7
BAB II LANDASAN TEORI
A. Sikap Wajib Pajak Orang Pribadi 1. Definisi Pajak Menurut Undang-Undang KUP Pasal 1 No.16 Tahun 2009 pengertian pajak ialah (2010:4): Kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapat imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ada bermacam-macam batasan atau definisi tentang pajak menurut para ahli diantaranya adalah: a. S.I Djajadiningrat dikutip oleh Siti Resmi (2009:1): Pajak adalah suatu kewajiban menyerahkan sebagian dari kekayaan ke kas Negara yang disebabkan suatu keadaan, kejadian, dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa timbal balik dari Negara secara langsung, untuk memelihara kesejahteraan umum b. Rochmat Soemitro dikutip oleh Waluyo dan Ilyas (2000:2) : Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang – undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat balas jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditujukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. 2. Sistem Pemungutan pajak Menurut
Mardiasmo
(2008:7),
menyatakan
bahwa
pemungutan pajak dikenal beberapa sistem pemungutan pajak, yaitu:
dalam
8
a. Official Assestment System, adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menetukan besarnya pajak yang terutang. Sekarang ini sudah jarang pajak yang dipungut secara Official Assessment System. Di antara pajak yang dipungut dengan cara ini adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). b. Self Assestment System, adalah sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada Wajib Pajak
untuk
menghitung,
memperhitungkan,
membayar,
dan
melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar. Diantara pajak yang dipungut dengan cara ini adalah Pajak Penghasilan Orang pribadi (PPh OP) dan Pajak Penghasilan Tahunan Badan (PPh Badan). c. With Holding System, merupakan suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk memotong atau memungut besarnya pajak terutang oleh Wajib Pajak. Diantara pihak ketiga disini adalah perusahaan sebagai pemberi kerja. Dalam hubungan pemberi kerja membayar gaji, honor, upah kepada pegawai, maka pemberi kerja harus melakukan pemotongan PPh Pasal 21, menyetor ke kas Negara, dan melapor ke kantor pajak. 3. Hambatan Pemungutan Pajak Penghindaran pajak atau perlawanan terhadap pajak adalah hambatan-hambatan yang terjadi dalam pemungutan pajak sehingga
9
mengakibatkan berkurangnya penerimaan kas Negara. Ada 2 (dua) macam perlawanan terhadap pajak, yaitu (Mardiasmo, 2008: 8): a. Perlawanan Pasif, perlawanan pajak jenis ini dapat terjadi karena disebabkan oleh perkembangan intelektualitas dan pendidikan serta moral dari rakyat, adanya sistem perpajakan yang tidak mudah untuk diterapkan pada masyarakat yang ditentukan, sistem kontrol tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan dengan baik. b. Perlawanan Aktif, perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara langsung ditujukkan kepada fiskus dengan tujuan untuk menghidari pajak. Bentuknya antara lain: Tax Avoidance adalah usaha meringankan beban pajak dengan tidak melanggar undang-undang dan Tax Evasion adalah usaha meringankan beban pajak dengan cara melanggar undang-undang (menggelapkan pajak). 4. Wajib Pajak a. Definisi Wajib Pajak Menurut Undang-Undang No.16/2009 Wajib Pajak adalah: “Orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan
sesuai
dengan
ketentuan
perundang-undangan
perpajakan”. b. Kewajiban Wajib Pajak (Siti Resmi, 2009:24) : (1) Mendaftarkan diri apabila sudah memenuhi syarat subjektif dan objektif pada Kantor Dirjen Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Wajib Pajak.
10
(2) Melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. (3) Mengisi Surat Pemberitahuan (SPT) dengan benar, lengkap, dan jelas. (4) Menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) dengan bahasa Indonesia dan satuan mata uang Rupiah. (5) Membayar pajak dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) ke kas Negara. (6) Membayar pajak terutang dengan tidak menggantungkan pada adanya Surat Ketetapan Pajak (SKP). (7) Menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan bagi Wajib pajak.
c. Hak Wajib pajak (Siti Resmi, 2009: 25) (1) Melaporkan beberapa Masa Pajak dalam 1 (satu) Surat Pemberitahuan Masa. (2) Mengajukan surat keberatan dan banding bagi Wajib Pajak dengan kriteria tertentu. (3) Perpanjangan waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan paling lama 2(dua) bulan. (4) Melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan (SPT) dengan pernyataan tertulis dengan syarat Dirjen Pajak belum melakukan pemeriksaan. (5) Mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
11
(6) Mengajukan keberatan kepada Dirjen Pajak atas suatu: a) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) b) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) c) Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) d) Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, atau e) Pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan undang-undang perpajakan. (7) Mengajukan permohonan banding kepada badan peradilan pajak atas Surat Keputusan Keberatan. (8) Menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan menjalankan kewajiban sesuai undangundang perpajakan. (9) Memperoleh pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi.
