BAB II LANDASAN TEORI
A. Pengertian dan Landasan Teori Teori legitimasi merupakan sudut pandang yang di adopsi untuk mengetahui bentuk organisasi dan strukturnya yang didasarkan pada asumsi bahwa perusahaan menetapkan kebijakan untuk keberadaannya (Meyer dan Rowan, dalam Subramaniam, 2009). Legitimacy theory menyatakan bahwa organisasi harus secara terus menerus mencoba untuk meyakinkan bahwa mereka melakukan kegiatan sesuai dengan batasan dan norma-norma masyarakat (Rustiarini, 2011). Teori sinyal digunakan secara luas untuk menempatkan masalah asimetri informasi
di
pasar
(Moris,
dalam
Subramaniam,
2009).
Teori
sinyal
mengemukakan tentang bagaimana seharusnya perusahaan memberikan sinyalsinyal pada pengguna laporan keuangan. Pajak memiliki berbagai definisi, yang pada hakikatnya mempunyai pengertian yang sama. Berdasar Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 yang telah diubah terakhir Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 pasal 1 dimana:
7
8
“Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Beberapa pengertian pajak yang dikemukakan para ahli adalah sebagai berikut: Definisi Pajak menurut Nigthtingale dalam Wirawan dan Rudi (2009:1), adalah sebagai berikut: A Compulsory contribution, imposed by Government, and while tax payers many receive nothing indentifiable in return for their contribution, they nevertheless have the benefit of living in a relative by educated, healthy and save society. Dari definisi diatas, pajak sebagai iuran wajib yang ditetapkan pemerintah dan wajib tidak memperoleh kontra prestasi langsung, akan tetapi memperoleh manfaat kehidupan yang relative aman, sejahtera dan berpendidikan. Definisi Pajak menurut Andriani dalam Wirawan dan Rudi (2009:2), menyatakan: Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara yang menyelenggarakan pemerintah.
9
Definisi Pajak menurut Rochmat Soemitro dalam Wirawan dan Rudi (2009:2), menyatakan: Pajak adalah iuran kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbale (kontra prestasi), yang langsung dapat ditunjuk dan digunakan untuk membayar pengeluaran-pengeluaran umum. Menurut Wirawan dan Rudi (2009:3), dari 3 (tiga) pengertian pajak yang disebutkan di atas, dapat ditarik kesimpulan, terdapat 5 (lima) unsur dalam pengertian pajak: 1. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang. 2. Sifatnya dapat dipaksakan. 3. Tidak ada kontra prestasi (imbalan) yang langsung dapat dirasakan oleh pembayar pajak. 4. Pemungutan pajak dilakukan oleh negara, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. 5. Pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah, baik pembangunan maupun rutin.
Oleh karena pajak dipungut dari rakyat dan membebankan rakyat maka harus mendapatkan persetujuan dari rakyat melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) seperti yang dinyatakan Pasal 23 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa segala pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang.
10
Menurut Pasal 1 Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 sebagaimana terakhir telah diubah dengan Undang-Undang No.36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) ditegaskan bahwa Pajak Penghasilan dikenakan kepada Subjek Pajak (orang pribadi atau badan) atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama 1 (satu) tahun pajak (tahun takwim / tahun buku). Dari definisi Pajak Penghasilan sebagaimana tersebut di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: Pajak Penghasilan (PPh) dikenakan kepada Subjek Pajak 1. Apabila seseorang atau badan hukum yang termasuk Subjek Pajak menerima atau memperoleh penghasilan yang merupakan objek pajak, maka Subjek Pajak tersebut menjadi Wajib Pajak, dan karenanya wajib mendaftarkan diri di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) sesuai tempat wajib pajak domisili / didirikan / berkedudukan untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), dan wajib membayar Pajak Penghasilan. 2. Oleh karena Pajak Penghasilan dikenakan kepada Subjek Pajak yang memperoleh penghasilan, maka Pajak Penghasilan disebut sebagai “Pajak Subjektif”. Dan karena Pajak Penghasilan dibebankan langsung kepada Subjek Pajak yang menerima penghasilan dan bebannya tidak dapat dilimpahkan kepada pihak lain, maka Pajak Penghasilan disebut “Pajak Langsung”. 3. Apabila seseorang atau badan hukum termasuk Subjek Pajak dan tidak menerima / memperoleh penghasilan yang merupakan objek pajak, maka Subjek Pajak tersebut tidak wajib menjadi Wajib Pajak, dan karenanya tidak wajib untuk membayar Pajak Penghasilan. 4. Apabila seseorang atau badan hukum tidak termasuk Subjek Pajak, maka orang atau badan hukum tersebut tidak mempunyai kewajiban untuk membayar Pajak Penghasilan meskipun menerima penghasilan yang menjadi objek pajak.
