BAB II LANDASAN TEORI
2.1
Human Resources Departement (HRD)
2.1.1 HRD sebagai Sistem
Menurut Raymond A. Noe (2000:4), “Human Resources Management refers to the policies, practices, and systems that influence amployees behavior, attitudes, and performance”. Menurut William B. Werther Jr. (1993:10), “The purpose of human resource management is to improve the productive contribution of people to the organization in an ethical and socially responsible way”.
2.1.2 Aktivitas HRD
Adalah tugas departemen HRD untuk mengelola unsur manusia seefektif mungkin agar diperoleh suatu satuan tenaga kerja yang memuaskan HRD merupakan bagian penting yang memfokuskan diri pada unsur sumber daya manusia.
Menurut Raymond A. Noe (2000:5), terdapat delapan aktivitas yang dilakukan oleh HRD. Kedelapan aktivitas tersebut adalah sebagai berikut: 1. Employment and recruiting Di dalam aktivitas ini, HRD melakukan kegiatan interviewing, recruiting, testing, temporary labor coordination. 2. Training and development Di dalam aktivitas ini, HRD melakukan kegiatan orientation-performance management skills training, productivity enhancement. 3. Compensation Di dalam aktivitas ini, HRD melakukan kegiatan wage and salary administration, job descriptions, executive compensation, incentive pay, job evaluation. 4. Benefits Di dalam aktivitas ini, HRD melakukan kegiatan insurance, vacation-leave administration, retirement plans, profit sharing, stock plans. 5. Employee Services Di dalam aktivitas ini, HRD melakukan kegiatan employee assistance programs, relocation services, outplacement services. 6. Employee and community relations Di dalam aktivitas ini, HRD melakukan kegiatan attitude surveys, labor relations, publications, labor law compliance, discipline. 7. Personnel Records Di dalam aktivitas ini, HRD melakukan kegiatan information systems, record. 8. Health and safety
Di dalam aktivitas ini, HRD melakukan kegiatan safety inspection, drug testing, health, wellness.
9. Strategic planning Di dalam aktivitas ini, HRD melakukan kegiatan international human resources, forecasting, planning. Mergers, and acquisitions. David Ulrich (1996:24) mengatakan, “To create value and deliver results, HR Professional must begin not by focusing on the activities or work of HR but by defining the deliverables of that work. Deliverables guarantee outcomes of HR Work. With deliverables defined, the roles and activities of business partners may be stipulated”. David Ulrich (1996:24) memberikan gambaran tentang empat peran utama Human Resources (HR) dalam menjadi strategic partner bagi perusahaan. Gambaran tersebut adalah seperti di bawah ini.
Future/Strategic Focus Management of Strategic Human Resources
Management of Transformation and Change
Process
People Management of Firm Infrastructure
Management of Employee Contribution
Day-to-day/Operational Focus Gambar 2-1 HR Roles in Building A Competitive Organization David Ulrich (1996:25) mendefinisikan HR roles ke dalam suatu tabel seperti di bawah ini
Tabel 2-1 Definition of HR Roles
Penjelasan mengenai empat peran utama HR menurut David Ulrich dalam bukunya “Human Resource Champion: The Next Agenda for Adding Value and Delivering Results” adalah sebagai berikut. 1. Management of strategic human resources Menurut David Ulrich (1996:25-26) adalah sebagai berikut. “In playing this role, the HR professional works to be a strategic partner, helping to ensure the success of business strategies. By fulfilling this role, HR professional increase the capacity of a business to execute its strategies. Translating business strategies into HR practices help business in three ways. First, the business can adapt to change because the time from the conception to the execution of a strategy is shortened . Second, the business can better meet customer demand because its customer service strategies have been translate into specific policies and practices. Third, the business can achieve financial performance through its more effective execution of strategy.” 2. Management of firm infrastructure Menurut David Ulrich (1996:27-28) adalah sebagai berikut. “Creating an organizational infrastructure has been a traditional HR role. It requires that HR professional design and deliver efficient HR process for staffing, training, appraising, rewarding, promoting, and otherwise managing the flow of employees through the organization. As a caretaker of the corporate infrastructure, HR professionals ensure that these organizational processes are designed and delivered efficiently. While this role has been down-played and even disclaimed with the shift to a strategic focus, its successful accomplishment continues to add value to a business.” 3. Management of employee contribution Menurut David Ulrich (1996:29) adalah sebagai berikut. “The employee contribution role for HR professionals encompasses their involvement in the day-to-day problems, concerns, and needs of employees. In Companies in which intellectual capital becomes a critical source of the firm’s value, HR professional should be active and aggressive in developing this capital. HR professionals thus become the employees champions by linking employee
contributions to the organization’s success. With active employee champions who understand employees’ needs and ensure that those needs are met, overall employee contribution goes up.” 4. Management of transformation and change Menurut David Ulrich (1996:29) adalah sebagai berikut. “A fourth key role through which HR professionals can add value to a firm is to manage transformation and change. Transformation entails fundamental cultural change within the firm; HR professionals managing transformation become both cultural guardians and cultural catalysts. Change refers to the ability of an organization to improve the design and implementation of initiatives and to reduce cycle time in all organizational activities; HR professionals help to identify and implement processes for change.”