5. Definisi Sikap Wajib Pajak Menurut Robbin (2007), sikap merupakan pernyataan evaluatif terhadap objek, orang atau peristiwa. Hal ini mencerminkan perasaan seseorang atau penilaian terhadap sesuatu. Ditinjau dari segi pentingnya masalah sikap pada tingkah laku atau perbuatan manusia dalam kehidupan manusia
sehari-hari,
sikap
merupakan
salah
satu
aspek
yang
mempengaruhi pola pikir individu dalam kesehariannya terutama dalam pengambilan keputusan. Saat sikap telah terbentuk, maka sikap akan menentukan cara-cara berperilaku terhadap obyek tertentu, hal ini
12
menunjukkan betapa pentingnya peran sikap tersebut. Selanjutnya, sikap akan memberikan corak pada tingkah laku seseorang maupun kelompok. Dalam penelitian ini yang dimaksudkan sikap wajib pajak adalah : a. Sikap Wajib Pajak Terhadap Sanksi Denda Sanksi adalah hukuman negatif kepada orang yang melanggar peraturan. Denda adalah hukuman dengan cara membayar uang karena melanggar peraturan dan hukum yang berlaku, sehingga dapat dikatakan bahwa sanksi denda adalah hukuman negatif kepada orang yang melanggar peraturan dengan cara membayar uang. Undang-undang dan peraturan secara garis besar berisikan hak dan kewajiban, tindakan yang diperkenankan dan tidak diperkenankan oleh masyarakat. Agar undang-undang dan peraturan tersebut dipatuhi, maka harus ada sanksi bagi pelanggarnya, demikian halnya untuk hukum pajak (Suyatmin,2004). Walaupun Wajib Pajak tidak mendapatkan penghargaan atas kepatuhannya dalam melaksanakan kewajiban perpajakan, Wajib Pajak akan dikenakan banyak hukuman apabila sengaja tidak melakukan kewajiban perpajakannya. Wajib
Pajak
akan
mematuhi
pembayaran
pajak
bila
memandang sanksi denda akan lebih banyak merugikannya. Semakin banyak sisa tunggakan pajak yang harus dibayar Wajib Pajak, maka akan semakin berat bagi Wajib Pajak untuk melunasinya. b. Sikap Wajib Pajak Terhadap Pelayanan Fiskus Pelayanan adalah cara melayani atau membantu mengurus atau menyiapkan segala keperluan yang dibutuhkan seseorang. Sementara
13
itu fiskus adalah petugas pajak. Sehingga pelayanan fiskus merupakan cara petugas pajak dalam membantu mengurus atau menyiapkan segala keperluan yang dibutuhkan Wajib Pajak. Kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajibannya membayar
pajak
tergantung
pada
bagaimana
petugas
pajak
memberikan mutu pelayanan yang terbaik kepada Wajib Pajak. Selama ini peran yang fiskus miliki lebih banyak peran pada seorang pemeriksa. Padahal untuk menjaga agar Wajib Pajak tetap patuh terhadap kewajiban perpajakannya dibutuhkan peran yang lebih dari sekedar pemeriksa. Fiskus yang bertanggung jawab dan mendayagunakan sumber daya manusia (SDM) sangat
dibutuhkan guna meningkatkan
kepatuhan Wajib Pajak. Fiskus diharapkan memiliki kompetensi dalam arti memiliki keahlian, pengetahuan, dan pengalaman dalam hal kebijakan perpajakan, administrasi pajak, dan perundang-undangan perpajakan. Selain itu fiskus harus memiliki motivasi yang tinggi sebagai pelayan publik. c. Sikap Wajib Pajak Terhadap Kesadaran Perpajakan Kesadaran
adalah
keadaan
mengetahui
atau
mengerti,
sedangkan perpajakan mengenai perihal pajak. Sehingga kesadaran perpajakan adalah keadaan mengetahui atau mengerti perihal pajak. Penilaian positif Wajib Pajak terhadap pelaksanan fungsi Negara oleh pemerintah
akan
menggerakan
masyarakat
kewajibannya membayar pajak (Suyatmin, 2004).
