tangga, serta pelayanan jasa seperti warnet, wartel dan sebagainya. d)
Pusat perbelanjaan dan niaga (skala pelayanan unit kecamatan≈120.000 penduduk) yang selain menjual kebutuhan sehari-hari, pakaian, barang kelontong, elektronik, juga untuk pelayanan jasa perbengkelan, reparasi, unit-unit produksi yang tidak menimbulkan polusi, tempat hiburan serta kegiatan niaga lainnya seperti kantor-kantor, bank, industri kecil dan lain-lain. Tabel 2.8 Jenis sarana perdagangan dan niaga Kebutuhan Per Satuan Sarana Luas Lantai Luas Lahan Min. (m²) Min. (m²)
No.
Jenis Sarana
Jumlah Penduduk pendukung (jiwa)
1.
Toko/ Warung
250
50 (termasuk gudang)
100 (bila berdiri sendiri)
0,4
300 m²
2.
Pertokoan
6000
1.200
3000
0,5
2000 m²
30000
13.500
10000
0,33
Dapat dijangkau dengan kendaraan umum
0,3
Terletak dijalan utama. Termasuk sarana parkir sesuai ketentuan setempat
3.
4.
Pusat Pertokoan + Pasar Lingkungan Pusat Perbelanjaan dan Niaga (toko + pasar + bank + kantor)
120.000
36.000
36.000
Standard (m²/jiwa)
Kriteria Radius pencapaian
Lokasi dan Penyelesaian Di tengah kelompok tetangga. Dapat merupakan bagian dari sarana lain Di pusat kegiatan sub lingkungan KDB 40 % Dapat berbentuk P&D
Sumber: Acuan diambil dari, SNI 03-1733-2004 Tata Cara Perencanaan Lingkungan Permukiman Yang Terintegrasi Dengan Pusat Perkotaan
Sarana kebudayaan dan rekreasi Penetapan jenis/macam sarana kebudayaan dan rekreasi pada suatu daerah sangat tergantung pada kondisi setempat area tersebut, yaitu menyangkut faktor-faktor: a)
Tata kehidupan penduduknya.
46 b)
Struktur sosial penduduknya. Tabel 2.9 Kebutuhan sarana kebudayaan dan rekreasi
No.
1.
2. 3. 4.
Jenis Sarana
Balai Warga/Balai Pertemuan Balai Serbaguna/Balai Karang Taruna Gedung Serbaguna Gedung Bioskop
Jumlah Penduduk pendukung (jiwa)
Kebutuhan Per Satuan Sarana Luas Luas Lantai Lahan Min. Min. (m²) (m²)
Kriteria Standard (m²/jiwa)
Radius pencapaian
Lokasi dan Penyelesaian Di tengah kelompok tetangga. Dapat merupakan bagian dari bangunan sarana lain
2.500
150
300
0,12
100 m²
30000
250
500
0,017
100 m²
120.000
1.500
3000
0,025
100 m²
120.000
1000
2000
0,017
100 m²
Di pusat lingkungan. Dapat dijangkau dengan kendaraan umum Terletak di jalan utama. Dapat merupakan bagian dari pusat perbelanjaan
Sumber: Acuan diambil dari, SNI 03-1733-2004 Tata Cara Perencanaan Lingkungan Permukiman Yang Terintegrasi Dengan Pusat Perkotaan
Sarana ruang terbuka, taman dan lapangan olah raga Ruang terbuka merupakan komponen berwawasan lingkungan, yang mempunyai arti sebagai suatu lansekap, hardscape, taman atau ruang rekreasi dalam lingkup urban. Peran dan fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) ditetapkan dalam Instruksi Mendagri no. 4 tahun 1988, yang menyatakan "Ruang terbuka hijau yang populasinya didominasi oleh penghijauan baik secara alamiah atau budidaya tanaman, dalam pemanfataan dan fungsinya adalah sebagai areal berlangsungnya fungsi ekologis dan penyangga kehidupan wilayah perkotaan.
47 Tabel 2.10 Sarana ruang terbuka, taman dan lapangan olah raga No.
Jenis Sarana
Jumlah Penduduk pendukung (jiwa)
Kebutuhan Luas Lahan Min. (m²)
Standard (m²/jiwa)
Radius pencapain (m)
1.
Taman/Tempat Main
250
250
1
100
2.
Taman/Tempat Main
2.500
1.250
0,5
1000
3.
Taman dan Lapangan Olah Raga
30000
9000
0,3
4.
Taman dan lapangan Olah Raga
120.000
24.000
0,2
5.
Jalur Hijau
-
-
15 m
6.
Kuburan/Pemakaman Umum
120.000
Kriteria Lokasi dan Penyelesaian Di tengah kelompok tetangga. Di pusat kegiatan lingkungan. Sedapat mungkin berkelompok dengan sarana pendidikan. Terletak di jalan utama. Sedapat mungkin berkelompok dengan sarana pendidikan. Terletak menyebar. Mempertimbangkan radius pencapaian dan area yang dilayani.
Sumber: Acuan diambil dari, SNI 03-1733-2004 Tata Cara Perencanaan Lingkungan Permukiman Yang Terintegrasi Dengan Pusat Perkotaan
Tipologi
pesisir
Indonesia,
karakteristik
dan
sebarannya
(GEOGRAFIA OnlineTM Malaysian Journal of Society and Space 1 (76 - 84) A.
PESISIR BERBATU 1. Pesisir berbatu, ekosistem bukan hutan dan dibudidayakan: Material dasar yang dominan didaerah pesisir adalah berbatu. Tipe pesisir ini telah dibudidayakan oleh masyarakat maka kemungkinan mengalami proses destruksional khususnya oleh proses erosi di wilayah daratan. Beberapa vegetasi dominan yang tumbuh di tipe pesisir ini jenis tumbuhan pantai yang kurang ekonomis. Oleh karena itu kemungkinan pembudidayaan pesisir ini untuk kepentingan pertanian khususnya lahan kering. Tersebar di 20 provinsi, terpanjang di Provinsi Bangka Belitung (438, 85 km atau 13,86 %). Terpendek di Provinsi Lampung (3.25 km).
