perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II LANDASAN TEORI
A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Notaris a. Pengertian Notaris Pada tahun 2004 telah dibuat Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris atau disebut UUJN. Undang-Undang tersebut telah mengalami perubahan dengan dikeluarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014. Pengertian Notaris dijelaskan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang menyebutkan Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 UndangUndang Jabatan Notaris (UUJN).8 Dari uraian Pasal Undang-Undang Jabatan Notaris, dapat dijelaskan bahwa Notaris adalah: a. Pejabat umum; b. Berwenang membuat akta; c. Otentik; dan d. Ditentukan oleh Undang-Undang. Pasal 2 UUJN disebutkan bahwa Notaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri, selanjutnya dalam Pasal 3 dijelaskan bahwa untuk dapat diangkat menjadi Notaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, maka harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. Warga negara Indonesia; b. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. Berumur paling sedikit 27 (dua puluh tujuh) tahun; d. Sehat jasmani dan rohani; e. Berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan; 8
H. Syahril Sofyan, “Peran Jasa Notaris Dalam Pembuatan Warisan”, Jurnal Ilmiah Abdi Ilmu, to user Volume 3, No. 1, April 2010, hlm.commit 337
9
10 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
f. Telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan Notaris dalam 12 (dua belas) bulan berturut-turut pada kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariatan; dan g. Tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh Undang-Undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris. Batasan yang diberikan oleh Pasal 1 UU Perubahan atas UUJN mengenai Notaris pada hakekatnya masih dapat ditambahkan "yang diperlengkapi dengan kekuasaan umum". Oleh karena grosse atau salinan dari akta tertentu dari Notaris yang pada bagian atasnya memuat perkataan: "Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan keputusan hakim. Notaris memperoleh kekuasaannya itu langsung dari kekuasaan eksekutif, sehingga Notaris dalam menjalankan tugasnya melakukan sebagian dari kekuasaan eksekutif. Menurut Kohar, "yang diharuskan oleh peraturan umum itu ialah antara lain hibah harus dilakukan dengan akta Notaris, demikian juga perjanjian kawin dan pendirian perseroan terbatas”. Sedangkan yang dikehendaki oleh yang berkepentingan bisa berupa tindakan hukum apapun. Apabila diperlukan setiap perbuatan dapat dimintakan penguatannya dengan akta otentik, berupa akta Notaris. Sesudah Notaris membuat akta, selesai, dan itulah merupakan bukti otentik dapat digunakan untuk keperluan yang bersangkutan, dapat diajukan sebagai bukti dalam suatu perkara dipengadilan.9 Selanjutnya Gandasubrata, menyatakan bahwa "Notaris adalah pejabat umum yang diangkat oleh Pemerintah termasuk unsur penegak hukum yang memberikan pelayanan kepada masyarakat”. Di dalam tugasnya sehari-hari
9
A. Kohar, Notaris Berkomunikasi, Alumni, Bandung, 1984, hlm 203
commit to user
11 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ia menetapkan hukum dalam aktanya sebagai akta otentik yang merupakan alat bukti yang kuat, sehingga memberikan pembuktian lengkap kepada para pihak yang membuatnya. 10 b. Notaris Sebagai Pejabat Umum Notaris merupakan pejabat yang diangkat oleh negara untuk mewakili kekuasaan umum negara dalam melakukan pelayanan hukum kepada masyarakat dalam bidang hukum perdata demi terciptanya kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum.11 Bentuk pelayanan keperdataan yang dilakukan oleh notaris adalah dengan membuat akta otentik. Akta otentik diperlukan oleh masyarakat untuk kepentingan pembuktian sebagai alat bukti yang terkuat dan terpenuh. Hal- hal yang dinyatakan dalam akta notaris harus diterima, kecuali dapat dibuktikan hal yang sebaliknya. Hal ini sesuai dengan yang tercantum dalam penjelasan umum UUJN. Notaris di Indonesia memiliki beberapa karakteristik, yaitu:12 1. Sebagai jabatan; UUJN dan perubahannya merupakan unifikasi di bidang pengaturan jabatan notaris. Hal ini berarti undang-undang tersebut merupakan aturan hukum dalam yang mengatur jabatan notaris di Indonesia. Segala sesuatu yang berkaitan dengan notaris di Indonesia harus mengacu pada undang-undang tersebut.13 Jabatan Notaris merupakan suatu lembaga yang diciptakan oleh Negara.14 2. Notaris mempunyai kewenangan tertentu; Setiap jabatan mendapat wewenang yang diatur atau dilandasi oleh aturan hukum sebagai
10
HR. Purwoto Gandasubrata, “Renungan Hukum”, dalam IKAHI Cabang Mahkamah Agung RI, hlm. 484 11 Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djamiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, hlm. 80 12 HR. Purwoto Gandasubrata, Op.Cit; hlm. 15-16 13 Habib Adjie, “Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) Sebagai Unifikasi Hukum Pengaturan Notaris”, Renvoi, No. 28 Th 111, 2005, hlm. 38 14 Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2004, hlm. 15
commit to user
12 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik dan tidak berbenturan dengan wewenang jabatan lainnya. 3. Diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah; Pengangkatan dan pemberhentian notaris dilakukan oleh pemerintah, yaitu melalui Menteri. Hal ini diatur dalam Pasal 2 UUJN. Dalam hal ini oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum (Pasal 1 angka 14 UU Perubahan atas UUJN). Walaupun Notaris secara administratif diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, ini tidak berarti Notaris menjadi subordinasi (bawahan) dari yang mengangkatnya yaitu pemerintah. Dengan demikian notaris dalam menjalankan tugas jabatannya:15 a. Bersifat mandiri (autonomous); b. Tidak memihak siapapun (impartial); c. Tidak tergantung kepada siapa pun (independent), yang berarti dalam menjalankan tugas jabatannya tidak dapat dicampuri oleh pihak yang mengangkatnya atau oleh pihak lain. 4. Tidak menerima gaji atau pensiun dari yang mengangkatnya; Notaris diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah tetapi Notaris tidak menerima gaji dan pensiun dari pemerintah karena Notaris bukan bagian subordinasi dari yang mengangkatnya (pemerintah). Notaris hanya menerima honorarium dari masyarakat yang telah dilayaninya atau dapat memberikan pelayanan cuma-cuma untuk mereka yang kurang atau tidak mampu. 5. Akuntabilitaas atas pekerjaannya kepada masyarakat; Jabatan Notaris berperan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang memerlukan dokumen hukum tertulis berupa akta otentik dalam bidang hukum perdata. Notaris bertanggung jawab untuk melayani masyarakat yang menggugat secara perdata, menuntut biaya, ganti 15
Habib Adjie, Sanksi Perdata... Op.Cit; hlm. 36
commit to user
13 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
rugi, dan bunga jika ternyata akta yang dibuatnya tersebut dapat dibuktikan dibuat tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Hal ini merupakan bentuk akuntabilitas Notaris kepada masyarakat. c. Tugas dan Wewenang Notaris Pasal l angka 1 Undang-Undang Perubahan atas UUJN tidak memberikan uraian yang lengkap mengenai tugas Notaris. Menurut Lumban Tobing, bahwa selain untuk membuat akta-akta otentik, Notaris juga ditugaskan untuk melakukan pendaftaran dan mensahkan surat-surat atau akta-akta yang dibuat di bawah tangan.16 Notaris juga memberikan nasehat hukum dan penjelasan mengenai undang-undang kepada pihak-pihak yang bersangkutan. Menurut Setiawan, "Inti dari tugas Notaris selaku pejabat umum ialah mengatur secara tertulis dan otentik hubungan hukum antara pihak yang secara manfaat meminta jasa Notaris yang pada dasarnya adalah sama dengan tugas hakim yang memberikan keadilan di antara para pihak yang bersengketa”.17 Terlihat bahwa Notaris tidak memihak tetapi mandiri dan bukan sebagai salah satu pihak. la tidak memihak kepada mereka yang berkepentingan. Itulah sebabnya dalam menjalankan tugas dan jabatannya selaku pejabat umum terdapat ketentuan Undang-Undang yang demikian ketat bagi orang tertentu, tidak diperbolehkan sebagai saksi atau sebagai pihak berkepentingan pada akta yang dibuat di hadapannya. Tugas pokok dari Notaris ialah membuat akta-akta otentik. Akta otentik itu menurut Pasal 1870 KUHPerdata memberikan kepada pihak-pihak yang membuatnya suatu pembuktian sempurna. Disinilah letak arti penting dari seorang Notaris,
bahwa
Notaris
karena
undang-undang
diberi
wewenang
menciptakan alat pembuktian yang sempurna, dalam pengertian bahwa apa
16
17
Setiawan, “Hak Ingkar Dari Notaris dan Hubungannya Dengan KUHP”, Suatu Kajian Uraian Yang Disajikan Dalam Kongres INI di Jakarta, hlm. 2 Ibid;
commit to user
14 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang tersebut dalam akta otentik itu pada pokoknya dianggap benar sepanjang tidak ada bukti sebaliknya.18 Notaris mempunyai peranan yang sangat penting dalam pembuatan akta- akta otentik, buukan hanya karena ia memang disebut sebagai pejabat umum yang dimaksud dalam Pasal 1868 KUHPerdata, tetapi juga karena adanya orientasi atas pengangkatan Notaris sebagai pejabat umum yang dimaksudkan untuk melayani kepentingan umum dan menerima penghasilan karena telah memberikan jasa-jasanya. Kewenangan seorang Notaris dalam hal pembuatan akta nampak dalam Pasal Pasal 1 angka 1 UU Perubahan atas UUJN yaitu membuat akta otentik. Notaris tidak boleh membuat akta untuk ia sendiri, istrinya, keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus tanpa perbedaan tingkatan dalam garis samping dengan tingkat ketiga, bertindak sebagai pihak baik secara pribadi maupun diwakili oleh kuasanya. Sehubungan dengan kewenangan Notaris dalam membuat akta sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 15 ayat (1), maka dalam Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang
Perubahan
atas
UUJN
dijelaskan
bahwa
Notaris
berwenang pula: a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; b. Membukukan surat-surat dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; c. Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; 18
Philipus M. Hadjon, Pemerintah Menurut Hukum (Wet-en Rechmatig Bestuur), ctk. Pertama, Yuridika, Surabaya, 1993, hlm. 5
commit to user
15 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau g. Membuat akta risalah lelang. Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang- undangan, sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (3) UU Perubahan atas UUJN. Sepanjang mengenai wewenang yang harus dipunyai oleh pejabat umum untuk membuat suatu akta otentik, seorang Notaris hanya boleh melakukan atau menjalankan jabatannya di daerah yang ditentukan baginya dan hanya dalam daerah hukum ia berwenang. Akta yang dibuat oleh seorang Notaris di luar daerah hukumnya (daerah jabatannya) adalah tidak sah. Dengan kata lain, kewenangan Notaris pada dasarnya meliputi 4 hal yaitu: a. Sepanjang yang menyangkut akta yang dibuatnya; b. Sepanjang mengenai orang-orang untuk kepentingan akta itu dibuat; c. Sepanjang mengenai tempat dimana akta itu dibuat, dan d. Sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu. Terkait dengan wewenang Notaris untuk membuat akta otentik tentang semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan sebagaimana diuraikan dalam Pasal 15 ayat (1) UU Perubahan atas UUJN, yang perlu mendapat perhatian
mengenai
perbuatan-perbuatan,
perjanjian-perjanjian
dan
penetapan-penetapan yang harus dibuat oleh Notaris ialah: a. Bilamana yang demikian itu dikehendaki oleh mereka atau pihak-pihak yang berkepentingan. b. Apabila oleh perundang-undangan umum hal tersebut harus dinyatakan dalam akta otentik. Tidak semua akta yang mengandung perbuatan-perbuatan, perjanjian- perjanjian dan penetapan-penetapan harus dilakukan dengan akta otentik, melainkan orang bebas membuatnya dengan bentuk apapun. Sebagai contoh dalam pencatatan boedel dari orang yang telah meninggal dunia dilakukan oleh ahli warisnya. Hal mana dapat dilakukan dengan akta Notaris sebagai akta commit to user
16 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
otentik dan dapat pula dilakukan dengan akta di bawah tangan. Mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang harus dilakukan dengan akta otentik oleh karena hal itu memang telah digariskan dalam ketentuan perundang- undangan yang berlaku. Sebagai contoh dalam hal pemberian kuasa untuk memasang hak tanggungan atau hipotik atas tanah. Hal ini telah diatur dalam ketentuan Pasal 1171 KUH Perdata yang menyatakan bahwa, hipotik hanya dapat diberikan dengan suatu akta otentik kecuali dalam hal-hal yang tegas ditunjuk oleh undang- undang. Begitu pula untuk memberikan hipotik harus dibuat dengan suatu akta otentik. d. Kewajiban, Larangan, dan Kode Etik Notaris Notaris dalam menjalankan tugas dan kewenangannya harus mematuhi
segala
kewajiban
yang dimilikinya.