11
B. Kepatuhan Wajib Pajak Setiap Wajib Pajak harus aktif memenuhi kewajiban perpajakannya mulai dari mendaftarkan diri, mengisi Surat Pemberitahuan (SPT) dengan jujur, baik dan benar. Walaupun sudah tersedia ancaman hukuman administratif maupun ancaman hukum pidana bagi Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajiban perpajakannya, akan tetapi kenyataannya masih banyak Wajib Pajak yang tidak atau belum sepenuhnya memenuhi kewajibannya. Kepatuhan perpajakan dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya.
1. Jenis-jenis kepatuhan Menurut Wirawan B. Ilyas dan Rudi Suhartono (2009:120), jenis-jenis kepatuhan dibedakan benjadi dua, yaitu: a. Kepatuhan Formal, yaitu suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi kewajiban perpajakan secara formal sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Perpajakan. Misalnya ketentuan tentang batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan). b. Kepatuhan Material, yaitu suatu keadaan dimana Wajib Pajak secara substantif atau hakekat memenuhi semua ketentuan material perpajakan. Kepatuhan material dapat meliputi kepatuhan formal.
12
2. Syarat-syarat Menjadi Wajib Pajak Patuh Berdasarkan Undang-Undang No. 6 tahu 1983 yang telah diubah terakhir Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan disebutkan bahwa “Batas waktu penyampaian SPT Tahunan Wajib Pajak Badan adalah paling lambat 4 (empat) bulan setelah akhir tahun pajak”. Menurut Keputusan Direktorat Jenderal Pajak Nomor KEP550/PJ/2000 adalah Wajib Pajak yang telah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak sebagai Wajib pajak yang memenuhi kriteria tertentu sebagaimana dimaksud Nomor 544/KMK.04/2000
tentang
kriteria
Wajib
Pajak
yang
dapat
diberikan
pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak. Kriteria menurut Direktorat Jenderal Pajak tersebut adalah sebagai berikut : a. Tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan dalam 2 (dua) tahun terakhir. b. Dalam tahun terakhir penyampaian SPT Masa yang terlambat tidak lebih dari 3 (tiga) masa pajak untuk setiap jenis pajak dan tidak berturut-turut. c. SPT Masa yang terlambat itu disampaikan tidak lewat dari batas waktu penyampaian SPT Masa pajak berikutnya. d. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak kecuali telah memperoleh izin pajak kecuali telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak dan tidak termasuk tunggakan pajak sehubungan dengan STPnya diterbitkan untuk 2 (dua) masa pajak terakhir. e. Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir. f. Dalam hal laporan keuangan di audit oleh akuntan publik atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan harus dengan pendapat wajar tanpa
13
pengecualian atau dengan pendapat wajar dengan pengecualian sepanjang pengecualian tersebut tidak mempengaruhi laba rugi fiskal. Laporan audit harus : 1) Disusun dalam bentuk panjang (long form report) 2) Menyajikan rekonsiliasi laba rugi kommersial dan fiskal. g. Kecuali telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak. h. Tidak termasuk tunggakan pajak sehubungan dengan STP yang diterbitkan untuk 2 (dua) masa pajak terakhir. i.
Dalam hal laporan keuangan Wajib Pajak tidak diaudit oleh akuntan publik, maka wajib pajak harus mengajukan permohonan tertulis paling lambat 3 bulan sebelum tahun buku berakhir, untuk dapat ditetapkan sebagai WP Patuh sepanjang memenuhi syarat pada huruf a sampai huruf e, ditambah syarat : 1) Dalam 2 (dua) tahun pajak terakhir menyelenggarakan pembukuan dimaksud dalam pasal 28 UU KUP dan 2) Apabila dalam 2 (dua) tahun terakhir terhadap Wajib Pajak pernah dilakukan pemeriksaan pajak, maka koreksi fiskal untuk setiap jenis pajak yang terutang tidak lebih dari 10%. Dirjen Pajak menetapkan Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan sebagai Wajib Pajak Patuh setiap bulan Januari. Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, Dirjen Pajak berwenang secara jabatan (ex-officio) menetapkan status Wajib Pajak Patuh tanda permohonan Wajib Pajak sepanjang Wajib Pajak Orang Pribadi tersebut memenuhi persyaratan huruf a sampai dengan e di atas. Penetapan WP Patuh berlaku untuk jangka waktu 2 (dua) tahun.
