BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Kebijakan Moneter
Kebijakan moneter adalah proses mengatur persediaan uang sebuah negara untuk mencapai tujuan tertentu seperti menahan inflasi, mencapai pekerja penuh atau lebih sejahtera. Kebijakan moneter dapat melibatkan standar bunga pinjaman, margin requirement, kapitalisasi untuk bank atau bahkan bertindak sebagai
peminjam usaha terakhir atau melalui persetujuan melalui negosiasi dengan pemerintah lain (www.wikipedia.com). Kebijakan moneter pada dasarnya merupakan suatu kebijakan yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan internal (pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga, pemerataan pembangunan) dan keseimbangan eksternal (keseimbangan neraca pembayaran) serta tercapainya tujuan ekonomi makro, yakni menjaga stabilisasi ekonomi yang dapat diukur dengan kesempatan kerja, kestabilan harga serta neraca pembayaran internasional yang seimbang. Apabila kestabilan dalam kegiatan perekonomian terganggu, maka kebijakan moneter dapat dipakai untuk memulihkan (tindakan stabilisasi). Pengaruh kebijakan moneter pertama kali akan dirasakan oleh sektor perbankan, yang kemudian ditransfer pada sektor riil. Pengaturan jumlah uang yang beredar pada masyarakat diatur dengan cara menambah atau mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan moneter dapat digolongkan menjadi dua, yaitu (www.wikipedia.com): 1. Kebijakan Moneter Ekspansif/Monetary Expansive Policy adalah suatu kebijakan dalam rangka menambah jumlah uang yang beredar; 2. Kebijakan Moneter Kontraktif/Monetary Contractive Policy adalah suatu kebijakan dalam rangka mengurangi jumlah uang yang beredar. Disebut juga dengan kebijakan uang ketat (tight money policy).
10
Bank Indonesia mempunyai tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Untuk mencapai tujuan tersebut, BI memerlukan
instrumen kebijakan moneter untuk mempengaruhi penawaran uang, antara lain (www.wikipedia.com):
1. Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation)
Operasi pasar terbuka adalah cara mengendalikan uang yang beredar
dengan menjual atau membeli surat berharga pemerintah (government
securities). Jika ingin menambah jumlah uang beredar, pemerintah akan membeli surat berharga pemerintah. Namun, bila ingin jumlah uang yang beredar berkurang, maka pemerintah akan menjual surat berharga pemerintah kepada masyarakat. Surat berharga pemerintah antara lain diantaranya adalah SBI atau singkatan dari Sertifikat Bank Indonesia dan SBPU atau singkatan atas Surat Berharga Pasar Uang.
2. Fasilitas Diskonto (Discount Rate) Fasilitas diskonto adalah pengaturan jumlah uang yang beredar dengan memainkan tingkat bunga bank sentral pada bank umum. Bank umum kadang-kadang mengalami kekurangan uang sehingga harus meminjam ke bank sentral. Untuk membuat jumlah uang bertambah, pemerintah menurunkan tingkat bunga bank sentral, serta sebaliknya menaikkan tingkat bunga demi membuat uang yang beredar berkurang. 3. Rasio Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio) Rasio cadangan wajib adalah mengatur jumlah uang yang beredar dengan memainkan jumlah dana cadangan perbankan yang harus disimpan pada pemerintah. Untuk menambah jumlah uang, pemerintah menurunkan rasio cadangan wajib. Untuk menurunkan jumlah uang beredar, pemerintah menaikkan rasio. 4. Himbauan Moral (Moral Persuasion) Himbauan moral adalah kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar dengan jalan memberi himbauan kepada pelaku ekonomi. 11
Contohnya seperti menghimbau perbankan pemberi kredit untuk berhati-
hati dalam mengeluarkan kredit untuk mengurangi jumlah uang beredar
dan menghimbau agar bank meminjam uang lebih ke bank sentral untuk
memperbanyak jumlah uang beredar pada perekonomian.
Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia No: 10/ 36 /PBI/2008 tentang
Operasi Moneter Syariah, bahwa dalam rangka memenuhi tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, Bank Indonesia memiliki tugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter yang dapat dilakukan
berdasarkan prinsip syariah. Bank Indonesia dalam menjalankan fungsi bank
sentralnya tersebut berdasarkan prinsip syariah mempunyai instrumen-instrumen sebagai berikut (Karim, 2008): 1. Giro Wajib Minimun (GWM), yaitu simpanan minimum bank-bank umum dalam bentuk giro pada BI yang besarnya ditetapkan oleh BI berdasarkan persentase tertentu dari dana pihak ketiga. Dana pihak ketiga yang dimaksud adalah Giro Wadi’ah, Tabungan Mudharabah, Deposito Investasi Mudharabah, dan kewajiban lainnya.
GWM ini adalah
kewajiban bank dalam rangka mendukung pelaksanaan prinsip-prinsip kehati-hatian perbankan (prudential banking) serta mempunyai peran sebagai instrument moneter yang berfungsi mengendalikan jumlah peredaran uang. 2. Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank Syariah (Sertifikat IMA), merupakan suatu instrumen yang digunakan oleh bank-bank syariah yang kelebihan dana untuk mendapatkan keuntungan dan di lain pihak sebagai sarana penyedia dana jangka pendek bagi bank-bank syariah yang kekurangan dana. 3. Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia (SWBI) adalah instrumen Bi yang sesuai dengan syariah Islam yang digunakan dalam Operasi Pasar Terbuka. SWBI dapat digunakan oleh bank-bank syariah yang mempunyai kelebihan likuiditas sebagai sarana penitipan dana jangka pendek.
12
Namun sejak April 2008 SWBI digantikan oleh Sertifikat Bank Indonesia
Syariah (SBIS) sesuai amandemen Peraturan Bank Indonesia No: 10/
11/PBI/2008 tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah atas perubahan
Peraturan Bank Indonesia No: 6/7/PBI/2004 tentang Sertifikat Wadiah Bank Indonesia.
2.2 Instrumen Keuangan Syariah Suatu otoritas moneter mempunyai pengaruh yang penting, walaupun secara
tak langsung terhadap arah (trend) tingkat harga, output, dan nilai tukar uang suatu Negara. Diketahui ada tiga mazhab ekonomi Islam, yang masing-masing mempunyai instrumen berbeda dalam melaksanakan kebijakan moneternya. Berikut ini kebijakan yang ditempuh oleh masing-masing mazhab dalam ekonomi Islam. a. Mazhab Iqthisoduna (Baqir Ash Shadr) Pada masa awal Islam dapat dikatakan bahwa tidak diperlukan suatu kebijakan moneter dikarenakan hampir tidak adanya sistem perbankan dan minimnya penggunaan uang. Jadi tidak ada alasan yang memadai untuk melakukan perubahan-perubahan terhadap penawaran uang. Selain itu, uang dipertukarkan dengan sesuatu yang benar-benar memberikan nilai tambah bagi perekonomian sehingga perputaran uang dalam periode tertentu sama dengan nilai barang dan jasa yang diproduksi pada rentang waktu yang sama. b. Mazhab Mainstream (Dr. Umer Chapra) Tujuan kebijakan moneter yang diberlakukan oleh pemerintah adalah maksimalisasi sumber daya yang ada agar dapat dialokasikan pada kegiatan perekonomian yang produktif. Aset produktif yang menganggur akan dikenakan “dues of idle fund” sehingga menyebabkan masyarakat enggan
untuk
tetap
menyimpan
kekayaan
yang
idle
tersebut.