48 2. Pesisir berbatu, ekosistem hutan dan tidak dibudidayakan: Tipe pesisir ini merupakan daerah yang masih relatif asli dan sesuai untuk kawasan lindung, karena pesisirnya berbatu dengan ekosistem hutan dan relatif belum tersentuh oleh intervensi manusia (pembudidayaan). Kemungkinan besar tipe pesisir ini berada pada daerah asal vulkanik dan struktural. Arah pengembangan yang mungkin
dapat
dilakukan
dengan
resiko
minimal
adalah
pegembangan pariwisata. Tersebar di 28 provinsi. Terpanjang terdapat di Provinsi Irianjaya (Papua) Barat (1.587,69 km atau 18,33%). Terpendek terdapat di provinsi Irian Timur (11, 19 km atau 0,13 %). 3. Pesisir berbatu, ekosistem hutan dan dibudidayakan: Pesisir
berbatu
umumnya
memiliki
tingkat
intensitas
pembudidayaan yang relatif rendah, karena material bebatuan sulit untuk diusahakan. Kemungkinan pengembangan usaha adalah di sektor pertambangan. Karena tipe pesisir ini berada pada ekosistem hutan, maka pembudidayaan disektor kehutanan dan pertambangan perlu
diwaspadai,
kerana
boleh
menjadi
“ancaman”
bagi
kelangsungan wilayah pesisir tipe ini. Tersebar di 12 provinsi. Terpanjang terdapat di provinsi Maluku Utara (404,33 km atau 36,83 %) dan terpendek terdapat di Provinsi Jawa Tengah (8,09 km). 4. Pesisir berbatu dan ekosistem terumbu karang dibudidayakan: Diantara jenis pesisir berbatu, pesisir tipe ini paling produktif. Pesisir berbatu merupakan daerah potensial tumbuhnya ekosistem
49 terumbu karang. Pesisir tipe ini juga potensial bagi tumbuhnya beranekaragam jenis ikan dan vegetasi perairan laut dan pesisir. Selan itu keindahan alam yang menawan juga merupakan nilai ekonomi yang tinggi (strategis). Oleh karena itu sebagian besar pesisir
ini
telah
dibudidayakan.
Beberapa
kemungkinan
pembudidayaan oleh manusia antara lain disektor perikanan dan pariwisata. Tersebar di 23 provinsi. Terpanjang terdapat di Provinsi Riau (1.315,09 km atau 15,92 %). Dan terpendek di Provinsi Bali (27 km atau 0.33 %). B.
PESISIR BERPASIR 1. Pesisir berpasir, ekosistem bukan hutan dan dibudidayakan: Pesisir ini didominasi oleh material pasir. Karena tipe ini jenis ekosistemnya bukan hutan, maka kemungkinan besar ditumbuhi oleh jenis vegetasi pantai atau padang rumput. Oleh karena itu pesisir seperti ini produktivitasnya relatif rendah. Meskipun demikian daerah seperti ini telah mengalami intensitas pembudidayaan yang cukup tinggi khususnya untuk kegiatan pemukiman perdesaan dengan kegiatan pembudidayaan sektor pertanian. Kemungkinan pengembangan lainnya adalah sektor pariwisata, mengingat pesisir berpasir disukai oleh wisatawan. Tersebar di 19 provinsi. Terpanjang terdapat di Provinsi Maluku (2.892,90 km atau 31,07 %). Dan terpendek di Provinsi Kalimantan Timur (1,63 km atau 0.02 %).
50 2. Pesisir berpasir, ekosistem bukan hutan dan tidak dibudidayakan: Sesuai dengan karakter ekosistemnya yang terdiri dari pantai berpasir dan hutan serta relatif belum tersentuh pembudidayaan oleh manusia, maka tipe pesisir ini sesuai untuk kawasan lindung pantai yang akan melindungi daerah belakangnya. Tersebar di 27 provinsi. Terpanjang terdapat di Provinsi Sulawesi Tengah (976.01 km atau 16.05 %). Terpendek di Provinsi Kalimantan Timur (8.02 km atau 0,13 %). 3. Pesisir berpasir, ekosistem hutan dan dibudidayakan: Secara ekologis, pesisir ini memiliki karakter yang sama dengan pesisir nomer 2, namun tipe pesisir ini telah dibudidayakan oleh manusia. Kemungkinan pembudidayaan sangat tergantung pada ketersediaan sumberdaya yang ada. Jika sumberdaya hutan dan tambang menjadi komoditas yang diusahakan, maka resiko kerusakan pesisir tinggi. Sebaliknya jika arah pengembangannya pada sektor pariwisata maka resiko lingkungan lebih kecil. Selain itu pada tipe pesisir ini juga dimungkinkan tumbuhnya penduduk perdesaan dengan budidaya pertanian dan perikanan. Tersebar di 18 provinsi. Terpanjang terdapat di Provinsi Maluku Utara (740,12 km atau 34,94 %). Terpendek terdapat di Provinsi Maluku (1.67 km atau 0.07 %). 4. Pesisir berpasir dan ekosistem mangrove di budidayakan: Pesisir
berpasir
dengan
ekosistem
mangrove
biasanya
berlokasi di sekitar muara sungai. Pesisir tipe ini memiliki produktivitas dan keanekaragaman hayati yang cukup tinggi, karena
51 mangrove merupakan habitat yang baik bagi tumbuhkembangnya beranekaragam komunitas hewan, ikan dan vegetasi pantai. Oleh karena potensi dan letaknya yang strategis, pesisir tipe ini sebagian besar telah dibudidayakan oleh manusia secara intensif bahkan eksploitatif,
sehingga
cenderung
over-eksploitation
dan
menyebabkan kerusakan lingkungan. Beberapa jenis pembudidayaan pesisir antara lain perikanan, tambak, industry, permukiman dan pertanian. Tersebar di 21 provinsi. Terpanjang terdapat di Riau (715,02 km atau 31,40 %). Terpendek terdapat di Provinsi Lampung (1,62 km atau 0,07 %). 5. Pesisir berpasir, ekosistem terumbu karang dan dibudidayakan: Pesisir tipe berpasir dengan ekosistem terumbu karang umumnya memiliki daya tarik yang paling baik, selain keindahan terumbukarang, jenis pasirnya yang berwarna putih (sebagai hancuran dari material terumbu karang dan hewan laut) banyak menarik wisatawan. Oleh karena itu sebagian besar wilayah ini telah banyak
ditempati
oleh
penduduk
untuk
pemukiman
dan
dikembangkan untuk sektor pariwisata. Tipe pesisir ini sebaiknya dilindungi dari kegiatan-kegiatan pembudidayaan yang merusak lingkungan, misalnya penambangan pasir. Tersebar di 19 provinsi. Terpanjang terdapat di Provinsi Maluku (845,06 km atau 32,84 %). Terpendek terdapat di Provinsi Bengkulu (11.00 km atau 0,43 %).
52 C.
PESISIR BERLUMPUR 1. Pesisir berlumpur, ekosistem bukan hutan dan dibudidayakan: Pesisir belumpur selalu berasosiasi dengan keberadaan DAS (Daerah Aliran Sungai), dimana endapan lumpur merupakan hasil pengendapan dari daerah atasnya (hiterland). Oleh karena itu tipe pesisir ini tergolong pesisir kontruktif. Perkembangan delta dan perlumpuran di tepi pantai merupakan contoh tipe pesisir ini. Jika ekosistem yang ada bukan hutan dan telah dibudidayakan oleh manusia , maka sebagian besar tipe pesisir ini telah tumbuh menjadi kawasan permukiman. Sebagian besar permukiman-permukiman dan kota yang berkembang di Indonesia berada pada tipe pesisir berlumpur dan ekosistem non hutan. Tipe pesisir ini adalah tipe pesisir yang mengalami pembudidayaan paling intensif dan telah mengalami tekanan lingkungan tinggi. Sebagai contoh adanya reklamasi pantai dan pembukaan usaha tambak. Tersebar di 31 provinsi. Terpanjang terdapat di Maluku (689,74 km atau 12,74 %). Terpendek di Provinsi Jawa Tengah (17,26 km atau 0,31 %). 2. Pesisir berlumpur, ekosistem hutan dan tidak dibudidayakan: Pesisir berlumpur dengan ekosistem hutan yang belum dibudidayakan menunjukkan bahwa jenis pesisir ini relatif masih asli dan belum terjadi kerusakan lingkungan. Tipe pesisir ini merupakan barrier atau cadangan ekosistem pesisir yang harus dijaga dan dilestarikan. Tipe pesisir ini sebaiknya diarahkan untuk kawasan lindung atau suaka alam atau cagar alam.
