BAB II LANDASAN TEORI
A.
Tinjauan Pustaka 1. Kompartemen Cairan Tubuh Air merupakan komponen terbesar dan pelarut terpenting dari tubuh. Persentasenya dapat berubah tergantung pada umur, jenis kelamin dan derajat obesitas seseorang. Cairan tubuh terbagi dalam dua kompartemen yaitu intraseluler dan ekstraseluler. Ekstraseluler terbagi dalam ruang interstisial dan intravaskuler. Selain kedua ruang tersebut, terdapat dua ruang lain yaitu ruang transeluler dan ruang slowly exchangeable yang merupakan cairan ekstraseluler namun mempunyai karakteristik tersendiri dan dalam keadaan normal tidak terlalu diperhitungkan. Cairan slowly exchangeable berjumlah 8-10% berat badan, mengisi tulang-tulang rawan dan jaringan ikat yang keras. Pertukaran tidak mudah terjadi sehingga tidak mempengaruhi keseimbangan cairan, tetapi dapat menerima cairan infus dan meneruskan plasma pada resusitasi intraoseus. Cairan transeluler atau rongga ketiga (third space/extracorporeal)
berasal
dari
pengangkutan
aktif
cairan
ekstraseluler melalui epitel dan dianggap sebagai reservoir cairan ekstraseluler, seperti cairan serebrospinal, cairan lumen usus, cairan bola mata, cairan getah bening, cairan intrapleura, cairan peritoneal, 6
7
cairan sinovial dan lainnya yang hanya berjumlah 1-3% berat badan (Kushartono, 2006). Pada keadaan sakit kritis, pasien dengan trauma atau pasien dengan pembedahan terjadi perubahan homeostasis cairan tubuh, terutama sering dijumpai pergeseran cairan ke rongga ketiga atau interstisial sehingga menimbulkan penumpukan cairan pada ronggarongga tersebut. Keadaan ini terjadi karena rusaknya endothelial glycocalyx, sebuah struktur integral dari dinding vaskular. Pada studi experimental beberapa tahun terakhir, diketahui bahwa iskemik, reperfusi, tumor necrosis factor-α (TNF-α), dan atrial natriuretic peptide (ANP) dapat memicu kerusakan pada endothelial glycocalyx. Karena hipervolemia akut dapat memicu pelepasan ANP, maka secara teoritis
dengan
menghindari
hipervolemia
intravaskular
dapat
mencegah terjadinya kerusakan endothelial glycocalyx. (Jacob dan kawan-kawan, 2009; Bouchard dan Mehta, 2010) 2. Regulasi Cairan Tubuh Pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit diperankan oleh sistem saraf dan sistem endokrin. Sistem saraf mendapat informasi adanya perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit melalui baroreseptor di arkus aorta dan sinus karotikus, osmoreseptor di hypothalamus, dan volumereseptor atau reseptor regang di atrium. Sedangkan dalam sistem endokrin, hormon-hormon yang berperan
8
saat tubuh mengalami kekurangan cairan adalah angiotensin II, aldosteron, dan anti diuretic hormone (ADH) dan ANP. Saat terjadi gangguan homeostasis yang mengakibatkan penurunan volume darah dan tekanan darah, regulasi saraf simpatis dengan waktu yang singkat akan meningkatkan cardiac output dan tahanan perifer yang meningkatkan tekanan darah. Terjadi pelepasan ADH yang akan meningkatkan reabsorbsi cairan di ginjal dan menurunkan sekresi urin. Sementara itu aliran ke aparatus juxtaglumerular ginjal yang menurun akan mengktifkan sistem renin angiotensin. Renin akan dilepaskan oleh ginjal, menyebabkan sekresi angiotensin I yang akan dikonversi menjadi angiotensin II oleh angiotensin
converting
enzyme
(ACE).
