BAB II LANDASAN TEORI
2.1
PLASTIK Sejak tahun 1960-an, penggunaan plastik mulai menggantikan posisi
material lain seperti logam dan keramik pada berbagai aspek kehidupan. Ringan, murah, dapat didaur ulang, dan mudah dibentuk adalah beberapa sifat dasar plastik yang menjadi alasan penggunaannya. Seringkali istilah polimer tertukar dengan plastik. Sebenarnya, yang dimaksud polimer merupakan suatu molekul panjang yang terdiri atas ribuan unit yang berulang. Sedangkan plastik adalah suatu material rekayasa yang struktur molekulnya memiliki komposisi yang rumit, dengan sengaja diatur untuk memenuhi aplikasi-aplikasi spesifik yang diinginkan. Atau dengan kata lain: PLASTIK = POLIMER + ADITIF Polimer secara umum tersusun dari atom unsur karbon, oksigen, dan hidrogen. Sehingga secara morfologi, polimer dapat digambarkan
sebagai
sekumpulan mie atau rantai yang bergerak dengan konstan. Polimer ini dibuat dengan cara menyatukan monomer (senyawa pendek) secara kimiawi melalui reaksi polimerisasi
8
Gambar 2.1
Reaksi Polimerisasi
(Ref. Buku Saku Plastik PT. Tri Polyta Indonesia Tbk)
Kemudian untuk meningkatkan kinerja dari material polimer pada tahap produksi, ditambahkan suatu zat kimia yang biasa disebut aditif. Produk hasil keseluruhan proses inilah
yang
dapat
disebut sebagai plastik. Secara
konvensional, monomer yang digunakan dalam proses produksi ini, sebagian besar diolah dari minyak bumi. Pada diagram di halaman selanjutnya, digambarkan fraksi plastik dalam keluarga besar minyak bumi
9
Gambar 2.2
Pohon Petrokimia
(Ref. Buku Saku Plastik PT. Tri Polyta Indonesia Tbk)
10
Hal yang menarik dari polimer dipengaruhi
oleh perilaku
adalah sifat produk
molekul-molekul
penyusunnya.
akhir
sangat
Sehingga sifat
mekanis, optis, dan sifat-sifat lainnya pada produk akhir sangat tergantung pada komposisi, ukuran, susunan, morfologi, struktur molekul, dan karakteristik lain pada level molekuler. Pada proses manufaktur maupun pada aplikasi, yang sebenarnya dilakukan terhadap material plastik adalah memberikan energi (baik berupa panas maupun mekanis) kepada rantai molekul polimer. Kemudian respon dari rantai tersebut terhadap gaya yang diberikan itulah yang sebenarnya menjadi karateristik dari material tersebut. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, polimer secara molekuler merupakan suatu rantai molekul panjang. Rantai panjang ini dapat menekuk, terpilin dan saling terkait. Prilaku ini terutama akan menyebabkan polimer menjadi bersifat ulet dan dapat mulur. Selain itu, rantai ini juga dapat saling menempel atau berinteraksi antar rantai. Interaksi ini dapat menghasilkan susunan molekul yang rapat (yang biasa disebut struktur kristalin) dan/atau susunan yang acak dan renggang (yang biasa disebut struktur amorf).
Gambar 2.3 Struktur Amorf (Ref. Buku Saku Plastik PT. Tri Polyta Indonesia Tbk)
11
Biasanya secara umum, yang akan diperhatikan pada interaksi rantai ini adalah perbandingan struktur kristalin dan amorf yang terbentuk pada polimer. Semakin banyak struktur kristalin pada polimer, maka material tersebut akan semakin kaku, sebab struktur kristalin sangat rapat dan teratur sehingga kekuatannya tinggi. Sebaliknya, semakin banyak struktur amorf, secara umum, akan ditandai dengan keuletan dan transparansi yang baik, sebab struktur amorf cenderung bersifat seperti pegas karena strukturnya yang tidak terikat. Kemudian karena susunannya yang renggang dan tidak teratur, maka cahaya dapat menembus struktur ini sehingga material amorf memiliki transparansi yang baik. Untuk lebih jelasnya perhatikan gambar berikut ini, untuk
membandingkan peristiwa
lewatnya
cahaya
pada
struktur amorf
(transparan) dan struktur kristalin (buram).
Gambar 2.4
Susunan Struktur Amorf
(Ref. Buku Saku Plastik PT. Tri Polyta Indonesia Tbk)
12
Dengan memilih jenis plastik yang tepat, maka kinerja dari produk yang kita buat akan menjadi maksimal. Secara umum berdasarkan struktur dan perilaku molekulnya, polimer dapat diklasifikasikan menjadi thermoplastic, thermoset, dan elastomer.
Gambar 2.5 Klasifikasi Material Polimer (Ref. Buku Saku Plastik PT. Tri Polyta Indonesia Tbk)
Polimer yang termasuk dalam golongan thermoplastic adalah polimer yang umumnya memiliki rantai yang lurus atau bercabang. Karena struktur rantai yang demikian, maka polimer jenis ini dapat dilelehkan ulang dalam proses produksinya. Sebagai contohnya, pada saat membuat kotak makan dengan
melalui
dilelehkan
ulang
proses injection molding, bijih plastik thermoplastic akan dan
kemudian dimasukan dalam cetakan. Polipropilena
merupakan salah satu contoh polimer thermoplastic.
13
Sebaliknya, ketika sudah terbentuk rantai, molekul polimer thermoset terikat dalam jaringan tiga dimensi (yang disebut cross-link) karena itulah rantai ini sulit untuk bergerak ketika dipanasi. Hal inilah yang menyebabkan material thermoset umumnya memiliki kinerja mekanis dan yang tinggi namun tidak dapat dilelehkan ulang. Contoh penggunaan material ini adalah pada aplikasiaplikasi yang membutuhkan kekuatan dan ketahanan temperatur tinggi, seperti pada komponen
elektronik dan otomotif, contohnya: circuit board, panel
instrumen, dan insulator. Kemudian
pada
kelompok
polimer
yang ketiga
yaitu elastomer.
Sebenarnya rantai molekulnya juga saling terikat seperti pada material thermoset. Namun karena jumlah ikatannya yang sedikit dan berstruktur rantai lurus panjang, maka material elastomer menjadi bersifat sangat ulet (memiliki elongasi atau
regangan elastis yang sangat baik). Contoh aplikasi
sehari-hari yang menggunakan material ini adalah ban kendaraan bermotor yang seperti kita ketahui terbuat dari karet. Selanjutnya, akan dibahas secara lebih khusus salah satu jenis material thermoplastic yaitu polipropilena. 2.2
POLIPROPILENA (PP) Polipropilena adalah polimer dengan penggunaan terbesar ketiga di
dunia setelah PE dan PVC. Polimer ini memiliki keseimbangan sifat yang baik sehingga dapat kita temui pada berbagai aplikasi, mulai dari kemasan makanan, perlengkapan rumah tangga, part otomotif, hingga peralatan elektronik. Berdasarkan ilmu kimia, PP adalah suatu makromolekul thermoplastic (dapat
14
dilelehkan) rantai jenuh (tidak memiliki ikatan rangkap) yang terdiri dari propilena sebagai gugus yang berulang.