Kewajiban
Notaris
merupakan sesuatu yang wajib dilakukan oleh Notaris, jika kewajiban tersebut tidak dilakukan atau dilanggar, maka Notaris akan dikenakan sanksi atas pelanggaran yang dilakukannya. Kewajiban Notaris yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UU Perubahan atas UUJN adalah sebagai berikut : a. Bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum; b. Membuat akta dalam bentuk minuta akta dan menyimpannya sebagai bagian dari Protokol Notaris; c. Melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada minuta akta; d. Mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkan Minuta Akta; e. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam UndangUndang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya; f. Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah atau janji jabatan, kecuali Undang-Undang menentukan lain; commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
17 digilib.uns.ac.id
g. Menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku; h. Membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat berharga; i. Membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan akta setiap bulan; j. Mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf i atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke Pusat Daftar Wasiat pada Kementrian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya; k. Mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan; l. Mempunyai cap atau stempel yang memuat lambang negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan; m. Membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan akta wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris; serta n. Menerima magang calon Notaris. Kewajiban Notaris yang tercantum dalam Pasal 16 UU Perubahan atas UUJN jika dilanggar akan dikenakan sanksi sebagaimana tersebut dalam Pasal 85 UUJN. Khusus untuk Notaris yang melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf i dan k UU Perubahan atas UUJN selain dapat dijatuhi sanksi yang terdapat dalam Pasal 85 UUJN, juga dapat dikenakan sanksi berupa akta yang dibuat di hadapan Notaris hanya mempunyai kekuatan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
18 digilib.uns.ac.id
pembuktian sebagai akta di bawah tangan, atau suatu akta menjadi batal demi hukum. Hal tersebut juga dapat merugikan para pihak yang bersangkutan, sehingga pihak yang dirugikan tersebut dapat menuntut biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 84 UUJN. Pasal 16 ayat (1) huruf m dan Pasal 16 ayat (1) huruf n UU Perubahan atas UUJN meskipun termasuk ke dalam kewajiban Notaris, tapi jika Notaris tidak melakukannya tidak dikenakan sanksi apapun. Pasal 16 ayat (1) huruf m UU Perubahan atas UUJN menentukan kewajiban Notaris untuk membacakan akta dihadapan para penghadap, namun hal tersebut dapat tidak dilakukan selama penghadap menghendaki agar akta tersebut tidak dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri, mengetahui, dan memahami isinya, dengan ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan dalam penutup akta serta pada setiap halaman minuta akta diparaf oleh penghadap, saksi, dan Notaris. Ketentuan diatas dikecualikan terhadap pembacaan kepala akta, komparisi, penjelasan pokok akta serta penutup akta yang dapat dibacakan secara singkat dan jelas. Jika salah satu kewajiban yang dimaksud pada Pasal 16 ayat (1) huruf m dan Pasal 16 ayat (7) UU Perubahan atas UUJN tidak dipenuhi, akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan (hal ini tidak berlaku untuk pembuatan akta wasiat). Dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat umum tidak jarang Notaris berurusan dengan proses hukum baik ditahap penyelidikan, penyidikan maupun persidangan. Pada proses hukum ini Notaris harus memberikan keterangan dan kesaksian menyangkut isi akta yang dibuatnya. Dilihat sekilas, hal ini bertentangan dengan sumpah jabatan Notaris, bahwa Notaris wajib merahasiakan isi akta yang dibuatnya. Beberapa Undang-Undang, telah memberikan hak ingkar atau hak untuk kepada Notaris untuk dibebaskan menjadi saksi. Sesuai dengan pendapat Van Bemmelen bahwa “er zijn 3 fundamentele rechten op het gebruik van gebroken beweren, namelijk: commit to user
19 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a) Familiebanden zijn zeer dicht; (Hubungan keluarga yang sangat dekat) b) Gevaren van straffen; (Bahaya dikenakan hukuman pidana) c) Status, beroep en vertrouwelijke posities”. (Kedudukan, pekerjaan dan rahasia jabatan).19 Hak
ingkar
merupakan
konsekuensi
dari
adanya
kewajiban
merahasiakan sesuatu yang diketahuinya. Sumpah jabatan Notaris dalam Pasal 4 dan kewajiban Notaris dalam Pasal 16 ayat (1) huruf (e) UndangUndang Jabatan Notaris mewajibkan Notaris untuk tidak berbicara, sekalipun dimuka pengadilan, artinya seorang Notaris tidak diperbolehkan untuk memberikan kesaksian mengenai apa yang dimuat dalam akta.20 Notaris tidak hanya berhak untuk bicara, akan tetapi mempunyai kewajiban untuk tidak berbicara. Hal tersebut sesuai dengan penjelasan Pasal 16 ayat (1) huruf (f) UU Perubahan atas UUJN yang menyatakan bahwa “merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah atau janji jabatan”. Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf l UU Perubahan atas UUJN dapat
dikenakan sanksi
berupa
peringatan
tertulis,
pemberhentian
sementara, pemberhentian dengan hormat, atau pemberhentian dengan tidak hormat. Penolakan diperbolehkan untuk dilakukan oleh notaris terkait tugas dan wewenangnya dalam menjabat sebagai notaris. Seorang Notaris dapat menolak untuk membuat dokumen atau akta otentik yang diminta oleh para pihak selama adanya alasan kuat atas terjadinya penolakan tersebut. Penolakan ini boleh dilakukan dengan alasan hukum, yaitu dengan memberikan alasan yang berdasarkan pada aturan hukum yang berlaku secara sah sehingga menjadi argumentasi hukum yang dapat diterima oleh
19 20
J.M. van Bemmelen, Strafvordering, Leerboek, v.h. Ned Strafprocesrecht, hlm. 167 Habib Adjie, Menjalin Pemikiran Pendapat Tentang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012, hlm. 97
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
20 digilib.uns.ac.id
pihak yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf e UU Perubahan atas UUJN menyebutkan bahwa Notaris dalam keadaan tertentu dapat menolak untuk memberikan pelayanan dengan alasan-alasan tertentu. Dalam penjelasan pasal tersebut ditegaskan yang dimaksud dengan alasan menolaknya adalah alasan yang mengakibatkan notaris tidak berpihak, seperti adanya hubungan darah atau semenda dengan notaris sendiri atau dengan suami/istrinya, salah satu pihak tidak mempunyai kemampuan bertindak untuk melakukan perbuatan, atau hal lain yang tidak dibolehkan oleh undang-undang. Alasan-alasan lain yang ditemukan dalam praktik dapat pula membuat Notaris menolak memberikan jasanya. Alasan-alasan ini diungkapkan oleh R. Soegondo Notodisoerjo dalam bukunya sebagaimana dikutip oleh Habib Adjie sebagai berikut: a. Apabila Notaris sakit sehingga tidak dapat memberikan jasanya, jadi berhalangan karena fisik; b. Apabila Notaris tidak ada karena dalam cuti, jadi karena sebab yang sah; c. Apabila Notaris karena kesibukan pekerjaannya tidak dapat melayani orang lain; d. Apabila surat-surat yang diperlukan untuk membuat sesuatu akta, tidak diserahkan kepada Notaris; e. Apabila penghadap atau saksi instrumentair yang diajukan oleh penghadap tidak dikenal oleh Notaris atau tidak dapat diperkenalkan kepadanya; f. Apabila yang berkepentingan tidak mau membayar bea meterai yang diwajibkan; g. Apabila karena pemberian jasa tersebut, notaris melanggar sumpahnya atau melakukan perbuatan melanggar hukum; dan h. Apabila pihak-pihak menghendaki bahwa Notaris membuat akta dalam bahasa yang tidak dikuasai olehnya, atau apabila orang-orang yang commit to user
21 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menghadap berbicara dengan bahasa yang tidak jelas, sehingga Notaris tidak mengerti apa yang dikehendaki oleh mereka.21 Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya, selain memiliki kewajiban seperti yang tercantum dalam Pasal 16 UU Perubahan atas UUJN, juga terikat pada larangan-larangan. Adapun larangan-larangan yang tidak boleh dilakukan oleh Notaris diatur dalam Pasal 17 UU Perubahan atas UUJN sebagai berikut : a. Menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya; b. Meninggalkan wilayah jabatannya lebih dan 7 (tujuh) hari kerja berturutturut tanpa alasan yang sah; c. Merangkap sebagai pegawai negeri; d. Merangkap jabatan sebagai pejabat negara; e. Merangkap jabatan sebagai advokat; f. Merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan Usaha milik negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha swasta; g. Merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah dan/atau Pejabat Lelang Kelas II di luar tempat kedudukan Notaris; h. Menjadi Notaris Pengganti; atau i. Melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan Notaris. Larangan Notaris merupakan suatu tindakan yang tidak boleh dilakukan oleh Notaris. Jika larangan ini dilanggar oleh Notaris, maka kepada Notaris yang melanggar akan dikenakan sanksi sebagaimana tersebut dalam Pasal 85 UUJN. Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) UU Perubahan atas UUJN dapat dikenakan sanksi yang diatur dalam Pasal 17 ayat (2) UU Perubahan atas UUJN, yaitu berupa peringatan tertulis, pemberhentian sementara, 21
R Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia, Suatu Penjelasan, Rajawali, Jakarta, 1982, hlm. 87
commit to user
22 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pemberhentian dengan hormat atau pemberhentian dengan tidak hormat. Notaris melakukan pelanggaran terhadap Pasal 15 UU Perubahan atas UUJN, dimana muaranya adalah apabila Notaris tidak menjalankan ketentuan pasal tersebut akan menimbulkan terjadinya perbuatan pemalsuan surat atau memalsukan akta sebagaimana dimaksud Pasal 263, 264, dan 266 KUHP
sehingga
dapat
menimbulkan
kerugian
bagi
pihak
yang
