8
BAB II LANDASAN TEORI
2. 1. Tata Kelola TI
Strategi TI terbaik adalah startegi TI yang selalu baru dan menyesuaikan perubahan bisnis dan kondisi pasar beserta isu – isu yang berkembang, seperti yang diungkapkan oleh Lutchen (2004).Keterlibatan Board of Director (BOD) dalam menentukan strategi bisnis sudah sering terjadi namun keterlibatan pemimpin TI sangat jarang terjadi. Hal ini terjadi karena masih menganggap bahwa TI sebagai service support dalam bisnis. Applegate (2009) berpendapat bahwa tata kelola TI yang baik dapat meningkatkan efektifitas dari perusahaan dengan memaksimalkan aset organisasi TI sehingga dapat mengoptimalkan tujuan bisnis serta melindungi investasi TI perusahaan termasuk sistem dan jaringan. Namun yang terjadi adalah banyak bagian TI yang saat ini belum selaras dengan strategi bisnis perusahaan seperti pendapat Lutchen (2004), misalnya: 1. TI tidak memiliki visi global dan strategi. 2. Pengeluaran TI belum bisa meningkatkan revenue bagi perusahaan.
9
3. TI dikelola sebagai pusat biaya (cost center) bukan sebagai profit center dan meningkatkan revenue. 4. TI belum menjadi bagian dalam perencanaan bisnis dan eksekusi. 5. Kepemimpinan TI telah terfragmentasi di dalam perusahaan dan sangat dibatasi kemampuan organisasinya dalam meningkatkan dan menjadi pendorong bisnis. 6. TI belum memiliki titik fokus tunggal yang bertanggungjawab dan dapat diperhitungkan dalam mengelola, memimpin dan meningkatkan investasi perusahaan. Dengan kata lain keadaan yang ada di divisi TI saat ini (maturity level) sangat membutuhkan masukan dan solusi untuk mencarikan jalan keluar terhadap permasalahan internal perusahaan.
2. 2. Tingkat Kematangan
Tingkat kematangan atau maturity level sangat diperlukan untuk mengetahui sudah sampai sejauh mana tingkat operasional dari sebuah organisasi. Seperti yang diungkapkan Suryani (2009) bahwa semakin tinggi tingkat kematangan maka semakin baik proses tata kelola TI, dimana secara tidak langsung berarti semakin diandalkan dukungan teknologi informasi dalam proses pencapaian tujuan organisasi.
10
Pengukuran tingkat kematangan dapat menggunakan COBIT, ISO maupun ITIL.Namun kali ini Penulis melakukan pengukuran tingkat kematangan pada manajemen insiden dan manajemen masalah menggunakan metrik IT Service Management (ITSM) seperti yang disampaikan oleh Dugmore, Macfarlane dan Jenny (2006) dimana ITSM merupakan dasar dari ITIL dan ISO.Hal ini juga diungkapkan Menken (2010) dimana ISO / IEC 20000 dapat digunakan sebagai assessment bagi IT Service Management, business provider, dan layanan TI suatu bisnis.
Gambar 2.1: ISO 20000 Process Frameworks (DiMaria, 2006)
Pada ISO 20000 komponen manajemen insiden dan manajemen masalah terdapat pada Resolution Process seperti yang dipresentasikan oleh DiMaria (2006) pada gambar 2.1.Resolution process adalah salah satu bagian dari ISO 20000 yang berbicara mengenai penyelesaian yang dalam hal ini menyangkut
11
insiden dan masalah.Didalamnya berisi standard yang dapat dijadikan acuan dalam penyusunan ketetapan internal sebuah organisasi dalam pengaturan manajemen insiden dan manajemen masalah. Sedangkan pada ITIL v3 komponen manajemen insiden dan manajemen masalah berada pada Service Operation Proses pada gambar 2.3. Dari hasil pengukuran maturity levelakan diketahui sejauh mana tata kelola TI dan kearah mana tujuan perbaikan akan dilakukan, tentunya dengan melihat area proses yang menjadi konsentrasi perbaikan. Tingkatan dari maturity level diilustrasikan oleh CMMI Product team (2002) seperti pada gambar 2.2.