Gambar 2.6 Rumus Kimia PP (Ref. Buku Saku Plastik PT. Tri Polyta Indonesia Tbk)
Secara umum, PP memiliki sifat mekanis yang baik dengan massa jenis yang rendah, ketahanan panas dan kelembaban, serta memiliki kestabilan dimensi yang baik. Berdasarkan monomer penyusunnya, polipropilena dapat dibedakan menjadi: PP Homopolymer Yaitu PP yang disusun hanya oleh monomer propilena. Sifat utama jenis PP ini adalah kekakuannya, yang bahkan juga dimiliki pada temperatur tinggi. Jenis PP ini memiliki temperatur transisi gelas 0°C, sehingga jenis PP ini bersifat getas pada temperatur rendah. Pada sifat optis, jenis PP ini memiliki tingkat kebeningan sedang (translucent). PP Random Copolymer Yaitu PP yang disusun oleh monomer propilena dan etilena yang tersusun acak dalam rantai PP. Random Copolymer dikenali terutama dari kebeningannya dan kelenturannya yang tinggi. Namun kekuatan dan kekerasannya kurang jika dibandingkan oleh PP homopolymer. 15
Impact Copolymer (ICP) Yaitu PP yang disusun oleh monomer propilena dan etilena yang tersusun dalam dua blok fasa, yaitu PP homopolymer dan ethylenepropylene-rubber (EPR). ICP menawarkan variasi sifat yang besar, namun terutama dapat dikenali dari sifatnya yang memiliki ketahanan pembebanan kejut yang sangat baik, termasuk pada temperatur rendah (memiliki temperatur transisi gelas -30°C), dan berwarna putih susu doff, berbeda dengan PP homopolymer atau juga PP random copolymer. 2.3
KARAKTERISASI MATERIAL POLIMER Untuk
membandingkan
performa
material,
umumnya
dilakukan
pengukuran karakteristik dengan standar tertentu, contohnya ASTM (American Standard Testing Method), JIS (Japan Industrial Standard), atau juga pada beberapa aplikasi di Indonesia juga dikenal SNI (Standar Nasional Indonesia). 2.3.1 Melt Flow Rate (MFR) Melt Flow Rate (MFR) adalah suatu ukuran kekentalan material plastik pada saat terkena panas diatas temperatur lelehnya. Pada industri plastik, MFR berguna dalam menentukan jenis proses dan kondisi proses (umumnya terkait pengaturan temperatur) yang dapat digunakan terhadap material tersebut. Pada prinsipnya semakin tinggi MFR maka material akan semakin encer sehingga temperatur proses yang dibutuhkan semakin rendah. Cara pengukuran MFR yaitu dengan mengukur berat lelehan PP akibat terkena beban 2,16 kg pada temperatur 230°C dalam 10 menit. Sehingga dapat juga menggambarkan ukuran kekentalan polimer pada saat terkena panas. 16
Gambar 2.7
Pengukuran MFR ASTM D1238
(Ref. Buku Saku Plastik PT. Tri Polyta Indonesia Tbk)
Untuk aplikasi injection molding dituntut memiliki ke-encer-an yang baik, maka memiliki MFR 10 gr / 10 min. 2.3.2 Density (Berat Jenis) Density (Berat Jenis) merupakan ukuran kepadatan molekul dalam material, sehingga terkait berat dan volume produk. Density ini merupakan parameter penting pada material PE. Namun pada PP, density merupakan karakteristik dasar yang relatif konstan. Dalam membandingkan beberapa jenis material, pada dasarnya semakin tinggi berat jenis suatu material maka berat benda semakin tinggi untuk ukuran volume yang sama. Cara pengukuran berat jenis adalah dengan mengukur perbandingan antara berat dan volume suatu benda.
17
Tabel 2.1 Density Beberapa Jenis Plastik ASTM D972 dan D1505
(Ref. Buku Saku Plastik PT. Tri Polyta Indonesia Tbk)
2.3.3 Tensile Strength at Yield Tensile Strength at Yield yaitu ukuran kekuatan mekanis suatu material untuk mempertahankan bentuknya (tidak mulur) apabila ditarik. Pada dasarnya semakin tinggi Tensile Yield Strength maka material semakin kaku (tidak mudah mulur). Standar: ASTM D638 (pada 50 mm/min) 2.3.4 Tensile Elongation at Yield Bersamaan dengan pengukuran Tensile Strength, data lain yang didapat dari pengujian tarik yaitu regangan (mulur) maksimum yang dialami benda dalam kondisi yang elastis (dapat kembali). Pada aplikasi sehari-hari, kondisi “dapat kembali” ini contohnya terlihat saat karet atau pegas ditarik dan kemudian dilepaskan. Pada dasarnya semakin tinggi Tensile Yield Elongation maka material semakin ulet. 18
Gambar 2.8
Uji tarik Material Plastik ASTM D638 (pada 50 mm/min) (Ref. Buku Saku Plastik PT. Tri Polyta Indonesia Tbk)
2.3.5
Flexural Modulus (1% Secant) Flexural Modulus (1% secant) adalah sifat mekanis yang menunjukan
ukuran kekakuan dari suatu produk plastik. Pada produk jadi (aplikasi), contohnya seperti pada gelas thermoforming. Flexural Modulus dapat digantikan melalui pengukuran top load. Pada prinsipnya semakin tinggi Fleksural Modulus maka material semakin kaku. Cara pengukuran Flexural Modulus yaitu dengan menekan sampel hingga membengkok. Sehingga dengan mengukur ketahanan material
terhadap
pembengkokan, Flexural Modulus akan menjadi ukuran kekakuan material.
19
Gambar 2.9 Flexural Modulus Material Plastik ASTM D790A (1.3 mm/min) (Ref. Buku Saku Plastik PT. Tri Polyta Indonesia Tbk)
2.3.6 Notched Izod Impact Strength Notched Izod Impact Strength adalah ukuran ketahanan benturan dari suatu produk plastik. Pada aplikasi, umumnya Impact Strength dapat diukur melalui pengujian drop test. Pada dasarnya semakin tinggi Impact Strength maka material semakin kuat (tidak mudah pecah). Cara pengukuran Notched Izod Impact Strength ini adalah mengukur ketahanan material terhadap benturan (tumbukan) pendulum.
Gambar 2.10
Notched Izod Impact Strength material Plastik ASTM D256
(23°C) (Ref. Buku Saku Plastik PT. Tri Polyta Indonesia Tbk)
20
2.3.7
Hardness, Rockwell Pengujian
kekerasan
material
sebenarnya
merupakan
pengukuran
ketahanan material terhadap pembebanan (tekan) setempat atau pengoresan. Pada industri injection molding, produk-produk dengan kekerasan yang baik akan memiliki
ketahanan gores
yang lebih baik. Sedangkan pada
industri
thermoforming, kekerasan yang tinggi akan memudahkan proses cutting. Pada dasarnya semakin tinggi hardness maka material semakin keras atau dengan kata lain semakin kaku. Karena pada pengujian ini, sampel ditekan dengan suatu indentor, contohnya pada Standar Rockwell digunakan bola baja ½”, hingga tercetak suatu jejak indentasi.
Gambar 2.11
Hardness, Rockwell material Plastik ASTM D785
(Ref. Buku Saku Plastik PT. Tri Polyta Indonesia Tbk)
21
2.3.8 Heat Deflection Temperature (HDT) Heat Deflection Temperature (HDT) merupakan temperatur dimana material mulai mengalami perubahan bentuk, akibat pengaruh beban tekuk (0,455 MPa) dan temperatur tinggi. Umumnya, HDT digunakan sebagai batasan temperatur aplikasi dari suatu produk plastik. Contohnya ketika hendak mengunakan suatu piring plastik untuk memanaskan makanan dalam microwave, tentu kita tidak ingin menggunakan piring yang akan melunak atau bahkan meleleh bila digunakan. Karena itu, perlu dipilih material polimer yang memiliki HDT yang sesuai dengan aplikasi. Pada dasarnya semakin tinggi HDT maka material akan semakin tahan terhadap temperatur tinggi.
Gambar 2.12
Heat Deflection Temperature (HDT) material Plastik
(Ref. Buku Saku Plastik PT. Tri Polyta Indonesia Tbk)
2.3.9 Vicat Softening Point (VSP) Vicat Softening Point (VSP) yaitu temperatur dimana material mulai mengalami
pelunakan.
Perbedaan
HDT
dengan
VSP
adalah
metode
pembebanannya. VSP ini penting diketahui terutama pada aplikasi-aplikasi yang 22
menggunakan tahap pemotongan atau pengrusakan pada kondisi panas. Contohnya pada hot cutting botol atau cutting setelah proses forming pada thermoforming. Pada dasarnya semakin tinggi VSP maka semakin tahan temperatur tinggi
Gambar 2.13
Vicat Softening Point (VSP) material Plastik ASTM D1525B (Ref. Buku Saku Plastik PT. Tri Polyta Indonesia Tbk)
2.3.10 Melting Temperature DSC, 2nd heat Melting Temperature DSC, 2nd heat atau temperatur leleh adalah temperatur dimana material mulai mengalami perubahan dari wujud padat menjadi lelehan. Pada dasarnya semakin tinggi Temperatur Leleh maka temperatur proses semakin tinggi. Pada aplikasi industri plastik, temperatur leleh ini digunakan sebagai identitas material plastik. Contohnya ketika ingin mengetahui komponen penyusun suatu produk plastik, melalui temperatur leleh, dapat diduga material polimer penyusunnya. Misalnya pada suatu pellet yang tidak diketahui jenis materialnya diketahui temperatur lelehnya yaitu 162°C, maka diduga material tersebut adalah PP. Sedangkan yang dimaksud dengan DSC yaitu Differential Scanning Calorimeter. DSC ini merupakan alat yang digunakan untuk mengukur temperatur leleh material. 23
Seperti terlihat pada gambar berikut:
Gambar 2.14 Melting Temperature DSC, 2nd heat material Plastik ASTM ASTM D3418 ( 10°C/min) (Ref. Buku Saku Plastik PT. Tri Polyta Indonesia Tbk)
2.4
PENGETAHUAN DASAR ADITIF
2.4.1
Anti Oxidant (AO) Berfungsi untuk meningkatkan umur pakai dari material. Sebab pada
prinsipnya, dibawah pengaruh cahaya (sinar UV), oksigen, panas, dan gaya mekanis, polimer dapat mengalami penurunan sifat (degradasi).