Konsekuensinya masyarakat yang mempunyai uang idle akan secara 13
sukarela mengalokasikan kekayaannya pada investasi yang sifatnya
produktif. Peningkatan investasi tentu saja akan berdampak pada
peningkatan permintaan agregatif (AD) sehingga keseimbangan umum
yang baru akan berada pada tingkat pendapatan nasional yang lebih tinggi.(Karim, 2008:227)
c. Mazhab Alternatif/Analitis Kritis (Dr. M.A. Choudury)
Kebijakan moneter yang dianjurkan oleh mazhab ini adalah melalui
“syuratiq process”, dimana suatu kebijakan yang diambil oleh otoritas moneter adalah berdasarkan musyawarah sebelumnya dengan otoritas sektor riil. Sehingga terjadi harmonisasi antara kebijakan moneter dan sektor riil. Harmonisasi antara sektor riil dan sektor moneter yang kemudian menurut Dr. M.A. Chordhury akan menghasilkan suatu kurva jangka panjang dari Ms dan Md yang berbentuk seperti jalinan tambang yang harmonis dengan pertumbuhan pendapatan nasional (Y). Dengan semakin berkembangnya perbankan syariah, maka diperlukan
ketentuan-ketentuan perbankan dan fasilitas bank syariah yang sesuai dengan prinsip syariah. Karena kegiatan usaha bank syariah memiliki perbedaan yang mendasar dibandingkan dengan bank konvensional. Hal ini dibutuhkan agar perbankan syariah dapat beroperasi secara sehat serta dapat menjalankan prinsipprinsip syariah secara benar. Sebagai tindak lanjut pengembangan perbankan syariah, Bank Indonesia telah mengeluarkan beberapa instrumen likuiditas yang berkaitan dengan perbankan syariah, yaitu: 1. Giro Wajib Minimum 2. Kliring 3. Pasar Uang Antarbank Berdasarkan prinsip Syariah (PUAS), dan 4. Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) Menurut Muhammad (2005:375), keempat instrumen tersebut berguna untuk mendukung kelancaran lalu lintas pembayaran antarbank dan pelaksanaan
14
kegiatan Pasar Uang antar Bank Syariah (PUAS), bank-bank syariah perlu membuka giro pada Bank Indonesia. Seluruh kantor pusat bank umum baik bank
umum konvensional maupun syariah yang berstatus devisa maupun non-devisa diwajibkan untuk membuka satu rekening giro dalam valuta rupiah di kantor pusat
Bank Indonesia atau kantor Bank Indonesia setempat. Khusus bagi bank devisa diwajibkan pula untuk membuka satu rekening giro dalam valuta dolar AS di kantor pusat Bank Indonesia.
Selanjutnya dalam rangka penerapan prinsip kehati-hatian, kantor pusat
bank wajib menjaga posisi giro pada BI dalam suatu jumlah tertentu sebagaimana
diatur dalam ketentuan mengenai Giro Wajib Minimum (GWM). Pelanggaran atas ketentuan GWM dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang diatur Bank Indonesia. Untuk mendukung kelancaran lalu lintas pembayaran antar bank serta pelaksanaan PUAS, transaksi pembayarannya dilakukan melalui mekanisme kliring dengan membebankan rekening giro pada Bank Indonesia. Apabila dalam pelaksanaan kliring saldo bank menjadi kurang dari GWM, maka bank atau kantor cabangnya dikenakan sanksi kewajiban membayar dan apabila saldonya menjadi negatif maka bank bersangkutan termasuk cabangnya akan dikenakan sanksi penggantian sebagai peserta kliring ditambah sanksi kewajiban membayar. Dalam menjalankan kegiatan operasionalnya, bank dapat mengalami kelebihan atau kekurangan likuiditas. Dalam hal terjadi kelebihan likuiditas, bank melakukan penempatan kelebihan sehingga dapat memperoleh keuntungan. Sedangkan bila mengalami kekurangan likuiditas, bank memerlukan sarana untuk menutupi kekurangan likuiditas baik yang disebabkan oleh kalah kliring maupun untuk menambah likuiditas dalam rangka kegiatan pembiayaan sehingga kegiatan operasional bank dapat berjalan dengan baik. Khusus bagi bank syariah yang kekurangan dana dapat menerbitkan Sertifikat Investasi Mudharabah Antar Bank (Sertifikat IMA) yang merupakan sarana penanaman dana bank syariah. Sehubungan dengan tugas Bank Indonesia dalam menjaga kestabilan moneter, Bank Indonesia menyerap kelebihan likuiditas bank-bank syariah
15
melalui penerbitan Sertifikat Wadiah Bank Indonesia yang didasarkan pada prinsip titipan (wadiah). Dari sisi perbankan khususnya bank syariah, piranti
tersebut merupakan sarana penempatan kelebihan likuiditas sementara sebelum dana yang dikelolanya dapat disalurkan untuk pembiayaan kepada sektor riil.
