BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Ascaris lumbricoides Linn. a. Klasifikasi Kingdom
: Animalia
Filum
: Nemathelminthes
Kelas
: Nematoda
Sub kelas
: Secernentea
Ordo
: Ascaridida
Superfamili
: Ascaridoidea
Famili
: Ascarididae
Genus
: Ascaris
Spesies
: Ascaris lumbricoides Linn. (Widodo, 2013).
b. Morfologi Cacing nematoda ini adalah cacing berukuran besar, berwarna putih kecoklatan atau kuning pucat. Cacing jantan berukuran panjang antara 10-31 cm, sedangkan cacing betina panjang badannya antara 2235 cm. kutikula yang halus bergaris-garis tipis menutupi seluruh permukaan badan cacing. Ascaris lumbricoides mempunyai mulut dengan tiga buah bibir, yang terletak sebuah di bagian dorsal dan dua bibir lainnya terletak subventral (Soedarto, 2011). 5
6
Selain ukurannya lebih kecil daripada cacing betina, cacing jantan mempunyai ujung posterior yang runcing, dengan ekor melengkung ke arah ventral. Di bagian posterior ini terdapat 2 buah spikulum yang ukuran panjangnya sekitar 2 mm, sedangkan di bagian ujung posterior cacing terdapat juga banyak papil-papil yang berukuran kecil. Bentuk tubuh cacing betina membulat (conical) dengan ukuran badan lebih besar dan lebih panjang daripada cacing jantan dan bagian ekor yang lurus, tidak melengkung (Soedarto, 2011). c. Siklus Hidup Pada tinja penderita askariasis yang membuang air tidak pada tempatnya dapat mengandung telur askariasis yang telah dibuahi. Telur ini akan matang dan menjadi bentuk yang infektif dalam waktu 21 hari dalam lingkungan yang sesuai. Bentuk infektif ini, jika tertelan oleh manusia menetas di usus halus. Larvanya menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran limfe, kemudian dialirkan ke jantung. Dari jantung kemudian dialirkan menuju ke paru-paru (Widodo, 2013). Larva di paru-paru menembus dinding pembuluh darah, lalu dinding alveolus, masuk rongga alveolus kemudian naik ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus. dari trakea larva ini menuju faring, sehingga menimbulkan rangsangan pada faring. Penderita batuk karena rangsangan ini dan larva akan tertelan ke dalam oesofagus, lalu menuju ke usus halus. Di usus halus larva berubah menjadi cacing dewasa. Sejak
7
telur matang tertelan sampai cacing dewasa berteur dibutuhkan waktu kurang lebih 2 bulan (Gandahusada et al., 2000; CDC, 2015).
Gambar 2.1. Siklus Hidup Ascaris lumbricoides (CDC, 2015) d. Patologi dan Gambaran Klinis Kelainan klinik dapat disebabkan larva maupun cacing dewasa Ascaris lumbricoides. Patologi dan gambaran klinis yang terjadi disebabkan oleh : 1)
Migrasi larva Kelainan akibat larva yaitu demam selama beberapa hari pada periode larva menembus dinding usus dan bermigrasi akhirnya sampai ke paru. Biasanya pada waktu tersebut ditemukan eosinofilia pada pemeriksaan darah. Foto thoraks menunjukkan adanya infiltrat yang menghilang dalam waktu 3 minggu. Keadaan ini disebut Sindrom Loeffler yang hanya ditemukan pada orang
8
yang pernah terpajan dan rentan terhadap antigen Ascaris atau bilamana terdapat infeksi berat. Pada penderita penyakit yang juga disebut pneumonitis Ascaris, dapat ditemukan gejala ringan seperti batuk ringan sampai pneumonitis berat yang berlangsung selama 23 minggu. Kumpulan gejala termasuk batuk, mengi, sesak nafas, agak meriang, sianosis, takikardi, rasa tertekan pada dada atau sakit dada, dan di dalam dahak kadang-kadang ada darah. Gejala-gejala berlangsung selama 7-10 hari dan menghilang secara spontan pada waktu larva bermigrasi keluar paru (Margono dan Hadjijaja, 2011). 2)