untuk
mematuhi
14
Sebagaimana diketahui bahwa sistem perpajakan yang berlaku saat ini adalah Wajib Pajak diberikan kepercayaan untuk melaksanaan kegotongroyongan
nasional
melalui
sistem
menghitung,
memperhitungkan, membayar, serta melaporkan sendiri pajak yang terutang. Besarnya pajak dihitung sendiri oleh Wajib Pajak, kemudian membayar pajak yang terutang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Dengan sistem perpajakan saat ini diharapkan akan tercipta unsur keadilan dan kebenaran mengingat pada Wajib Pajak yang bersangkutanlah yang sebenarnya mengetahui besarnya pajak yang terutang.
B. Pemeriksaan Pajak 1. Definisi Pemeriksaan Pajak Direktorat Jenderal Pajak mempunyai kewenangan melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan tujuan lain. Pelaksanaan pemeriksaan tersebut adalah dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (Waluyo, 2007 : 49). Adapun definisi pemeriksaan pajak menurut Undang-Undang KUP No.16 Tahun 2009 adalah sebagai berikut: Serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundangan-undangan perpajakan.
15
Walaupun diberikan kewenangan untuk dilakukan pemeriksaan, Undang-undang juga membatasi kewenangan tersebut agar pemeriksaan dilakukan tidak sewenang-wenang. Untuk memberikan dasar hukum dan untuk lebih memberikan rasa keadilan kepada Wajib Pajak dalam menghadapi pelaksanaan pemeriksaan pajak, maka ketentuan dan tata cara pemeriksaan pajak yang selama ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan
Nomor
199/PMK.03/2007
diubah
dan
disempurnakan
dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.03/2011 tanggal 3 Mei 2011. Ketentuan baru mengenai pemeriksaan pajak ini mulai berlaku sejak 3 Mei 2011. Hal penting dalam perubahan peraturan ini adalah hasil pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan harus diberitahukan kepada Wajib Pajak melalui Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP) beserta lampirannya. Batas waktu tanggapan tertulis dari Wajib Pajak atas SPHP menjadi paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah diterima oleh Wajib Pajak. 2. Tekhnik Pemeriksaan pajak Sistem perpajakan yang diterapkan saat ini adalah self assessment system di mana Wajib Pajak diberi kepercayaan penuh untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan pajaknya sendiri. Dalam system self assessment, yang dimaksud dengan kepercayaan penuh adalah segala sesuatunya telah dipercayakan kepada Wajib Pajak tanpa adanya suatu kecurigaan atau semacam pengujian kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan lagi. Dengan demikian, sebenarnya tindakan
16
pemeriksaan yang tujuannya adalah untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain sesuai peraturan perundangundangan perpajakan. Akan tetapi, dalam rangka mewujudkan self assessment system itu sendiri agar berjalan efektif, perlu dilakukan pemeriksaan pada tahap awal pemberlakukan self assessment system karena tidak semua Wajib Pajak patuh akan kewajiban perpajakanya. Mungkin setelah Wajib Pajak semuanya patuh, pemeriksaan tidak diperlukan lagi tetapi entah kapan dan kemungkinan besar tak pernah terjadi karena kecenderungan Wajib Pajak adalah selalu meminimalisir beban pajak dan memperlambat pembayaran pajak. Karena kecenderungan Wajib pajak yang demikian itu tetap ada dari dulu sampai sekarang, maka tindakan pemeriksaan pun menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari self assessment system. Secara
umum,
objek
pemeriksaan
pajak
adalah
Surat
