BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Dasar Teori Aerodinamika Helikopter
2.1.1 Airfoil Airfoil adalah suatu potongan dua dimensi, sayap pesawat atau bilah
helikopter, yang menghasilkan gaya aerodinamika ketika berinteraksi dengan aliran fluida bergerak. Sekalipun banyak rancangan airfoil yang berbeda pada
bilah helikopter, pada kebanyakan kondisi terbang, semua airfoil bekerja dengan cara yang sama.[2] Pada gambar 2.1 dapat dilihat terminologi dari airfoil.
Gambar 2.1 Terminologi airfoil (Sumber: Cavcar (2003: 1)) a. Chord Line
Garis lurus yang menghubungkan antara leading edge dengan trailing edge. b. Chord
Jarak antara leading edge dengan tariling edge. c. Mean Camber Line
Garis yang membagi airfoil antara upper surface dan lower surface sama besar. II-1
II-2
d. Maximum Camber
Jarak maksimum camber dari chord line.
e. Leading Edge
Radius kelengkungan pada sisi depan airfoil. f. Trailing Edge
Sisi bagian belakang pada airfoil.
g. Thickness
Jarak maksimum antara lower surface dengan upper surface.
2.1.1.1 Angin Relatif Angin relatif dihasilkan oleh gerak airfoil di dalam udara, oleh gerak udara mengalir disepanjang airfoil, atau oleh gabungan keduanya. Angin relatif dapat dipengaruhi oleh bebearpa faktor, meliputi rotasi dari bilah rotor, gerak horizontal dari helikopter, gerak flapping dari bilah rotor, serta kecepatan dan arah angin. Untuk helikopter, angin relatif adalah aliran udara yang mengacu pada bilah rotor. Jika rotor berhenti, hembusan angin melalui bilah menghasilkan angin relatif. Ketika helikopter sedang hover dalam kondisi tanpa angin, angin relatif dihasilkan oleh gerak rotor. Ketika helikopter sedang terbang maju, angin relatif adalah kombinasi dari putaran rotor dan kecepatan maju helikopter.[3] Berikut gambar 2.2 yang mengilustrasikan angin relatif.
Gambar 2.2 Angin relatif (Sumber: Macado (2011))[4]
II-3
2.1.1.2 Sudut Pitch Bilah
Sudut pitch dari bilah rotor adalah sudut antara garis chord dan bidang
acuan yang memuat penghubung rotor. Sudut pitch bilah dapat diatur dengan
kendali terbang. Sudut pitch kolektif mengubah setiap sudut bilah dengan besar
pitch yang sama tidak peduli dimana lokasinya di bidang putar (piringan rotor)
dan digunakan untuk mengubah gaya dorong rotor. Kendali siklus pitch (cyclic pitch) mengubah sudut pitch bilah sebagai fungsi dari lokasi bilah di bidang putar. Ini membuat keseimbangan (trim) helikopter dalam modus pitch dan roll selama terbang maju dan manuver di semua kondisi terbang. Berikut gambar 2.3 yang
mengilustrasikan sudut pitch bilah.
Gambar 2.3 Sudut pitch bilah (Sumber: Federal Aviation Administration (2003: II-2))
2.1.1.3 Sudut Serang Sudut serang adalah sudut yang terbentuk antara chord dengan angin relatif. Ketika sudut serang naik, udara berhembus melalui airfoil dibelokkan melalui lintasan yang lebih panjang, menghasilkan kenaikan kecepatan udara dan tambahan gaya angkat. Seiring terus naiknya sudut serang, maka aliran udara menjadi sulit untuk mengalir halus di atas airfoil. Pada titik ini aliran udara mulai lepas dari airfoil dan memasuki bentuk acak atau turbulent. Turbulent menyebabkan kenaikan besar pada gaya hambat dan hilangnya gaya angkat di
II-4
daerah turbulent. Kenaikan sudut serang menaikkan gaya angkat sampai harga kritis tercapai. Setiap kenaikan sudut serang di atas titik ini menghasilkan stall
dan penurunan drastis gaya angkat.
