BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka Menulis argumentasi menjadi salah satu fokus kajian dalam penelitian yang sering dilakukan oleh praktisi pendidikan. Hal ini dikarenakan menulis argumentasi menjadi salah satu materi dalam dunia pendidikan. Salah satu penyebab permasalahan yang ditemukan di sekolah terkait dengan kemampuan menulis argumentasi adalah kemampuan menulis argumentasi siswa masih rendah. Beberapa penelitian yang sesuai dengan penelitian ini adalah sebagai berikut. Penelitian dilakukan oleh Shahram Esfandiari Asl (2014) yang berjudul “The Effect of Planning and Monitoring as Metacognitive Strategies on Iranian EFL Learners' Argumentative Writing Accuracy” membahas tentang efek dari perencanaan dan monitoring keterampilan dalam strategi metakognitif pada pelajar EFL menengah di Iran dalam kaitannya menulis argumentatif. Berdasarkan penelitian tersebut, terdapat persamaan dengan penelitian ini yaitu pada variabel terikat yang berupa menulis argumentasi. Adapun perbedaannya adalah terletak pada variabel bebasnya, kalau penelitian yang akan dilakukan mengambil variabel bebas aspek-aspek komposisi dan sikap siswa terhadap bahasa Indonesia, sementara penelitian terdahulu menggunakan variabel bebas berupa perencanaan dan monitoring. Penelitian ini juga relevan dengan penelitian Liu Xinghua dan Paul Thompson (2009) yang berjudul “Attitude in Students’ Argumentative Writing: A Contrastive Perspective”. Dalam penelitian Liu Xinghua dan Paul Thompson, topik yang dikaji adalah sikap siswa dalam menulis argumentasi. Penelitian tersebut membahas bagaimana sikap seseorang dalam menulis argumentasi, dimana dalam menulis tidak hanya dibutuhkan teori menulis saja akan tetapi juga sikap akan dalam menulis. Perbedaan dalam penelitian ini adalah pada kajiaanya. Jika penelitian ini adalah penetian korelasional antara sikap siswa terhadap
7
8
bahasaIndonesia dengan pemahaman aspek-aspek komposisi, maka penelitian yang dilakukan Liu Xinghua dan Paul Thompson merupakan penelitian studi kasus yang membandingkan sikap mahasiswa EFL dalam menulis argumentasi antara menggunakan bahasa Inggris dan bahasa Cina. Hasil dari penelitian Liu Xinghua dan Paul Thompson adalah adanya perbedaan sikap antara siswa yang menulis dengan bahasa Inggris dengan siswa yang menulis dengan bahasa Cina. Tulisan esai dalam bahasa Cina didominasi nilai-nilai kapasitas dalam sistem penilaian sebanyak 50%. Namun, item kesopnana, yang diduga menjadi salah satu perangkat yang paling evaluatif dipekerjakan dalam tulisan-tulisan argumentatif, hanya sebanyak 5%. Pola tersebut sangat berbeda dari hasil tulisani esai dengan menggunakan bahasa Inggris di mana kapasitas menyumbang 57,1% dan kesopanan sebanyak 22,4%. Kesimpulannya dalam menulis karangan esai dengan menggunakan bahasa Cina, 65% nilai sikap dikodekan secara implisit sementara dalam esai bahasa Inggris 40,8% item bersifat membangkitkan. Penelitian lain yang relevan adalah penelitian yang dilakukan oleh Wei Zhu (2001) yang berjudul “Performing Argumentative Writingin English : DifficultiesI ProcessesI and Strategies”. Penelitian tersebut menguji kesulitan dan proses menulis dan strategi dari sekelompok mahasiswa pascasarjana Meksiko dalam tugas bahasa Inggris yaitu menulis argumentatif. Hasil analisis data menunjukkan bahwa dari sudut pandang peserta, kekhawatiran retoris (misalnya, organisasi dan pengembangan argumen) menjadi tantangan besar, meskipun tanpa diragukan aspek linguistiknya (misalnya, kosakata) yang ternyata juga menjadi masalah. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa peserta menggunakan berbagai strategi dalam menulis argumentasi. Penelitian yang dilakukan oleh Wei Zhu memiliki kesamaan dengan penelitian yang akan dilakukan. Penelitian ini sama-sama memiliki variabel terikat yaitu menulis argumentasi. Selain memiliki persamaan, penelitian ini juga memiliki perbedaan. Perbedaannya adalah pada variabel bebasnya. Penelitian yang dilakukan oleh Wei Zhu adalah meneliti kesulitan dan proses dalam menulis argumentasi. Akan tetapi penelitian yang akan dilakukan di sini adalah menguji sikap siswa terhadap bahasa
9
dan pemahaman aspek-aspek komposisi. Penelitian Wei Zhu adalah mencari seberapa besar pengaruhnya yang dalam pengertian lain, itu merupakan penelitian eksperimen sementara penelitian yang akan dilakukan hanya mengukur hubungan sehingga masuk ke dalam penelitian korelasional. Sehubungan dengan beberapa temuan penelitian yang sesuai terhadap variabel penelitian ini, hal ini membuktikan bahwa penelitian yang berjudul Hubungan antara Pemahaman Aspek-aspek Komposisi dan Sikap Siswa terhadap Bahasa Indonesia dengan Kompetesi Menulis Karangan Argumentasi pada Siswa Kelas XI SMK Negeri Se-Kabupaten Sleman, dapat diterima dan relevansi dari penelitian ini adalah masalah yang dikaji dan antar variabel terutama variabel terikat dari penelitian ini yaitu kompetensi menulis argumentasi. Penelitian argumentasi pernah dilakukan oleh Anna Leahy (2005) yang berjudul“Grammar Matters: A Creative Writer's Argument”. Dalam penelitian itu dijelaskan bahwa saat menulis argumentasi, hal yang perlu diperhatikan adalah tata penulisan. Tata penulisan memiliki kontribusi yang penting dalam menulis argumentasi, sehingga tata penulisan harus diperhatikan. Relevansi penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah persamaan dalam variabel menulis argumentasinya, sementara perbedaannya adalah pada variabel bebasnya. Jika penelitian tersebut dikaitkan dengan tatapenulisan, maka dalam penelitian ini akan dikaitkan dengan aspek komposisi menulis argumentasi dan sikap terhadap bahasa Indonesia. Selanjutnya adalah penelitian yang berjudul “Study of the Academic Members Attitude about Main Factors of Not Approaching to Scientific Writing in Hamadan University of Medical Sciences” (2008) yang dilakukan oleh Koorki, dkk. Penelitian itu membahas tentang penyebab seseorang tidak tertarik menulis ilmiah. Faktor tersebut adalah pengajaran yang tidak menarik, (2) hambatan melakukan riset asli dan menulis artikel, (3) durasi panjang pengiriman dan akseptasi artikel dalam jurnal ilmiah, (4) dan kelemahan keterampilan berbahasa Inggris.
10
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Koorki adalah variabelnya. Variabel penelitian Koorki terkait dengan penulisan ilmiah sementara dalam penelitian ini adalah menulis argumantasi. Metode yang digunakan dalam penelitian Koorki adalah metode surve sementara metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode korelasional. Selain itu, masalah dan tempat penelitian ini juga berbeda. Penelitian Koorki menekankan pada faktor apa saja yang menyebabkan seseorang tidak menyukai menulis ilmiah, sementara penelitian ini menekankan pada pembuktian ada tidaknya hubungan pengetahuan aspek-aspek komposisi dan sikap siswa pada kemampuan menulis argumentasi. Relevansi penelitian ini adalah kemampuan menulis dipengaruhi oleh beberapa
faktor.
Salah
satu
faktor
yang
mempengaruhinya
adalah
pengorganisasian maupun masalah pribadi. Masalah tersebut berkaitan dengan variabel yang akan diteliti dalam penelitian ini. Penelitian sejenis juga dilakukan oleh Rizki Amalia Suharti (2015) dengan judul “Sikap dan Pemertahanan Bahasa Indonesia Siswa Kelas X SMA Internasional Budi Mulia Dua Yogyakarta”. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui sikap dan pemertahanan bahasa Indonesia siswa kelas internasional dan non-internasional di SMA Budi Mulia Dua Yogyakarta jika ditinjau dari tugas menulis. Berdasarkan penelitian tersebut dapat diketahui bahwa terdapat hubungan antara sikap dan pemertahanan bahasa Indonesia ketika dikaitkan dengan keterampilan menulis narasi. Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian yang menunjukkan siswa yang memiliki sikap dan pemertahanan bahasa Indonesia yang baik, maka hasil menulis karangan narasinya juga baik, sementara siswa yang memiliki sikap dan pemertahanan yang buruk maka hasil menulisanya juga rendah. Penelitian yang dilakukan oleh Rizki Amalia Suharti memiliki kesamaan dengan penelitian yang akan dilakukan. Letak persamaannya yaitu pada jenis penelitian, tujuan penelitian, dan variabel bebasnya. Jenis penelitiannya adalah korelasional. Tujuan penelitiannya adalah sama-sama untuk mengetahui hubungan antar variabel. Persamaan lainnya terletak dari variabel bebasnya yaitu sikap bahasa Indonesia.
11
Selain terdapat persamaan, penelitian ini juga terdapat perbedaan. Perbedaannya adalah variabel terikatnya dan variabel bebas. Variabel terikat penelitian ini adalah menulis narasi sementara variabel terikat yang akan diteliti adalah menulis argumentasi. Salah satu variabel bebas penelitian ini adalah pemertahanan bahasa Indonesia sementara variabel bebas yang akan diteliti adalah pemahaman aspek-aspek komposisi. Pemaparan mengenai tinjauan hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini atau variabel dalam penelitian ini telah dijabarkan. Lebih lanjut akan dipaparkan mengenai kajian tentang teoriteori yang dapat digunakan sebagai pijakan dalam
melakukan pendekatan
masalah penelitian ini. Kajian teori yang akan dijelaskan adalah hakikat kompetensi menulis argumentasi, hakikat pemahaman aspek-aspek komposisi, dan hakikat sikap siswa terhadap bahasa Indonesia. 1. Hakikat Kompetensi Menulis Argumentasi Kata kompetensi biasanya diartikan sebagai “kecakapan hidup yang memadai untuk melakukan suatu tugas” atau sebagai “memiliki keterampilan dan kecakapan yang disyaratkan”. Makna kompetensi secara luas memiliki tujuan
untuk
mengembangkan
manusia
agar
memiliki
pengetahuan,
keterampilan, maupun kemampuan yang disyaratkan. Penggunaan kata kompetensi
untuk
memberikan
penekanan
pada
aspek
kemampuan
mendemonstrasikan pengetahuannya. Sukmadinata dan Erliana (2012: 18) memaparkan makna kompetensi secara lebih luas sebagai kecakapan, “kebiasaan”, keterampilan yang diperlukan seseorang dalam kehidupannya, baik sebagai pribadi, warga masyarakat, siswa, dan karyawan (termasuk di dalamnya pimpinan). Sementara dalam arti umum kompetensi mempunyai makna yang hampir sama dengan keterampilan hidup, yaitu kecakapan-kecakapan, keterampilan untuk menyatakan, memelihara, menjaga, dan mengembangkan diri. Kompetensi secara umum tidak hanya berkaitan dengan aspek fisik-biologis, tetapi juga aspek-aspek intelektual, sosial, dan afektif.
12
Dalam melaksanakan kompetensi, diperlukan pengetahuan khusus, keterampilan, maupun sikap. Setiap kompetensi di masing-masing bidang dapat berbeda. Ada bidang yang hanya tergantung pada aspek pengetahuan saja, proses saja, maupun keduanya. Suparno (2001: 29) mengartikan kompetensi sebagai kecakapan yang disyaratkan untuk dapat melakukan suatu pekerjaan (kegiatan) dengan standar tertentu. Sebuah standar ditetapkan dalam mencapai target untuk dapat dikatakan kompeten. Untuk mencapai kompetensi tersebut, tidak hanya membutuhkan pengetahuan saja akan tetapi juga pendayagunaan seluruh kemampuan diri agar target yang telah ditetapkan dapat tercapai. Johnson (dalam Suparno, 2001 :27) memandang kompetensi sebagai perbuatan (performance) yang rasional yang secara memuaskan memenuhi tujuan dalam kondisi yang diinginkan. Dikatakan performance yang rasional karena orang yang melakukannya harus memiliki tujuan atau arah dan ia tahu apa dan mengapa ia berbuat demikian. Maka kompetensi itu dilakukan secara sadar, dengan arah tujuan yang jelas. Sementara jika dilihat dari pengertian dasarnya, kompetensi berarti kemampuan atau kecakapan (Syah, 2013: 229) Kompetensi dapat dibagi menjadi lima, yaitu kompetensi dasar, kompetensi umum, kompetensi akademik, kompetensi vokasional, dan kompetensi profesional (Sukmadinata dan Erliana, 2012: 18). Kompetensi dasar adalah kecakapan, kebiasaan atau keterampilan-keterampilan awal dan esensial yang harus dikuasai siswa untuk menguasai kompetensi-kompetensi yang lebih tinggi (pengembangan diri). Kompetensi dasar juga mencakup penguasaan kecakapan dan keterampilan untuk menjaga, memelihara, mempertahankan dan mengembangkan diri, baik secara fisik, sosial, intelektual, maupun moral. Kompetensi umum merupakan penguasaan kecakapan dan keterampilan yang diperlukan dalam kehidupan, baik dalam kehidupan di keluarga, di sekolah, di masyarakat ataupun di lingkungan kerja. Misalnya kompetensi terkait
penguasaan
komputer
maupun
penguasaan
bahasa
Inggris.