Angiotensin
II
akan
menyebabkan vasokonstriksi dan merangsang sekresi aldosteron. Aldosteron akan menghambat sekresi air dan natrium. Adanya regulasi perangsangan saraf dan hormonal menyebabkan homeostasis tekanan darah dan volume darah menjadi normal (Edward dan Mythen, 2014; Martini dan kawan-kawan, 2011). Sementara, jika terjadi peningkatan volume cairan tubuh, maka hormone ANP akan meningkatkan ekskresi volume natrium dan air. ANP merupakan protein yang diproduksi oleh sel-sel otot jantung pada dinding atrium kanan pada saat diastole. ANP akan disekresi bila volume darah meningkat dan atrium ginjal meregang secara berlebihan. ANP memasuki sirkulasi dan bekerja pada ginjal yang
9
menyebabkan peningkatan laju filtrasi glomerulus, penurunan reabsorpsi natrium dan air oleh duktus koligentes.
↓ Volume darah ↑ osmolaritas serum
↓ tekanan darah
↑ rangsang simpatis ↓ perfusi renal
ANP
↓ laju filtrasi glomerulus
↑ volume darah
↑ renin ↑ Angiotensin I & II
↑ pelepasan ADH dari ptituari posterior ke darah
↑ aldosterone di korteks adrenal
↑ reabsorbsi cairan di ginjal
↓ ekskresi cairan & Na
↓ ekskresi urin
↑ volume cairan & Na Pemberian resusitasi cairan
Gambar 2.1
Keterangan: : menghambat
Bagan pengaturan cairan tubuh dan mekanisme umpan balik negatif oleh renin, angiotensin, aldosteron dan ANP.
10
ANP
dapat
menghambat
pelepasan
ADH,
aldosteron,
epinephrine, dan norepinephrine, mengurangi rasa haus, serta menstimulasi vasodilatasi perifer dalam mengkompensasi kelebihan cairan. (Guyton dan Hall, 2011) 3. Dampak Balans Cairan Positif Tatalaksana cairan memiliki dampak yang besar terhadap waktu, tingkat keparahan penyakit dan luaran dari penyakit kritis. Pada pasien sakit kritis, terapi cairan yang adekuat sangat penting dalam tatalaksana hipotensi, sepsis, gagal jantung dan AKI (acute kidney injury).
Pada
penelitian
Rivers
dan
kawan-kawan
(2001)
memperlihatkan strategi resusitasi dini yang agresif termasuk terapi cairan dapat meningkatkan luaran pasien dengan syok septik. Resusitasi dini yang agresif ini bertujuan untuk mengganti hilangnya cairan intravena dan untuk meminimalisasi akibat hipovolemia seperti takikardi, hipotensi, AKI, dan disfungsi multi organ (Lee, 2010). Namun sebaliknya terdapat banyak penelitian tersebut menyiratkan ada batasan pemberian cairan karena pemberian resusitasi cairan yang berlebihan pada pasien sakit kritis mempunyai efek negatif pada berbagai organ pada akhirnya meingkatkan morbiditas dan mortalitas. Balans
cairan
ketidakseimbangan
positif
antara
laju
dikonseptualisasikan filtrasi
transkapiler
sebagai dan
laju
pembuangan cairan dari jaringan ke simtem limfatik, yang banyak dipresentasikan dengan timbulnya edema perifer (Bouchard dan
11
Mehta, 2010). Pada pasien dengan sakit kritis, terjadi peningkatan permeabilitas kapiler. Saat cairan dalam jumlah besar diberikan, ketidakseimbangan osmolaritas pada kompartemen intraseluler dan ekstraseluler terjadi. Membran sel pada manusia sangat permeabel terhadap air dan tidak dapat mentolerir perubahan gradien tekanan hidrostatis yang signifikan. Pembengkakan sel dapat mengakibatkan asidifikasi pada sitosol, dilusi konsentrasi protein sel, dan inaktivasi dari beberapa protein kinase. Hal-hal tersebut dapat menyebabkan gangguan pada fosforilasi, yang merupakan mekanisme signaling penting pada sel. Bila hal ini terus berjalan, bermacam fungsi sel bisa terganggu, seperti hepatosit,
sel
pankreas
dan
juga
aktivitas
miosit
jantung.