Gambar 2.2: Tingkat Kematangan (CMMI Product team, 2002)
12
2. 3. Goal Question Metrics (GQM)
Metrik atau parameter atau ukuran penilaian kualitatif digunakan untuk mengukur atau membandingkan atau sebagai alat untuk melacak kinerja suatu proses. Dari sisi bisnis, metrik adalah pengukuran yang digunakan untuk mengukur beberapa komponen kualitatif seperti kinerja suatu proses dalam organisasi atau investasi (ROI). Salah satu metrik yang sering digunakan dan telah diterapkan oleh berbagai tool kerangka kerja adalah Goal Question Metics (GQM). Konsep GQM digunakan oleh ITSM, ITIL, COBIL, ISO dan kerangka kerja lainnya guna mengetahui apakah proses telah mencapai tujuan organisasi atau individu. Goal Question Metric memberikan tiga tingkatan dalam model pengukuran, yaitu: 1. Conceptual Level (Goal); Sebuah tujuan diberikan untuk sebuah objek dengan berbagai alasan, serta hubungan dengan berbagai model yang berkualitas dari berbagai sudut pandang dan relative terhadap lingkungan tertentu. 2. Operational Level (question); Merupakan satu set pertanyaan yang digunakan untuk menentukan model pembelajaran dan untuk selanjutnya berfokus kepada objek untuk mencari penilaian atau pencapaian tujuan tertentu.
13
3. Quantitative Level (metric); Merupakan sati set metric berdasarkan modelmodel yang terkait dengan setiap pertanyaan untuk dijawab dalam cara yang terukur. GQM mewakili pendekatan sistematis (metrik) untuk menyesuaikan dan mengintegrasikan tujuan dan proses. GQM mendefinisikan tujuan tertentu, memurnikan tujuan ke pertanyaan, dan mendefinisikan metrik yang dapat menyediakan informasi untuk menjawab pertanyaan. Dengan adanya metrik ini maka akan terkumpul data untuk analisa dan menghasilkan informasi bagi organisasi dalam rangka menyusun strategi bisnis kedepan untuk mencapai visi organisasi.
2. 4. ITIL v3
Information
Technology
Infrastructure
Library
(ITIL)
versi
1
diperkenalkan pada awal tahun 1980 oleh Office Government Commerce (OGC). Versi 1 sebanyak 40 publikasi dengan fokus mengatur teknologi. Versi 2 diluncurkan dengan 8 buku pada tahun 1990 dengan fokus pada implementasi proses layanan manajemen (implementing service management process). Untuk selanjutnya pada pertengahan tahun 2007 versi 3 keluar dengan 6 buku dan berfokus kepada manajemen layanan TI (IT Service Management). Menurut Arraj (2012) berdasarkan best practice panduan ITIL telah menunjukkan keberhasilan dalam mendorong bisnis secara konsisten, efisien dan sempurna dalam mengatur layanan TI. Sejak ITIL menggunakan pendekatan manajemen layanan TI maka
14
konsep dari sebuah layanan harus didiskusikan bersama seluruh komponen organisasi. Peranan unit bisnis sangat berperan dalam membantu menentukan strategi TI kedepan yang akan menjadi bagian dari strategi bisnis organisasi. Brooks (2006) mengungkapkan bahwa ITIL dibuat untuk menyelaraskan TI dengan kebutuhan bisnis, sama halnya dengan metode COBIT atau Six Sigma yang secara bersama – sama untuk menunjang kebutuhan tujuan bisnis dan kebutuhan stakeholder yang bervariasi, dimana sudah menjadi bagian dan peranan TI dalam memberikan layanan terhadap tujuan bersama.
Gambar 2.3: Information Technology Infrasructure Library v3Framework
15
ITIL dapat berdiri sendiri, mendefinisikan dan membantu organisasi dalam membuat regulasi serta kebijakan yang dibutuhkan bagi manajemen TI. ITIL v3 memiliki 5 tingkat layanan, yaitu: 1. Service Strategy. 2. Service Design. 3. Service Transition. 4. Service Operation. 5. Continual Service Improvement. Secara lifecycle ITIL v3 dapat dilukiskan seperti pada gambar 2.3.Lima komponen kunci service support jika dipetakan ke dalam ITIL v3 akan menjadi: A. Service Operation Process a. Incident management b. Problem management B. Service Transition Process a. Configuration management b. Change management c. Release management Sesuai dengan fokus pada tesis kali ini maka ada 2 komponen yang akan dibahas meliputi manajemen insiden dan manajemen masalah.