13
Ketidakmampuan menguasai kompetensi umum tersebut dapat mengakibatkan ketertinggalan. Kompetensi akademik merupakan kemampuan, kecakapan, keterampilan menerapkan teori, konsep, kaidah, prinsip, model, di dalam kehidupan. Kompetensi
akademik
ini
juga
berkenaan
dengan
penerapan
dan
pengembangan kecakapan dan keterampilan berpikir tahap tinggi, yaitu berpikir analitis, sintetis, evaluatif, pemecahan masalah, dan kreatif. Kompetensi akademik ini penting untuk dikembangkan pada semua jenjang pendidikan sesuai dengan perkembangan mereka. Kompetensi vokasional berkenaan dengan pengembangan kecakapan dan keterampilan praktis dalam satu bidang pekerjaan. Kompetensi vokasional dapat berkaitan dengan penguasaan kecakapan dan keterampilan kerja pada tahap prakarya (prakejuruan), kejuruan dan tahap vokasional. Pengembangan kompetensi vokasional diarahkan pada kompetensi penguasaan kerja. Kompetensi profesional, merupakan penguasaan kecakapan, kebiasaan, keterampilan akademik dan vokasional tingkat tinggi. Kompetensi ini berkenaan dengan penguasaan pengetahuan intelektual, sosial, motorik tingkat tinggi, seperti proses berpikir abstrak, analisis-sintesis, konvorgen-disvorgen, evaluatif, pemecahan masalah, dan kreativitas. Kompetensi profesional dikembangkan melalui program-program pendidikan profesi dan spesialisasi. Kompetensi berbahasa termasuk dalam kategori kompetensi akademik. Sukmadinata dan Erliana (2012: 20) menjelaskan bahwa kompetensi adalah apa yang dapat dilakukan oleh seseorang setelah mengikuti pendidikan atau pelatihan tertentu. Jadi dapat dikatakan bahwa kompetensi bahasa adalah seseorang yang telah mengikuti pendidikan atau pelatihan tentang kebahasaan. Berdasarkan uraian di atas, dapat disintesiskan bahwa kompetensi adalah kecakapan yang dipersyaratkan atau telah memenuhi standar-standar tertentu dalam mengerjakan suatu hal dengan mendayagunakan seluruh kemampuan yang ada pada diri seseorang.
14
Salah satu kompetensi yang utama bagi siswa adalah kompetensi menulis. Kompetensi menulis menjadi hal yang penting yang harus dikuasai siswa sebagai salah satu penguasaan dari kompetensi lulusan bahasa Indonesia di jenjang pendidikan menengah. Menulis pada hakikatnya adalah melukiskan lambang-lambang grafik yang menggambarkan suatu bahasa yang dipahami oleh seseorang, sehingga orang lain dapat membaca lambang-lambang grafik tersebut kalau mereka memahami bahasa dan lambang grafik itu (H.G. Tarigan, 2008: 22). Pendapat ini sesuai dengan pendapatAndayani (2015: 191) yang mengartikan istilah menulis adalah menurunkan atau melukiskan lambang-lambang grafik yang menggambarkan suatu bahasa yang dipahami oleh seseorang sehingga orang lain dapat membaca secara langsung lambang-lambang grafik tersebut. Pelukisan lambang-lambang grafik tersebut merupakan penuangan gagasan manusia melalui lambang tulisan agar dapat dibaca dan dipahami orang lain. Akan tetapi, menulis tidak hanya sekadar menuliskan lambang grafik saja, akan tetapi terdapat ide, gagasan, maupun pesan yang disampaikan melalui lambang tersebut. Oleh karena itu, orang tidak hanya dituntut untuk menguasai lambang tulisan saja melainkan juga penguasaan topik maupun masalah yang akan ditulis. Kegiatan menulis dalam menuangkan gagasan ke dalam bentuk tulisan sebagai proses kreatif. Hal ini sesuai pendapat Semi (2007: 14) bahwa menulis adalah suatu proses kreatif memindahkan gagasan ke dalam lambang-lambang tulisan. Dikatakan sebagai proses kreatif karena dalam menyusun ide maupun gagasan ke dalam bentuk lambang membutuhkan daya pikir. Maka dalam menulis,
penulis
dituntut
untuk
memahami,
mengetahui,
maupun
menggunakan kata, kalimat, maupun paragraf sehingga gagasan dapat tersampaikan dengan baik. Menulis menjadi kemampuan puncak seseorang untuk dikatakan terampil berbahasa. Menulis juga keterampilan yang sangat kompleks (Nurjamal, 2014: 4). Menulis menjadi puncak keterampilan seseorang karena menulis menjadi aspek keterampilan yang paling sulit. Hal ini dikarenakan
15
dalam menulis dibutuhkan keterampilan yang sangat kompleks. Jika dibandingkan dengan keterampilan berbicara, maka komunikasi lisan akan mudah dipahami pendengar karena didukung oleh adanya intonasi, lokasi, maupun suasana bicara. Akan tetapi dalam keterampilan menulis, aspek pendukung di luar bahasa tidak ada. Pembaca hanya akan dapat memahami bacaan sesuai dengan gagasan penulis melalui kalimat yang dibuatnya saja. Pernyataan tersebut sesuai dengan pendapat Slamet (2009: 97)bahwa menulis itu bukan hanya berupa melahirkan pikiran atau perasaan saja, melainkan juga merupakan pengungkapan ide, pengetahuan, ilmu, dan pengalaman hidup seseorang dalam bahasa tulis. Oleh karena itu,menulis bukanlah kegiatan yang sederhana dan tidak perlu dipelajari, tetapi justru harus dikuasai. Terlebih bahwa keterampilan juga sangat penting di samping keterampilan berbahasa yang lainnya. Menulis
merupakan
proses
penyampaian
pikiran,
angan-angan,
perasaan dalam bentuk lambang/ tanda/ tulisan yang bermakna (Dalman, 2014: 4). Sebagai proses, kegiatan menulis menjadi serangkaian aktivitas yang melibatkan beberapa fase (tahap). Adapun fase dalam menulis adalah fase prapenulisan (persiapan), penulisan (penulisan isi), dan pascapenulisan (telaah atau revisi). Ketiga fase tersebut dilalui oleh penulis baik secara sengaja maupun tidak. Meskipun demikian, fase tersebut memang tidak menjadi patokan baku yang harus dilaksanakan dalam membuat tulisan. Misalnya saja untuk mengefektifkan waktu, penulis dapat kembali pada fase persiapan ketika saat menulis ternyata materinya kurang luas atau bahkan terlalu luas. Lebih lanjut Semi mengungkapkan bahwa ada tiga aspek utama dalam menulis, yaitu (1) ada tujuan atau maksud tertentu yang hendak dicapai; (2) adanya gagasan atau sesuatu yang hendak dikomunikasikan; dan (3) adanya sistem pemindahan gagasan berupa sistem bahasa. Sementara itu Jauhari (2013: 13) mengungkapkan ada empat unsur yang harus dipenuhi dalam menulis. Keempat unsur tersebut adalah; (1) penulis, (2) tulisan sebagai medianya, (3) isi sebagai pesan yang hendak disampaikan, dan (4) pembaca sebagai penerima pesan. Begitu pula menurut Dalman (2014: 3) bahwa akitivitas menulis
16
melibatkan unsur penulis sebagai penyampaian pesan, isi tulisan, media, dan pembaca. Berdasarkan pendapat tersebut, maka dalam menulis setidaknya ada penulis, tulisan, dan pembaca. Jika difokuskan pada tulisan itu sendiri, setidaknya sebuah tulisan memiliki tujuan, gagasan, dan lambang bahasa. Aspek utama adalah tujuan. Artinya, ketika seseorang ingin menulis maka ada tujuan untuk apa dia menulis. Tujuan yang mendasari seseorang menulis, maka itulah yang dimaksud dengan tujuan yang hendak dicapai. Ada banyak hal yang mendasari seseorang menulis, seperti ingin menceritakan sesuatu, memberikan petunjuk atau pengarahan, menjelaskan sesuatu, meyakinkan, maupun merangkum sesuatu. Kedua adalah adanya gagasan. Gagasan yang hendak disampaikan menjadi isi yang utama dalam kegiatan menulis. Gagasan inilah yang kemudian disampaikan melalui tulisan kepada pembaca. Gagasan dapat diperoleh melalui pengalaman, pengamatan, khayalan, dan pendapat atau keyakinan. Banyaknya gagasan seseorang maka tulisannya akan semakin menarik pembaca. Ketiga adalah lambang bahasa. Lambang bahasa itu sendiri berupa tulisan. Akan tetapi, hasil tulisan itu banyak ragamnya seperti surat, artikel, makalah, maupun karangan. Dalam menentukan bentuk apakah yang akan digunakan, maka penulis harus memperhatikan tujuan penulisan, topik, maupun jenis tulisan yang digunakan. Bentuk tulisan akan membantu pembaca dalam memahami gagasan yang disampaikan penulis. Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa menulis merupakan kegiatan menuangkan ide, gagasan, pikiran, melalui lambang tulisan. Dalam kegiatan menulis terdapat kegiatan menyusun, merangkai huruf yang membentuk kata, kumpulan kata yang membentuk kalimat, kumpulan kalimat yang membentuk paragraf, dan kumpulan paragraf membentuk karangan yang utuh. Ada
empat
aspek
kemampuan
berbahasa,
yakni
kemampuan
mendengarkan, kemampuan berbicara, kemampuan membaca, dan kemampuan menulis. Di bandingkan dengan keempat aspek kemampuan tersebut, menulis
17
merupakan aspek yang paling terakhir dikuasai. Menurut Nurgiyantoro (2011: 422) hal itu dikarenakan kompetensi menulis menghendaki penguasaan berbagai unsur kebahasaan dan unsur di luar bahasa itu sendiri. Baik unsur bahasa maupun pesan harus terjalin sedemikian rupa sehingga menghasilkan karangan yang runtut, padu, dan berisi. Menulis karangan tidak hanya menuangkan ide gagasan ke dalam tulisan, melainkan diperlukan keterampilan dalam menyusun gagasan tersebut agar padu dan menarik. Setiap kalimatnya memuat ide yang jelas, sehingga ide akan termuat dalam sebuah paragraf yang padu. Oleh karena itu dalam menulis, harus pula diperhatikan kata yang menyusun karangan tersebut agar ide yang ingin disampaikan dapat mudah dipahami orang lain. Hal tersebut senada dengan pendapat Hastuti (dalam Saddono dan Slamet, 2014: 153) bahwa kegiatan menulis merupakan kegiatan yang sangat kompleks karena melibatkan cara pikir yang teratur dan berbagai persyaratan yang berkaitan dengan teknik penulisan, antara lain (1) adanya kesatuan gagasan, (2) penggunaan kalimat yang jelas dan efektif, (3) paragraf disusun dengan baik, (4) penerapan kaidah ejaan yang benar, (5) penguasaan kosa kata yang memadai. Kemampuan dalam memilih dan menyusun kata untuk menuangkan ide gagasan
akan
mempengaruhi
kualitas
isi
tulisan.
Kepandaian
dalam
pengorganisasian akan menghasilkan tulisan yang mudah dipahami orang lain. Selain itu, agar tulisan menjadi menarik dan memiliki ide gagasan yang tepat, maka penulis harus memiliki wawasan dan pengetahuan yang luas. Wawasan maupun pengetahuan dapat diperoleh melalui berbagai sumber referensi. Kegiatan menulis merupakan kegiatan yang penting karena memberikan banyak manfaat. Suparno dan Yunus (2008: 1.4) mengemukakan beberapa manfaat dari menulis. Manfaat tersebut diantaranya adalah:(1) meningkatkan kecerdasan;(2) pengembangan daya inisiatif dan kreativitas;(3) menumbuhkan keberanian;dan (4) pendorong kemauan, dan kemampuan mengumpulkan informasi.
18
Menulis dapat meningkatkan kecerdasan. Pada waktu menulis, daya nalar seseorang jadi berjalan. Selain mengeluarkan ide-ide, seseorang juga mengingatingat informasi yang pernah didapat. Hal itu sama dengan melatih ketajaman dan daya
tangkap
otak.
Anak
yang
biasa
belajar
dengan
berlatih
dan
menghafalakanmemiliki ketajaman otak yang jauh lebih baik daripada anak di daerah terpencil yang aktivitas kesehariannya hanya bermain dan mencari makanan. Menulis dapat mengembangkan daya inisiatif dan kreativitas. Para penulis seperti wartawan dan ilmuan, kalau melihat suatu fenomena alam, pasti ingin menuliskan dan mendokumentasikan atau memberitakannya. Orang-orang demikian mempunyai inisiatif. Selanjutnya, kalau orang itu sampai mau melakukan penelitian karena menemukan fenomena alam tersebut dan hasilnya ditulis dalam bentuk karya ilmiah, hal itu disebut kreatif. Menulis
dapat
menumbuhan
keberanian.