14
3. Kewajiban Wajib Pajak Menurut Peraturan Perpajakan, apabila seseorang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak (WP) atau Pengusaha Kena Pajak (PKP) berarti orang tersebut sudah termasuk warga negara yang baik dan bila telah melakukan pembayaran pajak dengan tertib maka termasuk salah seorang warga Negara yang sadar akan pajak, sebab uang pajak tersebut digunakan untuk pembangunan dan pembangunan tersebut akan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kewajiban yang harus dilakukan oleh Wajib Pajak setelah terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak dan memiliki NPWP adalah melakukan pembayaran dan melaporkan pajak yang terutang atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya. Selain itu Wajib Pajak juga memiliki kewajiban untuk memungut atau memotong dan menyetorkan pajak atas penghasilan yang dibayarkan atau terutang kepada pihak lainnya. Selain Pajak Penghasilan, bagi pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak juga memiliki kewajiban dibidang PPN dan PPnBM. Berkenaan dengan telah diperolehnya Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PPKP) tersebut perlu diketahui ketentuan-ketentuan yang berlaku untuk dilaksanakan oleh Wajib Pajak, yaitu kewajiban sehubungan dengan Pajak Penghasilan (PPh), Wirawan & Rudi (2009): a. Pembayaran Masa 1) Pajak Penghasilan Pasal 25
15
Setiap Bulan Wajib Pajak harus melakukan angsuran bulanan yang maksudnya agar pada akhir tahun pajak beban pajak tidak terlalu berat. Angsuran bulanan harus dibayar selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikutnya. 2) Pajak Penghasilan Pasal 21 (Pajak Penghasilan Karyawan) Jika perusahaan Wajib Pajak membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lainnya sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan atau sebagai imbalan atas jasa kepada karyawan, maka Wajib Pajak berkewajiban untuk melakukan pemotongan pajak atas penghasilan itu sebelum dibayarkan kepada yang bersangkutan. Pajak yang telah dipotong oleh Wajib Pajak tersebut harus disetor ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro selambat-lambatnya tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya. Catatan : Apabila tanggal dimaksud jatuh pada hari libur, maka pembayaran dapat dilakukan pada hari kerja sebelumnya. Keterlambatan pembayaran akan dikenakan denda sebesar 2% (dua persen) sebulan dan bagian dari bulan (meskipun hanya 1 hari) dihitung 1 (satu) bulan penuh. 3) Pelaporan
16
Apabila Wajib Pajak sudah membayar angsuran Pajak Penghasilan, maka Wajib Pajak harus melaporkan pembayaran itu ke Kantor Pelayanan Pajak yaitu sebagai berikut : a) Pajak Penghasilan Pasal 25 selamba-lambatnya tanggal 20 (dua puluh) bulan berikutnya. b) Pajak Penghasilan Pasal 21 selambat-lambatnya tanggal 20 (dua puluh) bulan berikutnya. Catatan : Apabila batas waktu pelaporan sebagaimana tersebut di atas jatuh pada hari libur, maka pelaporan harus dilakukan pada hari kerja sebelumnya. Keterlambatan melapor akan dikenakan sanksi berupa denda administrasi sebesar Rp.100.000,00 (seratus ribu rupiah). b. Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (Badan/Orang Pribadi/Pasal 21) Setelah tahun pajak berakhir, Wajib Pajak harus mengambil SPT (Surat Pemberitahuan) Tahun Pajak Penghasilan (SPT Tahunan PPh) ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar. Surat Pemberitahuan Tahunan harus diisi dengan benar, lengkap, jelas, ditandatangani, dan disampaikan kembali ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar paling
17
lambat tanggal 31 Maret setelah akhir tahun takwim. Dalam hal ini tahun buku tidak sama dengan tahun takwim. Surat Pemberitahuan Tahunan paling lambat disampaikan 3 (tiga) bulan setelah tahun buku berakhir. Apabila terjadi keterlambatan pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, maka Wajib Pajak akan dikenakan sanksi Administrasi berupa denda sebesar Rp.100.000,00 (seratus ribu rupiah). Untuk mendapatkan pelayanan yang lebih baik, Wajib Pajak sebaiknya melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan sebelum tanggal jatuh temponya.
4. Pencabutan Wajib pajak Patuh Surat Penetapan Wajib pajak Patuh dicabut oleh Kepala Kantor Wilayah setelah mempertimbangkan usulan Kepala Kantor Pelayanan Pajak, dalam hal memenuhi kriteria pembatalan antara lain : a. Terhadap Wajib Pajak tersebut dilakukan tindakan penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan. b. Wajib Pajak terlambat menyampaikan SPT Masa lebih dari 3 (tiga) masa pajak untuk semua jenis pajak. c. Dalam hal Wajib Pajak terlambat menyampaikan SPT Masa tidak lebih dari 3 (tiga) masa pajak, terdapat penyampaian SPT Masa yang lewat dari batas waktu penyampaian SPT Masa masa pajak berikutnya. d. Wajib Pajak terlambat menyampaikan SPT Masa untuk 2 (dua) masa pajak aau lebih berturut-turut untuk semua jenis pajak, atau
18
e. Dalam suatu masa pajak, ternyata tidak memenuhi kriteria tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana dibidang perpajakan dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir sejak masa pajak yang bersangkutan.