Gambar 2.15 Fungsi Dari Zat Anti Oksidan Ref. Buku Saku Plastik PT. Tri Polyta Indonesia Tbk 24
Ada dua macam anti oksidan yang selalu digunakan secara sinergi dan bersamaan, yaitu: Primary AO untuk
kestabilan
polimer jangka
panjang,
terutama
terhadap ekspose dengan oksigen. Secondary AO biasanya lebih dikenal dengan istilah heat stabilizer, karena aditif
ini
akan
menjaga
kualitas
polimer saat
terkena
panas.
Berdasarkan efek yang ditimbulkannya, aditif ini juga dapat diklasifikasikan lagi menjadi dua jenis yaitu penjaga kestabilan MFR dan kestabilan warna
2.4.2
Acid Scavenger Prinsip kerja menonaktifkan zat asam yang dibentuk melalui suatu
reaksi kimia. Seperti yang digambarkan pada ilustrasi berikut:
Gambar 2.16
Fungsi Dari Zat Acid Scavenger
(Ref. Buku Saku Plastik PT. Tri Polyta Indonesia Tbk)
Berfungsi untuk menetralisir senyawa asam yang terbentuk akibat adanya reaksi antara residual (sisa) katalis dan uap air. Sebab senyawa asam bersifat korosif/merusak bagi peralatan logam.
25
2.4.3 Nucleating Agent Berfungsi untuk mempercepat waktu pembekuan (mempersingkat cycle time). Selain itu juga dapat meningkatkan sifat mekanis, H DT, dan kestabilan dimensi dari polimer. Prinsip kerja: Mempercepat laju pembekuan kristal, sehingga struktur kristal tumbuh pada ukuran yang kecil dan dalam jumlah yang banyak.
2.4.4 Clarifying Agent Berfungsi untuk
mendapatkan
efek
yang lebih
baik
dibanding
penambahan nucleating agent, terutama pada sifat optis. Secara umum, dapat dikatakan bahwa efek nucleating agent terdapat pada clarifying agent, namun kemampuan clarifying agent untuk membeningkan polimer tidak dapat dicapai nucleating agent. Prinsip kerja: Menyusun struktur kristal polimer ke dalam bentuk serupa fiber, sehingga berukuran lebih kecil daripada panjang gelombang cahaya tampak (hal ini menyebabkan produk terlihat lebih transparan/bening). Berikut adalah skema perbedaan kinerja nucleating agent dan clarifying agent.
26
Gambar 2.17
Fungsi Dari Zat Nucleating Agent Clarifying Agent
(Ref. Buku Saku Plastik PT. Tri Polyta Indonesia Tbk)
2.4.5
Mold Release Agent Berfungsi untuk memudahkan pelepasan produk pada proses injection
molding. Prinsip kerja: Dengan membentuk lapisan minyak licin di permukaan produk.
Gambar 2.18
Fungsi Dari Zat Mold Release Agent
(Ref. Buku Saku Plastik PT. Tri Polyta Indonesia Tbk)
27
2.4.6 Slip Agent Berfungsi untuk memudahkan pemisahan dua lembaran film. Sebab film plastik tipis dapat menyebabkan blocking yang membuat film tersebut mudah saling menempel dan sulit dibuka. Prinsip kerja: seperti halnya pada Slip agent mold release agent, aditif ini akan membuat lapisan licin pada permukaan film, sehingga gaya gesek menjadi minimal. Berikut ini adalah prinsip kerja aditif Slip Agent
Gambar 2.19
Fungsi Dari Zat Slip Agent
(Ref. Buku Saku Plastik PT. Tri Polyta Indonesia Tbk)
2.4.7
Anti blocking agent Mengisi film dengan filler yang tersebar dalam ukuran yang sangat
halus,
sehingga
akan menyebabkan
permukaan
film
menjadi berprofil
sehingga bidang kontak antar permukaan menjadi minimal. Berikut ini adalah prinsip kerja aditif Anti Blocking Agent
28
Gambar 2.20
Fungsi Dari Zat Anti blocking Agent
(Ref. Buku Saku Plastik PT. Tri Polyta Indonesia Tbk)
2.5
TEKNOLOGI PROSES MATERIAL POLIMER
2.5.1
Extrusion Extrusion adalah proses manufaktur kontinu yang digunakan untuk
mencetak produk yang panjang dengan penampang yang tetap. Teknik ini dapat digunakan untuk memproses sebagian besar polimer thermoplastic dan beberapa jenis polimer thermoset. Karakteristik yang biasanya digunakan untuk membedakan proses extrusion dengan injection molding adalah viskositas atau kekentalan lelehan plastik pada temperatur proses normal. Biasanya, plastik yang dapat diproses dengan metode extrusion memiliki viskositas yang tinggi, sehingga produk yang baru mengalami extrusion dapat mempertahankan bentuk hasil pencetakan hingga produk tersebut sampai pada tahap pendinginan cepat (water bath, air quench atau chill roll).
29
Parameter kualitas material yang perlu diperhatikan pada proses ini antara lain:
Melt Flow Rate
Temperatur Leleh
Sifat Mekanis. Proses extrusion dapat
dikelompokkan secara
lebih
khusus
berdasarkan produk yang dihasilkan, yaitu: 1. Tubular Water Quench Extrusion atau yang dikenal juga dengan nama Inflated Polypropylene (IPP), adalah suatu proses untuk menghasilkan lembaran plastik tipis
yang berbentuk tube
(silinder
berongga).
Lembaran plastik tipis ini biasa disebut film. Pada proses ini, pellet plastik dilelehkan dalam ekstruder, kemudian dicetak menggunakan suatu die yang berbentuk seperti cincin. Selanjutnya untuk memadatkan hasil cetakan lelehan plastik tersebut dan juga untuk menghasilkan kebeningan yang optimal (mengingat, PP pada dasarnya bersifat optis translucent), maka lelehan tersebut dilewatkan pada suatu water quench ring. Parameter kualitas yang terutama diperhatikan pada produk IPP adalah kemudahan bukaan dan juga kebeningan film. Produk dari proses ini disebut tubular water quench film atau IPP ( Inflated Polipropilena). Ketebalan film IPP komersial adalah antara 12 – 150 micron. Film IPP tersebut dapat diaplikasikan menjadi aneka kemasan plastik umum, kantong gula, kemasan roti, kantong kerupuk, dan lain lain 30
Gambar 2.21
Proses Tubular Water Quench Extrusion
(Ref. Buku Saku Plastik PT. Tri Polyta Indonesia Tbk)
.
Gambar 2.22
Aplikasi Hasil Proses Tubular Water Quench Extrusion
(Ref. Buku Saku Plastik PT. Tri Polyta Indonesia Tbk)
2. Cast Extrusion adalah suatu proses pencetakan lembaran plastik. Berbeda dengan tubular quench extrusion, produk proses ini berbentuk lembaran padat satu lapis (bukan berbentuk tube) karena dicetak menggunakan die yang memiliki die lip berbentuk celah persegi panjang. Die ini dapat 31
berupa T-Die atau juga Coat-Hanger Die. Perbedaan kedua die ini adalah efektifitas hantaran panas dan aliran lelehan plastik, yang tentu akan berakibat pada kualitas lembaran film yang dihasilkan. Produk dari proses ini adalah lembaran (sheet atau film) yang biasa disebut CPP (Cast Polipropilena). Ketebalan CPP film komersial adalah ~25 micron. Namun, berbeda dengan IPP, umumnya CPP akan dikombinasikan dengan lapisan material lain seperti BOPP atau mungkin juga dilapis dengan Aluminum dengan proses metallizing, tergantung pada performa produk aplikasi yang ingin dihasilkan. Aplikasi dari produk proses ini adalah bungkus makanan ringan, permen, dan lain-lain.
Gambar 2.23
Aplikasi Hasil Proses Cast Extrusion
(Ref. Buku Saku Plastik PT. Tri Polyta Indonesia Tbk)
3. Biaxially Oriented Extrusion adalah
suatu modifikasi
dari
proses
extrusion film, yaitu dengan mencetak lembaran tebal yang kemudian dilanjutkan
dengan proses
stretching (penarikan)
dua
arah. Pada 32
awalnya
lembaran
tersebut
akan ditarik
searah
jalannya
mesin
(Machine Direction–MDO), umumnya penarikan yang terjadi sekitar 1– 5 kali. Selanjutnya lembaran itu akan melewati proses annealing dan preheating bertahap dari 120 - 165 °C, kemudian dilakukan tarikan kedua yang tegak lurus (Transverse Direction– TDO) sebesar 8 kali. Untuk lebih jelasnya, perhatikan ilustrasi pada halaman selanjutnya
Gambar 2.24
Proses Biaxially Oriented Extrusion
(Ref. Buku Saku Plastik PT. Tri Polyta Indonesia Tbk)
Tujuan dari penarikan dua arah tersebut adalah untuk mengatur ukuran dan distribusi kristal polimer agar berukuran kecil dan tersebar merata dalam lembaran BOPP. Sehingga kekakuan dan kebeningan film ini mencapai nilai maksimumnya. Performa mekanis inilah yang membedakan 33
BOPP film dengan CPP film. BOPP bersifat kaku dan hanya dapat mengalami sedikit deformasi (mulur) lanjutan. Produk dari proses ini biasa disebut OPP (Oriented Polipropilena) atau BOPP (Biaxially Oriented Polipropilena). Ketebalan film BOPP
komersial umumnya sekitar ~15 micron. Produk
tersebut dapat di aplikasi kan menjadi fleksible packaging (kemasan fleksibel) untuk aneka makanan, selotipe, bungkus rokok, dan lain-lain.