Sudut serang ditentukan oleh arah angin relatif terhadap garis chord,
sementara sudut pitch ditentukan antara garis chord dengan bidang putar rotor. Karena ada satu parameter acuan yang sama (garis chord) maka perubahan sudut pitch menyebabkan perubahan sudut serang. Jika sudut pitch bilah naik maka sudut serang juga naik, sebaliknya jika sudut pitch bilah turun maka sudut serang juga turun. Karena itu, sudut serang juga dapat diatur melalui perubahan pitch
dengan kendali terbang. Pada gambar 2.4 menjelaskan perbedaan sudut serang dan sudut pitch bilah.
Gambar 2.4 Perbedaan sudut serang dan sudut pitch bilah (Sumber: Federal Aviation Administration (2003: II-2))
2.1.2 Bilangan Reynold (Reynold Number) Merupakan besaran yang sangat erat hubungannya dengan aliran udara yang melalui sayap. Bilangan Reynold pada prinsipnya merupakan perbandingan gaya inersia terhadap sifat viskositas suatu aliran fluida yang dalam hal ini adalah udara. Bilangan ini tidak memiliki dimensi dan digunakan untuk menyatakan kondisi aliran udara yang melalui sebuah benda.
II-5
Rumus bilangan Reynold:
Re =
Keterangan:
Re = Bilangan Reynold = massa jenis udara
V = kecepatan aliran udara
= panjang Benda
= koefisen viskositas aliran fluida Bilangan Reynold kurang dari 5×105 adalah aliran udara laminar,
sedangkan bilangan Reynold
untuk aliran udara turbulent sebesar lebih dari
5×105 bilangan Reynold.
2.1.3 Gaya-Gaya Yang Bekerja Pada Helikopter 2.1.3.1 Gaya Angkat Gaya angkat (lift) adalah gaya yang melawan dari gaya berat (weight), dan dihasilkan oleh efek dinamis dari udara yang beraksi di sayap, dan beraksi tegak lurus pada arah penerbangan melalui aerodynamic center dari sayap. Pernyataan ini dapat ditulis dalam bentuk persamaan:
L= .. .S
Keterangan: = densitas udara (kg/ ) V= kecepatan aliran udara (m/s)
= koefisien lift
S= luas area yang terbasahi oleh aliran udara ( )
II-6
A. Prinsip Bernoulli
Udara yang mengalir di permukaan atas dipercepat. Airfoil saat ini bekerja
melalui bagian yang menyempit pada tabung venturi, tekanan turun.
Bandingkan permukaan atas airfoil dengan bagian menyempit di tabung
venturi yang menyempit di bagian tengah dibanding di akhir. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 2.5.
Gambar 2.5 Permukaan atas airfoil serupa dengan penyempitan (kerutan) pada tabung venturi (Sumber: Federal Aviation Administration (2003: II-4)) B. Hukum Newton III Gaya angkat tambahan juga diberikan oleh permukaan bawah bilah rotor ketika udara ditumbuk sehingga mengalir ke bawah. Mengacu pada hukum Newton III, yaitu tentang aksi-reaksi, maka udara yang ditumbuk ke bawah juga memberikan gaya berlawanan (ke atas). Karena udara mirip dengan air, maka penjelasan dari sumber gaya angkat ini dapat dibandingkan dengan kondisi planing (meluncur) ski air. Gaya angkat yang menahan ski air (dan altletnya) adalah gaya yang terjadi dari tekanan impact dan defleksi air di permukaan bawah ski. Pada sebagian besar kondisi terbang, tekanan impact dan defleksi udara di permukaan bawah bilah rotor sangatlah kecil dibandingkan gaya angkat total. Gaya angkat terutama ditimbulkan oleh turunnya tekanan di permukaan atas,
II-7
ibanding naiknya tekanan di permukaan bawah. Agar lebish jelasnya pernyataan diatas dapat diilustrasikan pada gambar 2.6.