2.2.1 Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) Menurut Peraturan Bank Indonesia No: 10/ 11/PBI/2008, Sertifikat Bank Indonesia Syariah adalah: ”surat berharga berdasarkan prinsip syariah berjangka waktu pendek dalam
mata uang rupiah yang diterbitkan oleh BI”. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004, Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Indonesia memiliki tugas antara lain menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, dalam rangka melaksanakan tugas tersebut Bank Indonesia melakukan pengendalian moneter melalui operasi pasar terbuka (OPT) yang dapat dilakukan berdasarkan prinsip syariah. Untuk melaksanakan kegiatan OPT yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, Bank Indonesia berwenang menetapkan instrumen OPT yang digunakan. Sejalan dengan hal tersebut, Bank Indonesia perlu menerbitkan Sertifikat Bank Indonesia Syariah sebagai salah satu instrumen operasi pasar terbuka yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah. Dalam PBI No. 10/11/PBI/2008 tentang SBIS yang sebagaimana telah diubah dalam PBI No : 12/ 18 /PBI/2010, SBIS adalah surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah berjangka waktu pendek dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia. SBIS diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai salah satu instrumen operasi pasar terbuka dalam rangka pengendalian moneter yang dilakukan berdasarkan Prinsip Syariah. Berdasarkan Fatwa Dewan Syariah No: 64/DSN-MUI/XII/2007 tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS), ketentuan mengenai Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) didasarkan pada landasan syari’ah sebagai berikut:
16
1. Kaidah fiqh:
“Tindakan Imam [pemegang otoritas] terhadap rakyat harus mengikuti mashlahat.” (As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nadzair,121)
Kaidah ini memberikan wewenang kepada Bank Indonesia sebagai otoritas
moneter untuk membuat aturan yang digunakan oleh bank syari’ah dalam
kegiatan operasionalnya;
2. Kaidah fiqh:
“Keperluan dapat menduduki posisi darurat.” (As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nadzair, 63) Kaidah ini menjadi rujukan diperkenankannya bank yang kelebihan dana dan belum dapat disalurkan, untuk menitipkannya kepada Bank Indonesia; 3. Instrumen Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) menggunakan prinsip Ju’alah. Prinsip Ju’alah boleh dalam syari’ah berdasarkan Al-Quran surah Yusuf ayat 72:
“Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala raja; dan siapa yang dapat mengembalikannya, akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya”. SBIS yang diterbitkan oleh Bank Indonesia menggunakan akad Ju’alah. Akad ju’alah adalah janji atau komitmen (iltizam) untuk memberikan imbalan tertentu (‘iwadh/ju’l) atas pencapaian hasil (natijah) yang ditentukan dari suatu pekerjaan. Di dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor 64/DSN-MUI/XII/2007 tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah Ju’alah menerangkan secara rinci sistem akad Ju’alah yang digunakan pada penerbitan 17
Sertifikat Bank Indonesia Syariah yaitu: Bank Indonesia bertindak sebagai Ja’il (pemberi pekerjaan), Bank Syariah bertindak sebagai Maj’ul laah (penerima
pekerjaan) dan objek/underlying Ju’alah (mahall al-aqd) adalah partisipasi Bank Syariah untuk membantu tugas Bank Indonesia dalam pengendalian moneter
melalui penyerapan likuiditas dari masyarakat dan menempatkannya di Bank Indonesia dalam jumlah dan jangka waktu tertentu. SBIS memiliki karakteristik sebagai berikut : a. satuan unit sebesar Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah);
b. berjangka waktu paling kurang 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan; c. diterbitkan tanpa warkat (scripless); d. dapat diagunkan kepada Bank Indonesia; dan e. tidak dapat diperdagangkan di pasar sekunder. Bank Indonesia menerbitkan SBIS melalui mekanisme lelang, dengan menggunakan BI-SSSS (Bank Indonesia–Scripless Securities Settlement System). BI-SSSS
adalah
sarana
transaksi
dengan
Bank
Indonesia
termasuk
penatausahaannya dan penatausahaan surat berharga secara elektronik dan terhubung langsung antara peserta, penyelenggara dan Sistem Bank Indonesia– Real Time Gross Settlement. Pihak yang dapat memiliki SBIS adalah BUS atau UUS. BUS atau UUS yang mengajukan penawaran tersebut adalah BUS atau UUS yang memiliki FDR paling kurang 80% (delapan puluh per seratus) berdasarkan perhitungan Bank Indonesia dan tidak sedang dikenakan sanksi pemberhentian sementara untuk mengikuti lelang SBIS. (Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/16/DPM Tahun 2008 tanggal 31 Maret 2008). Bank syariah hanya boleh/dapat menempatkan kelebihan
likuiditasnya
pada
SBIS
Ju’alah
sepanjang
belum
dapat
menyalurkannya ke sektor riil. (Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor 64/DSN-MUI/XII/2007).
18
Bank Indonesia dalam operasi moneternya melalui penerbitan SBIS mengumumkan target penyerapan likuiditas kepada bank-bank syariah sebagai
upaya pengendalian moneter dan menjanjikan imbalan (reward/’iwadh/ju’l) tertentu bagi yang turut berpartisipasi dalam pelaksanaannya.
Perhitungan besaran tingkat imbalan yang diberikan pada Sertifikat Bank
Indonesia Syariah mengacu pada tingkat diskonto hasil lelang Sertifikat Bank Indonesia (SBI) berjangka waktu sama yang diterbitkan bersamaan dengan penerbitan SBIS, dengan ketentuan sebagai berikut :
1. Dalam hal lelang SBI menggunakan metode foxed rate tender, maka imbalan SBIS ditetapkan sama dengan tingkat diskonto hasil lelang SBI. 2. Dalam hal lelang SBI menggunakan metode variable rate tender, maka imbalan SBIS ditetapkan sama dengan rata-rata tertimbang tingkat diskonto hasil lelang SBI. Perhitungan imbalan SBIS dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut : Nilai Imbalan SBIS =Nilai Nominal SBIS x (Jangka Waktu SBIS/360) x Tingkat Imbalan SBIS (Sumber : Surat Edaran Bank Indonesia No. 10/16/DPM tahun 2008) BUS dan UUS tersebut dapat pula merepokan (menggadaikan) SBIS yang dimilikinya. Repo adalah transaksi efek yang terdiri atas SBIS, dimana penjual akan mendapatkan likuiditas dengan jaminan efek dan akan menebusnya pada harga tertentu saat jatuh tempo. Repo tersebut menggunakan akad qard yang diikuti rahn. Qard dalam ketentuan ini adalah pinjaman dana tanpa imbalan dengan kewajiban pihak peminjam mengembalikan pokok pinjaman secara sekaligus dalam jangka waktu tertentu. Yang dimaksud dengan rahn dalam ketentuan ini adalah penyerahan agunan dari BUS atau UUS (rahin) kepada Bank Indonesia (murtahin) sebagai jaminan untuk mendapatkan qard. 2.2.2 Pasar Uang Antarbank Syariah (PUAS) Seiring dengan terus berkembangnya perbankan syariah dari hanya satu bank selama periode 1992 - 1998 menjadi 34 bank (11 BUS dan 23 UUS) pada 19
2010, peran pasar uang antar bank berdasarkan prinsip syariah (PUAS) sebagai salah satu sarana pengelolaan likuiditas bagi perbankan syariah semakin
diperlukan. Hal ini karena operasional perbankan syariah dapat menghadapi berbagai risiko seperti risiko kemungkinan terjadinya perbedaan waktu dan
jumlah antara dana yang diterima dan dana yang disalurkan (liquidity mismatch). PUAS berfungsi sebagai penyedia likuiditas atau alternatif penanaman dana bagi bank syariah yang membutuhkan likuiditas atau ingin menanamkan dana kepada
bank syariah lainnya. (LPPS Bank Indonesia, 2010 : 64)
Perkembangan perbankan syariah yang semakin pesat dewasa ini telah
meningkatkan mobilitas dana masyarakat pada industri perbankan syariah. Hal ini mendorong peningkatan pengelolaan likuiditas oleh perbankan syariah sehingga diperlukan penyelenggaraan pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah yang lebih likuid dan efisien. Dalam PBI No. 9/5/PBI/2007 tentang Pasar Uang Antarbank berdasarkan Prinsip Syariah (PUAS), PUAS adalah kegiatan transaksi keuangan jangka pendek antarbank berdasarkan prinsip syariah baik dalam rupiah maupun valuta asing. Peserta PUAS terdiri dari Bank Syariah, UUS, dan Bank Konvensional. Para peserta PUAS dapat melakukan penempatan dana dan atau penerimaan dana dengan menggunakan instrumen PUAS yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Instrumen PUAS adalah instrumen keuangan berdasarkan prinsip syariah yang diterbitkan oleh Bank Syariah atau UUS yang digunakan sebagai sarana transaksi di PUAS. Bank Konvensional sebagai peserta PUAS hanya dapat melakukan penempatan dana ke dalam instrumen PUAS yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Piranti yang digunakan transaksi dalam Pasar Uang Antar Syariah (PUAS) adalah Sertifikat Investasi Mudharabah Antar Bank Syariah (SIMA). Sertifikat ini merupakan sertifikat yang digunakan sebagai sarana Investasi bagi Bank yang kelebihan dana untuk mendapatkan keuntungan, dan di pihak lain Sertifikat Investasi Mudharabah Antar Bank Syariah (SIMA) juga sebagai sarana bagi Bank Syariah yang mengalami kekurangan dana untuk mendapatkan dana jangka 20
pendek dengan prinsip mudharabah. Di Indonesia masalah ini telah diatur oleh Bank Indonesia dengan PBI No.2/8/PBI/2000 dan Fatwa DSN Nomor:
38/DSNMUI/ X.2002.
