BAB II LANDASAN TEORI
A. Keyakinan Diri 1. Pengertian Keyakinan Diri Keyakinan diri merupakan salah satu kemampuan pengaturan diri individu. Konsep keyakinan diri pertama kali dikemukakan oleh Bandura. Keyakinan diri mengacu pada persepsi tentang kemampuan individu untuk mengorganisasi dan mengimplementasi tindakan untuk menampilkan kecakapan tertentu (Bandura, 1986,) Pervin memberikan pandangan yang memperkuat pernyataan Bandura tersebut. Pervin menyatakan bahwa keyakinan diri adalah kemampuan yang dirasakan untuk membentuk perilaku yang relevan pada tugas atau situasi yang khusus (Smet, 1994). Berdasarkan persamaan pendapat para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa keyakinan diri adalah perasaan individu mengenai kemampuan dirinya untuk membentuk perilaku yang relevan dalam situasi-situasi khusus yang mungkin tidak dapat diramalkan dan mungkin menimbulkan stres.
2. Dimensi Keyakinan Diri Bandura (1997) mengemukakan bahwa keyakinan diri individu dapat dilihat dari tiga dimensi, yaitu :
Universitas Sumatera Utara
a. Tingkat (level) Keyakinan diri individu dalam mengerjakan suatu tugas berbeda dalam tingkat kesulitan tugas. Individu memiliki keyakinan diri yang tinggi pada tugas yang mudah dan sederhana, atau juga pada tugas-tugas yang rumit dan membutuhkan kompetensi yang tinggi. Individu yang memiliki keyakinan diri yang tinggi cenderung
memilih
tugas
yang
tingkat
kesukarannya
sesuai
dengan
kemampuannya. b. Keluasan (generality) Dimensi ini berkaitan dengan keluasan individu terhadap bidang atau tugas pekerjaan. Individu dapat menyatakan dirinya memiliki keyakinan diri pada aktivitas yang luas, atau terbatas pada fungsi domain tertentu saja. Individu dengan keyakinan diri yang tinggi akan mampu menguasai beberapa bidang sekaligus untuk menyelesaikan suatu tugas. Individu yang memiliki keyakinan diri yang rendah hanya menguasai sedikit bidang yang diperlukan dalam menyelesaikan suatu tugas. c. Kekuatan (strength) Dimensi yang ketiga ini lebih menekankan pada tingkat kekuatan atau kemantapan individu terhadap keyakinannya. Keyakinan diri menunjukkan bahwa tindakan yang dilakukan individu akan memberikan hasil yang sesuai dengan yang diharapkan individu. Keyakinan diri menjadi dasar dirinya melakukan usaha yang keras, bahkan ketika menemui hambatan sekalipun. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa keyakinan diri mencakup dimensi tingkat (level), keluasan (generality) dan kekuatan (strength).
Universitas Sumatera Utara
3. Sumber-Sumber Keyakinan Diri Bandura (1986) menjelaskan bahwa keyakinan diri individu didasarkan pada empat hal, yaitu: a. Pengalaman akan kesuksesan Pengalaman akan kesuksesan adalah sumber yang paling besar pengaruhnya terhadap keyakinan diri individu karena didasarkan pada pengalaman otentik. Pengalaman akan kesuksesan menyebabkan keyakinan diri individu meningkat, sementara kegagalan yang berulang mengakibatkan menurunnya keyakinan diri, khususnya jika kegagalan terjadi ketika keyakinan diri individu belum benarbenar terbentuk secara kuat. Kegagalan juga dapat menurunkan keyakinan diri individu jika kegagalan tersebut tidak merefleksikan kurangnya usaha atau pengaruh dari keadaan luar. b. Pengalaman individu lain Individu tidak bergantung pada pengalamannya sendiri tentang kegagalan dan kesuksesan sebagai sumber keyakinan dirinya. Keyakinan diri juga dipengaruhi oleh pengalaman individu lain. Pengamatan individu akan keberhasilan individu lain dalam bidang tertentu akan meningkatkan keyakinan diri individu tersebut pada bidang yang sama. Individu melakukan persuasi terhadap dirinya dengan mengatakan jika individu lain dapat melakukannya dengan sukses, maka individu tersebut juga memiliki kemampuan untuk melakukanya dengan baik. Pengamatan individu terhadap kegagalan yang dialami individu lain meskipun telah melakukan banyak usaha menurunkan penilaian individu terhadap kemampuannya sendiri dan mengurangi usaha individu untuk mencapai kesuksesan. Ada dua keadaan
Universitas Sumatera Utara
yang memungkinkan keyakinan diri individu mudah dipengaruhi oleh pengalaman individu lain, yaitu kurangnya pemahaman individu tentang kemampuan orang lain dan kurangnya pemahaman individu akan kemampuannya sendiri. c. Persuasi verbal Persuasi verbal dipergunakan untuk meyakinkan individu bahwa individu memiliki kemampuan yang memungkinkan individu untuk meraih apa yang diinginkan. d. Keadaan fisiologis Penilaian individu akan kemampuannya dalam mengerjakan suatu tugas sebagian dipengaruhi oleh keadaan fisiologis. Gejolak emosi dan keadaan fisiologis yang dialami individu memberikan suatu isyarat terjadinya suatu hal yang tidak diinginkan sehingga situasi yang menekan cenderung dihindari. Informasi dari keadaan fisik seperti jantung berdebar, keringat dingin, dan gemetar menjadi isyarat bagi individu bahwa situasi yang dihadapinya berada di atas kemampuannya. Berdasarkan penjelasan di atas, keyakinan diri bersumber pada pengalaman akan kesuksesan, pengalaman individu lain, persuasi verbal, dan keadaan fisiologis individu.