Gambar 2.6 Gaya yang terjadi pada kondisi terbang
2.1.3.2 Gaya Berat Gaya berat (weight) adalah kombinasi berat dari muatan pesawat itu sendiri, awak pesawat, bahan bakar, dan kargo atau bagasi. Weight menarik pesawat ke bawah karena gaya gravitasi. Weight melawan lift (gaya angkat) dan beraksi secara vertikal ke bawah melalui center of gravity dari pesawat. Normalnya, gaya berat telah diketahaui nilainya, misalnya berat helikopter, bahan bakar dan muatan. Untuk mengangkat helikopter lepas landas vertikal, sistem rotor harus dapat menghasilkan gaya angkat yang cukup untuk melawan gaya berat totalnya. Ini dapat dilakukan dengan menaikkan sudut pitch bilah rotor.
II-8
Berat helikopter juga dipengaruhi oleh beban aerodinamis. Ketika
load-
factor naik. Load factor adalah perbandingan dari gaya yang dihasilkan rotor terhadap berat total. utama
2.1.3.3 Gaya Dorong
Gaya dorong (thrust) adalah gaya yang dihasilkan oleh mesin atau
propeller. Gaya ini kebalikan dari gaya tahan (drag). Sebagai aturan umum, thrust
beraksi pararel dengan sumbu longitudinal. Gaya dorong helikopter, seperti halnya gaya angkat, dibentuk oleh rotor utama. Arah gaya dorong bisa ke depan, belakang, samping atau vertikal. Gabungan dari gaya angkat dan gaya dorong menunjukkan arah terbang helikopter. Soliditas adalah rasio antara luas total permukaan bilah (penjumlahan luas semua bilah) terhadap luas piringan rotor (rotor-disc). Besaran ini penting untuk menentukan gaya dorong yang dapat dihasilkan oleh rotor utama. Rotor ekor juga menghasilkan gaya dorong berfungsi menjaga kestabilan direksional, dan untuk mengatur gerak yaw. Ini dilakukan dengan menggunakan kendali pedal (yang mengatur sudut pitch dari bilah di rotor ekor).
2.1.3.4 Gaya Hambat Gaya yang menahan gerak helikopter di udara adalah gaya hambat. Gaya ini selalu sejajar dengan angin relatif. Gaya hambat terdiri atas: gaya hambat profil, imbas, dan parasit. Masing-masing gaya hambat tersebut akan dibahas berikut ini:
II-9
A. Gaya Hambat Profil (Profile Drag)
Profile drag terbentuk dari gaya gesekan udara di permukaan benda dan
dari turbulen yang terbentuk di belakang benda. Gaya ini tidak berubah (besar)
terhadap perubahan sudut serang, tetapi berubah seiring kenaikan kecepatan
aliran. Profile drag terdiri atas form drag dan friction drag. Form drag terbentuk dari turbulen di belakang benda, karena pelepasan
aliran. Besarnya gaya hambat ini tergantung dari ukuran dan bentuk benda.
Friction drag terbentuk dari gesekan antara aliran udara dengan
permukaan airfoil, dengan kata lain disebabkan kekasaran permukaan airfoil
(meskipun permukaan airfoil terlihat licin secara kasat mata, namun sebenarnya kasar jika ditinjau secara mikroskopik). Adanya gesekan udara dengan permukaan yang kasar ini terwujud dalam bentuk daerah batas (boundary layer ). Pada Gambar 2.7 dapat dilihat bahwa aliran udara melalui berbagai jenis bentuk. Tiap bentuk memiliki harga gaya hambat yang berbeda akibat bentuk aliran yang dihasilkan disebabkan bentuk benda.
