6
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Teoritis I. Teori Agen (Agency Theory) Teori ini merupakan dasar yang digunakan perusahaan memahami corporate governance. Teori ini menjelaskan hubungan antara principal (pemilik dan pemegang saham) dengan agen (manajemen). “Inti dari hubungan keagenan adalah terdapat pemisahan antara kepemilikan dan pengelolaan perusahaan” (Hertanti, 2005). Principal akan menyediakan fasilitas dan dana untuk menjalankan perusahaan serta mendelegasikan kebijakan pembuatan keputusan kepada agen. Principal memiliki harapan bahwa agen akan menghasilkan return dari uang yang mereka investasikan. Dilain pihak, agen memiliki kewajiban untuk mengelola perusahaan sesuai dengan keinginan principal. Teory keagenan membahas hubungan antara manajemen dengan pemegang saham, dimana yang dimaksud dengan principal adalah pemegang saham dan agent adalah manajemen (Belkaoui, 2006: 127). Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan hubungan keagenan di dalam teori agensi (agency theory) bahwa perusahaan merupakan kumpulan kontrak (nexus of contract) antara pemilik sumber daya ekonomis (principal) dan
7
manajer (agent) yang mengurus penggunaan dan pengendalian sumber daya tersebut. Menurut Meisser, et al., (2006:7) hubungan keagenan ini mengakibatkan dua permasalahan yaitu : a) terjadinya
informasi
asimetris
(information
asymmetry),
dimana
manajemen secara umum memiliki lebih banyak informasi mengenai posisi keuangan yang sebenarya dan posisi operasi entitas dari pemilik; dan b) terjadinya konflik kepentingan (conflict of interest) akibat ketidak samaan tujuan, dimana manajemen tidak selalu bertindak sesuai dengan kepentingan pemilik. Dalam upaya mengatasi atau mengurangi masalah keagenan ini menimbulkan biaya keagenan (agency cost) yang akan ditanggung baik oleh principal maupun agent. Jensen dan Meckling (1976) membagi biaya keagenan ini menjadi monitoring cost, bonding cost dan residual loss. Monitoring cost adalah biaya yang timbul dan ditanggung oleh principal untuk memonitor perilaku agent, yaitu untuk mengukur, mengamati, dan mengontrol perilaku agent. Bonding cost merupakan biaya yang ditangung oleh agent untuk menetapkan dan mematuhi mekanisme yang menjamin bahwa agent akan bertindak untuk kepentingan principal. Selanjutnya residual loss merupakan pengorbanan yang berupa berkurangnya kemakmuran principal sebagai akibat dari perbedaan keputusan agent dan keputusan principal.
8
Menurut Schoeck (2002: 81) penerapan manajemen risiko dapat menurunkan biaya keagenan dan meningkatkan nilai perusahaan. Manajemen risiko perusahaan juga dapat dijadikan mekanisme pengawasan dalam menurunkan informasi asimetris dan berkontribusi untuk menghinda ri perilaku oportunis dari manajer (Kajuter et al., 2005). Dalam kaitannya dengan masalah keagenan ini, positif accounting theory (Watts dan Zimmerman, 1986) mengajukan tiga hipotesis, yaitu bonus plan, hypothesis, debt/equity hypothesis, dan political cost hypothesis, yang secara implisit mengakui tiga bentuk keagenan, yaitu antara pemilik dengan manajemen, antara kreditor dengan manajemen, dan antara pemerintah dengan manajemen. Sehingga secara luas, principal bukan hanya pemilik perusahaan, tetapi juga bisa berupa pemegang saham, kreditur, maupun pemerintah. Aplikasi agency theory dapat terwujud dalam kontrak kerja yang akan mengatur proporsi hak dan kewajiban masing- masing pihak dengan tetap memperhitungkan kemanfaatan secara keseluruhan. Kontrak kerja merupakan seperangkat aturan yang mengatur mengenai mekanisme bagi hasil, baik yang berupa keuntungan, return maupun risiko-risiko yang disetujui oleh prinsipal dan agen. Kontrak kerja akan menjadi optimal bila kontrak dapat fairness yaitu mampu menyeimbangkan antara prinsipal dan agen yang secara matematis memperlihatkan pelaksanaan kewajiban yang optimal oleh agen dan pemberian insentif/imbalan khusus yang memuaskan dari prinsipal ke agen. Inti dari Agency Theory atau teori keagenan adalah pendesainan kontrak
9
yang tepat untuk menyelaraskan kepentingan prinsipal dan agen dalam hal terjadi konflik kepentingan (Scott, 1997). Menurut Eisenhard (1989), teori keagenan dilandasi oleh 3 (tiga) buah asumsi yaitu : a. Asumsi tentang sifat manusia Asumsi tentang sifat manusia menekankan bahwa manusia memiliki sifat untuk mementingkan diri sendiri (self interest), memiliki keterbatasan rasionalitas (bounded rationality), dan tidak menyukai risiko (risk aversion) b. Asumsi tentang keorganisasian Asumsi keorganisasian adalah adanya konflik antar anggota organisasi, efisiensi sebagai kriteria produktivitas,
dan adanya
Asymmetric
Information (AI) antara prinsipal dan agen. c. Asumsi tentang informasi. asumsi tentang informasi adalah bahwa informasi dipandang sebagai barang komoditi yang bisa diperjual belikan.