Gambar 2.25
Aplikasi Hasil Proses Biaxially Oriented Extrusion
(Ref. Buku Saku Plastik PT. Tri Polyta Indonesia Tbk)
4. Proses Metallizing adalah suatu proses melapisi produk (berupa film) dengan suatu logam (umumnya aluminum). Pelapisan tersebut dilakukan dengan menguapkan (evaporasi) logam
kemudian
mengembunkannya
(kondensasi) pada permukaan film dengan ketebalan tertentu. Tujuan dari
proses
ini
adalah
untuk memperbaiki
sifat barrier atau
ketahanan tembus gas dari film plastik. Contoh: pada PP, untuk memperbaiki ketahanan
tembus
gas
oksigen.
Dengan meningkatnya 34
ketahanan kemasan ini terhadap pemindahan gas, maka perlindungan kemasan terhadap zat (atau produk) didalamnya menjadi meningkat. Sehingga umur pakai produk tersebut juga meningkat.
Gambar 2.26
Proses Metallizing
(Ref. Buku Saku Plastik PT. Tri Polyta Indonesia Tbk)
Aplikasi dari metallized film antara lain adalah untuk kemasan permen dan makanan ringan.
Gambar 2.27
Aplikasi Hasil Proses Metallizing
(Ref. Buku Saku Plastik PT. Tri Polyta Indonesia Tbk)
35
5. Proses Pelapisan Extrusion Laminasi adalah suatu proses pelapisan produk (berupa film) dengan satu atau lebih material melalui proses pelelehan dan penempelan lelehan (hot-tack adesif).
Gambar 2.28 Proses Pelapisan Extrusion Laminasi (Ref. Buku Saku Plastik PT. Tri Polyta Indonesia Tbk)
Tujuan dari proses ini yaitu menghasilkan film dengan kombinasi kinerja yang superior. Contohnya: memiliki kekakuan, printability, dan sealability yang baik. Produk dari proses ini dapat berupa film dua lapis (komposisi: Printed OPP – Laminasi) atau film tiga lapis (komposisi: Printed OPP – Laminasi – CPP). Yang kemudian dapat di aplikasi kan menjadi kemasan mie instan, pelapis kertas nasi, dan pelapis karung atau terpal.
36
Gambar 2.29 Aplikasi Hasil Proses Pelapisan Extrusion Laminasi (Ref. Buku Saku Plastik PT. Tri Polyta Indonesia Tbk)
2.5.2 Injection Moulding Injection Moulding merupakan proses yang paling banyak digunakan dalam fabrikasi material polimer. Dalam siklus prosesnya, produk yang identik akan dibuat melalui suatu siklus produksi yang diawali oleh pelelehan pelet atau serbuk resin di dalam suatu extruder, kemudian diikuti dengan injeksi lelehan
polimer
ke dalam bagian
kosong
di dalam
cetakan
dengan
menggunakan tekanan tinggi. Parameter proses yang terkait pada proses filling ini adalah tekanan injeksi (injection pressure), kecepatan injeksi (injection speed), dan waktu injeksi (injection time). Selanjutnya lelehan polimer tersebut akan ditahan di dalam cetakan hingga membeku pada
tahap holding.
Setelah
pembekuan dalam cetakan, produk dapat dikeluarkan.
melewati tahap
Biasanya tahap ini
37
bersamaan dengan tahap dosage (pengisian material pada injection chamber) yang dikontrol oleh parameter back pressure untuk siklus injeksi selanjutnya. Mesin injection molding dapat diklasifikasikan menjadi dua macam berdasarkan mekanisme pergerakannya yaitu hidrolik dan elektrik. Perbedaan kedua mekanisme ini adalah pada mekanisme elektrik menggunakan servo motor, sedangkan pada hidrolik digunakan pompa oli. Hal ini menyebabkan mekanisme elektrik lebih bersih, lebih cepat, lebih akurat, dan lebih hemat energi (~40%) untuk produk dengan ukuran kecil dan/atau memiliki cycle time tinggi (long holding period). Pemilihan ukuran mesin yang tepat, didasarkan pada dimensi produk yang ingin dihasilkan. Semakin tipis dan semakin luas permukaan produk yang ingin dihasilkan maka semakin besar mesin yang dibutuhkan. Pada prakteknya, 1 cm² produk membutuhkan ½ ton clamping force secara umum, kelebihan proses injection molding dibanding proses produksi lainnya antara lain, tidak ada batasan kerumitan desain produk, sehingga dapat menghasilkan variasi produk yang luas;
Gambar 2.30 Aplikasi Hasil Proses Injection Moulding (Ref. Buku Saku Plastik PT. Tri Polyta Indonesia Tbk)
38
Ukuran produk yang dapat dicetak mulai dari produk kecil hingga ukuran besar; dan proses ini juga dapat menghasilkan produk dengan toleransi kepresisian yang sangat baik. Sebagian besar material polimer dapat diaplikasikan untuk proses ini, termasuk thermoplastic, thermoplastic yang diperkuat serat, thermoset, dan elastomer. Proses ini juga tidak terbatas oleh sifat viskositas, yaitu hampir segala viskositas dapat diproses dengan metode ini Parameter kualitas material yang perlu diperhatikan pada proses ini antara lain: Melt Flow Rate Temperatur Leleh Heat Deflection Temperature Sifat Mekanis Aplikasi dari proses produksi ini sangat beragam mulai dari produkproduk rumah tangga, elektronik, hingga produk otomotif.
2.5.3 Blow Moulding Blow Moulding adalah suatu proses manufaktur benda berongga yang salah satu ujungnya tertutup, dengan cara mengembungkan preform atau parison thermoplastic panas di dalam cetakan yang tertutup, sehingga bentuk produk hasil penggembungan tersebut sesuai dengan bentuk cetakan. Terdapat berbagai variasi dari benda berongga, termasuk botol plastik, dapat dibentuk 39
dengan proses ini. Sebagian besar grade thermoplastic komoditi dan rekayasa dapat diproses dengan cara ini. Sebagai persyaratannya, kekentalan dari material polimer tersebut harus tinggi agar parison atau preform tidak meregang terlalu banyak pada saat pencetakan. Secara umum, ada 3 macam tipe blow molding yaitu extrusion blow molding, injection blow molding dan stretch blow molding. Perbedaan mendasar antara proses extrusion blow molding dengan injection blow molding terletak pada tahapan pembentukkan bakal botol.
Gambar 2.31
Parison
(Ref. Buku Saku Plastik PT. Tri Polyta Indonesia Tbk)
Pada proses extrusion blow molding (EBM) , bakal produk disebut parison, yang
dibentuk
melalui
proses extrusion. Parison ini
kemudian
mengalami proses peniupan.
40
Gambar 2.32
Proses Blow Moulding
(Ref. Buku Saku Plastik PT. Tri Polyta Indonesia Tbk)
Kelebihan
proses
ini
dibanding
proses lainnya
adalah
dapat
membentuk produk berongga dengan ukuran yang besar, seperti gallon, jerigen, dan botol besar lainnya. Material yang umumnya digunakan untuk proses ini adalah HDPE dan PP. Perbedaan penanganan
material
ini
adalah
pada
PP memerlukan suatu
mekanisme hot cutting untuk memotong parison Selanjutnya pada proses injection blow molding (IBM), bakal produk di bentuk melalui proses injection molding. Bakal produk ini disebut preform. Proses IBM ini biasanya digunakan untuk material LDPE dan PP, untuk menghasilkan botol-botol yang berukuran kecil dan membutuhkan kepresisian yang tinggi atau bentuk-bentuk yang rumit. Contoh produknya adalah botol kosmetik, obat tetes mata, dan jar. Modifikasi lain dari proses IBM adalah injection stretch blow molding (ISBM). Pada proses ini, preform diregangkan (stretch) terlebih 41
dahulu sebelum ditiup. Tujuannya adalah untuk menghasilkan botol dengan sifat optis (kebeningan) dan sifat mekanis (kekakuan) yang optimal
akibat adanya
pengaturan struktur kristal polimer.
