39
BAB II LANDASAN TEORI
A. INTENSI MEMBELI 1. Definisi Intensi Teori perilaku berencana merupakan pendekatan teoritis yang digunakan untuk menjelaskan intensi dalam penelitian ini. Penelitian ini menggunakan teori ini karena selain teori ini paling tepat untuk meramalkan perilaku (Ajzen, 2005) juga dapat menjelaskan dinamika yang terjadi pada diri konsumen ketika akan melakukan perilaku pembelian berkaitan erat dengan tiga determinan yang mempengaruhi intensi tersebut. Teori perilaku berencana adalah perluasan dari teori perilaku beralasan yang dikemukakan oleh Fishbein dan Ajzen (Azwar, 2005). Menurut Ajzen (2005) berdasarkan teori perilaku berencana, intensi merefleksikan keinginan individu untuk mencoba menetapkan perilaku, yang terdiri dari tiga determinan, yaitu: a. Sikap Terhadap Perilaku Sikap terhadap perilaku dipengaruhi oleh keyakinan bahwa perilaku tersebut akan membawa kepada hasil yang diinginkan atau tidak diinginkan. Individu yang memiliki keyakinan yang positif terhadap suatu perilaku akan memiliki kecenderungan untuk melakukan tindakan tersebut. Atau dengan kata lain, sikap yang mengarah pada perilaku ditentukan oleh konsekuensi
13
Universitas Sumatera Utara
40
yang ditimbulkan oleh perilaku, yang disebut dengan istilah keyakinan terhadap perilaku. b. Norma Subjektif Keyakinan mengenai perilaku apa yang bersifat normatif ( yang diharapkan orang lain) dan motivasi untuk bertindak sesuai dengan harapan normatif tersebut membentuk norma subjektif dalam individu. Keyakinan yang mendasari norma subjektif yang dimiliki individu disebut sebagai keyakinan normatif. Individu memiliki keyakinan bahwa individu atau kelompok tertentu akan menerima atau tidak menerima tindakan yang dilakukannya. Apabila individu meyakini apa yang menjadi norma kelompok, maka ia akan mematuhi dan membentuk perilaku yang sesuai dengan kelompoknya. Dapat disimpulkan, bahwa norma kelompok inilah yang membentuk norma subjektif dalam diri individu, yang akhirnya akan membentuk perilakunya. c. Kontrol Perilaku Yang Disadari Kontrol perilaku merupakan keyakinan tentang ada atau tidaknya faktorfaktor yang memfasilitasi dan menghalangi performansi perilaku individu. Kontrol perilaku ditentukan oleh pengalaman masa lalu dan perkiraan individu mengenai seberapa sulit atau mudahnya untuk melakukan perilaku yang bersangkutan. Keyakinan ini didasari oleh pengalaman terdahulu tentang perilaku tersebut, yang dipengaruhi oleh informasi dari orang lain, misalnya dari pengalaman orang-orang yang dikenal/teman-teman. Selain itu
Universitas Sumatera Utara
41
juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang meningkatkan atau mengurangi kesulitan yang dirasakan jika melakukan tindakan atau perilaku tersebut. Kontrol perilaku ini sangat penting artinya ketika rasa percaya diri seseorang sedang berada dalam kondisi lemah. Menurut teori perilaku berencana, keyakinan-keyakinan berpengaruh pada sikap terhadap perilaku tertentu, pada norma-norma subjektif, dan pada kontrol perilaku yang dihayati. Ketiga komponen ini berinteraksi dan menjadi determinan bagi intensi yang pada gilirannya akan menentukan apakah perilaku yang bersangkutan akan dilakukan atau tidak (Azwar, 2005). Intensi secara akurat dapat memprediksi kesesuaian perilaku. Intensi juga merupakan anteseden pada perilaku yang tampak. Ajzen juga mengatakan bahwa korelasi antara intensi dengan perilaku lebih kuat dibandingkan dengan faktorfaktor anteseden lainnya. Berdasarkan pendapat ini, validitas prediksi intensi terhadap perilaku secara signifikan lebih baik daripada sikap (Ajzen, 2005)
2. Definisi Intensi Membeli Intensi membeli merupakan salah satu intensi berperilaku. Mowen dan Minor (2002) mengatakan bahwa intensi perilaku berkaitan dengan keinginan konsumen untuk berperilaku menurut cara tertentu guna memiliki, membuang, dan menggunakan produk. Selain itu Horton (1984) mengatakan bahwa dalam istilah intensi terkait 2 hal berbeda yang saling berhubungan yaitu : kecenderungan untuk membeli dan rencana dari keputusan membeli. Jadi pada dasarnya intensi membeli dapat diartikan sebagai kecenderungan untuk membeli merek tertentu,
Universitas Sumatera Utara
42