C. Pengertian Penagihan Pajak Dalam pelaksanaannya tidak semua Wajib Pajak ataupun Penanggung Pajak melunasi pajak yang terutang tepat waktu. Apabila sampai batas waktu yang telah ditentukan hutang pajak tersebut belum jua dilunasi, maka dilakukan tindakan penagihan pajak. Penagihan Pajak adalah Serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi hutang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan,
melaksanakan
penagihan
seketika
dan
sekaligus,
memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan pelaksanaan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita (Teguh, 2011).
1. Utang Pajak dan Penagihannya Menurut Thomas Sumarsan (2013:69) prosedur penagihan pajak dimulai apabila hutang pajak belum dilunasi sampai dengan jatuh tempo Surat Ketetapan Pajak (SKP) oleh Kantor Pelayanan Pajak. SKP tersebut dikeluarkan berdasarkan Surat Pemberitahuan yang disampaikan dan disusun oleh wajib pajak sendiri yang dikenal dengan istilah self assessment.
19
2. Jenis-Jenis Surat Ketetapan Pajak (SKP) Menurut Diaz Priantara (2013:113), Surat Pemberitahuan tersebut diperiksa oleh KPP, dari pemeriksaan tersebut dikeluarkan SKP untuk setiap wajib pajak. SKP yang dikeluarkan terdiri dari berbagai jenis yaitu a. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) bagi wajib pajak yang hutang pajaknya nihil. b. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) bagi wajib pajak yang pembayaran pajaknya lebih besar dari hutang pajaknya. Kelebihan tersebut akan dikembalikan. c. Surat Tagihan Pajak (STP) yaitu surat tagihan kepada wajib pajak yang masih mempunyai hutang pajak. d. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) yaitu surat ketetapan pajak yang kurang dibayar oleh wajib pajak. e. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) yaitu surat ketetapan pajak yang kurang bayar tambahan. 3. Proses Penagihan Dari kelima jenis SKP tersebut hanya STP, SKPKB dan SKPKBT yang dilakukan penagihan secara aktif kepada wajib pajak. Setelah lewat jangka
20
waktu temponya dalam STP/SKPKB/SKPKBT maka proses penagihan aktif dimulai dengan menerbitkan, Thomas Sumarsan (2013:69) : a. Surat Teguran Pelaksanaan penagihan dimulai dengan menerbitkan surat teguran kepada wajib pajak yang belum melunasi utang pajaknya setelah melampaui waktu tujuh hari sejak saat jatuh tempo dalam STP/SKPKB/SKPKBT tersebut. b. Penagihan Seketika dan Sekaligus Dalam hal terjadi suatu peristiwa atau keadaan mendesak yang menyebabkan utang pajak tidak tertagih, aparatur perpajakan diberi kewenangan untuk melakukan penagihan seketika dan sekaligus. Penagihan ini dilakukan dalam hal : 1) Penanggung pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selamalamanya atau berniat untuk itu; 2) Penanggung pajak memindah tangankan barang yang dimiliki atau dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan atas pekerjaan yang dilakukan di indonesia;
21
3) Terdapat tanda-tanda penanggung pajak akan membubarkan badan usahanya atau menggabungkan usahanya atau memekarkan usahanya atau memindah tangankan perusahaan yang dimiliki atau yang dikuasainya atau melakukan perubahan bentuk lainnya; 4) Badan usaha akan dibubarkan oleh negara; 5) Terjadi penyitaan atas barang penanggung pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan. c. Surat Paksa Surat paksa dikeluarkan apabila wajib pajak tidak melunasi utang pajaknya dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari setelah dikeluarkan Surat Teguran dengan dibebani biaya penagihan pajak dengan surat Paksa sebesar Rp.50.000,00 (lima puluh ribu rupiah). Surat paksa ini merupakan usaha memaksa wajib pajak untuk membayar utang pajaknya sebelum dilakukan penyitaan. Utang pajak harus dilunasi dalam jangka waktu 2x24 jam setelah Surat Paksa diberitahukan oleh Jurusita Pajak. d. Penyitaan Penyitaan terhadap barang milik wajib pajak dilaksanakan oleh juru sita apabila 2 x 24 jam sejak tanggal surat paksa diberitahukan kepada
22
wajib pajak dengan dibebani biaya pelaksanaan Surat Perintah Melakukan Penyitaan sebesar Rp.100.000,00 (seratus ribu rupiah). Penyitaan dapat dilakukan terhadap barang bergerak termasuk mobil, perhiasan, uang tunai, deposito berjangka, dll. Atau barang tidak bergerak termasuk tanah dan bangunan. e. Lelang Pelaksanaan lelang terhadap barang milik wajib pajak dapat dilakukan setelah 14 (empat belas) hari sejak pelaksanaan penyitaan. Apabila dalam jangka waktu paling singkat 14 hari utang pajak belum dilunasi akan dilanjutkan dengan pengumuman lelang melalui media masa. Penjualan secara lelang dilakukan melalui Kantor Lelang Negara. Dalam hal biaya penagihan, paksa dan biaya pelaksanaan sita belum dibayar maka akan dibebankan bersama-sama dengan biaya iklan untuk pengumuman lelang dalam surat kabar dan biaya lelang pada saat pelelangan.