Gambar 2.33
Aplikasi Hasil Proses Blow Moulding
(Ref. Buku Saku Plastik PT. Tri Polyta Indonesia Tbk)
Proses ISBM ini biasanya dilakukan untuk material
PET dan
PVC,
namun sekarang juga banyak dikembangkan untuk material semikristalin seperti PP. Contoh produknya adalah botol air minum, jus, dan teh. Parameter kualitas material yang perlu diperhatikan pada proses blow molding antara lain: Melt Flow Rate Temperatur Leleh Sifat Mekanis
42
2.5.4 Thermoforming Sesuai namanya, Thermoforming adalah suatu proses manufaktur yang membentuk lembaran atau
film
polimer menjadi produk jadi dengan
menggunakan panas dan tekanan. Pada prosesnya, lembaran atau film polimer dipanaskan dengan menggunakan suatu pemanas hingga mencapai temperatur pembentukannya. Kemudian lembaran tersebut dibentuk dengan cetakan yang temperaturnya terkontrol. Lembaran tersebut akan tetap ditahan pada posisi tersebut hingga membeku. Produk yang telah dibentuk tersebut kemudian dipotong dari keseluruhan lembarannya. Biasanya serpihan, dan
sisa
potongan
kemudian
dicampur
tersebut dipotong-potong dengan
lagi
menjadi
polimer murni untuk diproses
kembali membentuk lembaran Berdasarkan proses pembentukannya dapat digolongkan dalam tiga kategori dasar, yaitu:
Vacuum thermoforming,
Pressure thermoforming,
Mechanical thermoforming.
1. Vacuum Thermoforming Metode pembentukan yang paling awal adalah vacuum thermoforming (dikembangkan tahun 1950-an), dimana tekanan negative (hisap) digunakan untuk menarik suatu lembaran plastik yang telah dipanaskan ke dalam suatu rongga cetakan (mold cavity).
43
Gambar 2.34
Aplikasi Hasil Proses Thermoforming
(Ref. Buku Saku Plastik PT. Tri Polyta Indonesia Tbk)
Contoh aplikasi dari produk thermoforming antara lain covers, displays, blister packaging, trays, drinking cups, dan kemasan makanan.
Gambar 2.35
Proses Thermoforming
(Ref. Buku Saku Plastik PT. Tri Polyta Indonesia Tbk)
44
Beberapa
kelebihan dari thermoforming dibanding injection molding
antara lain: Dapat membentuk produk dengan permukaan yang lebar, dengan biaya cetakan dan mesin yang relatif rendah, sebab proses ini menggunakan tekanan dan temperatur yang relatif rendah. Mudah membentuk produk yang sangat tipis (yang sulit dicapai dengan teknik lainnya) dan lebih hemat penggunaan material bahan baku, dengan kecepatan produksi tinggi dan investasi modal yang rendah. Parameter kualitas material yang perlu diperhatikan pada proses ini antara lain: 1. Melt Flow Rate 2. Temperatur Leleh 3. Heat Deflection Temperature 4. Sifat Mekanis Sedangkan parameter produk yang umumnya
diperhatikan
sebagai
kontrol kualitas proses ini adalah kekakuan (top load) dan keuletan (drop test). Kekakuan sangat diperhatikan pada proses ini sebab terkait kecepatan produksi, kemudahan pemotongan, dan juga pada tahap penyusunan produk. Kemudian keuletan juga tidak dapat diabaikan pada proses ini sebab ini merupakan ukuran kontrol kualitas produk akhir.
2.6
PRODUK CUP DENGAN THERMOMOULD Produk cup dengan pembentukan thermomould memiliki ciri-ciri sebagai
berikut: Ketebalan dinding relatif merata 45
Bentuk produk bisa sangat komplek Tidak mempunyai rib Bagian sisi paling luar relatif tajam, ini karena sisi paling luar merupakan hasil potongan dari cutting Desain produk dengan under cut mampu dibentuk meggunakan proses ini
2.6.1.
Kunci Keberhasilan Suatu Produk
Gambar 2.36
Keterkaitan antar komponen pembentuk produk cup
Dari gambar diatas terlihat untuk mendapatkan suatu produk hasil thermo mould yang baik, tidak cukup dari desain cetakan saja yang baik, akan tetapi perlu diperhatikan keterkaitan dengan fungsi-fungsi yang lain, antara lain:
46
2.6.2 Desain Konstruksi Produk Perlu diperhatikan ketentuan-ketentuan perancangan konstruksi produk hasil thermo mould. Hal ini dilakukan untuk menghindari cacat produk hasil pembentukan. 2.6.3
Material Perlu dipelajari sifat-sifat material plastik dan data-data teknis material
plastik. Hal ini akan menjadi bahan pertimbangan dan masukan dalam perancangan. Data-data yang perlu diperhatikan: Penyusutan material Viskositas material Unsur pembentuk material Titik cair, titik beku Sifat mekanis material 2.6.4
Proses Pada saat proses pembentukan dibagian produksi, data-data dan proses di
mesin thermoforming tidak kalah pentingnya dalam pencapaian produk yang dihasilkan. Empat variabel proses yang menjadi kunci keberhasilan pembentukan produk plastik: Viskositas material Bentuk plug assist. Pendinginan 47
Tekanan peniupan Kontur dari rongga cetak 2.6.5 Desain Cetakan Banyak aspek-aspek yang pelu diperhatikan dalam perancangan thermo mould, dalam proses pencetakan produk plastik, kebutuhan untuk mendapatkan produk yang optimal, baik dari sisi tampilan produk, efisiensi proses dan waktu berproduksi, banyak dipengaruhi berbagai unsur, selain yang bersumber pada proses pembuatan/proses manufaktur, dan proses pencetakannya, faktor yang paling dominan adalah pada desain produk, dan desain cetakan. Kelayakan suatu produk plastik untuk dapat dihasilkan dari salah satu jenis thermoformimg moulding dan kelayakan proses manufaktur, sangat bergantung pada disain geometri produk, spesifikasi bahan plastik, dan bentuk atau ukuran plug assist. Unsur-unsur pembuatan thermoformimg moulding 1. Desain produk sebagai langkah awal dalam perancangan cetakan, akan berpengaruh terhadap bentuk plug assist dan sistem pendinginan dihasilkan. Pada perancangan cetakan, unsur ini akan berpengaruh terhadap
efektifitas
kerja
cetakan
yang
dihasilkan
dari
proses
pendisainan/konstruksi dari sistem cetakan yang direncanakan. 2. Desain cetakan sebagai langkah berikutnya merupakan bagian awal dalam proses pembuatan cetakan, penentuan lay out, sistem cetakan dan konstruksi yang dibuat akan berpengaruh terhadap proses berikutnya. Dasar pertimbangannya akan diperhitungkan terhadap penampilan produk, efisiensi dan efektifitas sistem serta nilai produktivitasnya.
48
3. Penentuan jenis dan konstruksi cetakan yang dirancang seringkali berpengaruh terhadap kapabilitas proses manufaktur dalam menentukan metode yang tepat, jenis dan kapasitas mesin yang akan digunakan. 4. Pada pelaksanaan pembuatan cetakan, seringkali proses yang dilakukan disesuaikan dengan kondisi dan kapasitas mesin yang ada, sehingga penerapan strategi dan desain cetakan sebisa mungkin menyesuaikan mesin perkakas yang ada.
2.6.6 Bentuk Dasar dan Cara Kerja Cetakan Pada intinya peralatan pencetak / mould terdiri dari dua sub bagian utama, yaitu sub bagian penekan dan sub bagian kaviti cetakan (rongga cetak) yang satu sama lain dapat terbuka sebagai tempat pengeluaran produk. Kedua sub bagian tersebut dibedakan menurut pemasangannya pada mesin thermoforming sebagai berikut: Sisi tetap (fixed side) Sisi bergerak (moving side) Pada sisi tetap terdapat komponen plug assist dan mekanisme peniup udara, sedangkan pada sisi bergerak terdapat insert yang merupakan tempat mencetak. Dan juga terdapat mekanisme pengeluaran produk (ejector) yang akan menendang produk dari inti cetakan setelah tahap pembentukan selesai dilakukan dengan sempurna dalam rongga cetak. Kedua sub bagian tersebut dipasang pada kedua plat mesin dengan pengikat baut. Hubungan kedua sub bagian tersebut diarahkan dengan pena pengarah yang umumnya terdapat pada bagian sisi 49
bergeraknya sebagai penepat bagian cutting yang merupakan pemotong produk yang telah terbentuk dengan lembaran plastik.