dimana didalamnya terdapat rencana untuk membeli. Menurut Peter dan Olson (2002) intensi membeli didasari atas sikap konsumen yang mengarah pada pembelian merek spesifik, norma subjektif yang mempengaruhi harapan individu. Sikap konsumen yang mengarah pada pembelian merek spesifik didasari atas tujuan akhir yang terikat dengan kepercayaan mengenai konsekuensi dan nilai yang diasosiasikan dengan perilaku membeli atau menggunakan merek. Sedangkan norma subjektif mengacu pada faktor sosial berupa keyakinan mengenai perilaku apa yang bersifat normatif (harapan orang lain) dan motivasi untuk bertindak sesuai dengan norma. Kemudian Ajzen (2005) menambahkan aspek kontrol perilaku yang dihayati yaitu keyakinan tentang ada atau tidaknya faktor-faktor yang memfasilitasi dan menghalangi performansi perilaku individu dan kekuatan kontrol individu untuk mewujudkan perilakunya. Jadi intensi membeli dapat diartikan sebagai kecenderungan untuk membeli merek tertentu. Intensi membeli di dalamnya terkandung makna rencana individu atau kelompok untuk membeli, rencana ini dipengaruhi oleh evaluasi individu atas perilaku, harapan orang lain atas perilaku dan potensi untuk mewujudkan perilakunya. Oleh karena itu intensi membeli ini dapat digunakan sebagai prediktor dari perilaku membeli.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi intensi Faktor – faktor yang mempengaruhi intensi adalah latar belakang individu sebagai berikut (Azjen, 2005) : a. Faktor pribadi, yaitu : sikap, kepribadian , nilai, kondisi emosi, intelegensi.
Universitas Sumatera Utara
43
b. Faktor sosial, yaitu : usia, jenis kelamin, ras dan etnis, pendidikan, pendapatan, religi/kepercayaan. c. Informasi, yaitu : pengalaman, pengetahuan, media. Individu
tumbuh dalam
membutuhkan informasi
lingkungan
sosial
yang
berbeda-beda
dan
tentang beberapa hal, informasi yang diperoleh
mendasari keyakinan mereka tentang konsekuensi suatu perilaku, tentang harapan-harapan normatif dari lingkungan sosial, dan juga tentang hambatanhambatan yang dapat mencegah mereka untuk membentuk perilaku berdasarkan intensi yang dimilikinya. Bila digambarkan secara skematis, maka faktor-faktor yang mempengaruhi serta proses terjadinya intensi dapat dilihat pada gambar 1 sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
44
Latar Belakang Individu Faktor pribadi Sikap Kepribadian Value (nilai) Kondisi emosi Intelegensi Faktor sosial Usia, jenis kelamin Ras dan Etnis Pendidikan Pendapatan Religi/kepercayaan
Keyakinan perilaku
Keyakinan normatif
Sikap terhadap perilaku
Norma subjektif
In
Informasi Pengalaman Pengetahuan Media
Keyakinan akan kontrol perilaku
Kontrol Perilaku yang dihayati
Gambar 1. Peran Faktor Latar Belakang dalam Teori Perilaku Berenc
Universitas Sumatera Utara
45
B. Persepsi Terhadap Cause-related marketing 1. Definisi Persepsi Mowen (2001) menyebutkan bahwa tahap pemaparan, perhatian dan pemahaman sebagai persepsi. Persepsi ini bersama keterlibatan konsumen dan memori akan mempengaruhi pengolahan informasi. Selanjutnya persepsi didefenisikan sebagai suatu proses di mana individu diekspos untuk menerima informasi, memperhatikan informasi tersebut, dan memahaminya. Menurut Kotler (2000) persepsi adalah proses seorang individu memilih, mengorganisasikan
dan
menafsirkan
masukan-masukan
informasi
untuk
menciptakan gambaran yang bermakna tentang dunia. Persepsi bukan hanya tergantung pada sifat-sifat rangsangan fisik, tetapi juga pada hubungan rangsangan medan disekelilingnya dan kondisi dalam individu. Selanjutnya Munandar (2001) menambahkan bahwa persepsi merupakan bagian dari proses kognitif. Proses ini dimulai dengan proses seleksi dari beberapa stimulus. Kemudian, individu memaknai stimulus yang telah ia pilih dalam proses seleksi. Menurut Schiffman dan Kanuk
(2000)
persepsi adalah proses seorang
individu memilih, mengorganisasikan dan menafsirkan stimulus menjadi gambaran dunia yang bermakna dan berhubungan. Dua orang konsumen yang menerima dan memperhatikan suatu stimulus yang sama, mungkin akan mengartikan stimulus tersebut berbeda. Proses seseorang memahami stimulus akan sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai, harapan dan kebutuhannya, yang sifatnya sangat individual.
