BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Retail Menurut (Levy & Weitz, 2001) Retailing adalah sekumpulan aktivitas bisnis yang menambah nilai produk atau jasa, kemudian dijual pada konsumen yang menggunakan untuk dirinya sendiri atau keluarga. Perkembangan retailing sekarang ini semakin pesat. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya department store dan hypermarket yang berdiri di kota-kota besar. Dengan berkembangnya retail, maka menuntut pemasar mengembangkan strateginya kembali untuk dapat bersaing dalam menarik dan memperahankan konsumen potensial mereka. Dalam hal ini, ada berbagai macam faktor yang mempengaruhi pembelian konsumen terhadap kategori produk dan merek tertentu. Maka tidak mengherankan, jika kini perkembangan retail store berusaha untuk menarik minat beli konsumen.
2.1.1 Jenis-Jenis Pengecer (Kotler, 2003) membagi retail store kedalam beberapa jenis yaitu: Toko Barang Khusus (speciality store) merupakan lini produk yang sempit dengan ragam pilihan yang mendalam; departement store merupakan beberapa lini produk dan setiap lini beroperasi sebagai bagian departemen tersendiri, dikelola oleh pembeli.
8
9
atau pedagang khusus; pasar swalayan (supermarket) merupakan usaha yang beroperasi dalam ukuran yang relatif besar, biaya yang rendah, margin yang rendah, volume yang tinggi, dan dirancang untuk melayani sendiri kebutuhan konsumen; toko kelontong (convinence store) merupakan toko yang relatif kecil, berlokasi di daerah pemukiman dan memiliki jam buka yang lebih lama yaitu tujuh hari dalam seminggu, serta menjual lini produk yang terbatas dengan perputaran barang yang tinggi; pengecer off-price (off-price retailer) merupakan pedagang dengan membeli lebih sedikit dari harga pedagang besar dan menjual lebih sedikit dari harga eceran; toko diskon (discount store) dimana menjual barang-barang standar pada harga yang lebih rendah dengan margin yang lebih rendah dan volume yang lebih tinggi; superstore rata-rata memiliki ruang penjualan 35.000 kaki persegi, secara tradisional bertujuan mempertemukan kebutuhan total konsumen untuk pembelian makanan dan bukan makanan secara rutin dengan diberi tambahan pelayanan; catalog showroom merupakan barang-barang yang bernilai tinggi, perputarannya cepat, dan barangbarang bermerek dengan harga diskon. Nike, Inc. adalah salah satu perusahaan sepatu, pakaian dan alat-alat olahraga Amerika Serikat yang merupakan salah satu yang terbesar di dunia. Mereka terkenal karena mensponsori beberapa olahragawan terkenal di dunia seperti Tiger Woods, Ronaldo dan Michael Jordan. Selain itu mereka juga memiliki perjanjian dengan berbagai tim sepak bola dunia. Nike telah beroperasi di Indonesia sejak 1988 dan hampir sepertiga dari sepatu yang ada sekarang merupakan produk dari sana. Dalam sebuah wawancara pers di November 1994, koordinator perusahaan Nike di Indonesia, Tony Band, mengatakan perusahaan yang digunakan di Indonesia
10
berjumlah 11 kontraktor. Di antaranya merupakan bekas-bekas basis perusahaan asosiasi Nike di Korea Selatan dan Taiwan -yang juga pada saat yang sama menghasilkan untuk merek lain seperti Reebok, Adidas dan Puma-. Hubungan antara Nike dan kontraktor di Indonesia cukup dekat. Setiap personil Nike di setiap pabrik di Indonesia memeriksa kualitas dan pengerjaan yang memenuhi persyaratan ketat Nike. (http://wapedia.mobi/id/Nike,_Inc.) Nike yang sekarang mendefinisikan dirinya sebagai bagian dari pasar olahraga. Adapun pergerakan segmen yang dilakukan oleh perusahaan sepatu "Nike" diantaranya: Kesuksesan Nike yang pertama adalah membuat sepatu lari yang hebat untuk para pelari yang serius. Kemudian beralih pada sepatu untuk bermain bola basket, tenis, dan sepakbola, selanjutnya Nike beralih lagi pada pembuatan sepatu aerobik. Nike akhirnya menyadari bahwa perusahaan dapat melakukan segmentasi lebih lanjut bagi pasar sepatu bola basket, sepatu untuk pemain-pemain yang agresif, bagi pemain-pemain yang memiliki lompatan tinggi, dan sebagainya. Nike beralih pada penjualan pakaian yang digunakan oleh pemain-pemain dari berbagai jenis olah raga. Berdasarkan penjelasan diatas bahwa saat ini perusahaan Nike sebagai market leader dari sepatu olahraga dan memperluas produknya pada penjualan baju olah raga. Tetapi saat ini Nike mempertimbangkan untuk menjual jasa-jasa olahraga seperti pengelolaan karier atlet serta langkah yang dilakukan oleh Reebok sebagai pesaing ketat Nike, melakukan resegmentasi pada keseluruhan pasar dengan memperkenalkan sepatu bergaya untuk pasar pemakai santai yang dapat dikenakan setiap hari tanpa melakukan kegiatan olahraga. Kini produk-produk Nike tidak hanya
11