2.7
PERANCANGAN PRODUK Perencanaan dan perancangan produk merupakan tahap awal yang harus
dilakukan, dan akan memuat banyak informasi penting yang digunakan sebagai dasar dalam penentuan parameter desain dan proses thermo. Bentuk / geometri produk, berat, dan spesifikasi material plastik sangat berpengaruh terhadap penentuan shrinkage, sistem gate, parting line, pemilihan material cetakan dan sistem pengeluaran produk / sistem ejektor. 2.7.1 Menghindarkan bagian bersudut tajam Cetakan yang memiliki sudut tajam akan cenderung menimbulkan: tegangan yang terkonsentrasi aliran plastik terhambat
Gambar 2.37
Desain Produk Cup yang perlu dihindari
Tegangan yang terkonsentrasi pada bagian cetakan bersudut tajam dapat mengakibatkan timbulnya keretakan cetakan akibat pengerjaan, proses heat treatment atau saat proses peniupan berlangsung dalam tekanan yang cukup tinggi. 50
Pada tiap produk, bagian bersudut tajam cenderung melemahkan kekuatan produk itu sendiri, sehingga bagian tersebut harus dihilangkan dengan memodifikasi bentuk tajam menjadi bentuk radius. Pengaruh lain yang diakibatkan bentukan bersudut tajam, selain menghambat aliran juga mengakibatkan tekanan dalam (internal pressure) melemah dan produk tidak terisi penuh, sehingga untuk mengatasi penurunan tersebut di butuhkan tekanan injeksi mesin yang cukup besar. 2.7.2
Draft Angle Draft angle adalah kebebasan yang dibentuk pada rongga cetak atau inti
cetakan dengan maksud untuk memudahkan pengeluaran/pelepasan produk. Selain itu juga pembentukan draft angle dapat menghindarkan cacat produk akibat gesekan permukaan saat pengeluaran.
Gambar 2.38
Desain produk cup yang memiliki draft angle
51
2.7.3
Penguat Bottom Cup (Reinforcement)
Penguat Bawah
Gambar 2.39
Desain Produk Cup yang Memiliki Penguat Bawah
Reinforcement adalah penguat bawah yang berfungsi untuk memperkuat/ meningkatkan kekakuan bagian bawah cup terutama pada produk yang memiliki permukaan lebar atau pada produk berdinding tipis. Reinforcement dapat berupa: 1. Bentuk bertingkat 2. Tonjolan Bentuk bertingkat pada umumnya dibuat untuk memberikan kekakuan pada produk berbentuk gelas yang memiliki dinding tipis pada bagian alasnya. Ini untuk mengatasi kemungkinan timbulnya lentingan yang terjadi akibat penyusutan atau tekanan udara forming.
2.8
PERENCANAAN CAVITY Cavity adalah pelat cetakan yang membentuk produk dalam rongga cetak.
Perencanaanya melibatkan unsur yang bersumber pada kebutuhan pemesan dan
52
kapasitas mesin yang akan di pergunakan. Perencanaan cavity yang di dasarkan pada kapasitas mesin di perhitungkan berdasarkan: 1. Gaya cekam 2. Kapasitas peniupan Perhitungan jumlah kaviti berdasarkan gaya cekam mesin di hitung dari persamaan:
p
F NxAp
atau
N
F ................................... (2.1) pxAp
Dimana : p = Tekanan Presure (N/cm2) F = Gaya cekam (N) N= Jumlah kaviti Ap= Luas proyeksi produk(cm2) 2.8.1 Tata Letak ( Lay Out ) Cavity Tata letak cavity merupakan bagian yang cukup penting dalam pembuatan thermomould, terutama pada cetakan yang memiliki cavity majemuk lebih dari satu. Pengaturan tata letak cavity sangat berpengaruh terhadap keseimbangan peniupan dan juga kesetimbangan cetakan itu sendiri. Dampak ketidak setimbangan (unbalance) akan berpengaruh terhadap keseragaman peniupan dan implikasi terhadap shrinkage produk.
53
Gambar 2.40
Contoh tata letak ( lay out ) cavity thermo mould
Hal-hal yang perlu di perhatikan dalam pembuatan lay out cavity: 1. Pengaturan cavity harus efisien untuk mendapatkan lebar cetakan seminimal mungkin 2. Panjang insert cavity sependek mungkin untuk menghindari penurunan tekanan 3. Dimensi insert cavity di perhitungkan secara dengan baik untuk mencegah pemborosan bahan. Kesetimbangan kaviti dapat di lakukan dengan 2 cara: 1. Pengaturan posisi insert satu sama lain 2. Pengaturan kesetimbangan tekanan peniupan
2.8.2
Penyusutan Produk Penyusutan (shrinkage) adalah pengecilan dimensi produk aktual dari
dimensi rongga cetak (kaviti). Penyusutan terjadi karena adanya perubahan fase dari cair ke padat akibat perubahan temperatur, dan berlangsung selama terjadinya proses pendinginan.
54
Terjadinya penyusutan berpengaruh terhadap perubahan dimensi kaviti pada produk jadinya, sehingga perubahan ini perlu dikompensasi pada saat awal penentuan dimensi rongga dan inti cetak. Pengukuran shrinkage produk diukur antara 24 – 168 jam setelah pembekuan. Pada dasarnya shrinkage dipengaruhi oleh faktor kemampuan kompresi dan muai panas plastik itu sendiri, dan terjadi secara menyeluruh terhadap volumenya (volumetric). Shrinkage volumetrik (Sv) dapat dinyatakan dalam : Vc V atau Vc V Sv 1 Vc Sv
Sv
= Shrinkage volumetrik (cm3)
Vc
= Volume kaviti pada suhu ruang (cm3)
V
= Volume produk pada suhu ruang (cm3)
……………………..……….(2.2)
Besarnya shrinkage yang terjadi sangat dipengaruhi oleh beberapa parameter diantaranya : 1. Pressure (tekanan) 2. Temperatur 3. Tebal dinding produk Pada benda yang sebenarnya, besarnya shrinkage tidak dapat ditentukan secara tepat dan tidak seragam pada semua arah dimensi produk dan juga belum tentu sama untuk produk berbeda pada bahan yang sama. Dari hasil percobaan yang telah dilakukan terhadap berbagai jenis material plastik dan dari berbagai produsen bahan, secara praktis harga relatif shrinkage ditentukan berdasarkan tabel 2.2. 55
Untuk produk yang memiliki geometri ruang, pembesaran dimensi cetakan diperhitungkan terhadap harga faktor penyusutan. Secara empiris besar nilai faktor penyusutan dihitung dari:
f 3
Tabel 2.2
100 100 shr
…………………….. (2.3)
Shrinkage beberapa material plastik
Material Nylon Nylon 6 – Glass Reinforcement Nylon 6/6
% Shrinkage 1 – 1.5 0.5 1–2
Nylon 6/6 – Glass Reinforcement
0.5
Low – density polyethylene
1.5
High – density polyethylene
2–3
Polystyrene
0.5 – 0.7
Styrene – acrylonitrile
0.4 – 0.6
Polymethyl methacrylate (Acrylic)
0.3 – 0.6
Polycarbonate Polyoxymethylene (Acetal) Polyvinyl Chloride, rigid Polyninyl Chloride,soft Acrylonitrile – butadiene – styrene Polypropylene
0.8 2 0.5 – 0,7 1–3 0.4 – 0,6 1.2 – 2
56
Cellulose acetate
0.5
Cellulose acetate butyrate
0.5
Cellulose propionate
0.5
(Ref. How to make injection molds, Georg Menges & Paul Mohren, 2nd Edition)
2.8.3
Perancangan Pendinginan Setelah bahan plastik yang panas masuk ke dalam cetakan, cetakan harus
didinginkan dengan cepat. Pendinginan tersebut untuk mempertahankan bentuk part yang dicetak sesuai dengan yang diinginkan ketika dipindahkan dari cetakan/mould. Jika pendinginan tidak ada, bahan plastik yang panas akan secara alami memanaskan mold sampai batas di mana pendinginan suatu bentuk part yang pejal tidak akan dicapai. Suhu cetakan adalah sangat penting, maka dari itu bagaimana mendesain pendinginan yang merata pada mould. Zat pendinginan cetakan yang khas adalah udara, air dan suatu campuran glikol water/ethylene. Udara mengacu pada pancaran panas dari mold. Air mengalir sepanjang kanal di dalam mould untuk mengangkut panas. Water/ ethylene glikol digunakan untuk persyaratan-persyaratan pendinginan ekstrem dan juga mengalir sepanjang kanal untuk mengangkut panas. Seat plastik yang panas akan memanaskan mould. Sebagian dari panas ini akan menyebar ke udara melingkupi mould. Panas berpindah dari suhu yang lebih tinggi ke suhu yang lebih rendah. Perbedaan suhu dan bukan jumlah dari panas yang mengakibatkan perpindahan panas tersebut. Semakin besar perbedaan suhu semakin besar laju alirnya. Perpindahan panas jenis ini berlangsung sejak seat 57