Cacing dewasa Terdapatnya cacing Ascaris dewasa dalam jumlah yang besar di usus halus dapat menyebabkan abdominal distension dan rasa sakit. Keadaan ini juga dapat menyebabkan lactose intolerance, malabsorpsi dari vitamin A dan nutrisi lainnya. Hepatobiliary dan pancreatic ascariasis terjadi sebagai akibat masuknya cacing dewasa dari duodenum ke orificium ampullary dari saluran empedu, timbul kolik empedu, kolesistitis, kolangitis, pankreatitis dan abses hepar (Suriptiastuti, 2006). Jumlah cacing yang banyak sangat berhubungan dengan terjadinya malnutrisi, defisit pertumbuhan dan gangguan kebugaran fisik, di samping itu masa cacing itu sendiri dapat menyebabkan obstruksi. Hidup dalam rongga usus halus manusia mengambil makanan terutama karbohidrat dan protein, seekor cacing akan
9
mengambil karbohidrat 0,14 g/hari dan protein 0,035 g/hari (Siregar, 2006). e. Pengobatan Obat-obat yang digunakan untuk terapi askariasis adalah: 1)
Pirantel pamoat Derivat pirimidin ini berkhasiat terhadap Ascaris, Oxyuris, dan cacing tambang, tetapi tidak efektif terhadap Trichiuris. Mekanisme kerjanya berdasarkan pelumpuhan cacing dengan jalan menghambat penerusan impuls neuromuskular. Lalu parasit dikeluarkan oleh peristaltik usus tanpa memerlukan laksans. Efek sampingnya ringan berupa gangguan saluran cerna dan kadang sakit kepala. Dosis yang diberikan pada cacing kermi dan gelang adalah 2-3 tablet dari 250 mg, anak-anak 1½-2 tablet sesuai usia (10mg/kg). Pada cacing cambuk dosisnya sama selama 3 hari (Tjay dan Rahardja, 2007).
2)
Mebendazol Ester-metil dari benzimidazol ini adalah antihelmintikum berspektrum luas yang sangat efektif terhadap cacing kermi, gelang, pita, cambuk dan tambang. Mekanisme kerjanya melalui perintangan pemasukan glukosa dan mempercepat penggunaannya (glikogen) pada cacing. Tidak perlu diberikan laksans. Efek sampingnya jarang terjadi dan berupa gangguan saluran cerna seperti sakit perut dan diare. Dosis dewasa dan anak-anak sama,yakni pada infeksi cacing gelang, tambang, benang, pita dan
10
cambuk 2 dd 100 mg selama 3 hari, bila perlu diulang setelah 3 minggu (Tjay dan Rahardja, 2007). 3)
Albendazol Derivat karbamat dari benzimidazol ini berspektrum luas terhadap Ascaris, Oxyuris, Taenia, Ancylostoma, Strongyloides dan Trichiuris. Efek sampingnya berupa gangguan lambung-usus, demam, dan rontok rambut. Dosis pada ascariasis, enterobiasis, ancylostomiasis, trichuriasis anak dan dewasa single dose 400 mg d.c, pada strongyloidiasis 1 dd 400 mg d.c selama 3 hari (Tjay dan Rahardja, 2007).
4)
Piperazin Zat basa ini sangat efektif terhadap Oxyuris dan Ascaris berdasarkan perintangan penerusan-impuls neuromuskuler, hingga cacing dilumpuhkan untuk kemudian dikeluarkan dari tubuh oleh gerakan peristaltik usus. Efek sampingnya jarang terjadi, pada overdose timbul gatal-gatal (urticaria), kesemutan (paresthesia) dan gejala neurotoksis (rasa kantuk, pikiran kacau konvulsi, dll). Dosis terhadap Ascaris 75 mg/kg berat badan atau dosis tunggal dari 3 g selama 2 hari (Tjay dan Rahardja, 2007).
