BAB II Landasan Teori 2.1
Model Bisnis
Osterwalder dan Pigneur (2010, PP 14) mengatakan “a business model describes the rationale of how an organization creates, delivers, and captures value”. Jadi proses bisnis mengenai bagaimana sebuah perusahaan menciptakan, menyampaikan, dan menangkap nilai perusahaan bagi pelanggan sehingga pada akhirnya akan ningkatkan nilai perusahaan dari perspektif pelanggan. Dalam buku yang sama, Osterwalder dan Pigneur (2010, PP 16-47) menyebutkan bahwa model bisnis model paling tepat di deskripsikan melalui sembilan faktor yang menggambarkan logika yang digunakan oleh perusahaan untuk menghasilkan pendapatan. Sembilan fakor tersebut antara lain: customer segments, value propositions, channels, customer relationship, revenue streams, key resources, key activity, key partnerships, dan cost structure. Faktor-faktor ini melingkupi empat area utama dalam bisnis: customer, offer, infratrusture, dan financial viability. Bisnis model seperti cetak biru dari sebuah strategi untuk diimplementasikan melalui struktur organisasi, proses, dan sistem. Harmon (2009) mengatakan bisnis model yang terbaik akan gagal jika perusahaan gagal melaksanakannya. Rantai nilai atau proses yang baik akan gagal jika menghasilkan produk atau servis yang tidak pantas untuk pasar. Antara keduanya terdapat tugas untuk menyamakan bisnis model (dan tujuan serta strategi) perusahaan dengan proses pada perusahaan. Pada saat ini, proses dan model bisnis harus dinamis. Seorang eksekutif senior perusahaan harus secara konstan memperhatikan bisnis model organisasi, dan orang-orang proses juga secara konstan memikirkan cara untuk meningkatkan proses bisnis. Dan keduanya perlu memperhatikan bagaimana untuk mengganti model perspektif mereka untuk mengakomodasi kebutuhan dan keterbatasan yang lainnya.
5
6
2.2
Proses Bisnis
Seperti yang di tulis oleh Al-Mudimigh (2007) dalam jurnal manajemen proses bisnis, “A business process is set of interrelated activities which have definable inputs and, when executed, result int an output that adds value form a customer perscextive”, sebuah proses bisnis adalah sekumpulan aktivitas yang saling berhubungan yang memiliki input yang dapat dijabarkan dan saat dijalankan, hasilnya adalah pada output yang menambahkan nilai dari perspektif pelanggan. Proses bisnis secara sederhananya adalah cara menyelesaikan pekerjaan di dalam sebuah perusahaan. Mereka saling bersilang-fungsi (cross-functional) dan melewati fungsi organisasi. Seperti sebuah pemenuhan pesanan yang terbentang pada seluruh fungsi organisasi dari pelanggan hingga pengiriman akhir. De Bruin dan Roseman (2005) mengatakan mengenai factor yang berpengaruh terhadap suksesnya proses bisnis, “…. The underliying assumption of theoretical model is that the factors (based on identified BPM critical success factors) represent independent variables and the dependent variable is BPM success…. A further assumption is that higher maturity in each of this factors will be reflected in higher levels of success in the BPM initiative”. De Bruin dan Roseman menggambarkan bahwa untuk mencapai kesuksesan suatu proses dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: strategic alignment, culture, people, governance, methods, dan IT. Untuk itu dalam pengembangan suatu proses bisnis, faktor-faktor ini perlu diperhatikan karena pada akhirnya kesuksesan bisnis dapat dicapai. Pada penelitian ini, keselarasan strategi didapatkan dengan memperhatikan antara visi, misi, nilai-nilai, dan strategi perusahaan saling mendukung. Strategi perusahaan dijadikan rambu-rambu pada saat membuat CSF dan KPI sehingga CSF dan KPI tetap selaras dengan strategi perusahaan. Budaya perusahaan identik dengan nilainilai yang dijalankan oleh perusahaan. Faktor orang pada penelitian diwujudkan dengan pengembangan dan pembelajaran pegawai perusahaan. tata kelola perusahaan dalam penelitian ini diwujudkan dengan peraturan dan kedisiplinan untuk menjalankan aturan tesrsebut. Metode pelaksanaan proses digambarkan dengan jelas sehingga pegawai mengerti apa yang harus mereka kerjakan. Dan terakhir adalah
7
p pemanfaatan n TI yang memberikaan kemudahhan-kemudahhan dalam proses bisnnis p perusahaan. k terrsebut diterrapkan dalaam penelitiaan ini unttuk keenam konteks m mendukung kesuksesan proses bisniis perusahaan.