4. Proses-proses keyakinan diri Bandura (1997) menguraikan proses psikologis keyakinan diri dalam mempengaruhi fungsi manusia. Proses tersebut dapat dijelaskan melalui cara-cara dibawah ini :
Universitas Sumatera Utara
a. Proses kognitif Dalam melakukan tugas akademiknya, individu menetapkan tujuan dan sasaran perilaku sehingga individu dapat merumuskan tindakan yang tepatuntuk mencapai tujuan tersebut. Penetapan sasaran pribadi tersebut dipengaruhi oleh penilaian individu akan kemampuan kognitifnya. Fungsi kognitif memungkinkan individu untuk memprediksi kejadian-kejadian sehari-hari yang akan berakibat pada masa depan. Asumsi yang timbul pada aspek kognitif ini adalah semakin efektif kemampuan individu dalam analisis dan dalam berlatih mengungkapkan ide-ide atau gagasan-gagasan pribadi, maka akan mendukung individu bertindak dengan tepat untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Individu akan meramalkan kejadian dan mengembangkan cara untuk mengontrol kejadian yang mempengaruhi hidupnya. Keahlian ini membutuhkan proses kognitif yang efektif dari berbagai macam informasi. b. Proses motivasi Motivasi individu timbul melalui pemikiran optimis dari dalam dirinya untuk mewujudkan tujuan yang diharapkan. Individu berusaha memotivasi diri dengan menetapkan keyakinan pada tindakan yang akan dilakukan, merencanakan tindakan yang akan direalisasikan. Terdapat beberapa macam motivasi kognitif yang dibangun dari beberapa teori yaitu atribusi penyebab yang berasal dari teori atribusi dan pengharapan akan hasil yang terbentuk dari teori nilai-pengharapan. Keyakinan diri mempengaruhi atribusi penyebab, dimana individu yang memiliki keyakinan diri akademik yang tinggi menilai kegagalannya dalam mengerjakan tugas akademik disebabkan oleh kurangnya usaha, sedangkan
Universitas Sumatera Utara
individu dengan keyakinan diri yang rendah menilai kegagalannya disebabkan oleh kurangnya kemampuan. Teori nilai-pengharapan memandang bahwa motivasi diatur oleh pengharapan akan hasil (outcome expectation) dan nilai hasil (outcome value) tersebut. Outcome expectation merupakan suatu perkiraan bahwa perilaku atau tindakan tertentu akan menyebabkan akibat yang khusus bagi individu. Hal tersebut mengandung keyakinan tentang sejauhmana perilaku tertentu akan menimbulkan konsekuensi tertentu. Outcome value adalah nilai yang mempunyai arti dari konsekuensi-konsekuensi yang terjadi bila suatu perilaku dilakukan. Individu harus memiliki outcome value yang tinggi untuk mendukung outcome expectation. c. Proses afeksi Afeksi terjadi secara alami dalam diri individu dan berperan dalam menentukan intensitas pengalaman emosional.
Afeksi ditujukan dengan
mengontrol kecemasan dan perasaan depresif yang menghalangi pola-pola pikir yang benar untuk mencapai tujuan. Proses afeksi berkaitan dengan kemampuan mengatasi emosi yang timbul pada diri sendiri untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Kepercayaan individu terhadap kemampuannya mempengaruhi tingkat stres dan depresi yang dialami ketika menghadapi tugas yang sulit atau bersifat mengancam. Individu yang yakin dirinya mampu mengontrol ancaman tidak akan membangkitkan pola pikir yang mengganggu. Individu yang tidak percaya akan kemampuannya yang dimiliki akan mengalami kecemasan karena tidak mampu mengelola ancaman tersebut.
Universitas Sumatera Utara
d. Proses seleksi Proses seleksi berkaitan dengan kemampuan individu untuk menyeleksi tingkah laku dan lingkungan yang tepat, sehingga dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Ketidakmampuan individu dalam melakukan seleksi tingkah laku membuat individu tidak percaya diri, bingung, dan mudah menyerah ketika menghadapi masalah atau situasi sulit. Keyakinan diri dapat membentuk hidup individu melalui pemilihan tipe aktivitas dan lingkungan. Individu akan mampu melaksanakan aktivitas yang menantang dan memilih situasi yang diyakini mampu menangani. Individu akan memelihara kompetensi, minat, hubungan sosial atas pilihan yang ditentukan. Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa proses keyakinan diri meliputi proses kognitif, proses motivasi, proses afeksi, dan proses seleksi.
B. Penyesuaian Diri 1. Pengertian penyesuaian diri Runyon (1984) mengemukakan bahwa penyesuaian diri dapat dipandang sebagai keadaan (state) atau sebagai proses. Penyesuaian diri sebagai keadaan berarti bahwa penyesuaian diri merupakan suatu tujuan yang ingin dicapai oleh individu. Menurut Runyon (1984), konsep penyesuaian diri sebagai keadaan mengimplikasikan bahwa individu merupakan keseluruhan yang bisa bersifat well adjusted dan maladjusted. Individu yang memiliki penyesuaian diri yang baik terkadang tidak dapat meraih tujuan yang ditetapkannya, membuat dirinya atau orang lain kecewa, merasa bersalah, dan tidak dapat lepas dari perasaan takut dan
Universitas Sumatera Utara
kuatir. Penyesuaian diri sebagai tujuan atau kondisi ideal yang diharapkan tidak mungkin dicapai oleh individu dengan sempurna. Tidak ada individu yang berhasil menyesuaikan diri dalam segala situasi sepanjang waktu karena situasi senantiasa berubah. Runyon (1984) menjelaskan bahwa penyesuaian diri merupakan proses yang terus berlangsung dalam kehidupan individu. Situasi dalam kehidupan selalu berubah. Individu mengubah tujuan dalam hidupnya seiring dengan perubahan yang terjadi di lingkungannya. Berdasarkan konsep penyesuaian diri sebagai proses, penyesuaian diri yang efektif dapat diukur dengan mengetahui bagaimana kemampuan individu menghadapi lingkungan yang senantiasa berubah. Schneiders (1964) menyatakan bahwa penyesuaian diri merupakan suatu proses yang mencakup respon mental dan tingkah laku individu, yaitu individu berusaha keras agar mampu mengatasi konflik dan frustrasi karena terhambatnya kebutuhan dalam dirinya, sehingga tercapai keselarasan dan keharmonisan antara diri sendiri dengan lingkungannya. Dalam interaksi tersebut baik individu maupun lingkungan menjadi agen perubahan. Definisi penyesuaian diri menurut Atwater (1979) menambahkan penjelasan Schneiders tentang perubahan sebagai hasil penyesuaian diri.
