II-1
BAB II
LANDASAN TEORI 2.1
Sejarah Six Sigma Pada tahun 1988 Bob Galvin menerima penghargaan Malcolm
Baldridge National Quality Award untuk motorola, yang secara singkat diberi nama Six Sigma (enam sigma). Six Sigma, sebagaimana diterapkan dan dikembangkan oleh Motorola, adalah suatu perpanjangan drastis dari gagasan lama mengenai pengendalian statistik dari proses produksi sebagaimana halnya untuk mengkualifikasi sebagai suatu subjek yang sepenuhnya berbeda. 2.1.1
Definisi Six Sigma Pada dasarnya Six Sigma bisa berbeda-beda dalam masing-masing
perusahaan dan masing-masing buku refrensi metode Six Sigma yang telah diterbitkan. Namun ada elemen dasar yang sama diantara semua perusahaan dan buku Six Sigma. Program ini berpusat pada metodologi pemecahan masalah yaitu DMAIC. Beberapa definisi dari Six Sigma adalah sebagai berikut :
Six Sigma diartikan sebagai metode berteknologi canggih yang digunakan oleh para insinyur dan statistikiawan dalam memperbaiki / mengembangkan proses atau produk. (Miranda dkk, hal 10, 2006)
Six Sigma adalah suatu visi peningkatan kualitas menuju target 3,4 kegagalan dalam persejuta kesempatan (DPMO) untuk setiap transaksi produk (barang dan jasa), upaya giat menuju kesempurnaan (zero-deffect-kegagalan nol). (Gasperz, hal 5, 2002)
II-2
Six Sigma adalah suatu cara untuk mengelola perusahaan. (pyzdek, hal 105, 2002)
2.1.2
Tujuan Six Sigma Tujuan Six Sigma adalah membantu orang dan proses guna memiliki
aspirasi yang tinggi untuk mengirimkan produk dan layanan bebas cacat. Istilah zero defect tidak berlaku disini. Six Sigma menyadari bahwa selalu ada potensi terjadinya cacat, bahkan dalam proses yang berjalan dengan baik ataupun dalam produk yang dibuat dengan baik. Fokus Six Sigma adalah mengedepankan pelanggan yang menggunakan data untuk mendapatkan fakta dan data untuk mendapatkan solusi-solusi yang lebih baik. Tiga bidang utama yang menjadi target Six Sigma yaitu : 1.
Meningkatkan kepuasan pelanggan
2.
Mengurangi waktu siklus
3.
Mengurangi cacat (defect)
2.1.3
Keuntungan Six Sigma Keuntungan dalam Six Sigma ini berbeda untuk setiap perusahaan
yang bersangkutan, tergantung pada usaha yang dijalankannya, biasanya ada perbaikan dalam hal-hal berikut ini : 1.
Pengurangan biaya
2.
Perbaikan produktivitas
3.
Pertumbuhan pangsa pasar
4.
Pengurangan waktu siklus
5.