53 Tersebar di 16 provinsi. Terpanjang terdapat di di Provinsi Sulawesi Tengah (930,09 atau 25, 21 %). Terpendek di Provinsi Riau (5,53 km atau 0,15 %). 3. Pesisir berlumpur dan ekosistem hutan dibudidayakan: Pesisir berlumpur dan ekosistem hutan adalah kawasan lindung yang cukup baik, namun tidak jarang pesisir tipe ini juga telah banyak dibudidayakan. Beberapa jenis pembudidayaan diantaranya adalah untuk kepentingan permukiman dan perikanan, khususnya tambak. Jika pembudidayaan tidak dilakukan secara arif dan bijaksana, maka tidak tertutup kemungkinan akan terjadi kerusakan ekosistem pesisir tipe ini semakin parah. Tersebar di 23 provinsi. Terpanjang di Provinsi Jawa Timur (483,42 km atau 12,98 %). Terpendek di Provinsi Kalimantan Timur (7,37 km atau 0,20 %). 4. Pesisir berlumpur dan ekosistem mangrove dibudidayakan: Tipe pesisir berlumpur, mangrove dan dibudidayakan adalah tipe pesisir yang memiliki nilai ekonomi dan produktivitas tinggi, namun juga mengalami eksploitasi dan kerusakan (degradasi) lingkungan paling berat. Tipe pesisir ini terjadi konversi ekosistem besar-besaran ekosistem mangrove untuk dibudidayakan menjadi tambak ikan, tambak udang, tambak garam, industri, permukiman dan bahkan reklamasi pantai juga dilakukan. Kerusakan ekosistem ini juga menyebabkan kerusakan pada ekosistem daratan seperti adanya instrusi, sedimentasi, dan banjir kota. Tipe pesisir ini
54 memerlukan pengawasan dan pengendalian yang ketat dari ancaman kerusakan lingkungan. Tersebar di 26 provinsi. Terpanjang terdapat di Provinsi Kalimantan Timur (1.932,05 km atau 18,22 %). Terpendek terdapat di Provinsi Jawa Tengah (19,03 km atau 0,18 %).
2.2.3 Nelayan
Kajian kondisi sosial, budaya dan ekonomi penduduk Penduduk kawasan Keberadaan penduduk dan sebaran permukiman penduduk yang
mendiami kawasan pemukiman nelayan lingkup Pulau Jawa dikategorikan menjadi: a.
Penduduk Tionghoa, yang mendiami lokasi pemukiman jauh dari area perairan. Pekerjaan utama penduduk Tionghoa ini adalah berdagang. Perumahan penduduk Tionghoa berdiri sejajar memanjang/linear, searah dengan jalur jalan utama di luar kawasan. Kelompok perumahan penduduk
Tionghoa
yang
membentuk
pola
pemukiman
memanjang/linear di sepanjang sisi jalan, dengan tujuan bahwa aktifitas perdagangan sebagai mata pencaharian utama akan mendekati akses kepada konsumen, terutama kedekatan terhadap aksesibilitas di pusat kota. b.
Penduduk Pribumi yang bekerja sebagai nelayan tradisional dan mendiami lokasi pemukiman mendekati perairan/pantai. Rata-rata komposisi perumahan berbentuk kelompok/cluster dan berorientasi menghadap ke arah perairan. Kelompok perumahan penduduk asli pribumi yang sebagian besar bekerja sebagai nelayan/pencari ikan
55 membentuk pola pemukiman berkelompok/cluster, tetapi masih berorientasi menuju perairan/pantai. Diantara kelompok-kelompok pemukiman ini masih banyak menyisakan ruang-ruang terbuka/open
space, yang sangat diperlukan bagi para nelayan untuk menjemur hasil olahan ikan dan memperbaiki jala/ngiteng. c.
Penduduk pendatang umumnya berasal dari daerah Madura. Mereka mulai menempati lokasi pemukiman pada tahun 1954. Rata-rata mereka bekerja tidak jauh dari kegiatan perairan dan perikanan, baik sebagai buruh nelayan bagi mereka yang tidak memiliki perahu, nelayan harian lepas bagi yang memiliki perahu sendiri, pedagang ataupun sebagai pengolah ikan dan sektor informal lainnya di sekitar pemukiman. Kelompok perumahan pendatang dibangun diantara rumah-rumah penduduk asli. Mereka memanfaatkan setiap ruang terbuka yang ada sebelumnya, untuk didirikan rumah. Karena kebutuhan lahan untuk perumahan bagi penduduk pendatang semakin besar, mulai dilakukan pengurugan pantai/reklamasi yang dilaksanakan secara liar dan mengganggu aktifitas dermaga. Pola pemukiman di sekitar perairan semakin tidak teratur. Karena masing-masing penduduk nelayan menginginkan akses dari rumah tinggal menuju ke tempat tambatan perahu/dermaga sedekat mungkin. Mata pencaharian dan ekonomi Mata pencaharian penduduk permukiman nelayan lingkup Pulau Jawa
yaitu, (1) nelayan, (2) wiraswasta, (3) sektor-sektor yang berhubungan dengan perikanan yaitu usaha pengolahan ikan, baik pada skala besar maupun skala rumah tangga, (4) pengelolaan dan penyewaan kapal, (5) perdagangan
56 hasil tangkapan dan pengolahan ikan, (6) serta penjualan perlengkapan penangkapan ikan. Rusaknya habitat ekosistem perikanan di sekitar wilayah perairan telah mengakibatkan penurunan jumlah ikan, sehingga para nelayan harus berlayar selama lebih dari 3 jam pelayaran dari wilayah kawasan untuk mendapatkan hasil tangkapan ikan dalam jumlah yang cukup maksimal. Hal ini tentunya hanya dapat dilakukan oleh nelayan-neleyan yang memiliki perahu yang cukup besar dan dilengkapi oleh motor tempel. Sedangkan nelayan-nelayan kecil akan membutuhkan waktu lama untuk berlayar menangkap ikan. Itu sebabnya, banyak nelayan-nelayan kecil yang membutuhkan waktu antara 10–15 hari untuk menangkap ikan, kemudian pulang ke rumah selama 2–3 hari, kemudian pergi berlayar lagi. Tabel 2.11 Musim melaut dan musim angin Jan
Feb
Angin Barat
Mar
Apr
Mei
Juni
Juli
Musim untuk melaut
Agst Sept Angin Timur
Okt
Nop
Des
Angin Barat
Sumber: http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:4na9TyYTuA4J:wardoyo.staff.gunadarma.a c.id/Publications/files/373/Teluk%2BNaga.pdf+&cd=1&hl=en&ct=clnk
Para nelayan di Pulau Jawa pada umumnya memiliki jadwal kapan mereka melaut dan kapan tidak melaut. Pada bulan Maret–Juli adalah musim yang tepat untuk melaut, sedangkan bulan Agustus–September adalah Musim Angin Timur dan Bulan Oktober–Februari adalah Musim Angin Barat. Pada musim-musim angin tersebut, para nelayan tidak banyak yang melaut. Selama para suami pergi berlayar menangkap ikan, para istri mengolah ikan hasil tangkapan untuk dibuat menjadi ikan asin, terasi, mangut, kerupuk udang dan sebagainya. Hal ini dilakukan karena hasil olahan ikan akan