4. Hak Mendahulu Negara mempunyai hak preferen (kreditur preferen) yang dinyatakan mempunyai hak mendahului atas barang-barang milik penanggung pajak yang
23
akan dilelang di depan umum. Setelah utang dilunasi baru diselesaikan pembayaran kepada kreditur lain. Hak mendahului meliputi pokok pajak, sanksi administrasi berupa bunga, denda, kenaikan dan biaya penagihan pajak. Hak mendahulu melebihi hak mendahulu lainnya kecuali terhadap : a. Biaya perkara yang semata-mata disebabkan suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak maupun tidak bergerak; b. Biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang yang dimaksud; c. Biaya perkara yang semata-mata disebabkan pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.
5. Daluwarsa Penagihan Menurut Diaz Priantara (2013:124), hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan dan biaya penagihan pajak, daluwarsa setelah lampau waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penerbitan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Kurang Bayar, Surat Ketetapan Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali.
24
Daluwarsa Penagihan Pajak selama 5 tahun tertangguh apabila : a. Diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa (Daluwarsa dihitung sejak tanggal penyampaian Surat Paksa tersebut); b. Ada pengakuan utang pajak dan Wajib Pajak baik langsung maupun tidak langsung Pengakuan tersebut berupa : 1) Wajib Pajak mengajukan permohonan angsuran dan penundaan pembayaran utang pajak sebelum tanggal jatuh tempo pebayaran; 2) Wajib Pajak mengajukan permohonan pengajuan keberatan; 3) Wajib Pajak melaksanakan pembayaran sebaian utang pajaknya; c. Diterbitkannya SKPKB atau SKPKBT (Daluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal penerbitan ketetapan pajak tersebut).
25
Flowchart dibawah merupakan alur dari prosedur penagihan pajak di Kantor Pelayanan Pajak. STP/SKPKB/SKPKBT /SK Pembetulan/SK Keberatan/Putusan Banding
Apakah sudah dilumasi oleh WP?
Ya
Tdk
Apakah sudah lewat 7 hari setelah jatuh tempo?
Pelunasan Utang Pajak
Tdk
SELESAI
Ya Pengiriman Surat Teguran
Apakah sudah lewat 21 hari?
Tdk
Hasil Lelang
Tdk
Ya Tdk
Pelaksanaan Lelang
Pemberitahuan Surat Paksa Oleh Juru Sita Pajak
Ya Apakah SP telah / lewat dari 2 x 24 jam?
Tdk
Apakah pengumuman lelang telah lewat waktu 14 hari?
Ya Juru Sita Pajak menyampaikan SPMP
Apakah SPMP telah lewat waktu 14 hari?
Ya
Pengumuman Lelang melalui media cetak
Gambar 2.1 Prosedur Penagihan Pajak Di KPP
26
Dari keseluruhan penagihan pajak tersebut memakan waktu 58 (lima puluh delapan) hari terhitung sejak tanggal jatuh tempo pada STP/SKPKB/SKPKBT.
D. Penerimaan Pajak Penghasilan Badan Perhitungan PPh Badan adalah perhitungan PPh atas penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak badan di luar penghasilan tertentu yang telah dikenakan PPh final. Laporan keuangan merupakan dasar bagi wajib pajak untuk menghitung PPh yang terutang, sekaligus sebagai dasar untuk mengisi SPT Tahunan PPh Badan tahun yang bersangkutan. 1. Perhitungan PPh Terutang WP Badan Sesuai ketentuan Pasal 16 UU PPh, untuk enghitung PPh yang terutang untuk Wajib Pajak Badan adalah : a. Tarif Pasal 17 x Penghasilan Kena Pajak b. Penghasilan Kena Pajak dihitung : Penghasilan neto dikurangi kompensasi kerugian tahun sebelumnya (apabila tahun-tahun sebelumnya wajib pajak yang bersangkutan mengalami kerugian). c. Penghasilan neto dihitung :
27
Keseluruhan penghasilan (diluar penghasilan tertentu yang dikenakan PPh final) dikurangi dengan biaya yang diperkenankan oleh UU PPh (biaya fiskal) sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) UU PPh (diluar biaya yang terkait dengan penghasilan terntentu yang dikenakan PPh final). 2. Tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan Sesuai dengan Pasal 17 UU PPh, tarif umum untuk menghitung PPh yang terutang dibedakan antara Wajib Pajak Orang Pribadi dengan Wajib Pajak Badan dan Bentuk Usaha Tetap (BUT). Tarif PPh Badan sesuai Pasal 17 UU PPh sebagai berikut: Berlaku mulai tahun 2009: a. Tarif tunggal sebesar 28% tahun 2009, dan sebesar 25% tahun 2010. b. Khusus WP perusahaan terbuka (go public) Ayat 2b disebutkan penurunan tariff sebesar 5% lebih rendah apabila minimal 40% saham yang disetor diperdagangkan di bursa efek di Indonesia, sebagaimana diatur lebih lanjut dalam PP 81 Tahun 2007 jo Permenkeu No. 238/PMK.03/2008 c. Khusus WP Badan dengan peredaran bruto
28
Diberikan pengurangan tarif sebesar 50% hanya atas penghasilan kena pajak dari bagian peredaran bruto s.d Rp. 4,8 milyar. Sehingga yang mendapat fasilitas hanya WP Badan yang peredaran brutonya setahun s.d Rp. 50 milyar, dan fasilitas pengurangan tariff sebesar 50% diberikan jumah terbatas yaitu hanya atas penghasilan kena pajak dari bagian peredaran bruto Rp. 4,8 milyar.