5)
Levamisol Derivat-imidazol ini sangat efektif untuk Ascaris dan cacing tambang dengan jalan melumpuhkannya. Khasiat lainnya yang penting adalah stimulasi sistem-imunologi tubuh. Efek sampingnya
11
jarang terjadi, yakni reaksi alergi (rash), granulocytopenia dan kelainan darah lainnya. Dosis untuk askariasis pada orang dewasa dengan berat badan lebih dari 40 kg adalah 150 mg d.c (garam HCl), anak-anak 10-19 kg: 50 mg, 20-39 kg: 100 mg (Tjay dan Rahardja, 2007). 6)
Praziquantel Obat
ini
digunakan
sebagai
obat
satu-satunya
pada
schistosomiasis dan juga dianjurkan pada taeniasis. Khasiatnya berdasarkan pemicuan kontraksi cepat pada cacing dan desintegrasi kulitnya, untuk kemudian dikeluarkan dari tubuh. Dosis 600 mg setelah makan malam. Untuk taeniasis dosis tunggal 10 mg/kg (Tjay dan Rahardja, 2007). 2. Ascaris suum Goeze a. Klasifikasi Kingdom
: Animalia
Phyllum
: Nemathelminthes
Kelas
: Nematoda
Sub kelas
: Secernentea
Ordo
: Ascaridida
Superfamili : Ascaridoidea Famili
: Ascarididae
Genus
: Ascaris
Spesies
: Ascaris suum Goeze (Widodo, 2013)
12
b. Morfologi Ascaris suum Goeze atau yang biasa dikenal sebagai cacing gelang babi adalah nematoda yang menyebabkan askariasis pada babi. Hospes utama Ascaris suum Goeze adalah babi, meskipun dapat pula menjadi parasit pada tubuh manusia, sapi, kambing, domba, anjing, dan lain-lain (Loreille dan Bouchet, 2003). Secara morfologi, tidak banyak perbedaan antara Ascaris suum Goeze dan Ascaris lumbricoides Linn. Perbedaan di antara keduanya tidak dapat diamati dengan mikroskop cahaya biasa. Sedangkan penelitian dengan menggunakan mikroskop elektron menunjukkan adanya perbedaan pada geligi dan bentuk bibir di antara keduanya. Adanya beberapa perbedaan pola ikatan molekul protein yang sama antara Ascaris lumbricoides dan Ascaris suum Goeze mencerminkan hubungan genetik yang cukup dekat, serta menunjukkan adanay kemungkinan terjadinya hibridisasi antara Ascaris lumbricoides dan Ascaris suum (Alba et al., 2009). c. Siklus Hidup Siklus hidup Ascaris suum Goeze tergolong sederhana. Babi menyebarkan infeksi melalui tinja yang mengandung telur Ascaris. Telur infertil akan berkembang menjadi telur yang fertil dalam waktu 4-6 minggu. Perkembangan ini membutuhkan kondisi tanah pada suhu antara 18-20°C (Mejer dan Roepstorff, 2006).
13
Pada Ascaris suum siklus hidup dapat terjadi secara langsung (direct) maupun tidak langsung (indirect). Pada siklus direct, babi akan menelan telur infentif yang mengandung larva III. Larva tersebut akan bermigrasi ke bronkus. Selanjutnya, larva tersebut akan melakukan penetrasi pada dinding usus besar dan bermigrasi melalui hati ke paruparu,. Ketika host batuk, larva akan tertelan dan masuk ke saluran gastrointestinal. Di dalam traktus gastrointestinal, larva akan berkembang menjadi bentuk dewasa. cacing dewasa akan hidup dan berkembang baik dalam usus halus babi (Loreille dan Bouchet, 2003). Pada siklus indirect, perkembangan akan melalui host perantara atau host paratenik seperti cacing tanah. Host paratenik akan menelan telur infertil yang berisi larva II dan larva tersebut akan berada di jaringan sampai babi memangsa host paratenik tersebut. Selanjutnya, larva akan berkembang dalam tubuh babi menjadi larva III seperti proses yang berlangsung dalam siklus direct (Mejer dan Roepstorff, 2006).