berkepentingan. Dimana di dalam UUJN dan UU Perubahan atas UUJN itu sendiri belum ada pengaturan dalam kaitannya tindak pidana yang dalam hal ini pemalsuan surat. Pasal 52 ayat (1) dan 53 UUJN menegaskan dalam keadaan tertentu Notaris dilarang membuat akta, larangan ini hanya ada pada subjek hukum para penghadap, jika subjek hukumnya dilarang, maka substansi akta (perbuatannya) apapun tidak diperkenankan untuk dibuat. Maksud pasal ini adalah tidak diperkenankan mereka yang disebut dalam Pasal 52 ayat (1) UUJN untuk membuat akta di hadapan Notaris yang mempunyai hubungan hukum tertentu dengan Notaris yang bersangkutan. Hal tersebut dilakukan, maka akta yang dibuat tersebut hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan, dan untuk Notaris yang membuatnya dikenakan sanksi perdata dalam Pasal 52 ayat (3) UUJN. Notaris dalam keadaan tertentu tidak berwenang untuk membuat akta notaris. Ketidakwenangan dalam hal ini bukan karena alasan-alasan sebagaimana disebutkan di atas, melainkan karena alasan-alasan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas jabatan Notaris, seperti: 1. Sebelum Notaris mengangkat sumpah (Pasal 4 UUJN); 2. Selama Notaris diberhentikan sementara dari jabatannya (Pasal 9 UU Perubahan atas UUJN); 3. Di luar wilayah jabatannya (Pasal 17 huruf a UU Perubahan atas UUJN dan Pasal 18 ayat (2) UUJN); dan
commit to user
23 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4. Selama Notaris cuti (Pasal 25 UUJN).22 Notaris dalam menjalankan tugasnya dituntut untuk selalu mengikuti etika yang sudah disepakati bersama dalam bentuk kode etik. Kode etik merupakan norma atau peraturan yang praktis mengenai suatu profesi, baik tertulis maupun tidak tertulis. Kode etik memuat etika yang berkaitan dengan sikap yang didasarkan pada nilai dan standar perilaku orang yang dinilai baik atau buruk dalam menjalankan profesinya. Hal-hal tersebut kemudian secara mandiri dirumuskan, ditetapkan, dan ditegakkan oleh organisasi profesi. Kalangan Notaris membutuhkan adanya pedoman objektif yang konkret pada perilaku profesionalnya. Oleh sebab itu diperlukan kaidah perilaku sebagai pedoman yang harus dipatuhi dalam mengemban profesi notaris yang muncul dari dalam lingkungan para Notaris itu sendiri. Pada dasarnya kode etik Notaris bertujuan untuk menjaga martabat profesi yang bersangkutan dan juga untuk melindungi klien (warga masyarakat) dari penyalahgunaan keahlian atau otoritas profesional di lain pihak. Standar etik Notaris telah dijabarkan dalam Kode Etik Notaris yang wajib dipatuhi oleh segenap Notaris. Kode Etik Notaris memuat kewajiban serta larangan bagi Notaris yang sifatnya praktis. Terhadap pelanggaran kode etik terdapat sanksi-sanksi organisasi dan tanggung jawab secara moril terhadap citra Notaris, baik sekarang maupun keberadaan lembaga notariat pada masa yang akan datang. Pasal 1 Kode Etik Notaris menjelaskan bahwa kode etik adalah seluruh kaidah moral yang ditentukan oleh Perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia (INI) berdasarkan keputusan kongres dan/atau yang ditentukan oleh dan diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal itu. Kode Etik Notaris ini berlaku bagi serta wajib ditaati oleh setiap dan semua anggota perkumpulan dan semua orang yang menjalankan 22
Ibid; hlm. 157
commit to user
24 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tugas jabatan sebagai Notaris, termasuk di dalamnya para Pejabat Sementara Notaris, Notaris Pengganti dan Notaris Pengganti Khusus. Ikatan Notaris Indonesia (INI) merupakan satu-satunya wadah pemersatu bagi setiap orang yang memangku dan menjalankan tugas jabatan notaris di Indonesia yang diakui oleh pemerintah. INI merupakan perkumpulan bagi para notaris yang legal dan telah berbadan hukum berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia tanggal 23 Januari 1995 Nomor C2- 1022.HT.01.06 Tahun 1995. Oleh karena itu INI merupakan Organisasi Notaris sebagai mana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 UU Perubahan atas UUJN. Berdasarkan spirit kode etik notaris dan dengan memiliki ciri pengembanan profesi notaris, maka kewajiban notaris dapat dibagi menjadi: 1. Kewajiban umum a. Notaris wajib senantiasa melakukan tugas jabatannya menurut ukuran yang tertinggi dengan amanah, jujur, seksama, mandiri dan tidak berpihak; b. Notaris dalam menjalankan jabatannya jangan dipengaruhi oleh pertimbangan keuntungan pribadi; c. Notaris tidak memuji diri sendiri, dan tidak memberikan imbalan atas pekerjaan yang diterimanya; d. Notaris hanya memberi keterangan atau pendapat yang dapat dibuktikan kebenarannya; e. Notaris berusaha menjadi penyuluh masyarakat dalam bidang jabatannya; dan f. Notaris hendaknya memelihara hubungan seaik-baiknya dengan para pejabat pemerintah terkait ataupun dengan para profesional hukum lainnya. 2. Kewajiban Notaris terhadap klien a. Notaris
wajib
bersikap
tulus
ikhlas
terhadap
klien
dan
mempergunakan segala keilmuan yang dimilikinya. Dalam hal commit to user
25 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
notaris tidak cukup menguasai bidang hukum tertentu dalam suatu pembuatan akta, ia wajib berkonsultasi dengan rekan lain yang mempunyai keahlian dalam masalah yang bersangkutan; dan b. Notaris wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang masalah klien. Hal ini terkait dengan kepercayaan yang telah diberikan kepadanya, bahkan setelah klien meninggal dunia. 3. Kewajiban notaris terhadap rekan notaris a. Notaris wajib memperlakukan rekan notaris sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan; serta b. Notaris tidak boleh merebut klien atau karyawan dari rekan notaris. 4. Kewajiban notaris terhadap dirinya sendiri a. Notaris harus memelihara kesehatannya, baik rohani maupun jasmani; dan b. Notaris hendaknya senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan tetap setia pada cita-cita yang luhur. Selain kode etik, notaris sebagai suatu bentuk profesi mengharuskan dirinya untuk selalu bersikap secara profesional dalam bekerja. Menurut Abdulkadir Muhammad, Notaris harus memiliki perilaku profesional (professional behavior). Unsur-unsur perilaku professional yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Keahlian yang didukung oleh pengetahuan dan pengalaman tinggi; 2. Integritas moral artinya menghindari sesuatu yang tidak baik walaupun imbalan jasanya tinggi, pelaksanaan tugas profesi diselaraskan dengan nilai-nilai kemasyarakatan, sopan santun, dan agama; 3. Jujur tidak saja pada pihak kedua atau pihak ketiga, tetapi juga pada diri sendiri; 4. Tidak semata-mata pertimbangan uang, melainkan juga pengabdian, tidak membedakan antara orang mampu dan tidak mampu; dan
commit to user
26 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
5. Berpegang teguh pada kode etik profesi Notaris karena di dalamnya ditentukan segala perilaku yang harus dimiliki oleh Notaris, termasuk berbahasa Indonesia yang sempurna.23 e. Peran Notaris Dalam Membuat Akta Telah dijelaskan sebelumnya bahwa wewenang Notaris adalah membuat suatu akta otentik. Undang-Undang Jabatan Notaris menyebutkan bahwa para Notaris merealisir apa yang dikemukakan para pihak. Isi akta Notaris yaitu akta pihak atau partij-acte yang memuat sepenuhnya apa yang dikehendaki dan disepakati oleh para pihak. Hukum perjanjian bertitik tolak dari asumsi bahwa para pihak yang membuat perjanjian kedudukannya adalah sama dan sederajat. Praktek sehari-hari, kesamaan kedudukan para pihak tidak selamanya dijumpai, ini disebabkan oleh perbedaan tingkat pengetahuannya maupun perbedaan kekuatan ekonominya. Hal tersebut tidak dapat dibenarkan apabila nampak kedudukan para pihak tidak seimbang. Apakah Notaris berhak untuk memberikan saran perubahan mengenai isi perjanjian baku, yang berat sebelah dan bagaimana seharusnya sikap Notaris apabila para pihak terutama pihak yang kedudukannya lebih kuat tetap pada pendiriannya, membuat atau menolak untuk membuat akta yang diminta. Meskipun Notaris dalam membuat atau mengesahkan suatu akta mempunyai kebebasan, namun bukan berarti kebebasan tersebut dibuat sebebas-bebasnya. Untuk itu jika Notaris menghadapi masalah yang jelasjelas mengetahui hal-hal yang akan terjadi jika disahkan sebagai akta Notaris, maka seharusnya Notaris menolak saja. Mungkin Notaris yang bertindak seperti itu akan kehilangan client, namun lama kelamaan Notaris tersebut
dapat
diandalkan.
Seorang
Notaris
yang
aktanya
dapat
dipertanggungjawabkan dan tak pernah meleset, tolak ukurnya adalah "itikad baik". Dalam perkembangannya, hukum melahirkan peraturan-
23
Suhrawardi K Lubis, Etika Profesi Hukum, Cetakan Kelima, Sinar Grafika, Jakarta, 1994, hlm. 35
commit to user
27 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
peraturan yang "complicated", yang cenderung melupakan asas utamanya yaitu asas itikad baik. Seorang Notaris harus berpegang teguh pada rasa keadilan yang hakiki, tidak terepengaruh oleh jumlah uang dan tidak semata-mata membuat alat bukti formal untuk mengejar adanya kepastian hukum dengan mengabaikan rasa keadilan.24 R. Soegondo Notodisoerjo mengemukakan : Bahwa untuk dapat membuat akta otentik, seseorang harus mempunyai kedudukan sebagai pejabat umum. Di Indonesia, seorang advokat, meskipun ia seorang ahli dalam bidang hukum, tidak berwenang untuk membuat akta otentik, karena ia tidak mempunyai kedudukan sebagai pejabat umum, sebaliknya seorang pegawai catatan sipil meskipun ia bukan seorang ahli hukum, ia berhak membuat akta-akta otentik untuk hal-hal tertentu, misalnyauntuk membuat akta kelahiran atau akta kematian. Demikian itu karena ia oleh Undang-Undang ditetapkan sebagai pejabat umum dan diberi wewenang untuk membuat akta-akta itu.25 f. Pertanggungjawaban Notaris Atas Pembuatan Akta Otentik Jabatan atau profesi Notaris dalam pembuatan akta merupakan jabatan kepercayaan yang harus dipertanggungjawabkan baik secara hukum maupun secara etika profesi. Akta yang dibuat oleh Notaris adalah akta yang bersifat otentik, oleh karena itu Notaris dalam membuat akta harus hati-hati dan selalu berdasar pada peraturan.26 Pembuatan akta otentik, Notaris harus bertanggung jawab apabila atas akta yang dibuatnya terdapat kesalahan atau pelanggaran yang disengaja oleh Notaris. Bentuk tanggungjawab hukum Notaris adalah tanggungjawab terhadap hukum perdata, hukum pidana, UUJN, dan kode etik Notaris.27 Sebaliknya apabila unsur kesalahan atau pelanggaran itu terjadi dari para pihak penghadap, maka sepanjang Notaris melaksanakan kewenangannya sesuai peraturan. Notaris bersangkutan tidak
24