B. Kajian Pustaka Dalam sebuah penelitian tentunya ada teori teori yang menunjang penelitian tersebut. Dalam penelitian ini teori yang dimaksud termasuk juga Peraturan Perundang-undangan (UU), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Menteri Keuangan (PMK) serta Peraturan Dirjen Pajak yang berkenaan
10
dengan variabel yang diteliti. Berikut adalah penjelasan mengenai teori-teori yang berkaitan dengan penelitian ini: 1. Perpajakan di Indonesia a. Pengertian Pajak Definisi pajak menurut Undang-Undang Nomor 16 tahun 2009 tentang perubahan keempat atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pada Pasal 1 ayat 1 yakni pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan UndangUndang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sedangkan pengertian pajak penghasilan menurut Standar Akuntansi Keuangan (SAK) adalah pajak yang dihitung berdasarkan peraturan perpajakan dan pajak ini dikenakan atas penghasilan kena pajak perusahaan. (SAK, 2002). Berbagai pengertian pajak yang dikemukan oleh berbagai pakar antara lain sebagai berikut : a. Menurut P.J.A Adriani, pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan umum (Undang-Undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah
11
untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintah. b. Menurut Rachmat Soemitro, pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjuk dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Tetapi kemudian definisi tersebut dikoreksi kembali sehingga berbunyi sebagai berikut: Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama membiayai public investment. c. Sedangkan menurut Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., & Brock Horace R, Pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor pemerintah,
bukan
akibat
pelanggaran
hukum,
namun
wajib
dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan. Dari pengertian tersebut diatas maka dapat ditarik kesimpulan tentang unsur-unsur yang terdapat pada pengertian pajak antara lain: 1) Pajak dipungut berdasarkan undang- undang. Asas ini sesuai dengan perubahan ketiga UUD 1945 pasal 23A yang menyatakan “pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam undang- undang.”
12
2) Tidak mendapatkan jasa timbal balik (kontraprestasi perorangan) yang dapat ditunjukan secara langsung. Misalnya, orang yang taat membayar pajak kendaraan bermotor akan melalui jalan yang sama kualitasnya dengan orang yang tidak membayar pajak kendaraan bermotor. 3) Pemungutan pajak diperuntungkan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun pembangunan. 4) Pemungutan pajak dapat dipaksakan. Pajak dapat dipaksakan apabila Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakan dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan. b. Fungsi Pajak 1) Fungsi budgetair (Pendanaan) Fungsi budgetair disebut juga fungsi utama pajak, atau fungsi fiskal yaitu pajak dipergunakan sebagai alat untuk memasukan dan ke kas Negara secara optimal berdasarkan undang- undang perpajakan yang berlaku. 2) Fungsi regulair (mengatur) Fungsi regulair disebut juga fungsi tambahan yaitu pajak digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang letaknya di luar bidang keuangan. c. Asas-asas Pemungutan Pajak Dalam bukunya ”Wealth of Nations” Adam Smith mengemukakan 4 (empat asas) dalam pemungutan pajak yaitu : 1) Keseimbangan berdasarkan kemampuan (Equality)
13
2) Kepastian Hukum (Certainty) 3) Saat dan waktu yang tepat (Convinience of payment) 4) Efisiensi (Efficiency) d. Tinjauan Aspek Hukum Hukum Pajak mengatur hubungan antara pemerintah
dengan Wajib
Pajak. Karena itu hukum pajak dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu : 1) Hukum Pajak Materil Hukum pajak yang memuat norma- norma yang menerangkan keadaan, perbuatan, peristiwa hukum yang dikenakan pajak (obyek pajak), siapa yang dikenakan pajak (subyek pajak), berapa besar pajak yang dikenakan, segala sesuatu tentang timbul dan hapusnya utang pajak, serta hubungan hukum antara Pemerintah dan Wajib Pajak. Yang dapat dikategorikan sebagai hukum pajak materiil adalah : 1. UU PPN 2. UU PPh 3. UU PBB & UU Bea Materai 4. UU Bea Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan 2) Hukum Pajak Formal Memuat tata cara untuk melaksanakan hukum pajak materiil menjadi kenyataan, hukum pajak ini antara lain memuat : a) Hak dan Kewajiban Wajib Pajak b) Hak dan kewajiban Fiskus c) Tata Cara penetapan utang pajak
14
Termasuk ke dalam Hukum Formal ini adalah : a) UU Pengadilan Pajak b) UU PPSP & UU KUP e. Jenis Pajak 1) Pajak menurut sifatnya: a) Pajak langsung Adalah pajak yang pembebanannya tidak dapat dilimpahkan kepada pihak
lain,tetapi
harus
menjadi beban
langsung
WP
yang
bersangkutan, misalnya : Pajak Penghasilan (PPh) b) Pajak Tidak Langsung Adalah pajak yang pembebanannya dapat dilimpahlan ke pihak lain, misalnya : Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 2) Pajak menurut pemungutnya: a) Pajak Pusat Adalah pajak yang dipungut oleh Pemerintah pusat untuk membiayai pengeluaran pemerintah pusat atau membiayai rumah tangga negara. b) Pajak Daerah Adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. f. Cara Pengenaan / Pemungutan Pajak Cara pemungutan pajak ada tiga yaitu: 1) Stelsel Nyata
15