16
2. 4. 1. Manajemen Insiden Manajemen insiden adalah salah satu sub proses dari ITIL v3 yang dibutuhkan bagi setiap perusahaan untuk mengimplementasikan TI operasaional yang lebih baik. Manajemen insiden didefinisikan sebagai suatu kegiatan organisasi untuk analisa dan menanggulangi bahaya.Terminology manajemen insiden menurut Taylor (2007) adalah semua kejadian yang bukan bagian dari operasi standar layanan, dan kejadian yang menyebabkan atau dapat menyebabkan sebuah gangguan atau penurunan kualitas dari layanan tersebut. Dengan adanya manajemen insiden maka akan didapatkan keuntungan bagi penyedia TI, misalnya: 1. Untuk memahami dan memenuhi persyaratan pelanggan / pengguna. 2. Untuk memperbaiki proses internal guna menghasilkan nilai tambah bagi pengguna. 3. Untuk menggunakan sumber daya secara efisien dan memberikan nilai keuntungan secara financial. 4. Untuk menyediakan fleksibilitas yang lebih besar dalam penyediaan layanan.
2. 4. 2. Manajemen Masalah Manajemen Masalah adalah suatu fungsi bisnis yang terdiri dari orang, proses dan teknologi terorganisis dan digunakan untuk menyelesaikan masalah pelanggan / pengguna, seperti yang diungkapkan Walker (2001). Sedangkan menurut Taylor (2007), masalah diartikan sebagai penyebab satu atau lebih
17
adanya insiden.Fungsi ini secara tradisional menjadi tanggung jawab dan dikelola oleh bagian helpdesk.Masalah dan pertanyaan berasal dari pengguna / pelanggan, baik internal maupun eksternal. Dengan adanya manajemen masalah maka akan memberikan beberapa keuntungan sebagai berikut: 1. Semakin tingginya ketersediaan layanan TI. 2. Untuk meningkatkan produktifitas sumber daya bisnis dan TI. 3. Untuk mengurangi pengeluaran seputar pekerjaan dan atau perbaikan yang tidak perlu. 4. Pengurangan biaya atas pekerjaan yang berulang akibat adanya permasalahan.
2. 5. Service Level Agreement (SLA)
Wustenhoff (2002) mengungkapkan bahwa SLA adalah sebuah ketetapan yang disetujui antara penyedia jasa dan konsumen.Dengan adanya SLA maka terjaga hubungan baik antara penyedia jasa dengan konsumen. Batasan–batasan dan ketetapan yang disetujui tertuang dalam SLA akan menjaga koitmen bersama dalam suatu hubungan kerjasama. Seperti yang diungkapkan oleh Wustenhoff (2002) bahwa SLA yang baik memiliki 5 aspek utama, yaitu: 1. Apakah penyedia jasa akan mewujudkan janji – janjinya.
18
2. Bagaimana penyedia jasa akan mewujudkan janji – janjinya. 3. Siapa yang akan mengatur layanan dan bagaimana caranya. 4. Apa yang terjadi jika penyedia gagal memberikan layanan yang dijanjikan. 5. Bagaimana SLA akan berubah dari waktu ke waktu. Dalam penulisan ini penyedia jasa adalah divisi TIsedangkan konsumen adalah pengguna layanan dari divisi TI.SLA digunakan sebagai dasar dari Sevice Level Managament (SLM) untuk selanjutnya sebagai tingkat Operational Level Agreement (OLA).
2. 6. Fishbone Diagram
Gambar 2.4: Fishbone Diagram
19
Fishbone diagram (diagram tulang ikan) atau dikenal juga dengan Ishikawa diagram diperkenalkan oleh Khoru Ishikawa pada tahun 1960, yang pada saat itu mempelopori proses manajemen mutu di galangan kapal Kawasaki Jepang dan menjadi salah satu pendiri manajemen modern. Diagram tulang ikan ditunjukkan seperti gambar 2.4. Penyebab (Cause) biasanya dikelompokkan dalam beberapa kategori utama untuk menidentifikasi sumber – sumber yang bervariasi. Kategori – kategori biasanya meliputi: 1. People; Siapa saja yang terlibat dalam proses. 2. Methods; Bagaimana proses dilakukan dan persyaratan khusus untuk melakukan, misanya prosedur, kebijakan, aturan dan lain –lain. 3. Machines; Peralatan pendukung proses. 4. Materials; Bahan baku, suku cadang dalam membuat produk. 5. Measurment; Data yang digunakan untuk mengukur suatu proses. 6. Environtment; Kondisi, budaya kerja dan iklim. Dengan membuat daftar penyebab seperti pada kategori penyebab diatas maka akan dapat dicarikan solusi dari effek / permasalahan suatu proses. Hal ini tentu memudahkan bagi analis untuk menentukan mana yang menjadi faktor utama dan faktor sekunder.