Menurut Muhammad (2004:89) dalam bukunya Manajemen Dana Bank
Syariah, sertifikat IMA ini digunakan sebagai sarana investasi baik bagi bank
yang mengalami kelebihan dan untuk mendapatkan keuntungan dan dipihak lain untuk mendapatkan dana jangka pendek bagi bank syariah yang mengalami
kekurangan dana. Penerbitan sertifikat IMA sekurang-kurangnya memenuhi
syarat sebagai berikut :
1. Mencantumkan : a. Kata-kata “Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank” b. Tempat dan tanggal penerbitan Sertifikat IMA c. Nomor seri Sertifikat Ima d. Nilai nominal investasi e. Nisbah bagi hasil f. Jangka waktu investasi g. Tingkat indikasi imbalan h. Tanggal pembayaran nominal imbalan i. Tempat pembayaran j. Nama bank penanaman dana k. Nama bank penerbit dan tanda tangan pejabat berwenag 2. Berjangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh hari) 3. Diterbitkan oleh Kantor Pusat Bank Syariah atau UUS 4. Format Sertifikat IMA sebagaimana dimaksud dalam huruf (a). Sekurangkurangnya mengikuti contoh format sesuai ketentuan berlaku Adapun peserta PUAS adalah bank-bank yang menerbitkan Sertifikat IMA dan bank-bank yang menanam dana pada Sertifikat IMA. Bank penerbit Sertifikat IMA adalah : 1. Kantor pusat bank syariah, yaitu kantor pusat dari kegiatannya berdasarkan prinsip syariah. 21
2. Unit Usaha Syariah yaitu kantor pusat dari kantor-kantor cabang syariah dari bank umum yang kantor pusatnya melakukan kegiatan usaha secara
konvensional.
Sedangkan bank penanam dana pada Sertifikat IMA adalah :
1. Kantor pusat bank syariah yaitu bank yang seluruh usahanya berdasarkan
prinsip syariah. 2. Unit Usaha Syariah yaitu kantor pusat dari kantor-kantor cabang syariah
dari bank umum yang kantor pusatnya melakukan kegiatan usaha secara konvensional.
3. Kantor pusat bank umum yang melakukan kegiatan usaha secara konvensioanal. Tingkat realisasi imbalan Sertifikat IMA yang berjangka waktu: sampai dengan 30 hari mengacu pada tingkat imbalan deposito investasi Mudharabah (sebelum didistribusikan) dengan jangka waktu 1 (satu) bulan; di atas 30 hari sampai dengan 90 hari mengacu pada tingkat imbalan deposito investasi Mudharabah (sebelum didistribusikan) dengan jangka waktu 3 (tiga) bulan. Yang dimaksud dengan tingkat realisasi imbalan Sertifikat IMA adalah tingkat imbalan deposito investasi Mudharabah (sebelum didistribusikan) dikali dengan nisbah bagi hasil untuk bank penanam dana. Rumus perhitungan besarnya imbalan Sertifikat IMA sebagai berikut : X = P x R x t/360 x k atau X = P x t/360 x tingkat realisasi Imbalan (Sumber : Penjelasan PBI No.2/8/PBI/2000) Keterangan: X = Besarnya imbalan yang diberikan kepada bank penanam dana P = Nilai nominal investasi R = Tingkat imbalan deposito investasi Mudharabah (sebelum didistribusikan) t = Jangka waktu investasi k = Nisbah bagi hasil untuk bank penanam dana
22
Adapun mekanisme dan penyelesaian transaksi adalah bank penanam dana pada Sertifikat IMA melakukan pembayaran kepada bank penerbit dengan
menggunakan nota kredit melalui kliring, bilyet giro BI atau transfer dana secara elektronis, disertai tembusan Sertifikat IMA. Pemindahan Sertifikat IMA hanya
dapat dilakukan oleh pihak bank penanam dana pertama, sedangkan bank penanam dana kedua tidak diperkenankan memindahtangankan kepada bank lain sampai dengan berakhirnya jangka waktu. Agar bank penerbit Sertifikat IMA
dapat melakukan pembayaran kepada bank yang berhak, maka bank pemegang sertifikat terakhir wajib memberitahukan kepemilikan sertifikat tersebut kepada
bank penerbit. Pada saat Sertifikat IMA jatuh tempo, penyelesaian transaksi dilakukan oleh bank penerbit dengan melakukan pembayaran kepada bank pemegang sertifikat terakhir sebesar nilai nominal investasi (face value), sedangkan imbalan dibayar pada awal berikutnya. Pembayaran tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan nota kredit melalui kliring, bilyet giro BI atau transfer dana secara elektronis.
2.3 Kinerja Perbankan Syariah Kinerja perbankan syariah secara umum diantaranya dapat dilihat dari variabel aset, pembiayaan, Dana Pihak Ketiga (DPK), dan Return on Asset (ROA). 2.3.1 Aset Aset adalah semua harta yang dimiliki suatu organisasi atau perusahaan berupa harta lancar dan harta atau aktiva tetap yang bersumber dari modal sendiri atau campuran dengan modal pinjaman. Secara umum, penggunaan dana di bank syariah terbagi menjadi dua bagian utama, yaitu pertama aset yang tidak menghasilkan ( non-earning assets) seperti kas, saldo giro di BI, penyisihan penghapusan aktiva produktif dan aset tetap. Kedua adalah aset yang menghasilkan/produktif (earning assets) seperti sekuritas, pembiayaan, dan investasi dana jangka panjang. Namun, untuk mempermudah 23
pemahaman maka pembahasan akan diuraikan secara sistematis meliputi kas, giro pada BI, penempatan pada bank lain, sekuritas, piutang, qardh, pembiayaan,
penyertaan, penyisihan penghapusan aktiva produktif dan aset tetap.
a. Kas
Kas yang dimaksudkan dalam pos ini adalah uang kartal yang tersedia
bagi suatu usaha, terdiri atas uang kertas bank dan uang logam yang
merupakan alat pembayaran yang sah dalam perusahaan bukan bank, cek,
wesel, dan surat berharga lain yang dapat segera dijadikan uang diperhitungkan juga sebagai kas.
b. Giro pada BI Giro pada Bank Indonesia merupakan simpanan bank pelaksana dalam rangka pemenuhan kewajiban untuk mempertahankan sejumlah likuiditas minimal. Besarnya persentase likuiditas minimal dibandingkan dana yang diperoleh ditetapkan oleh Bank Indonesia yang dari waktu ke waktu dapat berubah setiap saat. c. Penempatan pada bank lain Penempatan di bank lain yaitu simpanan suatu bank pelaksana di bank pelaksana yang lain dalam rangka memanfaatkan dana diam/menganggur (idle fund) yang dimaksudkan untuk memperoleh penghasilan/pendapatan. Penanaman dana bank syariah pada Bank Indonesia, bank syariah lainnya dan atau Bank Pembiayaan Rakyat berdasarkan prinsip syariah, antara lain dalam bentuk giro dan atau tabungan wadi’ah, deposito berjangka dan atau tabungan mudharabah, pembiayaan yang diberikan, Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank (sertifikat IMA) dan atau bentuk-bentuk penempatan lainnya berdasarkan prinsip syariah. d. Sekuritas Sekuritas adalah surat bukti utang maupun bukti kepemilikan yang bisa diperdagangkan yang investasinya bertujuan memperoleh keuntungan sekaligus guna mendukung likuiditas bank bila diperlukan pada saatnya.
