BAB II LANDASAN TEORI
A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum tentang Notaris a. Pengertian Notaris Istilah Notaris pada dasarnya berasal dari kata “notarius” (bahasa latin), yaitu nama yang diberikan pada orang-orang Romawi di mana tugasnya menjalankan pekerjaan menulis atau orang-orang yang membuat catatan pada masa itu. Notaris adalah salah satu cabang dari profesi hukum yang tertua di dunia.1 Notaris seperti yang dikenal di zaman Belanda sebagai Republik der Verenigde Nederlanden mulai masuk di Indonesia pada permulaan abad ke-17 dengan beradanya Oost Ind. Compagnie di Indonesia.2 Pada saat itu yang pertama kali diangkat sebagai Notaris adalah Meichior Kerchem pada tanggal 27 Agustus 1620, sesudah pengangkatan yang dilakukan oleh Gubernur Jendral Jan Pieterszoon Coen tersebut, kemudian jumlah Notaris dalam kota Jakarta ditambah, berhubung kebutuhan akan jasa Notaris itu sangat dibutuhkan, yaitu tidak hanya dalam kota Jakarta saja melainkan juga di luar kota Jakarta, selanjutnya diangkat Notaris- Notaris oleh penguasa-penguasa setempat. Dengan demikian mulailah Notaris berkembang di wilayah Indonesia.3 Demi untuk kepentingan Notaris dan untuk melayani kepentingan masyarakat Indonesia, maka pemerintah pada tanggal 6 Oktober 2004 mengesahkan Peraturan Jabatan Notaris yang kita sebut dengan UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN). Kehadiran UUJN merupakan satu-satunya Undang-Undang yang mengatur Notaris 1
Anke Dwi Saputro, Jati Diri Notaris Indonesia Dulu, Sekarang, dan di Masa Datang, Gramedia Pustaka, Jakarta, 2007, hlm. 40 2 G.H.S Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris (Notaris Reglement), Penerbit Erlangga, Jakarta, 1999, hlm. 41 3 Tan Thong Kie, Studi Notariat, Serba-serbi Praktek Notaris, Buku I, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2000, hlm. 16
Indonesia, yang berarti telah terjadi unifikasi hukum dalam bidang pengaturan Notaris. Oleh karena itu, UUJN dapat disebut sebagai penutup (pengaturan) masa lalu dunia Notaris Indonesia dan pembuka (pengaturan) dunia Notaris Indonesia masa datang.4 Ketentuan tentang Jabatan Notaris diatur dalam Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Namun seiring dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat, terdapat beberapa ketentuan yang sudah tidak sesuai lagi sehingga perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang tersebut. Adapun perubahan UUJN tersebut diatur dalam UndangUndang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.5 Pengertian Notaris dalam ketentuan Pasal 1 Instructie voor De Notarissen in Indonesia, menyebutkan bahwa Notaris adalah pejabat umum yang harus mengetahui seluruh perundang-undangan yang berlaku, yang dipanggil dan diangkat untuk membuat akta-akta dan kontrak-kontrak, dengan maksud untuk memberikan kepadanya kekuatan dan pengesahan, menetapkan dan memastikan tanggalnya, menyimpan asli atau minutanya dan mengeluarkan grossenya, demikian juga salinannya yang sah dan benar.6 Sementara itu, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Notaris mempunyai arti orang yang mendapat kuasa dari pemerintah berdasarkan penunjukan (dalam hal ini adalah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia) untuk mengesahkan dan menyaksikan berbagai surat perjanjian, surat wasiat, akta, dan sebagainya.7 Menurut Matome M. Ratiba dalam bukunya Convecaying Law for Paralegals and Law Students menyebutkan Notary is a qualified attorneys 4
Habib Adjie, Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) Sebagai Unifikasi Hukum Pengaturan Notaris, Renvoi, 28 September 2005, hlm. 38 5 Widyatmoko, Analisis Kritis Membedah Ketentuan Undang-Undang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 (UUJN), Seminar Nasional, diselenggarakan Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 16 Januari 2014, hlm. 1 6 Habib Adjie, op. cit, hlm. 20 7 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Cetakan ke-3, Jakarta, 1990, hlm. 618
which is admitted by the court and is an officer of the court in both his office as notary and attorney and as notary he enjoys special privileges.8 Terjemahannya Notaris adalah pengacara yang berkualifikasi yang diakui oleh pengadilan dan petugas pengadilan baik di kantor sebagai Notaris dan pengacara dan sebagai Notaris ia menikmati hak-hak istimewa. Pengertian Notaris menurut R. Soegondo Notodisoerjo adalah pejabat umum openbare ambtenaren, karena erat hubungannya dengan wewenang atau tugas dan kewajiban yang utama yaitu membuat akta-akta otentik.9 Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.10 Mendasarkan pada nilai moral dan nilai etika Notaris, maka pengembanan jabatan Notaris adalah pelayanan kepada masyarakat (klien) secara mandiri dan tidak memihak dalam bidang kenotariatan yang pengembanannya dihayati sebagai panggilan hidup bersumber pada semangat pengabdian terhadap sesama manusia demi kepentingan umum serta berakar dalam penghormatan terhadap martabat manusia pada umumnya dan martabat Notaris pada khususnya.11 Pengertian Notaris dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, menentukan “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya 8
Matome M. Ratiba, Convecaying Law for Paralegals and Law Students,dalam bookboon.com, edisi No. 1, 2013, hlm. 28 9 R. Soegondo Notodisoerjono, Hukum Notariat di Indonesia Suatu Penjelasan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993, hlm. 8 10 Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Refika Aditama, Bandung, 2008, hlm. 13 11 Herlien Budiono, 2007, Notaris dan Kode Etiknya, Upgrading dan Refreshing Course Nasional Ikatan Notaris Indonesia, Medan, hlm. 3
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini atau berdasarkan undangundang lainnya.”12 Syarat untuk dapat diangkat menjadi Notaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UU perubahan atas UUJN adalah sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5. 6.
7.
8.
Warga negara Indonesia; Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; Berumur paling sedikit 27 (dua puluh tujuh) tahun; Sehat jasmani dan rohani yang dinyatakan dengan surat keterangan sehat dari dokter dan psikiater; Berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan; Telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan Notaris dalam waktu paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan berturut-turut pada kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariatan; Tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris; dan Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.”
Menurut Habib Adjie, Notaris merupakan suatu jabatan publik yang mempunyai karakteristik yaitu sebagai jabatan, artinya UUJN merupakan unifikasi di bidang pengaturan jabatan Notaris, artinya satu-satunya aturan hukum dalam bentuk undang-undang yang mengatur Jabatan Notaris di Indonesia, sehingga segala hal yang berkaitan Notaris di Indonesia harus mengacu kepada UUJN. Jabatan Notaris merupakan suatu lembaga yang diciptakan oleh Negara. Menempatkan Notaris sebagai jabatan merupakan suatu bidang pekerjaan atau tugas yang sengaja dibuat oleh aturan hukum untuk keperluan dan fungsi tertentu (kewenangan tertentu) serta bersifat berkesinambungan sebagai suatu lingkungan pekerjaan tetap.13 Karakteristik kedua Notaris mempunyai kewenangan tertentu, artinya 12
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris 13 Habib Adjie, op.cit, hlm. 32
setiap wewenang yang diberikan kepada jabatan harus ada aturan hukumnya sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik, dan tidak bertabrakan dengan wewenang jabatan lainnya. Dengan demikian jika seorang pejabat (Notaris) melakukan suatu tindakan diluar wewenang yang telah ditentukan, maka dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar wewenang. Wewenang Notaris hanya dicantumkan dalam Pasal 15 ayat (1), (2) dan (3) UU perubahan atas UUJN.14 Seorang Notaris dalam menjalankan profesinya memiliki kewajibankewajiban yang sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1), (2) dan (3) UU perubahan atas UUJN, yang berbunyi sebagai berikut: 1. Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib: a) Bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum; b) Membuat Akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian dari Protokol Notaris; c) Melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada Minuta Akta; d) Mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkan Minuta Akta; e) Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya; f) Merahasiakan segala sesuatu mengenai Akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan Akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain; g) Menjilid Akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) Akta, dan jika jumlah Akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, Akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku; h) Membuat daftar dari Akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat berharga; i) Membuat daftar Akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan Akta setiap bulan; j) Mengirimkan daftar Akta sebagaimana dimaksud dalam huruf i atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke pusat daftar wasiat pada kementerian yang menyelenggarakan 14
Habib Adjie, loc.cit
urusan pemerintahan di bidang hukum dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya; k) Mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan; l) Mempunyai cap atau stempel yang memuat lambang negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan; m) Membacakan Akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan Akta wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris; dan n) Menerima magang calon Notaris. 2. Kewajiban menyimpan Minuta Akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak berlaku, dalam hal Notaris mengeluarkan Akta in originali. 3. Akta in originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi: a) Akta pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun; b) Akta penawaran pembayaran tunai; c) Akta protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat berharga; d) Akta kuasa; e) Akta keterangan kepemilikan; dan Akta lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kewenangan Notaris di atur dalam Pasal 15 ayat (1), (2) dan (3) UU perubahan atas UUJN, sebagai berikut :15 1. Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. 2. Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Notaris berwenang pula: a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; b. Membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam 15
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
buku khusus; c. Membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan Akta; f. Membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau g. Membuat Akta risalah lelang. 3. Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.” Notaris diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, dalam Pasal 2 UUJN menentukan bahwa Notaris diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, dalam hal ini menteri yang membidangi kenotariatan (Pasal 1 angka 14 UU perubahan atas UUJN). Notaris meskipun secara administratif diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, tidak berarti Notaris menjadi subordinasi (bawahan) dari yang mengangkatnya, yaitu pemerintah. Dengan demikian, Notaris dalam menjalankan jabatannya harus bersifat mandiri (autonomous), tidak memihak siapa pun (impartial), tidak tergantung kepada siapa pun (independent), yang berarti dalam menjalankan tugas jabatannya tidak dapat dicampuri oleh pihak yang mengangkatnya atau oleh pihak lain. Notaris tidak menerima gaji atau pensiun dari yang mengangkatnya. Notaris meskipun diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah tetapi tidak menerima gaji maupun uang pensiun dari pemerintah. Notaris hanya menerima honorarium dari masyarakat yang telah dilayaninya atau dapat memberikan pelayanan cuma-cuma untuk mereka yang tidak mampu.16 Notaris dapat dikatakan sebagai pegawai pemerintah yang tidak menerima gaji dari pemerintah, Notaris dipensiunkan oleh pemerintah, akan tetapi tidak menerima pensiun dari pemerintah. Oleh karena itu, bukan saja Notaris yang harus dilindungi tetapi juga para konsumennya, yaitu masyarakat pengguna
16
Habib Adjie, op.cit, hlm. 35
jasa Notaris.17
b. Tinjauan tentang Jabatan Notaris Awalnya jabatan Notaris hakikatnya ialah sebagai pejabat umum (private notary) yang ditugaskan oleh kekuasaan umum untuk melayani kebutuhan masyarakat akan alat bukti otentik yang memberikan kepastian hubungan Hukum Perdata, jadi sepanjang alat bukti otentik tetap diperlukan oleh sistem hukum negara maka jabatan Notaris akan tetap diperlukan eksistensinya di tengah masyarakat.18 Jabatan Notaris dikehendaki oleh aturan hukum dengan maksud untuk membantu dan melayani masyarakat yang membutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum. Notaris sebagai pejabat publik mempunyai karakteristik sebagai berikut :19 1. Sebagai Jabatan UUJN merupakan unifikasi dibidang pengaturan jabatan notaris, artinya satu-satunya aturan hukum dalam bentuk undang-undang yang mengatur jabatan Notaris di Indonesia, sehingga segala hal yang berkaitan dengan Notaris di Indonesia harus mengacu kepada UUJN. Jabatan Notaris merupakan suatu lembaga yang diciptakan oleh Negara. Menempatkan Notaris sebagai jabatan merupakan suatu bidang pekerjaan atau tugas yang sengaja dibuat oleh aturan hukum untuk keperluan dan fungsi tertentu (kewenangan tertentu) serta sifat berkesinambungan sebagai suatu lingkungan pekerjaan tetap. 2. Notaris mempunyai kewenangan tertentu Setiap wewenang yang diberikan kepada jabatan harus dilandasi aturan hukumnya sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik dan tidak bertabrakan dengan wewenang jabatan lainnya. Dengan 17
Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm. 34 G.H.S Lumban Tobing, op.cit, hlm. 41 19 Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administrasi Terhadap Notaris sebagai Pejabat Publik, Refika Aditama, Bandung, 2013, hlm. 32 18
demikian, jika seorang pejabat (Notaris) melakukan tindakan diluar wewenang yang telah ditentukan, dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar wewenang. Wewenang Notaris tercantum dalam UUJN Pasal 15 ayat (1), (2) dan (3). Menurut Pasal 15 ayat (1) UUJN, wewenang Notaris adalah membuat akta, bukan membuat surat seperti Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) atau membuat surat lain, seperti Surat Keterangan Waris (SKW). Ada beberapa akta otentik yang merupakan wewenang Notaris dan juga menjadi wewenang pejabat atau instansi lain, yaitu: a) Akta pengakuan anak di luar kawin (Pasal 281 BW); b) Akta berita acara tentang kelalaian pejabat penyimpan hipotik (Pasal 1227 BW); c) Akta berita acara tentang penawaran pembayaran tunai dan konsinyasi (Pasal 1405 dan 1406 BW); d) Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) (Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996); e) Membuat akta risalah lelang. Pasal 15 ayat (3) UUJN merupakan wewenang yang akan ditentukan kemudian berdasarkan aturan hukum lain akan datang kemudian (ius consituendum). Berkaitan dengan wewenang tersebut, jika Notaris melakukan oerbuatan di luar wewenangnya, maka produk atau akta Notaris tersebut tidak mengikat secara hukum atau tidak dapat dilaksanakan. Pihak yang dirugikan oleh tindakan Notaris tersebut, maka Notaris dapat digugat secara perdata ke pengadilan negeri. Berdasarkan wewenang yang ada pada Notaris sebagaimana tersebut dalam Pasal 15 UUJN, dan kekuatan pembuktian dari akta Notaris, maka ada 2 (dua) kesimpulan, yaitu: a) Tugas
jabatan
Notaris
adalah
memformulasikan
keinginan/tindakan para pihak ke dalam akta otentik, dengan memperhatikan aturan hukum yang berlaku.
b) Akta Notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, sehingga tidak perlu dibuktikan atau ditambah dengan alat bukti lainnya, jika ada orang/pihak yang menilai atau menyatakan bahwa akta tersebut tidak benar, maka orang/pihak yang menilai atau yang menyatakan tidak benar tersebut wajib membuktikan penilaian atau pernyatannya sesuai aturan hukum yang berlaku. Kekuatan pembuktian akta Notaris ini berhubungan dengan sifat publik dari jabatan Notaris. Dengan konstruksi kesimpulan seperti diatas, maka ketentuan Pasal 50 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dapat diterapkan kepada Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya. Sepanjang pelaksanaan tugas jabatan tersebut sesuai dengan tata cara yang sudah ditentukan dalam UUJN, hal ini sebagai perlindungan hukum terhadap Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya atau merupakan suatu bentuk imunitas terhadap Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya sesuai aturan hukum yang berlaku.
c. Diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Dalam UUJN Pasal 2 menentukan bahwa Notaris diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, dalam hal ini menteri yang membidangi kenotariatan (Pasal 1 angka 14 UUJN). Notaris meskipun secara administratif diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, tidak berarti Notaris menjadi subordinasi (bawahan) dari yang mengangkatnya, pemerintah. Dengan demikian Notaris menjalankan tugas jabatannya:20 1) Bersifat mandiri (autonomous); 2) Tidak memihak siapapun (impartial);
20
Endang Purwaningsih, Penegakan Hukum Jabatan Notaris Dalam Pembuatan Perjanjian Berdasarkan Pancasila Dalam Rangka Kepastian Hukum, dalam Jurnal Hukum, edisi no. 3 Vol. 3, 2011, hlm. 2
3) Tidak tergantung kepada siapapun (independent), yang dalam menjalankan tugas jabatannya tidak dapat dicampuri oleh pihak yang mengangkatnya atau oleh pihak lain.
d. Tidak menerima gaji atau pensiun dari yang mengangkatnya Notaris walaupun diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah tetapi tidak menerima gaji dan pensiun dari pemerintah. Notaris hanya menerima honorarium dari masyarakat yang telah dilayaninya atau dapat memberikan pelayanan cuma-cuma untuk mereka yang tidak mampu.
e. Akuntabilitas atas pekerjaannya kepada masyarakat Kehadiran Notaris untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang memerlukan dokumen hukum (akta) otentik dalam bidang hukum perdata, sehingga Notaris mempunyai tanggungjawab untuk melayani masyarakat yang dapat menggugat secara perdata, menuntut biaya, ganti rugi, dan bunga jika ternyata akta tersebut dapat dibuktikan dibuat tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Hal ini merupakan bentuk akuntabilitas Notaris kepada masyarakat.