Liliana Tedjasaputra, Etika Profesi dan Profesi Hukum, Aneka Ilmu, Semarang, 2003, hlm. 86 R. Soegondo Notodisoerjo, loc.cit. 26 Wahyudi Sulistia Nugroho, “Pembatalan Akta Notaris Oleh Hakim”, ADIL Jurnal Hukum, Vol I, No.3, Desember 2010, hlm. 288 27 Purwaningsih, “Bentuk Pelanggaran Hukum Notaris Di Wilayah Propinsi Banten Dan Penegakan Hukumnya”, Mimbar Hukum, Vol 27, No. 1, Februari 2015, hlm. 14-28 25
commit to user
28 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dapat diminta pertanggungjawabannya, karena Notaris hanya mencatat apa yang disampaikan oleh para pihak untuk dituangkan ke dalam akta.28 2. Tinjauan tentang Akta Otentik Menurut R. Soegondo, “akta otentik adalah akta yang dibuat dan diresmikan dalam bentuk menurut hukum, oleh atau dihadapan penjabat umum, yang berwenang untuk berbuat sedemikian itu, di tempat dimana akta itu dibuat”.29 G.H.S Lumban Tobing lebih lanjut terkait dengan keberadaan suatu akta mengemukakan sebagai berikut: Akta yang dibuat oleh Notaris dapat merupakan suatu akta yang memuat relaas atau menguraikan secara otentik sesuatu tindakan yang dilakukan atau suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan oleh pembuat akta itu, yakni Notaris sendiri, di dalam menjalankan jabatannya sebagai Notaris. Akta yang dibuat sedemikian dan memuat uraian dari apa yang dilihat dan disaksikan dan dialaminya itu dinamakan akta yang dibuat oleh (door) Notaris (sebagai pejabat umum). Akan tetapi akta Notaris dapat juga berisikan suatu cerita dari apa yang terjadi karena perbuatan yang dilakukan oleh pihak lain di hadapan Notaris, artinya yang diterangkan atau diceritakan oleh pihak lain kepada Notaris dalam menjalankan jabatannya dan untuk keperluan mana pihak lain itu sengaja datang di hadapan Notaris, agar keterangan atau perbuatan itu dikonstatir oleh Notaris dalam suatu akta otentik. Akta sedemikian dinamakan akta yang dibuat di hadapan (ten overtaan) Notaris.30 Dari uraian di atas dan sejalan dengan pendapat Abdulkadir Muhammad maka dapat diketahui, bahwa pada dasarnya terdapat 2 (dua) golongan akta Notaris, yaitu:
28
Muhammad Iham Arisaputra, “Kewajiban Notaris Dalam Menjaga Kerahasiaan Akta Dalam Kaitannya Dengan Hak Ingkar Notaris”, artikel pada Jurnal Prespektif Hukum, edisi no. 3 Vol XVIII, 2012, hlm. 3 29 R Soegondo, Hukum Pembuktian, PT Pradnya Paramita, Jakarta, 1991,hlm. 69 30 GHS Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, 1983, hlm. 51
commit to user
29 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a. Akta yang dibuat oleh (door) Notaris atau yang dinamakan akta relaas atau akta pejabat (Ambtelijken Aden); b. Akta yang dibuat di hadapan (ten overstaan) Notaris atau yang dinamakan akta pihak (partij-acte).31 Akta otentik merupakan bukti sempurna bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapatkan hak dari padanya. Apa yang tersebut di dalamnya perihal pokok masalah dan isi dari akta otentik itu dianggap tidak dapat disangkal kebenarannya, kecuali jika dapat dibuktikan bahwa apa yang oleh pejabat umum itu dicatat sebagai hal benar tetapi tidaklah demikian halnya. Daya bukti sempurna dari akta otentik terhadap kedua belah pihak, dimaksudkan jika timbul suatu sengketa dimuka hakim mengenai suatu hal dan salah satu pihak mengajukan akta otentik, maka apa yang disebutkan di dalam akta itu sudah dianggap terbukti dengan sempurna. Jika pihak lawan menyangkal kebenaran isi akta otentik itu, maka ia wajib membuktikan bahwa isi akta itu adalah tidak benar. Pada setiap akta otentik termasuk akta notaris, dibedakan 3 (tiga) kekuatan pembuktian, yakni:32 1. Kekuatan Pembuktian Lahiriah (Uitwendige Bewijskract) Kekuatan pembuktian lahiriah adalah kemampuan dari akta itu sendiri untuk membuktikan dirinya sebagai akta otentik. Kemampuan ini berdasarkan Pasal 1875 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan tidak dapat diberikan kepada akta yang dibuat dibawah tangan. 2. Kekuatan pembuktian formal (Formale Bewijskracht) Kekuatan pembuktian formal adalah kepastian bahwa suatu kejadian dan fakta tersebut dalam akta betul-betul dilakukan oleh notaris atau diterangkan oleh pihak-pihak yang menghadap. Dengan pembuktian formal ini suatu akta otentik selain hanya membuktikan bahwa pejabat 31 32
Muhammad Abdulkadir, Hukum Perikatan, Citra Aditya, Bandung, 1992, hlm. 129 Rahmadvai.blogspot.com.Pengertian dan perbedaan akta autentik dan akta di bawah tangan. Diakses tanggal 15 Desember 2015. Pukul 19.05 WIB
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
30 digilib.uns.ac.id
atau notaris telah menyatakan dengan tulisan dalam akta yang dibuatnya, juga menegaskan bahwa segala kebenaran yang diuraikan dalam akta itu seperti yang dilakukan dan disaksikan oleh notaris. Berkaitan dengan ini, arti formal dalam akta pejabat dijelaskan bahwa selain akta ini membuktikan kebenaran dari apa yang disaksikan yaitu dilihat, didengar dan dilakukan oleh notaris juga menjamin kebenaran tentang tanggal, tanda tangan dan identitas dari para pihak yang hadir serta tempat dibuatnya akta itu. Arti formal dalam akta para pihak, dapat dijelaskan adanya keterangan dalam akta itu merupakan uraian yang telah diterangkan oleh para pihak yang hadir sedangkan kebenaran dari keterangan-keterangan itu sendiri hanya dapat dipastikan antara para pihak tersebut. Baik terhadap akta pejabat umum maupun akta para pihak sama-sama mempunyai kekuatan pembuktian formal dan berlaku terhadap setiap orang. 3. Kekuatan pembuktian material (Materiele Bewijskracht) Kekuatan pembuktian material adalah kepastian bahwa apa yang disebut dalam akta itu merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang membuat akta atau mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk umum, kecuali ada pembuktian sebaliknya (tegen bewijs). UU Perubahan atas UUJN menyebutkan bahwa akta otentik itu harus dianggap sah hanyalah bahwa apabila para pihak betul-betul sudah menghadap kepada pejabat umum (Notaris) termasuk pada hari dan tanggal dibukukan dalam akta itu dan menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut. Akta merupakan bukti tentang apakah benar bahwa mereka telah menerangkan apa yang ditulis disitu, tetapi tidak menerangkan bukti tentang apakah benar yang mereka terangkan itu. Pendapat yang demikian itu sudah lama ditinggalkan. Sekarang yang tepat ialah bahwa akta otentik itu tidak hanya membuktikan bahwa para pihak sudah menerangkan bahwa apa yang ditulis pada akta tersebut, tetapi juga menerangkan bahwa para pihak sudah menerangkan apa yang ditulis tadi adalah benar-benar terjadi. Kekuatan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
31 digilib.uns.ac.id
bukti suatu surat terletak dalam akta yang asli. Jika akta yang asli itu ada, maka turunan dan ringkasannya hanya dapat dipercayai sesuai dengan yang asli yang selalu dapat diperintahkan untuk dipertunjukkan. Hakim selalu berwenang memerintahkan kepada pihak yang bersangkutan untuk mengajukan akta yang aslinya dimuka sidang. Dalam suatu proses kerap kali hanya salinan atau ikhtisarnya yang diserahkan kepada Pengadilan. Hal ini tidak menimbulkan keberatan, asal saja pihak lawan tidak menyangkal, bahwa salinan atau ikhtisar itu tidak sesuai dengan aslinya. Ketiga aspek tersebut di atas merupakan kesempurnaan akta Notaris sebagai akta otentik dan siapapun terikat oleh akta tersebut. Jika dapat dibuktikan dalam suatu persidangan pengadilan, bahwa ada salah satu aspek tersebut tidak benar, maka akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau akta tersebut didegradasi kekuatan pembuktiannya sebagai akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan. Menurut hukum acara perdata, nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada akta otentik adalah sempurna dan mengikat. Artinya apabila akta otentik yang diajukan memenuhi syarat formil dan materiil serta bukti lawan yang dikemukakan tergugat tidak bertentangan, maka pada akta otentik langsung melekat kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat. Dengan nilai kekuatan pembuktian sempurna dan mengikat yang melekat pada akta otentik, pada dasarnya dapat berdiri sendiri tanpa memerlukan bantuan alat bukti lain dan dengan sendirinya mencapai batas minimal pembuktian. Dalam suatu proses perkara perdata apabila pihak penggugat mengajukan akta otentik sebagai alat bukti, sedangkan pihak tergugat menyatakan bahwa isi dari akta itu tidak benar, maka beban pembuktian beralih kepada pihak tergugat yaitu pihak tergugat wajib membuktikan ketidakbenaran dari akta tersebut. Kekuatan pembuktian sempurna mengandung arti bahwa isi akta itu dalam pengadilan dianggap benar sampai ada bukti perlawanan yang melumpuhkan akta tersebut. Beban commit to user
32 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pembuktian perlawanan itu jatuh kepada pihak lawan dari pihak yang menggunakan akta otentik atau akta di bawah tangan tersebut. Pihak lawan misalnya, dapat mengemukakan perjanjian yang dimuat dalam akta itu memang benar, akan tetapi tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian sehingga perjanjian itu tidak berlaku. Perlawanan demikian dapat melumpuhkan tuntutan penggugat, apabila dapat dibuktikan. Daya bukti dari akta otentik itu ialah daya bukti yang cukup antara para pihak, ahli waris mereka dan semua orang yang memperoleh hak dari mereka. Menurut hukum acara pidana, seluruh jenis alat bukti mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas dan batas minimum pembuktiannya harus memenuhi sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah. Salah satu fungsi akta yang penting adalah sebagai alat pembuktian. Akta otentik merupakan alat pembuktian yang sempurna bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak darinya tentang apa yang dimuat dalam akta tersebut. Akta Otentik merupakan bukti yang mengikat yang berarti kebenaran dari hal-hal yang tertulis dalam akta tersebut harus diakui oleh hakim, yatiu akta tersebut dianggap sebagai benar selama kebenarannya itu tidak ada pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya. Menurut Pasal 1857 KHUPerdata, jika akta di bawah tangan tanda tangannya diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai, maka akta tersebut dapat merupakan alat pembuktian yang sempurna terhadap orang yang menandatangani serta para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapatkan hak darinya.