sepatu, namun juga merambah ke produk lain seperti seperti jaket, topi, jam tangan, serta produk olahraga lainnya. Baru-baru ini Nike juga memperkenalkan pengembangan iPod yang bisa dikombinasikan pada sepatu lari. Dalam sepatu dipasang chip yang mampu mengirimkan data ke iPod, yang salah satu fungsinya adalah untuk menghitung jumlah langkah. Produk kreatif dan inovatif memerlukan strategi pengembangan dan manajeman yang baik. Hal ini pula yang dilakukan pihak Nike agar selalu eksis dalam kancah dunia bisnis agar terus menghasilkan produk-produk yang berkualitas fenomenal seperti rencana Nike di tahun 2011 untuk menjadi perusahaan bebas karbon. Di balik kesuksesan, intrik dan konflik selalu membayang, demikian juga dengan Nike inc seperti yang terjadi di China, Vietnam, Indonesia dan Meksiko. Nike dikritik karena berusaha menutupi kondisi kerja yang buruk serta eksploitasi buruh. Nike juga adalah perusahaan besar yang tidak memiliki pabrik. Karena mereka lebih senang untuk outsourcing kebutuhan-kebutuhan mereka terutama kepada sektor informal, ataupun perusahaan lainnya, sehingga mengefisienkan dan meminimalisir ongkos produksi. Disinilah pembuktian kekuatan merek dagang dan faktor-faktor pendukung lainnya ikut memegang peranan yang penting. Banyaknya masalah ataupun konflik yang terpublikasi, tidak akan membuat kosumen beralih ke merek lain. Hal ini karena ikatan psikologis antara Nike dengan konsumen. Nike mampu menciptakan loyalitas dengan para konsumen. Keterlibatan mereka dengan produk Nike ini menjadi lebih totalitas. Konsumen secara emosional sangat terlibat dengan produk tersebut. Karena
12
mereka juga terlibat dalam komunitas, bisa dibayangkan bila kemudian loyalitas mereka menjadi tinggi. Beralih dari merek Nike, sama saja mereka harus meninggalkan komunitas mereka. (http://globalmarketingpost.blogspot.com/2010/05/studi-kasus-nike.html)
2.2 Merek Merek telah menjadi salah satu elemen penting yang turut memberi kontribusi terhadap kesuksesan suatu perusahaan. Setiap pemilik merek atau peritel berharap agar merek mereka bisa menjadi top of mind dalam memori konsumen. Umumnya merek digunakan oleh konsumen sebagai petunjuk untuk mengevaluasi kualitas suatu produk, hal ini menjadi suatu hal yang menyebabkan peritel untuk lebih fokus dalam membangun citra merek yang kuat untuk produk-produk mereka. Dalam dunia industri, istilah merek menjadi salah satu kata yang populer dalam kehidupan sehari-hari. Merek sekarang tidak hanya dikaitkan oleh produk tetapi juga dengan berbagai strategi yang dilakukan oleh perusahaan (Knapp, 2000). Merek mempunyai makna yang berbeda-beda bagi para produsen. Menurut Hermawan Kertajaya (dalam Simamora, 2002), perusahaan memiliki cara yang berbeda-beda dalam memandang merek. Hal itu tergantungan pada tipe pemasaran yang digunakan oleh perusahaan tersebut. Berikut ini adalah tipe-tipe pemasaran yang biasa digunakan oleh berbagai perusahaan: 1. No marketing, tipe pemasaran ini dilakukan pada saat perusahaan memonopoli pasar dan tidak memiliki pesaing. Konsumen pasti mencari
13
produk karena tidak ada pilihan. Dalam hal ini, merek hanya dianggap sekedar nama. 2. Mass marketing, tipe pemasaran ini dilakukan ketika perusahaan sudah memiliki pesaing walaupun pesaingnya lemah, untuk itu perusahaan masih menguasai sebagian besar pasar dengan melakukan pemasaran massal (mass marketing), dan pada saat ini merek tidak lebih dari sekedar mengenalkan produk (brand awarness). 3. Segmented marketing, dilakukan pada saat persaingan mulai ketat, oleh karena itu perusahaan perlu melakukan segmentasi pasar. Dalam tipe pemasaran ini, perusahaan harus menancapkan citra yang baik tentang mereknya, karena itu merek diperlukan sebagai jangkar asosiasi (brand association). 4. Niche marketing, ketika persaingan bertambah ketat lagi, perusahaan tidak bisa hanya mengandalkan segmen, melainkan ceruk pasar (niche marketing) yang ukurannya lebih kecil tetapi memiliki perilaku khas. Oleh karena itu, perusahaan perlu menciptakan kesan bahwa mereknya berkualitas, karena itu merek adalah persepsi kualitas (perceived quality). 5. Individualized marketing, ketika sudah mencapai puncak persaingan, bagi perusahaan merek berkaitan dengan loyalitas (brand loyalty). Dalam puncak persaingan tentunya jumlah pesaing sangat banyak dengan berbagai strategi yang digunakan dan konsumen tidak mau hanya sekedar dipandang sebagai pembeli saja, karena itu perusahaan harus menjalin kemitraan dengan konsumen melalui individualized marketing.
14
2.3 Citra Merek Citra merek merupakan serangkaian asosiasi yang ada dalam benak konsumen terhadap suatu merek, biasanya terorganisasi menjadi suatu makna. Hubungan terhadap suatu merek akan semakin kuat jika didasarkan pada pengalaman dan mendapat banyak informasi. Citra atau asosiasi merepresentasikan persepsi yang bisa merefleksikan keyataan yang objektif ataupun tidak. Citra yang terbentuk dari asosiasi inilah yang mendasari dari keputusan membeli bahkan loyalitas merek dari konsumen. Konsumen lebih sering membeli produk dengan merek yang terkenal karena merasa lebih nyaman dengan hal-hal yang sudah dikenal, adanya asumsi bahwa merek terkenal lebih dapat diandalkan, selalu tersedia dan mudah dicari, dan memiliki kualitas yang tidak diragukan, sehingga merek yang lebih dikenal lebih sering dipilih konsumen daripada merek yang tidak. (Aaker, 1991, p.99-100). Hasil penelitian (Martin, 1998, Syrgy, 1990, Syrgy, 1992) menemukan bahwa serangkaian perasaan, ide, dan sikap yang dimiliki konsumen terhadap suatu merek merupakan aspek penting dalam perilaku pembelian. Citra merek didefinisikan sebagai sekumpulan atribut spesifik yang berelasi dengan produk, merek, dan konsumen pengetahuan, perasaan, dan sikap terhadap merek yang disimpan individu di dalam memori. Penelitian-penelitian ini menunjukkan bahwa sebagai simbol, merek sangat mempengaruhi status dan harga diri konsumen. Penelitian-penelitian ini juga menyebutkan bahwa suatu merek lebih mungkin dibeli dan dikonsumsi jika konsumen mengenali hubungan simbolis yang sama antara citra merek dengan citra
15
diri konsumen baik citra diri ideal maupun citra diri aktual. (Arnould, Price & Zinkan, 2005, h.120-122).