3. Pembayaran PPh Badan Sesuai dengan perhitungan PPh yang terutang baru diketahui pada akhir tahun pajak, maka seharusnya pembayaran PPh tersebut baru dilakukan pada akhir tahun. Namun ternyata menurut UU PPh pembayaran PPh atas penghasilan yang diterima oleh wajib pajak badan tidak harus menunggu pada akhir tahun pajak, tetapi dapat juga dilakukan pembayaran pada tahun berjalan, Wirawan & Rudi (2009:129). a. Pada saat penerimaan penghasilan Cara pembayaran ini sesuai dengan asas “pay as you earn” yaitu bayarlah pajak pada saat anda menerima penghasilan sehingga pembayaran tersebut tidak terasa. Jumlah PPh yang dipotong ini merupakan pembayaran dimuka (kredit pajak) dan dapat diperhitungkan dengan PPh yang terutang pada akhir
29
tahun. Adapun jenis pembayaran yang dipotong pihak lain adalah PPh Ps 22, PPh Ps 23, dan PPh Ps 24. b. Pembayaran angsuran secara bulanan atau PPh Pasal 25 Jumlah PPh Ps 25 merupakan pembayaran dimuka (kredit pajak) dan dapat diperhitungkan dengan PPh yang terutang pada tahun yang bersangkutan. Besarnya PPh Ps 25 dihitung berdasarkan perhitungan PPh tahun pajak sebelumnya, dengan pertimbangan bahwa penghasilan tahun sekarang relative hampir sama dengan tahun pajak sebelumnya, kecuali dalam keadaan tertentu. c. Pembayaran kekurangan PPh akhir tahun (PPh Ps 29) Pada akhir tahun pajak, WP menghitung PPh yang terutang atas pengasilan yang diterima selama 1 tahun. PPh yang terutang tersebut dikurangi dengan PPh yang telah di potong pihak lain (PPh Ps 22, PPh Ps 23, PPh Ps 24) dan PPh Ps 25. Apabila terjadi kekurangan pembayaran PPh yang terutang disebut PPh Ps 29, dan paling lambat dibayar tangga 25 bulan ketiga setelah akhir tahun pajak. Mulai tahun 2008 disetor paling lambat sebelum batas waktu SPT Tahunan disampaikan. Namun apabilan terjadi kelebihan pembayaran PPh yang terutang maka WP berhak mengajukan pengembalian kelebihan pembayaran
30
pajak (restitusi) atau meminta kelebihan pembayaran pajak tersebut untuk pembayaran jenis pajak yang lainnya.