Universitas Sumatera Utara
46
Berdasarkan beberapa definisi yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa persepsi merupakan suatu proses individu memilih, mengorganisasikan dan menafsirkan informasi yang datang dari lingkungan dalam usaha memberikan arti dan makna terhadap informasi yang diterima.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi bisa berada pada pihak pelaku persepsi, target yang dipersepsikan, atau dalam konteks situasi dimana persepsi itu dilakukan (Robbins, 2001) : a. Pelaku persepsi Faktor-faktor yang berasal dari pelaku persepsi adalah sikap, motif, kepentingan, pengalaman, dan pengharapan. b. Objek persepsi Faktor-faktor yang berasal dari objek persepsi adalah objek baru, gerakan, bunyi, ukuran, latar belakang, dan kedekatan. c. Situasi Faktor-faktor yang berasal dari situasi adalah waktu, tempat, dan keadaan sosial.
C. Cause-Related Marketing 1. Definisi Cause-Related Marketing Cause-related marketing (CRM) merupakan konsep pemasaran yang saat ini mengalami perkembangan yang luar biasa dan menjadi popular di kalangan dunia
Universitas Sumatera Utara
47
bisnis. Cause-related marketing pada dasarnya adalah teknik dan strategi pemasaran untuk mendukung kegiatan sosial tertentu dan pada waktu yang bersamaan membangun bisnis (Adkins, 1999). Cause-related marketing didefenisikan sebagai suatu aktivitas komersil dimana kegiatan sosial dan bisnis membentuk suatu kemitraan satu sama lain dalam memasarkan sebuah citra, produk atau jasa untuk manfaat yang saling menguntungkan (Business in the Community dalam Adkins, 1999). Selain itu, cause-related marketing merupakan bagian dari program pemasaran sosial dimana dari setiap unit produk yang terjual akan disumbangkan untuk tujuan sosial (Bloom, dkk. 2006). Definisi modern dari cause-related marketing diajukan oleh Pringle dan Thompson (dalam Bhattacharya, 2004), yaitu strategi atau alat pemasaran yang menghubungkan perusahaan atau merek dengan masalah atau tujuan sosial. Berdasarkan definisi ini, cause-related marketing dipahami sebagai hubungan antara perusahaan dan tujuan sosial untuk tujuan yang menguntungkan. Menurut Polonsky dan Speed (dalam Bhattacharya, 2004), cause-related marketing merupakan bentuk kerja sama antara perusahaan komersil dengan pihak amal
non-profit
sebagai
mengembangkan tujuan,
upaya
untuk
memperoleh
dana
dan
untuk
dan pada saat bersamaan juga mengembangkan
penjualan bagi mitra yang profit. Jadi,
cause-related
marketing
merupakan
strategi
pemasaran
yang
menghubungkan perusahaan atau merek dengan kegiatan sosial tertentu dan sebagian keuntungan dari penjualan produk akan disumbangkan untuk tujuan sosial tersebut.
Universitas Sumatera Utara
48
2. Sejarah Cause-Related Marketing Cause-related marketing pertama kali berkembang pada tahun 1983, ketika American Express melakukan kerja sama dengan pihak non-profit, dimana sejumlah bagian dari penggunaan kartu Amex akan di sumbangkan untuk pemugaran patung Liberty (Barnes dan Fitzgibbons, dalam Basil, 2002; Miller, dalam Bhattacharya, 2004). Setelah peristiwa pemugaran patung Liberty, causerelated marketing mulai popular di Amerika Serikat dan mulai menyebar ke negara-negara lainnya seperti Norwegia di Eropa, Korea di Asia, Australia dan Kanada (Lavack dan Kropp, dalam Bhattacharya, 2004).
3. Elemen Cause-related marketing Elemen struktur cause-related marketing yang dikemukakan oleh Landreth dkk (dalam Kotler, 2000) yaitu: a. Manfaat sumbangan Perusahaan harus mempertimbangkan manfaat apa yang akan diberikan dan dirasakan oleh masyarakat. Perusahaan mengkaitkan antara isu-isu yang sedang menjadi perhatian masyarakat kemudian menghubungkannya dengan merek. Jika masyarakat memandang manfaat sumbangan yang diberikan dekat dengan kehidupannya maka masyarakat akan tertarik untuk ikut berpartisipasi dalam cause-related marketing tersebut. Perusahaan juga harus menginformasikan kepada masyarakat bagaimana penghitungan jumlah sumbangan yang akan dimanfaatkan untuk kegiatan amal (donasi), apakah berdasarkan keseluruhan persentase harga produk atau keuntungan, atau jumlah tertentu dari sumbangan.