2.3.1 Faktor-Faktor yang membentuk Citra merek (Glen, 1974) mengemukakan pentingnya faktor lingkungan dan personal sebagai awal terbentuknya suatu citra merek, karena faktor lingkungan dan personal mempengaruhi persepsi seseorang. Faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi adalah; atribut-atribut tekhnis yang ada pada suatu produk dimana faktor ini dapat dikontrol oleh produsen, selain itu juga, sosial budaya termasuk dalam faktor ini. Faktor personal adalah; kesiapan mental konsumen untuk melakukan proses persepsi, pengalaman konsumen sendiri, mood, kebutuhan serta motivasi konsumen. Citra merupakan produk akhir dari sikap awal dan pengetahuan yang terbentuk lewat proses pengulangan yang dinamis karena pengalaman. (Arnould, Price & Zinkan, 2005). Menurut (Runyon, 1980), citra merek terbentuk dari stimulus tertentu yang ditampilkan oleh produk tersebut, yang menimbulkan respon tertentu pada diri konsumen. 1. Stimulus yang muncul dalam citra merek tidak hanya terbatas pada stimulus yang bersifat fisik, tetapi juga mencakup stimulus yang bersifat psikologis. Ada tiga sifat stimulus yang dapat membentuk citra merek yaitu stimulus yang bersifat fisik, seperti atribut-atribut teknis dari produk tertentu; stimulus
16
yang bersifat psikologis, seperti nama merek; stimulus yang mencakup sifat keduanya, seperti kemasan produk atau iklan produk. 2. Datangnya stimulus menimbulkan respon dari konsumen. Ada dua respon yang mempengaruhi pikiran seseorang, yang membentuk citra merek yaitu respon rasional, penilaian mengenai performa aktual dari merek yang dikaitkan dengan harga pokok tersebut, dan respon emosional kecenderungan perasaan yang timbul dari merek tersebut. Menurut (Timmerman, 1999), citra merek sering terkonseptualisasi sebagai sebuah koleksi dari semua asosiasi yang berhubungan dengan sebuah merek. Citra merek terdiri dari: 1. Faktor fisik : karakteristik fisik dari merek tersebut, seperti desain kemasan, logo, nama merek, fungsi dan kegunaan produk dari merek itu; 2. Faktor psikologis : dibentuk oleh emosi, kepercayaan, nilai, kepribadian yang dianggap oleh konsumen menggambarkan produk dari merek tersebut. Citra merek sangat erat kaitannya dengan apa yang orang pikirkan, rasakan terhadap sesuatu merek tertentu sehingga dalam citra merek faktor psikologis lebih banyak berperan dibandingkan faktor fisik dari merek tersebut.
17
2.3.2 Komponen Citra Merek Menurut (Hogan, 2005) citra merek merupakan asosiasi dari semua informasi yang tersedia mengenai produk, jasa dan perusahaan dari merek yang dimaksud. Informasi ini didapat dari dua cara, yang pertama melalui pengalaman konsumen secara langsung, yang terdiri dari kepuasan fungsional dan kepuasan emosional. Kedua, persepsi yang dibentuk oleh perusahaan dari merek tersebut melalui berbagai macam bentuk komunikasi, seperti iklan, promosi, hubungan masyarakat, logo, fasilitas retail, sikap karyawan dalam melayani penjualan, dan performa pelayanan. Citra pada suatu merek merefleksikan image dari perspektif konsumen dan melihat janji yang dibuat merek tersebut pada konsumennya. Citra merek terdiri atas asosiasi konsumen pada kelebihan produk dan karakteristik personal yang dilihat oleh konsumen pada merek tersebut. Menurut (Davis, 2000), citra merek memiliki dua komponen, yaitu: 1. Brand Associations (Asosiasi Merek) Asosiasi terhadap karakteristik produk atau jasa yang dilekatkan oleh konsumen pada merek tersebut, termasuk persepsi konsumen mengenai janjijanji yang dibuat oleh merek tersebut, positif maupun negatif, dan harapan mengenai usaha-usaha untuk mempertahankan kepuasan konsumen dari merek tersebut. Suatu merek memiliki akar yang kuat, ketika merek tersebut diasosiasikan dengan nilai-nilai yang mewakili atau yang diinginkan oleh konsumen. Asosiasi merek membantu pemasar mengerti kelebihan dari merek yang tersampaikan pada konsumen.
18
2. Brand Personal/ Personality (Persona/Kepribadian Merek) Merupakan
serangkaian karakteristik
manusia
yang
oleh
konsumen
diasosiasikan dengan merek tersebut, seperti, kepribadian, penampilan, nilainilai, kesukaan, gender, ukuran, bentuk, etnis, inteligensi, kelas sosioekonomi, dan pendidikan. Hal ini
membuat
merek seakan-akan hidup dan
mempermudah konsumen mendeskripsikannya, serta faktor penentu apakah konsumen ingin diasosiasikan dengan merek tersebut atau tidak. Persona merek membantu pemasar lebih mengerti kelebihan dan kekurangan merek tersebut dan cara memposisikan merek secara tepat.
2.4 Karakteristik Produk Menurut (kotler, 1997), produk adalah segala sesuatu tang dapat ditawarkan ke suatu pasar unuk memenuhi keinginan atau kebutuhan. Produk-produk yang dipasarkan meliputi barang fisik, jasa, orang, tempat, organisasi dan gagasan. Sedangkan menurut (Ryerson, 2009) karakteristik suatu produk merupakan modal atau atribut penting, sejauh produk tersebut mampu memberikan keuntungan untuk memenuhi tujuan yang lebih besar. Dalam industri fashion, tiap produsen berlombalomba untuk menciptakan produk dan model baru yang bertujuan untuk mendapatkan pangsa pasar yang lebih. Perusahaan yang dapat menciptakan suatu produk yang memiliki kelebihan dalam tiap karakteristik produknya, tentunya memiliki nilai tambah yang menjadi suatu kelebihan di dalam perusahaan tersebut, sehingga dapat meningkatkan target konsumennya.