plastik yang panas kontak dengan mould dan lalu kepada saluran air. Efisiensi pendinginan dari suatu cetakan ditentukan oleh tipe dari pendingin yang digunakan, tekanan bahan pendingin, suhu laju alir dan bahan pendingin. Merancang sistem pendinginan yang tepat untuk suatu cetakan, ada banyak parameter yang harus dipertimbangkan oleh perancang cetakan, diantaranya : 1 . Tujuan dan Fungsi Pendinginan Pendinginan pada cetakan dimaksudkan untuk 2 hal utama : 1. Menurunkan temperatur plastik dalam rongga cetak/mendinginkan produk. 2. Menjaga temperatur cetakan/temperatur kaviti dan inti pada kondisi kerja yang tepat. Pengaturan pendingin yang baik dapat berpengaruh terhadap kualitas produk meliputi : 1. Kehalusan permukaan 2. Mencegah distorsi produk yang dapat menimbulkan lentingan (warpage) 3. Keseragaman struktur plastik 4. Penurunan dimensi / memperkecil shrinkage 5. Menurunkan stress bahan
58
2 . Desain Untuk Sistem Pendinginan Sistem pengontrol temperatur/suhu pada sebuah mould harus membuat pendistribusian temperatur/suhu yang seseragam mungkin di dalam mould dan dapat membuang panas yang ada dari rongga insert . Pendinginan pada mould dapat dilakukan dengan media pendinginan udara (air cooling) atau fluida (water cooling). Pemanfaatannya tergantung dari efektivitas pendinginan yang perlu dicapai sehingga produk cepat berada pada batas temperatur sentak yang diijinkan sesuai bahan plastik, fasilitas yang tersedia dan konstruksi pendinginan yang mendukung. Konstruksi pendingin dengan media fluida merupakan bagian yang kompleks dalam perancangan mould. Selain jenis konstruksi saluran pendingin yang direncanakan, juga harus memperlihatkan daerah lintasan yang akan dilalui pendingin dan area penyerapan panasnya. Sehingga dalam merencanakan saluran pendingin harus memperhatikan beberapa aspek berikut : Saluran pendingin tidak boleh bocor Jarak antar saluran yang berdekatan harus lebih besar dari ukuran selang air (pipa saluran) Pendingin harus merata pada tiap kaviti/inti cetak Perbedaan temperatur cairan masuk dan keluar dijaga agar tidak lebih dari 60C Arah pendinginan mulai dari arah datangnya seat menuju ke belakang dan kembali ke depan Bahan pendingin yang akan digunakan Lokasi pendinginan yang akan dibuat 59
Lokasi kanal-kanal satu sama lain Volume kanal pendingin Ukuran nomor, dan panjang dari kanal-kanal 3. Jarak Antara Insert Cavity dan Kanal Pendingin Semakin besar jarak antara kanal dan cavity, maka akan menghasilkan suhu pada cavity dari mould yang lebih merata, dan kenaikan suhu pada permukaan cavity juga lebih besar selama proses injeksi. Semakin kecil jarak antara kanal dan cavity, maka panas akan dibuang lebih cepat sehingga cycle time dari proses moulding juga lebih pendek. 4. Jarak antara kanal-kanal pendingin Semakin dekat jarak antara kanal-kanal pendingin, maka akan semakin seragam pula temperatur dari mould-nya. Apabila dari desain dituntut jarak kanal yang lebih besar, maka jarak antara rongga cavity dan diameter kanal pendingin juga harus lebih besar. Apabila tebal dinding produk diperbesar, berarti panas yang harus dibuang juga lebih banyak, maka diameter lubang pendinginpun juga harus dibesarkan. 5. Diameter kanal / lubang pendingin Berdasarkan
tuntutan-tuntutan
seperti
diatas
dan
pengetahuan
(pengalaman) yang ada, maka bisa dilakukan penentuan letak dan pemberian ukuran diameter kanal pendingin dengan pemidahan panas yang seragam/merata digambarkan dalam ilustrasi isothermis. Apabila jarak antara kanal pendingin ditentukan dalam konstruksi, maka diameter lubang kanal dipilih paling tidak sebesar 1/3 (sepertiga) dari jarak/spasi 60
ruang antara kanal pendingin tersebut. Perbandingan ukuran yang disebutkan disini terbatas sebagai patokan harga yang baik untuk dipenuhi (anjuran). Namun tentu ada juga mould yang digunakan untuk mencetak barang-barang presisi, hanya perbandingan ukurannya tidak seperti anjuran di atas. Hal ini tentu tidak otomatis berarti mould tersebut tidak bisa dipakai. 6.
Sistem Pendinginan Untuk mendapatkan sistem aliran dan pendinginan yang efektif, maka lay
out dan konstruksi saluran pendingin perlu disesuaikan dengan area produk dan bentuk produk yang akan diinginkan. Ada beberapa konstruksi saluran yang dapat dibuat untuk menghasilkan aliran dan sistem pendinginan efektif pada female Cutting dengan dan tanpa insert. Konstruksi saluran pendingin pada female cutting berfungsi mendinginkan cutting yang bertugas memisahkan hasil thermo dengan seat plastik, Konstruksi ini cukup sederhana dan dibuat dengan memasang sok insert yang tenghnya ada gruving untuk cooling dan seal. Diujung sok insert terdapat gruving sebagai tempat laluan masuk dan keluarnya air pada sok insert. Air masuk pada bagian depan dan setelah mengitari kemudian keluar dari depan.
61
Gambar 2.41 Contoh cooling pada female cutting thermo mould tanpa insert
Gambar 2.42 Contoh cooling pada female cutting thermo mould dengan insert 62
Gambar 2.43 Contoh cooling insert pada female cutting thermo mould Cara lain adalah dengan menggunakan insert berupa ulir spiral. Untuk pendinginan produk berbentuk corong yang cukup besar. Saluran pendingin diberikan di beberapa tempat sehingga pendinginan produk akan lebih efektif. Pada benda kerja yang memiliki bentuk box, maka pendinginan diberikan beberapa tempat sehingga seluruh permukaan dinding samping dan permukaan dinding atas dapat didinginkan secara serentak. Hal ini sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya warpage akibat penyusutan yang tidak merata. Aliran air dapat di alirkan secara seri maupun pararel, hal yang perlu diperhatikan adalah kecepatan alirnya untuk menjaga agar perbedaan air masuk dan keluar < 5 oC. Perbedaan suhu air yang terlalu besar dapat mengakibatkan air akan semakin cepat panas pada setiap injeksi berikutnya. Untuk benda kerja yang memiliki dimensi diameter agak besar, sistem pendinginan dapat dilakukan dengan sistem split (pembagian). Pemasangan 63
saluran dengan insert tunggal yang sisinya dibuat rata, sehingga pendingin dapat mengalir pada rongga diantara lubang dudukan dari sisi rata insert. Bagian yang rata dapat dibuat empat atau tiga tergantung kebutuhan dan dimensi produk serta arah masuk dan keluarnya air.
2.9
PEMILIHAN BAHAN MOULD Cavity dan adalah bagian utama cetakan yang membentuk dan menentukan
tampilan produk proses pembentukan yang terjadi didalam rongga mulai dari peniupan dan pemotongan seat, sampai produk dikeluarkan, dan parameter thermo yang diperlukan, sangat berpengaruh terhadap karakteristik material plug assist dan insert kaviti cetakan. Oleh karenanya, proses perancangan kedua bagian ini dipertimbangkan terhadap berbagai faktor mendasar dari berbagai elemen proses yang mempengaruhinya, baik yang bersumber pada proses design / perancangan, proses manufaktur, maupun proses produksinya. Penentuannya dipertimbangkan terhadap beberapa hal. Bahan thermo mould merupakan faktor utama yang memiliki aspek global dalam pembuatan mould, meliputi : Umur pakai (life time) cetakan yang diukur dari ketahanan dalam pemenuhan jumlah kebutuhan produksi/jumlah produk yang dihasilkan. Efektivitas cetakan yang diukur dari pemilihan material dan kesesuaiannya terhadap tuntutan produksi Efisiensi proses ditinjau dari pemberdayaan fasilitas dan potensi yang dapat dimanfaatkan dalam menerapkan metode pengerjaan secara sederhana, dan mampu memenuhi tuntutan waktu penyelesaian.