Gambar 2.7 Aliran udara melalui berbagai jenis bentuk (Sumber: Federal Aviation Administration (2003: II-5))
B. Gaya Hambat Imbas (Induced Drag) Gaya hambat imbas, atau induced drag terbentuk dari gaya angkat total. Komponen gaya angkat total yang searah dengan angin relatif adalah gaya hambat imbas. Pembentukan gaya hambat imbas adalah dari komponen gaya angkat total. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada gambar 2.8.
II-10
Gambar 2.8 Pembentukan gaya hambat imbas (Sumber: Federal Aviation Administration (2003:II- 6))
C. Gaya Hambat Parasit (Parasite Drag) Gaya hambat parasit adalah gaya hambat yang ditimbulkan oleh semua komponen helikopter, selain komponen penghasil lift. Misalnya kabin, tiang rotor, dan landing gear menyebabkan gaya hambat parasit. Gaya hambat ini bertambah seiring bertambahnya kecepatan terbang.
D. Gaya Hambat Total Gaya hambat total adalah gabungan dari ketiga jenis gaya hambat. Seiring naiknya kecepatan, parasite drag naik, induced drag turun dan profile drag cenderung tetap. Apabila kurva ketiganya dijumlahkan, maka terbentuk kurva gaya hambat total. Pada suatu kecepatan tertentu, total drag menjadi minimum. Pada titik ini helikopter mencapai puncak prestasi terbang, yaitu disebut titik L/Dmax. Kurva gaya hambat total, merupakan gabungan dari profile drag, induced drag, dan parasite drag yang digambarkan terhadap kecepatan. Terlihat pada
gambar 2.9.
II-11
Gambar 2.9 Kurva gaya hambat total (Sumber: Federal Aviation Administration (2003: II-5))
2.1.4 Terbang Mengambang (Hovering Flight) Pada bahasan tentang hover , kita gunakan batasan standar yaitu tidak ada angin. Selama terbang hover (mengambang), helikopter menjaga posisinya pada suatu titik, biasanya beberapa meter di atas tanah. Pada saat hover , gaya angkat dan gaya dorong bekerja lurus ke atas, sementara gaya berat dan gaya hambat bekerja lurus ke bawah dapat dilihat pada gambar 2.10. Selama hover , tinggi terbang dapat diatur dengan mengatur gaya dorong rotor utama. Gaya dorong rotor utama ini dapat diatur dengan mengatur/mengubah sudut serang, yang dilakukan dengan mengatur power sesuai kebutuhan. Dalam kasus ini gaya dorong bekerja searah dengan gaya angkat. Gaya berat yang harus diangkat adalah gaya berat total helikopter berikut muatannya. Jika jumlah gaya dorong lebih besar dari gaya berat, maka helikopter akan bertambah ketinggiannya, sebaliknya jika kurang dari gaya berat, maka helikopter berkurang ketinggiannya. Gaya hambat yang terjadi sebagian besar adalah induced drag, yang terjadi sebagai imbas dari timbulkan gaya angkat. Selain itu, gaya hambat profil juga terjadi karena gerak bilah berputar di udara. Dalam bahasan ini, kata drag (gaya hambat) selanjutnya mengacu pada gaya hambat induced plus gaya hambat profil. Konsekuensi terbentuknya gaya dorong akibat putaran rotor adalah torsi. Ketika rotor berputar berlawanan jarum jam, maka timbul torsi di badan helikopter dalam arah searah jarum jam. Besarnya torsi sebanding dengan
II-12
besarnya daya yang digunakan memutar rotor. Ingat bahwa daya putar sebanding dengan torsi.