Pembengkakan pada sel hepatosit akan menganggu produksi dan metabolisme glukosa. Pembengkakan sel β pankreas menyebabkan aktivitas protease yang biasanya mengubah proinsulin menjadi insulin menjadi terganggu dengan rusaknya struktur insulin secretory granules (ISGs). Pada pembengkakan sel miosit jantung, terjadi depolarisasi kanal klorida yang menyebabkan peningkatan depolarisasi membran, peningkatan rangsangan membran, dan terjadi pemendekan durasi potensial aksi (Cotton dan kawan-kawan, 2006). Pembengkakan sel dapat mempengaruhi kaskade inflamasi dengan cara mengaktivasi fosfolipase A2. Fosfolipase A2 akan
12
memicu peningkatan produksi prostaglandin, lipoksigenase, leukotrien dan asam epocxyeicosatrienoic (EETs). Peningkatan volume sel secara akut juga merangsang peningkatan dan pelepasan TNF-α dari makrofag. Pergeseran volume yang besar ini juga meningkatkan proteolisis dan hiperkatabolisme. Selain itu pembengkakan pada selsel
neuronal,
menyebabkan
pengasaman
vesikel
sinaptik,
menyebabkan gangguan metabolisme, pengambilan dan pelepasan neurotransmitter.
Akibatnya
terjadi
gangguan
pada
pelepasan
katekolamin, glutamat, asam γ amino-butyric, dan asetilkolin. Keadaan post trauma dikaitkan dengan sejumlah perubahan fisiologis yang mengganggu keseimbangan mediator proinflamasi dan anti inflamasi. Pemberian cairan dalam jumlah banyak memperburuk keadaan ini. Peningkatan jumlah interleukin (IL)-6, IL-8, atau IL-10 dipercaya dapat meningkatkan kejadian komplikasi post operasi seperti disfungsi multi organ atau ARDS (Cotton dan kawan-kawan, 2006). Vasodilatasi arteri yang sistemik seperti yang terjadi pada sepsis dapat menyebabkan gangguan mekanisme Frank-starling dan menyebabkan peningkatan distribusi albumin beserta cairan ke ruang interstisial. Balans cairan positif yang berdampak edema jaringan dapat menyebabkan gangguan difusi oksigen dan metabolit, distorsi arsitektur jaringan, obstruksi aliran darah kapiler dan limfatik (Tabel
13
2.1). Hal tersebut dapat berkontribusi terhadap disfungsi organ yang progresif. Tabel 2.1 Konsekuensi balans cairan positif Seluler Asidifikasi sistosol Inaktivasi protein kinase Disrupsi fosforilasi Ganguan polarisasi membran sel Proses Inflamasi Aktivasi fosfolipase A2 Meningkatkan produksi dan pelepasan TNF-α Meningkatkan jumlah IL-6, IL-8, dan IL-10 Metabolik/endokrin Gangguan produksi dan metabolisme glukosa Ganggguan pelepasan insulin Hiperkatabolisme Jantung Disrupsi potensial aksi miosit jantung Menurunkan curah jantung Aritmia Disfungsi miokardial ventrikular Paru Gangguan pertukaran gas Penurunan compliance paru dan meningkatkan kerja napas Edema pulmo ALI/ARDS Pencernaan Meningkatkan permeabilitas usus/malabsorpsi Ileus Dehiscance anastomosis Jaringan Pelambatan penyembuhan jaringan ACS Ginjal Meningkatkan tekanan venous ginjal Interstisial edema renal Pengurangan aliran darah ginjal/ penurunan laju filtrasi glomerulus Uremia Retensi air dan garam Hemoragik/koagulasi Dilusi faktor koagulasi Meningkatkan volume perdarahan Menurunkan viskositas darah Neurologik Disorder metabolisme transmiter Gangguan pelepasan katekolamin, glutamat dan asetilkolin Gangguan kognisi/delerium