Atwater
mengemukakan bahwa penyesuaian diri terdiri dari perubahan-perubahan yang terjadi pada diri individu dan lingkungan di sekeliling individu yang dibutuhkan untuk mencapai kepuasan dalam hubungan dengan orang lain dan dengan lingkungan.
Universitas Sumatera Utara
Dari pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri adalah suatu proses yang mencakup respon mental dan tingkah laku individu, yaitu individu berusaha keras agar mampu mengatasi konflik dan frustrasi karena terhambatnya kebutuhan dalam dirinya, sehingga tercapai keselarasan dan keharmonisan antara tuntutan dari dalam diri dengan tuntutan lingkungan.
2. Karakteristik penyesuaian diri Schneiders (1964) mengungkapkan bahwa penyesuaian diri yang normal meliputi tujuh karakteristik sebagai berikut : a. Tidak terdapat emosionalitas yang berlebihan (absence of excessive emotionality) Penyesuaian diri yang baik dapat ditandai dengan tidak adanya emosi yang relatif berlebihan atau tidak terdapatnya gangguan emosi yang merusak. Individu menanggapi situasi atau masalah yang dihadapinya dengan cara yang baik akan merasa tenang dan memiliki kontrol emosi yang baik. b. Tidak terdapat mekanisme pertahanan diri (absence of psychological mechanisms) Aspek
kedua
menjelaskan
pendekatan
terhadap
permasalahan
lebih
mengindikasikan respon yang normal dari pada penyelesaian masalah yang memutar melalui serangkaian mekanisme pertahanan diri yang disertai tindakan nyata untuk mengubah suatu kondisi. Individu dikategorikan normal jika bersedia mengakui kegagalan yang dialami dan berusaha kembali untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Individu dikatakan mengalami gangguan
Universitas Sumatera Utara
penyesuaian jika individu mengalami kegagalan dan menyatakan bahwa tujuan tersebut tidak berharga untuk dicapai. c. Tidak terdapat perasaan frustasi pribadi (absence of the sence of personal frustation) Adanya perasaan frustasi akan membuat individu sulit atau bahkan tidak mungkin bereaksi secara normal terhadap situasi ataupun masalah yang dihadapi. d. Pertimbangan rasional dan pengarahan diri (rational deliberation and self direction) Pertimbangan rasional tidak dapat berjalan dengan baik apabila disertai dengan emosi yang berlebihan sehingga individu tidak dapat mengarahkan dirinya. Individu yang tidak mampu untuk mempertimbangkan masalah secara rasional akan mengalami kesulitan dalam penyesuaian dirinya. e. Kemampuan untuk belajar (ability to learn) Proses penyesuaian diri yang baik selalu dapat ditandai dengan sejumlah pertumbuhan atau perkembangan yang berhubungan dengan cara-cara seorang individu menyelesaikan situasi atau ancaman bagi dirinya. f. Pemanfaatan pengalaman (utilization of past experience) Adanya kesediaan individu untuk belajar dan memanfaatkan pengalaman merupakan hal yang penting bagi penyesuaian diri yang baik.
Universitas Sumatera Utara
g. Sikap-sikap yang realistik dan objektif (realistic and objective attitude) Karakteristik ini berhubungan erat dengan orientasi seorang individu terhadap realitas yang dihadapi. Sikap yang realistik dan objektif didasarkan pada proses belajar. Penyesuaian diri yang ada pada individu terbagi dalam dua bentuk. Menurut Hartono & Sunarto (2002) terdapat penyesuaian diri yang baik dan yang buruk. a. Penyesuaian diri yang baik Hartono & Sunarto (2002) mengatakan bahwa dalam melakukan penyesuaian diri yang baik, individu akan melakukannya dalam berbagai bentuk, antara lain: 1) Penyesuaian dengan menghadapi masalah secara langsung. Dalam situasi ini individu secara langsung mengahadapi masalahnya dengan segala akibat-akibatnya. Ia melakukan segala tindakan sesuai dengan masalah yang dihadapinya. Misalnya, seorang siswa yang terlambat dalam menyerahkan tugas karena sakit, maka ia menghadapinya secara langsung, ia mengemukakan segala masalahnya kepada gurunya. 2) Tidak menunjukkan adanya mekanisme-mekanisme psikologis. Dalam situasi ini individu mencari berbagai pengalaman untuk dapat menghadapi dan memecahkan masalahnya. Misalnya, seorang siswa yang merasa kurang mampu dalam mengerjakan tugas, ia akan mencari bahan dalam upaya menyelesaikan tugas tersebut, dengan membaca buku, konsultasi, diskusi dan sebagainya. 3) Penyesuaian dengan trial and error atau coba-coba.
Universitas Sumatera Utara
Dalam cara ini, individu melakukan suatu tindakan coba-coba, dalam arti kalau menguntungkan diteruskan dan kalau gagal tidak diteruskan. Taraf pemikiran ini kurang begitu berperan dibandingkan dengan cara eksplorasi. 4) Penyesuaian dengan subsitusi (mencari pengganti). Jika individu merasa gagal dalam menghadapi masalah, maka ia dapat memperoleh penyesuaian dengan jalan mencari pengganti. Misalnya, gagal nonton film di bioskop, maka ia pindah nonton TV. 5) Penyesuaian diri dengan menggali kemampuan diri. Dalam hal ini, individu mencoba menggali kemampuan-kemampuan khusus dalam dirinya dan kemudian dikembangkan sehingga dapat membantu penyesuaian diri. Misalnya, seorang siswa yang mempunyai kesulitan dalam keuangan, berusaha mengembangkan kemampuannya dalam menulis (mengarang). Dari usaha mengarang ia dapat membantu mengatasi kesulitan dalam keuangan. 6) Penyesuaian dengan belajar. Dengan belajar, individu akan banyak memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang dapat membantu menyesuaikan diri. Misalnya, seorang guru akan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak belajar tentang berbagai pengetahuan. 7) Penyesuaian dengan inhibisi dan pengendalian diri. Penyesuaian diri akan lebih berhasil jika disertai dengan kemampuan memilih tindakan yang tepat dan pengendalian diri secara tepat pula.