24
e. Pembiayaan Pembiayaan adalah penyediaan dana dan atau tagihan berdasarkan akad
Mudharabah dan atau Musyarakah dan atau pembiayaan lainnya
berdasarkan prinsip bagi hasil. Pembiayaan pada bank syariah meliputi pembiayaan investasi, pembiayaan likuiditas, pembiayaan konsumtif,
pembiayaan modal kerja, pembiayaan persediaan, dan pembiayaan
piutang.
f. Penyertaan
Penyertaan adalah penanaman dana bank syariah pada perusahaan lain yang bergerak dalam bidang keuangan yang dibenarkan syariah, baik yang bersifat investasi jangka panjang maupun sementara.
g. Penghapusan Aktiva Produktif Tindakan administratif untuk menghapus buku aktiva produktif yang tergolong macet dari neraca sebesar kewajiban nasabah tanpa menghapus hak tagih bank kepada nasabah.(Muhammad dan Dwi Suwiknyo:2009) 2.3.2 Pembiayaan (Financing) Berdasarkan Pasal 1 angka (12) UU No. 10 Tahun l998 tentang perbankan, dijelaskan bahwa pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil. Menurut Muhammad (2005) dalam bukunya yang berjudul Manajemen Pembiayaan Bank Syariah mengatakan bahwa pembiayaan atau financing, yaitu pendanaan yang diberikan oleh suatu pihak kepada pihak lain untuk mendukung investasi yang telah direncanakan, baik dilakukan sendiri maupun lembaga. Dengan kata lain pembiayaan adalah pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang telah direncanakan.
25
Fungsi Pembiayaan
Sesuai dengan tujuan pembiayaan sebagaimana di atas, menurut Sinungan
(1983) pembiayaan secara umum memiliki fungsi untuk:
1. Meningkatkan daya guna uang
Para penabung menyimpan uangnya di bank dalam bentuk giro, tabungan
dan deposito. Uang tersebut dalam persentase tertentu ditingkatkan
kegunaannya oleh bank guna suatu usaha peningkatan produktivitas. Para pengusaha
menikmati
pembiayaan
dari
bank
untuk
memperluas/memperbesar usahanya baik untuk peningkatan produksi, perdagangan maupun untuk usaha-usaha rehabilitas ataupun memulai usaha baru. Secara mendasar melalui pembiayaan terdapat suatu usaha peningkatan produktivitas secara menyeluruh. Dengan demikian dana yang mengendap di bank (yang diperoleh dari para penyimpan uang) tidaklah idle (diam) dan disalurkan untuk usaha-usaha bermanfaat, baik kemanfaatan bagi pengusaha maupun kemanfaatan masyarakat.
2. Meningkatkan daya guna barang -
Produsen dengan bantuan pembiayaan bank dapat mengubah bahan mentah menjadi bahan jadi sehingga utility dari bahan tersebut meningkat.
-
Produsen dengan bantuan pembiayaan dapat memindahkan barang dari suatu tempat yang kegunaannya kurang ke tempat yang lebih bermanfaat.
3. Meningkatkan peredaran uang Pembiayaan yang disalurkan melalui rekening-rekening koran pengusaha menciptakan pertambahan peredaran uang giral dan sejenisnya seperti cek, bilyet giro, wesel, promes dan sebagainya. Melalui pembiayaan, peredaran uang kartal maupun giral akan lebih berkembang oleh karena pembiayaan menciptakan suatu kegairahan berusaha sehingga penggunaan uang akan bertambah baik kualitatif apalagi secara kuantitatif.
26
4. Menimbulkan kegairahan berusaha Bantuan pembiayaan yang diterima pengusaha dari bank inilah kemudian
yang digunakan untuk memperbesar volume usaha dan produktifitasnya.
Ditinjau dari hukum permintaan dan penawaran maka terhadap segala macam dan ragamnya usaha, permintaan akan terus bertambah bilamana
masyarakat telah memulai melakukan penawaran. Timbullah kemudian
efek kumulatif oleh semakin besarnya permintaan sehingga secara berantai kemudian menimbulkan kegairahan yang meluas di kalangan masyarakat untuk sedemikian rupa meningkatkan produktivitas.
5. Stabilitas ekonomi Dalam ekonomi yang kurang sehat, langkah-langkah stabilitas pada dasarnya diarahkan pada usaha-usaha untuk antara lain: -
Pengendalian inflasi
-
Peningkatan ekspor
-
Rehabilitas prasarana
-
Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok rakyat untuk menekan arus inflasi dan terlebih-lebih lagi untuk usaha pembangunan ekonomi maka pembiayaan bank memegang peranan yang penting.
6. Sebagai jembatan untuk meningkatkan pendapatan nasional Peningkatan usaha berarti peningkatan profit. Bila keuntungan ini secara kumulatif dikembangkan lagi dalam arti kata dikembalikan lagi ke dalam struktur permodalan, maka peningkatan akan berlangsung terus menerus. Di lain pihak pembiayaan yang disalurkan untuk merangsang pertambahan kegiatan ekspor akan menghasilkan pertambahan devisa negara. Menurut Antonio (2001:160), pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok bank yaitu pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan difisit unit. Berdasarkan sifat penggunaannya, pembiayaan dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:
27
a. Pembiayaan Produkif Pembiayaan produktif ditujukan untuk memenuhi kebutuhan produksi
dalam arti luas yaitu untuk peningkatan usaha, baik usaha produksi,
perdagangan maupun investasi.
b. Pembiayaan Konsumtif Pembiayaan konsumtif digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi
yang akan habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan. Secara umum, jenis-jenis pembiayaan dapat digambarkan sebagai berikut:
PEMBIAYAAN
Konsumtif
Produktif
Modal Kerja
Investasi
( Sumber: Syafi’i Antonio 2001) Gambar 2.1 Jenis Pembiayaan Antonio (2001) menambahkan bahwa menurut keperluannya, pembiayaan produktif dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu : a. Pembiayaan Modal Kerja Pembiayaan
modal
kerja
ditujukan
untuk
memenuhi
kebutuhan
peningkatan produksi baik secara kuantitatif maupun kualitatif dan untuk keperluan perdagangan atau peningkatan kegunaan suatu barang. b. Pembiayaan Investasi Pembiayaan investasi diberikan kepada para nasabah untuk keperluan investasi
yaitu
keperluan
penambahan
modal
guna
mengadakan
rehabilitasi, perluasan usaha ataupun pendirian proyek baru. Pada umumnya, pembiayaan investasi diberikan dalam jumlah besar dan berjangka waktu yang cukup lama. Pembiayaan investasi yang diberikan
28
oleh bank syariah pada umumnya menggunakan skema mudharabah
ataupun musyarakah.