Banyak
orang
tidak
menyampaikan gagasan dan pendapatnya secara langsung atau lisan. Alasannya sepele, mereka takut keliru dan tidak percaya diri. Padahal, dalam tulisan sebelum disampaikan kepada orang lain, dapat dipertimbangkan terlebih dahulu dan diperbaiki. Karena itu tidak ada alasan takut atau tidak percaya diri dalam menulis. Menulis mendorong kemauan, dan kemampuan mengumpulkan informasi. Topik yang sudah ditentukan untuk dibahas dalam tulisan akan berkembang tanpa dukungan informasi-informasi yang sesuai dengan topik itu. Maka, dalam proses menulis ada fase persiapan. Dalam fase ini ada bagian pencarian bahan-bahan tulisan. Bahan-bahan tulisan yang dimaksud adalah buku, hasil wawancara, pengamatan, dan lain-lain. Itu semuanya berbentuk informasi yang akan ditulis untuk mengembangkan topik karangan. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam menulis karangan adalah bagian utama karangan. Karangan yang tersusun dengan baik selalu mengandung tiga unsur atau tiga bagian, yaitu bagian pendahuluan, isi tulisan, dan penutup (Saddhono, 2014: 153). Ketiga bagian tersebut memiliki fungsi yang berbedabeda. Bagian pendahuluan berfungsi untuk menarik minat pembaca dan
19
menjelaskan ide pokok pembahasan. Bagian isi memiliki fungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara pendahuluan dengan penutup. Pada bagian isi ini lebih banyak menguraikan gagasan pokok secara mendalam. Sementara bagian penutup berfungsi untuk menyimpulkan tulisan. Agar tulisan yang dibuat semakin baik, maka penulis sebaiknya mengetahui tujuan dari menulis. Hartig (dalam Tarigan, 2008: 24) menyebutkan beberapa tujuan menulis diantaranya adalah: (1) assignment purpose (tujuan penugasan),penulisan dalam hal ini tidak mempunyai tujuan, penulis menulis sesuatu karena ditugaskan, bukan karena kemauan sendiri; (2) menulis yang bertujuan
untuk
menyenangkan,
menghindarkan
kedukaanpara
pembaca,
menolong para pembaca memahami, menghargai perasaan, dan penalarannya; (3) persuasive purpose (tujuan persuasif), yaitu menulis dengan tujuan untuk meyakinkan
pembaca
akan
kebenaran
gagasan
yang
diutarakan;
(4)
informationalpurpose (tujuan informasi); yaitu menulis dengan tujuan untuk memberikan informasi kepada para pembaca; (5) self-expresive purpose (tujuan pernyataan diri), menulis untuk memperkenalkan atau menyatakan diri kepada para pembaca; (6) creative purpose (tujuan kreatif), menulis untuk mencapai nilainilai artistik, nilai-nilai kesenian; dan (7) problem solving purpose (tujuan pemecahan masalah) yaitu menulis untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Karangan yang baik dapat dilihat dari beberapa kriteria. Dalman (2014: 100) mengungkapkan bahwa untuk membuat karangan yang baik setidaknya penulis harus memperhatikan kriteria berikut ini: (1) tema, yaitu hal yang mendasari karangan/ tulisan; (2) ketepatan isi dalam paragraf. Ketepatan isi dan paragraf ini memuat unsur kesatuan, kepaduan, dan perkembangan. Unsur kesatuan yaitu semua kalimat yang membina paragraf harus secara bersama-sama menyatakan suatu hal atau tema tertentu. Unsur kepaduan yaitu kekompakan hubungan antarkalimat yang satu dengan yang lain dan membentuk paragraf. Unsur perkembangan yaitu penyusunan atau perincian ide yang membina karangan; (3) kesatuan isi dengan judul. Karangan yang baik harus memiliki kesesuaian antara judul dengan isi. Judul karangan akan menggambarkan isi secara keseluruhan; (4) ketepatan susunan kalimat. Ketepatan susunan kalimat
20
dimaksudkan untuk memudahkan pembaca menangkap ide pokok dalam paragraf; dan (5) ketepatan penggunaan ejaan yaitu penggunaan ejaan dalam karangan yang berpedoman pada EyD. Kriteria di atas dapat menjadi salah satu patokan dalam membuat karangan meskipun patokan tersebut tidak bersifat kaku. Artinya, kriteria patokan penilaian karangan mungkin saja berbeda satu dengan yang lain. Kriteria tersebut dapat digunakan sebagai batas untuk mengetahui kompetensi seseorang dalam menulis karangan. Jadi,
kompetensi
menulis
karangan
adalah
kecakapan
yang
dipersyaratkan dalam kegiatan menuangkan ide, gagasan, pikiran, melalui lambang tulisan dengan mendayagunakan seluruh kemampuan yang ada pada diri seseorang. Hasil kegiatan menulis dapat menghasilkan sebuah karangan, salah satunya adalah karangan argumentasi. Argumentasi menjadi salah satu karangan di samping karangan narasi, deskripsi, eksposisi, dan persuasi. Istilah argumentasi berasal dari kata argumen yang berarti alasan atau bantahan. Argumentasi dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk retorika yang berusaha mempengaruhi sikap dan pendapat orang lain (Keraf, 2004: 3). Retorika merupakan keterampilan berbahasa, salah satunya dalam hal mengarang. Dalam karangan, akan terkandung berbagai tujuan tergantung dari jenis karangan itu sendiri. Maka karangan argumentasi merupakan karangan yang berisi pendapat tentang suatu persoalan yang didukung dengan sejumlah argumentasi dengan maksud untuk meyakinkan pembaca atas pendapat yang dikemukakannya (Nurjamal dkk, 2014: 71). Tujuan dari karangan argumentasi adalah meyakinkan pembaca. Hal ini sesuai dengan pendapat Dalman (2014: 138) bahwa argumentasi adalah karangan yang bertujuan meyakinkan atau membuktikan kepada pembaca agar menerima sesuatu kebenaran sehingga pembaca meyakini kebenaran itu. Tidak berbeda jauh dengan pendapat Semi (2007: 75) yang menyatakan bahwa argumentasi adalah tulisan yang bertujuan meyakinkan atau membujuk pembaca tentang kebenaran pendapat atau pernyataan penulis. Cara meyakinkan pembaca dapat dilakukan
21
dengan jalan memberikan pembuktian, alasan, serta ulasan secara objektif dan meyakinkan. Penulis dapat mengajukan argumentasi dengan memberikan contohcontoh, analogi, sebab-akibat, atau dengan pola-pola deduktif maupun induktif.Dengan adanya alasan yang kuat tersebut Finoza (2005: 249) mengungkapkan agar pembaca menerima atau mengambil suatu doktrin, sikap, dan tingkah laku tertentu. Tulisan argumentasi memungkinkan penulis untuk memberikan argumen yang berseberangan. Hal ini diungkapkan oleh Adian dan Herdito (2013: 132) bahwa tulisan argumentatif melibatkan analisis argumentasi, posisi atau opini yang berseberangan dan mendemonstrasikan bahwa posisi, opini, atau argumentasi yang berseberangan itu lemah dibandingkan milik sang penulis. Ini artinya bahwa dalam argumentasi, apa yang diungkapkan oleh penulis merupakan sebuah pernyataan yang kuat dibandingkan pernyataan orang lain. Saddhono dan Slamet (2014: 160)
Maka
mengungkapkan bahwa dalam penulisan
argumentasi perlumenyajikan secara logis, kritis, dan sistematis disertai dengan bukti-bukti
yang dapat
memperkuat
keobjektifan
dan kebenaran
yang
disampaikan. Rohmadi (2014: 87) mengartikan argumentasi sebagai jenis karangan yang berisi gagasan lengkap dengan bukti dan alasan, serta dijalin dengan proses penalaran yang kritis dan logis. Gagasan merupakan hasil pemikiran dari penulis. Hasil pemikiran penulis dikemukakan dalam tulisan disertai bukti yang kritis. Agar pemikiran tersebut mudah dipahami oleh pembaca, maka pemikiran tersebut dikemukakan dengan jalinan kalimat yang logis. Berdasarkan pendapat di atas dapat disintesiskan bahwa argumentasi adalah tulisan atau karangan yang berisi gagasan atau pendapat penulis yang bertujuan untuk mempengaruhi seseorang agar pembaca yakin tentang kebenaran pendapat atau pernyataan penulis yang disertai dengan alasan maupun bukti yang kuat. Tujuan utama karangan argumentasi adalah mempengaruhi pembaca. Oleh karena itu tulisan yang dihasilkan dalam karangan ini berupa pikiran kritis dengan data maupun fakta untuk meyakinkan pembacanya.
22
Karangan argumentasi memiliki beberapa fungsi, hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Suparno dan Yunus (2008: 5.39) bahwa fungsi karangan argumentasi adalah; (1) membantah atau menentang suatu usul atau pernyataan tanpa berusaha meyakinkan atau memengaruhi pembaca untuk memihak, tujuan utamanya untuk menyampaikan suatu pandangan, (2) mengemukakan alasan atau bantahan sedemikian rupa untuk memengaruhi keyakinan pembaca agar menyetujui, (3) mengusahakan suatu pemecahan masalah, (4) mendiskusikan suatu persoalan tanpa perlu mencapai suatu penyelesaian. Karangan argumentasi berbeda dengan jenis karangan yang lain. Hal ini diungkapkan oleh Adian dan Herdito (2013: 18) yang menjelaskan bahwa argumentasi berbeda dengan eksplanasi. Argumentasi adalah upaya untuk mendemonstrasikan bahwa sesuatu itu benar, sementara eksplanasi berupaya untuk menunjukkan bagaimana sesuatu itu benar. Argumentasi juga berbeda dengan persuasi. Persuasi berupa upaya verbal atau nonverbal untuk mempengaruhi opini lewat kata-kata yang menyentuh ego, rasa bersalah, prasangka, keserakahan orang lain. Karangan argumentasi juga berbeda dengan karangan eksposisi. Hal ini diungkapkan oleh Semi (2007: 74) yang menjelaskan perbedaan tulisan argumentasi dibandingkan dengan tulisan eksposisi adalah: (1) argumentasi bertujuan untuk meyakinkan pembaca, sedangkan eksposisi bertujuan untuk memberikan informasi dan penjelasan; (2) argumentasi berusaha membuktikan kebenaran suatu pendapat atau pernyataan, sedangkan eksposisi hanya menjelaskan; (3) argumentasi berusaha mengubah pendapat atau pandangan pembaca, sedangkan eksposisi menyerahkan keputusan kepada pembaca; dan (4) argumentasi menampilkan fakta sebagai bahan pembuktian, sedangkan di dalam eksposisi, fakta ditampilkan sebagi alat mengkonkretkan. Karangan argumentasi memiliki ciri tersendiri dibandingkan dengan jenis karangan yang lainnya. Tulisan argumentasi selalu ditandai dengan adanya alasan dan bukti-bukti yang mendukung ide/gagasan terkait pendapat yang diajukan. Tulisan argumentasi merupakan tulisan yang terdiri atas paparan alasan dan penyintesisan pendapat untuk membangun kesimpulan (Suparno dan Yunus,
23
2008: 5.36). Sementara Finoza (2005: 249) mengungkapkan ciri dari karangan argumentasi adalah; (1) mengemukakan alasan atau bantahan sedemikian rupa dengan tujuan mempengaruhi keyakinan pembaca agar menyetujuinya, (2) mengusahakan pemecahan suatu masalah; dan (3) mendiskusikan suatu persoalan tanpa perlu mencapai suatu penyelesaian. Dalman (2014: 139) menjabarkan lebih rinci terkait ciri karangan argumentasi yaitu; (1) meyakinkan pembaca bahwa apa yang ditulis itu adalah benar adanya dan berdasarkan fakta; (2) meyakinkan pembaca agar argumen atau pendapat yang berdasarkan fakta atau data tersebut dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya; (3) menjelaskan pendapat, gagasan, ide, dan keyakinan penulis kepada pembaca; (4) menarik perhatian pembaca pada persoalan yang dikemukakan; (5) memerlukan analisis dan bersifat sistematis dalam mengolah data; (6) menggunakan fakta atau data yang berupa angka, peta, sistematik, gambar, dan sebagainya; (7) menyimpulkan data yang telah diuraikan pada pembahasan sebelumnya; dan (8) mendorong pembaca untuk berpikir kritis. Karangan argumentasi itu sendiri berupa fakta-fakta yang disusun secara logis dengan menggunakan pikiran kritis. Dengan demikian, tulisan argumentasi mempunyai hubungan yang sangat erat dengan fakta atau evidensi, penalaran, logika, dan berpikir kritis (Keraf, 2004: 4). Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disederhanakan bahwa ciri dari karangan argumentasi adalah dapat meyakinkan pembaca dengan cara memaparkan pendapat, ide, atau gagasan yang berlandaskan pada fakta maupun data. Karangan argumentasi memiliki dua bentuk, yaitu bentuk deduktif dan bentuk induktif (Jauhari, 2013: 64). Argumentasi berbentuk deduktif dimulai dari pernyataan atau pendapat tentang sesuatu kemudian dijelaskan dengan menggunakan data-data dan alasan-alasan yang rasional. Argumentasi berbentuk induktif dimulai dari mengungkapkan fakta dan alasan-alasan rasional kemudian disimpulkan.
24
Menulis argumentasi tidak bisa lepas dari unsur penulis itu sendiri. Agar menghasilkan tulisan argumentasi yang baik, Suparno dan Yunus (2008: 5.39) mengemukakan beberapa syarat untuk menulis argumentasi. Pertama, harus mampu berpikir kritis dan logis serta harus mau menerima saran dan pendapat orang lain sebagai bahan pertimbangan; kedua, harus memiliki pengetahuan dan pandangan yang luas tentang apa yang kita bicarakan. Kelogisan berpikir, keterbukaan sikap, dan keluasan pandangan memiliki peran besar untuk mengaruhi orang lain. Sementara itu syarat menulis argumentasi menurut Finoza (2005: 249) adalah penulisnya harus terampil dalam bernalar dan menyusun ide yang logis. Oleh karena itu, orang yang akan menulis argumentasi setidaknya memiliki pengetahuan, pikiran yang kritis, dan keterampilan menulis untuk menjadikannya sebuah karangan. Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan dalam menulis argumentasi. Dalman (2014: 140) mengemukakan langkah dalam menulis karangan argumentasi dengan lima langkah. Langkah pertama adalah menentukan topik atau tema. Langkah kedua adalah menetapkan tujuan. Ketiga adalah mengumpulkan data dari berbagai sumber. Keempat adalah menyusun kerangka karangan sesuai dengan topik yang dipilih, dan yang terakhir adalah mengembangkan karangan menjadi karangan argumentasi. Sementara itu, Semi (2007: 76-78) mengemukakan menulis argumentasi dengan tujuh langkah. Ketujuh langkah tersebut adalah; (1) mengumpulkan data dan fakta; (2) menentukan sikap atau posisi penulis; (3) menyatakan sikap penulis pada bagian awal; (4) mengembangkan argument dengan urutan yang jelas; (5) menguji argumentasi penulis dengan jalan mencoba mengandaikan diri berada pada posisi yang kotras; (6) hindari menggunakan kata atau istilah. Berdasarkan kedua pendapat di atas, maka dalam menulis karangan argumentasi setidaknya langkah yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut; (1) menentukan topik atau tema; (2) menetapkan tujuan dengan menentukan sikap atau posisi penulis; (3) mengumpulkan data dan fakta dari berbagai sumber; (4) menyusun dan mengembangkan karangan dengan urutan yang jelas; dan (5) menguji argumentasi penulis dengan memposisikan diri pada posisi yang kotras.