Gambar 2.10 Gaya angkat dan gaya dorong bekerja lurus ke atas, gaya berat dan gaya hambat bekerja lurus ke bawah (Sumber: Federal Aviation Administration (2003: III-1))
2.1.5 Ketidaksimetrisan Gaya Angkat (Dissymmetry of Lift) Ketika helikopter terbang maju di udara, aliran udara relatif di sisi maju (advancing side) berbeda dengan di sisi mundur (retreating side). Angin relatif di sisi maju kecepatannya naik oleh kecepatan maju helikopter, sementara angin relatif di sisi mundur kecepatannya turun oleh kecepatan maju helikopter. Karenanya, akibat dari perbedaan ini adalah gaya angkat di sisi maju lebih besar dibanding di sisi mundur. Peristiwa ini disebut sebagai ketidak simetrisan gaya angkat (dissymmetry of lift). Jika kondisi ini dibiarkan, maka pada helikopter yang putaran rotornya berlawanan jarum jam akan mengalami roll ke kiri, karena gaya angkat sisi kanan lebih besar dari sisi kiri. Pada kenyataanya, bilah rotor dapat mengepak (flap) dan feather secara otomatis untuk menjaga keseimbangan gaya angkat di piringan
rotor. Pada rotor dengan artikulasi penuh, biasanya terdiri dari 3 atau lebih bilah, memiliki engsel horisontal (engsel flap) yang membuat setiap bilah dapat mengepak ke atas atau ke bawah. Pada rotor dengan sistem semi rigid, terdapat teetering hinge yang membuat bilah mengepak ke atas atau ke bawah seperti
jungkat-jungkit. Seperti terlihat pada gambar 2.11, ketika bilah rotor mencapai sisi
II-13
maju (A), dia mencapai kecepatan kepak ke atas maksimum. Ketika bilah mengepak ke atas, maka sudut antara garis chord dengan angin relatif total
menjadi berkurang. Ini mengurangi sudut serang yang berakibat mengurangi gaya angkat yang dihasilkannya. Pada posisi (C), bilah mencapai kecepatan kepak ke
bawah maksimum, sehingga sudut serangnya bertambah. Akibatnya gaya angkat yang dihasilkan bertambah.
Gambar 2.11 Gabungan antara kepak ke atas (menurunkan lift) dan kepak ke bawah (menaikkan lift), menyeimbangkan gaya angkat di piringan rotor untuk mengatasi disimetris gaya angkat. (Sumber: Federal Aviation Administration (2003: III-7))
2.2 Helikopter Coaxial Coaxial rotor pada umumnya memiliki kelebihan, membuat agar
penerbangan lebih stabil. Ketika merancang sebuah helikopter rotor tunggal, perancang harus memastikan bahwa torsi yang dihasilkan oleh rotor utama diimbangi oleh rotor ekor. Jika tidak, tubuh pesawat akan berputar berlawanan dengan arah rotasi dari situasi rotor hal ini sangat penting dan berbahaya. Dalam desain coaxial, rotor ditumpuk berubah dalam arah yang berlawanan, menghilangkan torsi satu sama lain untuk menghasilkan kondisi penerbangan stabil.[5] Menurut Kasjanikov dalam Coleman (1997: 12)[13] fitur helikopter coaxial lebih efisien dibanding single rotor pada saat hovering karena helikopter coaxial tidak menggunakan tail rotor dan memiliki aerodinamika yang sama.
II-14
Besaran efisiensi berhubungan dengan efek dari rotor. Penambahan efektifitas pada area cakram disebabkan oleh aliran udara yang tidak terganggu dan hal
tersebut dapat mengurangi gelombang udara yang berulak. Penjelasan di atas terlihat pada gambar 2.12.
Gambar 2.12 Ilustrasi penambahan efektifitas pada helikopter coaxial (Sumber: Coleman (1997: 12))
II-15
A. Kelebihan Helikopter Coaxial 1.
Rendahnya Berat kosong Rendahnya berat kosong pada helikopter coaxial disebabkan karena
helikopter coaxial tidak menggunakan tailboom pada fuselage dan juga
sederhananya transmisi dari helikopter coaxial yang sederhana hal ini disebabkan karena helikopter coaxial tidak perlu menggunakan transmisi untuk mengatur putaran tail rotor. 2.