57 membuat nilai jualnya menjadi lebih tinggi dari pada hasil tangkapan ikan yang dijual langsung. Sosial budaya Sebagian besar penduduk di kawasan permukiman lingkup Pulau Jawa adalah pemeluk agama Islam/Muslim. Sarana dan prasarana peribadatan yang ada di sekitar kawasan sudah mencukupi. Sehingga kegiatan agama yang ada di sekitar kawasan cukup tinggi. Sikap masyarakat terhadap kehidupan sehari-hari dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan keagamaan yang mereka anut. Sehingga meskipun masyarakat menganut agama yang berbeda-beda, tingkat toleransi agama di antara mereka cukup tinggi. Pola bentukan ruang pada kawasan menunjukan karakter pola perumahan yang berorientasi pada sarana peribadatan, dimana dalam kawasan ditunjukan pada pola perumahan yang berorientasi pada bangunan Masjid dan Klenteng. Karakter sosial banyak mempengaruhi penataan pola perumahan di sekitar tempat ibadah tersebut, yaitu pertama adalah Ikatan kekerabatan berdasarkan kesamaan kepercayaan,
menyebabkan
mereka
yang
memiliki
kesamaan
kepercayaan/agama, berkelompok membuat pola perumahan yang saling berdekatan dan berusaha mendekati pusat-pusat tempat peribadatan, kedua adalah sikap Community Leader pada masyarakat beragama, menyebabkan pemuka agama memiliki posisi dan kondisi yang lebih dibandingkan masyarakat awam pada umumnya. Sehingga ada kecenderungan mereka hidup berkelompok mendekati posisi tempat tinggal pemimpin agama yang dianut. Dari kedua kondisi tersebut, secara fisik pola perumahan membentuk Pola Clustered dengan sistem memusat pada tempat/fasilitas ibadah
58 (Centralized Depend On Social/Cultural Facilities). Dari beberapa tempat peribadatan di sekitar kawasan, terdapat ruang terbuka yang selain digunakan untuk kegiatan beribadah, juga dimanfaatkan warga sekitar untuk kegiatan sosial dan kegiatan komunal sehari-hari. Bahkan karena letaknya yang sangat strategis, ruang terbuka menjadi Landmark kawasan, bukan saja sebagai pusat orientasi pemukiman di sekitarnya, tetapi juga sebagai petunjuk arah bagi para nelayan yang sedang berlayar di malam hari. Selain berhubungan dengan pola tata ruang, kegiatan keagamaan penduduk di sekitar kawasan, berkaitan erat dengan kondisi sosial dan budaya masyarakat setempat, yaitu kepercayaan mereka akan sesuatu kekuatan yang lebih berkuasa dan melebihi segalanya di dunia ini, yaitu Sang Pencipta. Sehingga masih ada kegiatan yang bersifat ritual, yang bertujuan untuk memberikan penghargaan dan pengorbanan kepada Sang Pencipta atas rahmat yang telah diterima, dan diwujudkan dengan Upacara Sedekah Laut. Upacara ini berupa persembahan kepada Sang Pencipta yang diwujudkan dalam bentuk beraneka ragam makanan dan benda-benda berharga yang ditempatkan di dalam perahu, kemudian dilabuhkan/dilepas ke tengah laut. Kegiatan ini melibatkan banyak pengunjung, yaitu masyarakat sekitar kawasan yang terlibat secara langsung mengikuti kegiatan ini, maupun pengunjung yang ingin menyaksikannya, karena acara ini sudah diagendakan sebagai sajian wisata oleh Pemerintah Kabupaten. Untuk itu di sekitar kawasan di tepi dermaga diperlukan ruang terbuka yang cukup luas dan memiliki akses langsung ke arah laut. Karena secara spesifik fasilitas ruang terbuka tersebut tidak tersedia di sekitar kawasan, maka masyarakat
59 memanfaatkan ruang fasilitas pendaratan ikan di depan Tempat Pelelangan Ikan n (TPI) untuk menyelenggarakan Upacara U Sedekah Laut ini. Dari kenyataan tersebut, rsebut, terbukti bahwa kondisi sosial budaya budaya di sekitar kawasan membawa pengaruh yang cukup besar bagi pembentukan pola tata ruang pemukiman di sekitar kawasan. Dalam alam kenyataannya pola ruang adalah sangat terintegrasi secara era erat dengan kelompok manusia dan segala kegiatannya.
Gambar 2.2 Aktifitas masyarakat yang berhubungan dengan setting ruang pada pemukiman pemukiman
Sumber: YD Ekaputra - 2012 - ejournal.unpand.ac.id
2.2.4 Sustainable Ecology Ekologi Ekologi adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara organisme dengan lingkungannya dan yang lainnya. Berasal dari kata Yunani oikos ("habitat") dan logos ("ilmu"). Ekologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari baik interaksi antar makhluk hidup maupun interaksi antara
60 makhluk hidup dan lingkungannya. Dalam ekologi, kita mempelajari makhluk hidup sebagai kesatuan atau sistem dengan lingkungannya. Pembahasan ekologi tidak lepas dari pembahasan ekosistem dengan berbagai komponen penyusunnya, yaitu faktor abiotik dan biotik. Faktor biotik antara lain suhu, air, kelembapan, cahaya dan topografi, sedangkan faktor biotik adalah makhluk hidup yang terdiri dari manusia, hewan, tumbuhan dan mikroba. Ekologi juga berhubungan erat dengan tingkatantingkatan organisasi makhluk hidup, yaitu populasi, komunitas dan ekosistem yang saling mempengaruhi dan merupakan suatu sistem yang menunjukkan kesatuan. Ekosistem Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Ekosistem bisa dikatakan juga suatu tatanan kesatuan secara utuh dan menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi. Dalam rangka penyusunan kebijakan dan strategi pengelolaan lingkungan perlu memahami konsep dasar ekologi. Lebih spesifik lagi setelah kita dapat memahami konsep ekologi dapat digunakan untuk melakukan identifikasi karakteristik ekologi melalui penelusuran proses ekologi. Proses ekologi dalam suatu wilayah ekosistem dapat diidentifikasi melalui hubungan antara komponen lingkungan biofisik dan komponen lingkungan sosialbudaya, seperti digambarkan secara ringkas pada Gambar 2.3.