4. Sanksi dan Denda Keterlambatan Melapor dan Membayar Pajak Penghasilan Pasal 29 Wajib Pajak yang lalai berupa lambat atau bahkan tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan
(SPT)
baik
Surat
Pemberitahuan
masa
maupun
Surat
Pemberitahuan Tahunan akan dikenakan sanksi baik itu sanksi administratif berupa denda maupun sanksi pidana. Bagi Wajib Pajak yang terambat menyampaikan atau membayar Surat Pemberitahuan Masa dikenakan sanksi administratif Rp.50.000,00 dan untuk Surat Pemberitahuan Tahunan sebesar Rp.100.000,00. Kekurangan
pembayaran
pajak
yang
terutang
berdasarkan
Surat
Pemberitahuan Tahunan harus dibayar lunas paling lambat tanggal 25 bulan ketiga setelah Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak berakhir, sebelum Surat Pemberitahuan itu disampaikan. Keterlambatan membayar atau menyetor pajak dikenakan sanksi administrasi berupa bunga 2% per bulan dihitung dari jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 bulan Direktorat Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat memberikan persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran
31
pajak termasuk kekurangan pembayaran paling lama 12 bulan. Dalam hal ini Wajib Pajak diperbolehkan mengangsur atau menunda pembayaran pajak, juga dikenakan bunga sebesar 2% per bulan dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 bulan. Selain sanksi administratif, sanksi pidana juga dapat dikenakan sesuai dengan Undang-Undang No. 28 tahun 2007 yang merupakan pembaharuan dari Undangundang Nomor 6 tahun 1983 pasal 38 Ketentuan Umum Perpajakan yaitu untuk mereka yang : Tidak
menyampaikan
Surat
Pemberitahuan,
menyampaikan
Surat
Pemberitahuan tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar karena kealpaan Wajib Pajak sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun dan atau denda setinggi-tingginya 2 (dua) kali jumlah pajak yang terutang yang tidak atau kurang bayar. Untuk tindakan yang sama, namun karena sengaja (bukan alpa) maka sanksi pidana dikenakan berupa penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda setinggitingginya 4 (empat) kali jumlah pajak yang terutang yang tidak atau kurang dibayar (pasal 39 UU KUP)
32
E. Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk melihat hubungan antara tingkat kepatuhan penyampaian SPT Wajib Pajak Badan dan penagihan pajak terhadap penerimaan pajak penghasilan badan. Dalam melakukan penelirian ini, peneliti juga berpedoman dari penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya. Asri Fika Agusti dan Vinola Herawati (2009) melakukan penelitian yang membahas tentang Pengaruh Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Badan Terhadap Peningkatan Penerimaan Pajak Yang Dimoderasi Oleh Pemeriksaan Pajak Pada KPP Pratama. Variabel independennya adalah Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Badan , Pemeriksaan Pajak, dan Variabel dependennya adalah Peningkatan Penerimaan Pajak
Pada KPP. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara
individual variabel Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Badan mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap Peningkatan Penerimaan Pajak
Pada KPP,
sedangkan
Peningkatan
Pemeriksaan
Pajak tidak
berpengaruh terhadap
Penerimaan Pajak Pada KPP. Secara simultan Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Badan dan Pemeriksaan Pajak tidak mempunyai pengaruh terhadap Peningkatan Penerimaan Pajak Pada KPP. Euprasia Susy Suhendra (2010) dalam penelitiannya yang membahas mengenai pengaruh tingkat kepatuhan wajib pajak badan terhadap peningkatan penerimaan pajak penghasilan badan. Variabel independennya adalah Tingkat
33
Kepatuhan Wajib Badan, Pemeriksaan Pajak, Pajak penghasilan terutang, dan variabel dependennya adalah peningkatan penerimaan pajak penghasilan badan. Hasil penelitian menunjukan tingkat kepatuhan wajib pajak yang diukur dari jumlah Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) yang disampaikan berpengaruh signifikan terhadap peningkatan penerimaan pajak penghasilan badan pada KPP. Pemeriksaan pajak yang diukur dari jumlah SPT yang diperiksa tidak berpengaruh signifikan terhadap peningkatan penerimaan pajak penghasolan badan pada KPP. Pajak penghasilan terutang yang diukur dari jumlah PPH Terutang yang dibayarkan wajib pajak berpengaruhsignifikan terhadap peningkatan penerimaan pajak penghasilan badan pada KPP. Maria M. Ratna Sari dan Ni Nyoman Afriyanti (2010) melakukan penelitian mengenai pengaruh kepatuhan wajib pajak dan pemeriksaan pajak terhadap penerimaan PPh Pasal 25/29 wajib pajak badan pada KPP Pratama Denpasar Timur. Vriabel independennya adalah kepatuhan wajib pajak, pemeriksaan pajak, dan variabel dependennya adalah penerimaan PPh pasal 25/29 wajib pajak badan. Hasil dari penelitian tersebut adalah bahwa kepatuhan wajib pajak dan pemeriksaan pajak secara simultan berpengaruh signifikan terhadap penerimaan PPh pasal 25/29 wajib pajak badan, dan kepatuhan wajib pajak dan pemeriksaan pajak secara parsial berpengaruh signifikan terhadap penerimaan PPh pasal 25/29 wajib pajak badan.
34
Zakiyah M Syahab dan Hantoro Arief Gisijanto (2008) melakukan penelitian yang membahas tentang pengaruh penagihan pajak dan surat paksa pajak terhadap penerimaan pajak penghasilan badan. Variabel independennya adalah penagihan pajak, surat paksa pajak, dan variabel dependennya adalah penerimaan pajak penghasilan badan. Hasil penelitian menunjukan penagihan pajak disetiap KPP Pratama Kanwil DJP Jakarta Pusat secara umum sudah dilakukan sesuai dengan prosedur dan tata cara tindakan penagihan, surat paksa pajak juga secara umum masih rendah. Dalam kurun waktu selama lima tahun yaitu tahun 2003 sampai dengan
2007, jumlah penerimaan pajak penghasilan badan di KPP Pratama
Kanwil DJP Jakarta Pusat terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Penagihan pajak dan surat paksa pajak baik secara parsial maupun secara simultan berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan pajak penghasilan badan. Adapun penelitian-penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan penelitian ini dapat dilihat ditabel berikut ini: Tabel 2.1 Penelitian-Penelitian Terdahulu No. 1.