Fungsi HRD
Menurut
2.2
Perumusan Visi dan Misi
Vincent Gasperz (2003:4) dalam bukunya “Sistem Manajemen Kinerja Terintegrasi Balanced Scorecard untuk Organisasi Bisnis dan Pemerintah” mengatakan mengenai pengertian visi (vision) yaitu, “Suatu pernyataan menyeluruh tentang gambaran ideal yang ingin dicapai oleh organisasi di masa yang akan datang : diciptakan melalui konsensus, citra-citraan ideal di masa yang akan datang, yang mempengaruhi mental
orang-orang agar berhasrat mencapainya, menggambarkan sesuatu yang mungkin, tidak perlu harus dapat diperkirakan, memberikan arah dan fokus, mempengaruhi orang-orang untuk menuju ke visi itu, tidak memiliki batas waktu” Vincent Gasperz (2003:4) pun memberikan pendapatnya dalam buku “Sistem Manajemen Kinerja Terintegrasi Balanced Scorecard untuk Organisasi Bisnis dan Pemerintah” tentang pengertian misi (mission), yaitu “Suatu pernyataan bisnis perusahaan”. Menurut Vincent Gasperz (2003:4) dalam bukunya “Sistem Manajemen Kinerja Terintegrasi Balanced Scorecard untuk Organisasi Bisnis dan Pemerintah”, sebuah misi haruslah terdapat hal-hal berikut ini. ! Menyatakan alasan-alasan bisnis tentang keberadaan perusahaan itu. ! Tidak menyatakan suatu hasil ! Tidak ada batas waktu atau pengukuran ! Memberikan basis untuk pembuatan keputusan tentang alokasi sumber-sumber daya dan penerapan tujuan yang tepat ! Mendefinisikan bisnis sekarang dan yang akan datang dalam bentuk produk, skor, pelanggan, alasan-alasan, dan pasar. Apabila dihubungkan dengan pembuatan misi dari HRD, maka sebuah pernyataan misi yang baik harus dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut. 1. Mengapa departemen HRD diperlukan? 2. Sejauh apa karyawan mengetahui peran HRD dalam pengembangan dirinya? 3. Siapakah yang akan menjadi pelanggan perusahaan?
4. Apa yang menjadi filosofi HR dalam kaitannya dengan kualitas dan image perusahaan? 5. Apa yang menjadi kompetensi utama dan keuntungan kompetitif perusahaan? 6. Bagaimana tanggung jawab bagian HRD kepada pemegang saham, karyawan, lingkungan, dan terhadap isu-isu sosial? Walaupun kelihatannya mudah, namun penetapan misi sangat penting untuk memberikan pedoman sehingga perencanaan dan tindakan-tindakan jangka pendek yang diambil tidak bertentangan dengan tujuan jangka panjang dan apa yang menjadi tujuan akhir atau tujuan utama dari perusahaan . Misi perusahaan memberikan pandangan yang sama bagi semua tingkatan dan generasi karyawan. Dalam perjalanan sebuah perusahaan, pernyataan misi perusahaan tersebut dapat saja berubah mengikuti perkembangan dalam perusahaan itu sendiri-yaitu perubahan internal, maupun perubahan-perubahan eksternal.
2.3
Critical Success Factor
Menurut Blocher, Kung H. Chen, dan Thomas W. Lin (1999:35), berikut ini merupakan contoh critical success factor beserta measurement-nya.
Critical Success Factor o Profitability o Liquidity o Sales o Market Value
o o o o
o Customer Satisfaction o o Dealer and distributor o o Marketing and selling o
How to Measure the CSF Financial Factor Earning from operation, earning trend Cash flow adequacy, asset turn over Sales trend, sales forecast accuracy Share price Customer Factor Customer survey Coverage and strength of dealer and distributor channel relationships Trends in sales performance
o Timeliness of delivery o On-time delivery performance o Quality o Customer complaints
o Quality o Productivity o Flexibility o Equipment readiness o Safety
o Product innovation o Timeliness of new product o Skill development o Employee morale o Competence
o Governmental
o o o o o
o o o o o
Internal Business Processes Number of defects Cycle time Setup time Downtime, operator experience Number of accidents Learning and Innovation Number of design changes Number of day over or under the announced ship date Training hours, skill performance improvement Employee turnover Rate of turnover
Other Factors o Number of violations Tabel 2-2 Critical Success Factor
2.4 Empat Hambatan dalam Rencana Bisnis Strategis Menurut Vincent Gasperz (2003:2) dalam bukunya “Sistem Manajemen Kinerja Terintegrasi Balanced Scorecard untuk Organisasi Bisnis dan Pemerintah”, terdapat empat faktor penghambat dalam implementasi rencana-rencana bisnis strategis, yaitu sebagai berikut. ! Hambatan Visi (Vision Barrier) Tidak banyak orang dalam organisasi yang memahami strategi organisasi mereka. Berdasarkan survei, hanya sekitar 5% karyawan yang memahami strategi perusahaan mereka
!
Hambatan Orang (People Barrier)
Banyak orang dalam organisasi memiliki tujuan yang tidak terkait dengan strategi organisasi. Berdasarkan survei, hanya sekitar 25% dari manager yang memiliki insentif terkait dengan strategi perusahaan mereka.
!