Universitas Sumatera Utara
Dalam situasi ini individu berusaha memilih tindakan mana yang harus dilakukan, dan tindakan mana yang tidak perlu dilakukan. Cara inilah yang disebut dengan inhibisi. Di samping itu, individu harus mampu mengendalikan dirinya dalam melakukan tindakannya. 8) Penyesuaian diri dengan perencanaan yang cermat. Dalam situasi ini, tindakan yang dilakukan merupakan keputusan yang diambil berdasarkan perencanaan yang cermat. Keputusan diambil setelah dipertimbangkan dari berbagai segi, yaitu segi untung dan ruginya.
b. Penyesuaian diri yang buruk Kegagalan dalam
melakukan penyesuaian
diri secara positif dapat
mengakibatkan individu melakukan penyesuaian diri yang negatif. Ada tiga bentuk reaksi dalam penyesuaian yang salah, yaitu: 1) Reaksi bertahan Individu berusaha untuk mempertahankan dirinya, seolah-olah tidak menghadapi kegagalan. Ia selalu berusaha untuk menunjukkan bahwa dirinya tidak mengalami kegagalan. Bentuk khusus reaksi ini antara lain: a) Rasionalisasi, yaitu bertahan dengan mencari-cari alasan untuk membenarkan tindakannya. b) Represi, yaitu berusaha untuk menekan pengalamannya yang dirasakan kurang enak ke dalam alam tak sadar. Ia berusaha melupakan pengalamannya yang kurang menyenangkan.
Universitas Sumatera Utara
c) Proyeksi, yaitu melemparkan sebab kegagalan dirinya kepada pihak lain untuk mencari alasan yang dapat diterima. Misalnya, seorang pemuda yang tidak lulus mengatakan bahwa gurunya membenci dirinya. d) Anggur
kecut
(sour grapes),
yaitu
dengan
memutarbalikkan
kenyataan. Misalnya, seorang siswa yang gagal mengetik mengatakan bahwa mesin tiknya rusak, padahal ia sendiri tidak bisa mengetik. 2) Reaksi menyerang Orang yang mempunyai penyesuaian diri yang salah menunjukkan tingkah laku yang bersifat menyeranag untuk menutupi kegagalannnya. Ia tidak mau menyadari kegagalannya. Reaksi-reaksinya tampak dalam tingkah laku: a) Selalu membenarkan diri sendiri b) Mau berkuasa dalam setiap situasi c) Mau memiliki segalanya d) Bersikap senang mengganggu orang lain e) Menggertak baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan f) Menunjukkan sikap permusuhan secara terbuka g) Menunjukkan sikap menyerang dan merusak h) Keras kepala dalam perbuatannya i) Bersikap balas dendam j) Memperkosa hak orang lain k) Tindakan yang serampangan
Universitas Sumatera Utara
l) Marah secara sadis 3) Reaksi melarikan diri Dalam reaksi ini, orang yang mempunyai penyesuaian diri yang salah akan melarikan diri dari situasi yang menimbulkan kegagalannya. Reaksinya tampak dalam tingkah laku seperti berfantasi (memunculkan keinginan yang tidak tercapai dalam bentuk angan-angan seolah-olah sudah tercapai), banyak tidur, minum minuman keras, bunuh diri, menjadi pecandu ganja, narkotika dan regresi (kembali pada tingkah laku yang semodel dengan tingkat perkembangan yang /lebih awal, misalnya orang dewasa yang bersikap dan berwatak seperti anak kecil), dan lain-lain. Dari uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat dua karakteristik seseorang dalam menyesuaikan diri, yaitu penyesuaian diri yang baik dan penyesuaian diri yang buruk.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri Menurut Schneiders (1964) faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri adalah : a. Keadaan fisik (physical conditions) Kondisi fisik individu merupakan faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri, sebab keadaan sistem-sistem tubuh yang baik merupakan syarat bagi terciptanya penyesuaian diri yang baik. Adanya cacat fisik dan penyakit kronis akan melatarbelakangi adanya hambatan pada individu dalam melaksanakan penyesuaian diri.
Universitas Sumatera Utara
b. Perkembangan dan kematangan (development and maturation) Bentuk-bentuk penyesuaian diri individu berbeda pada setiap tahap perkembangan. Sejalan dengan perkembangannya, individu meninggalkan tingkah laku infantil dalam merespon lingkungan. Hal tersebut bukan karena proses pembelajaran semata, melainkan karena individu menjadi lebih matang. Kematangan individu dalam segi intelektual, sosial, moral, dan emosi mempengaruhi bagaimana individu melakukan penyesuaian diri. c. Kondisi psikologis (psychological determinants) Keadaan mental yang sehat merupakan syarat bagi tercapainya penyesuaian diri yang baik, sehingga dapat dikatakan bahwa adanya frustrasi, kecemasan dan cacat mental akan dapat melatarbelakangi adanya hambatan dalam penyesuaian diri. Keadaan mental yang baik akan mendorong individu untuk memberikan respon yang selaras dengan dorongan internal maupun tuntutan lingkungannya. Banyak variabel yang termasuk dalam keadaan psikologis di antaranya adalah pengalaman, pendidikan, konsep diri dan lain-lain. d. Keadaan lingkungan (environmental conditions) Keadaan lingkungan yang baik, damai, tentram, aman, penuh penerimaan dan pengertian, serta mampu memberikan perlindungan kepada anggotaanggotanya
merupakan lingkungan yang akan memperlancar proses
penyesuaian diri. Sebaliknya apabila individu tinggal di lingkungan yang tidak tentram, tidak damai, dan tidak aman, maka individu tersebut akan mengalami gangguan dalam melakukan proses penyesuaian diri. Keadaan lingkungan yang dimaksud meliputi sekolah, rumah, dan keluarga.