Pemberitahuan (SPT Tahunan atau Masa) yang disampaikan oleh Wajib Pajak. Surat Pemberitahuan merupakan sinopsis dari objek pajak selama periode tertentu diperlukan suatu penjelasan yang disajikan dari suatu mekanisme pembukuan. Oleh karena itu, penyempurnaan dibidang pembukuan tidak dapat dipisahkan dengan penyempurnaan dibidang pembukuan. Pembukuan dengan berbagai perangkatnya (buku,catatan,dokumen, dan bukti lainnya) merupakan sarana dalam pemeriksaan. Semakin lengkap dan semakin baik pembukuan seorang Wajib Pajak maka semakin
17
lancar dan efektif pula jalannya pemeriksaan. Pelayanan yang diberikan Wajib Pajak kepada pemeriksa merupakan pengorbanan sumber daya waktu dan tenaga bagi Wajib Pajak yang diperiksa. 3. Prosedur Pemeriksaan Pajak Sebelum dilaksanakannya pemeriksaan pajak, petugas perlu mentaati prosedur pemeriksaan yang telah ditetapkan pemerintah. Menurut Hardi (2003) adapun prosedur dalam melakukan pemeriksaan pajak : a. WP menyampaikan SPT yang memenuhi kriteria pemeriksaan rutin. Terdapat data mengenai ketidakbenaran pengisian SPT b. KPP membuat dafnom usulan pemeriksaan ke Kanwil c. Kanwil menerbitkan penugasan / instruksi pemeriksaan ke KPP d. KPP membentuk tim pemeriksaan dan menerbitkan surat perintah untuk melakukan pemeriksaan e. Pemberitauan pemeriksaan disampaikan kepada WP f. Pelaksanaan pemeriksaan serta peminjaman dokumen permintaan keterangan penyegelan g. Pembahasan akhir hasil pemeriksaan , pembuatan nota hitung dan laporan hasil pemeriksaan, serta penerbitan surat ketetapan pajak.
Banyak wajib pajak yang meminta diperiksa. Sebagian beralasan untuk kepastian hukum (dari pada diperiksa, misalnya, tujuh tahun kemudian), sebagian lagi karena diminta oleh calon investor atau bahkan untuk melakukan suatu tender. Tetapi sebagian besar tentu menghindari
18
pemeriksaan pajak. Berikut ini adalah alasan diperlukannya pemeriksaan pajak (Hardi,2003): a. SPT Lebih Bayar . Setiap SPT yang menunjukkan lebih bayar wajib hukumnya untuk diperiksa. Dua belas bulan sejak SPT lebih bayar diterima oleh kantor pajak, surat ketetapan pajak harus keluar. b. Menyampaikan SPT Rugi Tidak semua SPT yang menyatakan rugi diperiksa. Ada beberapa kondisi dimana SPT rugi harus diperiksa. Pertama, jika kerugian tersebut dikompensasi ke tahun pajak berikutnya dan pada tahun kompensasi ada pemeriksaan. Kedua, adanya kebijakan bahwa SPT Rugi harus diperiksa. c. Tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT tetapi melampaui jangka waktu yang telah ditetapkan dalam surat teguran. d. Melakukan penggabungan, peleburan, likuidasi, dan pembubaran
e. Wajib Pajak Orang Pribadi yang akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya. f. Menyampaikan Surat Pemberitahuan yang memenuhi kriteria seleksi sesuai dengan Undang-undang perpajakan.
Ruang lingkup Pemeriksaan Pajak ada dua yaitu pemeriksaan lapangan dan pemeriksaan kantor (Hardi,2003: 18). Berikut penjelasannya: a. Pemeriksaan Lapangan adalah pemeriksaan yang dilakukan terhadap Wajib Pajak ditempat Wajib Pajak yang dapat meliputi kantor Wajib Pajak, pabrik, tempat usaha, atau tempat tinggal atau tempat lain yang diduga ada kaitannya dengan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
19
Wajib Pajak atau tempat lain yang ditentukan Direktorat Jenderal Pajak. Pemeriksaan lapangan ini dapat meliputi suatu jenis pajak atau seluruh jenis pajak, untuk tahun berjalan dan atau tahun-tahun sebelumnya dan atau untuk tujuan lain yang dilakukan di tempat Wajib Pajak. Pemeriksaan lapangan dapat dilaksanakan dengan Pemeriksaan Lengkap Pemeriksaan Sederhana Lapangan. b. Pemeriksaan Kantor adalah pemeriksaan yang dilakukan di KPP atau KP4 (tertentu) Direktorat Jenderal Pajak atas satu atau beberapa jenis pajak secara terkoordinasi antar Seksi oleh Kepala Kantor, dalam tahun berjalan dan atau tahun-tahun sebelumnya. Pemeriksaan Kantor hanya dapat dilaksanakan dengan Pemeriksaan Sederhana Kantor (PSK).