Secara umum, jenis-jenis pembiayaan dapat digambarkan sebagai berikut:
Dalam bukunya, Muhammad dan Dwi Suwiknyo (2009:17) menguraikan
tentang pembiayaan syariah dengan menyatakan bahwa ; Produk penyaluran dana di bank syariah dapat dikembangkan dengan tiga model, yaitu transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk memiliki barang yang dilakukan dengan prinsip
jual beli; transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk mendapatkan jasa yang dilakukan dengan prinsip sewa; dan transaksi pembiayaan yang ditujukan guna
mendapatkan sekaligus barang dan jasa, dengan prisip bagi hasil. 1. Prinsip Jual Beli Mekanisme jual beli adalah upaya yang dilakukan untuk transfer of property dan tingkat keuntungan bank ditentukan di depan dan menjadi harga jual barang. Prinsip jual beli ini dikembangkan menjadi bentukbentuk pembiayaan sebagai berikut : a. Pembiayaan Murabahah (dari kata ribhu yang berarti keuntungan) Bank syariah sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli. Barang diserahkan segera dan pembayaran dilakukan secara tangguh. b. Salam (jual beli barang belum ada). Pembayaran tunai, barang diserahkan tangguh. Bank sebagai pembeli, dan nasabah sebagai penjual. c. Istishna’, jual beli seperti akad salam namun pembayarannya dilakukan oleh bank dalam beberapa kali pembayaran. Istishna’ diterapkan pada pembiayaan manufaktur dan kontruksi. 2. Prinsip Ijarah Transaksi ijarah dilandasi adanya pemindahan manfaat. Jadi, pada dasarnya prinsip ijarah sama dengan prinsip jual beli, namun perbedaannya terletak pada objek transaksinya. Jika pada jual beli objek transaksinya adalah barang, maka pada ijarah objek transaksinya jasa atau manfaat barang.
29
Pada akhir masa sewa, bank syariah dapat saja menjual barang yang
disewakannya kepada nasabah. Karena itu, dalam perbankan syariah
dikenal ijarah muntahiyah bittamlik, yaitu sewa yang diakui dengan
berpindahnya kepemilikan barang yang disewakan. Harga sewa dan harga jual disepakati pada awal perjanjian.
3. Prinsip Syirkah
Prinsip Syirkah dengan basis pola kemitraan untuk produk pembiayaan di bank syariah dioperasionalkan dengan pola musyarakah dan mudharabah.
Pembiayaan Menurut Islam
Dalam Islam, manusia diwajibkan untuk berusaha agar ia mendapatkan rezeki guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Islam juga mengajarkan kepada manusia bahwa Allah SWT Maha Pemurah sehingga rezeki-Nya sangat luas. Bahkan Allah SWT tidak hanya memberikan rezeki kepada kaum muslimin saja tetapi juga kepada siapa saja yang bekerja keras. (Antonio, 2001) Banyak ayat Al Quran dan hadist yang memerintahkan manusia untuk bekerja. Manusia dapat bekerja apa saja yang penting tidak melanggar garis-garis yang telah ditentukan oleh Allah SWT. Manusia dapat melakukan kegiatan produksi ataupun distribusi. Untuk memulai usaha seperti ini maka diperlukan modal. Modal yang dibutuhkan tidak harus besar tetapi dapat juga berawal dari modal yang kecil. Tidak semua orang memiliki modal sendiri pada saat memulai usahanya. Dalam islam, hubungan pinjam meminjam tidak dilarang bahkan dianjurkan agar terjadi hubungan saling menguntungkan yang pada gilirannya berakibat kepada hubungan persaudaraan. Hal yang perlu diperhatikan adalah apabila hubungan ini tidak mengikuti aturan yang diajarkan oleh Islam. Sekarang ini banyak terdapat bank-bank syariah yang berusaha menjebatani pihak pemilik modal dan pihak yang membutuhkan modal dengan tetap memperhatikan prinsip syariah dalam operasionalnya. Menurut Antonio (2001), dalam perbankan syariah sebenarnya penggunaan kata pinjam meminjam kurang tepat, karena dalam Islam pinjam meminjam adalah akad sosial bukan akad komersial. Artinya, bila seseorang meminjam sesuatu, maka ia tidak boleh 30
disyaratkan untuk memberikan tambahan atas pokok pinjamannya. Hal ini didasarkan pada hadist Nabi SAW yang menyatakan bahwa setiap pinjam yang
menghasilkan manfaat adalah riba dan para ulama sepakat bahwa riba itu haram. Karena itulah maka dalam perbankan syariah, pinjaman tidak disebut kredit tetapi
pembiayaan (financing).
2.3.3 Dana Pihak Ketiga (DPK) Dana pihak ketiga adalah dana yang diperoleh dari masyarakat, dalam arti
masyarakat sebagai individu, perusahaan, pemerintah, rumah tangga, koperasi,
yayasan, dan lain-lain baik dalam mata uang rupiah maupun dalam valuta asing. Pada sebagian besar atau setiap bank, dana masyarakat ini merupakan dana terbesar yang dimiliki oleh bank. Hal ini sesuai dengan fungsi bank sebagai penghimpun dana dari masyarakat. (Rifki Afrizal:2011) Pertumbuhan
setiap
bank
sangat
dipengaruhi
oleh
perkembangan
kemampuannya menghimpun dana masyarakat, baik berskala kecil maupun besar dengan masa pengendapan yang memadai. Bank selain menerima dana investasi, juga menerima dana titipan. Dana titipan ini merupakan dana pihak ketiga yang dititipkan pada bank, yang umumnya berupa giro atau tabungan. Pada umumnya motivasi utama orang menitipkan dana pada bank adalah untuk keamanan dana mereka dan memperoleh keleluasaan untuk menarik kembali dananya sewaktuwaktu. (Muhammad:2004) -
Rekening Giro Wadi’ah Bank Islam dapat memberikan jasa simpanan giro dalam bentuk rekening wadi’ah. Dalam hal ini bank Islam menggunakan prinsip wadiah yad dhamanah. Dengan prinsip ini bank sebagai custodian harus menjamin pembayaran kembali nominal simpanan wadi’ah. Dana tersebut dapat digunakan oleh bank untuk kegiatan komersial dan bank berhak atas pendapatan yang diperoleh dari pemanfaatan harta titipan tersebut dalam kegiatan
komersial.
Pemilik
simpanan
dapat
menarik
kembali
simpanannya sewaktu-waktu, baik sebagian atau seluruhnya. Bank tidak boleh menyatakan atau menjanjikan imbalan atau keuntungan apapun 31
kepada pemegang rekening wadi’ah, dan sebaliknya pemegang rekening
juga tidak boleh mengharapkan atau meminta imbalan atau keuntungan
atas rekening wadi’ah. Setiap imbalan atau keuntungan yang dijanjikan
dapat dianggap riba. Namun demikian bank, atas kehendaknya sendiri, dapat memberikan imbalan berupa bonus (hibah) kepada pemilik dana
(pemegang rekening wadi’ah).