Universitas Sumatera Utara
e. Tingkat religiusitas dan kebudayaan (cultural and religion) Religiusitas merupakan faktor yang memberikan suasana psikologis yang dapat digunakan untuk mengurangi konflik, frustrasi dan ketegangan psikis lain. Religiusitas memberi nilai dan keyakinan sehingga individu memiliki arti, tujuan, dan stabilitas hidup yang diperlukan untuk menghadapi tuntutan dan perubahan yang terjadi dalam hidupnya (Schneiders, 1964). Kebudayaan pada suatu masyarakat merupakan suatu faktor yang membentuk watak dan tingkah laku individu untuk menyesuaikan diri dengan baik atau justru membentuk individu yang sulit menyesuaikan diri. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri meliputi keadaan fisik, perkembangan dan kematangan, kondisi psikologis, keadaan lingkungan, serta religiusitas dan kebudayaan.
C. Sekolah Berasrama SMA Budi Murni Deli Tua 1. Sekolah Berasrama Ada dua fenomena menarik dalam dunia pendidikan di Indonesia yakni munculnya sekolah-sekolah terpadu (mulai tingkat dasar hingga menengah) dan penyelenggaraan sekolah bermutu yang sering disebut dengan boarding school. Nama lain dari istilah boarding school adalah sekolah berasrama. Para murid mengikuti pendidikan reguler dari pagi hingga siang di sekolah kemudian dilanjutkan dengan pendidikan agama atau pendidikan nilai-nilai khusus di malam
Universitas Sumatera Utara
hari. Selama 24 jam anak didik berada di bawah pendidikan dan pengawasan para guru pembimbing (Maknun, 2006). Di lingkungan sekolah ini mereka dipacu untuk menguasai ilmu dan teknologi secara intensif sedangkan selama di lingkungan asrama mereka ditempa untuk menerapkan ajaran agama atau nilai-nilai khusus serta mengespresikan rasa seni dan ketrampilan hidup di hari libur. Hari-hari mereka adalah hari-hari berinteraksi dengan teman sebaya dan para guru. Rutinitas kegiatan tersebut berlangsung dari pagi hingga malam sampai bertemu pagi lagi. Mereka menghadapi makhluk hidup yang sama, orang yang sama, lingkungan yang sama. dinamika dan romantika yang sama juga (Maknun, 2006). Kehadiran dan keberadaannya sekolah berasrama adalah suatu konsekuensi logis dari perubahan lingkungan sosial dan keadaan ekonomi serta cara pandang religiusitas masyarakat. Lingkungan sosial kita kini telah banyak berubah terutama di kota-kota besar. Sebagian penduduk tidak lagi tinggal dalam suasana masyarakat homogen. Kebiasaan lama bertempat tinggal dengan kelurga besar satu marga telah lama bergeser ke arah masyarakat yang heterogen, majemuk, dan plural. Hal ini berimbas pada pola perilaku masyarakat yang berbeda karena berada dalam pengaruh nilai-nilai yang berbeda pula. Oleh karena itu, sebagian besar masyarakat yang terdidik dengan baik menganggap bahwa lingkungan sosial seperti itu sudah tidak lagi kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan intelektual dan moralitas anak (Maknun, 2006). Dari banyak sekolah-sekolah berasrama di Indonesia, terdapat tiga corak yaitu bercorak agama, nasionalis-religius, dan ada yang nasionalis. Untuk yang
Universitas Sumatera Utara
bercorak agama terbagi dalam banyak corak ada yang fundamentalis, moderat sampai yang agak liberal. Hal ini merupakan representasi dari corak keberagamaan di Indonesia yang umumnya mengambil tiga bentuk tersebut. Kemudian yang bercorak militer karena ingin memindahkan pola pendidikan kedisiplinan di militer kedalam pendidikan di sekolah berasrama. Sedangkan corak nasionalis-religius mengambil posisi pada pendidikan semi militer yang dipadu dengan nuansa agama dalam pembinaannya di sekolah (Maknun, 2006). a. Kelebihan sekolah berasrama Menurut Maknun (2006) ada beberapa kelebihan sekolah berasrama jika dibandingkan dengan sekolah reguler yaitu: 1) Program Pendidikan Paripurna Umumnya sekolah-sekolah reguler terkonsentrasi pada kegiatankegiatan akademis sehingga banyak aspek hidup anak yang tidak tersentuh. Hal ini terjadi karena keterbatasan waktu yang ada dalam pengelolaan program pendidikan pada sekolah reguler. Sebaliknya, sekolah
berasrama
dapat
merancang
program
pendidikan
yang
komprehensif-holistik dari program pendidikan keagamaan, academic development, life skill (soft skill dan hard skill) sampai membangun wawasan global. Bahkan pembelajaran tidak hanya sampai pada tataran teoritis, tapi juga implementasi baik dalam konteks belajar ilmu ataupun belajar hidup.