Gambar 3.1 3 The Undderlying Moodel
2 2.3
Man najemen Proses Bisnis B
Al-Mudim migh (2007)) juga mennuliskan dalaam jurnal manajemen m proses bisnnis, B BPM (busin ness processs managemeent) adalah sebuah penndekatan strruktural unttuk m mengertikan n, menganallisis, menduukung, dan secara berrkelanjutan meningkatkkan p proses fundaamental sepeerti manufakktur, pemasaaran, komuniikasi, dan eleemen dominnan l lain dalam operasi sebuuah perusahhaan. BPM adalah sebuuah sistem yang y luas dan d
8
melingkupi (encompassing) yang dimulai dari keikutsertaan dan komitmen dari manajemen puncak, berfokus pada peningkatan proses pada supply chain, menanamkan secara perlahan-lahan sebuah pendekatan terstruktur pada change management, dan menekankan manajemen dan pengembangan manusia. Ryan (2009, Pp 12) mempersingkat pernyataan mengenai BPM ini menjadi “a series or network of value-added activities, performed by their relevant roles or collaborators, to pruposefully achieve the common business goal”. Selanjutnya Al-Mudimigh (2007) menyebutkan “It (BPM) is widely recognized as a foundation for contemporary management approaches as it goes via the analysis of business processes to the roots of an organization”, BPM disukai karena menganalisa proses bisnis organisasi hingga keakarnya. Owen dan Raj (2006) dari Telelogic mengatakan, “The fact that business process management is a new initiative might lead you to believe that business processes have not been managed previously. This is of course not true – many organization have modeled and managed their business processes for years, using an eclectic mixture of tools and techniques”, walaupun BPM merupakan hal yang baru, namun bukan berarti bahwa perusahaan tidak mengelola mengenai proses bisnis mereka sebelumnya. Banyak organisasi telah memodelkan dan mengelola proses bisnis mereka bertahun-tahun, hanya saja menggunakan gabungan dari berbagai berbagai alat dan teknik terpisah. Untuk itu diperlukan sebuah kerangka kerja yang jelas dan notasi yang terstandar untuk membantu manajemen melakukan pengelolaan terhadap proses bisnis organisasi. Bandara (2007) menyebutkan, “From the BPM perspective, the strategic level, which is at the top level of categorization, relates to top management support, business and IT alignment, process organization and governance issues. The tactical level encompasses challenges in efforts such as process modeling, process performance measurement and BPM methodologies. The operational level relates to technological issues in BPM adoption such as technology capability, SOA
9
(Service Oriented Architectures) maturity in the technology landscape, use of CML standards and so on.”
Hasil penelitian Bandara (2007) mendapatkan isu dari BPM, dalam level strategis, taktis, dan operasional. Isu BPM pada level strategis adalah: lack of governance, lack of employee buy-in, lack of common mind share of BPM, dan Broken link between BPM efforts and organizational strategy. Kemudian isu pada level taktis adalah: lack of standards, weaknesses in process specification, lack of BPM education, dan lack of methodology. Terakhir, isu BPM pada level operasional adalah: lack of tool support for process visualization, perceived gaps between processes design and process execution, dan miscommunication of tool capabilities. Pernyataan Bandara di atas memperkuat apa yang disebutkan oleh Al-Mudimigh (2007) sebagai berikut, “A comprehensive BPM approach requires alignment to corporate objective, adequate governance and an employees’ customer focus and involves, besides a crossfunctional viewpoint, strategy, operations, techniques and people”. Jika hal-hal tersebut diabaikan maka akibatnya seperti yang dikutip dari Bandara di atas. Untuk menanggulangi isu-isu yang disebutkan sebelumnya, maka diperlukan kerangka kerja BPM oleh burlton sebagai penuntun yang didalamnya menjawab sebagian besar tantangan dari isu BPM yang disebutkan oleh Wasana Bandara. Serta dibutuhkan juga notasi yang terstandarisasi untuk memvisualisasikan proses bisnis sehingga dapat dibaca oleh setiap pengguna yang berkepentingan terhadap proses bisnis.
2.4
Daur Hidup Manajemen Proses Bisnis
Wetzstein et al (2007) membagi daur hidup manajemen proses bisnis menjadi empat tahap yaitu: process modeling, process implementation, process execution, dan process analysis. Berikut penjabaran keempat tahap tersebut menurut Wetzstein et al (2007): •
Process Modelling. Pada tahap ini, business analyst membuat proses model analitis dengan bantuan dari perangkat model dengan menspesifikasikan urutan dari tugas-tugas dalam proses bisnis. Business analyst juga dapat menambahkan
10
informasi mengenai bagaimana tugas tersebut harusnya dikerjakan dan siapa yang mengerjakannya. •
Process Implementation. Model proses yang dibuat pada tahap sebelumnya diubah dan diperkaya oleh IT engineers menjadi model proses yang dapat dieksekusi pada sebuah process engine.
•
Process execution. Setelah penyebaran proses, process engine mengeksekusi process instances dengan menavigasikannya melalui alur kontrol dari model proses.