-
Rekening Tabungan Wadi’ah Prinsip wadi’ah yad dhamanah ini juga dipergunakan oleh bank dalam mengelola jasa tabungan, yaitu simpanan dari nasabah yang memerlukan jasa penitipan dana dengan tingkat keleluasaan tertentu untuk menariknya kembali. Bank memperoleh izin dari nasabah untuk menggunakan dana tersebut selama mengendap di bank. Nasabah dapat menarik sebagian atau seluruh saldo simpanannya sewaktu-waktu atau sesuai dengan perjanjian yang disepakati. Bank menjamin pembayaran kembali simpanan mereka. Semua keuntungan atas pemanfaatan dana tersebut adalah milik bank, tetapi atas kehendaknya sendiri, bank dapat memberikan imbalan keuntungan yang berasal dari sebagian keuntungan bank. Bank menyediakan buku tabungan dan jasa-jasa yang berkaitan dengan rekening tersebut. Berbeda dengan jenis tabungan mudhrabah, bank syariah tidak memperjanjikan bagi hasil atas tabungan wadi’ah, walaupun atas kemauannya sendiri bank dapat memberikan bonus kepada para pemegang rekening wadi’ah. Besarnya pemberian bonus kepada nasabah pemegang rekening titipan maupun tabungan wadi’ah adalah tergantung pada kebijakan manajemen bank. Bonus, biasanya hanya diberikan apabila
bank mengalami surplus pendapatan, setelah dikurangi
pembagian bagi hasil kepada pemegang rekening tabungan dan deposito mudharabah. 2.3.4 Return on Asset (ROA) Rasio Profitabilitas adalah analisis yang dilakukan terhadap kemampuan bank dalam memenuhi perolehan laba. Keuntungan sudah menjadi tujuan utama 32
dan setiap perusahaan, dan keuntungan tersebut modal akan bertambah yang pada gilirannya akan meningkatkan kemampuan bank dalam melaksanakan operasinya.
Keuntungan yang diperoleh selain ditentukan oleh kecakapan dan keterampilan pimpinan bank, juga tidak lepas dari kepercayaan para pemegang saham dan
masyarakat yang menyimpan uangnya berupa giro, tabungan, maupun deposito. Untuk memupuk kepercayaan masyarakat yang menyimpan dananya, bank dituntut untuk memelihara alat-alat likuid yang cukup besar tanpa menghilangkan
kesempatan untuk memperoleh laba optimal. Keuntungan yang rendah merupakan hambatan bagi pertumbuhan bank dan juga dapat menurunkan tingkat
kepercayaan masyarakat terhadap bank dan sebaliknya. Analisis rasio profitabilitas suatu bank menurut edaran BI No. 9/24/Dpbs Tahun 2007 antara lain adalah Net Operating Margin (NOM), Return on Assets (ROA), Return on Equity (ROE), Rasio biaya operasional (BOPO), dan Net Profit Margin (NPM), rasio efisiensi kegiatan operasional (REO), rasio aktiva yang dapat menghasilkan pendapatan, diversifikasi pendapatan, Proyeksi Pendapatan Bersih Operasional Utama (PPBO), Net structural operating margin, komposisi penempatan dana pada surat berharga/pasar keuangan, disparitas imbal jasa tertinggi dengan terendah, pelaksanaan fungsi edukasi, pelaksanaan fungsi sosial, korelasi antara tingkat bunga di pasar dengan return/bagi hasil yang diberikan Bank Syariah, rasio bagi hasil dana investasi, dan penyaluran dana yang di write-off dibandingkan dengan biaya operasional. Namun dalam penelitian ini, dari beberapa rasio profitabilitas tersebut yang digunakan hanya rasio Return on Assets (ROA). Return on Assets merupakan rasio kemampuan bank dalam menghasilkan keuntungan secara relatif dibandingkan dengan total asetnya. Semakin besar ROA suatu bank, semakin besar pula tingkat keuntungan yang dicapai bank tersebut dan semakin baik pula posisi bank tersebut dari segi penggunaan aset. BI menetapkan standar ROA minimal agar bank dikatakan sehat adalah lebih dari 1,25%. Rumus yang digunakan adalah: ROA =
x 100%
(Sumber: Surat edaran BI No. 9/24/Dpbs Tahun 2007) 33
2.4 Penelitian Terdahulu
Kegiatan penelitian selalu bertitik tolak dari pengetahuan yang sudah ada.
Pada umumnya semua ilmuwan akan memulai penelitianya dengan cara menggali
apa yang sudah dikemukakan atau ditemukan oleh ahli-ahli sebelumya.
Pemanfaatan terhadap apa-apa yang dikemukakan atau ditemukan oleh ahli
tersebut dapat dilakukan dengan cara mempelajari, mendalami, mencermati, menelaah dan mengidentifikasi hal-hal yang sudah ada untuk mengetahui apa yang sudah ada dan apa yang belum ada melalui laporan hasil penelitian dalam
bentuk jurnal atau karya-karya ilmiah.
Terdapat sedikitnya empat peniliti terdahulu yang dijadikan rujukan dalam penelitian ini yaitu: 1. “Analisis Impulse Response Function Nilai Outstanding Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) dan Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) terhadap Guncangan Tingkat Imbal Hasil SWBI dan SBIS, Imbal Hasil Pasar Uang Antarbank Syariah (PUAS), Dana Pihak Ketiga (DPK), Pembiayaan dan Inflasi” oleh Adisti Nurinda Sari (2010).” Pada penelitian ini, variabel-variabel yang digunakan adalah outstanding SWBI dan SBIS, imbal hasil SWBI dan SBIS, imbal hasil PUAS, DPK, pembiayaan dan inflasi. Penelitian ini merupakan studi kasus pada seluruh perbankan syariah periode Maret 2003 hingga September 2009. Metode penelitian yang digunakan adalah Vector Autoregression (VAR), impulse respon function dan variance decomposition. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa : - variable tingkat imbal hasil SWBI/SBIS, imbal hasil PUAS, DPK, dan pembiayaan signifikan mempengaruhi outstanding SWBI/SBIS dengan periode pengamatan selama 10 periode waktu. -
variable yang paling dominan mempengaruhi outstanding SBIS/SWBI adalah nilai outstanding SWBI/SBIS itu sendiri pada periode sebelumnya.
34
2. “Pengaruh Penempatan Dana pada SWBI dan Pasar Uang Antar Bank Syariah (PUAS) terhadap FDR Perbankan Syariah” yang dilakukan oleh
Indah Nurfitri Adi (2006). Pada penelitian ini, variabel-variabel yang
digunakan adalah instrumen SWBI dan bonus PUAS sebagai variabel bebas, dan FDR perbankan syariah sebagai variabel terikat. Penelitian ini
merupakan studi kasus pada seluruh perbankan syariah periode Januari
2003-Maret 2006. Dalam menganalisis data digunakan metode Ordinary Least Square (OLS). Sebelum dilakukan analisis regresi linear berganda, data yang ada diuji terlebih dahulu dengan pengujian stasioneritas menggunakan metode Philip Perron Test. Setelah mengetahui bahwa
seluruh variabel sudah stasioner, barulah dilakukan regresi linear berganda. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa: - kedua variabel bebas yang digunakan yaitu SWBI dan bonus PUAS secara bersama-sama dapat mempengaruhi FDR perbankan syariah sebagai variabel terikat sebesar 50,6% dan sisanya sebesar 49,4% dijelaskan oleh variabel lainnya yang tidak dimasukkan di dalam model. - Berdasarkan uji t dapat dikatakan bahwa hanya variabel SWBI yang secara signifikan mempengaruhi FDR perbankan syariah. Hubungan diantara variabel SWBI dengan FDR perbankan syariah adalah negatif. Hal ini berarti bahwa semakin besar dana yang dialokasikan perbankan syariah pada SWBI, maka semakin menurun pula tingkat FDR perbankan syariah. 3.