Universitas Sumatera Utara
2) Fasilitas lengkap Sekolah berasrama mempunyai fasilitas lengkap, mulai dari fasilitas sekolah yaitu kelas belajar yang baik, laboratorium, klinik, sarana olah raga semua cabang olah raga, perpustakaan, kebun dan taman hijau. Sementara di asrama fasilitasnya adalah kamar, telepon, TV, tempat handuk, karpet di seluruh ruangan, tempat cuci tangan, lemari kamar mandi, gantungan pakaian dan lemari cuci, area belajar pribadi, detektor kebakaran, jam dinding, lampu meja, cermin besar, rak-rak yang luas, pintu darurat dengan pintu otomatis. Sedangkan fasilitas dapur terdiri dari meja dan kursi yang besar, perlengkapan makan, dan pecah belah yang lengkap, lemari es, dua toaster listrik, tempat sampah, perlengkapan masak memasak lengkap, dan kursi yang nyaman. 3) Guru yang berkualitas Sekolah-sekolah berasrama umumnya menentukan persyaratan kualitas guru yang lebih jika dibandingkan dengan sekolah konvensional. Kecerdasan intelektual, sosial, spiritual, dan kemampuan paedagogismetodologis harus dimiliki oleh setiap guru di sekolah berasrama. Kemudian ditambah lagi kemampuan bahasa asing seperti Inggris, Arab, Mandarin, dan lain-lain. Sampai saat ini sekolah-sekolah berasrama belum mampu mengintegrasikan guru sekolah dengan guru asrama. Masih terdapat dua kutub yang sangat ekstrim antara kegiatan pendidikan dengan kegiatan pengasuhan. Pendidikan dilakukan oleh guru sekolah dan pengasuhan dilakukan oleh guru asrama.
Universitas Sumatera Utara
4) Lingkungan yang kondusif Dalam sekolah berasrama semua elemen yang ada dalam komplek sekolah terlibat dalam proses pendidikan. Aktornya tidak hanya guru atau bisa dibalik gurunya bukan hanya guru mata pelajaran, tapi semua orang dewasa yang ada di sekolah berasrama adalah guru. Siswa tidak bisa lagi diajarkan bahasa-bahasa langit, tapi siswa melihat langsung praktek kehidupan dalam berbagai aspek. Guru tidak hanya dilihat siswa di dalam kelas, tapi juga dalam kehidupan sehari-harinya. 5) Siswa yang heterogen Sekolah berasrama mampu menampung siswa dari berbagai latar belakang yang tingkat heterogenitasnya tinggi. Siswa berasal dari berbagai daerah yang mempunyai latar belakang sosial, budaya, tingkat kecerdasan, kemampuan akademik yang sangat beragam. Kondisi ini sangat kondusif untuk membangun wawasan nasional dan siswa terbiasa berinteraksi dengan teman-temannya yang berbeda sehingga sangat baik bagi anak untuk melatih wisdom dan menghargai pluralitas. 6) Jaminan keamanan Sekolah berasrama berupaya secara total untuk menjaga keamanan siswa-siswinya. Oleh karena itu, banyak sekolah asrama yang mengadopsi pola pendidikan militer untuk menjaga keamanan siswa-siswinya. Tata tertib dibuat secara lengkap dengan sanksi-sanksi bagi pelanggarnya. Daftar “dosa” diurutkan sedemikian rupa dari dosa kecil, menengah, sampai berat. Jaminan keamanan diberikan sekolah berasrama, mulai dari
Universitas Sumatera Utara
jaminan kesehatan (tidak terkena penyakit menular), tidak narkoba, terhindar dari pergaulan bebas, dan jaminan keamanan fisik (tawuran dan perpeloncoan), serta jaminan pengaruh kejahatan dunia maya. 7) Jaminan kualitas Sekolah berasrama dengan program yang komprehensif-holistik, fasilitas yang lengkap, guru yang berkualitas dan lingkungan yang kondusif dan terkontrol, dapat memberikan jaminan kualitas jika dibandingkan dengan sekolah konvensional. Dalam sekolah berasrama, pintar tidak pintarnya anak, baik dan tidak baiknya anak sangat tergantung pada sekolah karena 24 jam anak bersama sekolah. Hampir dapat dipastikan tidak ada variabel yang lain mengintervensi perkembangan dan progresifitas pendidikan anak, seperti pada sekolah konvensional yang masih dibantu oleh lembaga bimbingan belajar, lembaga kursus dan lainlain. Sekolah-sekolah berasrama dapat melakukan treatment individual, sehingga setiap siswa dapat meningkatnya bakat dan potensi individunya.
b. Kekurangan sekolah berasrama Sampai saat ini sekolah-sekolah berasrama masih banyak mempunyai kekurangan-kekurangan yang belum dapat diatasi sehingga banyak sekolah berasrama layu sebelum berkembang. Hal ini terjadi pada sekolah-sekolah berasrama yang masih merintis (Maknun, 2006). Faktor-faktornya adalah sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
1) Ideologi sekolah berasrama yang tidak jelas Term ideology digunakan untuk menjelaskan tipologi atau corak sekolah berasrama, apakah religius, nasionalis, atau nasional-religius. Sekolah berasrama yang mengambil corak religius sangatlah beragam, mulai dari yang fundamentalis, moderat sampai liberal. Masalahnya dalam implementasi ideologinya tidak dilakukan secara jelas. Terlalu banyak improvisasi yang bias dan keluar dari pakem atau frame ideologi tersebut. Hal itu juga serupa dengan nasionalis, tidak mengadop pola-pola pendidikan kedisiplinan militer secara jelas. Akibatnya terdapat kekerasan dalam sekolah berasrama. Sementara yang nasionalis-religius dalam praktik sekolah berasrama masih belum jelas formatnya. 2) Dikotomi guru sekolah vs guru asrama (pengasuhan) Sampai saat ini sekolah berasrama kesulitan mencari guru yang cocok untuk sekolah berasrama. Penghasil guru (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan/ LPTK, IKIP dan mantan IKIP) tidak memproduksi guruguru sekolah berasrama. Akibatnya masing-masing sekolah mendidik guru asramanya sendiri sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki oleh lembaga tersebut. Guru sekolah (mata pelajaran) hanya untuk mengampu mata pelajarannya, sementara guru pengasuhan hanya bicara soal pengasuhan. Padahal idealnya, dua kompetensi tersebut harus melekat dalam sekolah berasrama. Hal ini penting agar tidak terjadinya saling menyalahkan dalam proses pendidikan antara guru sekolah dan guru asrama.