Hambatan Sumber Daya (Resource Barrier) Waktu, energi, dan uang tidak dialokasikan pada hal-hal yang penting (kritis) dalam organisasi. Misalnya, anggaran tidak dikaitkan dengan strategi bisnis, sehingga menghasilkan pemborosan sumber daya. Berdasarkan survey, sekitar 60% organisasi tidak mengaitkan anggarannya dengan strategi perusahaan.
!
Hambatan Manajemen (Management Barrier) Manajemen menghabiskan terlalu sedikit waktu untuk strategi organisasi dan terlalu banyak waktu untuk pembuatan keputusan jangka pendek. Berdasarkan survei, sekitar 86% tim eksekutif menghabiskan waktu kurang dari satu jam per bulan untuk mendiskusikan strategi perusahaan mereka.
2.5
Balanced Scorecard
Kemajuan pesat di bidang industri mau tidak mau mensyaratkan perusahaan untuk terus berinovasi untuk menghasilkan value creation melalui berbagai diversifikasi produk. Namun dengan berjalannya waktu dan ditambah dengan semakin pekanya konsumen terhadap layanan dan mutu produk, proses value creation mengalami pergeseran . Indikasi dari pergeseran tersebut dapat dilihat dari aktivitas pengelolaan tangible asset ke pengelolaan berbagai strategi berbasis pengetahuan (knowledge-based strategy) dengan cara menggali aktiva tidak berwujud perusahaan (intangible assets), seperti :
1. Menciptakan hubungan yang harmonis dan langgeng dengan pelanggan. 2. Mengarahkan produk dan jasa yang inovatif dan kompetitif. 3. Meniti teknologi informasi dan komunikasi yang canggih. 4. Menstimulasikan keterampilan dan motivasi karyawan. Akuntan berkomunikasi dengan laporan keuangan, para insinyur berkomunikasi dengan gambar rancangannya. Dan tampaknya setiap profesi mempunyai perangkat yang dapat dipakai untuk berkomunikasi. Akan tetapi seringkali para perencana strategi perusahaan mengalami kesulitan dalam mengkomunikasikan hasil kerjanya. Perencana strategi yang sudah dibuat dengan matang seringkali tidak tersosialisasi dan sampai kepada orang yang seharusnya melaksanakannya, yaitu setiap karyawan di perusahaan tersebut. Balanced Scorecard mengatasi kesulitan dalam hal mengkomunikasikan strategi kepada seluruh tingkatan perusahaan ini. Dengan perangkat ini, strategi sampai ke setiap orang dalam bahasa yang masuk akal dan mudah dimengerti. Hal ini dikarenakan Balanced Scorecard mengekspresikan strategi dalam ukuran-ukuran dan target-target sehingga para karyawan dapat melihat dan menghubungkan apa yang harus terjadi. Ini akan sangat membantu dalam hal pelaksanaan strategi.
2.5.1 Apakah Balanced Scorecard
Balanced Scorecard adalah suatu pendekatan manajemen strategis yang dikembangkan pada awal tahun 1990-an oleh Robert Kaplan (Profesor dari Harvard
Business School) dan David Norton. Balanced Scorecard dikembangkan sebagai jawaban atas kelemahan dan ketidakjelasan pendekatan manajemen sebelumnya. Sistem manajemen baru ini menggambarkan kondisi perusahaan dalam beberapa ukuran, yang bukan hanya dalam ukuran-ukuran keuangan, akan tetapi juga ukuran pada perspektif lainnya yang menjadi pemicu tercapainya ukuran keuangan, yaitu ukuran pada perspektif pelanggan, perspektif proses bisnis internal, dan perspektif pembelajaran dan pertumbuhan. Semua ukuran ini terkait membentuk hubungan sebab-akibat yang seimbang. Selain mengambarkan kondisi perusahaan, sistem ini juga memberitahu dan membantu mengkomunikasikan hal yang harus dilakukan oleh para manajer dan bawahannya ketika ingin mencapai suatu target tertentu, karena di tiap ukuran di Balanced Scorecard, terdapat tindakan inisiatif (program) yang harus dilakukan. Menurut Edward Blocher, Kung H. Chen, dan Thomas W. Lin (1999:17) mengenai konsep balanced dalam balanced scorecard adalah sebagai berikut. “The concept of balanced captures the intent of broad coverage, financial and nonfinancial, of all the factors that contribute to the success of the firm in achieving its strategic goals.” Sedangkan scorecard menurut Sony Yuwono, Edy Sukarno, dan Muhammad Ichsan (2004:3), adalah sebagai berikut. “Scorecard terdiri atas tolak ukur keuangan yang menunjukkan hasil dari tindakan yang diambil sebagaimana ditunjukkan pada tiga perspektif tolak ukur operasional lainnya; kepuasan pelanggan, proses internal, dan kemampuan berorganisasi untuk belajar dan melakukan perbaikan.”
Menurut Edward Blocher, Kung H. Chen, dan Thomas W. Lin (1999:17) mengenai konsep balanced dalam balanced scorecard adalah sebagai berikut. “The Balanced Scorecard is an accounting report that includes the firm’s critical success factors in four areas:(1) financial performance,(2) customer satisfaction, (3) internal business processes, and (4) innovation and learning.”
Robert S. Kaplan, dan David P. Norton (2000:69) menjelaskan mengenai strategy map di dalam balanced scorecard, yaitu sebagai berikut. “A balanced scorecard strategy map is a generic architecture for describing a strategy”.