“Penggunaan Variabel Instrumen Moneter Syariah untuk Menganalisis Kinerja Perbankan Syariah” oleh Sri Widyastuti dan Deki Anwar (2008). Variabel yang digunakan dalam penelitian ini untuk instrumen moneter syariah diantaranya variabel Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) dan Pasar Uang Antarbank Syariah (PUAS), dan untuk kinerja perbankan syariah variabel yang digunakan diantaranya aset, pembiayaan, Non Performing Financing (NPF), dan Dana Pihak Ketiga (DPK). Metode
35
yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode ekonometrik Vector
Autoregressive (VAR) dan data yang digunakan dalam penelitian ini
bersifat bulanan mulai dari bulan Januari 2001 hingga Juli 2006, sebanyak
67 bulan. Jurnal ini dipublikasikan di internet. Hasil dari penelitian ini berkesimpulan bahwa :
- Dampak yang ditimbulkan akibat SWBI terhadap kinerja
perbankan syariah adalah akan meningkatkan aset, DPK, menurunkan pembiayaan dan NPF. Dampak tersebut berlangsung secara rata-rata selama 13 bulan. - Dampak yang ditimbulkan akibat PUAS terhadap kinerja perbankan syariah adalah akan meningkatkan aset, DPK, pembiayaan, dan NPF dimana dampak tersebut berlangsung secara rata-rata sebelum 16 bulan. - Variabel kinerja perbankan syariah yang memiliki dominasi terbesar terhadap perubahan volume transaksi instrumen moneter syariah SWBI adalah (perubahan) non performing financing dan aset yakni masing-masing sebesar 30%. Sedangkan variabel kinerja perbankan syariah yang memiliki dominasi terbesar terhadap perubahan volume transaksi instrumen moneter syariah PUAS adalah (perubahan) aset dan non performing financing yakni masing-masing sebesar 16% dan 21%. - Dalam peranannya terhadap kinerja perbankan syariah, instrumen moneter syariah Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) memberikan dampak yang lebih baik daripada instrumen moneter syariah PUAS.
4. “Pengaruh Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI), Kurs dan Inflasi terhadap Kinerja Return On Asset (ROA) Bank Muamalat Indonesia pada Januari 2001-Desember 2005”. Penelitian ini dilakukan oleh Aisyah D.R Simatupang (2006). Metode penelitian yang digunakan adalah dengan
36
menggunakan metode statistik, sementara alat-alat uji yang digunakan
adalah ECM (Error Correction Model). Data yang digunakan adalah data
sejak Januari 2001 sampai dengan Juni 2003, sebelum kenaikan harga
minyak, dan Juli 2003 sampai Desember 2005, sebagai pembanding
dengan periode masa kenaikkan harga minyak.
Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan pengaruh makro ekonomi (SWBI, kurs, dan inflasi) terhadap ROA Bank Muamalat
Indonesia. Periode Januari 2001-Juni 2003 SWBI dan inflasi berpengaruh
negatif terhadap ROA, sedangkan kurs sangat berpengaruh terhadap ROA.
Dan pada periode Juli 2003-Desember 2005 SWBI dan inflasi sangat berpengaruh terhadap ROA, sedangkan kurs tidak berpengaruh terhadap ROA. Kesimpulan penelitian ini adalah baik periode Januari 2001 sampai Desember 2005, tiga faktor yang dianalisis yaitu SWBI, kurs dan inflasi memberikan pengaruh yang positif terhadap ROA Bank Muamalat Indonesia.
2.5 Kerangka Pemikiran Berdasarkan hasil penelitian terdahulu diatas, bahwa terdapat hubungan yang kuat antara instrumen keuangan syariah dengan kinerja perbankan syariah. Instrumen keuangan syariah dan perbankan syariah dapat dijelaskan hubungan antar variabelnya, bahwa besarnya transaksi dan frekuensi yang terjadi pada SWBI dan PUAS secara langsung ataupun tidak langsung akan berdampak kepada kinerja perbankan syariah dan demikian juga sebaliknya. Yang akan penulis lakukan dalam penelitian ini yaitu menguji kembali dengan
pemikiran menggabungkan dari keempat penelitian tersebut. Karena
semenjak bulan April 2008 Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) diganti menjadi Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) maka penulis akan menggunakan variabel SBIS dalam penelitian ini. Penulis akan menggunakan variabel Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) dan Pasar Uang Antarbank
37
Syariah (PUAS) sebagai instrumen keuangan syariah dan menggunakan variabel aset, pembiayaan, DPK dan Return On Asset (ROA) sebagai variabel kinerja
keuangan.
ASET
PEMBIAYAAN
SBIS dan PUAS
ROA
DPK
(Sumber: Hasil Olahan Penulis) Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran dalam hal ini: = Dampak shock instrumen keuangan syariah terhadap kinerja perbankan syariah = Dominasi kinerja perbankan syariah terhadap transaksi instrumen keuangan syariah = Pengaruh kinerja perbankan syariah terhadap instrumen keuangan syariah keterangan: ASET
: Aset Perbankan Syariah
FIN
: Posisi pembiayaan Perbankan Syariah
DPK
: Dana Pihak Ketiga Perbankan Syariah
ROA
: Return on Asset Perbankan Syariah
SBIS
: Sertifikat Bank Indonesia Syariah
PUAS
: Pasar Uang Antar Bank Berdasarkan Prinsip Syariah
38
SBIS diduga akan mempengaruhi aset pada bank karena SBIS merupakan aset di bank dan penempatan dana pada SBIS akan mendapat imbalan/bonus,
dimana tingkat bonus SBIS telah ditetapkan oleh Bank Indonesia. Jika tingkat SBIS relatif tinggi, maka tambahan pendapatan bank syariah akan tinggi bonus
pula. Begitu pula sebaliknya, jika tingkat bonus SBIS relatif rendah maka tambahan pendapatan bank syariah akan relatif kecil. Sehingga tinggi rendahnya tingkat bonus SBIS diduga akan mempengaruhi tambahan pendapatan pada bank
syariah dan akan mempengaruhi rasio Return On Asset (ROA). Begitu pula dengan tinggi rendahnya tingkat imbal hasil dari transaksi PUAS diduga akan
mempengaruhi pendapatan bank dan akan mempengaruhi rasio ROA. Hubungan besarnya penempatan dana pada SBIS dan PUAS dengan jumlah pembiayaan (FIN) diduga akan berbanding terbalik dimana semakin besar penempatan dana pada SBIS dan PUAS maka besarnya pembiayaan yang disalurkan perbankan syariah akan berkurang dan begitu juga sebaliknya. Selain itu, diduga hubungan besarnya dana pada SBIS dan PUAS dengan besarnya DPK akan searah dimana semakin besar dana yang ditempatkan pada SBIS dan PUAS diakibatkan adanya peningkatan dari DPK. Hal inilah yang mendasari penulis untuk menganalisis hubungan-hubungan yang terjadi diantara variabel-variabel dalam kasus di atas.
39