•
Process analysis. Analisis proses terdiri dari memantau proses yang berjalan dan process mining. Memantau proses mengungkapkan informasi dari proses yang sedang berjalan. Beberapa BPMS mendukung pemantauan pada tingkat bisnis, dimana business analyst dapat menspesifikasi key performance indicator (KPI) dari proses saat memodelkan proses kemudian mengevaluasi dan menyajikan evaluasi proses tersebut dalam bentuk dashboard pada saat eksekusi proses
Ryan (2009) megutip dari Van der Aalst et al (2003) mengenai daur hidup BPM dan perbandingannya dengan workflow management system (WfMS). Di jelaskan bahwa WfMS merupakan bagian dari BPM. Menurut Vander Aalst, WfMS merupakan versi BPM yang belum dewasa. WfMS tidak mendukung diagnosis seperti pada BPM. Maka pada penelitian ini, diusulkan sarana untuk mendiagnosis proses bisnis perusahaan sekaligus membuat pelaporannya. Alat diagnosa yang digunakan berupa dashboard KPI dari setiap divisi yang termasuk dalam lingkup penelitian. Gambar perbandingan WfMS dan BPM adalah seperti di bawah ini:
11
Diagnosis
Process enhancment
BPM
Process Design
WfMS System configuration
Gambar 2.2 BPM life cycle to compare WfMS and BPM
Pyke (2006, Pp 39) menyebutkan, “Applying IT to process technology is going to give you that competitive advantage….” Dapat disimpulkan bahwa dalam BPM diperlukan juga pemanfaatan teknologi yang tepat agar perusahaan dapat mengembangkan atau mempertahankan keunggulan kompetitif perusahaan. Selain pemanfaatan teknologi, proses analisis (diagnosis) juga diperlukan agar manajer dapat memantau pengukuran kinerja secara realtime agar para manajer mendapat gambaran mengenai bagaimana perusahaan beroperasi setiap saat. Hal ini didukung oleh kesimpulan Pyke (2006) yang menyebutkan, “Analytics give business managers and executives the ability to track and measure performance based on real time feedback on their processes which gives them real insight into how the organization is operating.”
2.5
Kerangka Kerja Manajemen Proses Bisnis
Kerangka kerja Burlton (2001) yang dikutip oleh Sugiarto (2005) memiliki delapan aktivitas utama yang di tujukan kepada peningkatan kinerja bisnis. Pengelompokan aktivitas akan disebut sebagai fase dari kerangka kerja. Fase tersebut
12
tergabung menjadi empat mode yaitu: Strategy mode, design mode, realization mode, dan operational mode. Delapan aktivitas utama menurut burtlon (2001), adalah sebagai berikut:
Architect and Align
Business Context
Vision
Develoop
Understand
Implement
Renew
Nurture and Continualy Improve
Gambar 2.3 Kerangka Kerja Manajemen Proses Bisnis Burlton
1. Defining the Business Context for Change Tujuan dari fase ini adalah untuk memastikan sebuah pengertian bersama area bisnis yang dikuasai oleh semua pembuat keputusan kunci. Hal ini memberikan sebuah keseimbangan pada kriteria pembuatan keputusan yang diterima bersama untuk membuat perubahan berdasarkan kebutuhan bisnis dan kebutuhan pemegang kepentingan. Hal ini untuk memastikan bahwa anggota organisasi mengetahui mengenai pemegang kepentingan yang paling berpengaruh terhadap sukses masa depan organisasi.
13
2. Architect and Align Tujuan dari fase ini adalah untuk mengidentifikasikan hubungan antara proses bisnis, teknologi, fasilitas, sumber daya manusia, dan strategi bisnis. Sebuah organisasi memetakan informasi ini sebagai hasil dari fase pertama untuk menghasilkan prioritas dari program perubahan. Proses di definisakan berdasarkan dari pelayanan dan garis interaksi antara pemangku kepentingan. Dam program perubahan dipasangkan dengan strategi bisnis dan seluruh komponen arsitektur. 3. Creating the Vision for Change Tujuan dari fase ini adalah untuk menentukan dan menetapkan kebutuhan kinerja masa depan dari proses yang akan diperbaharui dan untuk memastikan lingkup dari proses dan karakteristik lain dari variabel yang akan dianalisis sebagai bagian dari proyek. Organisasi memastikan proyek yang tepat dijalankan dan semua pihak yang berhubungan dengannya mengetahui kriteria untuk sukses dan menyetujuinya. Berdasarkan dari kesepakatan bersama, tim perbaharuan proses mendapatkan komitmen sumber daya dan persetujuan untuk proses dengan perwakilan dari proses yang terpilih. Fase ini dapat menjadi titik awal dari kerangka kerja dimana organisasi memilih untuk menerima resiko dari tidak dilakukannya konteks bisnis atau aktivitas menyelaraskan dan arsitektur. 4. Understand the Existing Process Tujuan fase ini adalah untuk mendapatkan pemahaman yang cukup dari situasi saat ini sehingga perubahan mendasar dapat dilakukan. Pada fase ini, dokumen sebuah perusahaan dianalisa dan divalidasi mengenai kenyataan saat ini kemudian mendefinisikan prioritas peningkatan. Bukan tujuan dari fase ini untuk menghasilkan pengetahuan yang detail dan sempurna, tetapi cukup untuk mendapatkan kepastian dan bergerak kepada penciptaan solusi. 5. Renewing the Process Design Tujuan dari fase ini adalah untuk mendesain atau mendesain ulang proses, panduan, dan enabler untuk memenuhi kebutuhan visioner pemegang
14
kepentingan. Fase ini juga memastikan bahwa solusi akan berhasil dan sesuai dengan perspektif bisnis. 6. Developing Enablers and Support Mechanism Tujuan dari fase ini adalah untuk mengembangkan detail dari setiap komponen untuk seluruh solusi dari proses bisnis yang dirancangkan. Dalam fase ini, sebuah organisasi akan membangun atau merubah seluruh mekanisme pembantu yang dibutuhkan agar proses baru bekerja seperti kebutuhan pemegang kepentingan. 7. Implementing the Change Fase ini mempersiapkan seluruh pemegang kepentingan yang akan terkena dampak dengan mengimplemenatasikan solusi. Fase ini juga menghasilkan versi terintegrasi dari solusi sesuai dengan strategi perubahan. 8. Operating the Process and Continuing to Improve Tujuan dari fase ini adalah untuk melanjutkan mencari kesempatan untuk berkembang berdasarkan dari pengalaman, new enablers, dan pengeahuan tambahan. Pada fase ini, perusahaan dapat memastikan bahwa proses baru dioperasikan dan ditingkatkann sebagai kesatuan proses tanpa memandang struktur organisasi.