2.6 Penerjemahan Strategi Menjadi Tindakan
Setelah tujuan atau gol strategi dibentuk, kemudian Penulis menetapkan target dan menentukan tindakan inisiatif yang perlu dilakukan untuk mencapai tujuan strategis tersebut. HR Scorecard sangat berperan dalam tahap ini. HR Scorecard menampilkan sekumpulan ukuran yang secara langsung terhubung dengan misi dan strategi perusahaan. Seperti yang akan dibahas pada sub bab 2.2., setiap ukuran dalam HR Scorecard mempunyai target-target yang sesuai dengan misi dan strategi perusahaan yang sudah ditentukan. Di setiap ukuran ini pun terdapat inisiatif dan tindakan yang dilakukan untuk
memperbaiki nilai dari suatu ukuran. Berikut ini adalah bagan 2-1 mengenai value creation dari HR scorecard, yang diambil dalam buku karya Brian E. Becker, Mark A. Huselid, dan Dave Ulrich yang berjudul “The HR Scorecard Linking People, Strategy, and Performance”
FINANCIAL
Return of Capital Employed
CUSTOMER LOYALTY
CUSTOMER ON-TIME DELIVERY
INTERNAL / BUSINESS PROCESS
LEARNING AND GROWTH
PROCESS QUALITY
PROCESS CYCLE TIME
EMPLOYEE SKILLS
Bagan 2-1 HR Scorecard Value Creation
2.7 Karakteristik Pengukuran Kinerja
Organisasi yang menerapkan Balanced Scorecard biasanya menggunakan beberapa karakteristik pengukuran untuk mengevaluasi sistem pengukuran kinerja mereka. Berikut ini merupakan kutipan dari Vincent Gasperz (2003:68-69) mengenai karakteristik pengukuran kinerja dalam mengevaluasi sistem pengukuran kinerja. “Organisasi kelas dunia yang menerapkan Balanced Scorecard biasanya menggunakan karakteristik berikut untuk mengevaluasi sistem pengukuran kinerja mereka. 1. Biaya yang dikeluarkan untuk pengukuran seyogianya tidak lebih besar daripada manfaat yang diterima 2. Pengukuran harus dimulai pada permulaan program Balanced Scorecard. Berbagai masalah yang berkaitan dengan kinerja beserta kesempatan-kesempatan untuk meningkatkannya harus dirumuskan secara jelas. 3. Pengukuran harus terkait langsung dengan tujuan-tujuan strategis yang dirumuskan. Setiap tujuan strategis yang dirumuskan dalam kisi strategis (strategic grid) harus memiliki paling sedikit satu pengukuran. 4. Pengukuran harus sederhana serta memunculkan data yang mudah untuk digunakan, mudah dipahami, dan mudah melaporkannya 5. Pengukuran harus dapat diulang terus-menerus sepanjang waktu, sehingga dapat diperbandingkan antara pengukuran pada satu titik waktu dan pengukuran pada titik waktu yang lain. 6. Pengukuran harus dilakukan pada sistem secara keseluruhan, yang menjadi ruang lingkup program Balanced Scorecard. 7. Pengukuran harus dapat digunakan untuk menetapkan target, mengarah ke peningkatan kinerja di masa mendatang. 8. Ukuran-ukuran kinerja dalam program Balanced Scorecard yang diukur itu seyogianya telah dipahami secara jelas oleh semua individu yang terlibat, terutama mengenai keterkaitan ukuran-ukuran kinerja itu dengan sasaran program Balanced Scorecard.
9. Pengukuran seyogianya melibatkan semua individu yang berada dalam proses yang terlibat dengan program Balanced Scorecard. 10. Pengukuran harus diterima dan dipercaya sebagai sahih (valid) oleh mereka yang akan menggunakannya. Hal ini berarti data sebagai hasil pengukuran harus akurat, dapat diandalkan, dapat diverifikasi, dan lain-lain. 11. Pengukuran harus berfokus pada tindakan korektif dan peningkatan, bukan sekadar pada pemantauan (monitoring) atau pengendalian”.