14
Organ dengan kapsul, seperti hati dan ginjal, tidak memiliki kapasitas untuk menampung tambahan volume, sehingga bila terjadi edema, tekanan vena meningkat dan menyebabkan gangguan perfusi arteri pada organ tersebut. Melalui mekanisme ini, edema jaringan dapat berpartisipasi dalam perkembangan AKI. Fungsi hati dapat terganggu dengan peningkatan tekanan interstisial tersebut. Fungsi gastrointestinal, penyembuhan luka dan koagulasi juga dipengaruhi oleh edema interstisial. Efek buruk balans cairan positif dapat terlihat jelas pada paruparu, dimana pemberian cairan dalam jumlah banyak berdampak terjadinya acute lung injury (ALI) atau gejala seperti ARDS. Balans cairan positif memicu proliferase mediator inflamasi sehingga netrofil terakumulasi dalam mikrosirkulasi paru. Netrofil teraktifasi dan bermigrasi ke permukaan epitel alveoli dan endothel vaskular, melepaskan protease, sitokin dan ROS (reactive oxygen species) sehingga terjadi permeabilitas vaskular yang patologis dan nekrosis sel alveoli. Keadaan ini berdampak pada terjadinya edema paru, kehilangan surfaktan sehingga mengurangi komplians paru dan pertukaran gas menjadi lebih susah, sehingga pasien memerlukan alat bantu napas mekanik. (Saguil dan Fargo, 2012). Selain pada paru-paru, peningkatan preload jantung akibat balans cairan positif dapat menyebabkan peningkatan tekanan dinding ventrikel dan insufisiensi mitral. Hipertensi pulmonal dapat dikaitkan
15
dengan insufisiensi trikuspid dan disfungsi diastolik. Edema miokardial pada jantung dapat memperburuk fungsi ventrikel, terganggunya pengiriman oksigen dan juga konduksi intraventrikuler. Tabel 2.2 Kriteria Disfungsi Organ DISFUNGSI KARDIOVASKULER Tanpa memandang pemberian cairan intravena isotonis ≥ 40 ml/kg dalam 1 jam Penurunan tekanan darah (hipotensi) < P5 menurut usia atau tekanan sistolik < 2SD ATAU Memerluka obat vasoaktif untuk memelihara tekanan darah dalam nilai normal (dopamin > 5 µg/kg/mnt atau dobutamin, epinefrin, atau norepinefrin dosis berapapun) ATAU Dua dari kriteria berikut: Asidosis metabolik yang tidak dapat dijelaskan : defisit BE > 5,0 mEq/L Laktat arteri meningkat > 2 kali batas atas nilai normal Oligouri : output urin < 0,5 ml/kg/hr CRT memanjang > 5 detik Beda suhu sentral dan perifer > 30 C RESPIRASI PaO2/FiO2 < 300 tanpa ada penyakit jantung sianotik atau penyakit paru ATAU PaCO2 > 65 torr atau 20 mmHg dibawah nilai normal PaCO2 Pemberian oksigen atau FiO2 > 50% untuk memelihara saturasi ≥ 92% ATAU Menerima ventilasi mekanik invasif atau non-invasif NEUROLOGI Glasgow Coma Scale (GCS) ≤ 11 ATAU Perubahan status mental dengan penurunan GCS ≤ 3poin dari nilai awal HEMATOLOGI Trombosit < 80.000/mm3 atau penurunan 50% angka trombosit dari nilai tertinggi yang dicatat selama 3 hari terakhir (untuk pasien hemato-onkologi) I/T ratio > 2 RENAL Kreatinin serum ≥ 2 kali lipat diatas nilai normal HEPATAL Bilirubin total ≥ 4 mg/dl (tidak diaplikasikan untuk bayi baru lahir) AST 2 kali diatas normal Sumber: Goldstein et al. (2005)