commit to user
33 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3. Tinjauan tentang Pembuktian a. Pengertian Pembuktian Pembuktian adalah suatu proses bagaimana alat-alat bukti tersebut digunakan, diajukan, atau dipertahankan, sesuatu hukum acara yang berlaku.33 Di dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak menjelaskan secara eksplisit mengenai pengertian pembuktian dalam pasal-pasal tertentu, namun mengenai pengertian pembuktian ini tersebar pada satu bab khusus mengenai pembuktian dan putusan dalam acara pemeriksaan biasa, yaitu yang terdapat di dalam Pasal 183 sampai dengan Pasal 202 KUHAP. Hal ini mengisyaratkan betapa pentingnya pembuktian di dalam penyelesaian suatu perkara pidana di Indonesia. Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang memeriksa suatu perkara guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang dikemukakan.34 Menurut M Yahya Harahap, pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan
pedoman
tentang
cara-cara
yang
dibenarkan
undang-undang
membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada Terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan oleh undang-undang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.35 Berdasarkan pengertian yang diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup pembuktian meliputi 3 hal, yaitu :36
33
Bambang Waluyo, Sistem Pembuktian Dalam Peradilan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1991, hlm. 3 34 H. Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm. 83 35 M. Yahya Harahap, Pembahasan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 274 36 Ibid;
commit to user
34 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1. Ketentuan atau aturan hukum yang berisi penggarisan dan pedoman cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan Terdakwa, dikenal juga dengan sistem atau teori pembuktian. 2. Ketentuan yang mengatur mengenai alat bukti yang dibenarkan dan diakui undang-undang serta yang boleh digunakan hakim membuktian kesalahan. 3. Ketentuan yang mengatur cara menggunakan dan menilai kekuatan pembuktian masing-masing alat bukti. Demikian ketiga hal inilah yang merupakan obyek dan inti pembahasan hukum pembuktian. Hukum pembuktian memegang peranan penting dalam proses hukum acara pidana dan untuk sebab itu mutlak harus dikuasai oleh semua pejabat pada semua tingkat pemeriksaan, khususnya Penuntut Umum yang berwenang menuntut dan dibebani kewajiban membuktikan kesalahan Terdakwa. Kegagalan Penuntut Umun dalam tugas penuntutan banyak tergantung pada ketidakmampuan menguasai teknik pembuktian. Penuntut Umum terikat pada pasal ketentuan dan penilaian alat bukti yang ditentukan Undang-Undang. Penuntut Umum, Hakim, Terdakwa mapun penasehat hukumnya tidak boleh sekehendak hati dengan kemauannya sendiri dalam menggunkan dan menilai alat bukti di luar apa yang telah digariskan undang-undang. Dalam hal ini Penuntut Umum bertindak sebagai aparat yang diberi wewenang untuk mengajukan segala daya upaya membuktikan segala kesalahan yang didakwakan kepada Terdakwa. Sebaliknya Terdakwa atau penasehat hukumnya mempunyai hak untuk melemahkan dan melumpuhkan pembuktian yang diajukan penuntut umum, sesuai dengan cara yang dibenarkan Undang-Undang, bisa berupa sangkalan atau bantahan yang beralasan dengan saksi yang meringankan atau saksi de charge. Hakim sendiri harus benar-benar sadar dan cermat commit to user
35 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menilai dan mempertimbangkan kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti yang ada. Suatu
pembuktian
menurut
hukum
merupakan
suatu
proses
menentukan substansi atau hakekat adanya fakta-fakta yang diperoleh melalui ukuran yang layak dengan pikiran yang logis terhadap fakta pada masa lalu yang tidak terang menjadi fakta yang terang dalam hubungannya di dalam perkara pidana. Hukum pembuktian pada dasarnya merupakan ketentuan yang mengatur proses pembuktian. Pasal 183 KUHAP menjelaskan tentang apa yang diharuskan di dalam suatu pembuktian perkara pidana di Indonesia diantaranya perlunya minimal dua alat bukti yang sah yang memperoleh keyakinan hakim bahwa telah terjadinya suatu tindak pidana dan Terdakwalah pelakunya, hal ini sangat penting karena menjadi patokan dalam proses pembuktian di Indonesia, gunanya adalah tidak lain dari untuk mencapai suatu kebenaran materiil. Hal ini sejalan dengan tujuan hukum acara pidana yang antara lain dapat dibaca di dalam pedoman pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman sebagai berikut:37 Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat di dakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang di dakwakan itu dapat dipersalahkan. b. Sistem Pembuktian Dalam hukum acara pidana dikenal 3 teori pembuktian, antara lain:
37
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hlm. 8
commit to user
36 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a. Sistem keyakinan belaka (conviction in time) Dalam sistem ini menentukan salah tidaknya seorang Terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaiann keyakinan Hakim. Keyakinan hakimlah yang menentukan keterbukaan kesalahan Terdakwa. Dari mana Hakim menarik dan menyimpulkan kesalahan Terdakwa. Dari mana Hakim menarik dan menyimulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh disimpulkan dan diambil hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga melalui hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa. Hakim di dalam menjatuhkan putusan tidak terikat dengan alat bukti yang ada. Darimana hakim menyimpulkan putusannya tidak menjadi masalah. Ia hanya boleh menyimpulkan dari alat bukti yang ada di dalam persidangan atau mengabaikan alat bukti yang ada di persidangan.38 Sistem ini diakui memang mengandung banyak kelemahan. Hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas dasar keyakinan belaka tanpa didukung alat bukti yang cukup. Di dalam putusan hakim terkandung didalamnya suatu kepercayaan yang terlalu besar kepada ketetapan kesan-kesan perseorangan belaka dari seorang Hakim. Pengawasan terhadap putusan-putusan hakim seperti ini adalah sukar untuk dilakukan oleh karena Badan Pengawas tidak mengetahui pertimbanganpertimbangan Hakim yang melahirkan pendapat Hakim kearah putusan. b. Sistem menurut Undang-Undang (positief wettelijk)
38
Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Bandar Maju, Bandung, 2003, hlm. 14
commit to user
37 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pembuktian menurut Undang-Undang secara positif adalah merupakan pembuktian yang bertolak belakang dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction in time. Dalam sistem pembuktian ini keyakinan hakim tidak berperan menentukan salah tidaknya Terdakwa. Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan oleh UndangUndang.39 Sistem pembuktian ini benar-benar menuntut Hakim suatu kewajiban mencari dan menemukan kebenaran salah tidaknya terdakwa sesuai dengan tatacara pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan Undang-Undang. Dari semula pemeriksaan perkara, hakim harus mengesampingkan faktor-faktor keyakinan. Hakim semata-mata berdiri tegak pada nilai pembuktian objektif tanpa mencampuradukkan hasil pembuktian yang diperoleh dipersidangan dengan unsur subyektif keyakinannya. c. Sistem menurut Undang-Undang sampai batas tertentu (negatief wettelijk) Dalam sistem ini Hakim hanya boleh menyatakan Terdakwa bersalah melakukan perbuatan pidana yang didakwakan apabila keyakinan hakim tersebut didasarkan pada alat-alat bukti yang ditentukan Undang-Undang. c. Jenis Alat Bukti Alat bukti adalah alat-alat yang diperkenankan untuk dipakai membuktikan dalil-dalil atau dalamperkara pidana disebut dakwaan di sidang pengadilan isalnya: keterangan terdakwa, keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan persangkaan.40 Jadi yang dimaksud dengan alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai 39 40
Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata), Citra Aditya, 2006, hlm. 2 Subekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1980, hlm.21
commit to user
38 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bahan pembuktiann guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh Terdakwa. Jenis-jenis alat bukti yang sah diatur di dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, alat bukti yang sah meliputi:41 keterangan saksi, keterangan Ahli, surat, petunjuk, dan keterangan Terdakwa. Menurut Pasal 187 KUHAP, surat yang dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah adalah surat yang dibuat atas sumpah jabatan dan surat yang dikuatkan dengan sumpah. 4. Tinjauan tentang Tindak Pidana Pemalsuan Tindak pidana atau perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan yang disertai dengan pemberian ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi pelakunya.42 Adapun unsur-unsur dari perbuatan pidana adalah sebagai berikut: a. Perbuatan, yang dimaksud dengan perbuatan manusia dalam unsurunsur tindak pidana adalah kelakuan dan kejadian yang ditimbulkan oleh pelaku. b. Memenuhi rumusan dalam Undang-Undang (syarat formil), untuk dapat disebut sebagai tindak pidana, suatu perbuatan harus memenuhi rumusan dalam Undang-Undang, hal ini sesuai dengan ketentuan asas legalitas yakni bahwa tidak ada perbuatan yang tidak dilarang dan diancam pidana, apabila tidak ditentukan terlebih dahulu dalam peraturan perundang-undangan. c. Bersifat melawan hukum (syarat materiil), Menurut Moeljanto, di samping memenuhi syarat-syarat formil, maka perbuatan harus benarbenar dirasakan masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh dilakukan karena bertentangan dengan tercapainya tata dalam pergaulan masyarakat yang bahagia, adil, dan sejahtera.
41
Richard Lokas, “Barang Bukti dan Alat Bukti Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana”, Lex Crimen, Volume II, Nomor 3, Juli 2013, hlm 45 42 Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Yogyakarta, 1992, hlm. 126
commit to user
39 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tindak pidana memalsukan atau membuat secara palsu suatu surat yang dapat menimbulkan suatu hak, suatu perikatan, suatu pembebasan utang atau yang dimaksud untuk membuktikan suatu kenyataan itu, merupakan tindak pidana pertama dari tindak pidana pemalsuan surat yang diatur dalam Bab ke-XII dari buku ke-II KUHP.43 Doktrin yang membedakan pemalsuan-pemalsuan suatu tulisan adalah: a. Intellectuele Valsheid (Pemalsuan Intelektual), yaitu suatu keterangan atau pernyataan di dalam suatu tulisan dipandang sebagai suatu pemalsuan intelektual, jika sejak awalnya yang diterangkan atau dinyatakan dalam tulisan tersebut tidak benar atau tidak sesuai dengan yang sebenarnya. b. Meteriele Valsheid (Pemalsuan Material), yaitu suatu benda, tanda, merk, mata uang atau suatu tulisan dipandang sebagai telah dipalsukan secara material, jika benda, tanda, merk, mata uang, atau tulisan yang semuanya asli telah diubah sedemikian rupa sehingga mempunyai sifat lain dari sifatnya yang asli. Dengan pemalsuan secara material itu, isi dari benda, tanda, merk, mata uang atau tulisan tersebut juga telah menjadi dipalsukan atau membuat seolah-olah asli, padahal kenyataannya tidak demikian. Tindak pidana pemalsuan surat dalam KUHP yang diatur dalam Pasal 266 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menyebutkan bahwa tindak pidana menyuruh mencantumkan suatu keterangan palsu di dalam akta otentik adalah merupakan tindak pidana pemalsuan.44 Yang dimaksud dengan keterangan palsu adalah keterangan yang tidak sesuai dengan kebenaran, keterangan mana mengenai suatu hal atau kejadian yaitu kejadian yang harus dibuktikan oleh akta otentik itu. 43
P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Delik-Delik Khusus: Kejahatan Membahayakan Kepercayaan Umum Terhadap Surat, Alat Pembayaran, Alat Bukti, dan Peradilan, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 10 44 Moch. Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Bagian II), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1989, hlm. 155
commit to user
40 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pasal 263 (1). Barangsiapa membikin surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat menerbitkan suatu hak, sesuatu perutangan atau yang dapat membebaskan daripada utang atau yang dapat menjadi bukti tentang suatu hal, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat itu dapat mendatangkan kerugian, maka karena memalsukan surat, dipidana dengan pidana penjara selamalamanya enam tahun. (2). Dipidana dengan pidana penjara semacam itu juga, barangsiapa dengan sengaja memakai surat palsu atau surat yang dipalsukan, seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, apabila pemalsuan surat itu dapat mendatangkan kerugian. Tindak pidana pemalsuan surat yang dimaksudkan di dalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP terdiri atas unsur-unsur sebagai berikut:45 a. Unsur subjektif : dengan maksud untuk menggunakannya sebagai surat yang asli dan tidak dipalsukan atau untuk membuat orang lain menggunakan surat tersebut; b. Unsur-unsur objektif: 1. Barangsiapa; 2. Membuat secara palsu atau memalsukan; 3. Suatu surat yang dapat menimbulkan suatu hak, suatu perikatan atau suatu pembebasan utang atau; 4. Suatu surat yang dimaksud untuk membuktikan suatu kenyataan; 5. Penggunaannya dapat menimbulkan suatu kerugian. Ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 263 ayat (1) tersebut, pembentuk undang-undang ternyata tidak menyatakan keharusan adanya unsur kesengajaan atau opzet pada diri pelaku, sehingga timbul pertanyaan 45