Kesederhanaan Pada Sistim Rotor Pada helikopter coaxial memiliki kesederhanaan sistem kendali rotor
dikarenakan pada sistem kendali rotor helikopter coaxial tidak perlu menggunakan perangkat mekanika penyetabil.
3.
Efisiensi Aerodinamika Pada kontra rotasi yang dimiliki coaxial rotor memiliki pengurangan
power yang lebih kecil dibandingkan single rotor. Dikarenakan pada helikopter coaxial dapat menghilangkan ketidakseragaman gaya angkat.
B. Kelemahan Helikopter Coaxial Kelemahan helikopter coaxial adalah perlunya penambahan mekanika yang lebih kompleks untuk rotor hub.
2.3 Dasar Perancangan Helikopter Sistem Rotor Sistem rotor pada helikopter adalah sebagai berikut: a. Sistem Fully Articulated (Sistem Artikulasi Penuh) Pada sistem artikulasi penuh, setiap bilah terpasang melalui beberapa rangkaian engsel, seperti tampak pada gambar 2.13. Engsel-engsel ini menyebabkan tiap bilah dapat bergerak bebas satu sama lain. Sistem artikulasi penuh umumnya terdiri atas tiga bilah atau lebih.
II-16
Engsel
horisontal,
disebut
sebagai
flapping-hinge
(engsel-kepak),
menyebabkan bilah dapat bergerak ke atas dan ke bawah. Gerakan ini disebut
sebagai flapping (kepakan) dan dirancang untuk mengimbangi ke-taksimetris-an gaya angkat.
Gambar 2.13 Sistem artikulasi penuh (Sumber: Federal Aviation Administration (2003: V-4)) Setiap bilah pada sistem artikulasi penuh dapat melakukan feather , flap dan drag (lead/lag) secara bebas satu sama lain. Engsel kepak dapat dibuat pada jarak tertentu dari pusat rotor, dan dapat dibuat lebih dari satu engsel. Engsel vertikal, disebut sebagai lead/lag-hinge atau drag-hinge (engselmaju/mundur atau engsel-hambat), membuat bilah dapat bergerak maju dan mundur. Gerakan ini disebut sebagai lead/lag atau drag atau hunting. Untuk mengatasi gerak maju dan mundur bilah yang berlebihan maka digunakan dampers (peredam). Kegunaan engsel-hambat dan damper ini adalah untuk
mengimbangi terjadinya perlambatan atau percepatan karena efek Coriolis. Setiap bilah juga dapat bergerak feather , yaitu berputar pada sumbu span. Gerak feather berarti mengubah sudut pitch bilah. Dengan mengubah sudut pitch bilah, maka besar gaya angkat dan arah bidang putar rotor juga dapat berubah.
b. Sistem Semi-Rigid Pada sistem semi-rigid, teetering hinge menyebabkan bilah dapat mengepak sebagai satu kesatuan. Sistem rotor utama semi-rigid biasanya terdiri atas dua bilah yang terpasang kaku pada pusat/penghubung rotor. Pusat rotor
II-17
dapat bergerak miring dengan bebas terhadap poros rotor pada engsel yang disebut teetering-hinge. Ini membuat bilah dapat mengepak bersamaan sebagai
sebuah unit. Ketika bilah yang satu mengepak ke atas, maka bilah yang lain mengepak ke bawah. Karena tidak ada engsel hambat (engsel vertikal), maka gaya
maju/mundur diredam oleh tekukan bilah. Pada sisi atas terdapat static-stop untuk mencegah getaran yang berlebihan dari kepakan bilah ketika bilah dihentikan. Untuk lebih jelas lihat gambar 2.14.
Gambar 2.14 Sistem semi-rigid (Sumber: Federal Aviation Administration (2003: V-5))
c. Sistem Rigid Pada sistem rigid, bilah, penghubung dan tiang rotor terpasang kaku satu sama lain. Tidak ada engsel horisontal maupun vertikal sehingga bilah tidak dapat melakukan kepakan atau maju/mundur, tetapi dapat melakukan feathering. Gaya kepak dan maju/mundur diserap oleh tekukan bilah.
d. Perakitan Swash-Plate Kegunaan dari swash-plate adalah untuk mengirimkan input kendali dari kendali kolektif dan siklik ke bilah rotor utama. Ini terdiri dari dua bagian utama: stationary swash-plate dan rotating swash-plate. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada gambar 2.15.