2.48 Tahap-Tahap Pembuatan HR Scorecard
Tahap-tahap untuk memperlakukan HR sebagai Strategic Asset terdiri dari tujuh tahap menurut Brian E Becker, Mark A. Huselid, dan Dave Ulrich di dalam buku yang berjudul”The HR Scorecard Linking People, Strategy, and Performance” adalah sebagai berikut. 1. Definisikan dengan jelas strategi bisnis perusahaan Dengan lebih menekankan kepada bagaimana menerapkan sebuah strategi ketimbang sekedar menjelaskan strategi apa yang dimiliki oleh departemen HR, usaha ini akan lebih mampu memfasilitasi sebuah diskusi yang membahas bagaimana mengkomunikasikan tujuan perusahaan kepada seluruh karyawan perusahaan. Apabila strategi ini tidak diimplementasikan dan dikomunikasikan kepada seluruh karyawan, maka strategi ini akan menjadi sebuah kalimat yang menarik semata
seperti “meningkatkan efisiensi operational perusahaan”,
“meningkatkan produktivitas” dan lain-lain. Namun pada akhirnya karyawan akan bekerja seperti biasa saja. Mereka bahkan tidak mengetahui visi dan misi perusahaan tempat mereka bekerja. Kunci permasalahan pada tahap pertama ini adalah manajemen HRD harus mampu memberikan klarifikasi mengenai strategi organisasi kepada seluruh
karyawan perusahaan. Caranya dengan menjelaskan sasaran perusahaan dan memberikan penjelasan dimana posisi setiap karyawan berada sehingga mereka akan mengerti, misalnya, seperti apa peran mereka dalam suatu organisasi agar tujuan perusahaan dapat tercapai dengan kontribusi yang dapat mereka lakukan. 2. Memilih kasus yang menggambarkan HR sebagai aset strategis bagi perusahaan. Setelah strategi dijelaskan, orang yang ahli dalam bidang HR akan membuat sebuah kasus yang menjelaskan jawaban atas pertanyaan kenapa dan bagaimana bisa HR mampu mendukung strategi-strategi itu. Caranya bisa saja dengan mengadakan survey. Misalnya, melalui survey Penulis mendapatkan kesimpulan bahwa 2800 perusahaan dengan kinerja karyawan yang baik mempunyai pegaruh yang positif pula terhadap kinerja keuangannya. 3. Membuat Strategy Map Untuk memulai proses pemetaan di dalam organisasi, Penulis harus memahami tujuan strategis perusahaan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: ! Tujuan apa yang paling penting yang harus dicapai perusahaan? ! Apa yang menjadi penentu tercapainya tujuan tersebut? ! Bagaimana Penulis mengukur setiap perkembangan tujuan-tujuan ini? ! Apa tantangan untuk mencapai tujuan ini? ! Bagaimana karyawan harus bertindak untuk memastikan perusahaan dapat mencapai tujuannya?
Apakah HR function mensyaratkan suatu model kompetensi bagi karyawannya agar perusahaan dapat mencapai tujuannya. Apabila tidak, perlukah dilakukan perubahan? 4. Identifikasi HR deliverables di dalam Strategy Map HR Manager tradisional cenderung terfokus kepada hal-hal yang sifatnya fungsional, sehingga HR tradisional cenderung bersifat administratif saja, dan kurang memikirkan hal-hal yang sifatnya strategis. Namun, saat ini telah terjadi suatu perubahan yang sangat dramatis di lingkup HR, pemikiran hal-hal strategis bagi perusahaan telah menjadi fokus HR. Pada tahap identifikasi HR deliverable ini, harus mampu mengidentifikasikan deliverables apa saja yang diinginkan dalam pembuatan strategy map. Hal ini berarti bahwa pembuatan strategy map (tahap no. 3) dan Identifikasi HR deliverable di dalam Strategy Map (tahap no. 4) dapat berjalan seiring, dan HR deliverable-nya harus berada dalam strategy map. Proses ini cukup sulit. Di satu sisi, kunci performa HR adalah seperti kompetensi karyawan, motivasi merupakan suatu hal yang sangat fundamental yang tidak dapat dituangkan ke atas kertas, sehingga sulit untuk dapat menempatkan mereka pada peta. Cobalah untuk berfokus pada strategic behavior yang memperluas fungsi dari kompetensi, reward, dan organisasi kerja.
5. Mensejajarkan HR Architecture dengan HR Deliverables
Pada tahap ini
value perusahaan yang diciptakan akan
terwujud dengan
menyamakan sistem HR sejalan dengan sistem implementasi strategi perusahaan secara keseluruhan. Tetapi untuk melakukan hal tersebut, perlu dipikirkan bagaimana komponen di dalam sistem HR dapat bergabung menjadi satu, sebaik sistem HR bergabung dengan elemen lain dari value chain perusahaan.. Ketidakcocokan
antara sistem HR dan sistem implementasi strategi dapat
mengakibatkan value creation tidak tercipta atau bahkan menghancurkan value. 6. Membuat sistem pengukuran kinerja HR Untuk dapat mengukur performa HR dengan tepat, perlu dikembangkan pengukuran hasil HR yang akurat. Tugas ini memiliki dua dimensi. Pertama, anda harus yakin bahwa anda telah memilih kunci performa HR yang benar. Kedua, anda harus memilih pengukuran yang tepat untuk hasil yang diperoleh. 7. Implementasi sistem pengukuran kinerja HR Ketika HR Scorecard dikembangkan, hasil yang diharapkan adalah suatu alat management baru yang sangat kuat, tetapi pada kenyataannya, alat ini lebih dari hanya mencatat dampak yang ditimbulkan terhadap kinerja perusahaan. Jika Scorecard dapat berjalan seiring dengan strategi perusahaan, profesional HR akan memperoleh sesuatu hal yang baru yaitu mengelola HR sebagai aset strategis.