Gambar 2.2. Siklus Hidup Ascaris suum Goeze (Loreille dan Bouchet, 2003)
14
d. Aspek Klinis pada Manusia Siklus hidup Ascaris suum menyebabkan kemungkinan cacing ini menginfeksi manusia. Rute transmisi Ascaris suum dapat terjadi akibat kontak dengan kotoran babi yang sering digunakan sebagai pupuk tanaman. Rute yang lain diduga melalui konsumsi daging mentah dari babi yang terinfeksi (Nejsum et al., 2012). Pada tubuh penderita yang terinfeksi, larva Ascaris suum akan bermigrasi ke berbagai organ dan menyebabkan manifestasi klinis yang dikenal sebagai visceral larva migrans (VLM). Manifestasi klinis dari VLM
digambarkan
dengan
keadaan
hipereosinophilia
dengan
hepatomegali atau pneumonia serta gejala tidak spesifik seperti malaise, batuk dan gangguan fungsi hati (Sakakibara et al., 2002). 3. Katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr.) a. Klasifikasi Kingdom
: Plantae
Subkingdom
: Tracheobionta
Superdivisi
: Spermatophyta
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Subkelas
: Rosidae
Ordo
: Euphorbiales
Famili
: Euphorbiaceae
Genus
: Sauropus
15
Spesies
: Sauropus androgunus(L.) Merr.
(Tjitrosoepomo, 2002) b. Morfologi Katuk memiliki beberapa nama yang berbeda di setiap daerah di Indonesia antara lain sekop manis (Melayu), simami (Minangkabau), sibabing, katu, katukan (Jawa), katuk (Sunda) dan kerakur (Madura). Di beberapa negara, katuk dikenal dengan nama antara lain cekur manis, sayur manis (Malaysia), puk waan (Thailand), sweet leaf bush/ star gooseberry (Inggris) dan so kun mu (Cina) (Agoes, 2010). Tanaman katuk merupakan tumbuhan perdu dengan ketinggian tanaman mencapai 500 cm. Susunan morfologi tanaman katuk terdiri atas akar, batang, daun, bunga, buah dan biji. Daun katuk berbentuk bulat telur, berujung tumpul dengan ukuran panjang 2-7,5 cm. Bunga tanaman katuk berwarna merah gelap atau kuning dengan bercak merah gelap. Buahnya berbentuk bulat dengan diameter 1,5 cm (Bunawan et al., 2015). Sistem perakaran tanaman katuk menyebar ke segala arah dan dapat mencapai kedalaman antara 30-50 cm. Batang tanaman tumbuh tegak dan berkayu. Pada stadium muda, batang tanaman berwarna hijau dan setelah tua berubah menjadi kelabu keputih-putihan. Tanaman katuk tumbuh baik pada daerah dengan ketinggian 5-1300 m di atas permukaan laut (dpl) dengan rataan curah hujan antara 200 dan 300 mm per tahun
16
pada tanah jenis latosol. Tanaman ini dapat tumbuh di negara Malaysia, Indonesia, Cina, dan Taiwan (Rukmana dan Harahap, 2003).
Gambar 2.3. Daun Katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr.) (Christi, 2014) c. Efek Farmakologis Katuk Tanaman katuk (Sauropus androgunus (L.) Merr) telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat, baik sebagai obat tradisional, sebagai sayuran atau pewarna makanan. Kandungan nutrisi tanaman katuk sangat tinggi antara lain protein sebesar 7,6 g/100 g, lemak 1,8 g/100 g, karbohidrat 6,9 g/100 g, dan serat 1,9 g/100 g. Daun katuk yang segar merupakan sumber provitamin A carotenoid, vitamin B, vitamin C, protein dan mineral yang sangat baik. Selain kaya akan kandungan nutrisi, katuk juga mengandung senyawa metabolit sekunder (Sanjayasari dan Pliliang, 2011). Metabolit sekunder adalah senyawa kimia bermolekul kecil yang terkandung dalam tumbuhan. Tumbuhan menghasilkan senyawa metabolit sekunder berfungsi untuk melindungi tumbuhan dari serangan serangga, bakteri, jamur dan jenis patogen lainnya (Sarker et al., 2006).