Universitas Sumatera Utara
49
b. Jumlah sumbangan Ukuran jumlah sumbangan yang diberikan dari setiap harga produk, yaitu perbandingan dari jumlah harga yang disumbangkan dengan harga produk. Bagaimana respon yang diberikan masyarakat pada setiap harga yang disumbangkan dibandingkan dengan harga produk. c. Penggunaan sumbangan oleh perusahaan Kesuksesan dari cause-related marketing yang dilakukan perusahaan bergantung pada sejauh mana masyarakat mengetahui apakah kegiatan amal yang dijanjikan oleh perusahaan akan benar-benar dilaksanakan, waktu penggunaan sumbangan dan keterbukaan perusahaan (akuntabilitas) terhadap penggunaan sumbangan yang telah diperoleh dari masyarakat.
4. Manfaat Cause-Related Marketing bagi Perusahaan Menurut Kotler (2000), ada beberapa keuntungan yang dapat diperoleh perusahaan atau mitranya ketika melakukan cause-related marketing. 1.
Menarik minat para konsumen baru, yaitu orang-orang yang pada awalnya memiliki ketertarikan untuk melakukan kegiatan sosial tertentu yang kemudian dipromosikan oleh perusahaan.
Dengan
membeli produk
perusahaan yang berkualitas, mereka juga sekaligus membantu dengan ikut menyumbang. 2.
Tersedianya dana untuk membiayai suatu kegiatan sosial. Kegiatan sosial ini dapat ditentukan oleh perusahaan, dengan melihat hubungan antara produknya dengan suatu kegiatan sosial.
Universitas Sumatera Utara
50
3.
Perusahaan yang melakukan cause-related marketing juga akan memperoleh ceruk pasarnya lebih cepat. Karena cause-related marketing menghubungkan suatu produk dengan isu-isu tertentu, konsumen yang tertarik dengan isu-isu tersebut kemungkinan besar akan berminat dengan produk yang ditawarkan perusahaan ketika promosi dilakukan
4.
Meningkatkan hasil penjualan karena tambahan konsumen dan ceruk pasar.
5.
Membentuk asosiasi dengan pihak-pihak yang memiliki kepedulian sosial yang sama.
6.
Merek produk yang dikeluarkan perusahaan akan mendapat identitas merek positif dari konsumen.
5. Definisi Persepsi Terhadap Cause-Related Marketing. Persepsi terhadap cause-related marketing adalah suatu proses individu untuk memilih, mengorganisasikan dan menafsirkan informasi mengenai cause-related marketing agar dapat memberi makna dan arti terhadap informasi yang diterima.
D. Hubungan Persepsi Terhadap Cause-Related Marketing Dan Intensi Membeli Perusahaan yang mampu memahami perilaku konsumen akan mendapatkan keuntungan yang cukup besar karena dapat menyusun strategi pemasaran yang tepat yang dapat memberikan kepuasan yang lebih baik dibandingkan pesaing (Suryani, 2008). Strategi pemasaran yang baik pada hakekatnya didasarkan pada apa yang diinginkan dan dibutuhkan kosumennya. Peter dan Olson (1999)
Universitas Sumatera Utara
51
menyatakan bahwa untuk memprediksi perilaku secara akurat, pemasar harus mengukur keinginan konsumen pada tingkat abstraksi dan kekhususan. Menurut teori perilaku berencana, peramalan perilaku pembelian konsumen adalah suatu masalah pengukuran intensi
membeli tepat sebelum mereka melakukan
pembelian (Mowen dan Minor, 2002). Intensi membeli merupakan kekuatan motivasi seseorang dalam usaha untuk menghasilkan perilaku tertentu yang dipengaruhi oleh sikap individu, norma sosial serta persepsi terhadap kontrol perilaku tersebut (Ajzen, 2005). Setiap konsumen tentu memiliki sikap tertentu yang mendasari mereka dalam berperilaku. Konsumen yang memandang suatu perilaku tertentu akan memberikan keuntungan akan mempengaruhi intensi membelinya lebih besar jika dibandingkan dengan konsumen yang memandang suatu perilaku tersebut akan memberikan kerugian kepadanya. Norma sosial yang ada pada konsumen berbeda-beda, konsumen yang meyakini apa yang menjadi norma kelompok, maka ia akan mematuhi dan membentuk perilaku yang sesuai dengan kelompoknya. Selanjutnya konsumen yang memiliki kekuatan untuk mengontrol perilakunya dalam melakukan penggunaan produk atau jasa akan lebih mudah untuk mewujudkan perilakunya tersebut. Oleh karena itu, dengan mempelajari intensi membeli maka perusahaan dapat menentukan strategi pemasaran yang tepat dan dapat mempengaruhi perilaku konsumennya. Salah satu strategi yang dilakukan perusahaan untuk mempengaruhi perilaku konsumen adalah melalui cause-related marketing yaitu strategi atau alat pemasaran yang menghubungkan perusahaan atau merek dengan tujuan sosial