Pengurangan produk cacat (defect)
II-3
2.2
Konsep Dasar Six Sigma Pada dasarnya pelanggan akan puas apabila mereka menerima nilai
yang mereka harapkan. Apabila produk (barang dan / atau jasa) diproses pada tingkat kinerja kualitas Six Sigma, perusahaan boleh mengharapkan 3,4 kegagalan per sejuta kesempatan (DPMO) atau bahwa 99,99966 persen dari apa yang diharapkan pelanggan akan ada dalam produk (barang dan / atau jasa) itu. Dengan demikian, Six Sigma dapat dijadikan ukuran target kinerja proses industri tentang bagaimana baiknya suatu proses transaksi produk antara pemasok (industri) dan pelanggan (pasar). Semakin tinggi target Sigma yang dicapai, semakin baik kinerja proses industri. Sehingga 6 sigma secara otomatis lebih baik daripada 4 Sigma, dan 3 Sigma. Six Sigma juga dapat dianggap sebagai strategi terobosan yang memungkinkan perusahaan melakukan peningkatan luar biasa (dramatic) di tingkat bawah dan sebagai pengendalian proses industri yang berfokus pada pelanggan dengan memperlihatkan kemampuan proses. (Gaspersz, 2007, p37) Six Sigma Motorola merupakan suatu metode atau teknik pengendalian dan peningkatan kualitas dramatic yang diterapkan oleh perusahaan Motorola sejak tahun 1986, yang merupakan terobosan baru dalam bidang manajemen kualitas. Banyak ahli manajemen kualitas menyatakan bahwa metode Six Sigma Motorola dikembangkan dan diterima secara luas oleh dunia industri, karena manajemen industri frustasi terhadap sistem-sistem manajemen kualitas yang ada, yang tidak mampu melakukan peningkatan kualitas secara dramatik menuju tingkat kegagalan nol (zero defect). Banyak sistem manajemen kualitas, seperti Malcolm Baldrige Quality Award (MBNQA), ISO 9000, dan lain-lain, hanya menekankan pada upaya peningkatan terus-menerus berdasarkan kesadaran mandiri manajemen, tanpa memberikan solusi yang ampuh bagaimana
II-4
terobosan-terobosan harus dilakukan untuk meningkatkan kualitas secara dramatik menuju tingkat kegagalan nol. Prinsip-prinsip pengendalian dan peningkatan kualitas Six Sigma Motorola mampu menjawab tantangan ini, dan terbukti perusahaan Motorola selama kurang lebih 10 tahun setelah implementasi konsep Six Sigma telah mampu mencapai tingkat kualitas 3,4 DPMO (defects per million opportunities) kegagalan per sejuta kesempatan. (Gaspersz, 2007, p37-38) Beberapa keberhasilan Motorola yang patut dicatat dari aplikasi program Six Sigma, adalah sebagai berikut: • Peningkatan produktivitas rata-rata : 12,3% per tahun. • Penurunan COPQ (cost of poor quality) lebih daripada 84%. • Eliminasi kegagalan dalam proses sekitar 99,7%. • Penghematan biaya manufakturing lebih daripada $11 milyar. • Peningkatan
tingkat
pertumbuhan
tahunan
rata-rata: 17% dalam
penerimaan, keuntungan, dan harga saham Motorola. (Gaspersz, 2007, p38) 2.2.1
Peningkatan Kapabilitas Proses Menuju Target Six Sigma Setelah kita mengetahui posisi kinerja bisnis dan industri pada
saat sekarang (baseline measurement), misalnya pada kapabilitas 3 Sigma yang menghasilkan kesalahan atau kegagalan sebesar 66.807 DPMO (defects per million opportunities), kita harus melakukan berbagai upaya peningkatan (improvement) menuju target 6 sigma (Six Sigma) yang hanya akan menghasilkan 3,4 DPM atau 3,4 DPMO.
II-5
Peningkatan dari kapabilitas proses 3 sigma menjadi 4 sigma membutuhkan sekitar 10 kali improvement, peningkatan dari kapabilitas proses
4 sigma
menjadi 5 sigma
membutuhkan
sekitar
30
kali
improvement, sedangkan peningkatan dari kapabilitas 5 sigma menjadi 6 sigma membutuhkan sekitar 70 kali improvement. Dengan demikian apabila kita menganggap bahwa kinerja bisnis dan industri di Indonesia sekarang masih berada pada tingkat kapabilitas 3 sigma, maka dibutuhkan sekitar 21.000 (= 10 x 30 x 70) kali peningkatan untuk mencapai target Six Sigma. Hal ini berarti semakin tinggi kapabilitas sigma, semakin tinggi pula upaya peningkatannya agar mencapai keunggulan dan kesempurnaan. Upaya peningkatan dari 5 sigma menjadi 6 sigma akan lebih tinggi daripada upaya peningkatan 4 sigma menjadi 5 sigma, juga lebih tinggi daripada upaya peningkatan dari 3 sigma menjadi 4 sigma. (Gaspersz, 2007, p49) 2.2.2
Apresiasi Level pada Six Sigma Model
statistika
dalam
fungsi-fungsi
pengembangan
dan
peningkatan Six Sigma disebut dengan “Six Sigma Improvement Initiative”. Tujuan model statistik adalah untuk menggambarkan unit-unit „sigma’ sehubungan dengan pengukuran suatu kinerja proses. Misalnya, jika kinerja proses bisnis berada di level 5 (lima) sigma, berarti tingkat kinerja proses bisnis tersebut sebesar 99.9767%. Hal itu berarti, dalam setiap satu juta aktivitas proses hanya akan terjadi 233 kali kegagalan proses, dan kinerja prosesnya berada di bawah satu tingkat dibandingkan dengan kinerja terbaik (sigma level enam).