17
Berdasarkan skrining fitokimia, daun katuk mengandung senyawa metabolit sekunder antara lain steroid, tanin, saponin, alkaloid, flavonoid, terpenoid, dan fenol (Selvi dan Basker, 2012). Beberapa penelitian yang dilakukan para ahli menyebutkan bahwa daun katuk memiliki efek meningkatkan produksi ASI (Sa’roni et al., 2004), perbaikan jaringan pada penyembuhan luka (Bhaskar et al., 2009), menurunkan kadar kolesterol jahat (LDL-k) (Agoes, 2010), aktivitas antioksidan (Zuhra et al., 2008), dan antibakteri (Paul dan Anto, 2011). d. Kandungan Daun Katuk yang Mempunyai Efek Antihelmintik Hasil penapisan fitokimia menyatakan bahwa daun katuk mengandung
senyawa-senyawa
aktif
yang
merupakan
metabolit
sekunder. Senyawa yang terbukti terkandung dalam ekstrak daun katuk adalah tannin, saponin, flavonoid, fenol, alkaloid, dan terpenoid (Selvi dan Basker, 2012). Daun katuk mengandung kadar tanin sebesar 0,46 g/100 g berat kering dan saponin sebesar 2,84 g/100 g berat kering (Azlan et al., 2015), kadar flavonoid sebesar 0,823 g/100 g (Andarwulan et al., 2010), kadar fenol total sebesar 1,15 g/100 g berat kering dan kadar alkaloid sebesar 0,58 g/100 g berat basah (Petrus, 2013). Tanin merupakan senyawa bahan alam yang terdiri dari sejumlah besar gugus hidroksi fenolik. Tanin adalah senyawa fenolik yang larut dalam air atau bersifat polar. Secara kimia tanin sangat kompleks dan biasanya dibagi ke dalam dua kelompok yaitu tanin terkondensasi dan tanin terhidrolisis. Tanin memiliki efek vermifuga dengan cara merusak
18
protein tubuh cacing. Tanin dapat mengikat protein bebas pada saluran pencernaan cacing (Hoste et al., 2006) atau glikoprotein pada kutikula cacing sehingga mengganggu fungsi fisiologis seperti motilitas, penyerapan nutrisi dan reproduksi (Githiori et al., 2006). Di samping tanin, saponin juga memiliki efek antihelmintik. Saponin merupakan glikosida tanaman yang terdiri atas gugus sapogenin atau triterpenoid, gugus heksosa, pentosa dan asam uronat. Mekanisme kerja saponin sebagai antihelmintik adalah dengan cara menghambat kerja enzim asetilkolinesterase (Chastity et asetilkolinesterase
merupakan
enzim
yang
al., 2015).
Enzim
berfungsi
untuk
menghidrolisis asetilkolin. Asetilkolin merupakan zat yang dilepaskan dari ujung saraf motorik untuk mengaktivasi reseptor sehingga mengawali
serangkaian
kontraksi.
Penghambatan
kerja
enzim
asetilkolinesterase akan meningkatkan penghambatan penerusan impuls neuromuskuler sehingga akan menyebabkan paralisis otot pada cacing (Syarif dan Elysabeth, 2007). Aktivitas antihelmintik pada ekstrak daun katuk juga dipengaruhi oleh komponen bioaktif lainnya seperti flavonoid, fenol, alkaloid, dan terpenoid. Senyawa-senyawa ini mampu meningkatkan kerja senyawa aktif lain atau melalui mekanisme tersendiri dalam melawan cacing. Klongsiriwet et al. (2015) memaparkan bahwa kandungan tanin terkondensasi dan dua flavonoid umum, quercetin dan luteolin, mampu menyebabkan degenerasi sel otot dan disorganisasi intraseluler sehingga
19
mengakibatkan kematian cacing. Quercetin bertindak sebagai inhibitor Pglikoprotein (P-gp) sehingga terjadi akumulasi produk metabolik yang berlanjut menghasilkan toksisitas seluler. Komponen fenol juga mempunyai
mekanisme
tersendiri
dalam
menghasilkan
aktivitas