2. Tinjauan Umum tentang Perseroan Terbatas a. Pengertian Perseroan Terbatas Kata “perseroan” dalam pengertian umum adalah perusahaan atau organisasi usaha atau badan usaha. Sedangkan “perseroan terbatas” adalah suatu bentuk organisasi yang ada dan dikenal dalam sistem hukum dagang Indonesia. Kata “perseroan” menunjuk kepada modal nya yang terdiri atas sero (saham). Sedangkan “terbatas” menunjuk kepada tanggung jawab pemegang saham yang tidak melebihi nilai nominal saham yang di ambil bagian dan dimilikinya.21
21
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 1987, hlm. 202
Sebutan atau bentuk PT datang dari hukum dagang Belanda dengan singkatan NV atau Naamlooze Vennootschap,22 yang singkatannya juga lama digunakan di Indonesia sebelum diganti dengan singkatan PT. Sebenarnya bentuk ini berasal dari Perancis dengan singkatan SA atau Societe Anonyme yang secara harfiah artinya “Perseroan tanpa nama” 23. Maksudnya adalah bahwa PT itu tidak menggunakan nama salah seorang atau lebih diantara para pemegang
sahamnya,
melainkan
memperoleh
namanya
dari
tujuan
perusahaan saja. Sebenarnya, arti istilah Naamlooze Vennootschap tidak sama dengan arti istilah Perseroan Terbatas. Naamlooze Vennootschap diartikan sebagai persekutuan tanpa nama dan tidak mempergunakan nama orang sebagai nama persekutuan, seperti firma, melainkan nama usaha yang menjadi tujuan dari perusahaan yang bersangkutan. Sedangkan perseroan terbatas adalah persekutuan yang modalnya terdiri atas saham-saham, dan tanggung jawab persero bersifat terbatas pada jumlah nominal daripada saham-saham yang dimilikinya.24 Perseroan Terbatas merupakan bentuk badan usaha yang paling sempurna diantara berbagai bentuk badan usaha lainnya seperti Maatschap, baik Firma maupun Persekutuan Komanditer (CV). Namun demikian, keberadaan PT tidak bisa dilepaskan dari bentuk-bentuk badan usaha yang lebih sederhana, walaupun ada pendapat yang mengatakan bahwa PT sudah terlepas dari bentuk-bentuk badan usaha yang lebih sederhana.25 Menurut Soedjono Dirjosisworo Perseroan Terbatas atau PT adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang No. 40 tahun
22
I.G. Rai Widjaja, Hukum Perusahaan, Kesaint Blanc, Jakarta, 2002, hlm. 1 Ibid, hlm. 2 24 Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, Alumni, Bandung, 2004, hlm. 47 25 Mulhadi, Hukum Perusahaan: bentuk-bentuk badan usaha di Indonesia, Ghalia Indonesia, Bogor, 2010, hlm. 81 23
2007 sebagaimana telah diubah dengan serta peraturan pelaksanaannya.26 Sedangkan menurut Zaeni Asyhadie Perseroan Terbatas adalah suatu bentuk usaha yang berbadan hukum, yang pada awalnya dikenal dengan nama NaamlozeVennootschap (NV). Istilah “Terbatas” didalam Perseroan Terbatas tertuju pada tanggung jawab pemegang saham yang hanya terbatas pada nominal dari semua saham yang dimilikinya.27 Pengertian tentang Perseroan Terbatas secara tegas dapat ditemukan dalam ketentuan umum UU PT tahun 1995 maupun dalam ketentuan umum UU PT tahun 2007. Pasal 1 butir 1 UU PT tahun 1995 menyebutkan bahwa: “Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut perseroan adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya”. Definisi Perseroan Terbatas diatas kemudian mengalami sedikit penyempurnaan dalam Undang-Undang
No. 40
tahun
2007
Perseroan Terbatas dengan adanya penambahan frase baru,
tentang yakni
“persekutuan modal”, sehingga definisi Perseroan Terbatas adalah sebagai berikut: “Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya”. Berdasarkan definisi yang dikemukakan di atas, terdapat beberapa unsur dari Perseroan Terbatas sebagai berikut:28 1. Perseroan merupakan suatu badan hukum; 2. Merupakan persekutuan modal; 26
Soedjono Dirjosisworo, Hukum Perusahaan Mengenai Bentuk-bentuk Perusahaan (badan usaha) di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1997, hlm. 48 27 Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 41 28 Zaeni Asyhadie , loc.cit
3. Didirikan berdasarkan perjanjian; 4. Melakukan kegiatan usaha; 5. Terdiri atas modal dasar yang terbagi dalam saham; dan 6. Memenuhi persyaratan Undang-Undang. Sebagai badan hukum, Perseroan Terbatas telah memenuhi unsurunsur sebagai badan hukum sebagaimana telah diatur dalam UUPT. Unsurunsur tersebut adalah sebagai berikut:29 1. Memiliki pengurus dan organisasi teratur. Organ yang teratur ini dapat dilihat dari organ perusahaan yang terdiri dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi dan Dewan Komisaris. Ketentuan organ perseroan dapat diketahui melalui ketentuan UUPT, anggaran dasar perseroan, keputusan Rapat Umum Pemegang Saham, keputusan dewan komisaris, keputusan direksi dan peraturan-peraturan lain yang dikeluarkan dari waktu ke waktu. 2. Dapat melakukan perbuatan hukum dalam hubungan-hubungan hukum. Sebagai badan hukum, perseroan melakukan sendiri hubungan hukum dengan pihak ketiga yang diwakili oleh pengurus yang disebut direksi dan dewan komisaris. Direksi bertanggungjawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan, termasuk dalam hal ini dapat digugat atau menggugat dimuka pengadilan. Dalam melakukan kegiatan tersebut, direksi dalam pengawasan dewan komisaris, dan selain melakukan pengawasannya tersebut dewan komisaris dapat juga menjadi penasehat bagi direksi. 3. Mempunyai harta kekayaan sendiri. Harta kekayaan sendiri ini berupa modal dasar yang terdiri atas seluruh nilai nominal saham yang terdiri atas uang tunai dan harta kekayaan dalam bentuk lain. 4. Mempunyai hak dan kewajiban. 29
Sutantyo R. Hadikusuma dan Sumantoro, Pengertian Pokok Hukum Perusahaan, Bentuk-Bentuk Perusahaan yang Berlaku di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 1991, hlm. 40
5. Memiliki tujuan sendiri. Tujuan tersebut ditentukan dalam anggaran dasar perseroan, tujuan utama perusahaan adalah memperoleh keuntungan atau laba. Perseroan harus mempunyai maksud dan tujuan serta kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, dan/atau kesusilaan (Pasal 2 UUPT). Maksud dan tujuan serta kegiatan usaha harus dicantumkan dalam anggaran dasar perseroan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian dapatlah dilihat dan disimpulkan bahwa pada dasarnya suatu perseroan terbatas mempunyai ciri-ciri sekurang-kurangnya sebagai berikut: 1. Memiliki status hukum tersendiri, yaitu sebagai suatu badan hukum,
yaitu subjek hukum yang sengaja diciptakan oleh hukum
untuk membantu kegiatan
perekonomian,
yang
dipersamakan
dengan individu manusia, orang perorangan; 2. Memiliki harta kekayaan tersendiri yang dicatatkan atas namanya sendiri, dan pertanggungjawaban sendiri atas setiap tindakan, perbuatan, termasuk perjanjian yang dibuat. Ini berarti perseroan dapat mengikatkan dirinya dalam satu atau lebih perikatan, yang berarti menjadikan perseroan sebagai subjek hukum mandiri (persona standi in judicio) yang memiliki kapasitas dan kewenangan untuk dapat menggugat dan digugat di hadapan pengadilan; 3. Tidak lagi membebankan tanggung jawabnya kepada pendiri, atau pemegang sahamnya, melainkan hanya untuk dan atas nama dirinya sendiri, untuk kerugian dan kepentingan dirinya sendiri; 4. Kepemilikannya tidak digantungkan pada orang-perorangan tertentu, yang merupakan pendiri atau pemegang sahamnya, setiap saham perseroan dapat dialihkan kepada siapapun juga menurut ketentuan yang diatur dalam anggaran dasar dan undang-undang yang berlaku pada suatu waktu tertentu;
5. Keberadaannya tidak dibatasi jangka waktunya dan tidak lagi dihubungkan dengan eksistensi dari pemegang sahamnya; 6. Pertanggungjawaban yang mutlak terbatas, selama dan sepanjang para pengurus (direksi, dewan komisaris, dan atau pemegang saham) tidak melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang tidak boleh dilakukan. Sesuai UUPT, status badan hukum perseroan diperoleh sejak akta pendirian disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Ketentuan ini berbeda dengan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) yang menentukan bahwa status hukum perseroan diperoleh sejak diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1) UUPT menyatakan bahwa perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan akta Notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesia. Rumusan ini pada dasarnya mempertegas kembali makna perjanjian sebagaimana diatur dalam ketentuan umum mengenai perjanjian yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Perjanjian pembentukan Perseroan Terbatas ini juga tunduk sepenuhnya pada syaratsyarat sahnya perjanjian sebagaimana datur dalam Pasal 1320 Kitab UndangUndang Hukum Perdata (KUHPer), disamping ketentuan khusus yang diatur dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas tersebut. Menurut ketentuan Pasal 1320 KUHPer suatu perjanjian sah jika: 1. Pihak yang berjanji adalah mereka yang cakap dalam melakukan perbuatan hukum, dengan pengertian bahwa pihak tersebut dianggap mampu untuk melakukan tindakan atas perbuatan hukum tersebut, 2. Dilakukan berdasarkan kesepakatan antara para pihak yang berjanji, 3. Adanya suatu objek yang diperjanjikan, 4. Bahwa perjanjian tersebut meliputi sesuatu yang halal, yang diperkenankan oleh hukum, peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak melanggar ketertiban umum, kesusilaan dan kepatutan. Ketentuan ini terus berlaku selama perseroan masih berdiri dan hal ini kembali dipertegas dengan rumusan dalam Pasal 7 ayat (5) UUPT yang mewajibkan jumlah pemegang saham dalam perseroan minimal 2 (dua)
orang, dan rumusan dalam Pasal 27 huruf b, yang secara tegas menolak permohonan perubahan anggaran dasar perseroan yang isinya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan/atau kesusilaan. Perjanjian pendirian Perseroan Terbatas yang dilakukan oleh pendiri tersebut dituangkan dalam suatu akta Notaris yang disebut dengan Akta Pendirian. Akta Pendirian ini pada dasarnya mengatur berbagai macam hakhak dan kewajiban para pemegang saham perseroan dalam Perseroan Terbatas tersebut. Hak dan kewajiban para pemegang saham yang merupakan isi perjanjian selanjutnya disebut dengan anggaran dasar perseroan, sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (1) UUPT. Pendirian Perseroan Terbatas merupakan perjanjian timbal balik karena para pendiri yang menjadi pemegang saham pada waktu mendirikan perseroan, satu dengan yang lainnya saling mengikatkan diri untuk menerima dan melaksanakan kewajiban tertentu. Telah menjadi yurisprudensi tetap, bahwa di dalam PT yang didasarkan pada perjanjian tidak hanya ada hubungan hukum antara para pemegang saham dan PT, tetapi juga hubungan antara sesama pemegang saham. Semua hal tersebut membawa konsekuensi bahwa kesepakatan mendirikan perseroan merupakan suatu perjanjian, maka pendirian PT tunduk dan dapat diuji dengan ketentuan-ketentuan tentang perjanjian yang terdapat dalam buku III KUHPerdata.30
b. Dasar Hukum Perseroan Terbatas Untuk mengetahui tentang aspek yuridis dari suatu Perseroan Terbatas, maka perlu diketahui yang menjadi dasar hukum dai Perseroan Terbatas dalam dunia bisnis. Dasar hukum bagi suatu Perseroan Terbatas dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu sebagai berikut:31 1. Dasar hukum umum Adalah ketentuan yang mengatur suatu perseroan terbatas secara 30
31
Ridwan Khairandy, Perseroan Terbatas Doktrin, Peraturan Perundang-undangan dan Yurisprudensi, Kreasi Total Mandiri, Yogyakarta, 2009, hlm. 41 Munir Fuady, Perseroan Terbatas Paradigma Baru, PT Citra Aditya Baru, Bandung, 2003, hlm.53
umum tanpa melihat siapa pemegang sahamnya dan tanpa melihat dalam bidang apa perseroan terbatas tersebut melakukan usahanya. Untuk suatu perseroan terbatas, dasar hukumnya yang umum adalah Undang-Undang Perseroan Terbatas beserta sejumlah peraturan pelaksananya. 2. Dasar hukum khusus Adalah dasar hukum di samping Undang-Undang Perseroan Terbatas yang mengatur tentang perseroan terbatas tertentu saja. Dasar hukum khusus bagi perseroan terbatas tersebut adalah sebagai berikut:32 a) Undang-Undang Pasar Modal dan peraturan pelaksanaannya untuk perseroan terbatas terbuka, b) Undang-Undang Penanaman Modal Asing beserta peraturan pelaksanaannya untuk perusahaan penanaman modal asing, c) Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri beserta peraturan pelaksanaannya untuk perusahaan penanaman modal dalam negeri, d) Undang-Undang yang mengatur tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan peraturan pelaksanaannya untuk perseroan terbatas BUMN, e) Undang-Undang Perbankan dan peraturan pelaksanaannya untuk perseroan terbatas yang bergerak dibidang perbankan, f) Undang-Undang khusus lainnya yang khusus mengatur kegiatan-kegiatan suatu perseroan dibidang tertentu. Apabila ketentuan Pasal 4 UUPT dihubungkan dengan penjelasan Pasal tersebut, yang berbunyi : “Berlakunya undang-undang ini, anggaran dasar Perseroan, dan ketentuan peraturan perundang-undangan lain, tidak mengurangi kewajiban setiap Perseroan untuk menaati asas itikad baik, asas
32
Ibid. hlm. 14
kepantasan, asas kepatutan, dan prinsip tata kelola Perseroan yang baik (good corporate governance) dalam menjalankan Perseroan. Yang dimaksud dengan “ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya” adalah semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan keberadaan dan jalannya Perseroan, termasuk peraturan pelaksanaannya, antara lain peraturan perbankan, peraturan perasuransian, peraturan lembaga keuangan. Dalam hal terdapat pertentangan antara anggaran dasar dan undangundang ini yang berlaku adalah undang-undang ini.” Maka dapat dideskripsikan urutan hukum yang berlaku dan mengikat terhadap perseroan, yang terdiri atas : 1. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas sebagai ketentuan dan sekaligus aturan pokok perseroan, 2. Anggaran Dasar perseroan, 3. Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan jalannya perseroan. Dalam KUH Perdata tidak diatur secara jelas dan tegas mengenai badan hukum. Namun dalam buku III pasal 1653 s.d 1665 KUHPerdata mengatur tentang perkumpulan. Pengaturan dasar dari badan hukum terdapat dalam Pasal 1654 KUH Perdata yang menyatakan : “Semua perkumpulan yang sah adalah seperti halnya dengan orangorang preman, berkuasa melakukan tindakan-tindakan perdata, dengan tidak mengurangi peraturan-peraturan umum, dalam mana kekuasaan itu telah diubah, dibatasi atau ditundukkan pada acara-acara tertentu.” Sementara dalam Pasal 1653 KUHPerdata adalah peraturan umumnya, dimana disebutkan : “Selainnya perseroan yang sejati oleh undang-undang diakui pula perhimpunan-perhimpunan orang sebagai perkumpulan-perkumpulan, baik perkumpulan-perkumpulan itu diadakan atau diakui sebagai demikian oleh kekuasaan umum, maupun perkumpulan.” Frasa badan hukum mengandung dua dimensi, yakni badan hukum publik dan badan hukum perdata. Contoh yang paling nyata dari badan hukum publik adalah negara yang lazim juga disebut badan hukum orisinil, propinsi, kabupaten dan kotapraja. Sedangkan badan hukum perdata terdiri
dari beberapa jenis diantaranya perkumpulan , perseroan terbatas, koperasi, dan yayasan. KUHPerdata tidak menerangkan apa saja yang merupakan badan yang sah itu, tetapi menerangkan bahwa perkumpulan atau badan terdiri dari : 1. Perseroan sejati (badan usaha), 2. Perhimpunan orang (badan organisasi/sosial) atau perkumpulan atau badan dalam arti sempit. Dalam Pasal 1653 KUH Perdata menyatakan bahwa semua perkumpulan atau badan terbentuk karena : 1. Diadakan atau diakui oleh kekuasaan umum (pemerintah), 2. Diperbolehkan atau didirikan untuk sesuatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan Undang-Undang atau kesusilaan.