Dalam melakukan kegiatan pemeriksaan diperlukannya jangka waktu pemeriksaan.
Berikut
ini ketentuan untuk
jangka waktu
pemeriksaan pajak (Hardi,2003): a. Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan: (1) Pemeriksaan Lapangan : 4 (empat) bulan sejak SP3 terbit, dapat diperpanjang menjadi 8 (delapan) bulan. (2) Pemeriksaan Kantor : 3 (tiga) bulan sejak WP harus datang memenuhi panggilan, dapat diperpanjang menjadi 6 (enam) bulan b. Pemeriksaan Tujuan Lain: (1) Pemeriksaan Lapangan : 2 (dua) bulan sejak SP2 terbit, dapat diperpanjang menjadi 4 bulan
20
(2) Pemeriksaan Kantor : 7 (tujuh) hari sejak WP harus datang memenuhi panggilan, dapat diperpanjang menjadi 14 hari
Menurut Hardi (2003), Adapun jenis pemeriksaan Sesuai dengan jangka waktu pemeriksaannya. Berikut jenis pemeriksaan pajak: a. Pemeriksaan Rutin, pemeriksaan yang bersifat rutin dilakukan terhadap Wajib Pajak sehubungan dengan pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak yang bersangkutan. b. Pemeriksaan Khusus, yaitu pemeriksaan yang dilakukan terhadap Wajib Pajak berkenaan dengan adanya masalah dan atau keterangan yang secara khusus berkaitan dengan Wajib Pajak yang bersangkutan. c. Pemeriksaan Bukti Permulaan, yaitu pemeriksaan yang dilakukan terhadap Wajib Pajak untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan. d. Pemeriksaan Wajib Pajak Lokasi, yaitu pemeriksaan yang dilakukan terhadap cabang, perwakilan, pabrik atau tempat usaha Wajib Pajak domisili, yang lokasinya berada diluar wilayah kerja Unit Pelaksanaan Pemeriksaan Wajib Pajak Domisili. e. Pemeriksaan Tahun Berjalan, yaitu pemeriksaan yang dilakukan terhadap Wajib Pajak yang dilakukan dalam tahun berjalan untuk jenis-jenis pajak tertentu dan untuk mengumpulkan data atas kewajiban pajak lainnya. 4. Hasil Pemeriksaan Pajak Hasil
Pemeriksaan
untuk
menguji
kepatuhan
pemenuhan
kewajiban perpajakan harus diberitahukan kepada Wajib Pajak dengan
21
memberikan hak kepada Wajib Pajak untuk hadir dalam pembahasan akhir. Pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada Wajib Pajak tidak dilakukan apabila pemeriksaan dilanjutkan dengan pemeriksaan bukti permulaan. Surat pemberitahuan hasil pemeriksaan beserta lampirannya disampaikan oleh pemeriksa pajak melalui kurir, faksimili, pos, atau jasa pengirim lainnya. Wajib Pajak wajib memberikan tanggapan tertulis atas Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan. Menurut Pasal 25 ayat (1) PMK 199/PMK.03/2007. Hasil Pemeriksaan atau surat ketetapan pajak dari hasil Pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa Penyampaian Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan dan atau Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, dapat dibatalkan secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf d UndangUndang KUP. Yang dimaksud dengan surat ketetapan pajak yang dapat diajukan pembatalan yaitu SKPKB, SKPKBT, SKPN dan SKPLB. Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan adalah surat yang berisi tentang hasil pemeriksaan yang meliputi pos-pos yang dikoreksi, nilai koreksi, perhitungan sementara jumlah pokok pajak, dan pemberian hak kepada Wajib Pajak untuk hadir dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan. Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan adalah pembahasan antara Wajib Pajak dan Pemeriksa Pajak atas temuan Pemeriksaan yang hasilnya
22
dituangkan dalam Berita Acara Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan yang ditandatangani oleh kedua belah pihak dan berisi koreksi baik yang disetujui maupun yang tidak disetujui. Mendapatkan SPHP merupakan hak bagi Wajib Pajak yang sedang menjalani pemeriksaan pajak, WP berhak hadir untuk melaksanakan pembahasan akhir dengan pemeriksa dan memberi tanggapan atas SPHP secara
tertulis
sesuai
bunyi
Pasal
22
Permenkeu
Nomor
199/PMK.03/2007. Namun apabila kepada Wajib Pajak telah dikirim SPHP namun Wajib Pajak tidak hadir, maka permohonan pembatalan SKP tidak dapat dipertimbangkan sesuai penjelasan Pasal 36 ayat (1) UU No.28 Tahun 2007. Secara teknis pelaksanaan ketentuan Pasal 36 ayat (1) huruf d UU No. 28 Tahun 2007 tentang KUP ini baru berlaku atas SKP dari hasil pemeriksaan yang dimulai setelah tanggal 31 Desember 1997. peraturan tersebut menunjuk tahun dimulainya pemeriksaan, yaitu pemeriksaan yang dimulai setelah tanggal 31 Desember 2007, bukan tahun buku yang diperiksa, dengan demikian tahun buku bisa saja tahun 2001 s.d tahun 2007. Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan oleh Wajib Pajak 1 (satu) kali.