2.6
BPMN (Business Process Management Notation)
Memetakan suatu proses bisnis diperlukan sebuah standar agar setiap orang dapat membaca dan mengerti hasil dari pemetaan tersebut. BPMN merupakan sebuah model standar yang di usulkan oleh business process management initiative (BPMI) sebagai solusi agar setiap orang dapat membaca pemetaan model bisnis tersebut. Owen dan Raj (2006) menyebutkan, “…. The first goal of BPMN is to provide a notation that is readily understandable by all business users…. Second, equally important goal is to ensure that XML languages designed for the execution of business process, such as BPEL4WS (Business Process Execution Language for Web Services) and BPML (Business Process Modeling Language), can be visually expressed with a common notation”, ada dua tujuan dari BPMN, yaitu: pertama, untuk menyediakan notasi yang siap digunakan dan mudah dimengerti oleh setiap
15
pengguna bisnis. Tujuan kedua BPMN, adalah untuk memastikan bahwa desain bahasa XML untuk mengeksekusi proses bisnis dapat diekspresikan secara visual dengan sebuah notasi umum. Selanjutnya Owen dan Raj (2006) mengatakan bahwa, “BPMN is a core enabler for a new initiative in the Enterprise Architecture World….These techniques have only been partially successful, or failed outright because there has been a lack of standards and a complete lifecycle to control and guide the design and execution of business processes”, BPMN merupakan elemen inti bagi dunia arsitektur bisnis, yaitu manajemen proses bisnis. BPM sering hanya berhasil sebagian, atau tidak berhasil sama sekali dikarenakan kurangnya standar dan daur hidup yang lengkap untuk mengontrol dan memandu desain serta eksekusi dari proses bisnis. Mengatur perubahan proses tidak cukup hanya berfokus pada perubahan itu saja, namun perlu diperhatikan juga mengenai penemuan kelemahan, arsitektur, desain, dan proses pengerjaannya secara keseluruhan. Agar manajemen mengerti mengenai hal tersebut, maka diperlukan sebuah standar untuk memodelkan proses bisnis. Pada penelitian ini, digunakan BPMN sebagai acuan dalam melakukan pemetaan proses bisnis saat ini dan proses bisnis sebagai solusi perbaikan. Dengan menggunakan notasi yang mudah dimengerti oleh orang-orang bisnis, maka diharapkan dapat memperlancar proses pengerjaan solusi proses bisnis. Namun pengerjaannya dengan menggunakan visio karena penulis tidak mendapatkan tools untuk membuat BPMN tersebut.
2.7
Persediaan Barang
Persediaan merupakan segala sesuatu yang disimpan dengan tujuan akan dipergunakan untuk mendapatkan suatu keuntungan atau manfaat di masa yang akan datang. Persediaan merupakan sumber dana yang menganggur dalam suatu organisasi karena manfaat yang diharapkan belum diperoleh. Ada beberapa jenis persediaan, yaitu: bahan baku, bahan pembantu, barang setengah jadi, barang jadi, dan spare
16
part. Namun dalam penelitian ini jenis persediaan yang dimiliki oleh organisasi hanya barang jadi. Sistem pengendalian persediaan merupakan serangkaian kebijakan pengendalian untuk menentukan tingkat minimal dan maksimal jumlah persediaan yg harus dijaga, titik saat pesanan harus dilakukan untuk menjaga ketersediaan, dan berapa seberapa besar jumlah pesanan yang diperlukan. Dengan kata lain sistem ini bertujuan untuk menentukan dan menjamin tersedianya persediaan yg tepat dalam kuantitas serta waktu. Berikut ini merupakan beberapa kegunaan dari manajemen persediaan, yaitu: 1. Menghilangkan resiko keterlambatan pengiriman. 2. Menghilangkan resiko jika material yg dipesan rusak, sehingga harus dikembalikan. 3. Menghilangkan resiko jika terjadi kenaikan harga atau inflasi. 4. Untuk menyimpan bahan baku yg bersifat musiman. 5. Mendapatkan keuntungan karena adanya discount. 6. Memberikan pelayanan kepada pelanggan (customer satisfaction).