antihelmintik. Mekanisme fenol dalam membunuh cacing adalah dengan cara mengganggu proses penghasilan energi cacing. Fenol mampu memutus reaksi pada fosforilasi oksidatif dan mengganggu glioprotein pada permukaan sel (John et al., 2007). Alkaloid yang memiliki efek analgesik dan sedatif berkontribusi dalam proses paralisis dan kematian cacing. Alkaloid bersifat toksik karena efeknya dalam menstimulasi kebocoran isi sel dan disfungsi neurologis (Nalule et al., 2013). Terpenoid dapat menyebabkan inhibisi motilitas dan proses reproduksi pada cacing (Chitwood, 2002). 4. Ekstraksi Ekstraksi merupakan proses pemisahan kandungan senyawa aktif dari jaringan tumbuhan menggunakan pelarut tertentu. Beberapa hal yang dapat mempengaruhi efisiensi ekstraksi yaitu bahan tanaman yang digunakan, pemilihan pelarut, dan metode yang digunakan. Bahan tanaman yang digunakan dapat berupa bagian tanaman utuh atau yang telah melalui proses pengeringan. Pemilihan metode dan pelarut yang digunakan harus tepat untuk mendapatkan hasil yang maksimal (Rompas et al., 2012). Beberapa metode ekstraksi yang umum dilakukan adalah ekstraksi dengan pelarut, distilasi, pengepresan mekanik, dan sublimasi. Di antara metode-
20
metode tersebut, metode yang banyak dilakukan adalah distilasi dan ekstraksi menggunakan pelarut. Maserasi adalah metode umum untuk mengekstraksi sejumlah kecil bahan tanaman di laboratorium karena bisa dilakukan mudah di termos Erlenmeyer (termos dapat ditutup dengan parafilm atau aluminium untuk mencegah penguapan pelarut). Metode ini dapat dilakukan dengan cara merendam bahan dengan sekali-kali dilakukan pengadukan atau pengadukan secara berkesinambungan (maserasi kinetik). Maserasi didasarkan pada kelarutan komponen terhadap komponen lain dalam campuran. Kelarutan suatu zat tergantung pada polaritas senyawa yang akan diekstrak (Jones dan Kinghorn, 2006). Kelebihan dari metode ini yaitu efektif untuk senyawa yang tidak tahan panas (terdegradasi karena panas), peralatan yang digunakan relatif sederhana, murah, dan mudah didapat. Namun, metode ini juga memiliki beberapa kelemahan yaitu waktu ekstraksi yang lama, membutuhkan pelarut dalam jumlah banyak, dan adanya kemungkinan bahwa senyawa tertentu tidak dapat diekstrak karena kelarutannya yang rendah pada suhu ruang (Sarker et al., 2006). Pada penelitian ini, peneliti menggunakan metode maserasi dengan pelarut etanol 70% untuk mendapatkan kandungan kimia seperti tanin dan saponin yang ada pada daun katuk. Golongan tanin merupakan senyawa fenolik yang cenderung larut dalam air dan pelarut polar. Saponin merupakan glikosida triterpen yang memiliki sifat cenderung polar karena
21
ikatan glikosidanya (Sangi et al., 2008). Penggunaan etanol sebagai bahan ekstraksi dengan alasan karena pelarut etanol memiliki indeks polaritas sebesar 5,2 dan pelarut etanol dalam ekstraksi dapat meningkatkan permeabilitas dinding sel simplisia sehingga proses ekstraksi menjadi lebih efisien dalam menarik komponen polar hingga semi polar (Jones dan Kinghorn, 2006).
22
B. Kerangka Pemikiran Pirantel pamoat
Ekstrak Daun Katuk
Tanin
Saponin
Menghambat kerja enzim kolinesterase
Menghambat kerja enzim kolinesterase
Vermifuga (merusak protein tubuh cacing)
Asetilkolin tidak terhidrolisis
Merintangi penerusan impuls neuromuskular
Depolarisasi persisten
Gangguan aktivitas otot cacing
Gangguan aktivitas otot cacing
Paralisis spastik
Paralisis spastik
Cacing mati
Cacing mati
Waktu kematian
Waktu kematian
Variabel perancu yang terkendali: 1. Jenis dan panjang cacing 2. Suhu percobaan (37°C) Variabel perancu yang tidak terkendali: 1. Umur cacing 2. Kepekaan cacing
Gambar 2.4 Kerangka Pemikiran Keterangan: : mengandung, berefek : variabel perancu yang mempengaruhi hasil penelitian : hal yang dipengaruhi oleh variabel perancu
23
C. Hipotesis Ekstrak etanol daun katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr) pada konsentrasi tertentu memiliki efek antihelmintik terhadap Ascaris suum Goeze in vitro.