Pengenaan pajak disasarkan pada keadaan sebenarnya dari penghasilan yang diterima pada suatu tahun pajak, dengan demikian pemungutannya dapat dilakukan pada akhir tahun. Keuntungan dari cara ini adalah bahwa pajak dikenakan/dihitung berdasarkan penghasilan sebenarnya yang diterima dalam suatu tahun pajak. Kelemahannya adalah penghitungan pajak baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak setelah penghasila n sebenarnya diketahui. 2) Stelsel Fiktif Pengenaan Pajak didasarkan pada asumsi berdasarkan undang-undang bahwa penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak adalah sama dengan penghasilan tahun sebelumnya. Kelebihan cara ini adalah bahwa pajak dapat dibayar selama tahun berjalan, tanpa harus menunggu akhir tahun. Kelemahannya adalah pajak yang dibayar tidak berdasarkan penghasilan riil yang diterima atau keadaan sebenarnya. 3) Stelsel Campuran Cara ini merupakan kombinasi antara kedua cara diatas dimana pada awal tahun pajak dan masa pajak berjalan besarnya pajak dihitung berdasarkan penghasilan tahun sebelumnya kemudian baru pada akhir tahun pajak besarnya pajak tahun tersebut disesuaikan dengan kenyataan yang sebenarnya. Bila hasil perhitungan pajak akhir tahun menunjukkan bahwa besarnya pajak yang harus dibayar lebih besar dari asumsi awal tahun maka WP harus membayar kekurangannya. Tetapi apabila kenyataan
16
menunjukkan sebaliknya maka kelebihan pembayaran pajak dapat diminta kembali. g. Sistem Pe mungutan Pajak 1) Self Assesment System Sistem pemungutan pajak dimana wewenang untuk menentukan besarnya pajak harus dibayar oleh wajib pajak terletak pihak wajib pajak yang bersangkutan. Dalam sistem ini wajib pajak bersifak aktif untuk menghitung, menyetor, melaporkan pajaknya sendiri, sedangkan fiskus hanya memberi penerangan, atau sebagai verifikasi. Sistem ini diterapkan dalam penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) Wajib Pajak Badan maupun Orang Pribadi, dan SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN). 2) Official Assesment System Sistem pemungutan pajak yang wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang terhutang oleh wajib pajak terletak pada fiskus atau aparat pemungut pajak. Dalam hal ini wajib pajak bersifat pasif karena utang pajak baru timbul setelah dikeluarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) oleh fiskus. Dan dalam hal ini wajib pajak bersifat pasif. Sistem ini diterapkan dalam hal pelunasan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dimana fiskus akan mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang terhutang setiap tahun.
17
3) Withholding System Sistem pemungutan pajak yang menyatakan bahwa pajak yang terhutang dihitung oleh pihak ketiga (yang bukan wajib pajak dan juga bukan aparat pemungut pajak/fiskus). Misalnya Pajak Penghasilan (PPh) 21 karyawan. 2. Pajak Penghasilan (PPh) a. Subjek Pajak Pasal 1 UU PPh menyebutkan bahwa PPh dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam tahun pajak atau bagian tahun pajak. Pasal 2 ayat (1) menyebutkan yang menjadi subjek pajak: 1) Orang Pribadi Orang Pribadi sebagai Subjek Pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun di luar Indonesia. Ini berarti pengenaan PPh didsarkan atas penerimaan atau perolehan penghasilan dari Indonesia oleh siapapun yang berada, bertempat tinggal, berlokasi dimanapun baik di Indonesia ataupun di luar Indonsesia. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak; Merupakan Subjek Pajak pengganti menggunakan NPWP dari WP orang pribadi yng meninggalkan warisan yang belum diselesaikan dan kewajiban pajak yang timbul atas warisan yang belum terbagi diwakili oleh: 1) Salah seoran ahli waris
18
2) Pelaksana wasiat; atau 3) Pihak yang mengurus harta peninggalan. Menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. Penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai Subje Pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan. 2) Badan Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah (BUMN/D) de nga nama dan dalam bentuk apapun. Firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi social olitik, atau organisasi sejenis, lembaga, Bentuk Usaha Tetap (BUT) dan bentuk badan lainnya termasuk perusahan reksadana baik yang berbentuk perseroan terbatas maupun bentuk lainnya. Dalam pengertian perkumpulan termasuk pula asosiasi, persatuan, perhimpunan, atau ikatan dari pihak-pihak yang mempunya kepentingan yang sama, sehingga seperti alumni, asosiasi, profesi, asosiasi industry termasuk kategori badan. Unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi criteria berikut tidak termasuk sebagai Subjek Pajak, yaitu:
19
Dibentuk
berdasarkan
peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku;
Dibiayai dengan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Daerah
Pnerimaan
lembaga
tersebut dimasukkan dalam anggaran
Pemerintah Pusat atau Daearah; dan
Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional
3) Bentuk Usaha Tetap Suatu BUT mengandung pengertian atau konsep adanya suatu tempat usaha (place of business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin- mesin dan peralatan. Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia. b. Objek PPh Pasal 4(1) Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh WP, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsums i atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. Pengertian penghasilan ini tidak memperhatikan adanya penghas ilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis.