61
Gambar 2.3 Hubungan antara komponen lingkungan l ngkungan biofisik dan komponen lingkungan sosial-budaya
Sumber: Prof Dr Ir Soemarno MS Bahan kajian MK. Dinamika Pengembangan Wilayah PM pslp-ppsub 2011
Terjadinya penurunan/degradasi kualitas lingkungan adalah akibat exploitasi lingkungan hidup yang menyimpang (malpraktek) melegalkan upaya pemanfaatan lahan yang sebenarnya merupakan kawasan kawasan yang harus dilindungi atau pun ruang terbuka hijau. Meluasnya lahan kritis, miskin dan terlantar, lahan miring dan tebing sungai longsor, banjir yang melanda di permukiman dan perumahan, kekeringan di bagian hulu, pencemaran pencemaran dan kontaminasi air tanah serta erta merosotnya kesehatan ehatan dan sanitasi lingkungan. Dampak dari malpraktek tersebut meluas menimpa kembali kehidupan manusia dan akhirnya dapat menurunkan kualitas sumberdaya manusia.
Gambar 2.4 Komponen utama dalam pengelolaan ekosistem e
Sumber: Prof Dr Irr Soemarno MS Bahan kajian MK. Dinamika Pengembangan Wilayah PM pslp-ppsub 2011
Ketiga komponen pembentuk lingkungan tidak terpisah, namun membentuk satu kesatuan lokalitas dalam suatu ekosistem bentanglaha bentanglahan, sumberdaya alam potensial serta kawasan budidaya dan non-budidaya budidaya
62 merupakan input alam (given), sumberdaya manusia potensial tergantung pada tingkat penguasaan tekno-budaya (cultural ecology), dampak exploitasi lingkungan akibat penyalahgunaan praktek pemanfaatan lahan (malpraktek). Pendekatan ekologi pada perancangan arsitektur Ada berbagai cara yang dilakukan dari pendekatan ekologi pada perancangan arsitektur, tetapi pada umumnya mempunyai inti yang sama, antara lain: Yeang (2006), me-definisikannya sebagai: Ecological design, is bioclimatic design, design with the climate of the locality, and low energy design. Yeang, menekankan pada integrasi kondisi ekologi setempat, iklim makro dan mikro, kondisi tapak, program bangunan, konsep design dengan sistem yang tanggap pada iklim, penggunan energi yang rendah, diawali dengan upaya perancangan secara pasif dengan mempertimbangkan bentuk, konfigurasi, façade, orientasi bangunan, vegetasi, ventilasi alami dan warna. Integrasi tersebut dapat tercapai dengan mulus dan ramah, melalui 3 tingkatan yaitu yang pertama integrasi fisik dengan karakter fisik ekologi setempat, meliputi keadaan tanah, topografi, air tanah, vegetasi, iklim dan sebagainya. Kedua, integrasi sistim-sistim dengan proses alam, meliputi cara penggunaan air, pengolahan dan pembuangan limbah cair, sistim pembuangan dari bangunan dan pelepasan panas dari bangunan dan sebagainya. Yang ketiga adalah integrasi penggunaan sumber daya yang mencakup penggunaan sumber daya alam yang berkelanjutan. Aplikasi dari ketiga integrasi tersebut, dilakukannya pada perancangan tempat tinggalnya.
Wetlands Lahan Basah adalah kawasan yang terletak di zona peralihan antara
daratan yang kering secara permanen dan perairan yang berair secara
63 permanen (Maltby,1991 Dalam Khiatudin.2003). Menurut EPA lahan basah adalah suatu area dimana air selalu menutupi tanah, baik dimasa saat ini maupun di sebagian besar waktu dalam setahun, termasuk pada musim pertumbuhan (EPA,2006). Jenis-jenis lahan basah (wetland) tergantung dari perbedaan regional dan lokal pada tanah, topografi, iklim, hidrologi, kualitas air, vegetasi dan berbagai faktor lain termasuk juga aktifitas manusia. Dua jenis umum lahan basah yang dikenal yaitu tidal wetland dan nontidal wetland. 1.
Tidal wetland: adalah lahan basah yang berhubungan dengan estuari, dimana air laut bercampur dengan air tawar dan membentuk lingkungan dengan bermacam-macam kadar salinitas. Fluktuasi pemasukan air laut yang tergantung pada pasang surut seringkali menciptakan lingkungan yang sulit bagi vegetasi, salah satu yang dapat beradaptasi disini adalah tumbuuhan mangrove dan beberapa tanaman yang tahan terhadap salinitas.
2.
Non-tidal wetland: adalah lahan basah yang biasanya berada di sepanjang aliran sungi, di bagian yang dangkal dikelilingi oleh tanah kering. Keberadaannya tergantung musim, dimana mereka akan mengering pada satu atau beberapa musim di setiap tahunnya. Tipe ini bisa di ditemui di Amerika atau Alaska. (EPA,2006) Lahan basah buatan Lahan
basah
buatan
adalah
suatu
sistem
perawatan
yang
mempergunakan proses alamiah yang melibatkan vegetasi lahan basah, tanah dan mikrobakteri yang berasosiasi di dalamnya dengan tujuan memperbaiki kualitas air (EPA,2004). Lahan Basah buatan memiliki banyak fungsi
64 diantranya untuk filtrasi air. Ketika aliran air melewati lahan basah, mereka akan berjalan perlahan dan sebagian besar bahan pencemar akan terjerab oleh vegetasi untuk kemudian terangkat atau berubah bentuk menjadi lebih tidak berbahaya. Tumbuhan yang hidup dalam lahan basah membutuhkan unsur hara yang terkandung dalam air. Jika yang tertahan adalah air yang mengandung bahan pencemar berbahaya bagi lingkungan namun bermanfaat bagi tumbuhan, maka bahan itu akan diserapnya (Wong, 1997). Lahan basah memindahkan polutan dari perairan melibatkan proses yang komplek antara aspek biologi, fisika dan kimia. Pengambilan nutrient oleh tumbuhan tingkat tinggi dan penyimpanan logam berat di dalam akar adalah komponen biologi yang paling nyata pada ekosistem lahan basah (Orson 1992; Rai 1995 dalam Wong 1997). Dalam pengambilan polutan oleh tumbuhan, transformasi bakteri dan proses fisika-kimia termasuk adsorpsi, presipitasi dan sedimentasi dalam tanah dan rhizospere di zona akar adalah mekanisme utama untuk pengangkatan bahan pencemar (Wong,1997). Ditinjau secara fisik, kimiawi dan biologis, peran lahan basah dalam proses penghilangan bahan pencemar dari air limbah terjadi menurut salah satu proses berikut (Wildeman dan Laudon 1989 dalam Khiatudin,.2003) 1.
Penyaringan bahan tersuspensi dan koloida yang terdapat dalam air.
2.
Asimilasi bahan pencemar ke dalam jaringan akar dan daun tumbuhan hidup.