Universitas Sumatera Utara
3) Kurikulum pengasuhan yang tidak baku Salah satu yang membedakan sekolah-sekolah berasrama adalah kurikulum pengasuhannya. Jika bicara kurikulum akademiknya dapat dipastikan hampir sedikit perbedaannya. Semuanya mengacu kepada kurikulum produk Departemen Pendidikan Nasional dengan ditambah pengayaan atau suplemen kurikulum internasional dan muatan lokal. Tetapi jika bicara tentang pola pengasuhan sangat beragam, dari yang sangat militer (sangat disiplin) sampai ada yang terlalu lunak. Keduaduanya mempunyai efek negatif, pola militer melahirkan siswa yang berwatak kemiliter-militeran dan pola yang terlalu lunak menghasilkan siswa watak licik yang bisa menghantar sang siswa mempermainkan peraturan 4) Sekolah dan asrama terletak dalam satu lokasi Pada umumnya, sekolah-sekolah berasrama berada dalam satu lokasi dan dalam jarak yang sangat dekat. Kondisi ini telah banyak berkontribusi dalam menciptakan kejenuhan anak selama berada di sekolah asrama. Idealnya siswa harus mengalami semacam proses berangkat ke sekolah. Dengan begitu, mereka mengenyam suasana meninggalkan tempat menginap, berinteraksi dengan sesama siswa di jalan, serta melihat aktivitas masyarakat di sepanjang jalan.
Universitas Sumatera Utara
2. SMA Budi Murni Deli Tua SMA Budi Murni Deli Tua merupakan salah satu model sekolah berasrama yang bercorak nasionalis-religius. Sekolah SMA Budi Murni Deli Tua ini merupakan unit pendidikan dari Yayasan Ordo Saudara Dina Konventual (OFM Conv.). Misi sekolah SMA Budi Murni Deli Tua adalah untuk mendampingi siswa melalui pendidikan sekolah berasrama. Sesuai dengan misi SMA Budi Murni Deli Tua sebagai sekolah berasrama, pendidikannya meliputi dua bidang yaitu bidang asrama dan bidang sekolah yang terpadu. SMA Budi Murni Deli Tua menyediakan asrama putri. Penyelenggaraan asrama didampingi oleh pamong asrama. Pamong asrama bukanlah orang awam, melainkan biarawati yang disebut Suster. Suasana asrama membentuk warga asrama untuk mengembangkan diri dan potensinya secara optimal dalam bidang pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai hidup yang diperlukan untuk siap melanjutkan ke perguruan tinggi maupun hidup di tengah masyarakat. Pendidikan bidang sekolah di SMA Budi Murni Deli Tua diselenggarakan melalui pelaksanaan kurikulum baku dan kurikulum pengembangan. Kurikulum baku adalah kurikulum yang dibakukan pemerintah sebagai kurikulum standar minimal secara nasional. Kurikulum pengembangan adalah kegiatan-kegiatan terobosan pengembangan kurikulum untuk memperkaya pendidikan, pelatihan dan pembimbingan peserta didik, yaitu berupa kelompok kegiatan intelektualitas, religiusitas, dan sosialitas. Pengajar SMA Budi Murni Deli Tua disebut sebagai guru, yang berfungsi sebagai pendamping, fasilitator, mediator, instruktor,
Universitas Sumatera Utara
motivator bagi peserta didik. Sementara peserta didik merupakan subjek pendidikan yang dituntut lebih aktif dan mandiri dalam kegiatan belajar mengajar. Proses pendidikan di SMA Budi Murni Deli Tua memadukan unsur-unsur pendidikan formal, non formal, dan informal. Menurut Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa pendidikan formal dapat diwujudkan dalam bentuk satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat. Pendidikan nonformal merupakan pendidikan yang berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada keluasan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional. Sedangkan kegiatan pendidikan informal dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Unsur-unsur pendidikan formal, non formal, dan informal dalam proses pendidikan di SMA Budi Murni Deli Tua ini mencakup segi-segi intelektualitas, religiusitas, dan sosialitas.
D. Hubungan Keyakinan Diri dengan Penyesuaian Diri Siswa SMA Budi Murni Deli Tua yang Tinggal di Asrama Boarding school merupakan penyelenggaraan sekolah bermutu untuk meningkatkan kualitas anak didik. Nama lain dari istilah boarding school adalah sekolah berasrama. Para murid mengikuti pendidikan reguler dari pagi hingga siang di sekolah kemudian dilanjutkan dengan pendidikan asrama seperti pendidikan agama atau pendidikan nilai-nilai khusus lainnya. Selama 24 jam anak didik berada di bawah pengawasan para guru pembimbing (Maknun, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Sekolah berasrama merupakan model sekolah yang memiliki tuntutan yang lebih tinggi jika dibanding sekolah reguler (Vembriarto, 1993). Tuntutan-tuntutan tersebut dapat memberikan dampak yang positif maupun negatif bagi kehidupan siswa. Dampak positif dari sekolah berasrama tersebut antara lain membangun wawasan pendidikan keagamaan yang tidak hanya sampai pada tataran teoritis tapi juga implementasi baik dalam konteks belajar ilmu maupun belajar hidup, membangun wawasan nasional siswa sehingga terbiasa berinteraksi dengan teman sebaya yang berasal dari berbagai latar belakang dan dapat melatih anak untuk menghargai pluralitas, memberikan jaminan keamanan dengan tata tertib yang dibuat secara jelas serta sanksi-sanksi bagi pelanggarnya sehingga keamaanan anak terjaga seperti terhindar dari pergaulan bebas, dan lain-lain (Maknun, 2006). Selain dampak positif, ternyata tuntutan dari sekolah berasrama juga dapat berpengaruh negatif bagi siswa, seperti pola pengasuhan yang tidak baku dan sangat beragam dari yang sangat militer (disiplin) sampai ada yang terlalu lunak dimana keduanya mempunyai efek negatif yaitu pola militer yang melahirkan siswa yang berwatak keras dan pola yang terlalu lunak menimbulkan watak licik yang dapat menghantarkan siswa suka mempermainkan peraturan, kondisi dan aktivitas yang dijalani siswa dapat menciptakan kejenuhan, dan lain-lain (Maknun, 2006). Banyak individu yang menderita, stres dan tidak mampu mencapai kebahagiaan dalam hidupnya karena ketidakmampuannya menghadapi tuntutan sekolah berasrama (Mu’tadin, 2005). Sekolah berasrama menghadapkan siswa pada berbagai tuntutan sekolah dan asrama seperti tuntutan akan kemandirian, tuntutan akan tanggung jawab, dan