19
Menurut (kotler, 1997), pemasar biasanya mengklasifikasikan produk berdasarkan macam-macam karakteristik produk, yaitu (1) daya tahan dan wujud. Produk dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok menurut daya tahan dan wujudnya (a) barang yang terpakai habis (nondurable goods) adalah barang berwujud yang biasanya dikonsumsi dalam satu atau beberapa kali penggunaan (b) barang tahan lama (durable goods) adalah barang berwujud yang biasanya dapat digunakan banyak kali. (2) klasifikasi barang konsumen. Konsumen membeli sangat banyak macam barang. Barang-barang ini dapat diklasifikasikan berdasarkan kebiasaan berbelanja konsumen, yaitu (a) convenience goods adalah barang-barang yang biasanya sering dibeli konsumen, segera dan dengan usaha minimum. Convenience goods dapat dibagi lagi menjadi tiga, yaitu (1) staples adalah barang yang dibeli konsumensecara teratur. (2) impulse goods dibeli berdasarkan keinginan perencanaan atau usaha karena para pembeli mungkin tidak berfikir untuk membeli sampai mereka melihatnya. (3) emergency goods dibeli saat kebutuhan itu mendesak. (b) shopping goods adalah barang-barang yang karakteristiknya berdasarkan kesesuaian, kualitas, harga dan gaya dalam proses pemilihan dan pemelinya. Shopping goods dibagi menjadi dua, yaitu (1) homogenous shopping goods adalah barang-barang yang serupa kualitasnya tetapi cukup beda harganya perbandingan belanja. (2) heterogenous shopping goods adalah barang-barang keistimewaan produk sering lebih penting bagi konsumen daripada harganya. (c) unsought goods adalah barangbarang yang tidak diketahui konsumen atau diketahui namun secara normal konsumen tidak beerfikir untuk membelinya. (3) klasifikasi barang industri. Barang industri dapat diklasifikasikan berdasarkan cara mereka memasuki proses produksi
20
dan harga relatifnya. Dapat dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu (a). Bahan baku dan suku cadang adalah barang-barang yang sepenuhnya masuk ke produk. (b) barang modal adalah barang-barang tahan lama yang memudahkan pengemangan dan/atau pengelolaan produk akhir. (c) perlengkapan dan jasa adalah barang atau jasa tidak tahan lama yang membantu pengembangan dan/atau pengelolaan produk akhir.
2.5 Lingkungan Toko Menurut (Hatane, 2005), lingkungan toko merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam usaha retail, khususnya yang bergerak dibidang fashion. Dengan adanya elemen-elemen lingkungan toko yang mendukung dan menarik, maka dapat menimbulkan keinginan didalam diri konsumen untuk tertarik membeli produk yang ada di dalam toko retail tersebut. Sehingga secara tidak langsung dapat meningkatkan target penjualan toko retail tersebut. Lingkungan mengacu pada semua karakteristik fisik dan sosial konsumen, termasuk objek fisik (produk dan toko), hubungan ruang (lokasi toko dan produk dalam toko), dan prilaku sosial dari orang lain (siapa saja yang di sekitar dan apa saja yang mereka lakukan). Menurut (Paul dan Jerry, 2002), lingkungan terdiri dari dua macam, yaitu: lingkungan makro, termasuk skala besar, faktor-faktor lingkungan luar seperti iklim, kondisi ekonomi, sistem politik, dan kondisi alam. Faktor-faktor lingkungan makro ini mempunyai pengaruh hukum atas prilaku, seperti ketika keadaan ekonomi mempengaruhi jumlah beanja rumah tangga, mobil dan barang. Lingkungan mikro berhubungan dengan aspek nyata fisik dan sosial lingkungan
21
seseorang, seperti lantai yang kotor, karyawan toko yang cerewet, cuacana panas, atau anggota keluarga atau rumah tangga. Faktor skala kecil dapat berpengaruh langsung pada prilaku spesifik konsumen, pendapat, dan perasaan. Seperti orang lebih memilih tidak untuk berlama-lama dalam keadaan kotor, di dalam toko yang ramai; konsumen harus menunggu sampai sore untuk belanja selama cuaca panas, dan merasa marah dalam antrian yang panjang dan lama ketika anda ingin pulang. Menurut (Peter dan Olsen, 2002), membagi lingkungan menjadi 2 (dua) aspek dan dimensi yaitu: aspek lingkungan sosial, termasuk semua interaksi sosial diantara dan di sekitar orang lain, secara langsung ataupun secara tidak langsung, dan aspek lingkungan fisik termasuk semua yang bukan manusia, yang dapat dibagi menjadi element yang mempunyai ruang atau tidak mempunyai ruang. Element yang mempunyai ruang meliputi objek fisik dari semua jenis (termasuk produk dan merek) seperti negara, kota, toko, dan dalam desain interior. Element tidak mempunyai ruang meliputi faktor tidak nyata seperti temperatur, kelembaban, penerangan, tingkat kebisingan, dan waktu.
2.6 Country Of Origin Dalam pasar global yang semakin terhubung serta sangat kompetitif, pemerintah dan pemasar sangat memperhatikan bagaimana sikap dan kepercayaan mengenai negara mereka mempengaruhi pengambilan keputusan konsumen dan bisnis. Country of origin adalah tempat dimana suatu produk di produksi. Efek dari country of origin di negara maju cenderung lebih kecil (Elliot dan Comoron, 1994).
22
Di negara maju, masyarakat cenderung lebih tertarik untuk membeli produk lokal daripada produk import, karena mereka mengetahui kualitas produknya. Sedangkan negara berkembang memiliki dampak country of origin lebih besar. Masyarakat negara berkembang lebih menyukai merek luar negeri karena percaya memiliki kualitas yang tinggi. Dalam beberapa penelitian (Ahmed dan d’Astous: 2004; Kaynak dan Kara, 2002; Hyder, 2000) disepakati bahwa konsumen mempunyai persepsi tertentu mengenai lokasi atau negara tempat suatu produk dihasilkan. Ketika konsumen hanya mempunyai informasi lokasi suatu produk dihasilkan, maka dalam pengambilan keputusan pembelian akan dipengaruhi oleh persepsi konsumen akan negara tersebut. Efek dari country of origin sering dijelaskan dalam tingkat pembangunan ekonomi negara asal (Cordell, 1991, 1992; Gaedeke, 1973; Schooler, 1971; schooler & wildt, 1968; tse & gorn, 1993; wang & lamb, 1983). Penelitian mengusulkan efek hierarki berdasarkan tingkat pembangunan ekonomi, yang menunjukkan bahwa evaluasi produk tertinggi cenderung kepada negara dengan tingkat pembangunan yang tinggi, diikuti oleh negara-negara industri baru, dan terendah untuk Eropa Timur/ negara-negara sosialis dan negara-negara berkembang. Dari suatu segi pandang konseptual, country of origin membangun pendekatan literatur pada dua tingkat yang berbeda: (1) mewakili gambaran suatu negara, (2) mewakili gambaran suatu produk; sebagian besar country of origin mewakili gambaran suatu produk, dan, seringkali ukuran gambar produk dengan suatu negara membingungkan. Seringkali country of origin mempunyai arti yang mirip dengan pengaruh lingkungan, persepsi negeri, stereotypical kepercayaan, sikap
23
negri umum, dan negeri evaluasi. Kondisi yang sama berlaku juga untuk product image yang mana sering dikenal sebagai produk kepercayaan, country of origin kepercayaan, gambaran merek, sikap produk, produk country of origin, produk persepsi, evaluasi produk, mutu produk, negeri mempengaruhi dan bahkan ‘country image”.