Akuntan berkomunikasi dengan laporan keuangan, para insinyur berkomunikasi dengan gambar rancangannya. Dan tampaknya setiap profesi mempunyai perangkat yang dapat dipakai untuk berkomunikasi. Akan tetapi seringkali para perencana strategi perusahaan mengalami kesulitan dalam mengkomunikasikan hasil kerjanya. Perencana strategi yang sudah dibuat dengan matang seringkali tidak tersosialisasi dan sampai kepada orang yang seharusnya melaksanakannya, yaitu setiap karyawan di perusahaan tersebut. Balanced Scorecard mengatasi kesulitan dalam hal mengkomunikasikan strategi kepada seluruh tingkatan perusahaan ini. Dengan perangkat ini, strategi sampai ke setiap orang dalam bahasa yang masuk akal dan mudah dimengerti. Hal ini dikarenakan Balanced Scorecard mengekspresikan strategi dalam ukuran-ukuran dan target-target sehingga para karyawan dapat melihat dan menghubungkan apa yang harus terjadi. Ini akan sangat membantu dalam hal pelaksanaan strategi. 2.9 Empat Perspektif dalam HR Scorecard
Seperti halnya empat perspektif di dalam balanced scorecard, HR Scorecard pun memiliki empat perspektif yang sama, yaitu sebagai berikut. 1. Perspektif keuangan 2. Perspektif pelanggan. 3. Perspektif proses bisnis internal. 4. Perspektif pembelajaran dan pertumbuhan.
2.9.1 Perspektif Keuangan
Robert S. Kaplan, dan David P. Norton, dalam bukunya yang berjudul “Translating Strategy Into Action The Balanced Scorecard” (1996:25), mengatakan mengenai perspektif keuangan, yaitu sebagai berikut. “The Balanced Scorecard retain the financial perspective since financial measures are valuable in summarizing the readily measurable economic consequences of actions already taken. Financial performance measures indicate whether a company’s strategy, implementation, and execution are contributing to bottom-line improvement.”
2.9.2 Perspektif Pelanggan
Robert S. Kaplan, dan David P. Norton, dalam bukunya yang berjudul “Translating Strategy Into Action The Balanced Scorecard” (1996:26), mengatakan mengenai perspektif pelanggan, yaitu sebagai berikut. “In the customer perspective of the Balanced Scorecard, managers identify the customer and market segments in which the business unit will compete and the measures of the business unit’s performance in these targeted segments. This perspective typically includes several core or generic measures of the successful outcomes from a wellformulated and well-implemented strategy”. Robert S. Kaplan, dan David P. Norton juga memberikan beberapa metode pengukuran dalam perspektif ini, seperti yang ditulis dalam bukunya yang berjudul “Translating Strategy Into Action The Balanced Scorecard” (1996:26), adalah sebagai berikut. “The core outcome measures include customer satisfaction, customer retention, new customer acquisition, customer profitability, and market and account share in targeted segment. But the customer perspective should also include specific measures of the value propositions that the company will deliver to customers in targeted market segments.”
2.9.3 Perspektif pembelajaran dan pertumbuhan
Robert S. Kaplan, dan David P. Norton, dalam bukunya yang berjudul “Translating Strategy Into Action The Balanced Scorecard” (1996:26), mengatakan mengenai perspektif pembelajaran dan pertumbuhan, yaitu sebagai berikut. “In the internal-business-process perspective, executives identify the critical internal processes in which the organization must excel.” Manfaat yang diberikan pada perspektif ini menurut Robert S. Kaplan, dan David P. Norton, dalam bukunya yang berjudul “Translating Strategy Into Action The Balanced Scorecard” (1996:26), adalah sebagai berikut. ! Deliver the value propositions that will attract and retain customers in targeted market segments, and ! Satisfy shareholder expectations of excellent financial returns. Ukuran yang ada dalam perspective ini menurut Robert S. Kaplan, dan David P. Norton, dalam bukunya yang berjudul “Translating Strategy Into Action The Balanced Scorecard” (1996:26), adalah sebagai berikut. “The internal-business-process measures focus on the internal processes that will have the greatest impact on customer satisfaction and achieving an organization’s financial objectives.”
Robert S. Kaplan, dan David P. Norton dalam bukunya yang berjudul “Translating Strategy Into Action The Balanced Scorecard” (1996:27), menggambarkan innovation processes into the internal-business-process perspective, seperti dalam gambar 2-2 berikut ini.
Innovation
Customer need identified
Design
Operations
Develop
Time-to-Market
Make
Market
Service
Customer need satisfied
Supply Chain
Gambar 2-2 Innovation Process
2.9.4 Learning and Growth Perspective
Robert S. Kaplan, dan David P. Norton, dalam bukunya yang berjudul “Translating Strategy Into Action The Balanced Scorecard” (1996:28), mengatakan mengenai Learning and Growth perspective, yaitu sebagai berikut. “The fourth perspective of the Balanced Scorecard, learning and growth, identifies the infrastructure that the organization must build to create long-term growth and improvement.” Menurut Robert S. Kaplan, dan David P. Norton, dalam bukunya yang berjudul “Translating Strategy Into Action The Balanced Scorecard” (1996:28)
Terdapat tiga sumber penting dalam Learning and Growth perspective, yaitu sebagai berikut. 1. People 2. Systems 3. Organizational Procedures
2.10 Financial Measurement
Menurut Blocher, Kung H. Chen, dan Thomas W. Lin (1999:759), “Return on investment (ROI) is profit divided by investment in the business unit”. Blocher, Kung H. Chen, dan Thomas W. Lin (1999:760) menggambarkan formula ROI sebagai berikut.
ROI = Return on Sales X Asset turnover
Profit ROI =
Sales X
Sales
Asset
Menurut Arthur J. Keown, John D. Martin, J. William Petty, David F. Scott, Jr (2002:77), formula Return on Equity (ROE) adalah sebagai berikut.