20
Secara sederhana pengertian penghasilan menurut Undang-undang Pajak penghasilan seperti bagan berikut berikut: GAMBAR 2.1 PENGERTIAN PAJAK PENGHASILAN OBJEK PAJAK Pasal 4 ayat (1) PENGHASILAN
Setiap tambahan kemampuan ekonomis yang: Diterima atau diperoleh WP Berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia Dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan WP
DENGAN NAMA DAN DALAM BENTUK APAPUN
Sumber: Perpajakan di Indonesia Priantara, Diaz . Wajib Pajak cukup memperhatikan apa saja penghasilan yang menurut Undang-undang dikecualikan sebagai objek PPh.
Di luar yang
dikecualikan sebagai objek PPh berarti adalah objek PPh yang harus dipertanggungjawabkan pada SPT Tahunan PPh atau harus dipotong atau dipungut PPh.
21
GAMBAR 2.2 OBJEK PAJAK PENGHASILAN
Objek PPh Ps.4 (1)
Penghasilan
Tidak dikenakan PPh Final Ps.4(1) Dikenakan PPh Final Ps.4 (2)
Bukan Objek PPh Ps.4 (3)
Dilapor dalam SPT dihitung PPh nya dengan Tarif Ps.17
Dilaporkan dalam SPT, tidak dihitung PPh nya dengan tarif Ps.17
Sumber: Taxsys Brevet A&B
Cara pengenaan, penghitungan, pemotongan atau pemungutan, pelaporan PPh atas objek pajak berupa penghasilan dilakukan dengan dua cara yakni melalui PPh Final dan tidak Final. c. Objek PPh Final Pasal 4 (2) Pengenaan PPh secara Final mengandung arti bahwa atas penghasilan tertentu yang diterima atau diperoleh akan dikenakan PPh dengan tarif tertentu dan dasar pengenaan pajak tertentu pada saat penghasilan tersebut diterima atau diperoleh. Penghasilan yang dikenakan PPh Final maka pajak penghasilannya tidak lagi di hitung di SPT Tahunan, PPh final harus dikeluarkan atau dikecualikan dari penghasilan-penghasilan yang akan dikenakan PPh denga tarif umum. Dengan kata lain, PPh final yang sudah dipotong atau dibayar tersebut bukan merupakan kredit pajak di SPT Tahunan. Secara garis besar, pengenaan PPh Final sesuai ketentuan Pasal 4(2) UU PPh adalah sebagai berikut:
22
1) Penghasilan berupa bunga deposito dab tabungan lainnya, bunga obligasi dan sirat utang negara, dan bnga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi 2) Penghasilan berupa hadiah undian 3) Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivative yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan
modal pada perusahaan
pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura. 4) Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan bangunan dan 5) Penghailan tertentu lainnya yang diatur dengan Peraturan Pemerintah 3. Laporan Keuangan Kome rsial dan Laporan Keuangan Fiskal a. Definisi Laporan Keuangan Komersial dan Laporan Keuangan Fiskal Menurut Suandy (2011,h.81) Laporan keuangan komersial merupakan laporan keuangan yang disusun sesuai Standar Akuntansi Keuangan (SAK), yang bertujuan untuk menyediakan informasi keuangan yang bermanfaat bagi pengambilan keputusan bisnis dan ekonomi, khususnya informasi tentang prospek arus kas, posisi keuangan, kinerja usaha dan aktivitas investasi pendanaan dan operasi. Laporan keuangan fiskal adalah laporan yang disusun sesuai peraturan perpajakan dan digunakan untuk keperluan penghitungan pajak. Undang -undang tidak mengatur secara khusus bentuk dari laporan
23
keuangan fiskal, hanya memberikan pembatasan untuk hal- hal tertentu, baik dalam pengakuan penghasilan maupun biaya. Akibat dari perbedaan pengakuan ini menyebabkan laba akuntansi dan laba fiskal dapat berbeda. Secara umum, laporan keuangan disusun berdasarkan standar akuntansi keuangan, kecuali diatur secara khusus dalam undang-undang. Menurut Sophar Lombantoruan (1997:167), Laporan Keuangan Fiskal adalah laporan keuangan yang terdiri dari neraca, perhitungan laba rugi dan rinciannya. Laporan keuangan harus dilampirkan pada saat penyerahan Surat Pemberitahuan Pajak. Laporan keuangan fiskal terdiri dari perhitungan laba rugi dan neraca perusahaan, yang disusun sesuai dengan peraturan perpajakan. Oleh karena itu untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak suatu perusahaan, laporan keuangan komersial perlu dikoreksi sesuai dengan persyaratan- persyaratan fiskal. Perusahaan dapat menyusun laporan keuangan akuntansi (komersial) dan laporan keuangan fiskal secara terpisah atau melakukan koreksi fiskal terhadap laporan keuangan akuntansi (komersial). Laporan keuangan komersial yang direkonsiliasi dengan korekasi fiskal akan menghasilkan laporan keuangan fiskal b.