2.6.1 Persepsi Konsumen tentang Country Of Origin Menurut (Kotler, 2008) Pemasar global tahu bahwa pembeli mempunyai sikap dan kepercayaan berbeda tentang merek dan produk dari berbagai negara. Persepsi negara asal ini dapat mempengaruhi pengambilan keputusan konsumen secara langsung dan tidak langsung. Persepsi bisa dimasukkan sebagai atribut daam pengambilan keputusan atau memengaruhi atribut lain dalam proses (“ jika produk merupakan produk dari Prancis, produk itu pasti penuh gaya “). Fakta bahwa merek dianggap berhasil di pangung global dapat meningkatkan kredibilitas dan rasa hormat. Beberapa studi menemukan hal sebagai berikut: 1. Orang sering bersifat etnosentris dan lebih suka menggunakan produk dalam negeri mereka sendiri, kecuali mereka berasal dari negara yang kurang maju. 2. Semakin bagus citra negara, semakin penting lable “Made in...” harus ditampilkan. 3. Dampak asal negara bervariasi dengan jenis produk. Konsumen ingin tahu di mana sebuah mobil dibuat, tetapi tidak untuk minyak pelumasnya.
24
4. Negara tertentu menikmati reputasi atas barang tertentu: Jepang untuk mobil dan elektronik konsumen; Amerika Serikat untuk inovasi teknologi tinggi, minuman ringan, mainan dan barang mewah. 5. Kadang-kadang persepsi negara asal dapat meliputi seluruh produk negara tersebut. Dalam salah satu studi, konsumen Cina di Hong Kong menganggap produk AS sebagai produk yang bergengsi, produk Jepang sebagai produk yang inovatif, dan produk Cina sebagai produk yang murah. Pemasar harus melihat persepsi negara asal dari perspektif domestik dan asing. Di pasar domestik, persepsi ini dapat menggugah rasa patriotisme atau mengingatkan konsumen akan masa lalu mereka. Ketika perdagangan International tumbuh, konsumen dapat memandang merek tertentu sebagai sesuatu yang penting secara simbolis dalam warisan budaya dan identitas mereka. Menurut (Kaynak dan Hyder, 2000), terdapat empat pendekatan dalam county-of-origin. Keempat pendekatan tersebut adalah, single cue studies, multi-cue studies, conjoint analysis dan environmental analysis. Pada pendekatan yang pertama, dalam melakukan evaluasi produk konsumen menggunakan dasar baik intrinsik maupun ekstrinsik. Seperti misalnya penggunaan county of origin sebagai single cue dalam riset mengenai produk tertentu. Konsumen memandang produk-produk tersebut sangat erat dengan negara tertentu, misalnya produk anggur dari Prancis. Pada pendekatan kedua, selain county of origin digunakan sebagai faktor dalam evaluasi produk, terdapat faktor-faktor lain yang diteliti seperti misalnya harga, merek dan sebagainya.
25
Diyakini bahwa dua pendekatan tersebut masih mempunyai kelemahan, maka didesainlah pendekatan ketiga untuk mengakomodasi kelemahan dua pendekatan terdahulu. Pada conjoint analysis ini peneliti dimungkinkan untuk mengukur seberapa besar nilai konsumen terhadap atribut-atribut produk. Secara lebih jelas, peneliti bisa melihat alasan dibalik keputusan konsumen dalam memilih produk asing versus produk domestik. Pada pendekatan terakhir, environmental analysis, faktor-faktor lingkungan dimasukkan. Studi tentang faktor-faktor lingkungan terkait dengan kondisi sosio ekonomi dan teknologi negara suplier. Perlu dipahami bagaimana berbagai faktor lingkungan akan mempengaruhi persepsi konsumen mengenai produk dan merek asing maupun domestik.
2.7 Kepuasan Pelanggan Menurut Hatane Samuel dan (Foedjiawati, 2005) Kunci keberhasilan perusahaan yang berada dalam industri yang tingkat persaingan dan perubahan lingkungan yang tinggi terletak pada seberapa jauh perusahaan tersebut dapat memuaskan kebutuhan dan keinginan konsumen. Konsumen yang puas terhadap merek atau produk tertentu cenderung untuk membeli kembali merek atau produk tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa kepuasan konsumen merupakan faktor kunci bagi konsumen dalam melakukan pembelian ulang. Sementara pembelian yang dilakukan berulang-ulang merupakan faktor terbesar dalam peningkatan volume penjualan di dalam perusahaan tersebut. Selanjutnya konsumen yang puas tersebut sangat dimungkinkan untuk mempengaruhi lingkungannya untuk mengkonsumsi
26
merek atau produk yang telah mereka anggap memberikan rasa kepuasan akan merek dan produk tersebut. Keadaan ini akan sangat membantu perusahaan dalam mempromosikan produknya. Dari penjelasan di atas nampak jelas bahwa kepuasan konsumen merupakan faktor yang penting bagi kelangsungan hidup perusahaan untuk bertahan dalam persaingan di indusrti, khususnya industri fashion. Selanjutnya menurut Singgih (Santoso, 2009), Untuk dapat memuaskan konsumennya, perusahaan dapat mulai dari mencari tahu kebutuhan dan keinginan itu sendiri. Atau dengan kata lain perusahaan haru dapat mengetahui motif konsumen dalam membeli suatu produk. Apakah konsumen membeli produk untuk memperoleh manfaat inti dari produk atau merek tersebut, atau mereka mereka membeli produk tersebut akan memperoleh tambahan manfaat dari produk yang dibelinya. Kepuasan pelanggan merupakan evaluasi pelanggan menyangkut produk atau jasa dalam kaitannya apakah produk atau jasa tersebut sudah sesuai dengan kebutuhan dan harapannya (Zeithaml & Bitner, 2000). Kegagalan dari sebuah produk atau jasa dalam memenuhi kebutuhan dan harapan konsumen diasumsikan dapat mengakibatkan dissatisfaction. Kepuasan pelanggan akan dipengaruhi oleh fitur produk atau jasa yang spesifik dan persepsi mutu. Kepuasan juga akan dipengaruhi oleh tanggapan-tanggapan pelanggan secara emosional, kedudukan kelas sosialnya, dan persepsi mereka (Zeithaml & Bitner, 2000). Kepuasan pelanggan timbul dari adanya respon emosional terhadap produk yang digunakan, khususnya ketika mereka membandingkan kinerja yang ia rasakan dibandingkan dengan harapannya, yang prosesnya dapat dilihat pada gamar berikut:
27
Gambar 2.1. Model Kepuasan – Ketidakpuasan Pelanggan Sumber: (Hasan, 2008)
Indikator dari sebuah produk adalah paket nilai (value package) yang dapat dideteksi dari perasaan subyektif pelanggan atau calon pelanggan. Oleh karena itu, perusahaan yang sukses adalah apabila mampu menciptakan dan menghaantarkan paket nilai produk yang dapat dinikmati pelanggan sebagai sesuatu yang unggul dibanding pesaing. Kepuasan pelanggan dibentuk oleh harapan dan persepsi
28
pelanggan terhadap sebuah produk yang memiliki nilai unggul. Kepuasan pelanggan merupakan fungsi dasar dari sejumlah value produk yang dipersepsikan oleh pelanggan sebelum menggunakannya. (Lesmana, 2009).