ROE = net income : common equity
Total debt ROI = return on assets :
1Total asset
Net income
Return on Assets = Total assets
2.11 Mengukur HR Cost
Salah satu biaya yang bisa diukur pada divisi PSDM adalah tingkat kehadiran. Ketidakhadiran karyawan sebenarnya adalah biaya signifikan yang dikeluarkan oleh perusahaan secara tidak langsung. Saat ini sangat sulit mengawasi tingkat kehadiran karyawan dikarenakan oleh banyak perusahaan meninggalkan pengawasan kehadiran oleh manajemen beberapa waktu yang lalu. Ada banyak alasan bagi karyawan tidak bisa masuk pada hari kerja. Sakit, urusan keluarga mendadak, dan urusan bisnis adalah beberapa dari banyak contoh alasan. Penelitian membuktikan adanya hubungan tingkat kehadiran dengan kepuasan karyawan terhadap upah yang mereka terima. Bahwa karyawan melakukannya untuk memberikan pengabdian yang seimbang dengan apa yang mereka terima dari perusahaan. Apabila mereka menerima upah yang layak maka tingkat kehadiran mereka akan menunjukkan hasil yang baik. Sebaliknya, apabila mereka tidak mendapatkan upah yang layak, maka mereka bisa jadi membalasnya dengan tingkat kehadiran yang kurang baik. Apabila hal ini dibiarkan lama terjadi, hal ini akan membentuk suatu pertanda bahwa tingkat turn over karyawan akan meningkat tidak lama lagi.
2.11.1 Employee Turnover Cost dan Turnover Rate
Survey membuktikan bahwa kendala utama yang dihadapi perusahaan adalah menemukan dan mempertahankan karyawan karyawan terbaik. Di Amerika, rata-rata turnover karyawan untuk seluruh jenis perusahaan tercatat 12% setiap tahunnya. Lebih jauh lagi survey salah satu universitas di Amerika, Wisconsin, membuktikan 75% kebutuhan tenaga kerja baru didasarkan atas keluarnya karyawan dari sebuah perusahaan. Berita baik datang dengan adanya metode yang dapat dibuktikan untuk mencari dan mempertahankan karyawan terbaik. Namun berita buruk juga mengemuka dan harus dihadapi oleh setiap manager dengan harus meningkatnya pelatihan karyawan, mengembangkan uraian pekerjaan, melakukan wawancara terhadap calon karyawan, dan screening yang baik dalam memilih karyawan yang baik. Semua kegiatan ini tentu saja membutuhkan biaya. Employee turnover juga menyebabkan biaya. Kita mengetahui bahwa sistem penerimaan pegawai (recruitment) dan pelatihan (training) yang baik dapat membantu manager HRD menemukan orang yang tepat dan mempertahankan yang sudah ada. Permasalahan yang muncul kemudian adalah menentukan berapa jumlah biaya yang pantas dikeluarkan untuk mendapatkan hasil yang seimbang dalam hal investasi sumber daya manusia ini. H.L Smith dan W.E. Watkins ( “Managing Manpower Turnover Costs” in Personnel Administrator, vol.23#4, 1978) mengidentifikasikan tiga biaya utama atas turnover cost yaitu : separation costs, replacement costs, dan training costs. Separation Costs meliputi: •
Biaya negosiasi sebelum karyawan keluar dari perusahaan
•
Biaya administratif karena keluarnya seorang pegawai
•
Pembayaran uang pesangon
•
Biaya kompensasi lainnya yang berhubungan dengan keluarnya karyawan
Replacement Costs meliputi biaya-biaya yang dikeluarkan sehubungan dengan: •
Menarik Pelamar
•
Biaya wawancara karyawan baru
•
Biaya pengujian ( psikotest)
•
Biaya perjalanan (moving expenses)
•
Biaya administrasi preemployment
•
Biaya tes kesehatan calon karyawan
Training Cost meliputi •
Formal Training
•
Informal Training
William H. Pinkovitz, Joseph Moskal dan Gary Green menambahkan biaya turnover selain biaya-biaya yang ada diatas tersebut yaitu Vacancy Costs yaitu biaya yang harus dikeluarkan karena adanya posisi kosong beserta dengan pekerjaan yang tak terselesaikan. Vacancy costs meliputi biaya overtime yang disebabkan oleh diselesaikannya pekerjaan yang terbengkalai tersebut.
Perhitungan Turnover costs dapat disimulasikan sebagai berikut:
THE COST OF EMPLOYEE TURN OVER
Separation Costs Cost of exit interviewer’s time
…………………………………$
+ Cost of terminating employee’s time
…………………………………$
+ Cost of administrative functions related to termination + Separation pay + Increase in unemployment tax
.………………...$
…………………………….……$ .
…………………………………$
Vacancy Costs Cost of additional Overtime
…………………………………$
+ Cost of additional temporary help
…………………………………$
- Wages and benefits saved due to vacancy …………………………………$
Replacement Costs Pre-employment administrative expense
…………………………………$
+ cost of attracting applicants
…………………………………$
+ cost of entrance interviews
…………………………………$
+ testing costs
…………………………………$
+ staff costs
…………………………………$
+ travel and moving expenses
…………………………………$
+ cost of post employment medical exams
…………………………………$
Training costs Cost of informational literature
…………………………………$
+ Formal training costs
…………………………………$
+ Informal training costs
…………………………………$
Performance Differential -/+ Differential in performance costs/benefits….…..…………………………$
TOTAL TURNOVER COST per EMPLOYEE
…………………………$
2.11.2 Mengukur Absence Rate
Menurut Jac Fitz-enz dan Barbara Davison (2001:256) absensi rate dapat diukur, yaitu dengan formula sebagai berikut.