25
Berdasarkan pemaparaan di atas, maka dapat disintesiskan arti dari kompetensi menulis argumentasi adalah kecakapan yang dipersyaratkan dalam kegiatan menuangkan ide, gagasan, pikiran, melalui lambang tulisan yang bertujuan untuk mempengaruhi pembaca agar yakin tentang kebenaran pendapat atau pernyataan penulis. Kompetensi menulis argumentasi diukur menggunakan teknik tes. Pemilihan teknik ini didasarkan pada produk kompetensi berupa tulisan yang dapat dinilai dengan tes. Tes ini dilakukan dengan penugasan yaitu membuat karangan sehingga menghasilkan sebuah produk karangan. Siswa diberikan batasan-batasan tertentu dalam membuat karangan agar tugas dapat dikerjakan secara maksimal. Batasan dalam pembuatan karangan mencakup (1) tema karangan, (2) panjangnya karangan, (3) ragam bahasa yang digunakan, (4) ejaan, dan (5) waktu pengerjakan. Hasil produk karangan siswa selanjutnya diberikan penilaian sesuai dengan kriteria penilaian. Penilaian itu sendiri adalah suatu proses untuk mengukur kadar pencapaian tujuan (Nurgiyantoro, 2011: 12). Dalam dunia pendidikan, penilaian penting dilakukan setelah proses pembelajaran. Penilaian dilakukan untuk mengukur ketercapaian pembelajaran. Hasil penilaian untuk selanjutnya dijadikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Tujuan penilaian yang dilakukan oleh guru di sekolah adalah untuk mengukur ketercapaian kompetensi siswa dalam membuat karangan argumentasi sebagai kemajuan hasil belajar. Oleh karena itu penilaian yang dilakukan harus secara konsisten, sistematik, dan terprogram berdasarkan pada teknik dan jenis penilaian yang tepat. Djiwandono (2011: 122) mengungkapkan bahwa dalam penilaian karya tulis tidak hanya mementingkan penilaian dari segi aspek kebahasaan saja, melainkan juga perlu dipertimbangkan penilaian pada aspek gaya penuangan isi yang dijadikan pokok bahasan dalam kegiatan menulis (seperti naratif, deskriptif, ekspositori, argumentatif).Hal ini dikarenakan setiap jenis tulisan memiliki ciri yang menjadikan gaya dalam penulisannya juga dapat berbeda. Oleh karena itu, Djiwandono
membuat
ikhtisar
rincian
kemampuan
menulis
dengan
26
memperhatikan: (1) aspek isi yang relevan; (2) organisasi yang sistematis; dan (3) penggunaan bahasa yang baik dan benar. Hal ini pun sesuai dengan pendapat Nurgiyantoro (2011: 425) yang mengungkapkan bahwa dalam menilai tugas menulis harus mempertimbangkan unsur bentuk (kebahasaan), isi (pesan), dan ragam tulisan. Kebahasaan mencakup bahasa dan penggunaan ejaan, isi berkaitan dengan pesan yang ingin disampaikan penulis kepada pembaca, sementara bentuk berkaitan dengan jenis tulisan misalnya karangan argumentasi, eksposisi, persuasi dan sebagainya. Berdasarkan penjabaran di atas, maka dalam penilaian argumentasi setidaknya terdapat tiga hal yang perlu dinilai yaitu kebahasaan, isi, dan jenis tulisan. Kebahasaan mencakup ketepatan penggunaan bahasa dalam karangan. Bagian isi mencakup ketepatan isi karangan dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Jenis tulisan mencakup ketepatan tulisan terhadap jenis tulisan, misalnya karangan argumentasi, ekposisi, persuasi maupun jenis tulisan yang lain. Bagian penting dalam penilaian tersebut untuk selanjutnya dikembangkan menjadi rubrik penilaian dengan memuat aspek-aspek yang dinilai. Rubrik penilaian penting untuk melakukan penilaian terhadap kompetensi menulis argumentasi. Rubrik adalah perangkat pemberian skor yang secara eksplisit menyatakan kinerja yang diharapkan bagi tugas-tugas yang diberikan atau bagi suatu hasil karya para siswa (Basuki, 2014: 88). Pemberian skor melalui rubrik tersebut yang kemudian dikembangkan menjadi rubrik penilaian. Rubrik penilaian produk argumentasi mencakup indikator-indikator dalam penulisan argumentasi. Rubrik penilaian dibuat dengan mengacu pada aspek penilaian karangan argumentasi. Pada masing-masing aspek diberi rentang skor sesuai dengan bobot kriteria yang dinilai. Semakin utama kriteria yang dinilai, maka semakin banyak skor yang diberikan. Nurgiyantoro (2011: 440) memberikan rubrik penilaian menulis dengan memperhatikan aspek yang dinilai berupa: (1) isi gagasan yang dikemukakan dengan rentang skor 13-20; (2) organisasi isi dengan rentang skor 7-20; (3) tata bahasa dengan rentang skor 5-25; (4) gaya: pilihan struktur dan kosakata dengan
27
rentang skor 7-15; dan (5) ejaan dan tata tulis dengan rentang skor 3-10. Total skor tertinggi yang didapat adalah 100. Sementara itu, Sudaryanto (2005: 164) membuat ruprik penilaian kompetensi menulis dengan uraian aspek penilaian yang rinci. Aspek penilaian terbagi dalam tiga bagian, yaitu pratulis/ persiapan menulis, penilaian umum, dan kebahasaan/ teknik. Aspek yang terdapat pada bagian pratulis mencakup keseriusan dalam persiapan menulis, pencarian sumber bacaan, dan penentuan tema/ topik. Aspek yang terdapat pada bagian penilaian umum mencakup gagasan, pengorganisasian ide/ gagasan, pilihan kata, aroma (bumbu karangan). Sementara aspek yang terdapat dalam bagian kebahasaan/ teknik mencakup (1) pemakaian kata, frase, dan kalimat; (2) penulisan huruf, angka, kata (ejaan); (3) Penerapan tanda baca tulisan (format). Djiwandono (2011: 61) memberikan kriteria penilaian dengan lebih rinci dan lebih mendalam. Dalam penilaian tersebut, setidaknya terdapat lima komponen yang dinilai dalam penilaian karya tulis, yaitu: isi, organisasi, tata bahasa, kosakata, serta ejaan dan teknik penulisan. Kelima komponen tersebut kemudian
diberi
rentang
skor
dengan
mempertimbangkan
indikator
pencapaiannya. Masing-masing komponen terdapat rentang mutu amat baik, cukup, kurang, dan amat kurang. Rentang mutu tersebut kemudian menjadi indikator rentang skor dimana semakian baik rentang mutu yang didapatkan akan semakin tinggi skor yang didapat. Pemilihan dalam menentukan rentang mutu tersebut berdasarkan indikator-indikator yang telah dijabarkan pada masingmasing komponen. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dalam menilai karya tulis argumentasi setidaknya ada lima aspek yang perlu dinilai yaitu isi, organisasi, tata bahasa, gaya tulisan, ejaan dan teknik penulisan. Kelima aspek tersebut untuk selanjutnya dikembangkan menjadi rubrik penilaian dengan memperhatikan rentang skor, pembobotan, dan kriteria pada masing-masing aspek.
28
Berdasarkan teori-teori yang dikemukakan di atas, maka dapat disintesiskan pengertian kompetensi menulis argumentasi. Kompetensi menulis argumentasi adalah kecakapan atau kemampuan seseorang berdasarkan kriteria tertentu yang dipersyaratkan dalam menuangkan ide gagasannya dengan tujuan meyakinkan atau mempengaruhi pembaca yang dilandasi dengan data maupun fakta yang kuat. Indikator kompetensi menulis argumentasi berdasarkan teori yang telah diuraikan di atas adalah: (1) isi, yaitu adanya kesesuaian antara topik tulisan dengan jenis tulisan yang dikembangkan, dalam hal ini adalah karangan argumentasi; (2) organisasi isi, berkaitan dengan pengembangan gagasan yang diungkapkan secara kohesif maupun koherensif; (3) tata bahasa, yaitu berkaitan dengan ketepatan penggunaan struktur kalimat; (4) diksi, yaitu berkaitan dengan ketepatan pemilihan kata; dan (5) ejaan dan teknik penulisan, yaitu berkaitan dengan ketepatan penggunaan ejaan dan tata tulis dengan EyD dalam isi gagasan. 2. Hakikat Pemahaman Aspek-aspek Komposisi Pemahaman sering diartikan sebagai masalah penafsiran (interpretation) dan harapan (expectancy).Pemahaman ini menjadi sebuah kemampuan yang ada dalam diri manusia. Kemampuan pemahaman dalam diri manusia berkaitan dalam menerjemahkan, menafsirkan, menentukan, memahami, mengartikan, maupun menginterprestasi. Oleh karena itu, pemahaman menjadi hal yang penting dalam diri manusia. Menurut Bloom (dalam Winkel, 2009: 274) pemahaman mencakup kemampuan untuk menangkap makna dan arti dari bahan yang dipelajarinya. Ini artinya bahwa orang yang paham adalah orang yang bisa memahami makna dan mengerti dari apa yang dipelajarinya. Di dalam dirinya sudah ada pemahaman konsep yang terbentuk melalui penangkapan makna dan arti dari sumber yang dipelajari. Akan tetapi ketika seseorang dites dan dapat menjawab benar dari tes tersebut belum tentu menjadi bukti bahwa seseorang sudah paham. Permasalahan seperti itu dapat terjadi karena suatu kebetulan saja. Sudjana (2014: 24) membedakan pemahaman menjadi tiga kategori. Kategori terendah adalah pemahaman terjemahan, dimana pada tataran ini seseorang menerjemahkan dalam arti yang sesungguhnya. Kedua adalah
29
pemahaman penafsiran, yakni menghubungkan bagian-bagian terdahulu dengan yang diketahui berikutnya. Sementara kategori ketiga adalah pemahaman tingkat tinggi, yaitu pemahaman ekstrapolasi dimana pada pemahaman ini seseorang dituntut mampu memahami apa yang ada di balik yang tertulis. Memahami aspek komposisi dalam menulis berarti mengerti dengan jelas mengenai kebenaran maupun kesalahan, serta susunan maupun unsur yang membangun sebuah tulisan. Selain itu memahami juga berarti mampu mengembangkan maupun menyesuaikan tulisan menjadi bentuk lain tanpa mengubah maksud dari tulisan sebelumnya. Oleh karena itu, memahami suatu hal diperlukan kemampuan dalam mengidentifikasi objek yang dipahami. Salah satu pemahaman yang dibutuhkan adalah pemahaman dalam bidang komposisi. Aspek komposisi yang dikaji adalah aspek-aspek komposisi menulis. Saddono dan Slamet (2014: 155) mengatakan bahwa karangan atau tulisan yang tersusun dengan baik selalu mengandung tiga unsur/bagian utama, yaitu bagian pendahuluan (introduksi), isi tulisan (bodi), dan penutup (konklusi). Sementara itu Finoza (2008: 203) menjelaskan dalam sebuah karangan terdiri dari beberapa alenia.
Alenia
tersebut
dikategorikan
menjadi
alenia
pembuka,
alenia
pengembang, dan alenia penutup. Senada dengan kedua pendapat di atas, Keraf (2001: 104-107) menyatakan bahwa menulis argumentasi harus sesuai dengan prinsip umum sebuah komposisi, yaitu: (1) pendahuluan; (2) tubuh argumen; (3) kesimpulan dan ringkasan. Berdasarkan pendapat di atas, maka sebuah karangan argumentasi tersusun atas bagian pendahuluan, isi, dan kesimpulan. Pendahuluan bertujuan untuk menghantar pokok pembicaraan, menarik perhatian pembaca, maupun menyiapkan pembaca untuk mengetahui isi seluruh karangan. Di dalam pendahuluan harus mengandung cukup banyak bahan untuk menarik perhatian pembaca dan memperkenalkan kepada pembaca tentang faktafakta yang digunakan untuk memahami tulisannya. Isi karangan berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan bagian pendahuluan dan penutup. Pada bagian isi, suatu karangan dapat dikembangkan dengan mengemukakan inti persoalan maupun memberikan ilustrasi dan contoh.