Hubungan Laporan Keuangan Komersial dan Laporan Keuangan Fiskal Laporan keuangan komersial dengan laporan keuangan fiskal memiliki peraturan masing- masing dalam menentukan penghasilan dan biaya. Jika laporan keuangan komersial disusun bedasarkan Standar Akuntansi Keuangan untuk memberikan informasi mengenai kinerja
24
perusahaan dalam jangka waktu tertentu, maka laporan keuangan fiskal disusun bedasarkan peraturan perpajakan yang digunakan untuk menghitung besarnya pajak yang harus dibayar, sehingga terjadi perbedaan antara laporan keuangan komersial dan laporan keuangan fiskal. Untuk
mencocokan perbedaan yang terdapat dalam laporan
keuangan komersial dan laporan keuangan fiskal perlu dilakukan rekonsiliasi fiskal. Ada dua cara untuk menyusun laporan keuangan fiskal. Pertama, pendekatan terpisah (separated approach) dimana wajib pajak membukukan segala transaksi berdasarkan prinsip pajak untuk menghitung PPh terutang dan bedasarkan prinsip akuntansi untuk keperluan komersial. Pendekatan kedua, extra-compatible approach dimana wajib pajak membukukan semua transaksi hanya bedasarkan prinsip akuntansi, kemudian pada akhir tahun wajib pajak melakukan koreksi terhadap laporan keuangna komersial tersebut agar sesuai dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan yang digunakan untuk menghitung PPh terhutang. Jadi laporan keuangan komersial terkait dengan laporan keuangan fiscal karena laporan keuangan komersial digunakan oleh wajib pajak sebagai dasar melakukan rekonsiliasi fiskal untuk menghasilkan laporan keuangan fiskal.
25
c. Persamaan akuntansi komersial dan akuntansi fiskal Menurut Erly Suandy (2003) , persamaan akuntansi komersial dan akuntansi fiskal adalah: 1) Aktiva/harta tetap yang memberikan manfaat lebih dari satu periode tidak boleh langsung dibebankan pada tahun pengeluarannya, tetapi harus dikapitalisir dan disusutkan sesuai dengan masa manfaatnya. 2) Aktiva atau harta yang dapat disusutkan adalah aktiva tetap, baik bangunan maupun bukan bangunan. 3) Tanah pada prinsipnya tidak disusutkan, kecuali jika tanah tersebut memiliki masa manfaat terbatas. Selain hal di atas, persamaan akuntansi pajak dan SAK adalah: 1) Menggunakan basis akrual 2) Menggunakan patokan harga perolehan d. Perbedaan akuntansi komersial dengan akuntansi fiskal Pada umumnya, perusahaan menyusun laporan keuangan yang berbeda antara laporan keuangan komersial dengan laporan keuangan yang dilampirkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang disampaikan ke Direktorat Jendral Pajak. Perbedaan tersebut tidaklah dimaksudkan untuk tujuan tertentu, seperti penyelundupan pajak, akan tetapi lebih cenderung kepada penyesuaian dengan ketentuan peraturan perundang undangan perpajakan. Salah satu alasan perbedaan antara akuntansi keuangan dengan akuntansi pajak, antara lain karena: tujuan akunta nsi keuangan adalah
26
pemberian informasi penting kepada para manajer, pemegang saham, pemberi kredit, serta pihak pihak yang berkepentingan lainnya dan merupakan tanggung jawab para akuntan untuk melindungi pihakpihak tersebut dari informasi yang menyesatkan. Sebaliknya, tujuan utama sistem perpajakan (termasuk akuntansi pajak) adalah pemungutan pajak yang adil dan merupakan tanggung jawab Direktorat Jenderal Pajak untuk melindungi para pembayar pajak dari tindakan semena mena. Sejalan dengan tujuan dan tanggung jawab tersebut di atas, prinsip yang dianut oleh akuntansi keuangan adalah prinsip konservatif, sehingga kemungkinan kesalahannya cenderung kepada understatement pelaporan penghasilan overstatement.