3.
Pengikatan atau pertukaran bahan pencemar dengan tanah lahan basah, bahan tanaman hidup, bahan tanaman mati dan bahan alga hidup.
4.
Presipitasi dan netralisasi melalui pembentukan NH3 dan HCO3 dari penguraian bahan biologis karena kegiatan bakteri.
65 5.
Presipitasi logam di lapisan oksidasi dan reduksi yang dikatalisir oleh aktivitas bakteri. Jenis lahan basah buatan Menurut jenis aliran air, lahan basah buatan secara umum digolongkan
dalam dua bentuk yaitu aliran horisontal dan aliran vertikal. Dalam sistem aliran horisontal, air memasuki lahan dari satu titik, mengalir dalam lahan buatan, kemudian keluar dari titik di ujung lahan basah. Sedangkan pada aliran vertikal, air merembes atau mengalir secara vertikal baik dari atas ke arah bawah atau dari bawah ke arah atas sistem untuk keluar dari sistem. Lahan basah buatan aliran horisontal digolongkan menjadi: 1.
Lahan basah buatan yang airnya mengalir di atas permukaan tanah.
2.
Lahan basah buatan yang airnya mengalir lewat substrat tempat tanaman air.
3.
Kombinasi bentuk 1 dan 2.
4.
Lahan basah buatan hidroponik aliran tipis tanpa substrat.
Gambar 2.5 Jenis-jenis lahan basah buatan aliran horisontal
Sumber: Maulida Khiatudin,2003
66 Lahan basah buatan aliran vertikal digolongkan menjadi: menjadi 1.
Aliran vertikal menurun. Air masuk dari permukaan, merembes ke substrat hingga mencapai dasar untuk keluar dari sistem.
2.
Aliran vertikal menanjak. Air disalurkan melaui pipa kamud kamudian keluar melalui saluran yang terletak di permukaan substrat. (Khiatudin,2003) Diantara tanaman akuatik yang cocok c ditanam di areal air tawar adalah
sagu. Sedangkan tanaman bakau dan nipah untuk air payau.
Gambar 2.6 Contoh penerapan lahan basah buatan uatan di area tambak iikan
Sumber: Maulida Khiatudin,2003
Tanaman mangrove pada tidal wetland sebagai biodiversity pesisir Bakau atau mangrove adalah salah satu tanaman tanaman yang mampu beradaptasi dengan baik dalam lingkungan air, bahkan air payau maupun asin. Endapan yang dihanyutkan oleh air dari daratan merupakan substrat tempat tumbuh yang yan sangat cocok bagi tanaman ini. Kemampuan berbagai
67 spesies bakau beradaptasi dengan lingkungan basah berbeda-beda. Di endapan lumpur yang terendam secara permanen hanya spesies Rhizopora Mucronata yang mampu hidup. Di endapan yang terendam secara periodik ketika air pasang ukuran menengah, spesies yang mendominasi adalah Avicennia sp, Soneratia griffithii dan Rhizopora (di pinggiran air). Di endapan yang dibanjiri oleh air pasang besar normal, semua spesies dapat hidup tetapi yang mendominasi adalah Rhizopora. Di lahan oleh air pasang bulan purnama atau bulan gelap, spesies yang utama adalah Bruguiera gymnorphyza dan Bruguiera cylindrica, Ceriops sp. Sementara di lahan yang hanya dibanjiri oleh air pasang ekuinoks atau air pasang yang tinggi sekali ketika bersamaan dengan banjir dari hulu, spesies Bruguiera gymnophora dominan dan disertai oleh Rhizopora apiculata dan Xylocarpus granatum ( Knox 2001 Dalam Khiatudin 2003). 2.3
Hubungan Definisi Dan Landasan Terhadap Perancangan (Bahasan 2.2) Dengan Permukiman Kumuh Serta Rob Atau Abrasi Pada suatu wilayah permukiman pesisir yang mempunyai permasalahan menyangkut kekumuhan (akibat faktor non alam) dan rob atau abrasi (akibat faktor alam), maka perlu adanya tindak pembangunan/pengembangan secara berkelanjutan (sustainable development). Sebagai bentuk pemecahan masalahnya yaitu dengan redevelopment/pembangunan kembali (karna bangunan yang ada sudah tidak dapat dipertahankan lagi keberadaanya) yang model penangananya ke arah pembangunan horizontal/vertikal (agar mempunyai residual land) sebagai bentuk pemecahan permasalahan menyangkut kekumuhan. Untuk pemecahan permasalahan menyangkut rob atau abrasi sebagaimana dari hasil kajian terhadap 10 macam jurnal
68 yang sudah terlampir pada bab I (bahasan tinjauan pustaka), maka dapat disimpulkan alternatif konsep sebagai penangananya yaitu konsep panggung (ditinjau lagi dengan kondisi eksisting yang ada). Agar
terciptanya
suatu
pembangunan/pengembangan
wilayah
permukiman pesisir yang baik, maka hal-hal yang perlu dikaji sebagai acuan adalah sebagai berikut: 1.
Permukiman pesisir. Melingkupi: Karakteristik fisik lingkungan, karakteristik perumahan dan permukiman, karakteristik sarana dan prasarana lingkungan pesisir. Sebagai acuan terhadap permukiman pesisir yang ingin dibangun.
2.
SNI. Sebagai tolak ukur maupun acuan mengenai ketentuan perencanaan lingkungan permukiman pesisir yang terintegrasi dengan pusat perkotaan.
3.
Tipologi pesisir Indonesia dan karakteristiknya. Sebagai acuan penilaian terhadap jenis pesisir pada wilayah yang ingin dibangun.
4.
Nelayan. Melingkupi: Pemahaman mendalam mengenai kondisi sosial, budaya dan ekonomi. Sebagai acuan dan penyesuaian terhadap permukiman pesisir yang ingin dibangun. Setelah empat hal diatas dikaji secara mendalam, permukiman pesisir
yang akan dibangun nantinya harus melakukan pendekatan secara ekologi, agar ekosistem pesisir setempat (mangrove) nantinya akan tetap memberikan interaksi yang menguntungkan bagi penduduknya. Hal-hal yang perlu dikaji menyangkut sustainable ecology pesisir yaitu: -
Wetlands (lahan basah) 1. Jenis-jenis wetland.
69 2. Tanaman mangrove pada tidal wetlands sebagai biodiversity pesisir. Kedua hal tersebut perlu dikaji menyangkut pendekatan sustainable ecology, adalah sebagai acuan dan pilihan mengenai interaksi vegetasi mangrove apa yang cocok
dan dikembangkan, serta nantinya akan
dikombinasikan terhadap wilayah permukiman pesisir yang akan dibangun. 2.4
Kaitan Teori Dengan Pemecahan Masalah Dasar dalam menentukan arah pembangunan/pengembangan bangunan: Zhand (1999; 24), mengungkapkan tiga cara perkembangan dasar dalam pembangunan yaitu sebagai berikut: -
Perkembangan Horisontal Cara perkembangan mengarah keluar, artinya daerah bertambah sedangkan ketinggian dan kuanitas lahan terbangun (coverage) tetap sama. Terjadi pada daerah pinggiran.