30
Isi yang dikembangkan harus memperhatikan pendahuluan sebagai dasar dari pengembangan isi, dan harus memperhatikan kesimpulan yang akan ditulisnya. Kesimpulan berada pada bagian akhir dari sebuah karangan. Kesimpulan dapat berupa pernyataan kembali untuk memperjelas maksud penulis. Kesimpulan juga dapat berupa suatu ringkasan dari pokok-pokok permasalahan yang penting sesuai dengan pembahasan sebelumnya. Berdasarkan data di atas dapat disintesiskan bahwa komposisi adalah sebuah susuan atau aturan dalam menulis karangan, sehingga tulisan menjadi baik dan benar. Saat menulis, siswa biasanya hanya terfokus pada isi karangan tanpa memperhatikan aturannya. Aturan menulis karangan ini penting karena tulisan yang sesuai dengan aturannya akanmemudahkan pembaca untuk memahami apa yang ingin dikemukakan penulis. Pada pembahasan mengenai pemahaman aspek komposisi ini membahas aspek komposisi menulis argumentasi. Nurjamal (2014: 72) mengungkapkan bahwa kegiatan menulis merupakan kegiatan yang sangat kompleks. Ada beberapa faktor yang harus terwujud dalam sebuah tulisan, diantaranya adalah sistematika penulisan, ejaan, dan diksi. Begitu kompleksnya kegiatan menulis, maka Nurjamal mengungkapkan pentingnya penulis memiliki pengetahuan teoretis. Ada beberapa kriteria yang dapat digunakan sebagai acuan dalam membuat karangan. Dalman (2014: 100) mengungkapkan kriteria tersebut adalah: (1) tema; (2) ketepatan isi dalam paragraf; (3) kesatuan isi dengan judul; (4) ketepatan susunan kalimat; dan (5) ketepatan penggunaan ejaan. Sementara itu Saddhono dan Slamet (2014: 176) menyatakan syarat dalam penyusunan tulisan yaitu ejaan, diksi, struktur kalimat, dan struktur paragraf. Merujuk dari kedua pendapat tersebut, dapat diketahui aspek komposisi dari menulis argumentasi adalah (1) struktur paragraf, (2) struktur kalimat, (3) diksi, dan (4) ejaan. Paragraf merupakan sekumpulan kalimat yang dirangkai atau dihubungkan sehingga membentuk suatu gagasan tertentu (Rohmadi dkk, 2014: 78). Menurut Finoza (2008: 189) paragraf adalah bentuk bahasa yang pada umumnya merupakan gabungan beberapa kalimat. Sementara Dalman (2014: 54) mengartikan paragraf sebagai rangkaian dari beberapa kalimat dan harus memiliki
31
kesatuan gagasan yang diungkapkannya sehingga pembacanya mudah memahami maksud dari tulisan atau informasi yang ada. Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa paragraf adalah rangkaian beberapa kalimat yang membentuk kesatuan gagasan. Gagasan dalam paragraf harus menyatakan kesatuan agar ide gagasan dapat dengan jelas dipahami oleh pembaca. Oleh karena itu, dengan kata lain bahwa dalam setiap paragraf hanya terdapat satu ide pokok saja. Dilihat dari posisi kalimatnya, paragraf dapat dibagi menjadi empat, yaitu paragraf deduktif, induktif, deduktif-induktif, dan paragraf penuh kalimat topik (Finoza, 2008: 198). Paragraf deduktif merupakan paragraf yang menyajikan pokok permasalahan terlebih dahulu baru kemudian diikuti rincian permasalahan sebagai kalimat pendukung. Paragraf induktif menyajikan kalimat penjelas terlebih dahulu kemudian diikuti dengan pokok permasalahan alenia. Paragraf deduktif-induktif atau yang biasa dikenal dengan paragraf campuran merupakan paragraf dimana kalimat pokok berada pada awal dan akhir paragraf. Sementara paragraf penuh kalimat topik adalah paragraf yang semua kalimat pembentuk kalimatnya berupa kalimat topik sehingga ide pokok menyebar pada semua kalimat. Berdasarkan fungsinya, kalimat yang membangun sebuah paragraf ada dua, yaitu kalimat pokok dan kalimat penjelas (Finoza, 2008: 191). Kalimat pokok adalah kalimat yang berisi ide pokok. Kalimat yang membentuk paragraf tersebut merupakan kalimat yang dapat berdiri sendiri dan mempunyai arti yang cukup jelas tanpa harus dihubungkan dengan kalimat lain. Kalimat tersebut mengandung permasalahan yang berpotensi untuk dirinci dan diuraikan lebih lanjut. Sementara kalimat penjelas adalah kalimat yang berfungsi menjelaskan ide utama paragraf. Kalimat tersebut tidak dapat berdiri sendiri dan terkadang maknanya terlihat jelas jika sudah dihubungkan dengan kalimat yang lain. Kalimat penjelas berisi rincian, keterangan, contoh, dan data tambahan yang mendukung kalimat topik. Syarat dalam membentuk suatu paragraf dapat ditandai dengan adanya kesatuan dan kepaduan (Finoza, 2008: 193). Kesatuan dan kepaduan harus ada dalam sebuah paragraf. Kesatuan dan kepaduan akan memperjelas gagasan dalam
32
sebuah paragraf. Selain itu, sebuah paragraf juga dikatakan baik jika memiliki persyaratan kesatuan, koherensi, kecukupan pengembangan, dan adanya susunan yang berpola (Semi, 2007: 92). Sementara itu, Rohmadi (2014: 88) memberikan syarat paragraf yang baik jika memenuhi unsur kesatuan, kepaduan, dan kelengkapan. Syarat tersebut dapat menjadi salah satu aspek dari komposisi yang membangun karangan. Berdasarkan pendapat tersebut, maka paragraf dikatakan baik jika memenuhi unsur kesatuan, dan kepaduan. Unsur kesatuan atau biasa disebut kohesi dalam paragraf akan membentuk paragraf yang baik karena maksud yang ingin disampaikan penulis dapat disampaikan secara jelas. Hal ini sesuai dengan pendapat Keraf (2004: 74) yang menyatakan bahwa paragraf dikatakan memiliki kesatuan jika semua kalimat yang membina paragraf itu secara bersama-sama menyatakan suatu hal, atau suatu tema tertentu.Diungkapkan lebih lanjut bahwa kesatuan sebuah paragraf sebenarnya bisa mengandung beberapa hal atau beberapa perincian, akan tetapi paragraf tersebut akan membentuk kesatuan manakala unsur tadi secara bersama-sama dikembangkan untuk menunjang sebuah maksud tunggal atau sebuah tema tunggal. Selain unsur kohesi atau kesatuan, hal lain yang perlu diperhatikan adalah unsur koherensi atau kepaduan. Unsur koherensi akan terbentuk jika kalimat yang membentuknya berjalan baik, lancar, logis, dan adanya unsur timbal-balik. Hal ini sesuai dengan pendapat Keraf (2004: 84) yang menyatakan bahwa kepaduan yang baik itu terjadi apabila hubungan timbal balik antara kalimat-kalimat yang membina paragraf itu baik, wajar, dan mudah dipahami tanpa kesulitan. Artinya bahwa, ketika sebuah tulisan mengandung unsur kesatuan maka pembaca akan dapat dengan mudah mengikuti jalan pikiran penulis tanpa mengalami kesulitan atau tidak menemukan loncatan pikiran penulis yang membingungkan. Sebuah tulisan dapat dikatakan kohesi dan koherensi dengan melalui beberapa upaya, antara lain; (1) pasangan yang berdekatan; (2) penafsiran lokal; (3) prinsip analogi; dan (4) pentingnya konteks (Djayasudarma, 2010: 45). Tulisan dibentuk melalui unsur-unsur yang saling berhubungan agar membentuk wacana yang satu dan padu. Unsur wacana juga harus memperhatikan penanda hubungan
33
ekplisit. Wacana dengan unsur kesatuan yang baik akan menjadi isyarat unsur kepaduan yang baik. Kohesi dan koherensi umumnya berhubungan, namun tidak berarti bahwakohesi selalu ada agar wacana menjadi koherensi, mungkin dari segi pengulangan leksikal seolah-olah kohesi, tetapi dari segi maknanya tidak koherensif atau sebaliknya (Djayasudarma, 2010: 45). Selain kohesi dan koherensi, kalimat menjadi hal yang penting diperhatikan dalam menyusun karangan. Finoza (2008: 149) mengatakan bahwa kalimat merupakan primadona dalam sebuah bahasa. Hal ini dikarenakan melalui kalimat seseorang dapat menyampaikan maksudnya secara lengkap dan jelas. Lebih jauh Finoza menjelaskan beberapa unsur dalam struktur kalimat yaitu subjek (S), predikat (P), objek (O), pelengkap (Pel), dan keterangan (Ket). Dalam kalimat bahasa Indonesia baku sekurang-kurangnya harus terpenuhi unsur sebuah kalimat yakni S dan P. Keraf (2004: 38) mengungkapkan bahwa kalimat merupakan suatu bentuk bahasa yang mencoba menyusun dan menuangkan gagasan-gagasan seseorang secara terbuka untuk dikomunikasikan dengan orang lain. Agar komunikasi tersebut berjalan dengan lancar, maka kalimat yang disusun harus mampu mewakili dengan tepat isi pikiran dari penulis. Kalimat yang memiliki kemampuan atau tenaga untuk menimbulkan kembali gagasan-gagasan pada pikiran pendengar atau pembaca dengan identik dengan apa yang dipikirkan pembicara atau penulis yang kemudian oleh Keraf (2004: 40) disebut sebagai kalimat efektif. Hal ini selaras dengan pendapat Soedjito (2012: 149) yang mengemukakan bahwa kalimat efektif adalah kalimat yang dapat mengungkapkan gagasan pemakainya secara tepat dan dapat dipahami secara tepat pula. Soedjito (2012: 149) menjelaskan ciri-ciri dari kalimat efektif. Ciri tersebut adalah (1) lengkap, artinya kalimat yang membentuknya memiliki unsur syarat pembentukan kalimat yaitu subjek predikat; (2) logis, yaitu kalimat yang hubungan unsur-unsurnya mempunyai hubungan yang bernalar (masuk akal); (3) serasi, yaitu unsur-unsurnya baik bentuk maupun maknanya memiliki keserasian/ kesesuaian; (4) padu, yaitu bahwa kalimat fungsi unsur-unsurnya bertautan secara
34
utuh dan jelas; (5) hemat, yaitu kalimat yang membentuknya memiliki unsurunsur yang tidak mubazir (berlebih); (6) cermat, yaitu bahwa kalimat tersebut memiliki struktur teratur dan sesuai dengan kaidah kalimat yaitu urutan, bentuk kata, kata tugas, maupun intonasi; (7) tidak taksa, yaitu kalimat tersebut tidak memiliki makna lebih dari satu; (8) tidak rancu, yaitu tidak terjadi kesalahan dalam penggabungan kalimat; (9) bervariasi, yaitu terjadi variasi bahasa terkait struktur yang berbeda akan tetapi memiliki makna yang relatif sama. Ada beberapa faktor yang menyebabkan kalimat tidak efektif. Putrayasa (2014: 101) mengungkapkan faktor yang menyebabkan sebuah kalimat tidak efektif adalah (1) kontaminasi atau kerancuan; (2) pleonasme; (4) ambiguitas; (5) kemubadziran; (6) kesalahan logika; (7) ketidak tepatan penggunaan makna; (8) ketidak tepatan makna kata; (9) pengaruh bahasa daerah; (10) pengaruh bahasa asing. Agar tercipta kalimat yang efektif, maka syarat pembentukan kalimat efektif harus diperhatikan. Keraf (2004: 40) mengungkapkan terdapat dua syarat utama agar tercipta kalimat yang efektif. Kedua syarat tersebut yang pertama adalah harus secara tepat dapat mewakili gagasan atau perasaan pembicara atau penulis, dan yang kedua adalah sanggup menimbulkan gagasan yang sama tepatnya dalam pikiran pendengar atau pembaca seperti yang dipikirkan oleh pembicara atau penulis. Kedua syarat tersebut akan menghindarkan penulis dari kesalahpahaman dengan pembaca. Sementara itu dijelaskan lebih lanjut bahwa selain kedua syarat di atas, terdapat syarat lain dalam pembentukan kalimat efektif. Syarat tersebut diantaranya adalah kesatuan gagasan, koherensi yang kompak, penekanan, variasi, paralelisme, dan penalaran. Tidak jauh berbeda dengan pendapat Keraf, Putrayasa (2014: 47) juga mengungkapkan bahwa syarat kalimat efektif mencakup struktur kalimat umum, kalimat paralel, kalimat periodik, dan yang kedua adalah mencakup ciri yaitu kesatuan, kehematan, penekanan, dan kevariasian. Sama halnya dengan Finoza (2008: 172) yang mengemukakan kalimat akan efektif jika memiliki syarat kesatuan; kepaduan; keparalelan; ketepatan; kehematan; dan kelogisan.