c. Pendirian Perseroan Terbatas Sama halnya dengan yayasan, pendirian perseroan terbatas harus memenuhi persyaratan tertentu agar dapat diakui sebagai suatu legal entity yang mandiri. Persyaratan tertentu dimaksud meliputi persyaratan material dan formal. Persyaratan material meliputi adanya kekayaan yang dipisahkan, mempunyai tujuan tertentu dan memiliki organisasi yang teratur. Sedangkan persyaratan formalnya, perseroan terbatas harus didirikan dengan suatu akta otentik yang dibuat dihadapan Notaris, yang merupakan akta pendirian perseroan tersebut. Dalam Pasal 7 UUPT terdapat 3 (tiga) persyaratan pokok pendirian suatu perseroan terbatas, yaitu : 1. Didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih, 2. Dilakukan dengan akta Notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesia, dan 3. Pendiri wajib mengambil bagian saham pada saat perseroan didirikan. UUPT mewajibkan pengesahan akta pendirian suatu perseroan terbatas oleh Menteri sebelum perseroan terbatas tersebut dapat memiliki
status badan hukum, sebagai suatu subjek yang mandiri dalam hukum, yang memiliki hak-hak, kewajiban-kewajiban dan harta kekayaan tersendiri. Saat pengesahan tersebut merupakan satu-satunya saat mulai berlakunya sifat kemandirian tersebut. Dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) UUPT menyatakan cara mendirikan perseroan harus dibuat secara tertulis dalam bentuk akta yaitu : 1. Berbentuk Akta Notaris, tidak boleh berbentuk akta dibawah tangan, 2. Keharusan akta pendirian perseroan berbentuk akta notaris, tidak hanya berfungsi sebagai probationis causa, yaitu akta Notaris tersebut tidak hanya sebagai alat bukti atau perjanjian pendirian perseroan, tetapi akta Notaris itu berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UUPT, sekaligus bersifat dan berfungsi solemnitatis causa yaitu apabila tidak dibuat dalam akta Notaris, maka akta pendirian perseroan itu tidak memenuhi syarat, sehingga terhadap akta tersebut tidak dapat diberikan pengesahan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dalam penjelasan Pasal 7 ayat (1) UUPT, secara tegas juga menekankan bahwa pada dasarnya sebagai badan hukum, perseroan didirikan berdasarkan perjanjian. Perjanjian yang mengacu pada ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya dan menyatakan bahwa perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan persetujuan dari para pihak yang membuatnya, atau karena alasan yang dianggap cukup oleh undang-undang. Berdasarkan ketentuan tersebut maka dapat dikatakan bahwa akta pendirian perseroan terbatas hanya mengikat para phak yang mengadakan perjanjian tersebut, baik untuk hal-hal yang secara tegas dinyatakan di dalamnya maupun segala sesuatu yang menurut sifatnya diwajibkan oleh kepatutan, kebiasaan dan Undang-Undang. Akta pendirian mengatur segala hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pihak yang membuatnya, yaitu para pendiri perseroan terbatas tersebut. Sebelum akta pendirian perseroan memperoleh pengesahan dari Menteri, anggaran dasar perseroan tidak berlaku bagi pihak ketiga, dan hanya
mengikat para pendiri yang mengadakan perjanjian untuk mendirikan perseroan terbatas tersebut. Dengan diperolehnya pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia yang berarti berlakunya anggaran dasar peseroan secara menyeluruh terhadap semua pihak, baik pihak pendiri maupun pihak ketiga lainnya yang berkepentingan dengan perseroan, maka praktis anggaran dasar perseroan telah menjadi Undang-Undang bagi semua pihak, dan bukan hanya menjadi Undang-Undang bagi para pembuatnya. Namun demikian secara hierarkis anggaran dasar tidak dapat menyimpang dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Jika mengingat ketentuan Pasal 7 ayat (4) UUPT yang menyatakan perseroan memperoleh status badan hukum pada tanggal diterbitkannya keputusan menteri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan, dan dalam Pasal 3 ayat (2) UUPT mengenai sifat pertanggungjawaban pribadi dari para pendiri perseroan sebelum perseroan memperoleh status badan hukum, maka dapat dikatakan bahwa anggaran dasar perseroan baru dianggap berlaku bagi pihak ketiga setelah akta pendirian yang memuat anggaran dasar tersebut memperoleh pengesahan oleh Menteri. Anggaran dasar perseroan merupakan aturan main dalam perseroan, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 4 UUPT yang menyatakan bahwa terhadap perseroan berlaku Undang-Undang ini, anggaran dasar perseroan dan peraturan perundang-undangan lainnya, serta tidak mengurangi kewajiban setiap perseroan untuk menaati asas itikad baik, asas kepantasan, asas kepatutan, dan prinsip tata kelola perseroan yang baik (good corporate governance) dalam menjalankan perseroan.33 Berdasarkan ketentuan Pasal 4 UUPT tersebut jika dihubungkan dengan penjelasannya, maka aturan main perseroan tidak hanya besumber pada UUPT, tetapi bersumber juga pada anggaran dasar perseroan terbatas maupun peraturan perundang-undangan lainnya. Hal ini berarti, sepanjang
33
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Perseroan Terbatas, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 30
anggaran dasar tidak menentukan lain, maka ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UUPT maupun peraturan perundang-undangan lainnya berlaku bagi perseroan terbatas yang bersangkutan.
d.
Ketentuan Dalam Anggaran Dasar Dalam Pasal 15 UUPT menyatakan bahwa anggaran dasar perseroan memuat sekurang-kurangnya : 1. Nama dan tempat kedudukan perseroan; 2. Maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan; 3. Jangka waktu berdirinya perseroan; 4. Besarnya jumlah modal dasar, modal ditempatkan dan disetor; 5. Jumlah saham, klasifikasi saham apabila ada berikut jumlah saham untuk tiap klasifikasi, hak-hak yang melekat pada setiap saham, dan nilai nominal setiap saham; 6. Nama jabatan dan jumlah anggota direksi dan dewan komisaris; 7. Penetapan tempat dan tata cara penyelenggaraan RUPS; 8. Tata cara pengangkatan, penggantian, pemberhentan anggota direksi dan dewan komisaris; 9. Tata cara penggunaan laba dan pembagian deviden.
e. Perubahan Anggaran Dasar Perubahan anggaran dasar bagi perseroan terbatas harus melalui mekanisme hukum tertentu. Dalam Pasal 14 UUPT menentukan bahwa perubahan anggaran dasar ditetapkan oleh RUPS, yang didahului dengan panggilan atau pengumuman untuk mengadakan RUPS. Usulan adanya perubahan anggaran dasar harus dicantumkan dalam surat panggilan atau pengumuman tersebut. Hal ini berarti kewenangan untuk mengubah anggaran dasar perseroan terbatas yang berbadan hukum berada ditangan RUPS.
Menurut ketentuan dalam Pasal 21 UUPT, perubahan anggaran dasar perseroan dapat diklasifikasikan sebagai berikut :34 1. Perubahan Anggaran Dasar Tertentu Yang Harus Mendapat Persetujuan Menteri Berdasar Pasal 21 ayat (1) UUPT, perubahan anggaran dasar mengenai hal tertentu harus mendapat pesetujuan Menteri. Perubahan anggaran dasar mengenai hal tertentu tersebut diatur dan dideskripsikan pada Pasal 21 ayat (2) yang terdiri atas atau meliputi: a) Nama perseroan dan/atau tempat kedudukan perseroan; b) Maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan; c) Jangka waktu berdirinya perseroan; d) Besarnya modal dasar; e) Pengurangan modal ditempatkan dan disetor; dan/atau f) Status perseroan yang tertutup menjadi perseroan terbuka atau sebaliknya. Berdasar penjelasan Pasal 21 ayat (2) huruf f, Perubahan anggaran dasar dari status Perseroan
yang tertutup menjadi
Perseroan Terbuka atau sebaliknya meliputi perubahan seluruh ketentuan anggaran dasar sehingga persetujuan menteri diberikan atas perubahan seluruh anggaran dasar tersebut. Hal-hal tersebut diatas yang dikategorikan perubahan anggaran dasar tertentu yang mesti mendapat keputusan persetujuan dari menteri, barulah perubahan itu sah dan berlaku efektif. 2. Perubahan Anggaran Dasar cukup diberitahukan kepada Menteri Perubahan anggaran dasar diluar perubahan anggaran dasar tertentu yang disebut Pasal 21 ayat (2). Berdasarkan Pasal 21 ayat (3), perubahan anggaran dasar selain dari yang disebut pada Pasal 21 ayat (2) cukup diberitahukan kepada Menteri. Oleh karena itu, tidak disyaratkan harus mendapat Keputusan Persetujuan Menteri, cukup 34
M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 200
diberitahukan kepada Menteri. Dengan demikian, untuk memperoleh keabsahan atas perubahan anggaran dasar dari Menteri ada yang berbentuk persetujuan untuk perubahan anggaran dasar tertentu, dan yang kedua, berbentuk pemberitahuan untuk perubahan lain di luar perubahan anggaran dasar tertentu. Pasal 21 ayat (4) UUPT mengatur mengenai tata cara pembuatan perubahan anggaran dasar yaitu harus dimuat atau dinyatakan dalam akta Notaris, yang dibuat dalam bahasa Indonesia. Menurut penjelasan Pasal 21 ayat (5), yang dimaksud dengan harus dinyatakan dengan akta Notaris adalah harus dalam bentuk akta pernyataan keputusan rapat atau akta perubahan anggaran dasar. Apabila berita acara rapat yang berisi keputusan RUPS perubahan anggaran dasar tidak dimuat dalam akta berita acara yang dibuat oleh Notaris, maka berita acara itu harus dinyatakan dalam akta Notaris yang dikenal dengan akta Pernyataan Keputusan Rapat. Sebaliknya, jika berita acara rapat yang berisi keputusan RUPS itu dimuat dalam akta berita acara rapat yang dibuat oleh Notaris, dengan sendirinya sudah langsung keputusan RUPS atas perubahan anggaran dasar telah dinyatakan dalam akta Notaris, dapat pula dibuatkan Akta Pernyataan Keputusan Rapat. Tenggang waktu pembuatan berita acara rapat yang berisi keputusan RUPS atas perubahan anggaran dasar yang tidak dimuat dalam akta Notaris harus dinyatakan dalam bentuk akta Notaris paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal keputusan RUPS diambil. Apabila perubahan anggaran dasar hasil RUPS itu tidak dinyatakan dalam akta Notaris dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari dari tanggal pengambilan keputusan RUPS, berakibat berita acara rapat yang berisi keputusan RUPS atas perubahan anggaran dasar tidak boleh lagi dinyatakan dalam akta Notaris dan dengan demikian keputusan RUPS atas perubahan anggaran dasar itu batal dan tidak mengikat lagi.35 Keharusan bentuk perubahan anggaran dasar menurut ketentuan Pasal 21 ayat (4) UUPT merupakan syarat mutlak untuk adanya perbuatan hukum tesebut, sebagaimana telah disebutkan diatas, secara 35
Ibid, hlm. 202
yuridis formal batal demi hukum atau dalam konteks yuridis dogmatis perbuatan tersebut noneksisten.36 Sehubungan dengan itu, untuk memperkecil resiko dan biaya, sebaiknya berita acara rapat yang membicarakan perubahan anggaran dasar langsung dibuat oleh Notaris, dengan cara Notaris hadir dalam RUPS dan bertindak serta berfungsi membuat berita acara RUPS. Dengan demikian dapat terhindar dari masalah tenggang waktu dalam pembuatan pernyataan berita acara rapat dalam bentuk akta Notaris.
f.