II-18
Gambar 2.15 Swash-plate (Sumber: Federal Aviation Administration (2003: V-6)) Kendali input Kolektif dan siklik ditransmisikan ke plat berdebur statik
oleh batang kendali, menyebabkan ia miring atau bergeser vertikal. Pitch-link yang terpasang pada piringan berdebur berputar ke pitch-horn pada hub rotor mengirimkan pergerakan ini ke bilah. Pelat berdebur diam dipasang di sekitar tiang rotor utama dan terhubung dengan kendali siklik dan kolektif dengan serangkaian pushrods. Pelat ini bertahan tidak berputar tetapi mampu miring ke segala arah dan bergerak secara vertikal. Swash-plate berputar dipasang pada swash-plate diam dengan menggunakan bantalan/bearing dan dapat berputar bersama tiang rotor. Kedua swash-plate ini bergerak miring atau bergeser ke atas dan ke bawah sebagai satu
unit. swash-plate berputar tersambung ke pitch-horn oleh pitch.
e. Sistem Campuran Sistem rotor modern dapat berupa gabungan prinsip-prinsip sistem rotor yang disebutkan di atas. Beberapa hub rotor menggunakan hub fleksibel, yang memungkinkan untuk tekukan bilah tanpa memerlukan bantalan atau engsel. Sistem ini disebut flextures, biasanya dibuat dari bahan komposit. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 2.16.
II-19
Gambar 2.16 Contoh sistem rotor campuran (eurocopter starflex dan bell soft-inplane) (Sumber: Federal Aviation Administration (2003: V-5))
2.3 CFD Fluent Computional Fluid Dynamics (CFD) merupakan salah satu cara
penggunaan computer untuk menghasilkan informasi tentang bagaimana aliran fluida. CFD menggabungkan berbagai ilmu dasar teknologi diantaranya matematika, ilmu computer, teknik dan fisika. Semua ilmu disiplin tersebut digunakan untuk pemodelan atau stimulasi aliran fluida. (Kholaas (2011: II18)).[6] Dalam penggunaan CFD, banyak keuntungan yang akan didapatkan. Salah satunya adalah kemudahan dalam hal mendapatkan informasi dari analisa yang mempunyai tingkat kerumitan yang tinggi bila dilakukan secara manual, juga mendapatkan pemahaman lebih dalam mengenai karakteristik aliran fluida dengan melihat hasil berupa grafik, kontur, bahkan animasi. Prinsip CFD adalah menggunakan metode penghitungan (numeric) yang mengkhususkan pada fluida, dimana sebuah control dimensi, luas, serta volume
II-20
dengan memanfaatkan komputasi computer maka dapat dilakukan perhitungan pada tiap-tiap elemennya.
Pada pengerjaan Tugas Akhir ini, penulis menggunakan perangkat lunak
Autodesk Inventor Professional 2010 dan GAMBIT (Geometry And Meshing
Building Intelligent Toolkit) sebagai alat bantu untuk membuat model CFD serta
software Fluent sebagai program untuk melakukan Computional Fluid Dynamics sehingga dapat mempermudah menganalisa sifat aerodinamika serta melakukan
simulasi aliran fluida yang terjadi pada helikopter coaxial BASTER B-3119. Simulasi aliran dilakukan dengan tujuan mendapatkan gambaran akan pola aliran
dan kondisi fluida yang terjadi. Berikut ini adalah urutan yang dilakukan pada proses CFD. Proses CFD tersebut dapat dilihat pada gambar 2.17.
Gambar 2.17 Urutan yang dilakukan pada proses CFD