35
Sesuai dengan uraian di atas, maka dikatakan bahwa kalimat menjadi efektif jika kalimat tersebut mampu menyampaikan gagasan dari penulis kepada pembaca dengan tepat. Oleh karena itu, kalimat tersebut harus memiliki unsur (1) kesatuan; (2) kepaduan; (3) keparalellan; (4) ketepatan; (5) kehematan; dan (6) kelogisan. Sebuah kalimat dikatakan memiliki unsur kesatuan jika dalam sebuah kalimat hanya memiliki satu maksud utama, dan maksud tersebut dapat dipahami secara jelas oleh pembaca. Kalimat dikatakan padu jika kalimat tersebut saling memiliki hubungan antara unsur-unsur pembentuk kalimat. Kalimat yang parallel adalah terdapatnya unsur-unsur yang sama derajatnya, sama pola atau susunan kata dan frasa yang dipakai di dalam kalimat. Kalimat dikatakan tepat jika terdapat kesesuaian pemakaian unsur-unsur yang membentuk suatu kalimat sehingga tercipta pengertian yang bulat. Kalimat yang hemat adalah adanya upaya menghindari pemakaian kata yang tidak perlu. Sementara kelogisan kalimat adalah terdapatnya arti kalimat yang logis/ masuk akal. Berdasarkan teori yang dikemukakan di atas bahwa kalimat efektif dapat diartikan sebagai kalimat yang mampu menyampaikan gagasan dengan tepat. Kalimat tersebut dapat mewakili gagasannya kepada pembaca dengan menggunakan kata yang cukup dan tepat tanpa adanya penafsiran lain. Dalam menulis juga harus memperhatikan diksi atau pilihan kata yang akan digunakan dalam tulisan. Kata menjadi hal yang penting karena memperjelas makna dan mempermudah pembaca memahami bacaannya. Menurut Putrayasa (2014: 7) pemilihan diksi hendaknya memenuhi isoformisme, yaitu kesamaan makna karena kesamaan pengalaman masa lalu atau adanya kesamaan struktur kognitif. Isoformisme terjadi manakala komunikasi yang terjalin antara penutur dan lawan tutur maupun penulis dan pembaca berasal dari budaya, status sosial, maupun ideologi yang sama. Cara tersebut akan mempermudah pemahaman dari pendengar maupun pembaca. Lebih lanjut Putrayasa (2014: 8) menjelaskan ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemilihan diksi. Hal tersebut adalah (1) pemakaian kata bersinonim maupun berhomofon. Sebuah kata bisa saling menggantikan akan tetapi ada juga yang tidak bisa. Makna dari kata itu sendiri harus diperhatikan agar
36
dalam pemilihan kata tidak terjadi kesalahan, karena kata yang memiliki makna sinonim belum tentu dalam diterapkan dalam kalimat yang sama; (2) pemakaian kata bermakna konotasi dan denotasi. Pilihan kata ini berkaitan dengan makna konseptual atau sesuai dengan makna harfiahnya yang kemudian dikenal dengan makna denotasi, serta kata yang memililiki nilai maupun rasa yang kemudian dikenal dengan makna konotasi. Kata ini harus digunakan secara tepat agar maksud maupun nilai yang terkandungnya tidak rusak; (3) pemakaian kata umum dan khusus. Kata umum memberikan gambaran yang kurang jelas, sementara kata khusus memberikan makna yang lebih spesifik dan lebih jelas. Penggunaan kata umum maupun kata khusus disesuaikan dengan cakupan maupun tujuan penulisan; (4) pemakaian kata-kata atau istilah asing. Penggunaan kata ini memang sebaiknya dihindari karena memungkinkan pembaca kurang memahami maksud yang ingin disampaikan penulis; (5) pemakaian kata abstrak dan konkret, pemilihan kata ini sesuai dengan tujuan penulisan. Jika seseorang ingin mendeskripsikan suatu fakta, lebih tepat menggunakan kata konkret. Akan tetapi jika ingin mengklasifikasi, maka lebih tepatnya menggunakan kata abstrak; (6) pemakaian kata populer dan kata kajian. Kata populer akan memudahkan maksud tersampaikan karena makna kata dimungkinkan lebih dapat dipahami daripada kata kajian. Penggunaan kata populer dan kata kajian akan mempengaruhi pemahaman dari pembaca; (7) pemakaian kata jargon, kata percakapan, dan kata slank, artinya pemilihan kata harus disesuaikan dengan maksud maupun situasi karena bahasa memiliki berbagai ragam bahasa diantaranya bahasa jargon, percakapan, maupun slang; (8) bahasa prokem. Penggunaan bahasa ini memugkinkan orang yang tidak mengalami perkembangan bahasa pada masanya akan mengalami kesulitan dalam memahami maksudnya. Bahasa prokem itu sendiri bahasa yang digunakan sekelompok orang dalam masa tertentu. Oleh karena itu, dalam pemilihan diksi perlu dipertimbangan penggunaan bahasa prokem ini. Selain diksi, ejaan menjadi salah satu komposisi penting dalam karangan. Ejaan merupakansuatu peraturan dalam tata tulis bahasa Indonesia. Peraturan tersebut perlu ditaati agar tercipta keteraturan dan keseragaman bentuk. Ejaan
37
adalah seperangkat aturan tentang cara menuliskan bahasa dengan menggunakan huruf, kata, dan tanda baca sebagai sarananya (Finoza, 2008: 19). Putrayasa
(2014:
21)
memberikan
ruang
lingkup
Ejaan
yang
Disempurnakan (EyD) menjadi tiga hal, yaitu penulisan huruf, penulisan kata, dan penggunaan tanda baca. Penulisan huruf meliputi penulisan huruf kapital dan penulisan huruf miring. Sementara itu, dalam penulisan kata mencakup kata turunan, kata depan, partikel, kata bilangan, kata ganti, ungkapan idiomatik, dan ungkapan penghubung. Penggunaan tanda baca mencakup penggunaan tanda titik, tanda koma, tanda titik koma, tanda tanya, tanda seru, tanda kurung, tanda garis miring, tanda petik ganda, tanda pisah, tanda kurung ellipsis, tanda kurung siku, tanda petik tunggal, tanda ulang, dan tanda penyingkat. Sementara Finoza (2008: 20) membagi ruang lingkup EyD menjadi lima, yaitu (1) pemakaian huruf; (2) penulisan huruf; (3) penulisan kata; (4) penulisan unsur serapan; dan (5) pemakaian tanda baca. Pemakaian huruf membicarakan masalah yang mendasari dari suatu bahasa. Penulisan huruf membicarakan jenis huruf yang dipakai. Penulisan kata membicarakan berbagai cara penulisan kata yang bermorfem tunggal dan yang bermorfem banyak beserta unsur-unsur kecil dalam bahasa. Penulisan unsur serapan membicarakan kaidah cara penulisan unsur serapan, terutama kata-kata yang berasal dari bahasa asing. Pemakaian tanda baca membicarakan penempatan tanda baca dalam penulisan. Berdasarkan uraian di atas, maka EyD sangat mempengaruhi kompetensi menulis argumentasi seseorang. Penulis yang hendak menulis karangan harus pula memperhatikan aturan EyD dalam tulisannya. Pemahaman aspek komposisi berperan penting agar tulisan yang dibuat menjadi baik. Pemahaman tersebut berperan penting dalam membuat karangan melalui rangkaian kalimat yang memiliki unsur kesatuan dan kepaduan dalam sebuah karangan, sehingga pemahaman aspek komposisi menjadi hal yang penting dalam membuat karangan. Berdasarkan teori yang telah dikemukakan di atas, maka hakikat pemahaman aspek-aspek komposisi adalah kemampuan seseorang dalam memahami unsur-unsur yang membentuk karangan. Indikator pemahaman aspek
38
komposisi berdasarkan konsep atau teori yang berkaitan dengan variabel penelitian tersebut adalah: (1) kohesi dan koherensi, yaitu pemahaman mengenai kesatuan dan kepaduan kalimat maupun paragraf yang tersusun dalam sebuah karangan; (2) struktur kalimat, yaitu pemahaman mengenai kalimat efektif yang tersusun dalam karangan; (3) diksi, yaitu berkaitaan dengan ketepatan pemilihan kata; dan (4) penggunaan ejaan, yaitu ketepatan dalam menggunaan ejaan sesuai dengan aturan yang berlaku. 3. Hakikat Sikap Siswa terhadap Bahasa Indonesia Istilah sikap (attitude) digunakan pertama kali oleh Herbert Spencer pada tahun 1962 yang pada saat itu diartikan sebagai status mental seseorang. Tahun 1888, istilah sikap digunakan kembali oleh Lange dalam bidang eksperimen mengenai respons untuk menggambarkan kesiapan subjek dalam menghadapi stimulus yang datang tiba-tiba (Alen, Guy, & Edley dalam Azwar, 2013: 3). Sikap menjadi salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam proses pembelajaran. Walgito (2003: 127) mengartikan sikap adalah organisasi pendapat, keyakinan seseorang mengenai objek atau situasi yang relatif ajeg, yang disertai dengan adanya perasaan tertentu, dan memberikan dasar kepada orang tersebut untuk membuat respons atau berperilaku dalam cara tertentu yang dipilihnya. Pernyataan ini sejalan dengan pendapat Syah (2013: 132) yang mengartikan sikap sebagai gejala internal yang berdimensi afektif berupa kecenderungan untuk mereaksi atau merespon (response tendency) dengan cara yang relatif tetap terhadap objek orang, barang, dan sebagainya, baik secara positif maupun negatif. Respon positif pada diri seseorang akan membentuk rasa senang, sementara respon negatif akan membentuk rasa tidak senang (Sarwono, 2010: 201). Perasaan senang, tidak senang, bahkan perasaan netral kemudian akan mempengaruhi sikap seseorang. Oleh karena itu Sarwono mengartikan sikap sebagai cerminan dari rasa senang, tidak senang atau perasaan biasa-biasa saja (netral) dari seseorang terhadap sesuatu. Sementara itu, Andayani (2015: 77) mengartikan sikap sebagai fenomena kejiwaan, yang biasanya termanifestasikan dalam bentuk tindakan atau perilaku. Karena sikap sebagai fenomena kejiwaan, maka sikap tidak dapat diamati secara
39
langsung dan hanya bisa dilihat melalui perilaku. Pendapat tersebut diperkuat oleh Djaali (2014: 114) yang mengungkapkan bahwa sikap bukan tindakan nyata (overt behavior) melainkan sikap tertutup (covert behavior).Ini berarti bahwa sikap itu berkaitan dengan perasaan dalam diri seseorang mengenai suatu objek, bukan berupa tindakan nyata yang dapat diamati secara langsung. Misalnya saja perasaan menyukai atau tidak menyukai, menyetujui maupun tidak menyetujui. Perasaan tersebut yang kemudian akan membentuk sikap seseorang. Pendapat lain mengenai sikap dikemukakan oleh Sumarsono (2002: 359) yang mengartikan sikap sebagai keadaan seseorang terhadap stimulus, bukan sebagai respon tingkah laku yang dapat diamati. Pendapat Sumarsono memberikan batasan yang jelas bahwa sikap berbeda dengan perbuatan. Meskipun demikian, sikap memiliki hubungan yang erat dengan perbuatan. Perbuatan seseorang bisa saja terpengaruhi oleh sikap, akan tetapi tidak semua perbuatan seseorang mencerminkan sikapnya. Misalnya saja, ketika seseorang menangis maka belum tentu dia menangis karena sedih. Orang bisa saja menangis karena terharu
maupun
terlalu
bahagia.
Meskipun
perilaku
tidak
sepenuhnya
mencerminkan sikap, akan tetapi perilaku seseorang dapat memberikan peramalan akan sikap. Artinya, ketika ada seseorang yang menangis ada kemungkinan kalau dia sedang sedih. Secord&Backman (dalam Saifudin Azwar, 2013: 5) menyatakan bahwa sikap merupakan konstelasi komponen-komponen kognitif (pemikiran), afektif (perasaan), dan konatif (tindakan) yang saling berinteraksi dalam memahami, merasakan, dan berperilaku terhadap suatu objek. Sementara itu Mar’at (1984: 20) merangkum perumusan mengenai sikap secara umum sebagai berikut: (1) attitudes are learned, yang berarti sikap dipandang sebagai hasil belajar lingkungan; (2) attitudes have referent, yang berarti sikap selalu dihubungkan dengan objek seperti manusia, wawasan, peristiwa atau ide; (3) attitudes are social learnings, yang berarti sikap diperoleh dalam interaksi dengan manusia lain, baik di rumah, sekolah, tempat ibadah ataupun tempat lainnya melalui nasihat, teladan atau percakapan; (4) attitudes have readiness to respond, yang berarti adanya kesiapan untuk bertindak dengan
40
cara-cara tertentu terhadap objek; (5) attitudes are affective, yang berarti bahwa perasaan dan afeksi merupakan bagian dari sikap, akan tampak pada pilihan yang bersangkutan, apakah positif, negatif atau ragu; (6) attitudes are very intensive, yang berarti bahwa tingkat intensitas sikap terhadap objek tertentu kuat atau lemah; (7) attitudes have a time dimension, yang berarti bahwa sikap tersebut mungkin hanya cocok pada situasi yang sedang berlangsung, akan tetapi belum tentu sesuai pada saat lainnya. Karena itu sikap dapat berubah tergantung situasi; (8) attitudes have duration factor, yang berarti bahwa sikap dapat bersifat relatif “consitent” dalam sejarah hidup individu; (9) attitudes are complex, yang berarti bahwa sikap merupakan bagian dari konteks persepsi ataupun kognisi individu; (10) attitudes are evaluations, yang berarti bahwa sikap merupakan penilaian terhadap sesuatu yang mungkin mempunyai konsekuensi tertentu bagi yang bersangkutan; (11) attitudes are inferred, yang berarti bahwa sikap merupakan penafsiran dan tingkah laku yang mungkin menjadi indikator yang sempurna, atau bahkan yang tidak memadai. Sikap memiliki hubungan erat dengan kebiasaan. Sumarsono (2002: 361) menjelaskan bahwa sikap dan kebiasaan sama-sama dibentuk melalui pengalaman sepanjang sejarah perkembangan hidup seseorang dalam kaitannya dengan objek tertentu. Akan tetapi, sikap berbeda dengan kebiasaan tingkah laku karena kebiasaan cenderung terjadi secara otomatis. Agar dapat membedakan antara sikap dari pengertian yang lain, ada beberapa ciri sikap yang dikemukakan oleh Walgito (2003: 131) yaitu: (1) sikap itu tidak dibawa sejak lahir; (2) sikap itu tidak selalu berhubungan dengan objek sikap; (3) sikap dapat tertuju pada satu objek saja, tetapi juga dapat tertuju pada sekumpulan objek-objek; (4) sikap itu dapat berlangsung lama dan sebentar; (5) sikap itu mengandung faktor perasaan dan motivasi. Sikap tidak dibawa sejak lahir, artinya bahwa manusia pada waktu dilahirkan belum membawa sikap tertentu terhadap suatu objek. Karena sikap tidak dibawa individu sejak dilahirkan, hal ini berarti sikap itu terbentuk dalam perkembangan individu yang bersangkutan. Oleh karena sikap-sikap itu terbentuk atau dibentuk, maka sikap itu dapat dipelajari sehingga sikap tersebut dapat
41
berubah. Walaupun demikian, sikap itu mempunyai kecenderungan adanya sifat yang agak stabil dan memungkinkan untuk mengalami perubahan. Berkaitan dengan hal tersebut, maka faktor pengalaman mempunyai peranan yang amat penting dalam rangka pembentukan sikap. Sikap itu tidak selalu berhubungan dengan objek sikap. Sikap berhubungan dengan objek, ini artinya bahwa sikap selalu terbentuk dalam hubungannya dengan objek tertentu, yaitu melalui proses persepsi terhadap objek tersebut. Hubungan yang positif atau negatif antara individu dengan objek tertentu, akan menimbulkan sikap tertentu pula dari individu terhadap objek tersebut. Sikap dapat tertuju pada satu objek saja, tetapi juga dapat tertuju pada sekumpulan objek-objek. Bila seseorang mempunyai sikap tidak senang terhadap objek tertentu, maka ia akan menunjukkan sikap tidak senang pula terhadap objek itu. Begitupun sebaiknya, jika seseorang mempunyai sikap tidak senang pada seseorang terhadap suatu kelompok, maka ia akan mempunyai kecenderungan untuk menunjukkan sikap yang tidak menyenangkan pula kepada kelompok seseorang tersebut. Sikap itu dapat berlangsung lama dan sebentar. Bila suatu sikap telah terbentuk dan telah menjadi nilai dalam kehidupan seseorang, secara relatif, sikap itu akan lama bertahan dalam diri orang yang bersangkutan. Sikap tersebut akan sulit berubah, dan kalaupun berubah akan memerlukan waktu yang relatif lama. Tetapi sebaiknya, bila sikap itu belum begitu mendalam ada dalam diri seseorang, maka sikap tersebut secara relatif tidak bertahan lama, dan sikap tersebut akan mudah berubah. Sikap itu mengandung faktor perasaan dan motivasi. Sikap terhadap suatu objek tertentu akan selalu diikuti oleh perasaan tertentu yang bersifat positif atau menyenangkan, tetapi juga dapat bersifat negatif atau tidak menyenangkan. Di samping itu, sikap juga mengandung motivasi yang berarti bahwa sikap itu mempunyai daya dorong bagi individu untuk berperilaku secara tertentu terhadap objek.