Seperti yang disebutkan diatas, proses manajemen persediaan dapat sangat membantu pihak manajemen dalam mengatur persediaannya dalam usahanya meningkatkan customer value. Dan juga manfaat lainnya adalah peningkatan keuntungan dengan menekan biaya atas pengendalian resiko dari manajemen persediaan perusahaan. Dibawah ini merupakan kelompok-kelompok persediaan dijabarkan oleh Stevenson (2009, Pp. 551) sebagai berikut: 1. Raw material dan purchased parts. 2. Partially completed goods, called work-in-process (WIP) 3. Finished-goods inventory (manufacturing firms) atau merchandise (retail stores) 4. Tools dan supplies. 5. Maintenance and repairs (MRO) inventory. 6. Goods-in-transit to warehouses, distributors, atau customers (pipelines inventory)
17
Jadi persediaan didalam perusahaan dapat dimasukkan ke dalam enam kelompok di atas sehingga akan mempermudah pengaturannya. Pengelompokan persediaan ini akan sangat berguna saat organisasi memiliki banyak jenis persediaan dengan kuantitas serta perputaran yang tinggi.
Sebuah manajemen persediaan yang efektif menurut Stevenson (2009, Pp. 553) perlu dapat memenuhi beberapa syarat sebagai berikut: 1. A system to keep track of the inventory on hand and on order 2. A realiable forecast of demand that includes an indication of possible forecast error 3. Knowledge of lead times and lead time variability 4. Reasonable estimates of inventory holding cost, ordering cost, and shortage cost. 5. A Classification system for inventory items. Dengan kelima persayaratan ini dipenuhi, sebuah manajemen persediaan dapat dikatakan telah efektif. Dalam perancangan sistem manajemen persediaan PT. TPS akan melihat pemenuhan terhadap persyaratan ini.
2.8
Visi, Misi, Nilai-Nilai, dan Strategi Perusahaan
Seperti yang disebutkan dalam buku Parmenter (2011, Pp. 38) bahwa pemahaman akan perbedaan misi, visi, nilai-nilai, dan strategi merupakan hal yang vital untuk menghasilkan para staf yang cepat, fokus, dan fleksibel. Agar CSF dan KPI dapat benar-benar mendukung kemajuan perusahaan, pembentukan CSF dan KPI tersebut perlu berpegangan pada visi, misi, nilai-nilai, dan strategi perusahaan. Maka dari itu yang pertama kali dilakukan dalam penelitian ini adalah mencari dan menjabarkan misi, visi, strategi, dan nilai perusahaan. Misi seperti rambu abadi yang mungkin tidak akan pernah di capai oleh perusahaan. Suatu pernyataan misi yang baik akan tidak berubah selama beberapa dekade. (misalnya sebuah perusahaan multinasional di bidang hiburan mempunyai
18
misi “membahagiakan orang”, sementara misi 3M adalah “untuk secara inovatif menyelesaikan masalah yang tidak dapat diselesaikan”) Visi meringkas apa yang diinginkan perusahaan dalam jangka waktu tertentu. Suatu visi menjelaskan apa yang akan di capai jika perusahaan tersebut berhasil. Bisi dapat membangkitkan perusahaan jika dinyatakan dengan cukup jelas, terikat waktu, dan didukung secara terus menerus oleh tim manajemen senior. (Contoh: Visi John F. Kennedy sewaktu ia berkata, “Saya yakin bahwa bangsa ini harus melibatkan diri secara aktif mencapai tujuan, sebelum decade ini berakhir, mendaratkan seorang di bulan dan membawanya pulang ke bumi dengan selamat.” Pernyataan sedarhana tersebut membangkitkan dan menyatupadukan masyarakat ilmiah AS, serta manajemen dan staf dari berbagai perusahaan dalam usaha besar mencapai visi ini dari semenjak hal tersebut diutarakan, para ahli NASA mulai merencanakan bagaimana jutaan blok bangunan esensial yang diperlukan untuk mencapai isi ini harus diletakkan bersama”). Nilai adalah apa yang perusahaan Anda perjuangkan: “kami yakin….” (misalnya sebuah entitas sector public memiliki nilai “mencari inovasi dan keunggulan, terlibat secara konstruktif, mengajukan pertanyaan, mendukung dan membantu sesame, memberikan solusi, melihat gambaran lebih besar”). Strategi adalah cara suatu perusahaan yang bermaksud mencapai visinya. Dalam lingkungan yang kompetitif, strategi akan membedakan anda dari pesaing. Di sektor publik, strategi menentukan cara terbaik bagi anda menyesun sumber daya untuk mencapai hasil yang diinginkan. Perusahaan saat ini berfokus pada kepuasan pelanggan. Seperti yang disebutkan oleh Konsta (2012, Pp 142) , “…, companies aim at not just earnings but also profitability, and not just winning but retaining customers as well. In order to do that, they must perform satisfactory, making the product or service available on the right place, right time, and right quantity for the right customer”. Selanjutnya Konsta (20112, Pp 153 ) menyimpulkan bahwa, “The KPIs must be customer oriented in the marketing or logistic terms”, dapat dilihat bahwa kesimpulan Konsta mendukung fokus perusahaan pada kepuasan pelanggan. Penelitian ini fokusnya pada sistem
19
persediaan yang merupakan bagian dari logistic, jadi untuk pemilihan KPI perusahaan dapat difokuskan pada pelanggan.