23
C. Kepatuhan Wajib Pajak 1. Definisi Kepatuhan Wajib Pajak Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Pranoto,2007), patuh adalah suka menurut perintah, taat pada perintah, sedangkan kepatuhan adalah perilaku sesuai aturan dan berdisiplin. Yang dimaksud disini patuh dalam hal perpajakan. Bagaimana seseorang atau badan tersebut taat pada perintah yang telah ditetapkan oleh Undang-undang perpajakan. Kepatuhan wajib pajak menurut Zain (2003:31) adalah: Suatu iklim kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan yang tercermin dalam situasi dimana Wajib Pajak paham dan berusaha untuk memahami semua ketentuan perundang-undangan perpajakan, mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas, menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar, dan membayar pajak tepat pada waktunya.
Dalam hal ini ada dua jenis kepatuhan,yaitu: 1. Kepatuhan Formal adalah suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi kewajiban perpajakannya secara formal sesuai dengan ketentuan formal yang berlaku. Contoh: Kepatuhan WP dalam melapor SPT Masa PPN dan membayar PPh terutang. 2. Kepatuhan Materii adalah keadaan dimana wajib pajak secara substansive memenuhi semua ketentuan materiil perpajakan yakni sesuai isi dan jiwa Undang-Undang Perpajakan. Contoh: kepatuhan WP dalam memungut dan memotong Jenis Jasa.
24
Adapun pengertian Wajib Pajak yang dianggap patuh sesuai dengan Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-550/PJ/2000 adalah wajib pajak yang memenuhi kriteria tertentu sebagaimana yang dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 544/KMK.04/2000 yaitu wajib pajak yang memenuhi kriteria sebagai berikut: a. Tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan untuk semua jenis pajak dalam 2 (dua) tahun terakhir. b. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak kecuali telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak. c. Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana dibidang perpajakan dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir. d. Dalam hal laporan keuangan diaudit oleh akuntan publik atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan harus dengan pendapat wajar tanpa pengecualian sepanjang tidak mempengaruhi laporan labarugi fiskal e. Dalam hal WP yang pernah dilakukan pemeriksaan, koreksi pada pemeriksaan yang terakhir untuk masing-masing jenis pajak yang terutang paling banyak 5% (lima persen). 2. Patuh dalam Perhitungan Semua Wajib Pajak berdasarkan self assessment system, Wajib Pajak diberi kewenangan, kepercayaan, dan tanggung jawab untuk menghitung pajaknya sendiri. Wajib Pajak diwajibkan mengitung dengan benar pajak terutang yang harus dibayar pada masa pajak atau tahun pajak.
25
Selain itu, untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak (PKP) dari Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri. Penghasilan netonya dikurangi dengan jumlah Penghasilan Tidak Kena Pajak. Besarnya Penghasilan Tidak kena untuk masing-masing Wajib Pajak: a. Rp 15.840.000 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi; b. Rp 1.320.000 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin; c. Rp 15.840.000 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami; d. Rp 1.320.000 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap tambahan anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3(tiga) orang untuk setiap keluarga. 3. Patuh dalam Pembayaran Sarana Wajib Pajak dalam membayar pajak menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana administrasi lainnyayang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Setelah Wajib Pajak mengerjakan tugas pertama yaitu menghitung sendiri pajak terutangnya, tahap selanjutnya Wajib Pajak melakukan langkah-langkah pembayaran pajak terutangnya: a. Wajib Pajak harus mengambil formulir SSP dari Kantor Pelayanan Pajak atau bisa juga ditempat lain yang menjual SSP tersebut.