Universitas Sumatera Utara
tuntutan akademik. Tuntutan akan kemandirian terlihat dari ketentuan yang mengharuskan siswa untuk mampu mengurus sendiri kebutuhan pribadinya, seperti mencuci, menyetrika, dan melakukan tugas piket asrama. Tuntutan akan tanggung jawab adalah tuntutan terhadap siswa untuk mematuhi peraturan sekolah, peraturan asrama, mengikuti kegiatan sekolah dan asrama, serta menjalankan setiap tugas sekolah dan asrama secara bertanggung jawab sesuai dengan perannya. Tuntutan akademik yaitu tuntutan terhadap siswa untuk memiliki prestasi yang baik sesuai standar nilai yang ditetapkan sekolah. Siswa yang gagal memenuhi tuntutan tersebut akan dikenai sanksi sesuai aturan. Sanksi yang terberat adalah pemutusan hubungan dengan sekolah dan asrama. Tuntutan-tuntutan yang ada di sekolah dan asrama dapat menimbulkan stress (Widiastono, 2001). Banyak individu yang menderita dan tidak mampu mencapai kebahagiaan dalam hidupnya karena ketidakmampuannya menghadapi tuntutantuntutan di sekolah berasrama (Mu’tadin, 2005). Oleh karena itu, untuk meminimalisir dampak negatif tersebut, diperlukan penyesuaian diri pada siswa sebagai mekanisme yang efektif untuk mengatasi stres dan menghindarkan terjadinya krisis psikologis (Calhoun,1990). Menurut Runyon (1984), ketika individu mempunyai penyesuaian diri yang baik maka individu akan mampu mengatasi stres dan mengatasi masalah-masalah yang timbul dalam hidup. Penyesuaian diri merupakan suatu proses yang mencakup respon mental dan tingkah laku individu, yaitu individu berusaha keras agar mampu mengatasi konflik dan frustrasi karena terhambatnya kebutuhan dalam dirinya, sehingga tercapai keselarasan dan keharmonisan antara tuntutan dari dalam diri dengan
Universitas Sumatera Utara
tuntutan lingkungan (Schneiders, 1964). Menyesuaikan diri berarti mengubah dengan cara yang tepat untuk memenuhi tuntutan tertentu (Mu’tadin, 2002). Penyesuaian diri berlangsung secara terus menerus antara memuaskan kebutuhan diri sendiri dengan tuntutan lingkungan. Ketika individu mempunyai penyesuaian diri yang baik maka individu akan mampu mengatasi stres dan mengatasi masalah-masalah yang timbul dalam hidup (Runyon, 1984). Penyesuaian diri dipengaruhi oleh berbagai faktor. Schneiders (1964) menyebutkan bahwa kondisi psikologis merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri. Kondisi psikologis meliputi keadaan mental individu yang sehat, dimana individu yang memiliki mental yang sehat memiliki kemampuan untuk melakukan pengaturan terhadap dirinya sendiri dalam membentuk perilakunya secara efektif (Schneiders, 1964). Dalam mengatur suatu perilaku yang akan dibentuk atau tidak, individu tidak hanya mempertimbangkan informasi tentang keuntungan dan kerugian dari perilaku, tetapi juga mempertimbangkan sampai sejauh mana individu memiliki kemampuan mengatur perilaku tersebut (Bandura, 1986). Oleh karena itu, untuk memiliki kemampuan dalam mengatur perilaku ini diperlukan keyakinan diri. Keyakinan diri adalah perasaan individu akan kemampuannya dalam mengerjakan suatu tugas sehingga individu mampu mengorganisasi dan mengimplementasi tindakan yang dibutuhkan untuk menampilkan suatu kecakapan tertentu (Bandura, 1986). Keyakinan diri individu akan menunjukkan kemampuan dirinya untuk membentuk perilaku yang relevan dalam situasi-situasi
Universitas Sumatera Utara
khusus yang mungkin tidak dapat diramalkan dan dapat menimbulkan stress (Bandura, 1986). Keyakinan diri individu dalam mengerjakan suatu tugas berbeda dalam dimensinya. Dimensi keyakinan diri individu ketika melakukan suatu tugas berkaitan dengan tingkat kesulitan tugas, keluasan individu terhadap tugas, dan kemantapan individu akan hasil tugas yang diharapkan. Dengan demikian, keyakinan diri menjadi dasar diri individu untuk melakukan usaha dalam menyesuaikan kemampuan individu terhadap berbagai tugas, bahkan ketika menemui hambatan sekalipun (Bandura, 1997). Siswa yang tinggal di sekolah berasrama dihadapkan pada berbagai tuntutan, baik tuntutan kemandirian, tanggung jawab maupun akademik. Kehidupan siswa di sekolah berasrama dapat dirasakan sebagai masa ketegangan karena siswa harus menyesuaikan kemampuan diri siswa dengan berbagai tuntutan tersebut. Kemampuan siswa dalam mengatur perilakunya terhadap tuntutan-tuntutan tersebut didasarkan atas keyakinan diri yang dimilikinya. Dengan keyakinan diri tersebut, maka dapat menentukan kemampuan penyesuaian diri siswa dalam memenuhi berbagai tuntutan yang ada, dan pada akhirnya akan mempengaruhi keberhasilan siswa selama menempuh pendidikan di sekolah asrama (Wijaya, 2007).
Universitas Sumatera Utara
E. Hipotesa Penelitian Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan yang positif antara keyakinan diri dengan penyesuaian diri siswa kelas X yang tinggal di asrama, yaitu semakin tinggi keyakinan diri siswa maka penyesuaian diri yang dimiliki siswa semakin baik, dan sebaliknya.
Universitas Sumatera Utara