-
Perkembangan Vertikal Cara perkembangannya mengarah keatas. Artinya daerah pembangunan dan kuantitas lahan tetap, sedangkan ketinggian bangunan bertambah.
-
Perkembangan Interstisial Cara perkembangan dilangsungkan ke dalam. Artinya daerah dan ketinggian bangunan tetap, kuantitas lahan terbangun bertambah. Terjadi transisi antara pusat dan pinggiran kota.
Alternatif pertama Dengan notabene wilayah Desa Tanjung Pasir yang dikategorikan
sebagai kawasan permukiman yang terintegrasi dengan pusat perkotaan dan pusat pelayanan kawasan sekitar wilayah kabupaten, maka penerapan dari teori perkotaan boleh diterapkan dalam mengatasi permasalahan yang ada.
70 Teori pembentuk pola stuktur ruang kawasan Trancik 1986, merumuskan tiga kategori teori yang secara serial membentuk pola stuktur ruang yang dapat digunakan untuk menganalisis hubungan dan pergerakan, struktur dan dimensi aktivitas.yaitu: -
Figure-ground (konfigurasi solid dan void) Teori tentang figure/ground didapatkan melalui studi mengenai hubungan tekstural antara bangunan (building mass) dan ruang terbuka (open space) sebagai bentuk solid (figure) serta open void (ground).
-
Linkage (penghubung) Merupakan analisis melalui pergerakan dan aktivitas yang dapat menegaskan hubungan dalam suatu tata ruang. Teori ini menjelaskan hubungan solid-voids dalam sistem pergerakan dan antar kawasan yang kenyataannya diwujudkan berupa jalan, jalur pedestrian atau ruang terbuka lainnya. Linkage ini tidak hanya membentuk ruang luar tetapi juga membentuk struktur kota karena akhirnya diwujudkan dalam jaringan jalan, pola pergerakan dan sirkulasi.
-
Place (tempat) Teori place lebih menekankan faktor-faktor kultural (budaya) dan historis
(sejarah).
Dengan
demikian,
teori
place
memberikan
perwujudan bentuk-bentuk lokal. Bentuk-bentuk bangunan dan elemenelemen (focal point) tidak hanya sebagai bentuk-bentuk enclosure, tetapi merupakan bentuk-bentuk yang cocok bagi potensi masyarakat, sehingga masyarakat dapat menerima nilai-nilai sosiokultural tersebut. Menurut Trancik (1986), mengemukakan bahwa teori place merupakan
71 kombinasi antara teori figure-ground dan linkage yang menekankan fisik dan visual pada aspek sosial dan budaya serta sejarah.
Alternatif kedua Isu utama dalam habitat agenda II,
-
Perumahan Layak untuk Semua/Adequate Shelter for All.
-
Permukiman yang Berkelanjutan/Sustainable Human Settlement. Pedoman perumahan dan permukiman di Indonesia: Berlandaskan UU No.4/1992 mengenai perumahan dan permukiman,
telah dikeluarkan kebijakan dan strategi nasional perumahan dan permukiman (KSNPP) pada tahun 1999 sebagai suatu pedoman penyusunan kebijakan teknis, perencanaan, pemrograman dan kegiatan yang terkait dengan perumahan dan permukiman. Teori penataan dan pengembangan kawasan dengan interaksi dua arah (Man–Environment Studies) Man-Environment Studies, yaitu sebuah studi mengenai hubungan saling
menguntungkan
(mutual interaction) antara manusia dengan
lingkungan terbangun di sekitarnya (3 variabel): 1.
Karakteristik manusia sebagai pembentuk karakter lingkungan.
2.
Lingkungan fisik dan manusia.
3.
Mekanisme yang menghubungkan antara manusia dengan lingkungan dalam interaksi dua arah. Ada beberapa aspek fundamental yang melengkapi organisasi
keruangan (Rapoport,1977), yaitu:
72 1.
Tatanan Ruang -Organization of space yaitu merupakan tatanan lingkungan dan menciptakan hubungan antara manusia dengan lingkungannya.
2.
Tatanan berdasarkan Makna -Organization of meaning.
3.
Tatanan berdasarkan Waktu -Organization of time.
4.
Tatanan berdasarkan Komunikasi -Organization of communication. Definisi dan prinsip teori empiris praktis Penataan merupakan sebuah kegiatan membentuk benda, energi dan
proses menuju sebuah kebutuhan dan keinginan yang dimiliki seorang atau sekelompok manusia (Van DerRyn, 1996). Prinsip sustainable memiliki poin-poin sebagai acuan dalam melakukan analisa potensi, penataan dan pengembangan di masyarakat (Vales,1991): -
Efisiensi energi (Conserving Energy)
-
Penyesuaian terhadap iklim (Working with Climate)
-
Membudayakan daur ulang (Minimizing New Resources)
-
Menghargai pengguna (Respect for Users)
-
Menghargai lingkungan (Respect for Site)
-
Menyeluruh (Holism) Definisi dan prinsip teori fenomenologi Pada dasarnya berbagai pola penciptaan tempat menghasilkan karakter
permukiman menjadi beberapa tipe dasar dari organisasi ruang berikut (Norberg-Schulz, 1971): 1.
Tipe dasar Cluster.
2.
Tipe dasar Row.
3.
Tipe dasar Enclosure.
73 Karakter permukiman dapat dilihat dari organisasi ruang permukiman (Rapoport,1977): 1.
Orientasi permukiman mengelilingi central space.
Gambar 2.7 Dwelling Surrounding The Central Space; Terdapat bermacam bentuk pola permukiman dengan organisasi yang mirip
Sumber: Studi Kasus Permukiman Nelayan Laino Pantai, Laiworu Kab.Muna
2.
Orientasi permukiman menyusuri jalan/along the streets. Terdapat dua macam organisasi dalam orientasi ini, yaitu rumah berada disepanjang jalan dan berseberangan dengan rumah lain atau rumah berada disepanjang jalan dan berseberangan dengan unsur air (waterfront). ).
Gambar 2.8 Street related housing (kiri) dan Waterfront housing (kanan)
Sumber: Studi Kasus Permukiman Nelayan Laino Pantai, Laiworu Kab.Muna
3.
Orientasi kearah dalam (inside-out city)
Gambar 2.9 The inside-out inside city; Orientasi ke dalam memiliki domain privat-publik publik
Sumber: Studi Kasus Permukiman Nelayan Laino Pantai, Laiworu Kab.Muna
74 •
Pembahasan mengenai teori alternatif kedua terhadap acuan perancangan permukiman pesisir
-
Orientasi waterfront, yaitu orientasi permukiman yang terhubung langsung dengan jalan dan unsur air akan sangat mendukung pekerjaan nelayan tangguh.
-
Orientasi inside-out (terbalik/kedalam) akan sangat mendukung pekerjaan pengolah ikan, karena central space yang menjadi orientasi kedalam dapat menjadi ruang pengolahan ikan.