Moch. Anwar, Op.Cit, hlm. 188
commit to user
41 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
apakah tindak pidana yang dinaksudkan di dalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP harus dilakukan secara sengaja atau tidak.46 Menurut Prof. Van Hamel, jika dalam suatu rumusan ketentuan pidana disyaratkan bijkomend oogmerk atau suatu maksud lebih lanjut, maka mau tidak mau tindak pidana yang dimaksudkan di dalamnya harus dilakukan dengan sengaja, walaupun unsur kesengajaan itu tidak dinyatakan secara tegas sebagai salah satu unsur dari tindak pidana yang bersangkutan. 47 Dari pendapat Prof. Van Hamel tersebut, dapat diketahui bahwa tindak pidana pemalsuan surat yang dimaksudkan di dalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP sesungguhnya merupakan opzetteijk delict atau suatu tindak pidana yang harus dilakukan dengan sengaja.48 Untuk dapat menyatakan seseorang yang didakwa melakukan tindak pidana pemalsuan surat di dalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP telah terbukti melakukan tindak pidana tersebut dengan sengaja, maka di depan sidang pengadilan yang memeriksa dan mengadili orang tersebut, baik hakim maupun penuntut umum harus dapat membuktikan tentang: 1. Adanya kehendak pada terdakwa untuk membuat secara palsu atau untuk memalsukan surat; 2. Adanya pengetahuan pada terdakwa bahwa yang ia buat secara palsu atau yang ia palsukan itu merupakan suatu surat yang dapat menimbulkan suatu hak, suatu perikatan atau suatu pembebasan utang, atau yang dimaksud untuk membuktikan suatu kenyataan; 3. Adanya maksud para terdakwa untuk menggunakan sendiri surat tersebut sebagai surat yang asli dan tidak dipalsukan atau untuk 46
Devianti Tjoanto, “Sanksi Pidana Terhadap Keterangan Dan Surat Atau Dokumen Kewarganegaraan Indonesia”, Lex Crimen, Volume III, Nomor 3, Mei-Juli, 2014, hlm. 70 47 Van Hammel, Inleiding tot de studie van het Nederlandse Strafrecht, hlm. 292: terjemahan oleh, Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, hlm. 303 48 Ibid;
commit to user
42 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
membuat orang lain menggunakan surat yang telah ia buat secara palsu atau yang telah ia palsukan; 4. Adanya pengetahuan pada terdakwa bahwa dari penggunaan surat yang ia buat secara palsu atau yang ia palsukan itu dapat menimbulkan suatu kerugian. Apabila kehendak pengetahuan dan maksud terdakwa tersebut ataupun salah satu dari kehendak, pengetahuan dan maksud terdakwa tersebut ternyata tidak dapat dibuktikan, maka tidak ada alasan sama sekali bagi hakim atau penuntut umum untuk menyatakan terdakwa terbukti telah dengan sengaja melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, dan hakim harus memberikan putusan ontslag van rechtsvervolging atau bebas dari tuntutan hukum maupun lepas dari tuntutan hukum bagi terdakwa. Hal ini dikarenakan dalam undang-undang unsur kesengajaan tidak dinyatakan dengan tegas sebagai salah satu unsur dari tindak pidana yang dimaksudkan di dalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 263 ayat (1). Unsur objektif kedua dari tindak pidana pemalsuan surat yang dimaksudkan di dalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP ialah membuat secara palsu atau memalsukan. Menurut almarhum Prof Satochid Kartanegara, perbedaan antara membuat secara palsu dengan memalsukan ialah bahwa: a. Pada perbuatan membuat secara palsu pada mulanya tidak terdapat sepucuk surat apapun, tetapi kemudian telah dibuat sepucuk surat yang isinya bertentangan dengan kebenaran; b. Pada perbuatan memalsukan sejak semula memang sudah terdapat sepucuk surat, yang isinya kemudian telah diubah dengan cara yang sedemikian rupa, hingga menjadi bertentangan dengan kebenaran. 49 Dalam Pasal ini ada 2 (dua) jenis pemalsuan surat atau akta yaitu:50 49 50
Lamintang dan Samosir, Hukum Pidana Indonesia, cetakan kedua, hlm. 161 Soegeng Santosa, Doddy Radjasa Waluyo, Dzulkifli Harahap, “Aspek Pidana Dalam Pelaksanaan Tugas Notaris”, Renvoi No. 22, Maret 2005, hlm. 30
commit to user
43 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1. Membuat surat palsu yaitu perbuatan membuat surat yang isinya tidak benar, namun suratnya sendiri asli atau sering disebut aspal (asli tapi palsu) karena tidak ada sesuatu yang diubah, ditambah, atau dikurangi. 2. Memalsukan surat yaitu perbuatan merubah, menambah, mengurangi, atau menghapus sebagian tulisan yang ada dalam suatu surat. Jadi suratnya telah ada tetapi dilakukan perubahan sehingga bunyi dan maksudnya berbeda dari aslinya. Pasal 266 (1) Barang siapa menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, diancam, jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. (2)
Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak sejati atau yang dipalsukan seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemalsuan surat itu dapat menimbulkan kerugian. Sebagiamana telah diuraikan di atas bahwa akta otentik dibuat oleh
pejabat umum yang menurut Undang-Undang berwenang membuatnya, misalnya seorang Notaris, pegawai catatan sipil, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Pejabat ini dalam pembuatan akta otentik adalah memenuhi permintaan orang yang menghadap, orang yang meminta ialah yang dimaksud orang yang menyuruh memasukkan keterangan palsu.
commit to user
44 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
5. Tinjauan tentang Hukum Waris di Indonesia Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal dunia serta akibatnya terhadap ahli warisnya.51 Dalam kewarisan terdapat tiga unsur, yaitu: adanya orang yang meninggal dunia, adanya orang yang masih hidup sebagai ahli waris yang akan memperoleh harta warisan saat pewaris meninggal dunia, dan adanya harta kekayaan yang ditinggalkan oleh pewaris.52 Hukum waris yang berlaku di Indonesia sekarang ini masih tergantung pada hukum waris mana yang berlaku bagi pewaris yang meninggal dunia, sehingga beraneka ragam. Keanekaragaman sistem hukum waris yang berlaku di Indonesia dikarenakan bangsa Indonesia terdiri dari berbagai macam suku bangsa, agama dengan berbagai macam kebiasaan. Di samping
itu
juga
kerana
adanya
penggolongan
penduduk
yang
menyebabkan perbedaan hukum yang berlaku bagi setiap golongan penduduk, dan keragaman hukum ini masih berlaku sampai sekarang. Penggolongan penduduk Indonesia (Hindia Belanda pada waktu itu) berdasarkan pada ketentuan Pasal 163 IS (Indische Staatregeling) dan Pasal 109 RR (Regerings Reglement) dan hukum yang berlaku untuk tiap golongan penduduk berdasarkan Pasal 131 IS dan 75 RR yang berasal dari warisan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. 53Regerings Reglement adalah peraturan dasar yang dibuat bersama oleh raja dan parlemen untuk mengatur pemerintah daerah jajahan di Indonesia yang selanjutnya dianggap sebagai UUD pemerintah jajahan Belanda, sedangkan Indische Staatregeling adalah pengganti dari Reglement Regering. Golongan seperti diatur dalam Pasal 131 dan Pasal 163 Indische Staatsregeling (IS) yaitu: golongan Eropa, golongan Bumiputera/ Pribumi, dan golongan Timur Asing. Pembedaan
51
Effendi Perangin, Hukum waris, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm. 3 Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 81 53 Herlin Wijayati, Hukum Kewarganegaraan dan Keimigrasian, Banyumedsia, Bandung , 2011, hlm. 108 52
commit to user
45 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pada golongan penduduk ini membawa pula perbedaan dalam hukum keperdataan masing-masing golongan tersebut.54 Pemerintah juga telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjelaskan pula bahwa dalam era reformasi, pemerintah telah mencabut berbagai peraturan yang dinilai mengandung nilai diskriminatif, misalnya dengan menghilangkan penyebutan istilah pribumi dan nonpribumi, atau warga negara asli dan warga negara keturunan. Penggolongan penduduk hanya ada dua yaitu warga negara Indonesia dan warga negara asing. Penghilangan diskriminasi itu oleh presiden disebut sebagai kebijakan kesetaraan.55 Untuk membuktikan bahwa seseorang merupakan ahli waris dari pewaris dalam proses pendaftaran balik nama waris atas tanah, maka berdasarkan Surat Direktur Jenderal Agraria atas nama Menteri Dalam Negeri tertanggal 20 Desember 1969 No. Dpt/12/63/12/69 tentang Surat Keterangan Warisan dan Pembuktian Kewarganegaraan yuncto Pasal 42 ayat (1) PP No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yuncto ketentuan Pasal 111 ayat (1) huruf c Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (PMNA 03/1997), dapat dibuat dalam bentuk surat keterangan hak waris yang kewenangan pembuataannya dibedakan berdasarkan ras dan golongan penduduk, sebagai berikut:56
54
Sonny Tobelo Manyawa, “Warisan dan Wasiat” (online), http://sonnytobelo.blogspot.com/2011/11/warisan-wasiat.html, 23 Desember 2015, pukul 12.30 WIB 55 Habib Adjie, Bernas-Bernas Pemikiran di Bidang Notaris dan PPAT, Mandar Maju, Bandung, 2012, hlm. 28-29 56 Habib Adjie, Pembuktian Sebagai Ahli Waris Dengan Akta Notaris (Dalam Bentuk Akta Keterangan Waris), Mandar Maju, Bandung, 2008, hlm.7
commit to user
46 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1. Bagi warganegara Indonesia penduduk asli: surat keterangan ahli waris yang dibuat oleh para ahli waris dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi dan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan dan Camat tempat tinggal pewaris pada waktu meninggal dunia; 2. Bagi warganegara Indonesia keturunan Tionghoa: akta keterangan hak mewaris dari Notaris, 3. Bagi warganegara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya: surat keterangan waris dari Balai Harta Peninggalan. 6. Teori Pertanggungjawaban Hukum Menurut Hans Kelsen dalam teorinya mengenai tanggung jawab hukum menyatakan, “bahwa seseorang bertanggungjawab secara hukum atas suatu perbuatan hukum tertentu atau bahwa dia memikul tanggung jawab atas suatu sanksi dalam hal perbuatan yang bertentangan.”57 Tanggung jawab menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah suatu keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (jika terjadi sesuatu dapat dituntut, diperkarakan, dan sebagainya).58 Tanggung jawab hukum adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatan yang disengaja maupun
yang
tidak
pertanggungjawaban,
disengaja.59 yaitu
Terdapat
dua
pertanggungjawaban
macam mutlak
bentuk (absolut
responsibility) dan pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (based on fault).60 Teori
pertanggungjawaban
hukum
diperlukan
untuk
dapat
menjelaskan hubungan antara tanggung jawab Notaris yang berkaitan
57
Jimly Asshsidique dan Ali Safaat, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jenderal dan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 2006, hlm. 63 58 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, hlm. 1139 59 Purbacaraka, Perihal Kaedah Hukum, Citra Aditya, Bandung, 2010, hlm. 37 60 Jimly Asshsdique dan Ali Safaat, Op.Cit; hlm. 61
commit to user
47 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dengan kewenangan Notaris berdasarkan UUJN.61 Kewenangan ini salah satunya adalah menciptakan alat bukti yang dapat memberikan kepastian hukum bagi para pihak, kemudian menjadi suatu delik atau perbuatan yang harus dipertanggungjawabkan secara pribadi atau individu. Jabatan Notaris merupakan suatu pekerjaan dengan keahlian khusus yang menuntut pengetahuan luas, serta tanggung jawab yang berat untuk melayani kepentingan umum dalam bidang hukum perdata.62 UUJN mengatur bahwa ketika Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya terbukti melakukan pelanggaran, Notaris tersebut dapat dikenai atau dijatuhi sanksi berupa sanksi perdata dan administrasi, akan tetapi dalam Peraturan Jabatan Notaris, Kode Etik Notaris, UUJN, dan UUJN-P, tidak diatur mengenai ketentuan sanksi pidana terhadap Notaris. Apabila terjadi pelanggaran pidana terhadap Notaris, maka dapat dikenakan sanksi pidana yang terdapat dalam KUHP, dengan catatan bahwa pemidanaan terhadap Notaris tersebut dapat dilakukan dengan batasan-batasan sebagai berikut: 1) Adanya tindakan hukum dari Notaris terhadap aspek lahiriah, formal dan materiil dalam akta, yang dengan sengaja dan penuh kesadaran, serta direncanakan bahwa akta yang akan dibuat itu telah disepakat bersama-sama dengan para penghadap untuk melakukan suatu tindak pidana. 2) Adanya tindakan hukum dari Notaris dalam membuat akta tidak sesuai dengan Undang-Undang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris.