WDL AR = (HC x WD) Dimana : AR
= Absence Rate, Monthly (Tingkat kehadiran)
WDL = Worker days lost (Jumlah hari yang hilang karena ketidakhadiran) HC
= Headcount (Jumlah Karyawan)
WD
= Work days per month (Jumlah hari kerja)
Menurut Jac Fitz-enz dan Barbara Davison (2001:256-257) terdapat hidden cost of absence. Formula yang digunakan untuk mengukur hidden cost of absence adalah formula absence cost factor, formulanya adalah sebagai berikut.
(WH x EHC) + (MH x MHC) + Misc. ACF = E Dimana : ACF = Absence cost per employee WH
= Total work hours lost for all reason except holiday and vacation
EHC = Total monthly compensation for all staff MH
= Management hours lost because of employee absence based on sampling to estimate average hours per day spent dealing with problems resulting from absences.
MHC = Total monthly compensation for all managers Misc = Other costs, temporary help, overtime E
= Total employees
Berdasarkan informasi dari situs www.npcpublicschool.org, Penulis mendapatkan suatu rumus dalam menghitung turnover rate, yaitu sebagai berikut.
Number of employee separations for the period Number of employees at a fixed point during the period
x 100
Tidak semua jumlah karyawan yang keluar dalam suatu perusahaan masuk ke dalam perhitungan ini. Karyawan yang keluar dari perusahaan karena pensiun atau meninggal dunia tidak masuk dalam perhitungan di atas. Penulis mendapatkan informasi mengenai rumus perhitungan turnover rate yang memasukkan perhitungan unsur situasi unavoidable (pensiun dan meninggal dunia) ke dalam perhitungan turnover rate, yaitu sebagai berikut.
(Number of employee separations for the period - unavoidable separations) x 100 Number of employees at a fixed point during the period
2.12 Pengukuran Kinerja
Menurut Vincent Gasperz (2003:172) t.abel pengukuran kinerja menggunakan empat perspektif Balanced Scorecard adalah sebagai berikut. Tabel 2.3 Ukuran kinerja
2.13 Incentive Compensation With Firm Performance
Menurut Arthur J. Keown, John D. Martin, J. William Petty, David F. Scott, Jr (2002:426), formula incentive pay adalah sebagai berikut.
Incentive pay = (base pay) X (fraction of pay at risk) X
actual performance Firm performance
Dimana : = gaji yang diterima per bulan
base pay
fraction of pay at risk = rate (%) yang diberikan oleh perusahaan
Menurut Arthur J. Keown, John D. Martin, J. William Petty, David F. Scott, Jr (2002:427), “Unbounded incentive compensation plan. An incentive program that has no minimum or maximum performance targets that limit the payment of incentive pay. Bounded incentive pay programs. Incentive pay program that place upper and lower limits on the levels of firm performance for which incentive compensation will be awarded to employees”
Berikut ini adalah gambar unbounded incentive compensation plan menurut Menurut Arthur J. Keown, John D. Martin, J. William Petty, David F.
Incentive Compensation
Scott, Jr (2002:427)
Target Bonus
Incentive payout
Target Performance Level
Firm Actual Performance Gambar 2-3 Unbounded incentive compensation plan Berikut ini adalah gambar bounded incentive pay for performance system menurut Menurut Arthur J. Keown, John D. Martin, J. William Petty, David F. Scott, Jr
Incentive Compensation
(2002:428)
Target Bonus
Incentive payout
Unpenalize performance
80% of target Gambar 2.4
Target Performance Level
Firm Actual Performance
100% of 120% of Unrewarded target target performance Bounded incentive pay for performance system
2.14 Full-time Equivalent (FTE)
Menurut Jac Fitz-enz (2000:31), “FTE is surrogate for total labor hours invested”. Berikut ini contoh mengenai FTE. Apabila terdapat sepuluh orang yang bekerja hanya setengah waktu (half-time) dari keseluruhan waktu (full-time), maka FTE-nya adalah lima orang.
2.15 Human Capital Value Added (HCVA)
HCVA adalah suatu formula yang dapat digunakan untuk menghitung produktivitas pekerja. Berikut ini formula yang diberikan oleh Jac Fitz-enz (2000:), “FTE is surrogate for total labor hours invested”.
Revenue – (Expenses –Pay and Benefits) HCVA = FTEs
Berikut ini adalah contoh perhitungan HCVA adalah sebagai berikut.
Revenue
Rp 1.000.000.000
Expense
80.000.000
Payroll and Benefits
24.000.000
Employees (FTEs)
500
Berdasarkan informasi diatas maka HVCA nya adalah :
1.000.000.000 – ( 80.000.000 – 24.000.000)
HCVA = 500 =
Rp 88.000/FTEs
2.16 Pengukuran Rata-rata Sampel Menurut Amir. D Achzel, rata-rata dapat dihitung dengan menjumlahkan seluruh nilai hasil pengamatan dibagi jumlah observasinya sebesar n.
n
∑ x =
xi
i= 1
n
=
x1 + x2 + … + xn n