2.8 Loyalitas Pelanggan (Oliver, 1999) mendefinisikan loyalitas konsumen adalah suatu keyakinan yang teguh dan tidak berubah dari konsumen kepada perusahaan, dimana konsumen memiliki suatu komitmen untuk melakukan pembelian ulang di masa mendatang secara konsisten, dan akibat dari komitmen ini terjadi pembelian merek atau sekelompok merek yang sama, meskipun pengaruh situasi dan usaha pemasaran mempunyai potensi yang dapat menyebabkan konsumen beralih kepada produk lain. Sedangkan secara praktis, loyalitas dapat didefinisikan (Griffin, 2005) sebagai perilaku pembelian non-random yang diungkapkan oleh waktu ke waktu oleh beberapa unit pengambilan keputusan. Kata non-random berarti konsumen memiliki prasangka spesifik mengenai apa yang akan dibeli dan dari siapa. Atau dengan kata lain pembelian yang terjadi bukan merupakan peristiwa acak.
2.8.1 Fase-Fase Loyalitas Menurut (Oliver, 1999), loyalitas akan melalui fase-fase loyalitas sebagai berikut: (1) cognitive loyalty, (2) affactive loyalty, (3) conative loyalty dan (4) action loyalty.
29
1. Cognitive loyalty Adalah tahap pertama dalam fase loyalitas. Pada tahap ini tersedianya informasi
mengenai
atribut-atribut
produk
bagi
konsumen
mengidentifikasikan bahwa merek tersebut menjadi salah satu preferensi dari alternatif merek yang ada. Loyalitas pada tahap ini diarahkan langsung kepada produk karena informasi ini (tingkat performance attribut merk) 2. Affective loyalty Pada tahap ini konsumen sudah menyenangi (liking) sebagai satu sikap kumulatif kepuasan menggunakan produk dalam beberapa transaksi. Pada tahap ini komitmen dirujuk sebagai affective loyalty dan disimpan dalam pikiran konsumen sebagai kognitif dan affective. 3. Conative loyalty Tahap selanjutnya dari loyalitas adalah conative (behavioral intention) yang dipengaruhi oleh pengalaman positif konsumen dalam menggunakan produk. Namun dalam tahap ini konsumen masih dalam tahap menginginkan untuk membeli kembali, keinginan ini dapat saja merupakan suatu antisipasi namun belum tentu terealisasi secara aksi. 4. Action loyalty Pada tahap ini minat-minat tersebut diterjemahkan dalam suatu aksi. Dalam tahap ini konsumen mempunyai suatu keinginan untuk mengatasi hambatan-hambatan yang mungkin menghalangi niatnya untuk membeli kembali.
30
Selain memiliki kolerasi langsung dengan tingkat laba suatu perusahaan (Griffin, 2005), loyalitas konsumen juga memberikan keuntungan-keuntungan sebagai berikut: (1) tingkat sensitifitas harga dari konsumen akan lebih rendah, (2) mengurangi biaya dalam mendapatkan konsumen baru, (3) meningkatkan tingkat keuntungan perusahaan. Dari sisi praktisnya, (Griffin, 2005) mengatakan bahwa konsumen yang loyal akan memberikan keuntungan sebagai berikut bagi perusahaan: (1) meningkatkan keuntungan perusahaan, (2) mengurangi biaya transaksi, seperti biaya negosiasi kontrak dan proses order, (3) mengurangi biaya perputaran konsumen karena jumlah pelanggan yang hilang berkurang, (4) meningkatkan penjualan cross-selling sehingga pangsa pelanggan juga menjadi meningkat, (5) mendapatkan word of mouth yang positif, (6) mengurangi biaya kegagalan.
2.9 Model konseptual dan Hipotesis 2.9.1 Mode Konseptual
Penelitian ini akan menganalisis tentang sejauh mana citra merek (brand image), karakteristik produk, store environment dan country of origin mempengaruhi kepuasan pelanggan dan loyalitas.