2.9
Critical Success Factor (CSF)
critical success factor (CSF) Parmenter (2010, Pp 25) adalah “daftar dari isu atau aspek-aspek kinerja organisasi ang menentukan kelanjutan kesehatan, vitalitas, dan kesejahteraan organisasi. Biasanya terdapat lima hingga delapan CSF dalam organisasi apapun.” KPI yang dirancang harus memiliki pengaruh kepada setidaknya satu atau lebih CSF. Memastikan CSF merupakan hal yang penting dan perusahaan sering telah melakukannya secara tidak langsung tanpa dijabarkan dalam bentuk tulisan. Perusahaan memiliki banyak success factor (SF) namun hanya beberapa saja yang memiliki pengaruh luas dan member dampak pada banyak SF lainnya. Beberapa SF yang terpilih inilah yang akan menjadi CSF perusahaan. Dengan mengetahui CSF maka organisasi memperoleh beberapa keuntungan Parmenter (2010, Pp 194): 1. Mengarahkan pada penemuan KPI. 2. Ukuran yang tidak terkait atau tidak terhubung dengan CSF dapat dieliminasi. 3. Staf mengetahui tindakan prioritas yang harus dilakukan, sehingga tindakan sehari-hari yang dikerjakan mereka terkait dengan strategi organisasi. 4. Hal ini berarti mengurangi produksi laporan di seluruh organisasi; laporan yang sekarang dinilai sebagai tidak penting atau tidak relevan, tidak dibuat lagi 5. Hal ini menciptakan ringkasan yang jelas dari laporan kepada dewan dan manajemen senior berdasarkan kemajuan dalam CSF “dalam masa penuh tantangan dan ujian saat ini, pemahaman terhadap CSF dapat menjadi factor penentu kelangsungan hidup organisasi Anda. Jika organisasi Anda belum melakukan upaya yang menyeluruh untuk mengetahui CSF, manajemen kinerja tidak mungkin berfungsi. Pengukuran kinerja begitu banyak ukuran yang menghasilkan banyak sekali laporan, penuh dengan ukuran yang memonitor
20
perkembangan arah yang sangat jauh dari tujuan strategis organisasi”. Parmenter (2010, Pp 194) Sebelum mendapatkan CSF perlu diidentifikasikan SF yang ada pada organisasi. Setiap SF penting bagi kesuksesan organisasi namun hanya beberapa SF yang benarbenar penting dan mempengaruhi keberlangsungan hidup organisasi, SF tersebut merupakan CSF organisasi. Langkah-langkah untuk mengidentifikasi CSF organisasi, Parmenter (2010, Pp 201-205),adalah sebagai berikut: 1. Menentukan SF yang sudah teridentifikasi. Dengan memeriksa dokumen strategis dan atau melakukan wawancara dengan orang-orang di organisasi. 2. Menentukan Lokakarya Critical Success Factors. Melakukan lokakarya dengan orang-orang penting organisasi untuk bersama menyusun SF dan CSF. 3. Menyelesaikan CSF setelah berkonsultasi dengan banyak pihak terkait. Menyiapkan dan menyampaikan CSF yang diidentifikasi serta mencari kesepakatan dengan manajemen. 4. Menjelaskan CSF kepada karyawan. Untuk mendapatkan dukungan penuh dan memastikan berjalannya penerapan CSF maka karyawan harus mengetahui dan memahami CSF apa saja yang ada pada organisasinya
2.9.1 Pemetaan CSF Untuk dapat menentukan CSF digunakan ‘pemetaan hubungan CSF’ seperti yang digunakan oleh Parmenter (2010, Pp 206), “Suatu cara yang baik untuk menentukan lima hingga delapan critical success factor adalah dengan menggambarkan semua SF anda pada sebuah papan tulis besar dan menggambarnya dalam hubungan, yang menunjukkan SF mana yang mempengaruhi SF lainnya”. Pemetaan ini dengan melihat hubungan antara sesama SF dan mencari SF yang memiliki pengaruh paling besar terhadap SF lainnya. Beberapa SF dengan pengaruh terbesar digunakan sebagai CSF.