61
Lanny Kusumawati, Tanngung Jawab Jabatan Notaris, http: http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/131140-T%2027453-Analisa%2tanggungjawabAnalisis.pdf, 09 Desember 2015, pk 17.53 WIB 62 Marthalena Pohan, Tanggunggugat Advocat, Dokter, dan Notaris, Bina Ilmu, Surabaya, 1985, hlm. 32
commit to user
48 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
7. Teori Kepastian Hukum Kepastian hukum merupakan salah satu asas terpenting dalam negara hukum yang digunakan untuk ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat.63 Teori kepastian hukum dalam penelitian ini dikaitkan dengan kewenangan Notaris dalam membuat surat keterangan waris. Hingga saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang secara jelas mengatur kewenangan membuat surat keterangan waris. Dalam praktik banyak timbul peristiwaperistiwa hukum, dimana ketika dihaapkan dengan substansi norma yang mengaturnya, kadangkala tidak jelas atau tidak sempurna, sehingga timbul penafsiran yang berbeda-beda, akibatnya akan menimbulkan adanya ketidakpastian hukum.64 Kepastian hukum mengandung arti kepastian aturan dalam undangundang yang tidak dapat ditafsirkan secara berlainan. Menurut
Gustav
Radbruch seperti yang dikutip oleh Satjipto Rahardjo, kepastian hukum merupakan salah satu nilai dasar hukum.65 Kepastian hukum juga mengandung aspek konsistensi walaupun suatu peraturan perundangundangan diimplementasikan dalam waktu dan ruang yang berbeda.66 Menurut Gustav Radbruch seperti yang dikutip oleh Theo Huijbers pengertian hukum dapat dibedakan tiga aspek yang ketiga-tiganya diperlukan untuk sampai pada pengertian hukum yang memadai, aspek tersebut adalah: 1. Kepastian hukum; 2. Keadilan;
63
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Bandung, 2002, hlm 3 64 Bambang Semedi, Penegakan Hukum Yang Menjamin Kepastian Hukum, Artikel Pusdiklat Bea dan Cukai, Edisi Desember 2013, hlm. 5 65 Satjipto Rahardjo, lmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 19 66 Sudarsono, Kamus Hukum Edisi Baru, ctk. Kelima, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hlm. 63
commit to user
49 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3. Daya guna atau kemanfaatan.67 Sudikno
Mertokusumo mengartikan, bahwa
kepastian hukum
merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.68 Kepastian hukum menurut Sudiko Mertokusumo ini akan memberikan perlindungan hukum bagi Notaris yang bersedia membuatkan surat keterangan waris bagi WNI keturunan meskipun di kelak kemudian hari menghadapi tuntutan dari hak waris lainnya yang semula tidak diketahui oleh Notaris yang bersangkutan. Kepastian hukum menurut Van Kan menyatakan bahwa hukum bertugas menjamin adanya kepastian hukum dalam pergaulan manusia.69 Menurut Peter Mahmud Marzuki, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu.70 Kepastian hukum bukan hanya berupa pasalpasal dalam undang-undang, melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan yang satu dengan putusan hakim yang lainnya untuk kasus serupa yang telah diputus.71 Hukum merupakan alat yang efektif untuk mencapai tujuan sosial karena aturan hukum secara konsisten melekat pada petugas hukum dan 67
Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintas Sejarah, ctk. Keempatbelas, Kanisius, Yogyakarta, 2007, hlm. 163 68 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, (selanjutnya disebut Sudikno Mertokusumo I), 2007, hlm. 145 69 E. Utrecht dan Moh. Saleh J. Jindang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Iktiar Baru dan Sinar Harapan, Jakarta, 1989, hlm. 25 70 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hlm. 158 71 Ibid;
commit to user
50 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
masyarakat.72 Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena dapat memberikan pengaturan secara jelas dan logis. Jelas dalam arti tidak menimbulkan keragu-raguan atau multi tafsir, dan logis dalam arti hukum tersebut menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma ataupun adanya kekaburan dan kekosongan norma. Teori kepastian hukum ini dapat dipergunakan untuk dapat mengatasi persoalan dalam hal bentuk pertanggungjawaban notaris terhadap proses pembuatan akta otentik yang data dan informasinya dipalsukan oleh para pihak. Realitanya banyak permasalahan seperti ini timbul di masyarakat dan mengikutsertakan Notaris tetapi di dalam pengaturannya terutama di UUJN sendiri tidak mengatur mengenai tanggung jawab pidana seorang notaris dari akta yang telah dibuatnya berdasarkan data dan informasi yang dipalsukan oleh para pihak. Dengan asas kepastian hukum ini diharapkan dapat memberikan suatu bentuk kepastian bagi notaris apabila berhadapan dengan kasus seperti ini. 8. Teori Tentang Pertimbangan Hakim Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian hukum, di samping itu juga mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan sehingga pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan teliti, baik, dan cermat. Apabila pertimbangan hakim tidak teliti, baik, dan cermat, maka putusan hakim yang berasal dari pertimbangan hakim tersebut akan dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung.73 Hakim dalam pemeriksaan suatu perkara juga memerlukan adanya pembuktian, dimana hasil dari pembuktian itu kan digunakan sebagai bahan 72
73
Hari Purwadi, Memahami Hukum Dari Konstruksi Sampai Implementasi, Rajawali Press, Jakarta, 2004, hlm. 64 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Cetakan kelima, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hlm. 140
commit to user
51 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pertimbangan dalam memutus perkara. Pembuktian merupakan tahap yang paling penting dalam pemeriksaan di persidangan. Pembuktian bertujuan untuk memperoleh kepastian bahwa suatu peristiwa atau fakta yang diajukan itu benar-benar terjadi, guna mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil. Hakim tidak dapat menjatuhkan suatu putusan sebelum nyata baginya bahwa peristiwa atau fakta tersebut benar-benar terjadi, yakni dibuktikan kebenaranya, sehingga nampak adanya hubungan hukum antara para pihak. Selain itu, pada hakikatnya pertimbangan hakim hendaknya juga memuat tentang hal-hal sebagai berikut : a. Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil-dalil yang tidak disangkal. b. Adanya analisis secara yuridis terhadap putusan segala aspek menyangkut semua fakta atau hal-hal
yang terbukti dalam
persidangan. c. Adanya semua bagian dari petitum Penggugat harus dipertimbangkan atau diadili secara satu demi satu sehingga hakim dapat menarik kesimpulan tentang terbukti atau tidaknya dan dapat dikabulkan atau tidaknya tuntutan tersebut dalam amar putusan. Dasar hakim dalam menjatuhkan putusan pengadilan perlu didasarkan kepada teori dan hasil penelitian yang saling berkaitan sehingga didapatkan hasil penelitian yang maksimal dan seimbang dalam tataran teori dan praktek. Salah satu usaha untuk mencapai kepastian hukum kehakiman, di mana hakim merupakan aparat penegak hukum melalui putusannya dapat menjadi tolak ukur tercapainya suatu kepastian hukum. Pokok kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-undang Dasar 1945 Bab IX Pasal 24 dan Pasal 25 serta di dalam Undang-undang Nomor 48 tahun 2009. Undang-undang Dasar 1945 menjamin adanya sesuatu kekuasaan kehakiman yang bebas. Hal ini tegas dicantumkan dalam Pasal 24 terutama dalam penjelasan Pasal 24 ayat 1 dan penjelasan Pasal 1 ayat commit to user
52 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(1) UU No. 48 Tahun 2009, yaitu kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila dan Undang-undang Negara Republik Indonesia tahun 1945 demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka dalam ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-undang Dasar 1945. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim alah menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia. Kemudian Pasal 24 ayat (2) menegaskan bahwa: kekuasan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah mahkamah konstitusi.74 Kebebasan hakim perlu pula dipaparkan posisi hakim yang tidak memihak (impartial jugde) menurut Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009. Istilah tidak memihak di sini haruslah tidak harfiah, karena dalam menjatuhkan putusannya hakim harus memihak yang benar. Dalam hal ini tidak diartikan tidak berat sebelah dalam pertimbangan dan penilaiannya. Lebih tapatnya perumusan UU No. 48 Tahun 2009 Pasal 5 ayat (1): “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”.75 Seorang Hakim diwajibkan untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan tidak memihak. Hakim dalam memberi suatu keadilan harus menelaah terlebih dahulu tentang kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya kemudian memberi penilaian terhadap peristiwa tersebut dan 74 75
Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, Rineka Cipta, Jakarta, 1996, hlm. 94 Ibid; hlm. 95
commit to user
53 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menghubungkannya dengan hukum yang berlaku. Setelah itu Hakim baru dapat menjatuhkan putusan terhadap peristiwa tersebut. Seorang hakim dianggap tahu akan hukumnya sehingga tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili suatu peristiwa yang diajukan kepadanya. Hal ini diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UU No. 35 Tahun 1999 jo. UU No. 48 Tahun 2009 yaitu: pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Seorang hakim dalam menemukan hukumnya diperbolehkan unruk bercermin pada yurisprudensil dan pendapat para ahli hukum terkenal (doktrin). Hakim dalam memberikan putusan tidak hanya berdasarkan pada nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, hal ini dijelaskan dalam Pasal 28 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2009 yaitu: “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”. Putusan hakim merupakan puncak klimaks dari suatu perkara yang sedang diperiksa dan diadili oleh seorang hakim. Hakim memberikan keputusannya mengenai hal-hal sebagai berikut :76 1. Keputusan mengenai peristiwanya, apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya. 2. Keputusan mengenai hukumnya, apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa itu merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa bersalah dan dapat dipidana. 3. Keputusan mengenai pidananya, apabila terdakwa memang dapat dipidana. Peraturan perundang-undangan Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 8 Ayat (1) menyebutkan : “setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah
76
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 74
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
54 digilib.uns.ac.id
sampai adanya putusan pengadilan dan menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”. Pasal 1 butir 11 KUHAP menyebutkan bahwa, putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini. Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dimuka sidang yang terbuka untuk umum. (Pasal 195 KUHAP). Syarat sah nya suatu putusan hakim mencakup dua hal yaitu memuat hal-hal yang diwajibkan dan diucapkan di sidang yang terbuka untuk umum. Hal itu harus dipenuhi oleh hakim dalam setiap proses pengambilan keputusan. Putusan pemidanaan diatur dalam Pasal 193 ayat 1 KUHAP yang menentukan “jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana. Seorang hakim haruslah independen, tidak memihak kepada siapapun juga, dalam persidangan semuanya diperlakukan sama. UU Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, tugas Hakim untuk mengadili perkara berdimensi menegakkan keadilan dan menegakkan hukum. Hakim dalam melaksanakan tugasnya harus bebas dan tidak boleh terpengaruh atau memihak kepada siapapun. Jaminan kebebasan ini juga diatur dalam berbagai peraturan, yaitu dalam Pasal 24 UUD Negara RI Tahun 1945, yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kebebasan hakim menjatuhkan putusan dalam proses peradilan pidana terdapat dalam Pasal 3 ayat (1) dan (2) UU Nomor 48 tahun 2009 tentang Asas Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan : Ayat (1) : Dalam menjatuhkan tugas dan fungsinya, Hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan. Ayat (2) : Segala campur tangan dalam urusan commit to user
55 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
peradilan oleh pihak lain luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam UUD Kesatuan RI Tahun 1945. Isi pasal tersebut dipertegas lagi dalam Pasal 5 ayat (1) UU No 48 Tahun 2009
tentang Asas
Penyelenggaraan
Kekuasaan
Kehakiman
yang