31
Gambar 2.2. Model Konseptual
2.9.2 Hipotesis Loyalitas konsumen terhadap suatu produk dapat terbentuk setelah individuindividu konsumen menerima dan merasakan adanya kepuasan akan produk tersebut. Dan kepuasan konsumen tersebut dapat terbentuk dengan adanya beberapa faktor yang mempengaruhi, antara lain: citra merek, karakteristik produk, store environment, dan country of origin. Dalam merumuskan hubungan antara faktorfaktor tersebut, dapat dilihat melalui penjelasan dibawah ini:
32
Citra perusahaan atau toko dalam pandangan perusahaan sebagai sebuah merek biasanya diukur dari persepsi konsumen mengenai kinerja toko atau perusahaan bersangkutan. Hal ini menjadi dasar pemikiran yang menyangkut keanekaragaman dari persepsi nilai. Misalnya, pelanggan nampaknya akan lebih terpuaskan dengan tawaran yang menyediakan apa yang diperlukan konsumen, inginkan, maupun keinginan meningkatkan sehubungan dengan biaya yang dikeluarkan (Johnson, 1998; Szymanski & Henard, 2001). Citra (image) toko atau perusahaan dapat didefinisikan sebagai cara dimana konsumen memandang toko atau perusahaan. Dalam jurnal tersebut ditemukan bahwa yang terpenting untuk kepuasan pelanggan adalah toko sebagai sebuah merek. Pengecer harus ahli dalam penjualan eceran. Pelanggan terpuaskan ketika toko rapi dan menyenangkan serta ketika mereka merasakan bahwa toko memahami kebutuhan mereka. Hanya dengan segmen pelanggan tertentu tertarik akan merek toko. Pelanggan terpuaskan menjadi setia. Berdasarkan asumsi tersebut, maka hipotesisnya adalah sebagai berikut: Hipotesis 1: Citra Merek memiliki pengaruh positif terhadap kepuasan pelanggan.
Karakteristik produk yang menarik dan melekat dalam suatu merek tertentu, merupakan salah satu faktor penting dalam memicu minat konsumen untuk membeli produk tersebut. Kualitas yang bagus didalam produk tersebut, juga memicu perilaku konsumen untuk membeli secara terus-menerus pada merek tertentu, khususnya di dalam industri fashion. Dalam industri fashion, karaktersistik suatu produk
33
merupakan faktor terpenting dalam andil kosumen untuk membeli barang tersebut, dan karakteristik produk juga akan terus melekat dalam merek tersebut. Di dalam jurnal (Asmani, 2005), menjelaskan bahwa perusahaan harus mampu merebut hati pasar sasarannya untuk mencapai volume penjualan tertentu agar tetap bertahan atau mengembangkan usahanya dalam industri yang sudah dipilihnya. Dalam kondisi seperti ini kepuasan konsumen mempunyai peranan yang cukup penting bagi perusahaan. Karena secanggih atau sebagus produk yang dihasilkan oleh perusahaan, jika konsumen tidak menyukainya, baik karena terlalu mahal atau terlalu rumit dalam penggunaannya, maka produk tersebut tidak ada artinya. Pada kenyataan lain mungkin saja konsumen enggan membeli merek tertentu karena produknya kurang berkualitas, tetapi mungkin mereka pernah dikecewakan dalam pelayanan pada saat atau pasca pembelian. Fenomena ini menunjukkan bahwa untuk memuaskan konsumen bukan merupakan suatu permasalahan yang sederhana tetapi merupakan permasalahan yang komplek yang saling terkait. Berdasarkan asumsi tersebut, maka hipotesis selanjutnya adalah sebagai berikut: Hipotesis 2: Karakteristik Produk memiliki pengaruh positif terhadap kepuasan pelanggan.
Dilihat dari jenis retail, produk yang dijual dan merek tertentu, maka lingkungan dimana toko tersebut berada sangatlah penting. Keputusan pembelian yang dilakukan belum tentu direncanakan, terdapat pembelian yang tidak direncanakan akibat adanya rangsangan lingkungan belanja. Implikasi dari lingkungan belanja terhadap perilaku pembelian mendukung asumsi bahwa jasa
34
layanan fisik menyediakan lingkungan yang mempengaruhi perilaku konsumen, dihubungkan dengan karakteristik lingkungan konsumsi fisik (Bitner, Booms dan Tetreault, 1990; Cole dan Gaeth, 1990). Secara spesifik, dokumentasi mengenai suasanan sebuah lingkungan belanja serta lingkungan retail dapat mengubah emosi konsumen (Donovan dan Rossiter, 1992). Perubahan emosi mengubah suasana hati konsumen yang mempengaruhi keduanya, yaitu perilaku pembelian dan evaluasi adanya emosional yang menyebabkan ternjadinya kepuasan yang timbul di dalam diri konsumen. Berdasarkan asumsi tersebut, maka hipotesis selanjutnya adalah sebagai berikut: Hipotesis 3: Store Environment memiliki pengaruh positif terhadap kepuasan pelanggan.
Telah diketahui bahwa lokasi dimana produk dihasilkan akan mempengaruhi niat beli maupun keputusan pembelian oleh konsumen. Suatu Negara akan dipersepsikan mempunyai reputasi yang ekslusif atas suatu produk tertentu. Namun demikian country of origin merupakan salah satu penentu keputusan pembelian oleh konsumen. Menurut (Lin dan Kao, 2004), country of origin akan menciptakan suatu persepsi tertentu akan suatu merek atau produk, dimana persepsi bisa positif maupun negatif. Pada level berikutnya persepsi positif akan mendorong terciptanya kepuasan di dalam diri konsumen. Berdasarkan asumsi tersebut, maka hipotesis selanjutnya adalah sebagai berikut: Hipotesis 4: Country Of Origin memiliki pengaruh positif terhadap kepuasan pelanggan.
35
Dijelaskan bahwa kepuasan pelanggan merupakan awal yang diperlukan dalam pembentukan loyalitas pelanggan (Fitzel 1998; Fornell 1992), selanjutnya (Faullant, 2008) menjelaskan bahwa kepuasan pelanggan adalah faktor penentu utama dari loyalitas konsumen. Hal ini didasari oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh (Mittal & Kamakura, 2001; Reicheld & Sasser, 1990; serta Zeithaml 1996), yang menunjukkan asosiasi yang positif antara kepuasan dan pembelian kembali. Efek positif dari kepuasan terhadap loyalitas direfleksikan pada intensitas konsumen melakukan pembelian kembali dari produk maupun jasa dan dia bersedia untuk merekomendasikannya kepada orang lain. Sebagai konsekuensinya perusahaan harus dapat memantapkan dasar konsumen yang stabil yang dengan demikian dapat mengurangi akuisisi dan biaya transaksi serta menekan pengurangan pendapatan. Berdasarkan asumsi tersebut, maka hipotesis selanjutnya adalah sebagai berikut: Hipotesis 5: kepuasan pelanggan memiliki pengaruh positif terhadap loyalitas.