Persetujuan dan Pemberitahuan Perubahan Anggaran Dasar UUPT memberikan istilah yang berbeda untuk pengesahan akta pendirian perseroan terbatas dan persetujuan perubahan anggaran dasar perseroan terbatas, berbeda dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) yang hanya mengenal satu istilah saja. Pernyataan pengesahan akta pendirian ditujukan untuk memberikan kesan lebih mendalam mengenai saat terciptanya suatu subjek hukum yang mandiri dari perseroan terbatas tersebut segera setelah pengesahan diberikan. Selanjutnya setiap perubahan dari anggaran dasar perseroan terbatas, yang secara hukum tidak mengubah sifat kemandirian dari perseroan terbatas, diberikan istilah persetujuan. Selain hal tersebut, UUPT juga memberikan dua macam perlakuan yang berbeda terhadap setiap perubahan anggaran dasar perseroan terbatas, pertama perubahan yang memerlukan persetujuan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan kedua perubahan yang cukup dibertahukan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dalam ketentuan Pasal 21 ayat (1) UUPT mensyaratkan perubahanperubahan tertentu dalam anggaran dasar perseroan terbatas harus memperoleh persetujuan Menteri terlebih dahulu sebelum didaftarkan dalam daftar perusahaan dan diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia. Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 21 ayat (2) memberikan perincian mengenai perubahan-perubahan dalam anggaran dasar perseroan yang harus
36
Herlin Budono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hlm. 112
memperoleh persetujuan Menteri, yaitu : 1. Nama Perseroan dan/atau tempat kedudukan Perseroan; 2. Maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perseroan; 3. Jangka waktu berdirinya Perseroan; 4. Besarnya modal dasar; 5. Pengurangan modal ditempatkan dan disetor; dan/atau 6. Status Perseroan yang tertutup menjadi Perseroan Terbuka atau sebaliknya. Sebagaimana halnya pengesahan akta pendirian perseroan terbatas, dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. M.HH02.AH.01.01 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Badan Hukum
dan
Persetujuan
Perubahan
Anggaran
Dasar,
Penyampaian
Pemberitahuan Perubahan Anggaran Dasar dan Perubahan Data Perseroan, juga ditentukan bahwa persetujuan hanya diberikan terhadap surat permohonan persetujuan perubahan anggaran dasar yang disampaikan oleh direksi perseroan atau kuasanya, dengan sepengetahuan Notaris yang membuat perubahan anggaran dasar tersebut. Akta yang memuat perubahan itu sendiri juga wajib untuk dilampirkan bersama-sama dengan dokumen pendukung lainnya yang ditentukan. Dalam ketentuan Pasal 21 ayat (3) UUPT menyatakan bahwa:37 “Perubahan anggaran dasar selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) cukup diberitahukan kepada Menteri.”. Hal ini berarti perubahan atas ketentuan-ketentuan anggaran dasar lainnya yang tidak disebutkan dalam ketentuan Pasal 21 ayat (2) tidak diharuskan untuk diminta persetujuan kepada Menteri, dan cukup hanya diberitahukan saja oleh direksi perseroan atau kuasanya, dan Notaris yang membuat akta perubahan tersebut, menurut format yang telah ditentukan. Meskipun tidak diperlukan persetujuan Menteri, namun pada dasarnya perubahan tersebut tidak boleh menyimpang dari apa yang telah ditentukan dalam UUPT, seperti misalnya ketentuan-ketentuan mengenai hak minoritas, 37
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
kuorum rapat, jumlah dan susunan direksi serta dewan komisaris perseroan, dana cadangan perseroan dan lain-lainnya. Sama halnya dengan permohonan pengesahan akta pendirian perseroan terbatas, permohonan pemberitahuan perubahan anggaran dasar perseroan terbatas diajukan oleh direksi atau kuasanya kepada Menteri melalui Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum dengan mengajukan permohonan dan melampirkan kelengkapan yang diperlukan. Permohonan persetujuan perubahan anggaran dasar dapat diterima apabila telah memenuhi persyaratan dan kelengkapan yang dipersyaratkan dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No.M.HH-02.AH.01.01 Tahun 2009 tersebut. Menteri atau pejabat yang ditunjuk dapat menyatakan tidak keberatan atas permohonan atau menolak permohonan yang diajukan. Pernyataan tidak keberatan atau penolakan tersebut diberitahukan langsung melalui Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH). SABH adalah jenis pelayanan yang diberikan kepada masyarakat dalam proses pengesahan badan hukum perseroan, pemberian persetujuan perubahan anggaran dasar, penerimaan pemberitahuan perubahan anggaran dasar, dan perubahan data perseroan serta pemberian informasi lainnya secara elektronik, yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum. Jika keterangan mengenai dokumen pendukung telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, Menteri atau pejabat yang ditunjuk langsung menyatakan tidak keberatan atas permohonan yang bersangkutan. Apabila semua persyaratan tersebut telah dipenuhi secara lengkap, maka dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari, Menteri atau pejabat yang ditunjuk menerbitkan keputusan tentang persetujuan perubahan anggaran dasar perseroan. Keputusan tentang perubahan anggaran dasar perseroan ditandatangani secara elektronik. Menteri dapat menolak permohonan persetujuan atas perubahan anggaran dasar perseroan terbatas. Alasan penolakan tersebut sesuai dalam ketentuan Pasal 27 UUPT, yaitu: 1. Bertentangan dengan ketentuan mengenai tata cara perubahan
anggaran dasar; 2. Isi
perubahan
bertentangan
dengan
ketentuan peraturan
perundang-undangan, ketertiban umum, dan/atau kesusilaan; atau 3. Terdapat keberatan dari kreditor atas keputusan RUPS mengenai pengurangan modal. Perubahan anggaran dasar perseroan terbatas mulai berlaku sejak tanggal persetujuan diberikan oleh Menteri, sedangkan perubahan anggaran dasar perseroan terbatas yang cukup diberitahukan kepada Menteri mulai berlaku sejak tanggal pendaftaran. Sehubungan dengan persetujuan atau pemberitahuan kepada Menteri, Pasal 21 ayat (7) dan (8) UUPT telah menentukan tenggang waktunya, yaitu: 1. Permohonan
persetujuan
perubahan
anggaran
dasar
tertentu
diajukan kepada Menteri, paling lambat 30 (tiga puluh)
hari
terhitung sejak tanggal akta Notaris yang memuat perubahan anggaran dasar tersebut. 2. Pemberitahuan perubahan anggaran dasar lainnya d luar perubahan anggaran dasar tertentu, harus disampaikan kepada Menteri paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pembuatan akta Notaris yang memuat perubahan anggaran dasar dimaksud. Pada dasarnya tenggang waktu pengajuan permohonan persetujuan Menteri atas perubahan anggaran dasar tertentu dengan penyampaian pemberitahuan perubahan anggaran dasar lain di luar perubahan anggaran dasar tertentu adalah sama paling lambat 30 (tiga puluh) hari dari tanggal akta Notaris yang memuat perubahan anggaran dasar. Apabila batas waktu 30 (tiga puluh) har tersebut dilewati atau dilampaui, maka menurut ketentuan Pasal 21 ayat (9) UUPT permohonan persetujuan perubahan anggaran dasar itu tidak dapat diajukan lagi. Begitu pula mengenai pemberitahuan perubahan anggaran dasar tersebut, tidak dapat disampaikan lagi kepada Menteri. 3. Tinjauan Umum tentang Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) a. Rapat Umum Pemegang Saham sebagai Organ Perseroan
Perseroan Terbatas sebagai subjek hukum buatan tidak memiliki kelengkapan diri untuk dapat melakukan perbuatan hukum, sehingga Perseroan Terbatas harus didukung organ-organ yang dapat mendukung fungsi badan hukum. Organ-organ Perseroan Terbatas terdiri atas Rapat Umum Pemegang Saham, Direksi dan Dewan Komisaris.38 Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) memiliki kewenangan yang tidak diberikan kepada organ-organ perseroan lainnya, berdasar ketentuan Pasal 1 ayat 4 UUPT yang mengatakan:39 “Rapat Umum Pemegang Saham, yang selanjutnya disebut RUPS, adalah Organ Perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam undang-undang ini dan/atau anggaran dasar”. Selanjutnya dalam Pasal 75 ayat (1) UUPT menyebutkan bahwa: “RUPS mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris, dalam batas yang ditentukan dalam undangundang ini dan/atau anggaran dasar” Berdasarkan ketentuan diatas maka dapat disimpulkan bahwa dalam struktur perseroan terbatas, RUPS mempunyai kekuasaan yang tertinggi. Hal tersebut bukan berarti bahwa RUPS mempunyai jenjang tertinggi di antara organ perseroan, tetapi sekedar mempunyai kekuasaan tertinggi bila wewenang tersebut tidak dilimpahkan kepada organ perseroan lain. Jadi, masing-masing organ perseroan mempunyai tugas dan wewenang yang berdiri sendiri.40 Kedudukan RUPS sebagai salah satu organ perseroan adalah sama dengan organ perusahaan yang lain seperti direksi dan dewan komisaris. RUPS, direksi dan dewan komisaris adalah sederajat.41 Banyak yang beranggapan RUPS memiliki kedudukan paling tinggi dalam perseroan terbatas, hal tersebut dikarenakan pada UUPT sebelumnya yakni Undang-undang Nomor 1 Tahun 38
39 40
41
David, Legalitas Akta Notaris Rapat Umum Pemegang Saham Melalui Media Telekonferensi, dalam Jurnal Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2013, hlm. 4 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Misahardi Wilamarta, Hak Pemegang Saham Minoritas Dalam Rangka Good Corporate Governance, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2002, hlm. 154 Binoto Nadapdap, Hukum Perseroan Terbatas: Berdasarkan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 (Edisi Revisi), Permata Aksara, Jakarta, 2014, hlm. 111
1995 menganut pandangan klasik tentang kedudukan ketiga organ PT tesebut yakni kedudukannya berjenjang, RUPS sebagai organ tertinggi. 42 Tetapi menurut pandangan institusional, kedudukan ketiga organ tersebut tidak berjenjang serta tidak sederajat dan tidak ada satu organ lebih tinggi dari organ lain.43 Tidak ada ketentuan yang tegas dalam Undang-undang mengenai batasbatas dan ruang lingkup kewenangan yang dapat dilakukan oleh RUPS dalam suatu perseroan terbatas tetapi dapat ditarik beberapa pedoman sebagai berikut:44 1. RUPS tidak dapat mengambil keputusan yang bertentangan dengan hukum yang berlaku. 2. RUPS tidak boleh mengambil keputusan yang bertentangan dengan ketentuan dalam anggaran dasarnya, tetapi anggaran dasar dapat diubah oleh RUPS asal memenuhi syarat-syarat untuk itu. 3. RUPS tidak boleh mengambil keputusan yang bertentangan dengan kepentingan yang dilindungi oleh hukum yaitu kepentingan stakeholders, seperti pemegang saham minoritas, karyawan, kreditur, masyarakat sekitar, dan sebagainya. 4. RUPS tidak boleh mengambil keputusan yang merupakan kewenangan dari direksi dan dewan komisaris, sejauh kedua organ perusahaan tersebut tidak menyalahgunakan kewenangannya. Hal ini sebagai konsekuensi logis dari prinsip kewenangan residual dari RUPS. Menurut Abdulkadir Muhammad wewenang eksklusif RUPS yang tidak dilimpahkan kepada organ lain ditetapkan dalam UUPT dan anggaran dasar. Wewenang eksklusif yang ditetapkan dalam UUPT tidak dapat ditiadakan selama tidak ada perubahan undang-undang, sedangkan wewenang eksklusif dalam anggaran dasar semata-mata berdasarkan kehendak RUPS yang disahkan dan disetujui oleh Menteri Kehakiman yang dapat diubah melalui 42
Rudi prasetya, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, Disertai Dengan Ulasan Menurut UU No 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2001, hlm. 22 43 Man S Sastrawijaya Dan Rai Mantili, Perseroan Terbatas Menurut Tiga Undang-Undang, Alumni, Bandung, 2008, hlm. 20 44 Ridwan Khairandy, Good Corporate Governance: Perkembangan Pemikiran dan Implementasinya di Indonesia, Total Media, Yogyakarta, 2007, hlm. 34
perubahan anggaran dasar sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan Undang-undang.45 Beberapa hal yang menjadi wewenang dari RUPS yang ditetapkan dalam UUPT antara lain: 1. Penetapan perubahan anggaran dasar (Pasal 88). 2. Penetapan pengurangan modal (Pasal 37). 3. Pengangkatan dan pemberhentian Direksi dan Komisaris (Pasal 94). 4. Penetapan mengenai penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan (Pasal 89). 5. Penetapan pembubaran perseroan (Pasal 89). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa RUPS memutuskan halhal penting mengenai kebijakan suatu perseroan yang tidak terbatas pada pengangkatan atau pemberhentian komisaris dan direksi saja. Wewenang RUPS tersebut terwujud dalam bentuk jumlah suara yang dikeluarkan dalam setiap rapat. Hak suara dalam RUPS dapat digunakan untuk berbagai maksud dan tujuan seperti rencana penjualan asset dan pemberian jaminan utang, pengangkatan dan pemberhentian anggota direksi dan/atau komisaris, menyetujui
laporan
pertanggungjawaban
keuangan direksi,
yang rencana
disampaikan
oleh
penggabungan,
direksi, peleburan,
pengambilalihan, dan rencana pembubaran perseroan.46 Terdapat dua macam RUPS, yaitu RUPS tahunan dan RUPS lainnya. Hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 78 UUPT yang berbunyi:47 1. RUPS terdiri atas RUPS tahunan dan RUPS lainnya. 2. RUPS tahunan wajib diadakan dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun buku berakhir. 3. Dalam RUPS tahunan, harus diajukan semua dokumen dari laporan tahunan Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2). 4. RUPS lainnya dapat diadakan setiap waktu berdasarkan kebutuhan untuk kepentingan perseroan.
45
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hlm. 65 46 Ibid, hlm. 67 47 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
Maka berdasarkan ketentuan diatas, RUPS dapat diselenggarakan dengan 2 ( dua ) macam RUPS yaitu sebagai berikut : 1. RUPS tahunan, yang diselenggarakan dalam waktu paling lambat 6 (enam)) bulan setelah tutup buku, dan 2. RUPS
lainnya,
yang
dapat
diselenggarakan
sewaktu-waktu
berdasarkan kebutuhan untuk kepentingan perseroan. Selanjutnya guna kepentingan penyelenggaraan RUPS, direksi melakukan pemanggilan kepada para pemegang saham dengan mengacu pada ketentuan Pasal 82 UUPT yang menentukan sebagai berikut : 1. Pemanggilan RUPS dilakukan
dalam jangka waktu paling
lambat 14 (empat belas) hari sebelum tanggal RUPS diadakan, dengan tidak memperhitungkan tanggal pemanggilan dan tanggal RUPS. 2. Pemanggilan RUPS dilakukan dengan Surat Tercatat dan/atau dengan iklan dalam Surat Kabar. 3. Dalam panggilan RUPS dicantumkan tanggal, waktu, tempat, dan mata acara rapat disertai pemberitahuan bahwa bahan yang akan dibicarakan dalam RUPS tersedia di kantor Perseroan sejak tanggal dilakukan pemanggilan RUPS sampai dengan tanggal RUPS diadakan. 4. Perseroan
wajib
memberikan
salinan
bahan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) kepada pemegang saham secara cumacuma jika diminta. 5. Dalam
hal
pemanggilan
tidak
sesuai
dengan
ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dan panggilan tidak sesuai dengan ketentuan ayat (3), keputusan RUPS tetap sah jika semua pemegang saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan tersebut disetujui dengan suara bulat. b. Kedudukan dan Wewenang RUPS Kedudukan RUPS sangat penting dalam perseroan terbatas, oleh
karena itu penyelenggaraan RUPS merupakan suatu keharusan dan wajib dilakukan. Pasal 1 angkat 4 UUPT menyebutkan : “Rapat Umum Pemegang Saham, yang selanjutnya disebut RUPS, adalah Organ Perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam undang-undang ini dan/atau anggaran dasar”. Berdasarkan bunyi Pasal 1 angka 4 UUPT tersebut, dapat diketahui bahwa RUPS merupakan organ perseroan terbatas yang mempunyai kekuasaan dan kewenangan yang tidak diserahkan kepada direksi atau dewan komisaris. Dengan kata lain RUPS adalah pemegang dan pelaksana kedaulatan tertinggi dalam perseroan terbatas. Putusan-putusan yang dibuat oleh RUPS wajib untuk ditaati dan dilaksanakan oleh direksi atau dewan komisaris perseroan terbatas. Penafsiran bunyi kalimat “mempunyai kewenangan yang tidak diberikan kepada direksi atau dewan komisaris” sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 angka 4 UUPT, sebenarnya kekuasaan RUPS tidak mutlak. Artinya dengan kewenangan yang diberikan oleh UUPT kepada RUPS tidak berarti bahwa RUPS dapat melakukan lingkup tugas dan wewenang yang telah diberikan undang-undang dan anggaran dasar kepada direksi dan dewan komisaris. Direksi dan dewan komisaris mempunyai wewenang yang tidak dapat dipengaruhi oleh RUPS. Tugas, kewajiban, kewenangan dari setiap organ termasuk RUPS sudah diatur secara mandiri di dalam UUPT. Setiap organ diberi kebebasan bergerak asal semuanya dilakukan demi tujuan dan kepentingan perseroan terbatas. Instruksi dari organ lain, dapat saja tidak dipenuhi oleh direksi, meskipun diangkat oleh RUPS, sebab pengangkatan direksi oleh RUPS tidak berarti bahwa wewenang yang dimiliki direksi merupakan pemberian kuasa atau bersumber dari pemberian kuasa dari RUPS kepada direksi, melainkan wewenang yang ada pada direksi bersumber dari undang-undang dan anggaran dasar. Oleh karena itu, RUPS tidak dapat mencampuri tindakan pengurusan perseroan sehari-hari yang dilakukan direksi sebab tindakan direksi semata-mata untuk
kepentingan perseroan, bukan RUPS. Dengan
demikian
dapat
dikatakan
bahwa
masing-masing
mempunyai kekuasaan dan kewenangan yang bersumber pada UUPT maupun anggaran dasar. Berdasarkan hal tersebut, RUPS, direksi maupun dewan komisaris tidak boleh melampaui kekuasaan dan kewenangan yang dipunyai, apalagi mencampuri kekuasaan dan kewenangan dari organ perseroan lainnya. Masing-masing organ perseroan terbatas harus berada dalam koridor kekuasaan dan kewenangannya sebagai mana sudah ditentukan oleh UUPT maupun anggaran dasar. Kekuasaan dan kewenangan masing-masing organ perseroan terbatas itu tidak dapat dilakukan oleh organ perseroan terbatas lainnya. Mengingat keberadaan RUPS sangat penting dalam perseroan terbatas, maka segala keputusan dalam RUPS harus mengacu kepada aturan yang ada dalam perseroan terbatas. Aturan yang dimaksud selain peraturn perundang-undangan, anggaran dasar perseroan terbatas juga merupakan ketentuan lain yang berkaitan dengan bidang usaha perseroan terbatas tersebut.48 Sebagai mana telah diungkapkan, bahwa perseroan terbatas merupakan kumpulan atau asosiasi modal, yang oleh UUPT diberi status badan hukum. Dengan demikian, perseroan terbatas itu adalah wadah kerjasama dari para pemilik modal atau pemegang saham yang ditentukan dalam RUPS. Kewenangan RUPS yang paling utama sesuai dengan UUPT, antara lain sebagai berikut: 1. Menyatakan menerima atau mengambil alih semua hak dan kewajiban yang timbul dari perbuatan hukum yang dilakukan pendiri atau kuasanya (Pasal 13 ayat (1)); 2. Menyetujui perbuatan hukum atas nama perseroan yang dilakukan oleh semua anggota direksi, semua anggota dewan komisaris bersama-sama pendiri dengan syarat semua pemegang saham hadir 48
Sentosa Sembiring, Hukum Perusahaan Tentang Perseroan Terbatas, Nuansa Mulia, Bandung, 2006, hlm. 34
dalam RUPS dan semua pemegang saham menyetujuinya dalam RUPS tersebut (Pasal 14 ayat (4)); 3. Perubahan anggaran dasar ditetapkan oleh RUPS (Pasal 19 ayat (1)); 4. Memberi persetujuan atas pembelian kembali atau pengalihan lebih lanjut saham yang dikeluarkan perseroan (Pasal 38 ayat (1)); 5. Menyerahkan
kewenangan
kepada
dewan
komisaris
guna
menyetujui pelaksanaan RUPS atas pembelian kembali atau pengalihan lebih lanjut saham yang dikeluarkan perseroan (Pasal 39 (1)); 6. Menyetujui penambahan modal perseroan (Pasal 41 ayat (1)); 7. Menyetujui pengurangan modal perseroan (Pasal 44 ayat (1)); 8. Menyetujui rencana kerja tahunan apabila anggaran dasar menentukan demikian (Pasal 64 ayat (1) jo ayat (3)); 9. Memberi persetujuan laporan tahunan dan pengesahan laporan keuangan serta tugas pengawasan dewan komisaris (Pasal 69 ayat (1)); 10. Memutuskan penggunaan laba bersih, termasuk penentuan jumlah penyisihan untuk cadangan wajib dan cadangan lain (Pasal 71 ayat (1)); 11. Menetapkan pembagian tugas dan pengurusan perseroan antara anggota direksi (Pasal 92 ayat (5)); 12. Mengangkat anggota direksi (Pasal 94 ayat (1)); 13. Memberhentikan anggota direksi (Pasal 105 ayat (2)); 14. Menetapkan tentang besarnya gaji dan tunjangan anggota direksi (Pasal 96 ayat (1)); 15. Menunjuk pihak lain untuk mewakili perseroan apabila seluruh anggota direksi atau dewan komisaris mempunyai benturan kepentingan dengan perseroan (Pasal 99 ayat (2) huruf c); 16. Memberi persetujuan kepada direksi untuk: a) Mengalihkan kekayaan perseroan,
b) Menjadikan jaminan hutang kekayaan perseroan, Persetujuan itu diperlukan apabila lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kekayaan bersih perseroan dalam 1 (satu) transaksi atau lebih baik yang berkaitan satu sama lain maupun tidak (Pasal 102 ayat (1)). 17. Memberi
persetujuan
kepada
direksi
untuk
mengajukan
permohonan pailit atas perseroan sendiri kepada Pengadilan Niaga (Pasal 104 ayat (1)); 18. Menguatkan keputusan pemberhentian sementara yang dilakukan dewan komisaris terhadap anggota direksi (Pasal 106 ayat (7)); 19. Mengangkat anggota dewan komisaris (Pasal 111 ayat (1)); 20. Menetapkan tentang besarnya gaji atau honorarium dan tunjangan anggota dewan komisaris (Pasal 113); 21. Mengangkat komisaris independen (Pasal 120 ayat (2)); 22. Memberi persetujuan atas rancangan penggabungan (Pasal 123 ayat (3)); 23. Memberi
persetujuan
mengenai
penggabungan,
peleburan,
pengambilalihan atau pemisahan (Pasal 127 ayat (1)); 24. Memberi keputusan atas pembubaran perseroan (Pasal 142 ayat (1) huruf a); 25. Menerima
pertanggungjawaban
likuidator
atas
penyelesaian
likuidasi (Pasal 143 ayat (1)).