II-6
Tabel 2.1. Hubungan antara Nilai Sigma dan Tingkat Kegagalan Per Juta Peluang dan Ekuivalen Yield
Six Sigma
Kegagalan per juta
Harga / nilai sigma
peluang / kesempatan
1 2 3 4 5 6 Sumber: Hidayat, 2007, p63
2.2.3
691.462 308.538 66.807 6.210 233 3,4
Yield (%)
30,85 69,146 93,379 99,379 99,9767 99,99966
Six Sigma Process Improvement Dalam program / proyek pengembangan dan peningkatan Six
Sigma, tim kerja yang ditunjuk akan menyeleksi berbagai strategi peningkatan proses Six Sigma yang bersifat regular. Kemudian lima tahapan proses diterapkan dalam upaya memperbaiki dan meningkatkan proses yang sudah ada. Kelima tahap proses tersebut adalah :
Pendefinisian berbagai permasalahan proses dan kebutuhan konsumen.
Pengukuran cacat-cacat (defect) dari aktivitas operasional proses (kuantitatif maupun kualitatif).
Analisis data sebagai dasar pemecahan masalah yang ada.
Meningkatkan
proses
dan
memangkas penyebab-penyebab
terjadinya cacat (defect).
Pengendalian proses dan memastikan cacat-cacat (defect) tidak terjadi lagi.
(Hidayat, 2007, p52)
II-7
2.3 Model dalam Metode Peningkatan Proses Six Sigma Berbagai upaya peningkatan menuju target Six Sigma dapat dilakukan menggunakan dua metodologi, yaitu (1) Six Sigma DMAIC (Define, Measure, Analyze, Improve, Control), dan (2) Design For Six Sigma DFSS DMADV (Define, Measure, Analyze, Design, Verify). DMAIC digunakan untuk meningkatkan proses bisnis yang telah ada, sedangkan DMADV digunakan untuk menciptakan desain proses baru dan / atau desain produk baru dalam cara sedemikian rupa agar menghasilkan kinerja bebas kesalahan (zero defects / errors). (Gaspersz, 2007, p50)
2.3.1
DMAIC DMAIC digunakan untuk meningkatkan proses bisnis yang
telah ada. DMAIC terdiri atas lima tahap utama :
Define : mendefinisikan secara formal sasaran peningkatan proses yang konsisten dengan permintaan atau kebutuhan pelanggan dan strategi perusahaan.
Measure : mengukur kinerja proses pada saat sekarang (baseline measurements) agar dapat dibandingkan dengan target yang ditetapkan. Lakukan pemetaan proses dan mengumpulkan data yang berkaitan dengan indikator kinerja kunci (key performance indicator = KPI).
Analyze : menganalisis hubungan sebab-akibat berbagai faktor yang dipelajari untuk mengetahui faktor-faktor dominan yang perlu dikendalikan.
Improve : mengoptimisasikan proses menggunakan analisis-analisis seperti Design of Experiments (DOE), dan lain-lain, untuk mengetahui dan mengendalikan kondisi optimum proses.