42
Berdasarkan uraian dari para ahli di atas, dapat disintesiskan bahwa sikap adalah peristiwa kejiwaan yang dapat mempengaruhi reaksi individu terhadap cara yang disukai atau tidak disukai terhadap objek tertentu yang dapat dipahami melalui komponen kognisi, afektsi, dan konasi. Sikap sebagai suatu tanggapan reaksi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu (1) social attitude (sikap sosial) (2) individual attitude (sikap individu). Social attitude (sikap sosial) merupakan tindakan yang menyebabkan terjadinya cara-cara tingkah laku yang dinyatakan berulang-ulang terhadap suatu objek sosial. Sementara itu, sikap individu (individual attitude) merupakan tanggapan seseorang terhadap suatu objek tertentu yang sifatnya individual (Gerungan, 1991: 150). Sikap terbentuk oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Agar lebih jelas proses terbentuknya sikap, berikut bagan terbentuknya sikap oleh Mar’at (1984: 22).
Faktor internal -fisiologis - psikologis sikap Faktor eksternal -pengalaman - situasi - norma-norma - hambatan - pendorong
objek sikap
reaksi
Gambar 1. Bagan Pembentukan Sikap
Berdasarkan bagan di atas dapat diketahui bahwa sikap yang ada pada diri manusia dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal merupakan faktor-faktor yang terdapat dalam diri orang yang bersangkutan. Hal yang mencakup faktor internal adalah fisiologis dan psikologis. Faktor eksternal
43
merupakan faktor-faktor yang berada di luar diri orang yang bersangkutan. Hal yang mencakup faktor eskternal adalah pengalaman yang dimiliki individu, situasi yang dihadapi individu, norma-norma yang ada di masyarakat, hambatan atau pendorong yang ada di masyarakat. Semua faktor tersebut akan mempengaruhi sikap seseorang. Faktor-faktor di atas dapat mempengaruhi terbentuknya sikap, akan tetapi tidak semua faktor di atas harus terpenuhi untuk membentuk sikap. Hanya saja, semakin banyak faktor yang mempengaruhinya, akan semakin cepat terbentuknya sikap. Sikap terbentuk melalui berbagai cara. Menurut Slameto (2013: 189) sikap dapat terbentuk melalui; (1) pengalaman yang berulang-ulang, atau melalui pengalaman yang disertai perasaan yang mendalam (pengalaman traumatik); (2) imitasi atau peniruan. Peniruan ini dapat terjadi secara disengaja maupun tidak disengaja. Peniruan yang disengaja dimana individu harus mempunyai minat dan rasa kagum terhadap metode, di samping itu diperlukan pemahaman dan kemampuan untuk mengenal dan mengingat metode yang ditiru; (3) sugesti dimana seseorang membentuk sikap terhadap objek tanpa suatu alasan dan pemikiran yang jelas, tetapi semata-mata karena pengaruh yang datang dari seseorang yang memiliki wibawa akan pandangannya; dan (4) melalui identifikasi, dimana seseorang meniru orang lain berdasarkan keterikatan emosional sifatnya. Sikap manusia dapat dipelajari, hal ini memungkinan sebuah sikap dapat berubah maupun dapat dirubah. Slameto (2013: 188) mengatakan bahwa sikap merupakan sesuatu yang dipelajari, dan sikap menentukan bagaimana individu bereaksi terhadap situasi serta menentukan apa yang dicari individu dalam kehidupan. Berdasarkan pendapat tersebut, meskipun sikap merupakan fenomena kejiwaan akan tetapi sikap itu sendiri dapat dipelajari sehingga memungkinkan terarahnya suatu sikap sesuai dengan yang dikehendaki. Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk merubah sikap. Slameto (2013: 191) menyebutkan metode tersebut adalah: (1) dengan mengubah komponen kognitif dari sikap yang bersangkutan. Mengubah sikap dengan cara ini dapat dilakukan dengan memberikan informasi baru mengenai bagaimana cara
44
bersikap yang benar; (2) dengan cara mengadakan kontak langsung dengan objek sikap. Cara ini dapat dilakukan dengan menghadapkan contoh langsung atau pemberian contoh secara langsung sehingga orang mengetahui bagaimana seharusnya dia bersikap yang benar; dan (3) dengan memaksa orang menampilkan tingkah laku-tingkah laku baru yang tidak konsisten dengan sikap-sikap yang sudah ada. Cara ini dilakukan dengan memaksa seseorang untuk bersikap secara benar dan meninggalkan sikap yang salah. Selain dapat dirubah, sikap juga dapat berubah tanpa adanya unsur kesengajaan. Sarwono (2010: 2003) menjelaskan bahwa sikap dapat berubah secara tidak disengaja karena empat hal, yaitu: (1) adopsi; (2) disferensiasi; (3) integrasi; dan (4) trauma. Adopsi merupakan kejadian-kejadian atau peristiwaperistiwa yang terjadi berulang-ulang dan terus-menerus, lama-kelamaan diserap ke dalam diri individu yang kemudian mempengaruhi terbentuknya suatu sikap. Disferensiasi
terjadi
dengan
berkembangnya
inteligensi,
bertambahnya
pengalaman, sejalan dengan bertambahnya usia, maka hal-hal yang tadinya dianggap sejenis, sekarang dipandang tersendiri lebih dari sejenis. Integrasi yaitu pembentukan sikap yang terjadi secara bertahap, yaitu dimulai dengan berbagai pengalaman yang berhubungan suatu hal tertentu sehingga akhirnya terbentuk sikap mengenai hal itu. Trauma, adalah pengalaman yang tiba-tiba, mengejutkan, yang meninggalkan kesan mendalam pada jiwa orang yang bersangkutan. Pengalaman yang traumatis akan dapat mengubah sikap seseorang terhadap suatu hal. Sikap berhubungan erat dengan manusia tidak bisa dipisahkan dengan kegiatan manusia itu sendiri. Salahsatu kegiatan manusia yang utama adalah komunikasi dengan menggunakan bahasa. Di dalam penggunaan bahasa, manusia dituntut memiliki sikap terhadap bahasa yang tinggi. Oleh
karena itu, sikap
terhadap bahasa menjadi hal yang penting dalam kehidupan manusia. Anderson (dalam Chaer, 2013: 54) membagi sikap menjadi dua macam, yaitu sikap kebahasaan dan sikap nonkebahasaan. Sikap bahasa adalah tata keyakinan atau kognisi yang relatif berjangka panjang, sebagian mengenai bahasa, mengenai objek bahasa, yang memberikan kecenderungan kepada seseorang
45
untuk bereaksi dengan cara tertentu yang disenanginya. Sementara sikap nonkebahasaan itu sendiri misalnya sikap politik, sikap sosial, sikap estetik, dan sikap keagamaan. Sikap berbahasa berkaitan dengan kondisi jiwa
seseorang dalam
menggunakan bahasa. Sikap ini tidak bisa diamati secara langsung, melainkan melalui perilakunya dalam menggunakan bahasa. Anderson (dalam Chaer, 2013: 54) mengartikan sikap bahasa adalah tatakeyakinan atau kognisi yang relatif berjangka panjang, sebagian mengenai bahasa, mengenai objek bahasa, yang memberikan kecenderungan kepada seseorang untuk bereaksi dengan cara tertentu yang disenanginya. Andayani (2015: 77) mengartikan sikap terhadap bahasa Indonesia merupakan perwujudan posisi mental atau perasaan terhadap bahasa Indonesia yang dipakainya sendiri atau bahasa Indonesia yang orang lain pakai. Sementara itu, Fasol (dalam Siregar, 1998: 87) menyatakan bahwa sikap bahasa dibedakan dari sikap-sikap yang lainnya berdasarkan kenyataan bahwa sikap bahasa benarbenar tentang bahasa. Ini artinya bahwa sikap bahasa memang hanya terfokus pada sikap terkait penggunaan bahasa, baik secara lisan maupun tulisan. Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disintesiskan bahwa sikap terhadap bahasa adalah keyakinan atau kepercayaan akan suatu bahasa dalam waktu relatif lama yang memberikan kecenderungan kepada seseorang untuk bertindak dengan cara yang disenanginya. Sikap terhadap bahasa dapat dilakukan dengan cara setia menggunakan bahasa, merasa bangga terhadap bahasa, ataupun sadar dengan aturan maupun norma dari penggunaan suatu bahasa. Ada beberapa ciri yang dapat digunakan untuk mengetahui sikap terhadap bahasa. Andayani (2015: 79), mengemukakan tiga ciri sikap bahasa tersebut, yaitu: 1) kesetiaan bahasa (language loyality) yang mendorong suatu masyarakat bahasa mempertahankan bahasannya dan apabila perlu mencegah munculnya pengaruh asing; 2) kebanggaan bahasa (language pride) yang mendorong orang mengembangkan bahasanya dan menggunakannya sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakatnya; dan 3) kesadaran akan adanya norma bahasa (awareness
46
of the norm) yang mendorong orang menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun, merupakan faktor yang sangat besar. Kesetiaan bahasa menjadi usaha untuk melindungi bahasa dari pengaruh luar. Kebanggaan bahasa mendorong masyarakat pemakai bahasa untuk menjadikan bahasa itu sebagai penanda jati diri, identitas etniknya, dan sekaligus membedakan dengan etnik lain. Kesadaran akan norma bahasa adalah sikap yang mendorong penggunaan bahasa secara cermat, benar, santun, dan layak. Kesadaran berbahasa yang demikian merupakan faktor yang sangat menentukan perilaku tutur dalam wujud pemakaian bahasa. Rasa hormat terhadap bahasa artinya sikap yang dimiliki oleh pemakai bahasa untuk menggunakan tuturan bahasa yang baik dan benar dalam ragam lisan maupun tulisan. Selain memiliki ciri-ciri, sikap terhadap bahasa dapat diduga melalui komponen pembentuk sikap. Menurut Lambert (dalam Chaer, 2013 : 52) sikap berbahasa terbentuk oleh tiga komponen, yaitu: komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen konatif. Komponen kognitif merupakan representasi apa yang dipercayai oleh individu pemilik sikap. Kepercayaan datang dari apa yang telah dilihat dan yang telah diketahui. Berdasarkan apa yang dilihat itu kemudian terbentuk suatu ide atau gagasan mengenai sifat atau karakteristik umum suatu objek. Walgito (2003: 127) menjelaskan bahwa komponen kognitif merupakan komponen konseptual, yaitu komponen yang berupa pengetahuan, pandangan, keyakinan, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan bagaimana orang mempersepsi terhadap sikap objek. Komponen afektif merupakan perasaan yang menyangkut aspek emosional. Pada umumnya reaksi emosional dipengaruhi oleh kepercayaan atau yang kita anggap benar. Sementara komponen konatif merupakan aspek kecenderungan berperilaku tertentu sesuai dengan sikap yang dimiliki seseorang. Sementara itu Walgito (2003: 128) menjelaskan komponen afektif merupakan komponen emosional, yaitu komponen yang berhubungan dengan rasa senang atau tidak senang terhadap objek sikap. Rasa senang merupakan hal yang positif sedangkan rasa tidak senang merupakan hal yang negatif. Komponen ini menunjukkan arah sikap positif maupun negatif. Komponen konatif merupakan komponen perilaku atau action compenent, yaitu komponen yang berhubungan
47
dengan kecenderungan bertindak terhadap objek sikap. Komponen ini menunjukkan intensitas sikap, yaitu menunjukkan besar kecilnya kecenderungan bertindak atau berperilaku seseorang terhadap objek sikap. Komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen konatif oleh Walgito (2003: 127-128) disebut sebagi affect yaitu perasaan yang timbul (senang, tidak senang), behavior yaitu perilaku yang mengikuti perasaan itu (mendekat, menghindar), dan cognition yaitu penilaian terhadap objek sikap (bagus, tidak bagus). Sikap memiliki fungsi instrumental atau fungsi manfaat (Azwar, 20013: 53). Maksudnya bahwa seseorang akan bersikap positif terhadap hal-hal yang akan mendatangkan manfaat bagi dirinya sendiri, dan sebaliknya akan bersikap negatif terhadap hal-hal yang tidak mendatangkan manfaat untuk dirinya. Oleh karenanya, siswa akan bersikap positif terhadap bahasa Indonesia apabila ia merasa bahwa bahasa Indonesia akan memberikan manfaat baginya dan akan bersifat negatif terhadap bahasa Indonesia apabila bahasa Indonesia tidak memberikan manfaat untuknya. Sikap positif terhadap bahasa dapat tercapai apabila aspek kognitif dan afektif telah dimiliki (Iskandarwassid, 2009: 112). Maksudnya adalah, seseorang akan bersikap jika dia memiliki kepercayaan dan perasaan terhadap stimulus yang dia dapatkan. Kepercayaan yang muncul dalam dirinya akan menjadi dasar pengetahuan yang kemudian akan mempengaruhi perasaan akan kebenaran atau kesalahan akan sesuatu yang diyakininya. Dari perasaan itulah akan muncul kecenderungan seseorang dalam berperilaku yang kemudian memunculkan sikap dirinya. Slameto mengungkapkan (2013: 188) bahwa sikap selalu berkaitan dengan suatu objek, dan sikap terhadap objek ini disertai dengan perasaan positif atau negatif. Jadi, sikap kebahasaan pun juga terdiri dari dua sikap, yaitu sikap bahasa positif dan sikap bahasa negatif. Sikap bahasa positif akan menjadikan seseorang bangga dan sadar dalam menggunakan bahasa. Sikap positif bahasa seseorang akan menjadikannya setia untuk memelihara bahasa, menjadikan bahasa sebagai penanda jati diri. Rasa setia terhadap bahasa yang muncul dalam diri seseorang dapat membuatnya peka terhadap bahasa,