c. Tempat Pelaksanaan RUPS RUPS merupakan organ perseroan yang mewakili kepentingan seluruh pemegang saham dalam perseroan terbatas yang bersangkutan. Sebagai organ perseroan, RUPS memiliki dan melaksanakan semua kewenangan yang tidak diberikan kepada direksi dan dewan komisaris, dan dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa RUPS tidak mewakili salah satu atau lebih pemegang saham, melainkan seluruh pemegang saham perseroan terbatas. Oleh karena itu untuk memenuhi kewenangannya tersebut maka
para pemegang saham ini berada bersama-sama dalam suatu organ yang dikenal dengan RUPS. RUPS mewakili kehendak dari pemegang saham secara keseluruhan baik sebagai akibat putusan dengan musyawarah maupun putusan sebagai akibat dari hasil pemungutan suara yang sesuai dan sejalan dengan ketentuan anggaran dasar atau RUPS. Mengenai tempat penyelenggaran RUPS, pada dasarnya RUPS diadakan di tempat kedudukan perseroan terbatas atau tempat perseroan terbatas melakukan kegiatan
usahanya. Dalam anggaran dasar dapat
ditetapkan tempat RUPS yang dapat dilakukan di luar tempat kedudukan perseroan,
tetapi
harus
berada
didalam
wilayah
negara
Republik
Indonesia.49. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 76 UUPT yang berbunyi: 50 1. RUPS diadakan di tempat kedudukan Perseroan atau di tempat Perseroan melakukan kegiatan usahanya yang utama sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar. 2. RUPS Perseroan Terbuka dapat diadakan di tempat kedudukan bursa di mana saham Perseroan dicatatkan. 3. Tempat RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus terletak di wilayah negara Republik Indonesia. 4. Jika dalam RUPS hadir dan/atau diwakili semua pemegang saham dan semua pemegang saham menyetujui diadakannya RUPS dengan agenda tertentu, RUPS dapat diadakan di manapun dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). 5. RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat mengambil keputusan jika keputusan tersebut disetujui dengan suara bulat. Bagi perseroan terbuka, RUPS diadakan ditempat kedudukan bursa di mana perseroan dicatatkan (listed). Semua tempat diatas harus terletak di wilayah Republik Indonesia, ketentuan ini menutup kemungkinan RUPS diselenggarakan di luar negeri.
Mengingat perkembangan teknologi
elektronik dan komunikasi, Pasal 77 ayat (1) UUPT memberikan kemungkinan RUPS tidak dilaksanakan bertatap muka secara langsung. RUPS dapat juga dilakukan melalui media telekonferensi (teleconference), 49 50
Rachmadi Usman, op. cit., hlm. 131 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
video konferensi (video conference), atau sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan semua peserta RUPS saling melihat dan mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam rapat. Pasal 91 UUPT menentukan bahwa pemegang saham dapat juga mengambil keputusan yang mengikat diluar RUPS dengan syarat pemegang saham dengan hak suara menyetujui secara tertulis dengan menandatangani usul yang bersangkutan. Penjelasan Pasal 91 UUPT menyebutkan bahwa yang dimaksud pengambilan keputusan di luar RUPS dalam praktik dikenal dengan usul keputusan yang diedarkan (circular resolution), sedangkan yang dimaksud dengan keputusan yang mengikat adalah keputusan yang mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan keputusan RUPS.
d. Mata Acara RUPS Menurut Pasal 75 ayat (2) UUPT, dalam forum RUPS pemegang saham berhak memperoleh keterangan yang berkaitan dengan perseroan dari direksi dan/atau dean komisaris sepanjang berhubungan dengan mata acara rapat dan tidak bertentangan dengan kepentingan perseroan. Berkaitan dengan ketentuan Pasal 75 ayat (2) di atas, penjelasan Pasal 75 ayat (2) UUPT menjelaskan bahwa ketentuan pada ayat ini dimaksudkan dengan hak pemegang saham untuk memperoleh keterangan berkaitan dengan mata acara rapat dengan tidak mengurangi hak pemegang saham untuk mendapat keterangan lainnya berkaitan dengan hak pemegang saham yang diatur dalam undang-undang, antara lain hak pemegang saham untuk melihat daftar pemegang saham dan daftar khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (4), serta hak pemegang saham untuk mendapatkan bahan rapat segera setelah panggilan RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (3) dan (4). Pasal 75 ayat (3) UUPT menentukan bahwa RUPS dalam mata acara lain-lain tidak berhak mengambil keputusan kecuali semua pemegang saham hadir dan/atau diwakili dalam RUPS dan menyetujui penambahan mata acara rapat, kemudian oleh Pasal 75 ayat (4) ditentukan pula bahwa keputusan atas
mata acara rapat yang ditambahkan itu harus pula dihadiri dan disetujui dengan suara bulat.
e. Penyelenggaraan RUPS Terdapat dua jenis RUPS, yaitu RUPS Tahunan dan RUPS lainnya. Hal tersebut diatur dalam Pasal 78 UUPT. Perbedaan RUPS Tahunan diadakan dalam waktu paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun buku, sedangkan penyelenggaraan RUPS lainnya, termasuk Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) diadakan sewaktu-waktu berdasarkan pada kebutuhan atau keperluan perseroan terbatas. Jadi, RUPS tahunan wajib diadakan setiap tahun dan sebaliknya RUPS lainnya diselenggarakan sesuai dengan kebutuhan atau keperluan perseroan terbatas yang bersangkutan. Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa diadakan untuk membahas dan mengambil keputusan atas masalah-masalah yang timbul secara mendadak dan membutuhkan penanganan segera, karena akan menghambat operasional perseroan terbatas jika permasalahan tersebut tidak segera diselesaikan. Sedangkan RUPS Tahunan antara lain bertujuan untuk memberikan penilaian dan mengambil keputusan atas laporan tahunan mengenai laporan kegiatan perseroan terbatas dan hasil-hasilnya pada tahun yang telah lampau dan rencana kegiatan tahun berikutnya. Organ perseroan yang memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan RUPS Tahunan dan RUPS Luar Biasa adalah direksi. Dalam hal-hal tertentu (direksi berhalangan atau ada pertentangan kepentingan antara direksi dengan perseroan) sesuai dengan ketentuan anggaran dasar, maka pemanggilan RUPS dapat dilakukan oleh dewan komisaris. Penyelenggaraan RUPS Tahunan maupun RUPS Luar Biasa dapat pula dilaksanakan atas permintaan: 1. 1 (satu) orang pemegang saham atau lebih yang bersama-sama mewakili 1/10 (satu persepuluh) bagian atau lebih dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah atau suatu jumlah yang lebih kecil bila diperbolehkan oleh anggaran dasar perseroan; atau
2. Dewan Komisaris Permintaan tersebut diajukan kepada direksi dengan surat tercatat disertai alasannya. Surat tercatat tersebut yang disampaikan oleh pemegang saham
tembusannya
disampaikan
kepada dewan
komisaris. Direksi wajib melakukan pemanggilan dalam jangka waktu paling lambat
15
(lima
belas)
hari
terhitung
sejak
tanggal
permintaan
penyelenggaraan RUPS diterima. Dalam hal direksi tidak melakukan pemanggilan RUPS tersebut, maka: 1. Permintaan penyelenggaraan RUPS tersebut dajukan kembali kepada dewan komisaris; atau 2. Dewan komisaris melakukan pemanggilan RUPS tersebut dalam jangka waktu paling lambat 15 (limabelas) hari terhitung sejak tanggal permintaan penyelenggaraan RUPS diterima. Berdasar Pasal 79 ayat (8) UUPT, RUPS yang dselenggarakan direksi sebagaimana dimaksud Pasal 79 ayat (5) UUPT membicarakan masalah dengan alasan yang dimaksud ayat (3) yakni alasan permintaan diadakan RUPS dan mata acara rapat lainnya yang dipandang perlu oleh direksi. Kemudian RUPS yang diselenggarakan oleh dewan komisaris berdasar panggilan yang dimaksud ayat (6) huruf a hanya membicarakan masalah yang berkaitan dengan alasan permintaan diadakannya RUPS. Menurut Pasal 79 ayat (10) UUPT, penyelenggaraan RUPS perseroan terbuka tunduk kepada ketentuan UUPT sepanjang ketentuan peraturan perundangundangan dibidang pasar modal tidak menentukan lain.
f. Pemanggilan RUPS Pada dasarnya direksi merupakan organ di dalam perseroan yang memiliki kewenangan dan kewajiban untuk menyelenggarakan RUPS. Oleh karena kewenangan dan kewajiban tersebut ada pada di direksi, maka kewajban untuk melakukan pemanggilan kepada pemegang saham sebelum
penyelenggaraan RUPS juga berada pada direksi. 51 Untuk mengadakan RUPS harus didahului dengan pemanggilan oleh direksi dan ini wajib dilakukan agar RUPS dinyatakan sah dan dengan sendirinya akan menghasilkan keputusan yang sah pula. Dalam hal-hal tertentu, misalnya direksi berhalangan atau ada pertentangan kepentingan direksi dengan perseroan, maka pemanggilan dapat dilakukan oleh dewan komisaris. Pemanggilan RUPS dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum tanggal RUPS diadakan, dengan tidak memperhitungkan tanggal pemanggilan dan tanggal RUPS. Pemanggilan RUPS tersebut dilakukan dengan surat tercatat dan/atau iklan surat kabar. Jangka waktu 14 (empat belas) hari ini adalah jangka waktu minimal untuk memanggil rapat. Oleh karena itu, dalam anggaran dasar tidak dapat menentukan jangka waktu lebih singkat dari 14 (empat belas) hari kecuali untuk rapat kedua atau ketiga sesuai dengan ketentuan UUPT. Dalam pemanggilan RUPS dicantumkan tanggal, waktu, tempat dan mata acara rapat disertai pemberitahuan bahwa bahan yang akan dibicarakan dalam RUPS tersedia di kantor perseroan sejak tanggal dilakukan pemanggilan RUPS sampai dengan tanggal RUPS diadakan. Perseroan wajib memberikan salinan bahan-bahan tersebut secara cuma-cuma jika diminta. Dalam hal pemanggilan RUPS tidak sesuai dengan ketentuan tersebut di atas, keputusan RUPS tetap sah jika semua pemegang saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan tersebut disetujui dengan suara bulat. Bagi perseroan terbuka, sebelum pemanggilan RUPS dilakukan wajib didahului dengan pengumuman yang berisi pemanggilan RUPS dengan memperhatikan peraturan perundang-ungangan dibidang pasar modal. Pengumuman ini dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum pemanggilan RUPS. Pengumuman ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada pemegang saham mengusulkan kepada 51
Jamin Ginting, Hukum Perseroan Terbatas (UU No. 40 Tahun 2007), Cet 1, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 59
direksi untuk penambahan acara RUPS.52
g. Hak Suara Pemegang Saham Dalam RUPS UUPT hanya mengenal satu macam hak suara yang sah dalam tiaptiap RUPS perseroan. Tidak ada suatu definisi yang diberikan oleh UUPT mengenai istilah hak suara yang sah ini. Dalam tiap-tiap RUPS yang harus dilaksanakan minimal satu tahun sekali, setiap lembar saham dalam perseroan dengan nilai nominal terkecil, yang ditentukan dalam anggaran dasar, kecuali untuk saham-saham yang diberikan perlakuan khusus, termasuk saham-saham tanpa hak suara, berhak mewakili atau mengeluarkan satu suara dalam rapat. Pelaksanaan dari hak suara ini dalam RUPS dapat dilakukan sendiri oleh pemegang saham atau diwakilkan kepada pihak ketiga selaku kuasa pemegang saham. Namun demikian kuasa yang diberikan oleh pemegang saham kepada direksi, dewan komisaris dan/atau karyawan perseroan tidak memberikan kewenangan hak suara, meskipun kuasa tersebut diperhitungkan dalam menentukan kuorum kehadiran.