Universitas Sumatera Utara
52
tertentu (Pringle dan Thompson dalam Bhattacharya, 2004). Biasanya, dengan daya tarik tersebut, penjualan meningkat, bukan saja konsumen yang membeli lebih banyak, melainkan juga pengalihan merek dari merek pesaing. Suatu perusahaan yang mempromosikan citra, produk atau jasa dengan suatu kegiatan sosial yang baik, mampu mengumpulkan uang untuk kegiatan sosial tersebut dan pada waktu yang bersamaan dapat meningkatkan reputasi, nilai, meningkatkan pembelian dan kesetiaan konsumen akan produk dan jasa tersebut (Adkins, 1999). Pokok permasalahan utama adalah jumlah sumbangan tergantung dari jumlah pembelian/intensi
pembelian
para
konsumen.
meningkatkan intensi membeli para konsumen,
Oleh
karena
itu,
untuk
perusahaan harus berusaha
meyakinkan para konsumen untuk memahami dan mengingat produk mereka. Perusahaan perlu menginformasikan produk dan cause-related marketing yang dilakukan dengan promosi. Perusahaan harus mempertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi konsumen dalam kegiatan promosi yang dilakukan agar konsumen berminat untuk berpartisipasi dalam cause-related marketing-nya. Menurut Folse dan Grau (2007) tugas pokok perusahaan adalah menunjukkan manfaat dari bentuk sumbangan yang diberikan, jenis produk, dan jumlah sumbangan. Sedangkan menurut Landreth (dalam Kotler, 2000) kesuksesan dari program cause-related marketing tergantung bagaimana konsumen mempersepsi elemen struktur cause-related marketing yang dilakukan oleh perusahaan, antara lain : manfaat sumbangan, jumlah sumbangan dan penggunaan sumbangan. Menurut Atkinson (1991), persepsi konsumen terhadap stimulus yang diterimanya memiliki peran yang cukup penting dalam proses pengambilan
Universitas Sumatera Utara
53
keputusan. Persepsi adalah proses dimana individu mengorganisasi dan menafsirkan pola stimulus di dalam lingkungan. Menurut Barone, Miyazaki dan Talor (dalam, Bhattacharya, 2005), persepsi konsumen terhadap motivasi perusahaan mungkin merupakan kunci utama yang akan menentukan sukses tidaknya cause-related marketing yang dilakukan. Persepsi konsumen terhadap stimulus yang diterimanya memiliki peran yang cukup penting dalam tahapan proses pengambilan keputusan. Apa yang dipersepsikan masyarakat dalam cause- related marketing sedapat mungkin bisa mengubah persepsi masyarakat sehingga produk yang di- cause-related marketing-kan menarik minat masyarakat. Menurut
England
(1974),
konsumen
membentuk
keterikatan emosi
berdasarkan persepsi mereka terhadap nilai-nilai yang mereka terima. Hal-hal yang terjadi di lingkungan akan dipersepsi menurut standar nilai (dalam Loudon dan Bitta, 1993). Selain itu, nilai juga menjadi dasar evaluasi alternatif dari produk yang diharapkan, dan hasilnya akan mempengaruhi tingkah laku orang tersebut. Berdasarkan uraian yang telah dijabarkan, dapat disimpulkan bahwa persepsi berhubungan dengan tindakan seseorang terhadap suatu objek, dalam hal ini objek yang dimaksud adalah strategi cause-related marketing. Persepsi konsumen terhadap cause-related marketing berhubungan dengan intensi membeli.
Universitas Sumatera Utara
54
D. Hipotesis Penelitian Hipotesis dalam penelitian ini adalah “terdapat
hubungan positif antara
persepsi terhadap cause-related marketing dan intensi membeli”.
Artinya,
semakin positif persepsi seseorang terhadap cause-related marketing maka semakin tinggi intensi membelinya. Sebaliknya semakin negatif persepsi seseorang terhadap cause-related marketing maka semakin rendah intensi membelinya.
Universitas Sumatera Utara