48
sehingga penggunaan bahasa dalam komunikasi akan sangat diperhatikan. Orang tidak hanya menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi saja, melainkan akan dipilihnya bahasa yang baku, santun, cermat, maupun pemilihan kata yang jelas. Kesetiaan bahasa merupakan keinginan individu atau masyarakat untuk memelihara dan mempertahankan bahasa itu. Keinginan mempertahankan bahasa sama halnya dengan mempertahankan nasionalisme. Hal ini dikarenakan bahasa menjadi hal yang penting dalam sebuah masyarakat. Hilangnya keinginan untuk mempertahankan bahasa dapat mengakibatkan bahasa itu menjadi hilang. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menjaga bahasa adalah dengan bangga menggunakan bahasa tersebut. Hal ini diperkuat oleh Sumarsono (2002: 365) bahwa kebanggaan bahasa mendorong seseorang atau masyarakat penduduk bahasa itu untuk menjadikan bahasa sebagai penanda jati diri identitas etniknya, dan sekaligus membedakannya dengan etnik lain. Sikap bahasa negatif akan terlihat bila seseorang atau sekelompok orang tidak lagi memiliki rasa bangga terhadap bahasanya sendiri. Mereka cenderung bersikap acuh terhadap bahasa. Orang akan cenderung mengabaikan norma kebahasaan. Komunikasi yang dibangun menjadi tidak efektif. Jika sikap tersebut dibiarkan, maka dapat berakibat tidak adanya keinginan untuk mempertahankan bahasanya bahkan mereka merasa malu memakai bahasa Indonesia. Bahasa sebagai penanda jati diri pun akan hilang, sehingga akan memperlemah pertahanan bahasa. Pengukuran skala sikap pada hakikatnya diperlukan untuk memudahkan langkah analisis data kuantitatif. Azwar (2013: 90-101) menyatakan bahwa untuk melakukan pengukuran sikap bahasa dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya adalah observasi perilaku, penanyaan langsung, pengungkapan langsung, skala sikap, dan pengukuran terselubung. Observasi perilaku artinya untuk mengetahui sikap seseorang terhadap sesuatu dapat dilakukan dengan memperhatikan perilakunya, karena perilaku menjadi salah satu indikator sikap individu. Penanyaan langsung artinya sikap seseorang dapat diketahui dengan menanyakan langsung (direct question). Dasar dari penanyaan langsung adalah individu merupakan orang yang paling tahu mengenai dirinya sendiri dan manusia
49
akan mengemukakan secara terbuka apa yang dirasakannya. Pengungkapan langsung artinya sikap seseorang dapat diketahui dengan pengungkapan langsung oleh responden. Pengungkapan langsung dapat dilakukan oleh peneliti dengan cara memancing menggunakan pertanyaan dan responden langsung menjawabnya. Skala sikap artinya adalah pengungkapan sikap dilakukan dengan menggunakan daftar pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab individu. Skala sikap merupakan kumpulan pertanyaan mengenai suatu objek tertentu. Pengukuran terselubung adalah pengukuran yang berorientasi pada metode observasi perilaku, akan tetapi sebagai objek pengamatan bukan lagi perilaku yang tampak disadari atau sengaja dilakukan melainkan reaksi fisologis yang terjadi di luar kendali manusia. Pengukuran sikap dalam penelitian ini akan menggunakan metode skala sikap dengan menggunakan daftar-daftar pertanyaan yang nantinya akan dijawab oleh individu. Daftar pertanyaan berupa skala sikap model Likert. Pertanyaan tersebut memuat kategori sangat tidak setuju (STS), tidak setuju (TS), tidak tahu (TT), setuju (S), dan sangat setuju (SS). Berdasarkan pendapat para pakar di atas maka dapat disintesiskan hakikat sikap terhadap bahasa Indonesia adalah respon kognisi, afeksi, dan konasi terhadap bahasa Indonesia. Respon kognisi berkenaan dengan pemahaman maupun pengetahuan seseorang tentang objek atau stimulus objek tertentu. Afeksi berkenaan dengan perasaan dalam menanggapi objek tertentu, dan konasi berkenaan dengan kecenderungan berbuat terhadap objek tertentu. Adapun indikator penilaian sikap juga dapat diketahui dari aspek kognisi, afeksi, dan konasi. B. Kerangka Berpikir 1. Hubungan antara pemahaman aspek-aspek komposisi dan kompetensi menulis argumentasi Menulis merupakan komunikasi yang dilakukan antara penulis dengan pembaca melalui media tulisan. Agar komunikasi melalui tulisan dapat berjalan dengan lancar, penulis dituntut memiliki kemampuan diantaranya adalah pemahaman aspek komposisi. Aspek komposisi merupakan salah satu aspek
50
penting mengenai pemahaman struktur dalam menulis. Oleh karena itu, pemahaman aspek komposisi perlu dimiliki penulis. Menulis argumentasi adalah kegiatan menuangkan ide, gagasan, pikiran, melalui lambang tulisan yang bertujuan untuk mempengaruhi pembaca agar yakin tentang kebenaran pendapat atau pernyataan penulis. Menulis argumentasi membutuhkan pengetahuan mengenai prosedur menulis argumentasi. Hal ini penting karena dengan adanya prosedur yang baik dalam menulis argumentasi akan mempengaruhi hasil menulis argumentasi itu sendiri. Pemahaman aspek komposisi akan menjadi dasar pengetahuan dalam membuat tulisan argumentasi yang baik sehingga hal itu akan mempermudah penulis saat menulis argumentasi Kompetensi menulis berkaitan dengan pemahaman aspek komposisi bahasa Indonesia. Apabila penulis memiliki pemahaman aspek komposisi bahasa Indonesia yang baik, maka dalam membuat tulisan
argumentasi akan dapat
menyusun gagasan dengan memperhatikan struktur kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Akan tetapi, apabila penulis memiliki pengetahuan aspek komposisi berbahasa Indonesia yang rendah, maka penulis akan mengalami kesulitan dalam menyusun argumentasi. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diduga bahwa penulis yang memiliki pemahaman aspek-aspek komposisi yang baik, berkecenderungan menghasilkan tulisan argumentasi yang baik. Artinya, semakin baik pemahaman aspek komposisi bahasa Indonesia, diduga semakin baik pula kompetensi menulis argumentasi. Atau dengan kata lain, diduga ada hubungan positif antara pemahaman aspek-aspek komposisi bahasa Indonesia dan kompetensi menulis argumentasi. 2. Hubungan antara sikap siswa terhadap bahasa Indonesia dan kompetensi menulis argumentasi Sikap merupakan perasaan yang dimiliki setiap individu yang menjadi dasar untuk bertingkah laku, karena itulah sikap juga mempengaruhi tingkah laku seseorang saat berkomunikasi. Sikap yang ada dalam diri manusia akan mendorong perasaan yang kemudian dapat mempengaruhi tingkah-lakunya.
51
Tingkah laku yang dihasilkan dapat berupa respon positif maupun negatif tergantung stimulus yang didapatkan sebelumnya. Sikap pada diri setiap individu berkaitan dengan pemikiran, emosi, maupun persepsi yang menjadi dasar untuk seseorang bertindak. Berkaitan dengan bahasa Indonesia, sikap menjadi tatanan kepercayaan mengenai suatu objek maupun aturan. Kepercayaan tersebut yang kemudian mengarahkan seseorang untuk berbuat sesuai cara yang dikehendakinya. Kemampuan menulis seseorang dipengaruhi oleh sikap terhadap bahasa Indonesia. Apabila penulis memiliki sikap positif terhadap bahasa Indonesia maka, penulis akan mengkomunikasikan tulisannya dengan mempertimbangkan kaidah bahasa Indonesia. Akan tetapi, apabila penulis memiliki sikap negatif terhadap bahasa Indonesia, maka penulis akan senantiasa mengabaikan aturan penggunaan bahasa Indonesia. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat diduga bahwa penulis yang memiliki sikap terhadap bahasa Indonesia yang positif, berkecenderungan menghasilkan argumentasi yang baik. Artinya, semakin baik sikap terhadap bahasa Indonesia, diduga semakin baik pula kompetensi argumentasi. Atau dengan kata lain, diduga ada hubungan positif antara sikap terhadap bahasa Indonesia dan kemampuan menulis argumentasi. 3. Hubungan antara aspek-aspek komposisi dan sikap siswa terhadap bahasa Indonesia secara bersama-sama dengan kompetensi menulis argumentasi Aspek-aspek komposisi dan sikap siswa terhadap bahasa Indonesia berhubungan dengan kompetensi menulis karangan argumentasi. Pemahaman aspek komposisi dan sikap terhadap bahasa Indonesia merupakan bagian penting untuk mendukung terciptanya tulisan argumentasi yang baik. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman aspek komposisi dan juga sikap yang baik agar individu dapat menggunakan kaidah bahasa Indonesia secara baik dan benar. Pemahaman aspek komposisi dan sikap terhadap bahasa Indonesia merupakan aspek yang saling mendukung. Artinya, sulit untuk mengandalkan satu aspek saja seperti hanya mengandalkan kemampuan pemahaman aspek komposisi ataupun mengandalkan sikap positif terhadap bahasa Indonesia saja. Pemahaman
52
aspek komposisi akan menjadi dasar pengetahuan dalam menulis argumentasi dan sikap akan mengarahkan seseorang untuk menerapkan pengetahuannya dalam menulis argumentasi. Dengan demikian, argumentasi yang dihasilkan akan baik dari segi materi dan akan menumbuhkan sikap nasionalisme dengan mengikuti kaidah bahasa Indonesia. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat diduga bahwa penulis yang memiliki pemahaman aspek-aspek komposisi yang baik dan memiliki sikap terhadap bahasa Indonesia yang positif, maka berkecenderungan mampu menghasilkan tulisanargumentasi yang baik. Artinya, bahwa semakin baik pemahaman aspek-aspek komposisi dan sikap siswa siswa terhadap bahasa Indonesia, diduga semakin baik pula keterampilan menulis argumentasinya. Atau dengan kata lain, diduga ada hubungan positif antara pemahaman aspek komposisi dan sikap siswa terhadap bahasa Indonesia secara bersama-sama dengan kompetensi menulis argumentasi. Berdasarkan penjelasan tentang hubungan antar ketiga variabel tersebut, maka dapat dibuat diagram kerangka berpikirnya sebagai berikut.
Tinggi
Tinggi 1a
Pemahaman Aspek-aspek Komposisi (X1) 1b Rendah
3a Kompetensi Menulis Argumentasi (Y) 3b Rendah
Gambar 2. Kerangka Berpikir
Tinggi 2a Sikap Siswa terhadap Bahasa Indonesia (X2) 2b Rendah
53
Keterangan: Berdasarkan gambar hubungan antarvariabel di atas, maka dapat dijelaskan sebagai berikut. (1a) Diduga semakin tinggi pemahaman aspek-aspek komposisi siswa, semakin tinggi pula kemampuan menulis argumentasinya. Begitu pula sebaliknya, (1b) diduga semakin rendah pemahaman aspek-aspek komposisi siswa, semakin rendah pula kemampuan menulis argumentasinya. (2a) Diduga semakin tinggi sikap siswa terhadap bahasa Indonesia, semakin tinggi pula kemampuan menulis argumentasinya. Begitu pula sebaliknya, (2b) diduga semakin rendah sikap siswa terhadap bahasa Indonesia, semakin rendah pula kemampuan menulis argumentasinya. (3a) Diduga semakin tinggi pemahaman aspek-aspek komposisi menulis argumentasi dan sikap siswa terhadap bahasa Indonesia secara bersama-sama, semakin tinggi pula kemampuan menulis argumentasinya. Begitu pula sebaliknya, (3b) diduga semakin rendah pemahaman aspek-aspek komposisi dan sikap siswa terhadap bahasa Indonesia secara bersama-sama, diduga semakin rendah pula kemampuan menulis argumentasinya. C. Hipotesis Penelitian Berdasarkan kajian teori dan penyusunan kerangka berpikir sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, hipotesis penelitian yang diajukan sebagai berikut: 1. Terdapat hubungan yang positif antara pemahaman aspek-aspek komposisi dan kompetensi menulis argumentasi. 2. Terdapat hubungan yang positif antara sikap siswa terhadap bahasa Indonesia dan kompetensi menulis argumentasi. 3. Terdapat hubungan yang positif antara pemahaman aspek-aspek komposisi dan sikap siswa terhadap bahasa Indonesia secara bersamasama dengan kompetensi menulis argumentasi.