Balans cairan positif dapat mengakibatkan gangguan sistem hematologi seperti dilusi faktor koagulasi, meningkatkan volume perdarahan dan menurunkan viskositas darah, sedangkan pada sistem neurologi dapat berpengaruh pada gangguan pelepasan katekolamin,
16
glutamat dan asetilkolin sehingga dapat menimbulkan gangguan kognisi hingga delirium. Keadaan disfungsi multiorgan, yaitu fungsi organ yang berubah (melibatkan lebih dari atau sama dengan 2 organ) pada
pasien
sakit
akut,
sehingga
homeostasis
tidak
dapat
dipertahankan lagi tanpa intervensi, dapat terjadi akibat balans cairan positif. Pada anak, kriteria disfungsi organ disepakati dalam konsensus konferensi internasional tentang sepsis yang diadakan tahun 2002 (Goldstein, 2005). Kriteria tersebut seperti yang terdapat pada tabel 2.2. Keadaan disfungsi multiorgan seperti yang telah disebutkan diatas dapat mengakibatkan peningkatan lama rawat PICU dan rumah sakit serta dapat menyebabkan kematian. (Prowle dan kawan-kawan, 2010; Schrier, 2010; Herwanto dan Amin, 2009). 4. Penelitian Terkait Balans Cairan Positif Pada dekade terakhir, beberapa penelitian dilakukan untuk mencari panduan tatalaksana cairan pada pasien sakit kritis. Terdapat banyak data penelitian yang mendukung adanya kelebihan cairan akibat resusitasi menyebabkan luaran yang tidak diinginkan. Data penelitian yang dilakukan pada tahun-tahun terakhir ini memberikan hasil bahwa resusitasi cairan yang agresif pada pasien sakit kritis seringkali menimbulkan balans cairan positif dan hal ini mempunyai hubungan yang nyata dengan lama perawatan di ICU dan di rumah sakit, lama pemakaian ventilator serta peningkatan angka mortalitas. (Bagshaw dan kawan-kawan, 2008; Murphy dan kawan-kawan, 2009;
17
Malbrain dan kawan-kawan, 2014; Cordemans dan kawan-kawan, 2012). Tabel 2.3 Beberapa penelitian yang telah dilakukan sebagai efek dari balans cairan positif terhadap luaran Peneliti Goldstein et al., 2001 Foland et al., 2004 Goldstein et al., 2005 Bouchard et al., 2009 Sutherland et al., 2010 Boyd et al., 2011
Jumlah Pasien 21 113 116 618 297 778
Populasi Pediatri dengan AKI Pediatri dengan AKI Pediatri dengan AKI AKI Pediatri dengan CRRT Pasin dengan syok septik Pasien PICU dengan terapi CRRT Anak sakit kritis dengan gagal napas
Desain penelitian Kohort retrospektif Kohort retrospektif Kohort prospektif Kohort prospektif Observasional prospektif
Intervensi -
Hasil penelitian Berhubungan dengan mortalitas Berhubungan dengan mortalitas Berhubungan dengan mortalitas Berhubungan dengan mortalitas Berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas Berhubungan dengan mortalitas
RCT
-
Kohort retrospektif
-
Berhubungan dengan mortalitas
Kohort retrospektif
-
Berhubungan dengan morbiditas
Selewski et al., 2011
113
Arikan et al., 2012
80
Cordemans et al., 2012
123
Pasien dengan ventilator
Observasional prospektif
-
Berhubungan dengan gangguan fungsi organ dan mortalitas
Silva et al., 2013
479
Pasien dengn tatalaksana pembedahan
Kohort prospektif
-
Berhubungan dengan mortalitas
Abulebda et al., 2013 Guo et al., 2013 Wilson et a.l, 2013
317
307 109
Kelm et al., 2015
405
Seguin et al., 2014
193