menyatakan : “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Segala keputusan pengadilan selain harus memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk menggali, kaedah hukum yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat. Putusan pengadilan merupakan tanggung jawab hakim dalam melaksanakan tugasnya, untuk menerima, memeriksa dan
memutus
perkara
yang
diajukan
kepadanya
dimana
pertanggungjawaban tersebut tidak hanya dijatuhkan kepada hukum, dirinya sendiri ataupun masyarakat luas, tetapi yang lebih penting lagi itu harus dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Proses atau tahapan penjatuhan putusan oleh hakim, dalam perkara pidana, menurut Moeljatno, dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu:77 1. Tahap Menganalisis Perbuatan Pidana Pada saat hakim menganalisis, apakah terdakwa melakukan perbuatan pidana atau tidak, yang dipandang primer adalah segi masyarakat, yaitu perbuatan tersebut sebagai dalam rumusan suatu aturan pidana. 2. Tahap Menganalisis Tanggungjawab Pidana Jika seorang terdakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan pidana melanggar suatu pasal tertentu, hakim menganalisis apakah terdakwa dapat dinyatakan bertanggung jawab atas perbuatan pidana yang dilakukannya. 3. Tahap Penentuan Pemidanaan
77
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 96
commit to user
56 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Hakim akan menjatuhkan pidana bila unsur-unsur telah terpenuhi dengan melihat pasal Undang-Undang yang dilanggar oleh Pelaku. Dengan dijatuhkannya pidana, Pelaku sudah jelas sebagai Terdakwa. Menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP, Hakim dalam menjatuhkan putusan dalam persidangan dapat melihat alat bukti yang sah, yaitu : surat, petunjuk, keterangan Terdakwa, keterangan saksi, dan keterangan ahli. 9. Teori Tentang Hukum Murni Teori hukum mempunyai makna ganda yaitu teori hukum sebagai produk dan teori hukum sebagai proses. Teori hukum dikatakan sebagai produk, sebab rumusan suatu satu kesatuan dari pernyataan yang saling berkaitan adalah merupakan hasil kegiatan teoritik bidang hukum. Teori hukum dapat dikatakan sebagai proses karena teori hukum tersebut merupakan kegiatan teoritik tentang hukum atau bidang hukum. Ada beberapa aliran dalam perkembangan teori hukum, dan masing-masing memiliki cara pandang yang berbeda. Hans Kelsen adalah tokoh yang mempelopori sebuah teori hukum yaitu teori hukum murni. Bukunya yang terkenal berjudul Reine Rechslehre (ajaran hukum murni). Teori hukum murni adalah teori yang berasal dari aliran hukum positif, dimana di dalam teori ini berusaha untuk memberikan pengertian hukum dilihat sebagai sesuatu yang “murni“ terlepas dari segala unsur lain yang berasal dari luar ilmu hukum itu sendiri. Teori hukum murni merupakan suatu bentuk pemberontakan yang ditujukan terhadap ilmu hukum yang ideologis, yaitu ajaran yang hanya mengembangkan hukum sebagai alat pemerintahan suatu rezim dari negara-negara totaliter. Teori ini hanya menerima hukum sebagaimana adanya, yaitu dalam bentuk peraturanperaturan yang ada.78
78
Hans Kelsen, Teori Hukum Murni: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, terjemahan oleh: Raisul Muttaqien, cetakan ke X, Penerbit Nusa Media, Bandung, hlm. 1
commit to user
57 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pada dasarnya inti dari ajaran Hans kelsen terkait dengan hukum murni ada tiga konsep, yaitu:79 1. Ajaran murni hukum Hans Kelsen ingin membersihkan ilmu hukum dari anasir-anasir non hukum seperti sejarah, moral, sosiologis, politik, dan sebagainya. 2. Ajaran tentang Grundnorm merupakan induk yang melahirkan peraturan-peraturan hukum dalam suatu tatanan sistem hukum tertentu. Jadi antara Grundnorm yang ada pada tata hukum A tidak mesti sama dengan Grundnorm pada tata hukum B. Grundnorm ibarat bahan bakar yang menggerakkan seluruh sistem hukum. Grundnorm memiliki fungsi sebagai dasar mengapa hukum itu ditaati dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan hukum. 3. Ajaran tentang Stufenbautheorie, peraturan hukum keseluruhannya diturunkan dari norma dasar yang berada dipuncak piramida, dan semakin kebawah semakin beragam dan menyebar. Norma dasar teratas adalah abstrak dan makin kebawah makin konkrit. Dalam proses itu, apa yang semula berupa sesuatu yang “seharusnya” berubah menjadi sesuatu yang “dapat” dilakukan. Salah satu ciri yang menonjol pada teori hukum murni adalah adanya suatu paksaan. Setiap hukum harus mempunyai alat atau perlengkapan untuk memaksa. Negara dan hukum dinyatakan identik, sebab negara hanya suatu sistem perilaku manusia dan pengaturan terhadap tatanan sosial. Kekuasaan memaksa ini tidak berbeda dengan tata hukum, dengan alasan bahwa didalam suatu masyarakat hanya satu dan bukan dua kekuasaan yang memaksa pada saat yang sama.
79
Lajaudi, http://lajaudi.blogspot.co.id/2013/04/pengaruh-teori-hans-kelsen-terhadap.html. Diakses pada tanggal 15 November 2015. Pukul 16.30WIB
commit to user
58 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Bagian lain dari teori Hans Kelsen yang bersifat dasar adalah konsepsinya mengenai Grundnorm, yaitu suatu dalil yang akbar yang tidak dapat ditiadakan yang menjadi tujuan dari semua jalan hukum bagaimanapun berputar-putarnya jalan itu. Grundnorm merupakan induk untuk melahirkan peraturan-peraturan hukum dalam suatu tatanan sistem tertentu. Grundnorm ini tidak perlu sama untuk setiap tata hukum; tetapi ia selalu akan ada, apakah dalam bentuk tertulis, atau sebagai suatu pernyataan yang tidak tertulis. Penerapan teori hukum murni di Indonesia bisa dilihat dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 tahun 2009 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman bahwa Hakim dan Hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam penjelasannya menyatakan ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) dari UU No. 48 tahun 2009 diakui adanya kemungkinan ketidaksempurnaan suatu teks hukum yang termuat dalam pasal Undang-Undang sehingga cenderung untuk tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Hakim sebagai ujung tombak dalam proses litigasi pengadilan haruslah mencermati keadaan tersebut. Bagi kelompok yang melihat hukum dari perspektif sosial, ketentuan tersebut dianggap sebagai pembelaan terhadap pandangan mereka. 10. Penelitian Yang Relevan Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang telah dilakukan oleh Penulis, terdapat beberapa penelitian yang relevan, antara lain: 1. Penelitian (tesis), tahun 2010, Program Studi Magister Kenotariatan, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, yang dilakukan oleh Ika Handayani, dengan judul “Kedudukan Hukum Akta Notaris Sebagai Alat Bukti Dalam Proses Penyidikan” Berdasarkan hasil analisa diperoleh hasil bahwa kedudukan hukum akta notaris adalah sebagai alat bukti yang mempunyai commit to user
59 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kekuatan pembuktian yang sempurna. Agarv mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna seluruh ketentuan prosedur dan tata cara akta notaris harus sesuai dengan Undang-Undang Jabatan Notaris. Akta Notaris mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna jika memenuhi tiga aspek yaitu aspek lahiriah, formal, dan materiil. Jika ada prosedur yang tidak dipenuhi dan prosedur yang tidak dipenuhi tersebut dapat dibuktikan, maka akta tersebut dinyatakan sebagai akta yang mempunyai kekuatan pembuktian di bawah tangan. Akibat hukum terhadap akta yang memuat keterangan palsu, apabila pihak yang mendalilkan dapat membuktikannya, maka akta Notaris tersebut batal demi hukum. 2. Penelitian (tesis), tahun 2014, Program Studi Magister Kenotariatan, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Udayana, yang dilakukan oleh I Gusti Agung Oka Diatmika, dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Jabatan Notaris Berkaitan Dengan Adanya Dugaan Malapraktek Dalam Proses Pembuatan Akta Otentik”. Berdasarkan hasil analisa diperoleh hasil bahwa mengenai standar yang harus dipenuhi Notaris dalam membuat akta otentik adalah harus memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian (Pasal 1320 KUHPerdata),
syarat
pembuatan
akta
otentik
(Pasal
1868
KUHPerdata), serta harus tunduk pada ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UUJN dan Kode Etik Notaris. Hal ini harus dilakukan, agar seorang Notaris mampu menghasilkan produk akta yang baik dan bebas dari permasalahan hukum. Perlindungan hukum terhadap jabatan Notaris melalui Majelis Pengawas Notaris dapat dilakukan secara represif karena terkait dengan penerapan Pasal 66 ayat (1) UUJN, yaitu dalam memberikan persetujuan atau menolak permintaan penyidik yang hendak memanggil Notaris dalam proses peradilan. Perlindungan hukum yang diberikan kepada Notaris bertujuan untuk commit to user
60 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menghindari tindakan yang sewenang-wenang dari penyidik yang hendak memanggil Notaris dalam persidangan. 3. Penelitian (tesis), tahun 2007, Program Studi Magister Kenotariatan, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang dilakukan oleh Yusnani, dengan judul “Analisa Hukum Terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan)”. Berdasarkan hasil analisa diperoleh hasil bahwa sanksi yang dapat diberikan kepada penghadap yang memberikan keterangan palsu di dalam akta otentik adalah berupa ancaman hukuman baik secara perdata maupun secara pidana. Secara perdata penghadap telah melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan hak orang lain dan wajib mengganti kerugian yang ditimbulkannya tersebut. Secara pidana penghadap diancam dengan hukuman sesuai dengan ketentuan Pasal 266 ayat (1) KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1e KUHP, sebab telah terbukti secara sah berusaha melakukan kejahatan “secara bersama-sama menyuruh menempatkan keterangan palsu dalam akta otentik” berdasarkan telah dipenuhinya unsur-unsur dari perbuatan pidana yang tercantum dalam pasal-pasal yang dituduhkan, sehingga penghadap layak untuk diberi hukuman penjara. Sedangkan akibat hukum terhadap akta otentik yang mengandung keterangan palsu adalah bahwa akta otentik tersebut telah menimbulkan suatu sengketa dan diperkarakan di pengadilan, oleh sebab itu, pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan secara perdata ke pengadilan agar hakim dapat memutus dan mengabulkan pembatalan akta tersebut. Relevansi judul, perumusan masalah, dan pembahasan yang ada pada penelitian tersebut di atas berbeda dengan apa yang Penulis sedang teliti saat ini. Dalam penelitian ini hasil yang diharapkan adalah untuk mengetahui apakah dasar hukum Hakim dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid/2013 telah tepat menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 commit to user
61 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tentang Hukum Acara Pidana dan tanggungjawab Notaris terhadap akta otentik mengenai keterangan palsu menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
commit to user
62 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Kerangka Pemikiran
Perkara Pemalsuan Akta Otentik (Put MA No. 238/Pid/2013)
Tanggungjawab Notaris (UUJN No. 2 Tahun 2014)
Hakim Pertimbangan Hakim Putusan
Pemidanaan
Lepas dari segala tuntutan
Bebas Murni
Putusan Bebas
Bebas Tidak Murni
Upaya Hukum Kasasi
Alasan Kasasi
Putusan Kasasi
commit to user
63 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Keterangan Kerangka pemikiran tersebut menjelaskan alur pemikiran penulis dalam mengangkat, menggambarkan, menelaah, dan menjabarkan serta menemukan jawaban atas permasalahan hukum. Putusan Pengadilan Negeri Semarang atas perkara tindak pidana pemalsuan yaitu para terdakwa melakukan pemalsuan Surat Keterangan Hak Waris untuk mengambil sertifikat tanah dan bangunan milik Arie Setiawan yang dititipkan kepada saksi Notaris Suyanto, SH. Putusan tersebut membebaskan Terdakwa dari dakwaannya. Permasalahan terjadi ketika penuntut umum mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung dengan alasan telah terjadi kesalahan Judex Factie dalam menerapkan hukum karena membuat putusan tanpa mempertimbangkan status alat bukti serta tidak mempertimbangkan fakta-fakta yang terungkap dalam pengadilan. Dari kasus pemalsuan akta otentik tersebut Penulis menganalisa tugas dan wewenang Notaris dalam pembuatan Akta Keterangan Waris serta tanggung jawab Notaris terhadap akta otentik yang terdapat keterangan palsu yang disampaikan oleh para penghadap. Berdasarkan hal tersebut, permasalahan yang ingin Penulis ketahui adalah tugas dan wewenang Notaris dalam pembuatan Akta Keterangan Waris serta tanggungjawab Notaris terhadap akta otentik yang terdapat keterangan palsu yang dilakukan oleh para penghadap menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
commit to user