26
b. Kemudian Wajib Pajak mengisi SSP tersebut dengan benar, jelas, dan lengkap, serta menandatangani SSP tersebut. c. Setelah itu, SSP tersebut dibawa ke bank yang melayani pembayaran pajak atau Kantor Pos. d. Saat selesai melakukan pembayaran, kita akan diberikan bukti pembayaran. Sebagai Wajib Pajak harus mengetahui batas waktu pembayaran atau penyetoran pajak terutang diantaranya: Tabel 2.1 Batas Waktu Pembayaran Pajak No. Jenis Pajak 1 2 3
4
5 6 7.
Batas Waktu Pembayaran atau Penyetoran PPh Pasal 21 Tanggal 10 (sepuluh) bulan takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. PPh Pasal 22 Impor Bersamaan dengan pembayaran Bea Masuk. PPh 22 yang Pada hari yang sama dengan pelaksanaan dipungut oleh pembayaran. Badan tertentu PPh Pasal 23 & 26 Tanggal 10 (sepuluh) bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak. PPh Pasal 25 Tanggal 15 (lima belas) bulan takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. PPN & PPnBM Tanggal 15 (lima belas) bulan takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. PPN & PPnBM Tanggal 7 (tujuh) bulan takwim berikutnya Bendaharawan setelah Masa Pajak berakhir.
Sumber : Mardiasmo 2008
4. Patuh dalam Pelaporan Kepatuhan pelaporan dapat ditunjukkan dengan melaporkan pajak terutang sebelum batas waktu yang telah ditentukan. Wajib Pajak dapat dikatakan patuh dalam hal pelaporan disini kalau Wajib Pajak tersebut sudah melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) secara tepat waktu. Pada saat pelaporan SPT ada dua jenis SPT yang Wajib Pajak perlu ketahui:
27
a. SPT Masa adalah surat yang oleh Wajib Pajak dipergunakan untuk melaporkan perhitungan dan atau pembayaran pajak yang terutang dalam suatu Masa Pajak. Batas waktu penyampaian SPT Masa paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah akhir masa pajak. b. SPT Tahunan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan atau pembayaran pajak yang terutang dalam suatu Tahun Pajak. Batas waktu penyampaian SPT Tahunan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah akhir tahun pajak.
E. Penelitian Terdahulu Mayang Wijoyanti (2010) melakukan penelitian mengenai pengaruh penagihan pajak dengan surat paksa terhadap kepatuhan Wajib Pajak di kantor pelayanan
pajak
mampang
prapatan,
Jakarta.
Hasil
penelitiannya
menunjukkan perubahan yang signifikan setelah mendapatkan penagihan pajak dengan surat paksa maka Wajib Pajak akan melakukan kewajiban perpajakannya. Shiva Fauziah (2011) melakukan penelitian mengenai pengaruh sikap Wajib Pajak dan pemeriksaan pajak terhadap kepatuhan Wajib Pajak studi kasus di kantor pelayanan pajak pratama, serpong, Tangerang. Hasil penelitiannya secara parsial menunjukkan tidak adanya pengaruh yang siginifikan sikap Wajib Pajak terhadap kepatuhan wajib Pajak. Untuk variabel pemeriksaan pajak secara parsial hasil penelitiannya menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan pemeriksaan pajak terhadap kepatuhan Wajib Pajak.
28
Demikian secara simultan sikap wajib pajak dan pemeriksaan pajak secara beersama-sama berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak. Penelitian Pramastuti (2003) dalam Fungsi pengawasan menemukan bahwa pemeriksaan pajak yang dilakukan oleh pemeriksa pajak dapat memudahkan para Wajib Pajak dalam menghitung besarnya pajak yang harus disetorkan. Sehingga pelaksanaan sistem self assessment dapat berfungsi sesuai dengan yang diharapkan. Damayanti (2004) menunjukkan bahwa fungsi pengawasan yang dilakukan Fiskus belum terlaksana dengan baik, karena fungsi pengawasan yang dilakukan oleh Fiskus terlalu berlebihan dan salah sasaran.