21
2.10 Key Performance Indicator (KPI) Empat tipe ukuran kinerja Parmenter (2010, Pp 1): 1. Key Result Indicator (KRI) memberitahu bagaimana kinerja Anda dari satu perspektif atau factor keberhasilan kritis. 2. Result Indicator (RI) memberitahu apa yang telah anda lakukan. 3. Performance Indicator (PI) memberitahu Anda apa yang harus dilakukan. 4. KPI memberitahu Anda apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan kinerja secara dramatis. Karakteristik KRI yaitu KRI adalah hasil dari banyak tindakan. KRI memberi gambaran nyata apakah organisasi berjalan ke arah yang benar. Namun, ukuran ini tidak memberitahukan apa yang diperlukan untuk mingkatkan hasil tersebut. KRI ditinjau menggunakan siklus bulanan atau tiga bulanan, tidak seperti KPI yang ditinjau secara harian atau mingguan. PI berada di bawah KRI yang dapat membantu tim organisasi untuk menyelaraskan mereka dengan strategi organisasi dan merupakan ukuran nonfinansial yang menjadi pelengkap KPI. Sedangkan RI merupakan hasil dari berbagai aktifitas yang di wujudkan dalam bentuk ukuran kinerja finansial. Pada saat sebuah ukuran diberi tanda matauang, maka ukuran tersebut telah berubah menjadi RI. Popova (2005) menyebutkan bahwa skema PI dapat dibagi menjadi empat untuk mendapatkan sudut pandang PI yang lebih kaya. Keempat kategori tersebut adalah sebagai berikut: Efektifitas, efektifitas mengukur kemampuan untuk mendapatkan hasil yang diinginkan; Efisiensi, efisiensi mengukur bagaimana penggunaan sumber daya untuk mendapatkan hasil tersebut; Kepuasan, kepuasan mewakili manusia dalam model dimana pencapaian efektifitas dan efisiensi harus tetap memperhatikan kepuasan manusia didalam organisasi dalam melakukan pekerjaan mereka; dan TI dan inovasi, dimana sebuah organisasi perlu memperhatikan kinerja masa depannya. Sebuah organisasi yang dapat bekerja dengan optimal saat ini mungkin tidak dapat
22
bekerja dengan optimal pada esok hari jika tidak memikirkan kondisi mereka secara terus menerus. Keempat hal ini sebagai bantuan untuk mengembangkan PI pada saat proses wawancara pada penelitian. Parmenter (2010, Pp 4), “KPI merupakan seperangkat ukuran yang fokus terhadap aspek kinerja organisasi yang paling kritis bagi kesuksesan organisasi saat ini maupun di masa mendatang”. KPI diukur dalam waktu harian atau mingguan. Jika sebuah ukuran dapat diukur secara bulanan atau lebih lama maka ukuran tersebut bukan merupakan kunci keberhasilan bisnis. KPI berorientasi kepada ukuran saat ini dan masa depan, bukan ukuran masa lalu. Ditekankan bahwa sangat penting untuk melakukan pengukuran KPI secara tepat waktu karena ukuran harian memerlukan respon tindakan secepat mungkin, terlambat beberapa hari saja keputusan yang tepat tidak dapat dilakukan. Untuk lebih memahami KPI (khususnya yang digunakan dalam penelitian) dapat dibantu dengan mengetahui tujuh karakteristis KPI (Parmenter (2010, Pp 6-7), yaitu: 1. Adalah ukuran nonfinansial (tidak dinyatakan dalam rupiah, yen, pound, euro, dll). 2. Frekuensi pengukuran sering (misalnya 24/7 [24 jam sehari, 7 hari sepekan], harian, atau mingguan). 3. Dilaksanakan oleh CEO dan tim manajemen senior (misalnya CEO menghubungi staf yang relevan untuk menanyakan apa yang sedang terjadi). 4. Mengindikasikan secara jelas tindakan yang perlu dilakukan oleh staf (staf memahami ukuran dan mengetahui bagaimana memperbaikinya). 5. Adalah ukuran yang mengikat tanggung jawab tim (Misalnya CEO dapat memanggil pemimpin tim yang dapat mengambil tindakan yang diperlukan) 6. Memiliki dampak signifikan (misalnya memengaruhi satu atau lebih critical success factor (CSF) dan lebih dari satu perspektif Balance Scorecard (BSC)).
23
7. Mereka mendorong tindakan yang tepat (misalnya telah diuji untuk memastikan bahwa KPI berdampak positif terhadap kinerja, sedangkan ukuran yang belum teruji dapat meyebabkan perilaku disfungsional). Ketujuh karakteristik KPI Parmenter ini juga digunakan pada penelitian Konsta (2012, Pp 146). Pengembangan dan pemanfaatan KPI pada organisasi memerlukan fondasi agar dapat berhasil. Berikut adalah empat fondasi yang disebutkan oleh Parmenter (2010, Pp 29): 1. Kemitraan dengan staf, serikat pekerja, pada pemasok utama, dan pelanggan utama 2. Pemberian wewenang ke garis depan 3. Pengukuran dan pelaporan hal-hal yang penting keempat fondasi yang disebutkan diatas akan menjadi acuan dalam perancangan dan penilaian KPI pada organisasi dalam penelitian. Perbedaan KRI dengan KPI yaitu KRI merupakan sebuah ukuran hasil dari berbagai kegiatan yang telah dilakukan organisasi. Sedangkan KPI merupakan ukuran dari kegiatan-kegiatan yang menjadi kunci untuk meningkatkan hasil atau KRI. Lebih lanjut mengenai perbedaan antara KRI, KPI, RI, dan PI dapat dilihat pada buku David Parmenter (2010, Pp 10-11). Parmenter mengemukakan peraturan 10/80/10 dalam menentukan KRI, KPI, RI, dan PI organisasi. Yaitu sebaiknya terdapat 10 jenis KRI, hingga 80 jenis gabungan dari RI dan PI, dan 10 jenis KPI. Alasan dari disarankannya untuk membuat KRI dan KPI masing-masing 10 jenis atau dibawahnya karena jika terlalu banya KRI dan KPI maka organisasi malah menjadi tidak fokus dalam mengejar peningkatan kinerjanya. Parmenter juga menyarankan untuk menggunakan model BCS sebagai acuan dalam menentukan KPI dan sekaligus menambahkan 2 perspektif pada BSC menjadi 6, yaitu: finansial, fokus pelanggan, lingkungan masyarakat , proses internal, kepuasan pegawai, dan pembelajaran dan pertumbuhan. KPI yang dipilih harus