Berhubungan dengan mortalitas pada kelompok resiko rendah namun tidak berhubungan pada kelompok resiko sedang dan tinggi Berhubungan dengan morbiditas Berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas
Pediatri dengan syok septik
Kohort retrospektif
-
Pasien dengan CAPD Pasien dengan ALI Pasien dengan sepsis dan syok septik Pediatri dengan tatalaksana bedah jantung
Kohort prospektif
-
RCT
-
Kohort retrospektif
-
Berhubungan dengan mortalitas
Kohort retrospektif
-
Berhubungan dengan morbiditas
18
Tahun 2001 Goldstein dan kawan-kawan meneliti balans cairan positif pada anak sakit kritis yang mengalami gagal ginjal akut yang mendapat terapi continuous venovenous hemomofiltration (CVVH) atau continuous venovenous hemomofiltration with dialysis (CVVHD) menyatakan
persentase balans cairan positif dihitung berdasarkan
formula: Jumlah cairan input – jumlah cairan output
x 100%
Berat badan saat masuk ICU Persentase balans cairan positif adalah akumulasi cairan per hari dibagi dengan berat badan saat masuk rumah sakit, sedangkan akumulasi cairan adalah jumlah dari cairan masuk dikurangi cairan keluar dalam sehari. Pada penelitian ini dinyatakan bahwa persentase balans cairan positif pada pasien yang meninggal (34,0% ± 21,0%) lebih tinggi dibanding pada pasien yang hidup (16,4% ± 13,8%) dengan p = 0,03. Dengan jumlah sampel yang lebih besar, Foland dan kawan-kawan (2004) menemukan hal serupa. Pada anak sakit kritis yang mendapat terapi CVVH, persentase balans cairan positif pada pasien yang meninggal (15,1%) lebih tinggi dibanding pada pasien yang hidup (7,8%) dengan p = 0,02. Pada tahun 2005, Goldstein dan kawan-kawan melakukan penelitian lain dengan jumlah sampel lebih besar, didapatkan harapan hidup pasien dengan persentase balans cairan positif kurang dari 20% (58% pasien hidup) lebih baik
19
dibanding persentase balans cairan positif lebih besar dari 20% (40% pasien hidup) dengan p < 0,002. Sutherland dan kawan-kawan (2010) meneliti pada 297 anak yang mendapat continuous renal replacement therapy (CRRT) mengemukakan bahwa pasien dengan persentase balans cairan positif lebih dari atau sama dengan 20% pada saat awal pemberian CRRT tingkat mortalitasnya signifikan lebih tinggi (65%) dibanding pasien dengan persentase balans cairan positif 10% - 20% (43,1%) maupun pasien dengan persentase balans cairan positif <10% (29,4%) [OR 1,03(95% CI, 1,01 – 1,05), p<0,001]. Pada saat persentase balans cairan positif dikelompokan menjadi dua kelompok yaitu ≥20% dan <20%, tingkat kematian pasien dengan persentase balans cairan positif ≥20%, 8,5 kali lebih tinggi dibanding dengan pasien dengan dengan persentase balans cairan positif <20%. Penelitian pada orang dewasa juga menunjukkan bahwa balans cairan positif mempunyai dampak merugikan terhadap luarannya. Pada studi PICARD (program to improve care in acute renal disease) yang meneliti efek durasi dan koreksi overload cairan, menyimpulkan pasien dengan persentase akumulasi cairan yang tinggi lebih dari 10% pada masa rawat 30 hari (37 vs 25%, p = 0,02), 60 hari (46 vs 32%, p = 0,006) atau saat keluar dari rumah sakit (48 vs 35%, p = 0,01) didapatkan mortalitasnya lebih tinggi (Bouchard dan kawan-kawan, 2009).