Dukungan empiris dalam hubungan antara merek perusahaan denga loyalitas pelanggan sangat langka, namun demikian ada beberapa hasil penelitian yang diangkat oleh (Anisimova, 2007) diantaranya adalah mengemukakan persepsi perlindungan merek perusahaan berpengaruh besar terhadap perilaku pembelian merek. Walaupun pemahaman konsumen terhadap merek sangat berpengaruh terhadap perilaku pembelian, namun pandangan perilaku saja tidak cukup untuk menjelaskan proses pengembangan loyalitas (Dick & Besu, 1994). Mertenson berdasarkan penelitian sebelumnya menyatakan bahwa toko dengan citra yang baik dapat menciptakan kepuasan pelanggan yang pada akhirnya menuntun kearah
36
loyalitas. Merek pabrik membawa pula merek perusahaan atau toko. Jika konsumen suka bagaimana retailer beroperasi sebagai seorang retailer dan pilihan merek yang ada di tokonya, mereka berasumsi untuk terpuaskan dengan toko tersebut. Pelanggan terpuaskan diharapkan untuk menjadi pelanggan setia. Berdasarkan asumsi tersebut, maka hipotesis selanjutnya adalah sebagai berikut: Hipotesis 6: Citra Merek memiliki pengaruh positif terhadap Loyalitas.
Menghadapi selera yang beragam, perusahaan dituntut untuk serba meningkatkan inovasi dan peka terhadap perubahan dan keinginan pasar, Sehingga mampu memberikan derajad kepuasan yang memenuhi kepuasan. Umumnya konsumen akan memutuskan untuk melakukan pembelian atas suatu produk yang berkualitas baik dengan memiliki karakteristik yang sesuai dengan keinginan konsumen serta tingkat kepuasan yang tinggi, sehingga konsumen akan terusmenerus menggunakannya. Demikian halnya dengan produk olah raga khususnya sepatu yang saat ini beredar dipasaran memiliki kelebihan dan kekurangan masingmasing. Dimana kelebihan dan kekurangan yang ada pada tiap merek tersebut memiliki fungsi yang berbeda dari masing-masing produk yang dikeluarkan (Hatane, 2005). Berdasarkan asumsi tersebut, maka hipotesis selanjutnya adalah sebagai berikut: Hipotesis 7: karakteristik produk memiliki pengaruh positif terhadap Loyalitas.
Lingkungan toko merupakan faktor pendukung bagi terciptanya loyalitas pelanggan. Dengan lingkungan toko yang baik, pelanggan bukan hanya berminat
37
untuk mengunjungi, merasa nyaman tetapi juga memiliki kesetiaan terhadap toko tersebut. Elemen-elemen lingkungan toko adalah citra toko, atmosfer toko dan pertunjukkan toko. (Gladys, 2009) Pengetahuan tentang pelanggan merupakan kunci dalam merencanakan suatu strategi pemasaran yang baik. Pelanggan dapat menjadi asset perusahaan yang paling berharga, sehingga perusahaan perlu untuk menciptakan sekaligus menjaga kondisi tersebut, (Ambier, Bhattacharya, Edell, Keller, Lemon, dan Mittal, 2002). Perusahaan membutuhkan informasi pelanggan yang efektif dari dalam ruang toko dan mengembangkan menjadi stimulus terhadap perilaku pembelian produk secara umum. Pengecer membutuhkan informasi tersebut untuk menentukan efisiensi penggunaan sumberdaya yang dirancang dalam menambah penjualan dan juga dapat mendefrensiasi ruang toko sebagai salah satu strategi bersaing terhadap pesaing, (Abratt dan Goodey, 1990). Implikasi dari lingkungan belanja terhadap perilaku pembelian mendukung asumsi bahwa jasa layanan fisik menyediakan lingkungan yang mempengaruhi perilaku konsumen, dihubungkan dengan karakteristik lingkungan konsumsi fisik (Bitner, Booms dan Tetreault, 1990; Cole dan Gaeth, 1990; Eroglu dan Machleit, 1990; Iyer, 1989). Secara spesifik, dokumentasi mengenai suasana sebuah lingkungan belanja serta lingkungan retail dapat mengubah emosi konsumen (Donovan dan Rossiter, 1982; Donovan, 1994). Perubahan emosi mengubah suasana hati konsumen yang mempengaruhi keduanya yaitu perilaku pembelian dan evaluasi tempat belanja konsumen semula (Babin, Darden dan Griffin, 1994; Dawson, Bloch dan Ridgway, 1990; Gardner, 1985). Toko dapat menawarkan suasana atau lingkungan yang dapat
38
mempengaruhi pola perilaku keputusan. konsumen (Baker, Grewal, dan Parasuraman, 1994). Lingkungan belanja dan suasana hati dapat mempengaruhi seseorang untuk melakukan pembelian ulang dalam waktu tertentu Hipotesis 8 : lingkungan toko memiliki pengaruh positif terhadap loyalitas.
Salah satu efek dari pasar terbuka adalah masuknya merek-merek asing ke Indonesia. Merek asing yang masuk ke pasar Indonesia meliputi banyak industri. Salah satu industri yang diserbu merek asing adalah industri fashion. Dalam industri fashion, faktor negara asalah merupakan faktor yang terpenting, yang menimbulkan adanya loyalitas pada konsumen. Dalam beberapa penelitian (Aatous, 2004) konsumen memiliki persepsi tertentu mengenai negara asal tempat suatu produk dihasilkan. Ketika konsumen mendapatkan informasi mengenai negara produk tersebut diproduksi, maka dalam melakukan pembelian akan mempengaruhi persepsi konsumen sehingga timbul perasaan emosional dan kepercayaan, sehingga terbentuknya loyalitas akan merek tertentu tanpa memperhatikan faktor-faktor lain. Dalam jurnal Noviandra Krisjanti juga dijelaskan dimana negara maju dipersepsikan mempunyai kolerasi yang positif dengan kualitas produk dan loyalitas. Salah satu produk yang mengangkat informasi “made-in” adalah Oli Top 1 yang selalu mengedepankan informasi “dibuat di Amerika”. Berdasarkan asumsi tersebut, maka hipotesis selanjutnya adalah sebagai berikut: Hipotesis 9: Country Of Origin memiliki pengaruh positif terhadap Loyalitas.