h. Prinsip Umum Hak Suara Terdapat beberapa prinsip umum yang melekat pada hak suara pemegang saham, antara lain sebagai berikut: 1. Satu saham, satu suara (one vote for one share) Prinsip ini ditegaskan pada Pasal 84 ayat (1) UUPT yang mengatakan bahwa setap saham yang dikeluarkan mempunyai satu hak suaa kecuali anggaran dasar perseroan menentukan lain. Yang dimaksud dengan
“kecuali anggaran dasar menentukan lain”
menurut penjelasan Pasal 84 ayat (1), apabila anggaran dasar mengeluarkan satu saham tanpa hak suara. Jika anggaran dasar tidak menentukan hak yang seperti itu, berlaku prinsip umum bahwa setiap saham yang dkeluarkan perseroan mempunyai satu hak suara. 52
Ridwan Khairandy, op.cit, hlm. 193
Berdasarkan prinsip ini, hak suara merupakan hak yang melekat secara inherent pada diri setap pemegang saham. Berarti setiap pemegang
saham
berhak
menghadiri
dan
berbicara
serta
mengeluarkan suara dalam RUPS. Maka atas dasar hak hadir dan suara dalam RUPS yang mewajibkan direksi harus memanggil pemegang saham. 2. Saham yang dimiliki perseroan tidak mempunyai hak suara Pada dasarnya hanya saham yang dimiliki atau dikuasai pemegang saham yang mempunyai hak suara. Sebaliknya saham yang dimiliki atau dikuasai perseroan baik langsung atau tidak, tidak mempunyai hak suara. Prinsip ini ditegaskan Pasal 84 ayat (2). Bahkan dalam penjelasan pasal ini digariskan bahwa tidak hanya terbatas tidak mempunyai hak suara, tetapi juga tidak dihitung dalam penentuan kuorum. Sebenarnya prinsip ini telah ditegaskan lebih dahulu pada Pasal 40 UUPT yang menyatakan bahwa saham yang dkuasai perseroan karena pembelian kembali, perolehan karena hukum, hibah atau hibah wasiat, tidak dapat dihitung dalam menentukan kuorum, serta tidak berhak mendapat pembagian dividen. Menurut Pasal 4 ayat (2) UUPT, kriteria saham yang tidak mempunyai hak suara yaitu: a) Saham perseroan yang dikuasai sendiri oleh perseroan; b) Saham
induk
perseroan
yang
dkuasai
oleh
anak
perusahaannya secara langsung atau tidak langsung; c) Saham perseroan yang dikuasai oleh perseroan lain yang sahamnya secara langsung atau tidak langsung telah dimiliki oleh perseroan. 3. Hak suara (voting right) merupakan pelaksanaan kontrol akhir pemegang saham Dari segi tujuan, hak suara mengandung maksud sebagai pelaksanaan kontrol akhir dari pemegang saham terhadap perseroan, direksi dan dewan komisaris. Hal ini berarti pada forum RUPS
melalui hak suara yang dimilikinya, pemegang saham dapat menentukan sikap terhadap setiap tindakan yang dilakukan oleh perseroan, direksi dan dewan komisaris yang berlangung sebelum RUPS diadakan. Itulah sebabnya mengapa hak suara yang dimiliki pemegang saham merupakan pelaksanaan kontrol akhir pemegang saham terhadap perseroan, direksi dan dewan komisaris atas pengurusan perseroan. 4. Hak Pemegang Saham Menghadiri dan Mengeluarkan Suara dalam RUPS Sebelum RUPS diadakan direksi memanggil pemegang saham dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum tanggal RUPS diadakan. Berdasarkan Pasal 85 ayat (1) UUPT memberikan hak kepada pemegang saham untuk menghadiri RUPS, baik secara sendiri atau diwakili oleh wakil berdasarkan surat kuasa. Selanjutnya dalam RUPS, pemegang saham menggunakan hak suaranya dan hak suara yang digunakannya, sesuai dengan jumlah saham yang dimilikinya. Hak menggunakan suara dalam RUPS hanya terbatas kepada pemegang saham yang sahamnya mempunyai hak suara. Sedang bagi pemegang saham dari saham tanpa hak suara, tidak berhak menggunakan hak suara dalam RUPS. 5. Larangan Mengeluarkan Suara Yang Berbeda Menurut Pasal 85 ayat (3) UUPT, pemegang saham dilarang mengeluarkan suara berbeda atas saham yang dimilikinya. Oleh karena itu, dalam pemungutan suara, suara yang dikeluarkan pemegang saham berlaku untuk seluruh saham yang dimilikinya, pemegang saham dilarang atau tidak berhak memberikan kuasa kepada lebih dari satu orang untuk sebagian dari jumlah saham yang dimilikinya dengan tujuan untuk mengeluarkan suara yang berbeda antara kuasa yang satu dengan kuasa yang lain. Menurut penjelasan pasal
tersebut,
ketentuan
ini
merupakan
perwujudan
asas
musyawarah untuk mufakat, oleh karena itu suara yang berbeda
tidak dibenarkan. Penjelasan Pasal 85 ayat (3) UUPT mengatakan bahwa, bagi perseroan terbuka suara berbeda yang dikeluarkan oleh bank kustodian atau perusahaan efek yang mewakili pemegang saham dalam dana bersama (mutual fund) bukan merupakan suara yang berbeda sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pasal tersebut.
i. Ketentuan Kuorum dan Sistem Pengambilan Keputusan Yang dimaksud dengan kuorum dari suatu RUPS adalah jumlah minimum pemegang saham dengan hak suara yang sah yang harus hadir dalam rapat, yang dihitung menurut banyaknya saham yang dipegangnya atau yang dikuasakan kepadanya, sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar dan/aau peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jika jumlah kuorum tidak mencukupi, maka rapat tidak boleh mengambil keputusan. Setelah kuorum terpenuhi baru rapat dapat dilanjutkan dan dapat mengambil suatu keputusan. Beberapa prinsip regulative yang dianut oleh UUPT tentang kuorum dan voting dari RUPS adalah sebagai berikut:53 1. Prinsip Majority Rule Minority Protection Maksudnya adalah bahwa kebijakan perusahaan diputuskan oleh pemegang saham mayoritas (lewat RUPS), tetapi hak dari pemegang saham minoritas tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu, UUPT member pemegang saham minoritas dengan hak-hak dan upaya-upaya tertentu, seperti ggatan derivative, class action atau gugatan langsung, hak appraisal, keharusan kuorum dan votng mayoritas super, voting kumulatif dan lain-lain. 2. Prinsip Pelekatan antara Saham dengan Hak Suara Yang dimaksudkan adalah antara saham dengan hak suara tidak dapat dipisahkan eksistensinya, sehingga siapa yang memegang 53
Munir Fuady, op.cit, hlm. 142
saham atau tercatat sebagai pemegang saham, dialah yang brhak atas hak suara. UUPT menganut prinsip perlekatan ini, misalnya melalui ketentuan tentang gadai saham yang menyatakan bahwa hak suara atas saham yang digadaikan tetap ada pada pemegang saham (pemberi gadai), sesuai ketentuan Pasal 53 ayat (4) UUPT. 3. Prinsip Kuorum Minimal Prinsip kuorum minimal ini menentukan bahwa jika UndangUndang menentukan suatu angka kuorum, maka angka kuorum tersebut adalah mnimal yang harus dilaksanakan. Artinya adalah anggaran dasar tidak boleh menentukan angka kuorum lain yang lebih rendah dari angka kuorum tersebut, tetapi dapat menentukan angka kuorum yang lebih tinggidari yang ditentukan dalam Undang-Undang tersebut. 4. Prinsip Voting Minimal Sama dengan prinsip kuorum minimal, maka prinsip voting minimal ini menentukan bahwa jika undang-undang menentukan suatu angka voting, maka angka voting tersebut adalah minimal yang harus dilaksanakan. Hal ini berarti, anggaran dasar tidak boleh menentukan angka voting lain yang lebih rendah dari angka voting tersebut, tetapi dapat menentukan harga yang lebih tinggi dari yang ditentukan dalam undang-undang tersebut. Dilihat dari besar kecilnya persyaratan untuk suatu kuorum, maka kuorum dari suatu RUPS dari perseroan terbatas dapat dibagi ke dalam 4 (empat) kategori, yaitu sebagai berikut:54 1. Kuorum Mutlak Kuorum mutlak adalah suatu RUPS yang baru dapat dikatakan sah dan dapat mengambil keputusan jika seluruh pemegang saham dengan hak suara yang sah hadir dalam rapat tersebut. 2. Kuorum Mayoritas Super 54
Ibid, hlm. 144
Kuorum mayoritas super adalah suatu RUPS baru dinyatakan sah dan dapat mengambil keputusan manakala presentase tertentu dengan hak suara yang sah hadir dalam rapat tertentu. Contoh penerapan dari prinsip mayoritas super ini dapat dilihat berkaitan kuorum untuk perubahan anggaran dasar. Dalam hal ini RUPS baru dapat dilaksanakan jika dihadiri 2/3 (dua pertiga) bagian pemegang saham dengan hak suara yang sah dan keputusan sah jika disetujui paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan. 3. Kuorum Mayoritas Biasa Kuorum Mayoritas Biasa adalah suatu RUPS yang baru dinyatakan sah dan dapat mengambil keputusan jika lebih setengah pemegang saham dengan hak suara yang sah hadir dalam rapat tersebut. Dalam hal ini yang dihitung bukanlah jumlah orang, melainkan jumlah suara yang diwakilinya. 4. Kuorum Non Mayoritas Kuorum non mayoritas adalah suatu RUPS yang sudah dinyatakan sah dan dapat mengambil keputusan meskipun tidak sampai lebih dari ½ (setengah) pemegang saham dengan hak suara yang sah yang hadir dalam rapat tersebut. Disamping untuk kuorum, untuk klasifikasi tersebut juga berlaku persoalan voting. Selain itu, dalam praktik juga dikenal 2 (dua) macam prinsip yang lain, yaitu:55 1. Voting Mayoritas Voting Mayoritas adalah voting dimana suara terbanyak yang menentukan segala hal yang menyangkut perseroan baik suara terbanyak mutlak, super, biasa maupun non mayoritas. Konsekuensi dari pemberlakuan sistem voting mayoritas ini menjadi pemegang saham mayoritas sebagai pihak yang berkuasa. 55
Diana, Gunawan Widjaya, dan Hardijan Rusli, Tinjauan Yuridis Rapat Umum Pemegang Saham Dalam Perseroan Terbatas, dalam Jurnal Hukum Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, edisi no. 3 Vol. III, 2003, hlm. 17
2. Voting Kumulatif Dalam sistem ini ada pemberian jatah atau kuota bagi pemegang presentase tertentu untuk memutuskan hal tertentu. Misalnya direksi terdiri dari 5 direktur, setiap kelipatan 20% (dua puluh persen) saham akan mendapat jatah 1 (satu) direktur, tanpa melihat siapa yang menjadi pemegang mayoritas dan minoritas. RUPS dapat dilangsungkan jika dalam RUPS terdapat lebh dari ½ (satu perdua) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili, kecuali UUPT dan/atau anggaran dasar menentukan jumlah kuorum yang lebih besar. Penyimpangan hanya dimungkinkan dalam hal yang ditentukan dalam UUPT. Anggaran dasar tidak boleh menentukan kuorum yang lebih kecil daripada kuorum yang telah ditentukan dalam UUPT. Dalam hal kuorum RUPS pertama tidak tercapai, rapat harus tetap dibuka dan kemudian ditutup dengan membuat notulen rapat yang menerangkan bahwa RUPS pertama tidak dapat dilanjutkan karena kuorum tidak tercapai dan selanjutnya dilakukan pemanggilan RUPS kedua. Dalam pemanggilan RUPS yang kedua ini harus disebutkan bahwa RUPS pertama telah dilangsungkan dan tidak mencapai kuorum. RUPS kedua ini sah dan berhak mengambil keputusan jika dalam RUPS paling sedikit 1/3 (satu pertiga) bagian dari jumlah seluruh suara dengan hak suara hadir atau diwakili, kecuali jika anggaran dasar menentukan jumlah kuorum yang lebih besar. Jika RUPS kedua tidak mencapai kuorum, RUPS tetap dinuka dan kemudian ditutup dengan membuat notulen RUPS yang menerangkan bahwa RUPS kedua tidak dapat dilanjutkan karena kuorum tidak tercapai. Selanjutnya dapat diajukan permohonan kepada ketua pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan perseroan untuk menetapkan kuorum RUPS ketiga. Pemanggilan RUPS ketiga harus menyebutkan bahwa RUPS kedua telah dilangsungkan dan tidak mencapai kuorum dan RUPS ketiga akan dilangsungkan dengan kuorum yang ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri. Dalam hal ketua pengadilan negeri berhalangan, penetapan
dilakukan oleh pejabat lain yang mewakili ketua. Dalam Pasal 86 ayat (7) UUPT ditentukan bahwa penetapan ketua pengadilan negeri mengenai kuorum RUPS tersebut bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap. Kemudian oleh penjelasannya disebutkan bahwa yang dimaksud dengan final dan mempunyai kekuatan hukum tetap adalah bahwa penetapan tersebut tidak dapat diajukan banding, kasasi, atau peninjauan kembali. Berdasar Pasal 86 ayat (8) UUPT, pemanggilan RUPS kedua dan ketiga dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum RUPS kedua dan ketiga dilangsungkan. Kemudian RUPS kedua dan ketiga dilangsungkan dalam jangka waktu paling cepat 10 (sepuluh) hari dan paling lambat 21 (dua puluh satu) hari setelah RUPS yang mendahuluinya dilangsungkan. Pada dasarnya keputusan RUPS diambl secara musyawarah untuk mufakat, yaitu kesepakatan yang disetujui oleh para pemegang saham yang hadir atau diwakili dalam RUPS. Dalam hal keputusan berdasarkan musyawarah untuk mufakat tidak dapat tercapai, keputusan adalah sah jika disetujui lebih dari ½ (satu perdua) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan kecuali undang-undang dan/atau anggaran dasar menentukan bahwa keputusan adalah sah jika disetuju oleh jumlah suara setuju yang lebih besar. Penjelasan Pasal 87 ayat (2) UUPT menyebutkan bahwa yang disetujui lebih dari ½ (satu per dua) bagian adalah bahwa usul dalam mata acara rapat harus disetujui lebih dari ½ (satu per dua) jumlah suara yang dikeluarkan. Jika terdapat 3 (tiga) usul dan tidak ada yang memperoleh suara lebih dari ½ (satu per dua) bagian, pemungutan suara atas 2 (dua) usul atau calon yang mendapatkan suara terbanyak harus diulang sehingga satu usul atau calon mendapatkan lebih dari ½ (satu per dua) bagian. Selain kuorum kehadiran yang telah ditentukan secara umum tersebut diatas, UUPT juga mensyaratkan kuorum yang berbeda untuk berbagai macam putusan rapat sebagai berikut: 1. Untuk setiap perubahan ketentuan dalam anggaran dasar perseroan, RUPS hanya sah jika dihadiri oleh pemegang saham yang mewakili
paling sedikit 2/3 (dua per tiga) bagian dari jumlah seluruh saham yang memiliki hak suara, dan disetujui oleh paling sedikit 2/3 (dua per tiga) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali undang-undang dan/atau anggaran dasar menentukan kuorum kehadiran dan pengambilan keputusan yang lebih besar. Dalam hal kuorum pada rapat pertama tersebut tidak tercapai maka dapat diselenggarakan rapat kedua, dan rapat hanya sah dan selanjutnya berhak mengambil keputusan yang mengikat pemegang saham jika dalam rapat paling sedikit 3/5 (tiga per lima) bagian dari jumlah seluruh saham yang memiliki hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS. Keputusan RUPS sah jika disetujui paling sedikit 2/3 (dua per tiga) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali jika anggaran dasar menentukan kuorum dan/atau ketentuan tentang pengambilan keputusan RUPS yang lebih besar; 2. RUPS
untuk
menyetujui
penggabungan,
peleburan,
pengambilalihan, atau pemisahan, pengajuan permohonan kepailitan perseroan, pembubaran dan perpanjang jangka waktu berdirinya perseroan, dapat dilangsungkan jika dalam rapat paling sedikit ¾ (tiga per empat) bagian dari seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS. Keputusan RUPS ini sah jika disetujui oleh paling sedikit ¾ (tiga per empat) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali jika anggaran dasar menentukan kuorum dan/atau ketentuan tentang pengambilan keputusan RUPS yang lebih besar. Dalam hal kuorum pada rapat pertama tersebut tidak tercapai, maka dapat diselenggarakan rapat kedua, dan rapat hanya sah dan selanjutnya berhak mengambil keputusan yang mengikat pemegang saham jika dalam rapat paling sedikit 2/3 (dua per tiga) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali jika anggaran dasar menentukan kuorum dan/atau ketentuan tentang pengambilan keputusan RUPS yang lebih besar. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa RUPS memutuskan hal-
hal yang penting mengenai kebijakan suatu perseroan yang tidak terbatas pada pengangkatan atau pemberhentian dewan komisaris dan direksi saja. Selain itu UUPT juga memungkinkan diadakannya rapat tanpa didahului formalitas pemanggilan rapat, selama dan sepanjang RUPS tersebut dihadiri oleh seluruh pemegang saham yang mewakili seluruh saham yang telah dikeluarkan dengan hak suara yang sah dan disetujui secara aklamasi (bulat) oleh seluruh pemegang saham yang hadir dalam rapat. Sah tidaknya keputusan yang diambil RUPS tergantung kepada 3 (tiga) hal, yaitu:
1. Pemanggilan RUPS yang dilakukan, 2. Kuorum kehadiran pemegang saham, dan 3. Kuorum pengambilan keputusan. Pasal 74 UUPT menyatakan bahwa keputusan RUPS diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat. Apabila hal tersebut tidak tercapai, maka keputusannya diambil berdasarkan suara terbanyak dari jumlah suara yang dikeluarkan secara sah, kecuali UUPT dan/atau anggaran dasar menentukan bahwa keputusan harus diambil berdasarkan suara yang lebih besar dari suara terbanyak.