II-8
Control : melakukan pengendalian terhadap proses secara terusmenerus untuk meningkatkan kapabilitas proses menuju Six Sigma.
(Gaspersz, 2007, p50)
2.3.2
DMADV Design for Six Sigma (DFSS) adalah strategi Six Sigma yang
bekerja pada langkah-langkah awal dari daur hidup proses. DFSS bukan merupakan strategi pengembangan dan peningkatan proses yang sudah ada, dan bukan merupakan strategi pemodifikasian dari fundamental struktur proses yang sudah ada. Akan tetapi, DFSS adalah strategi perancangan proses baru dengan memanfaatkan perangkat-perangkat kerja dan metode-metode terbaik di dalam perencanaan produk maupun proses, baik itu proses pengembangan produk, desain atau redesain proses pelayanan, atau proses bisnis internal. (Hidayat, 2007, p58) Design
For
Six Sigma
(DFSS)
menggunakan metodologi
DMADV (Define, Measure, Analyze, Design, and Verify), sebagai berikut :
Define : mendefinisikan secara formal sasaran dari aktivitas desain proses baru dan / atau desain produk baru yang secara konsisten berkaitan langsung dengan permintaan atau kebutuhan pelanggan dan strategi perusahaan.
Measure : mengindentifikasi kapabilitas
produk
(product
critical-to-qualities capabilities),
(CTQs),
kapabilitas proses
(process capabilities), evaluasi resiko, dll.
Analyze : mengembangkan menciptakan
high-level
dan
mendesain alternatif-alternatif,
design,
dan mengevaluasi kapabilitas
desain agar mampu memilih desain terbaik.
Design : mengembangkan desain secara terperinci (develop detail design), optimisasi desain (optimize design), dan rencana untuk
II-9
verifikasi
desain.
Pada
tahap
ini
mungkin
membutuhkan
simulasi.
Verify : memverifikasi desain, setup pilot runs, implementasi proses baru (untuk desain proses baru) atau produk baru (untuk desain produk baru), kemudian menyerahkan kepada pemilik proses. Beberapa
kalangan
menggunakan
akronim
DMEDI
atau
DMADOV untuk metodologi Design For Six Sigma (DFSS) yang pada dasarnya serupa dengan DMADV. DMEDI adalah: Define, Measure, Explore,
Develop,
Implement, sedangkan DMADOV adalah: Define,
Measure, Analyze, Design, Optimize, Verify. (Gasperz, 2007, p51-52)
2.3.3
Perbedaan DMAIC dengan DMADV Pada dasarnya, DMAIC dan DMADV memuat perbedaan yang
signifikan. DMAIC digunakan untuk meningkatkan proses bisnis yang telah ada, sedangkan DMADV digunakan untuk menciptakan desain proses baru dan / atau desain produk baru dalam cara sedemikian rupa agar menghasilkan kinerja bebas kesalahan (zero defects / errors). (Gaspersz, 2007, p50) Perbedaan signifikan antara Six Sigma (DMAIC) dan Design For Six Sigma (DMADV) bisa dilihat pada tabel di bawah ini.
II-10
Tabel 2.2 Perbedaan antara Six Sigma dengan Design For Six Sigma
Perbedaan antara Six Sigma dan Design For Six Sigma Six Sigma DMAIC: Define, Measure, Analyze, Improve, Control.
Design For Six Sigma
DMADV: Define, Measure, Analyze, Design, Verify. DMADOV: Define, Measure, Analyze, Design, Optimize, Verify.
Melihat proses yang sudah ada dan melakukan perbaikan atas masalahmasalah yang muncul.
Berfokus pada desain awal dari produk dan proses.
Lebih reaktif
Lebih proaktif
Manfaat atau hasil yang diperoleh dari Six Sigma bisa dihitung lebih cepat.