atas
asset
Disamping
nya
dibandingkan
perbedaan acuan
dengan
pelaporan
yang dianut dalam
penyusuna laporan keuangan untuk kepentingan perpajakan, dari sudut pandang 19 Direktorat Jenderal Pajak
laporan keuangan
yang
understatement tersebut tentunya tidak dapat digunakan sebagai dasar menetapkan pajak yang terutang. Menurut Gunadi (1997), penyebab perbedaan yang terjadi antara penghasilan sebelum pajak dengan penghasilan kena pajak dan secara potensial juga menyebabkan perbedaan antara Beban Pajak Penghasilan dengan Pajak Penghasilan terutang dapat dikategorikan dalam lima kelompok berikut ini: 1) Perbedaan permanen/tetap (Permanent differences)
27
2) Perbedaan
waktu/
sementara
(Timing
differences-Temporary
differences) Kompensasi kerugian (Operating loss carryforwards) 3) Kredit pajak investasi (Investment tax credit) 4) Alokasi pajak intra periode (Intra period tax allocation) Prinsip-prinsip yang menjadi fokus perbedaan orientasi antara pelaporan keuangan fiskal dan pelaporan keuangan komersial tampak seperti berikut: 1) Penetapan pendapatan dan beban Dalam akuntansi komersial, prinsip ini menghendaki pengakuan penghasilan
pada
saat
realisasi
transaksi
pertukaran
atau
pembebanan biaya atau beban dalam masa yang sama dengan pengakuan penghasilan. Walaupun pada prinsipnya, ketentuan perpajakan menggaris bawahi prinsip itu, kadangkala ketentuan perpajakan dapat menyimpang dari prinsip itu. Misalnya: (a) Perlakuan pembayaran kenikmatan karyawan sebagai beban pengurang penghasilan walaupun secara ekonomis pengeluaran itu merupakan
unsur
biaya
untuk
mendapatkan
penghasilan
perusahaan. (b) Penyusutan asset mulai pada tahun pengeluaran walaupun harta itu belum dimanfaatkan untuk mendapatkan penghasilan. (c) Imputasi penghasilan pada bentuk usaha tetap atas dasar force of attraction walaupun secara legal penghasilan itu tidak diperolehnya dan secara nyata tidak di catat dalam pembukuan BUT.
28
2) Konsistensi Konsistensi ini lebih menekankan pada penyandingan vertical (dari tahun ke tahun), misalnya terhadap berbagai kelompok persediaan menggunakan metode penilaian dan pembukuan yang berbeda. Pelaporan fiskal pada dasarnya juga menganut pandangan itu, namun dalam konteks konsepsional, ketentuan perpajakan dapat menentukan
lain,
misalnya
hasil pengakuan
operasi bisnis
mancanegara (dengan penolakan terhadap konsolidasi kerugian berdasarkan penjelasan pasal 4 UU PPh). 3) Konservatisme Laporan keuangan komersial bersifat konservatif terhadap suatu transaksi yang belum terjadi menjadi suatu fakta. Dalam praktik akuntansi sifat demikian direalisasikan dengan pembentukan penyisihan atas kemungkinan kerugian yang
mungkin diderita
(misal penghapusan piutang dan cadangan kerugian), tanpa pengakuan atas suatu klaim atau potensi keuntungan yang belum terealisasi. Dalam kasus itu, administrasi pajak kurang tertarik kepada estimasi dan angka-angka yang belum terjadi secara nyata, tetapi lebih cenderung untuk menganut realitas (keadaan nyata) dengan meneliti secara seksama tiap elemen pengurang basis pengenaan pajak. Pada jenis perusahaan tertentu (bank dan asuransi), penerapan
pendekatan
diperkenankan.
konservatif
secara
limitatif
dapat
29
4) Substansi mengesampingkan bentuk formal. Seperti laporan keuangan komersial, ketentuan perpajakan juga mengikuti pandangan yang lebih menitikberatkan kepada substansi (hakikat) ekonomis daripada bentuk formal tiap transaksi atau fakta bisnis. Namun, ketentuan pajak, dalam kasus tertentu (misalnya leasing), kadangkala mengutamakan bentuk formal dibandingkan dengan substansi ekonominya. Beberapa penyebab perbedaan laporan keuangan komersial dan fiskal itu antara lain sebagai berikut: (a) Perbedaan antara objek yang dianggap penghasilan menurut ketentuan perpajakan dan praktek akuntansi, misalnya kenikmatan dan natura 21 (benefit in kinds), intercompany dividen, pembebasan utang, dan penghasilan (BUT) karena atribusi force of attraction. (b)
Ketidaksamaan pendekatan penghitungan penghasilan, misalnya
link and match antara beban dan penghasilan, metode depresiasi, penerapan norma penghitungan, dan pemajakan dengan metode basis bruto atau neto. (c)
Pemberian keringanan yang lain misalnya rugi laba pelaporan
aktiva, penghasilan hibah, penghasilan tidak kena pajak, perangsang penanaman, dan penyusutan dipercepat. (d)
Perbedaan perlakuan kerugian misalnya kerugian mancanegara,
atau harta yang tidak dipakai dalam usaha.