64
Nilai ekonomis (cost) yang diukur dari besarnya biaya yang dikeluarkan dalam pembuatan. Oleh karenanya, penentuan material thermo mould harus memenuhi kriteria kebutuhan dan tuntutan produksi. Pada umumnya pemilihan material dipertimbangkan berdasarkan pemenuhan tuntutan antara lain : Ditinjau dari tuntutan cetakan: Tahan aus ( wear resistance ) Tahan impact (toughnees ) Kuat terhadap tekanan ( compression strength ) Kekerasan ( hardness ) pada temperatur operasi Tahan korosi ( corrosion resistance ) Perambat panas ( thermal conductivity ) baik Ditinjau dari pengerjaan: Mampu permesinan ( machineable ) Mampu dipoles ( polishable ) Kesetabilan ukuran ( dimensional stability ) pada perlakuan panas ( heat treatment ) Mampu las Fleksibilitas dalam proses pengerasan Untuk bahan thermo mould khususnya untuk rumah insert, base dan rumah male cutting dapat dipilih baja dengan kualifikasi berikut : 1. Case hardening steels Baja ini sangat baik untuk part aktif cetakan. Selain harganya yang relatif murah, baja ini dapat dikeraskan permukaaan, dikaburasi, pelapisan keras, juga 65
memiliki sifat polis yang sangat baik serta ulet. Pengerasan permukaan yang dilakukan pada baja ini mampu meningkatkan ketahanan pakai, dan kokoh terhadap beben kejut. Material ini memiliki kandungan karbon < 0,2 % dan di annealing pada temperatur 840-900 oC dengan media quenching oil atau air. Selama annealing bagian permukaan akan terkaburasi dan kandungan karbon akan bertambah 0,8% dengan kedalaman antara 0,6 dan 2 mm tergantung kebutuhan. Kedalaman karburasi ditentuan kan oleh media karborising baik berbentuk gas, cairan atau padat dan kedalamannya dipengaruhi durasi waktu serta temperatur yang dicapai. 2. Nitriding Steels Pada dasarnya semua bahan yang memiliki unsur paduan pembentukan nitride dapar dilakukan proses nitriding .Unsur tersebut misalnya sepeti chromium, molybdenum, vanadium, dan alumunium dengan komposisi khusus. Proses ini di lakukan dalam bak garam, dalam gas, bak tepung, atau dalam larutan yang memiliki ionitriding kuat yang pada temperatur 350-380oC. Proses ini menghasilkan permukaan kaviti yang keras mencapai 600-800 Brinell. Untuk nitriding yang di lakukan dalam bak, temperatur cetakan harus di panaskan sampai 400oC, sedangkan temperatur kerja nitriding adalah 520oC.Karena hasil nitriding ini membentuk lapisan permukaan tipis yang keras, maka proses ini hanya di kerjakan apabila tidak akan di lakukan lagi proses permesinan. 3. Trough-hardening steels Trough
hardening
steel
akan
meningkatkan
kekerasannya
dengan
pembentukan struktur martensite yang di lakukan dengan pendinginan yang 66
cepat pada suhu kristalisasi logam. Pedinginan harus cepat dan drastis dengan menggunakan media air, oil atau udara. Proses di lakukan secara bertahap mulai dari pemanasan awal, pemanasan pada temperatur kristalisasi. Pendinginan untuk membentuk martensite dan normalizing dengan temperatur 160-250oC untuk menghilangkan tegangan dalam bahan. Material ini memiliki stabilitas dimensi yang baik jika dilakukan proses panas karena memiliki sifat mampu keras dan ketahanan terhadap kompresi sehingga sangat cocok untuk kaviti yang tipis dan tahan terhadap lonjakan tekanan tinggi .Material ini umumnya di bentuk dengan proses permesinan non tradisional (EDM.Gerinda Wire Cut). 4. Tempered steels for use as supplied Setelah pengerasan, material dapat di kerjakan kembali setelah di temper pada suhu 500oC yang akan mengubah struktur martensite menjadi besi alpha (carbide), material ini tidak perlu di lakukan heat treatment lagi setelah proses permesinan karena dapat mengakibatkan perubahan dimensi dan distorsi sehingga pekerjaan akan semakin mahal. Oleh karenanya material ini di rekomendasikan untuk bahan mould yang memiki dimensi besar. Untuk meningkatkan ketahanan pada permukaan. Proses tambahan yang mungkin di lakukan adalah dengan metode pelapisan (chrome, galvanized). 5. Martensitic steel Material ini memiliki sifat keras dan ketahanan yang tinggi strukturnya terdiri dari nickel martensite yang memiliki ketahanan 1100 MPa material ini dapat dapat di kerjakan dengan permesinan setelah di temper.
67
Material ini memiliki kekerasan 530-600 Brinell dan dianjurkan untuk pemakaian insert kaviti kecil dan memiliki bentuk yang komplek. 6. Corrosion resistant steels Pada pembentukan produk plastik, seringkali bahan yang di gunakan bersifat korosif dan bereaksi terhadap material cetakan. Untuk mencegah rusaknya part aktif tersebut, maka cetakan seringkali di lapisi dengan bahan pelapis chrome atau nickel pelapis ini sangat efektif karena dapat melapisi permukaan secara seragam. Untuk mencegah retaknya hasil pelapisan akibat deformasi bahan, maka pelapisan di buat agar cukup tebal. Pelapisan pada cetakan di lakukan apabila tindakan di lakukan lagi proses permesinan yang dapat menimbulkan cacat pada lapisan tersebut. Umumnya material untuk inti dan kaviti di pilih dari bahan logam ferro dan non ferro yang telah direkomendasikan oleh industri pengolah material. Data berikut ( tabel 2.3 ) adalah hasil eksperimen dari beberapa jenis logam dan jumlah produk yang mampu di hasilkan untuk berbagai jenis material plastik.
Tabel 2.3 Komposisi Bahan Baja Untuk Mould Steel type
AISI
Composition ( % )
No Carbon steel
1020
0.18 - 0.23 C
0.30 - 0.60 Mn 68
1030 1040 1095 4130
4140
Alloy steel
6150
8620
Tool steels Shock-resisting
S1
Air hardening
0.60 - 0.90 Mn 0.30 - 0.50 Mn 0.40 - 0.60 Mn 0.80 -1.10 Cr 0.035 P 0.75 – 1.00 Mn 0.80 -1.10 Cr 0.035 P 0.70 - 0.90 Mn 0.80 -1.10 Cr 0.035 P 0.70 - 0.90 Mn 0.40 – 0.70 Ni 0.15 – 0.25 Mo 0.04 S
0.75 Si 0.20 V 0.70 Mn 1.40 Mo
O1
0.90 C 0.50 W
0.70 Mn 0.20 V
0.50 Cr
A2
1.00 C 0.95 C 2.20 G
1.00 Mo 2.00Mn 1.150Mo
0.50 Cr 0.35 Si
S7
- oil hardening -Medium alloy,
0.60 - 0.90 Mn
0.50 C 2.50 W 0.50 C 3.25 Cr
steel: Cold-work steel:
0.04 P 0.05 S 0.28 - 0.34 C 0.04 P 0.05 S 0.37 - 0.44 C 0.04 P 0.05 S 0.90 - 1.03 C 0.04 P 0.05 S 0.28 - 0.33 C 0.20 - 0.35 Si 0.15 – 0.25 Mo 0.04 S 0.38 - 0.43 C 0.20 - 0.35 Si 0.15 – 0.25 Mo 0.04 S 0.48 - 0.53 C 0.20 - 0.35 Si 0.15 V 0.04 S 0.18 - 0.23 C 0.20 - 0.35 Si 0.40 -0.60 Cr 0.035 P
A4
1.25 Cr 0.25 Si
(Ref. Budi Harto, Dasar-dasar Perancangan Cetakan Injeksi Plastik, Politeknik Manufaktur Bandung 2002)
2.10
SISTEM PENYENTAK (EJECTOR SYSTEM) Setelah seat plastik yang ditekan plug assist masuk ke dalam cetakan
kemudian dilakukan peniupan dan membentuk benda sesuai dengan cetakan lalu 69
pemotongan produk dari seat, maka benda kerja atau produk telah jadi, dikeluarkan dari rongga insert cavity. Untuk mengeluarkan produk hasil cetakan dari dalam rongga insert cavity, diperlukan peralatan pendorong yang sering disebut ejector. Pengeluaran produk dilakukan setelah produk plastik terbentuk, kemudian moving plat bergerak ke bawah. Proses pengeluaran produk dari dalam cavity ini disebut dengan ejection Ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam perancangan sistem penyentak pada thermo mould, antara lain: 1. Produk akan terlepas dari rongga cetak 2. Pastikan produk tidak akan menempel pada penyentak/ejector Selain hal tersebut diatas perlu juga diperhatikan mengenai suhu produk pada saat operasi pengeluaran produk, suhu yang tidak dapat menimbulkan cacat ataupun bekas yang dapat mengganggu penampilan produk. Cacat produk yang terjadi akibat proses penyentak yang tidak tepat antara lain: 1. Terjadi perubahan bentuk yang tidak diinginkan pada produk. 2. Bekas penyentak yang menjorok ke dalam pada produk.
70