24
bersinggungan atau memiliki dampak lebih dari satu perspektif BSC ini. (Karena penelitian tidak menggunakan BSC sebagai alat ukurnya maka BSC tidak dijelaskan lebih lanjut) Konsta (2012, Pp 144) menyebutkan contoh-contoh pengukuran pada perusahaan manufaktur yang bisa di jadikan benchmark untuk pengukuran yang akan digunakan pada kinerja perusahaan. Tabel measures used in manufacturing, pada bagian scheduling and delivery yaitu customer delivery performance disebutkan bentukbentuk pengukurannya antara lain: customer service level; On-time shipment %, average lateness of orders, number of overdue deliveries, order fill %, customer query time, customer order leadtime, frequency of delivery, lost sales analysis. Resch (2006, Pp 35) mendukung pernyataan mengenai customer delivery performance, “transport service levels are typically defined by transportation lead times and delivery reliability and accuracy”, Resch menyebutkan bahwa biasanya tingkat jasa pengangkutan bergantung kepada lead time pengangkutan serta keandalan dan akurasi proses pengantaran. Selanjutnya Resch menyebutkan, “one solution is to define levels based on incurred cost and diferentatid customer requirement…. Of course logistics service levels need to be matched against the customer service model and customer profitability to avoid over- or under-servicing of customer”. Solusinya adalah dengan mendefinisikan tingkatan pelayanan berdasarkan biaya yang terjadi dan diferensiasi kebutuhan pelanggan. Dan tingkatan pelayanan logistic perlu dibandingkan dengan model pelayanan pelanggan dan tingkat keuntungan pelanggan untuk menghindari kelebihan atau kekurangan pelayanan pada pelanggan. Maka dari itu perusahaan perlu melakukan segmentasi pada pelanggannya untuk dapat memberikan pelayanan yang tepat pada setiap pelanggan dengan tingkat keuntungan yang berbeda. Pada bagian inventory disebutkan pengukurannya sebagai berikut: total stock turnover, stores inventory or work progress turns, number of days stock, inventory record accuracy, proportion of products in stock, % stock outs, average batch size,
25
average safety stock level, material usage (actual and standard), distance the material is moved, non moving stock, quantity or value of obsolete stock.
2.10.1
Tabel Pemeriksaan KPI
KPI ditentukan dengan memastikan bahwa PI telah memenuhi tujuh daru tujuh karakteristik KPI. Menurut Parmenter (2010, Pp 7) karakteristik tersebut adalah: Ukuran nonfinansial (tidak dinyatakan dalam satuan mata uang); Frekuensi pengukuran sering (misalnya dalam waktu 24 jam atau harian, atau mingguan); Dilaksanakan oleh CEO dan tim manajemen senior (misalkan CEO menghubungi staf yang relevan untuk menanyakan apa yang sedang terjadi); Mengindikasikan secara jelas tindakan yang perlu dilakukan oleh staf (staf memahami ukuran dan mengetahui bagaimana memperbaikinya; Adalah ukuran yang mengikat tanggung jawab tim (misalnya CEO dapat memanggil emimpin tim yang dapat mengambil tindakan yang diperlukan); Memiliki dampak signifikan (misalnya memengaruhi satu atau lebih CSF dan lebih dari satu perspektif BCS (dalam penelitian ini BSC tidak dibahas); Dan mereka mendorong tindakan yang tepat (misalnya telah diuji untuk memastikan bahwa KPI berdampak positif terhadap kinerja, sedangkan ukuran yang belum teruji dapat menyebabkan perilaku disfungsional. Tabel pemeriksaan KPI seperti pada buku Parmenter (2010, Pp 137) digunakan pada penelitian ini untuk membantu memilih KPI. Tabel tersebut adalah seperti berikut:
26
Tabel 2.1 Tabel Daftar Periksa KPI Daftar Periksa KPI Daftar Periksan Karakteristik KPI
Masukkan Nama KPI Pada Bagian Atas Setiap Kolom
Ukuran nonkeuangan Sering diukur Dilaksanakan oleh CEO dan tim manajemen senior Semua
staf
mengetahui
ukurannya
dan
tindakan koreksi yang diperlukan Tanggung jawab dapat diberikan pada suatu tim Berdampak signifikan Mendorong perilaku yang sesuai
2.11 Dashboard Pengukuran KPI KPI utama dilaporkan
setiap saat atau harian, dimana manajemen perlu
melakukan control pada setiap perubahan KPI ini. Dengan pengukuran setiap saat maka setiap ada kejadian yang tidak diinginkan, manajemen senior dapat secara langsung turun tangan dan memberikan solusi dari permasalahan tersebut. Sehingga pelaporan akhir bulan hanya bersifat memperlihatkan tren pada kinerja perusahaan. Beberapa KPI hanya perlu dilaporkan perminggu karena memang tidak dibutuhkan atau tidak bisa dilakukan pengukuran setiap hari. Untuk itu pelaporan hanya bersifat mingguan saja. Contoh dashboard ada di buku Parmenter (2010, Pp 150) digunakan sebagai benchmark dashboard yang diusulkan pada perusahaan.