-
Kedua orientasi tersebut tergabung dalam komposisi berulang dalam organisasi ruang.
Gambar 2.10 Orientasi Waterfront (kiri), Orientasi Inside-out (tengah) dan Komposisi Berulang Dalam Organisasi Ruang (kanan)
Sumber: Rapoport, 1977
75 2.5
Kerangka Berpikir
JUDUL TUGAS AKHIR PERMUKIMAN PESISIR DENGAN PENDEKATAN EKOLOGI BERKELANJUTAN DI TANJUNG PASIR
Latar Belakang Masalah 1.
Desa Tanjung Pasir merupakan permukiman yang termasuk dalam kategori kumuh (non alam)
2.
Di wilayah permukiman Desa Tanjung Pasir menjadi langganan terkena rob atau abrasi (alam)
Maksud Dan Tujuan Penataan kembali Desa Tanjung Pasir dengan konsep permukiman yang dapat menyelesaikan masalah rob atau abrasi dengan pola mangrove sebagai interaksi yang menguntungkan.
Permasalahan 1.
Permukiman warga tidak tertata dan padat serta tidak layak dari segi sanitasi.
2.
Permukiman warga sangat sering terkena rob atau abrasi dengan ketinggian air ± 60-120 cm.
Analisa Mengumpulkan data–data permasalahan berdasarkan observasi/survey lapangan, interview, studi literatur dan membaca teori–teori mengenai permukiman pesisir yang mempunyai permasalahan kekumuhan dan rob atau abrasi serta sustainable ecology.
Konsep Bangunan Dan Lingkungan Sustainable dan tetap menjaga budaya nelayan yang telah terbentuk sejak lama.
SKEMATIK DESAIN
PERANCANGAN
76 2.6
Hipotesis Teori yang cocok diterapkan pada permukiman Desa Tanjung Pasir yang mempunyai masalah dengan kekumuhan dan rob atau abrasi ialah penggabungan teori Amos Rapoport 1977 (Human Aspects of Urban Form: Towards a Man-Environment Approach to Urban Form and Design) dengan teori Roger Trancik 1986 (Finding Lost Space: Theories of Urban Design), sebagaimana kajian yang sudah diuraikan pada Kaitan Teori Dengan Pemecahan Masalah (pembahasan 2.4) diatas, serta penerapan teori dari Yeang 2006 (Ecological design, is bioclimatic design, design with the climate of the locality, and low energy design) kepada tiap-tiap huniannya.
Gambar 2.11 Pemetaan daerah Desa Tanjung Pasir (Kampung Garapan)
Sumber: Hasil Olahan Peneliti
2.7
Studi Banding Studi banding ini mengambil area permukiman pesisir terbaik di berbagai daerah didalam maupun diluar Indonesia. Penentuan lokasi studi banding didasari oleh permukiman pesisir yang tertata dan dijadikan daya tarik dari berbagai aspek serta dapat menjaga interaksi dengan ekosistem sekitar (mangrove) sehingga terhindar dari permasalahan alam maupun non alam. Sebagai perbandingan untuk menentukan desain permukiman pesisir dengan pendekatan sustainable ecology. Disajikan dalam bentuk tabel:
77 NO
1
2
3
4
LOKASI
Kalimantan Timur (Bontang Kuala)
HongKong (Tai-O fishing village)
Kepulauan Seribu (Pulau Untung Jawa)
Holland Utara (Semenanjung Marken)
JENIS PERMUKIMAN
Permukiman nelayan
Permukiman masyarakat nelayan Tanka
Permukiman nelayan dengan fungsi campuran sebagai home stay wisata
Desa nelayan yang dikembangkan ke arah fungsi wisata
KONSEP
Sustainable dengan permukiman panggung
Sustainable dengan permukiman panggung yang berinteraksi dengan tumbuhan mangrove
Permukiman nelayan dibalut secara modern dari segi desain hunian
Sustainable ecology ology + sustainable culture + Sustainable economy
ACUAN
Permukiman yang sangat tertata, bersih, modern tetapi sangat kontekstual serta berkelanjutan secara ekologi
Kombinasi antara permukiman tradisional dengan permukiman modern yang saling berhubungan sehingga membuat suatu komunitas
Pengembangan pola permukiman nelayan ke arah perkerasan tetapi tetap menjaga ekosistem mangrove yang ada, sehingga terciptanya permukiman yang sehat dari segi sanitasi
Permukiman ya yang sangat baik dari segi sanitasi, modern tetapi sustainable culture’nya sangat terasa
HASIL BAHASAN
Permukiman nelayan dapat dijadikan sebagai pengembangan wisata komersial sebagai peningkatan perekonomian penduduknya
Permukiman masyarakat Tanka yang menyesuaikan konsep permukiman dengan masalah pasang surut air laut
Pengembangan permukiman nelayan Pulau Untung Jawa dinilai sangat berhasil, sehingga dapat meningkatan kesejahteraan penduduknya
Desa nelayan yang sangat berhasil membalut unsur tradisional dengan unsur modern. Tetapi masih sangat terasa culture’nya itu sendiri
LAYOUT
Sumber: Hasil Olahan Peneliti
78 2.8
Sistematika Pembahasan TUJUAN Peremajaan permukiman pesisir Desa Tanjung Pasir dengan konsep panggung dan sustainable housing serta dengan pendekatan interaksi mangrove
Pendahuluan - Permasalahan umum yang terdapat pada permukiman pesisir - Penjelasan pemilihan lokasi - Permasalahan di lokasi
Landasan Teori - Penjabaran mengenai lingkup sustainable development (redevelopment, model penanganan permukiman kumuh dan pembangunan/pengembangan permukiman ke arah horizontal/vertikal), permukiman pesisir dan budaya nelayan serta sustainable ecology (lahan basah, mangrove dan keanekaragaman ekosistem pesisir) - Teori-teori yang berkaitan
Metode Penelitian - Cara pengumpulan data - Proses pengolahan data
-
Hasil Dan Bahasan Analisa Manusia Karakteristik Penduduk Sosial-Ekonomi-Budaya Penduduk Struktur Penduduk Aktifitas &Waktu Kegiatan Status Kepemilikkan
-
Analisa Lingkungan Sirkulasi dalam tapak Pencapaian tapak Kegiatan sekitar tapak Sosial-Ekonomi-Budaya sekitar Matahari Angin Kebisingan Utilitas tapak
-
-
-
Analisa Tapak & Bangunan Zoning tapak Zoning bangunan Orientasi massa Sirkulasi dalam tapak (Pola jalan, Pola hijau dan Pola penyebaran fasilitas) Tipe unit hunian Modul struktur Utilitas Block Plan
Kesimpulan Dan Saran
BAB 1 Latar Belakang Permasalahan & Latar Belakang Pemilihan Lokasi
BAB 2 Teori terkait penyelesaian permasalahan & Hipotesis
BAB 3 Proses mencari data
BAB 4 Analisa data-data disertai kesimpulan sementara
BAB 5 Rangkuman dari hasil analisa dan saran bagi peneliti selanjutnya