j. Risalah Rapat Umum Pemegang Saham Menurut Pasal 90 ayat (1) UUPT, setiap penyelenggaraan RUPS risalah RUPS wajib dibuat dan ditandatangani oleh ketua rapat dan paling sedikit 1 (satu) orang pemegang saham yang ditujuk dari dan oleh peserta RUPS dimaksudkan untuk menjamin kepastian dan kebenaran isi risalah tersebut. Kemudian oleh Pasal 90 ayat (2) UUPT ditentukan lagi bahwa tanda tangan dari salah satu pemegang saham peserta RUPS tidak disyaratkan jika risalah RUPS tersebut dibuat dengan akta Notaris. Mengenai risalah atau notulen RUPS diatur dalam Pasal 90 ayat (1) UUPT seperti yang dijelaskan berikut ini:56 56
M Yahya Harahap, op.cit, hlm. 339
1. Pembuatan Risalah RUPS bersifat Imperatif Setiap penyelenggaraan RUPS wajib dibuat risalahnya. Oleh karena itu, pembuatannya bersifat imperatif yang tidak dibuat risalahnya, tidak sah dan dianggap tidak pernah ada. Akibatnya, hal-hal yang diputuskan dalam RUPS tidak dapat dilaksanakan karena tidak ada pembuktian atas terselenggaranya RUPS tersebut. 2. Risalah RUPS yang tidak dibuat dengan Akta Notaris Berdasar Pasal 90 ayat (1), risalah RUPS wajib ditandatangani. Apabila risalah RUPS tidak dibuat dengan akta notaris, maka yang berkewajiban untuk menandatangani adalah : a) Ketua rapat, dan b) Paling sedikit 1 (satu) orang pemegang saham yang ditunjuk dari dan oleh peserta RUPS. Dalam penjelasan Pasal 90 ayat (1) mengenai penandatanganan oleh ketua rapat dan paling sedikit 1 (satu) orang pemegang saham yang ditunjuk dari dan oleh peserta RUPS dimaksudkan untuk menjamin kepastian dan kebenaran isi risalah RUPS tersebut. 3. Risalah RUPS yang dibuat dengan Akta Notaris Dalam ketentuan Pasal 90 ayat (2) bahwa risalah RUPS yang dibuat dengan akta Notaris, tidak disyaratkan harus ditandatangani ketua rapat
dan paling sedikit 1 (satu) orang pemegang saham yang
ditunjuk dari dan oleh peserta RUPS. Tanpa ditandatangani risalah RUPS yang dibuat dengan akta Notaris, isi yang terdapat di dalamnya dianggap pasti kebenarannya. Hal ini sesuai dengan fungsi yuridis akta Notaris sebagai akta autentik. Sesuai ketentuan Pasal 1870 KUHPerdata bahwa suatu akta autentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna (volledig) tentang apa yang dimuat di dalamnya dan mengikat (bindend) kepada para pihak yang membuat serta terhadap orang yang mendapat hak mereka. 4. Tinjauan Umum tentang Keputusan Pemegang Saham diluar Rapat
Umum Pemegang Saham Pada UUPT 2007 terdapat ketentuan mengenai pengambilan keputusan di luar Rapat Umum Pemegang Saham (selanjutnya disingkat RUPS) yang dikenal dengan istilah circular resolution yang diatur dalam Pasal 91 UUPT 2007.
Dalam Pasal 91 UUPT 2007 berbunyi sebagai
berikut: “Pemegang saham dapat juga mengambil keputusan yang mengikat di luar RUPS dengan syarat semua pemegang saham dengan hak suara menyetujui secara tertulis dengan menandatangani usul yang bersangkutan.” Penjelasan dari Pasal 91 UUPT 2007 tersebut sebagai berikut: Yang dimaksud dengan “pengambilan keputusan di luar RUPS” dalam praktik dikenal dengan usul keputusan yang diedarkan (circular resolution). Pengambilan keputusan seperti ini dilakukan tanpa diadakan RUPS secara fisik, tetapi keputusan diambil dengan cara mengirimkan secara tertulis usul yang akan diputuskan kepada semua pemegang saham dan usul tersebut disetujui secara tertulis oleh seluruh pemegang saham. Yang dimaksud dengan “keputusan yang mengikat” adalah keputusan yang mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan keputusan RUPS. Berdasarkan kutipan dari Pasal 91 UU Perseroan Terbatas dan penjelasannya, maka dapat disimpulkan bahwa pengambilan keputusan para pemegang saham dengan cara mengedarkan usulan kepada para pemegang saham (di luar RUPS) untuk disetujui atau dikenal dengan nama circular resolution yang memiliki kekuatan hukum yang sama dengan Keputusan RUPS, tentunya dengan syarat utama yaitu seluruh pemegang saham harus menyetujui dan menandatangani circular resolution secara bulat tanpa terkecuali. Dengan kata lain, hal-hal yang dapat diputuskan oleh RUPS juga dapat diputuskan oleh para pemegang saham melalui circular resolution dengan tetap berpedoman
pada persyaratan-persyaratan sebagaimana
dimaksud diatas. Circular resolution hadir sebagai hasil dari perkembangan dunia
bisnis yang menuntut untuk selalu bergerak cepat dan efisien. Salah satu hal penting yang harus dilakukan oleh perusahaan ialah pengambilan keputusan. Masing-masing organ pada perusahaan pada suatu keadaan dapat membuat keputusan yang dapat dianggap sebagai keputusan-keputusan perusahaan. Pada PT di Indonesia, keputusan dapat diambil oleh organ-organ PT yaitu RUPS, Direksi, dan Dewan Komisaris. Pada dasarnya ketiga organ tersebut
sejajar
dan
berdampingan
sesuai
dengan
pemisahan
kewenangannya yang diatur dalam undang-undang akan tetapi RUPS jika dilihat dari kewenangan yang dimilikinya, dapat dikatakan memiliki posisi lebih tinggi dibandingkan Direksi maupun Dewan Komisaris. Masingmasing organ pada PT dapat mengambil keputusan masing-masing sesuai dengan kewenangannya dalam menjalankan tugasnya di PT. Perseroan Terbatas seringkali memerlukan pengambilan keputusan RUPS demi kepentingan dan kelangsungan PT tersebut. Keputusan RUPS tersebut dapat diambil secara bersama-sama dan diadakan dalam sebuah forum rapat yang dihadiri oleh para pemegang saham. Forum tersebut dikenal juga dengan sebutan RUPS. Rapat Umum Pemegang Saham dilakukan dengan cara mengundang atau memanggil semua pemegang saham dan anggota Direksi serta Dewan Komisaris untuk berkumpul (secara fisik) di suatu tempat lalu dibahaslah agenda rapat. Akan tetapi rapat tersebut pada kenyataannya seringkali sulit dilakukan karena tidak semua para pemegang saham berdomisili yang sama dengan domisili PT tempat ia menanamkan sahamnya. Bisa saja terjadi pada suatu PT di mana para pemegang sahamnya tinggal di pulau yang berbeda-beda di Indonesia, atau bahkan di luar Indonesia. Hal ini tentu menyulitkan untuk diadakannya rapat yang mensyaratkan untuk dilakukan oleh para pemegang saham dengan bertemu secara fisik.
5. Tinjauan Tentang Kewenangan Istilah kekuasaan, kewenangan, dan wewenang sering ditemukan
dalam literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan dan ilmu hukum. Kekuasaan sering disamakan begitu saja dengan kewenangan, dan kekuasaan sering dipertukarkan dengan istilah kewenangan, demikian pula sebaliknya. Bahkan kewenangan sering disamakan juga dengan wewenang. Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan dalam arti bahwa ada satu pihak yang memerintah dan pihak lain yang diperintah (the rule and the ruled).57 Kewenangan sering disejajarkan dengan istilah wewenang. Istilah wewenang digunakan dalam bentuk kata benda dan sering disejajarkan dengan istilah bevoegheid dalam istilah hukum Belanda. Menurut Phillipus M. Hadjon, jika dicermati ada sedikit perbedaan antara istilah kewenangan dengan istilah bevoegheid. Perbedaan tersebut terletak pada
karakter
hukumnya. Istilah bevoegheid digunakan dalam konsep hukum publik maupun dalam hukum privat. Dalam
konsep
hukum
kita
istilah
kewenangan atau wewenang seharusnya digunakan dalam konsep hukum publik.58 Terdapat perbedaan antara pengertian kewenangan dan wewenang. Kita harus membedakan antara kewenangan (authority, gezag) dengan wewenang (competence, bevoegheid). Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh
undang-undang,
sedangkan
wewenang
“onderdeel”
(bagian)
tertentu
kewenangan
terdapat
wewenang-wewenang
saja
dari
hanya
mengenai
kewenangan. (rechtsbe
Di
suatu dalam
voegdheden).
Wewenang merupakan lingkup tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintahan,
tidak
hanya meliputi wewenang membuat keputusan
pemerintah (bestuur), tetapi meliputi wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas, dan memberikan wewenang serta distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam peraturan perundang- undangan.59
57
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998, hlm. 35. 58 Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Makalah Universitas Airlangga, Surabaya, tanpa tahun, hlm. 20 59 Ateng Syafrudin, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan
Pengertian wewenang secara yuridis adalah kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibatakibat hukum. Pengertian wewenang menurut H.D. Stoud adalah : bevoegheid wet kan worden omscrevenals
het
geheel
van
bestuurechttelijke bevoeg dheden door publiekrechtelijke rechtssubjecten inhet bestuurechttelijke rechtsverkeer. (wewenang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan
yang berkenaan dengan
perolehan
dan
penggunaan wewenang pemerintah oleh subjek hukum publik dalam hukum publik).60 Kewenangan secara teoritik dapat diperoleh dengan 3 (tiga) cara, yaitu secara atribusi, delegasi, maupun mandat.61 Kewenangan secara atribusi, delegasi, ataupun mandat menurut J.G. Brouwer dan A.E. Schilder, yang mengatakan :62 a. With atribution, power is granted to an administrative authority by an independent legislative body. The power is initial (originair), which is to say that is not derived from a previously existing power. The legislative body creates independent and previously non existent powers and assigns them to an authority. b. Delegation is a transfer of an acquired atribution of power from one administrative authority to another, so that the delegate (the body that the acquired the power) can exercise power in its own name. c. With mandate, there is not transfer, but the mandate giver (mandans) assigns power to the body (mandataris) to make decision or take action in its name. J.G. Brouwer berpendapat bahwa atribusi merupakan kewenangan yang diberikan kepada suatu organ (institusi) pemerintahan atau lembaga Negara oleh suatu badan legislatif yang independen. Kewenangan ini adalah
Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV, Universitas Parahyangan, Bandung, 2002, hlm. 22 60 Stout HD, de betekenissen van de wet, dalam Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah, Alumni, Bandung, 2004, hlm. 4 61 Eleanora M Pangkahila.”Perlindungan Hukum terhadap Notaris dalam Melaksanakan Kewajiban Rahasia Jabatan didaerah Hukumnya””,dalam Jurnal Ilmiah Magister Kenotariatan Universitas Udayana, edisi No. 1 Vol. 3, April 2012 62 J.G. Brouwer dan Schilder, A Survey of Dutch Administrative Law, Nijmegen: Ars Aeguilibri, 1998, hlm. 16
asli, yang tidak diambil dari kewenangan yang ada sebelumnya. Badan legislatif
menciptakan
kewenangan
mandiri
dan
bukan
perluasan
kewenangan sebelumnya dan memberikan kepada organ yang berkompeten. Delegasi adalah kewenangan yang dialihkan dari kewenangan atribut dari suatu organ (institusi) pemerintah kepada organ lainnya sehingga delegator (organ yang telah member kewenangan) dapat menguji kewenangan tersebut atas namanya, sedangkan pada mandat, tidak terdapat suatu pemindahan kewenangan tetapi pemberi mandat (mandator) memberikan kewenangan kepada organ lain (mandataris) untuk membuat keputusan atau mengambil suatu tindakan atas namanya. Kewenangan yang diperoleh secara atribusi itu bersifat asli yang berasal dari peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, organ pemerintahan memperoleh
kewenangan
secara
langsung
tertentu dalam suatu peraturan perundang-undangan.
63
dari
pasal
Jadi dalam atribusi,
penerima wewenang dapat menciptakan wewenang baru atau memperluas wewenang yang sudah ada, dengan tanggung jawab intern dan ekstern pelaksanaan
wewenang
yang diatribusikan sepenuhnya berada pada
penerima wewenang (atributaris). Pada delegasi tidak ada penciptaan wewenang, yang ada hanya pelimpahan wewenang dari pejabat yang satu kepada pejabat lainnya. Tanggung jawab yuridis tidak lagi berada pada pemberi delegasi (delegans), tetapi beralih pada penerima delegasi (delegataris). Sementara pada mandat, peneriman mandat (mandataris) hanya bertindak untuk dan atas nama pemberi mandat (mandans), tanggung jawab akhir keputusan yang diambil mandataris tetap berada pada mandans. Hal ini karena pada dasarnya penerima mandat ini bukan pihak lain dari pemberi mandat.64 Kewenangan Notaris sebagai pejabat umum yang bertugas membuat akta otentik, termasuk kewenangan secara atribusi karena kewenangan 63
Amiruddin, Tanggungjawab Pidana Notaris Dalam Kedudukannya Sebagai Pejabat Pembuat Akta, Jurnal Media Hukum, edisi No. 2 Vol. 22, Fakultas Hukum Universitas Mataram, Desember 2015, hlm. 3 64 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013, hlm. 105
Notaris diberikan oleh undang-undang langsung yaitu Undang-undang nomor 2 tahun 2014 Pasal 15 ayat (1) yang menyatakan Notaris berwenang untuk membuat akta otentik. Jadi wewenang yang diperoleh Notaris bukan berasal dari lembaga lain, misalnya dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. 65 Wewenang Notaris terbatas pada peraturan perundangundangan yang mengatur jabatan Notaris. Landasan filosofi dibentuknya UUJN adalah terwujudnya jaminan kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan melalui akta yang dibuat oleh Notaris. 66 Dalam kaitannya kewenangan dengan permasalahan yang diangkat adalah apabila Notaris yang diberi kewenangan dalam membuat akta otentik menyalahgunakan wewenangnya tersebut yang mengakibatkan para pihak mengalami kerugian serta dapat mengakibatkan akta otentik yang dibuat oleh Notaris tersebut dapat dibatalkan, sehingga Notaris dapat dikatakan telah
bertindak
sewenang-wenang
dalam
menjalankan
tugas
dan
wewenangnya. Teori kewenangan ini untuk menjawab rumusan masalah kedua.
6. Teori Pertanggungjawaban Tanggung jawab menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah suatu keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (jika terjadi sesuatu dapat
dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya). 67 Dari
pengertian tersebut maka tanggungjawab dapat diartikan sebagai perbuatan pertanggungjawab
(pertanggungjawaban)
atas
perbuatan
yang
telah
dilakukan. Dalam kamus hukum, tanggung jawab adalah suatu keseharusan bagi seseorang untuk melaksanakan apa yang telah diwajibkan kepadanya.68 Menurut hukum tanggung jawab adalah suatu akibat atas konsekuensi
65
Habib Adjie, op.cit, hlm. 78 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2002, hlm. 24 67 http://kbbi.web.id/tanggung jawab, diakses tanggal 6 Juni 2016, pukul 23.05 WIB 68 Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2005, hlm. 4 66
kebebasan seorang tentang perbuatannya yang berkaitan dengan etika atau moral dalam melakukan suatu perbuatan.69 Selanjutnya menurut Titik Triwulan pertanggungjawaban harus mempunyai dasar, yaitu hal yang menyebabkan timbulnya hak hukum bagi seorang untuk menuntut orang lain sekaligus berupa hal yang melahirkan kewajiban hukum orang lain untuk memberi pertanggungjawabannya.70 Suatu konsep yang terkait dengan konsep kewajiban hukum adalah konsep tanggungjawab hukum (liability). Seseorang yang bertanggungjawab secara hukum atas perbuatan tertentu bahwa dia dapat dikenakan suatu sanksi dalam
kasus
perbuatannya
bertentangan/berlawanan
hukum.