30
Oleh karena itu perbedaan laporan keuangan komersial dan fiskal berpangkal pada adanya perbedaan tujuan yang pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan perhitungan laba usaha menurut SAK dan laba usaha menurut pajak. 4. Rekonsiliasi Laporan Keuangan Kome rsial ke Laporan Keuangan Fiskal a. Definisi Rekonsilasi (koreksi) Fiskal Menurut Agoes dan Estralita Trisnawati (2010,h.218) Rekonsiliasi (koreksi) fiskal adalah penyesuaian atas laba komersial yang berbeda dengan ketentuan fiskal untuk menghasilkan penghasilan neto/laba yang sesuai dengan ketentuan perpajakan. Menurut Muljono dan Baruni Wicaksono (2009,h.59) Koreksi fiskal adalah koreksi perhitungan pajak yang diakibatkan oleh adanya perbedaan pengakuan metode, masa manfaat, dan umur dalam menghitung laba secara komersial dengan secara fiskal. b. Koreksi Fiskal dan Rekonsiliasi Laporan Keuangan Laporan keuangan dan laba (rugi) yang disusun berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan perlu dilakukan koreksi atau penyesuaian fiskal. Bagan dibawah ini member contoh koreksi fiskal tersebut, yang didsarkan pada Pasal 6, Pasal 9 dan Pasal 11 Undang Undang Pajak Penghasilan. Tabel contoh koreksi fiskal (Lampiran.1) 5. UMKM Berpenghasilan Bruto Kurang dari Rp4.800.000.000 Bagi UMKM
dengan
penghasilan
bruto
setahun
kurang
dari
Rp4.800.000.000,00 maka penghasilan netonya dapat dihitung dengan
31
menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
Penghitungan
Penghasilan Neto dan pajak terutang dengan Norma Penghitungan Pengahasilan Neto adalah dengan cara mengalikan besarnya peredaran bruto dengan Persentase Norma Penghitungan. Wajib pajak Orang Pribadi diperkenankan menggunakan pencatatan. Dalam menghitung pajak yang perlu diperhatikan adalah tentang Keputusan Dirjen Pajak No.KEP-536/PJ./2000 tentang Norma Penghitungan WP Perseorangan yang mengklasifikasi domisili wajib pajak menjadi tiga daerah dengan persenatase penghitungan pengahsilan neto yang berbeda yaitu. (1) 10 ibu kota propinsi meliputi, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, Pontianak, Makasar, Menado, Medan, Palembang. (2) Kota Propinsi lainnya (3) Daerah lainnya. Mulai 1 Juli 2013 diberlakukan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan Bruto Tertentu. Peraturan ini diperuntukkan bagi Wajib Pajak orang pribadi dan Wajib Pajak Badan tidak termasuk Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang menerima penghasilan dari usaha tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan pekerjaan bebas dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 dalam satu tahun pajak maka dikenakan pajak bersifat final. Dalam pasal 3 ayat 1 dijelaskan tentang besarnya tarif pajak Pajak Penghasilan yang bersifat ini sebesar 1% (satu persen) dari peredaran bruto dari usaha dalam satu tahun dari tahun pajak terakhir sebelum tahun pajak
32
yang bersangkutan. Selanjutnya dalam pasal 4 ayat 1 dijelaskan tentang dasar pengenaan pajak yang digunakan adalah jumlah peredaran bruto setiap bulan. Apabila
omzet
kumulatif
pada
suatu
bulan
telah
melebihi
Rp4.800.000.000,00 dalam satu tahun pajak, maka tetap dikenai tarif pajak bersifat final tarif 1% sampai dengan akhir tahun pajak yang bersangkutan. Selanjutnya untuk tahun pajak berikutnya dikenai tarif Pajak Penghasilan sesuai dengan Undang Undang yaitu dengan tarif pajak berlapis. Pokok-pokok penting dalam Peraturan Pemerintah No.46 Tahun 2013 yakni atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final. Berikut adalah Wajib Pajak yang dimaksud, antara lain : a. Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak termasuk bentuk usaha tetap; dan b. Menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak. Tidak termasuk Wajib Pajak orang pribadi adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa ya ng dalam usahanya: a. menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang menetap maupun tidak menetap; dan
33
b.
menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan. Dalam PP No. 46 menjelaskan tidak semua Wajib Pajak Badan yag
memiliki usaha dan memperoleh penghasilan bruto tertentu terkena tarif 1% ini. Berikut adalah Wajib Pajak Badan yang tidak termasuk dalam kriteria, antara lain: a. Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial; atau b. Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
C. Penelitian Sebelumnya Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Etha Yunny Agustina Butar Butar mengenai penerapan PP nomor.46 tahun 2013 pada UMKM studi kasus CV Lestari Malang. Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah data sekunder. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Hasil penelitiannya menyimpulkan Perusahaan belum melakukan perhitungan PPh badan dengan benar karena adanya penerapan ketentuan baru. Penelitian yang dilakukan oleh Eunike Jacjlyn Susilo (2013) mengenai Pemahaman Wajib Pajak terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2013, studi kasus wajib pajak yang terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Palembang Ilir Barat. Dalam penelitian ini data yang digunakan
34
adalah data sekunder. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif analisis kualitatif. Hasil penelitiannya menyimpulkan Pemahaman wajib pajak mengenai Peraturan Pemerintah No.46 Tahun 2013 masih minim. Pembayaran pajak para pelaku UMKM belum maksimal.