20
Silva dan kawan-kawan (2013) meneliti balans cairan pada pasien dewasa yang menjalani prosedur pembedahan, didapatkan balans cairan pada pasien yang meninggal lebih tinggi daripada pasien yang hidup [1,950 (1,400-3,400) mL vs 1,400 (1,000-1,600) mL, p < 0,001]. Seguin dan kawan-kawan (2014) meneliti keseimbangan cairan pada pasien anak yang menjalani prosedur pembedahan jantung. Pada penelitian ini disimpulkan bahwa balans cairan positif yang terjadi setelah pembedahan jantung berhubungan dengan lama masa rawat di PICU dan lama masa penggunaan ventilator (HR 0,95; p = 0,009 dan p < 0,001) . Arikan dan kawan-kawan (2012) meneliti persentase balans cairan positif pada anak sakit kritis dengan gagal nafas tanpa terapi pengganti ginjal, hasil penelitian tersebut didapatkan pasien dengan puncak persentase balans cairan positif melebihi 15%, berhubungan dengan masa rawat PICU yang panjang [HR 0,95(95% CI 0,92-0,98), p = 0,004), masa rawat di rumah sakit yang panjang [HR 0,55(95% CI 0,30-0,98), p = 0,04] dan juga masa pemakaian ventilator
yang
panjang [HR 0,35(95% CI 0,019-0,66), p = 0,001). Pada penelitian ini persentase balans cairan positif pada pasien yang meninggal lebih tinggi daripada pasien yang hidup namun perbedaan persentase tersebut tidak signifikan menurut statistik. Penelitian oleh Hassinger dan kawan-kawan (2014) juga menyimpulkan bahwa pasien anak yang menjalankan prosedur bedah
21
jantung dan mengalami balans cairan positif mempunyai lama rawat lebih lama 3,5 hari, pemakaian inotrop dua hari lebih lama dan durasi penggunaan ventilator mekanik lebih lama (p<0,001). Penelitian Randomized Control Trial (RCT) pada 109 anak dengan ALI dan ARDS yang diteliti oleh Wilson dan kawan-kawan (2003) mengemukakan bahwa akumulasi dari balans cairan dari hari pertama masa rawat sampai hari ke-7 berhubungan kuat dengan mortalitas (p<0,001). Abulebda dan kawan-kawan (2013) melakukan penelitian balans cairan positif pada pasien dengan syok sepsis. Peneliti membagi tiga kelompok pasien menjadi resiko kematian tinggi, resiko kematian menengah dan resiko kematian rendah berdasarkan model multibiomarker resiko yang telah tervalidasi yaitu pediatric sepsis biomarker risk model (persevere). Pada penelitian ini didapatkan kumulatif persentase balans cairan positif berhubungan dengan mortalitas pada pasien dengan resiko kematian rendah [OR 1,035 (95% CI, 1,004-1,066), p = 0,024]
namun tidak pada kelompok
pasien dengan resiko kematian menengah dan tinggi. Sedangkan pada penelitian Kelm dan kawan-kawan (2015) ditemukan balans cairan positif pada pasien dewasa dengan sepsis atau yang mengalami syok sepsis. Penelitian pada 405 pasien ini didapatkan pada hari pertama terdapat 271 pasien (67%) dengan balans cairan positif, dan 182 pasien (48%) dengan balans cairan
22
positif persisten, yaitu pasien yang masih mengalami balans cairan positif sampai hari ketiga. Mortalitas pasien dengan balans cairan positif di hari pertama ataupun pasien dengan balans cairan positif persisten, lebih tinggi secara signifikan dibanding pasien yang tidak mengalami balans cairan positif [OR 2,27 (95% CI, 1,31-4,09), p = 0,003] dan [OR 1,92 (95% CI, 1,16-3,22), p = 0,01].
23
B.
Kerangka Pemikiran Vasodilatasi sistemik dan kerusakan glicocalyx pada anak sakit kritis
Pemberian cairan dalam jumlah banyak
Balans cairan positif
Gangguan sistem kardiovaskuler Memerlukan obat vasoaktif Gangguan sistem respirasi Memerlukan ventilasi mekanik Gangguan sistem renal Mortalitas
Acute kidney injury Gangguan sistem neurologi
Perpanjangan lama rawat PICU
GCS ≤ 11 Gangguan sistem hematologi Trombosit < 80.000 mm3 Gangguan sistem hepatal Bilirubin total ≥ 4 mg/dl
Gambar 2.2 Skema Kerangka Pemikiran
C.
Hipotesis 1. Balans cairan positif meningkatkan mortalitas pada pasien anak yang dirawat di PICU RSUD DR. Moewardi. 2. Balans cairan positif meningkatkan lama rawat PICU pada pasien anak yang dirawat di PICU RSUD DR. Moewardi.