Sanksi
dikenakan deliquet, karena perbuatannya sendiri yang membuat orang tersebut bertanggungjawab. Subyek responsibility dan subyek kewajiban hukum adalah sama. Dalam teori tradisional, ada dua jenis tanggung jawab: pertanggungjawaban
berdasarkan
kesalahan
(based
on
fault)
dan
pertanggungjawab mutlak (absolut responsibility).71 Tanggungjawab mutlak yaitu suatu perbuatan menimbulkan akibat yang dianggap merugikan oleh pembuat undang-undang dan ada suatu hubungan antara perbuatan dengan akibatnya. Tiada hubungan antara keadaan jiwa si pelaku dengan akibat dari perbuatannya. Pertanggungjawaban atas kesalahan (based on fault) adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam Hukum Pidana dan Hukum Perdata. Dalam KUHPerdata, khususnya pada Pasal 1365, Pasal 1366 dan Pasal 1367, prinsip ini dipegang teguh. Prinsip ini menyatakan seseorang baru dapat dimintakan untuk bertanggungjawab secara hukum apabila unsur terdapat unsur kesalahan yang dilakukannya. Pasal 1365 KUHPerdata yang dikenal sebagai pasal perbuatan melawan hukum mengharuskan empat unsur pokok yang harus dipenuhi yaitu adanya perbuatan, adanya unsur kesalahan, adanya
69
Soekidjo Notoatmojo, Etika dan Hukum Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta, 2010, hlm. 12 Titik Triwulan dan Shinta Febrian, Perlindungan Hukum bagi Pasien, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2010, hlm 48 71 Jimly Asshiddiqie, Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Jakarta, Konstitusi Press, 2006. hlm. 61 70
kerugian yang diderita, dan adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian. Pengertian tanggung jawab hukum menurut hukum Perdata berupa tanggung jawab seseorang terhadap perbuatan yang melawan hukum. Perbuatan melawan hukum memiliki ruang lingkup yang lebih luas dibandingkan dengan perbuatan pidana. Perbuatan melawan hukum tidak hanya mencakup perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang pidana saja, akan tetapi jika perbuatan tersebut bertentangan dengan undang-undang lainnya dan bahkan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang tidak tertulis. Ketentuan perundang-undangan dari perbuatan melawan hukum bertujuan untuk melindungi dan memberikan ganti rugi kepada pihak yang dirugikan.72 Menurut pasal 1365 KUHPerdata, maka yang dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum adalah perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang yang karena salahnya telah menimbulkan kerugian bagi orang lain. Dalam ilmu hukum dikenal 3 katagori dari perbuatan melawan hukum, yaitu sebagai berikut:73 a. Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan, b. Perbuatan
melawan
hukum
tanpa
kesalahan
(tanpa
unsur
kesengajaan maupun kelalaian), c. Perbuatan melawan hukum karena kelalaian. Maka model tanggung jawab hukum adalah sebagai berikut:74 a. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan kelalaian) sebagaimanapun terdapat dalam pasal 1365 KUHPerdata, yaitu: “tiap-tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
72
M.A. Moegni Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum, cet.2, Pradnya Paramita, Jakarta, 1982, hlm. 25 73 Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, Citra Adiyta Bakti, Bandung, 2010, hlm. 3. 74 http://online-hukum. blogspot. co.id/2011/01/pertanggungjawaban-dalam-hukum-perdata.html, diakses tanggal 10 Juni 2016, pukul 16.10 WIB
b. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan khususnya kelalaian sebagaimana terdapat dalam pasal 1366 KUHPerdata yaitu: “setiap orang bertanggungjawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya. c. Tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) sebagaimana terdapat dala pasal 1367 KUHPerdata.
Sebagai catatan pembanding di negara-negara common law, konsep perbuatan melawan hukum dapat dipadankan dengan istilah Tort yang merujuk dari bahasa Perancis yang berarti suatu kesalahan yang terhadapnya dapat dimintakan kompensasi atau pertanggungjawaban ganti rugi. Tort is the French word for a ‘wrong’. Tort law protects a variety of injuries and provides remedies for them. Under Tort Law, an injured party can bring a civil lawsuit to seek compensation for a wrong done to the party or to the party’s property. Many torts have their origin in common law. The court and legislatures have extended tort law to reflect changes in modern society.75 Menurut Arthur S. Hartkamp dalam KUHPerdata Baru Belanda (new code), penafsiran terhadap konsep perbuatan melawan hukum (unlawful act) juga sudah meluas karena merujuk tidak hanya pelanggaran hak atau pelanggaran suatu kewajiban berdasarkan undang-undang (statutory duty) melainkan juga terhadap aturan tak tertulis berkenaan dengan tindakan yang sesuai dengan kesusilaan masyarakat (proper social conduct).76 Pertanggungjawaban mutlak (absolute responsibility), prinsip tanggung jawab mutlak adalah suatu tanggung jawab hukum yang dibebankan kepada pelaku perbuatan melawan hukum tanpa melihat apakah yang bersangkutan dalam melakukan perbuatannya itu mempunyai unsur 75
76
Henry Cheeseman, The Legal Environment of Business, Pearson Education, Inc, Pearson; 8 edition, June, 2014, hlm. 91 Arthur s. Hartkamp, Judicial Discretion Under the New Civil Code of the Netherlands, Roma, 2013, hlm. 11
kesalahan atau tidak, dalam hal ini pelakunya dapat dimintakan tanggung jawab secara hukum, meskipun dalam melakukan perbuatannya itu pelaku tidak melakukannya dengan sengaja dan tidak pula mengandung unsur kelalaian, kekurang hati-hatian atau ketidakpatutan. Karena itu, tanggung jawab mutlak sering juga disebut dengan tanggung jawab tanpa kesalahan.77 Menurut Hans Kelsen di dalam teorinya tentang tanggung jawab hukum menyatakan bahwa “seseorang bertanggung jawab secara hukum atas suatu perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul tanggung jawab atas suatu sanksi dalam hal perbuatan yang bertentangan”. 78 Mengenai pertanggungjawaban pejabat menurut Kranenburg dan Vegtig terdapat dua teori yang melandasinya, yaitu:79 a.
Teori fautes personalles Adalah teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya itu telah menimbulkan kerugian. Dalam teori ini beban tanggung jawab ditujukan pada manusia selaku pribadi.
b. Teori fautes de services Adalah teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan kepada instansi dari pejabat yang bersangkutan. Menurut teori ini, tanggung jawab dibebankan kepada jabatan. Dalam penerapannya, kerugian yang timbul itu disesuaikan pula apakah kesalahan yang dilakukan itu merupakan kesalahan berat dan atau kesalahan ringan. Berat atau ringannya suatu kesalahan berimplikasi pada tanggung jawab yang harus ditanggung. Seseorang dikatakan secara hukum bertanggung jawab untuk suatu perbuatan hukum tertentu adalah bahwa dia dapat dikenakan suatu sanksi dalam kasus perbuatan yang berlawanan. Menurut teori tradisional, terdapat dua macam pertanggungjawaban yang dibedakan atas pertanggungjawaban
77
Hans Kelsen, General theory Of Law and State, New York: Russell & Russel, 1961 Hal 98 Ibid, hlm. 63 79 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 334 78
atas kesalahan (based on fault) dan pertanggungjawaban mutlak (absolute responsibility).80 Tanggung jawab profesional adalah tanggung jawab hukum (legal liability), dalam hubungan dengan jasa profesional yang diberikan kepada klien. Tanggung jawab profesional ini dapat timbul karena mereka (para penyedia jasa profesional) tidak memenuhi perjanjian yang mereka sepakati dengan klien mereka atau akibat dari kelalaian penyedia jasa tersebut mengakibatkan
terjadinya
perbuatan
melawan
hukum.81
Pemberian
kewenangan kepada Notaris untuk membuat akta sebagaimana diatur dalam Undang-undang jabatan notaris. Menurut perspektif hukum publik adanya kewenangan terhadap akta-akta yang di buat sejalan dengan prinsip umum yaitu tiada kewenangan tanpa pertanggung jawaban, para ahli umumnya berpendapat bahwa kalau terjadi pelanggaran notaris selaku pejabat umum berhubungan
dengan
kebenaran
materiil,
dibedakan
berdasarkan
4
pertanggung jawaban notaris yang menentukan sebagai berikut :82 a. Tanggung jawab Notaris secara perdata, b. Tanggung jawab Notaris secara pidana, c. Tanggung jawab Notaris berdasarkan UUJN, d. Tanggung jawab Notaris berdasarkan kode etik profesi. Hubungan
antara
teori
pertanggungjawaban
ini
dengan
permasalahan yang penulis angkat adalah walaupun Notaris di dalam menjalankan kewenangannya sebagai pejabat umum telah membuat akta otentik yang baik dan benar serta sesuai dengan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tetapi tidak dipungkiri di dalam menjalankan tugasnya tersebut seorang Notaris bisa saja melakukan kesalahan-kesalahan didalam pembuatan akta yang akan menimbulkan akibat hukum pada para pihaknya. Apabila Notaris melakukan kesalahan-kesalahan 80
Jimly Asshidiqie dan Ali Safaat, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 2006, hlm. 61 81 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Edisi Revisi, Gremedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2006, hlm. 82 82 Abdul Ghofur, Lembaga Kenotariatan Indonesia: Perspektif Hukum dan Etika, UII Press, Yogyakarta, 2009, hlm. 34
yang dapat
merugikan
para
pihak,
maka Notaris
tersebut dapat
dimintakan pertanggungjawabannya atas kesalahannya tersebut. Teori pertanggungjawaban ini digunakan untuk menganalisis pertanggungjawaban apa saja yang dapat dibebankan kepada Notaris dalam hal melaksanakan tugas dan jabatannya. Teori ini untuk menjawab rumusan masalah kedua yaitu untuk mengetahui jenis pertanggungjawaban Notaris dalam keputusan pemegang saham diluar Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dan nantinya dapat memberikan kepuasan kepada para pihak yang melakukan perbuatan tersebut.
B. Penelitian Yang Relevan Penelitian-penelitian terdahulu yang terdapat kemiripan dengan penelitian yang penulis lakukan. Perbedaan antara penelitian yang telah dilakukan sebelumnya dengan penelitian ini digambarkan dalam bentuk tabel seperti berikut ini : NO 1
Nama Nancy
Judul
Maria Legal Memorandum
Hotmauli, 2013
Hasil Penelitian Mengetahui bagaimana keputusan
atas Pemberhentian
sirkuler yang diambil oleh RUPS
Secara Sepihak
terkait
Terhadap Direktur
tersebut sesuai dengan ketentuan
Utama PT Pertamina
yang terdapat pada Pasal 105 ayat
Patra Niaga Melalui
(3) UUPT. Hasil dari penelitian
RUPS Sirkuler
menunjukkan
dikaitkan dengan
sirkuler
Undang-Undang
pemegang saham melalui RUPS
Nomor 40 Tahun
bertentangan dengan ketentuan yang
2007 Tentang
terdapat pada Pasal 106 ayat (3)
Perseroan Terbatas
UUPT.
pemberhentian
yang
bahwa
Direksi
keputusan
diputuskan
para
2
Fadlyna
Ulfa Pelaksanaan Circular
Faisal, 2012
Membahas
mengenai
hambatan
Resolution Pada
terhadap
pelaksanaan
Perseroan Terbatas
resolution yang sering terjadi pada Perseroan
Terbatas.
circular
Hasil
dari
penelitian tersebut adalah terdapat hambatan
terhadap
praktik
pelaksanaan
circular
resolution
pada PT, yaitu jangka waktu proses persetujuan penandatangan usulan circular resolution terlalu lama. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan UUPT
bahwa
2007
baik
maupun
pada pada
praktiknya seluruh hal yang dapat diputuskan dalam RUPS, dapat juga diputuskan
melalui
circular
resolution. 3
Chaidir. Am, 2012
Mekanisme
Hasil
penelitian
Pembuatan Keputusan bahwa
menunjukkan
pembuatan
keputusan
Sirkuler Pemegang
sirkuler pemegang saham adalah
Saham Sebagai
merupakan
Pengganti Rapat
saham,
Umum Pemegang
pemegang saham untuk menghadap
Saham Luar Biasa
ke Notaris dalam satu waktu yang
(RUPSLB) Dan
sama
Kedudukan Notaris
sirkuler tidak dapat dibuat dalam
Dalam Praktek
akta otentik. Dalam Pembuatan
hak
dari
pemegang
ketidakmampuan
menyebabkan
para
keputusan
Keputusan Sirkuler, Notaris tidak berperan langsung di dalamnya, Notaris
berperan
pada
saat
penuangan isi keputusan sirkuler ke dalam Akta Otentik sebagai bentuk peneguhan
dari
Keputusan
pemegang saham melalui keputusan sirkuler.
Relevansi judul, perumusan masalah dan pembahasan pada penelitian-penelitian tersebut diatas berbeda dengan apa yang peneliti sedang teliti saat ini. Dalam penelitian ini peneliti akan melakukan penelitian tentang Peran Dan Tanggungjawab Jabatan Notaris Dalam Keputusan Pemegang Saham Diluar Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Berdasar UndangUndang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, dengan perumusan masalah adalah bagaimana prosedur pembuatan keputusan pemegang saham diluar Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), dan apa peran serta tanggungjawab Notaris dalam Keputusan Sirkuler tersebut.
C. Kerangka Berpikir Kerangka pemikiran penelitian ini digambarkan sebagai berikut: UU Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
Pasal 75 s/d 91 UU PT Tentang Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
Pasal 91 UU PT
Tentang Keputusan Pemegang Saham diluar RUPS (keputusan Sirkuler)
- Prosedur pembuatan keputusan pemegang saham diluar Rapat Umum
Pemegang Saham -
Peran dan tanggungjawab Notaris dalam keputusan pemegang saham diluar Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) berdasarkan UUPT
Keterangan: Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, diatur mengenai Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dalam Pasal 75 sampai dengan 91. Di dalam ketentuan Pasal 91 diatur mengenai ketentuan pengambilan keputusan di luar Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang dikenal dengan istilah circular resolution. Pengambilan keputusan seperti ini dilakukan tanpa diadakan RUPS secara fisik, tetapi keputusan diambil dengan cara mengirimkan usul secara tertulis yang akan diputuskan kepada semua pemegang saham dan usul tersebut disetujui secara tertulis oleh seluruh pemegang saham. Dalam ketentuan tersebut tidak dijelaskan mengenai mekanisme pelaksanaan
circular
resolution
di
dalam
diberlakukan prosedur yang tetap dan baku.
prakteknya, Selain
maka
perlu
itu, tidak ada
pembatasan mengenai hal-hal apa saja yang dapat dibahas melalui circular resolution. Jadi seluruh hal yang dapat diputuskan dalam RUPS, dapat juga diputuskan melalui circular resolution, sehingga menimbulkan pemahaman dan penafsiran yang berbeda oleh para pelakunya. Hasil dari circular resolution yang sering disebut dengan Keputusan Sirkuler yang merupakan akta bawah tangan biasa dituangkan ke dalam akta otentik. Disinilah kewenangan Notaris untuk membuat akta otentik, Keputusan Sirkuler yang merupakan akta bawah tangan, sehingga Keputusan Sirkuler bukanlah kewenangan dari Notaris. Kewenangan seorang Notaris lahir ketika Keputusan Sirkuler tersebut dituangkan ke dalam akta otentik. Setelah terdapat kewenangan maka akan lahir tanggungjawab jabatan bagi Notaris. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 65 UUJN yang memuat ketentuan bahwa Notaris bertanggung jawab terhadap akta yang dibuatnya.