Penelitian yang dilakukan oleh Raditha Kharisma (2013) mengenai Pengaruh Peraturan Peraturan Nomor 46 tahun 2013 terhadap kelangsungan usaha mikro kecil menengah. Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode analisis yuridis normatif. Hasil penelitiannya menyimpulkan Dampak negative memberatkan
pelaku UMKM karena tidak mencerminkan
kemampuan membayar wajib pajak. Dampak Positif memudahkan pembayaran pajak
Penelitian yang dilakukan oleh Raditha Kharisma (2013) mengenai penerapan akuntansi pajak atas PP No.46 tahun 2013 tentang PP h atas penghaslan dari usaha Wajib Pajak yang memilki peredaran bruto tertentu. Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode deskriptif. Hasil penelitiannya menyimpulkan Kebijakan PP No.46 menguntungkan Wajib Pajak yang tergolong usaha mikro dan menengah dan keraguan berbagai kalangan bahwa diterapkannya PP no.46 ini akan menjebak perlakuan akuntansi para wajib pajak tidak terbukti.
35
TABEL 2.1 PENELITIAN SEBELUMNYA Metode Analitis
Peneliti
1
Etha Yuny Agustina Butar Butar (Universitas Brawijaya)
PENERAPA N PPNO.46 TAHUNN 2013 PADA UMKM (Studi Kasus Pada CV. Lestari Malang)
PP no mor.46 UMKM
Deskriptif Kualitatif
2
Eunike Jacklyn Susilo) Betri Sirajuddin, S.E., M.Si., A k., CA
PEMAHAMAN WAJIB PAJAK TERHADAP PERATURA N PEM ERINTAH NOMOR 46 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK UKM (Studi Kasus Pada Wajib Pajak yang Terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Palembang Ilir Barat) PENGA RUH PELA KSA NAAN PERATURAN PEM ERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOM OR 46 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK PENGHASILAN TERHADAP KELANGSUNGAN USAHA M IKRO KECIL DA N MENENGAH (UMKM )
Peraturan Pemerintah No mor 46
penelitian kualitatif
3
4
5
Raditha Kharis ma UNIVERSITAS JEM BER
Judul
Vari abel Penelitian
No
Pajak UKM.
1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No mor 46 Tahun 2013 2. Kelangsu ngan Usaha
yuridis normative
Deskriptif
I Putu Gede Diat mika (Universitas Pendidikan Ganesha)
PENERAPA N AKUNTANSI PAJAK ATAS PP NO.46 TAHUN 2013 TENTANG PPh ATAS PENGHA SLAN DA RI USAHA WAJI PAJAK YANG MEMILKI PEREDA RAN BRUTO TERTENTU
Akuntansi Pajak
Universitas Mercubuana
ANALISIS LAPORAN KEUA NGA N FISKA L UNTUK M ENENTUKAN PAJAK PENGHASILAN (STUDI KASUS PADA LAPORAN EUANGAN PT ABC TAHUN 2011)
Laporan Kuangan Fiskal
Sumber: Data olahan penulis
Perhitungan PPh Badan JanJun belum sesuai dengan UU PPh Perhitungan PPh Juli-Des telah sesuai dengan PP No.46 tahun 2013 Pemahaman wajib pajak mengenai Peraturan Pemerintah No.46 Tahun 2013 masih min im. Pembayaran pajak para pelaku UMKM belu m maksimal Dampak negative memberatkan pelaku UMKM karena Tidak mencerminkan kemampuan membayar wajib pajak. Dampak Positif memudahkan Pembayaran Pajak
PP no mor 46 Tahun 2013
Pajak Penghasilan
Hasil Penelitian
deskriptif kuantitatif
Kebijakan PP.46 menguntungkan Wajib Pajak yang tergolong usaha mikro dan menengah dan keraguan berbagai kalangan bahwa diterapkannya PP no.46 ini akan menjebak perlakuan akuntansi para wajib pajak tidak terbukti. Beberapa akun Laporan Laba Rugi t idak d ikoreksi sesuai dengan Peraturan perundang-undangan sehingga masih terdapat kekurangan pembayaran PPh Terutang.
36
D. Kerangka Pe mikiran Dalam penelitian ini penulis berusaha untuk memberikan gambaran hasil proses penelitian dengan teknik pengumpulan data. Pengumpulan data ini dapat berupa riset kepustakaan yaitu memperoleh dari buku-buku, literatur – literatur, internet atau sumber-sumber lain yang berhubungan dengan skripsi ini, juga dilakukan riset lapangan yaitu dengan pengumpulan data-data dan informasi secara langsung dari perusahaan yang akan dijadikan objek penelitian. Pokok yang dibahas yaitu Analisa perhitungan penghasilan akhir tahun atas Peraturan Pemerintah nomor 46 tahun 2013. Dalam hal ini dapat dilihat pada gambar 2.3. GAMBAR 2.3 KERANGKA PEMIKIRAN PP.46
Lap. Keuangan Komersial
Lap. Keuangan Fiskal Tarif
Pajak Terutang Sumber: Data Olahan Penulis