Judul Pengaruh Penagihan Pajak dan Surat Paksa Pajak Terhadap Penerimaan Pajak Penghasilan Badan
Peneliti Zakiah M Syahab dan Hantoro Arief Gisijanto, 2008
Variabel X1 : Penagihan Pajak X2 : Surat Paksa Pajak Y : Penerimaan Pajak Penghasilan Badan
Hasil a. Penagihan Pajak dan Surat Paksa secara parsial berpengaruh signifikan terhadap Penerimaan Pajak Penghasilan Badan b. Penagihan Pajak dan Surat Paksa secara Simultan berpengaruh signifikan
35
terhadap Penerimaan Pajak Penghasilan Badan 2.
Asri Fika Pengaruh Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Agusti dan Badan Terhadap Vinola Peningkatan Penerimaan Herawati, Pajak Yang Dimoderasi 2009 Oleh Pemeriksaan Pajak Pada KPP Pratama
X1: Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Badan X2 : Pemeriksaan Pajak Y: Peningkatan Penerimaan Pajak Pada KPP
a. Tingkat kepatuhan Wajib Pajak Badan berpengaruh positif terhadap Peningkatan Penerimaan Pajak pada KPP b. Pemeriksaan Pajak tidak berpengaruh terhadap Peningkatan Penerimaan Pajak Pada KPP c. Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Badan dan Pemeriksaan Pajak tidak berpengaruh terhadap Peningkatan Penerimaan Pajak pada KPP
3.
Euphrasia Pengaruh Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Susy Suhendra, Badan Terhadap Peningkatan Penerimaan 2010 Pajak Penghasilan Badan
X1 : Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Badan X2 : Pemeriksaan Pajak X3 : Pajak Penghasilan Terutang Y: Peningkatan Penerimaan Pajak Penghasilan Badan
a. Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Badan berpengaruh signifikan terhadap peningkatan Penerimaan Pajak Penghasilan Badan b. Pemeriksaan Pajak tidak berpengaruh signifikan terhadap peningkatan Penerimaan Pajak Penghasilan Badan c. PPh Terutang berpengaruh signifikan terhadap peningkatan Penerimaan Pajak Penghasilan Badan d. Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Badan, Pemeriksaan Pajak dan Pajak Penghasilan Terutang secara simultan berpengaruh signifikan terhadap peningkatan Penerimaan Pajak Penghasilan Badan
36
Maria M. Ratna Sari dan Ni Nyoman Afriyanti, (2010)
4.
Pengaruh Kepatuhan Wajib Pajak dan Pemeriksaan Pajak Terhadap Penerimaan PPh Pasal 25/29 Wajib Pajak Badan Pada KPP Pratama Denpasar Timur
5
Dhenny Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Badan dan Astuti Anwar, Penagihan Pajak Terhadap Penerimanaan (2013) Pajak Penghasilan Badan Pada KPP Madya Tangerang
X1 : Kepatuhan Kepatuhan wajib pajak dan pemeriksaan pajak baik Wajib Pajak Badan secara simultan maupun X2 : parsial berpengaruh Pemeriksaan signifikan terhadap penerimaan PPh Pasal Pajak Y : Penerimaan 25/29 Wajib Pajak Badan PPh Ps.25/29 WP Badan
X1 : Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Badan X2 : Penagihan Pajak Y : Penerimaan Pajak Penghasilan Badan
a. Secara parsial tingkat kepatuhan wajib pajak badan berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak penghasilan badan b. Secara parsial penagihan pajak tidak berpengaruh terhadap penerimaan pajak penghasilan badan c. Secara simultan tingkat kepatuhan wajib pajak badan dan penagihan pajak berpengaruh terhadap penerimaan pajak penghasilan badan Persamaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah samasama menggunakan metode penelitian dengan bantuan program SPSS. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah adanya variabel penagihan pajak yang dihubungkan dengan
37
kepatuhan wajib pajak badan terhadap penerimaan pajak penghasilan badan.
F. Kerangka Pemikiran Dalam penelitian ini menitikberatkan pada tingkat kepatuhan wajib pajak badan dan penagihan pajak terhadap penerimaan pajak penghasilan badan. Berdasarkan rumusan masalah tersebut maka kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan pada gambar dibawah ini: Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran
Model Penelitian
Penagihan Pajak ( X2 )
Penerimaan Pajak Penghasilan Badan (Y)
Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Badan ( X1 )