20
2.7. Flowchart Diagram
Flowchartdiagram adalah diagram yang merepresentasikan sebuah proses yang ditunjukkan melalui langkah-langkah yang dilambangkan dalam berbagai macam bentuk bangun ruang yang disusun dalam alur urutan tertentu yang dihubungkan oleh tanda panah. Diagram ini dapat memberikan langkah-langkah pemecahan sebuah masalah.Flowchart dapat digunakan untuk menganalisa, mendesain, dokumentasi atau mengatur sebuah proses atau program seperti yang ditunjukan pada gambar 2.5.
21
Gambar 2.5: Contoh Flowchart Diagram
2. 7. DMADV (Define, Measure, Analyze, Design and Verify)
Untuk melakukan peningkatan terus menerus menuju perbaikan maka dibutuhkan suatu pendekatan yang sistematis berdasarkan ilmu pengetahuan dan fakta dengan menggunakan peralatan, pelatihan dan pengukuran sehingga ekspektasi dan kebutuhan pelanggan dapat terpenuhi, seperti yang diungkapkan Simon (2003).Saat ini ada pendekatan yang biasa digunakan dalam Six Sigma
22
yaitu DMADV (Define, Measure, Analyze, Design and Verify). Metodologi DMADV dapat digunakan pada perusahaan yang belum mempunyai produk maupun proses atau pada perusahaan yang sudah memiliki produk maupun proses dan sudah dilakukan optimisasi namun tetap saja tidak bisa mencapai level spesifikasi yang ditetapkan berdasarkan pelanggan. Metodologi DMADV terdiri dari: 1. Define, menentukan tujuan proyek dan ekspetasi pelanggan. 2. Measure, mengukur dan memutuskan spesifikasi serta kebutuhan pelanggan. 3. Analyze, menganalisa beberapa pilihan proses yang sesuai dengan kebutuhan pelanggan. 4. Design, merancang proses secara terperinci yang sesuai dengan kebutuhan pelanggan. 5. Verify, menguji kemampuan dan kekuatan hasil rancangan agar sesuai dengan kebutuhan pelanggan.
2. 8. Penelitian Sebelumnya
Tehrani & Mohamed (2011) berpendapat bahwa manajemen insiden dan
manajemen masalah merupakan dua aktifitas utama ITIL dalam service framework yang menangani semua insiden sampai dengan akar permasalahan masing-masing masalah.Dari pendapat yang disampaikan dapat diketahui bahwa manajemen insiden dan manajemen masalah merupakan sebuah kesatuan yang
23
saling mendukung untuk mengendalikan setiap insiden hingga masalah yang terjadi.Oleh karena itu dalam penulisan ini manajemen insiden dan manajemen masalah
adalah
komponen
utama
yang
diteliti
dan
tidak
dapat
dipisahkan.Sedangkan service deskadalah sala satu tool yang secara luas digunakan oleh kebanyakan organisasi untuk memberikan layanan dan dukungan teknis secara tepat dan cepat, dimana manajemen insiden dan manajemen masalah dari ITIL framework menjadi landasan dasar dari service desk. Seiring dengan perkembangan teknologi, tren industri manufaktur sudah bergeser kearah pemanfaatan TI untuk meningkatkan efisiensi dan produktifitas seperti yang disampaikan oleh McLaughlin, Motwani, Madan & Gunasekaran (2003).Pemanfaatan TI dalam industri manufaktur khususnya PT Jakarta Cakratunggal Steel Mills menciptakan sebuah perbedaan antara organisasi dengan kompetitor dan memberikan sebuah peluang untuk terus melakukan perbaikan berkelanjutan.Contoh pemanfaatan TI dalam industri manufaktur adalah implementasi Supply Chain Management untuk meningkatkan efektifitas dalam mendapatkan keuntungan yang kompetitif. PT Jakarta Cakratunggal Steel Mills sebagai salah satu pelaku industri manufaktur peleburan besi tidak lepas dari perkembangan TI.Selaras dengan penyampaian Richardson & Mahfouz (2011) bahwa dengan menyelaraskan antara sumber daya manusia, proses dan teknologi maka akan tercapai tingkat kematangan Divisi TI sesuai dengan kebutuhan organisasi, maka PT JCSM juga mempunyai keinginan yang kuat untuk memperkuat Divisi TI khususnya tingkat kematangan pada manajemen insiden dan manajemen masalah.