Manfaat atau hasilnya lebih sulit untuk dihitung dan diperkirakan dan cenderung untuk berjalan secara jangka panjang. Bisa membutuhkan enam sampai dengan dua belas bulan setelah peluncuran produk baru sebelum anda bisa mendapatkan perkiraan hasil yang tepat
(Gaspersz, 2007, p53)
2.3.4
Six Sigma dengan menggunakan 5W+1H Dalam metode 5W+1H menentukan suatu rencana tindakan baik itu
untuk memperbaiki suatu proses atau mengidentifikasi suatu permasalahan yang sedang terjadi serta memecahkan masalah, dapat dijabarkan dalam metode 5W+1H, sebagai berikut : 1. What, langkah pertama dari metode ini adalah menentukan rencana tindakan yang akan dilaksanakan. 2. When, kapan waktu periode pelaksanaan rencana tindakan itu.
II-11
3. Where, dalam proses mana rencana tindakan itu akan diterapkan. 4. Who, personil siapa yang bertanggung jawab dalam melaksanakan rencana itu. 5. Why, mengapa rencana tindaka n itu dipilih. 6. How, bagaimana rencana tindakan itu diterapkan.
Tabel 2.3 Perencanaan 5W+1H
Jenis
5W+1H
Deskripsi
Tindakan
Tujuan Utama
What
Apa yang menjadi
Merumuskan target
Alasan
Why
kegunaan
target utama
sesuai dengan
perbaikan?
kebutuhan pelanggan
Mengapa rencana tindakan itu diperlukan?
Lokasi
Urutan
Where
When
(sekuens)
Dimana rencana
Mengubah urutan
dilakukan?
aktivitas
Bilamana rencana itu akan baik dilaksanakan?
Orang
Who
Siapa yang mengerjakan tindakan itu?
Metode
How
Bagaimana
Menyederhanakan
mengerjakan rencana
rencana tindakan
tindakan itu dan apa
yang ada
metodenya?
II-12
2.4 Tools Six Sigma Untuk melakukan peningkatan kualitas dengan metode Six Sigma, konsep Deming bisa diadopsikan ke dalam proyek pengembangan dan peningkatan kualitas Six Sigma. Metode dan perangkat
kerja
yang
mendukung yaitu Pareto Analysis, Flow Chart, Diagram Ishikawa, dan Diagram Pengendalian. (Hidayat, 2007, p162-163) Selain dari itu juga dibutuhkan perangkat kerja untuk mendefinisikan penyebab utama dari kegagalan produksi berupa FMEA. (Pyzdek, 2003, p596) Berdasarkan dari jurnal teknologi industri yang ditulis oleh Sean P. Goffnett, alat-alat implementasi berikut.
(tools)
yang
bisa
digunakan
untuk
membantu
metode Six Sigma dengan model DMAIC adalah sebagai
II-13
Tabel 2.4 Alat-alat bantu Six Sigma
Strategic
Common Strategic Section
Traditional Tools
Steps
Deliverables
Define
Project Charter or Statement of Work (SOW)
Spreadsheet
/
Word
Processor
Process and Problem
Scope and Boundaries
Team, Customer &
Project Charter or SOW
Critical Concerns
Gantt Chart / Timeline
Improvement
Flowchart
Goals
Estimate
Sigma
to
Customer
Concept
or
Process
Map
& Objectives
Critical
&
Cost of Poor Quality
Balanced Scorecards Pareto
Charts
&
Control Charts
(COPQ) Gantt Chart / Timeline
QFD / House of Quality
High Level Process Map
Suggestions
Step
Documentation
Next Steps Exit Review
and
/
Complaints Surveys / Interviews / Focus Groups
II-14
Tabel 2.4 Alat-alat bantu Six Sigma (Lanjutan)
Strategic
Common Strategic Section
Steps
Deliverables
Measure
Baseline Figures (Sigma &
Traditional Tools Data Gathering Plan Surveys / Interviews /
Cost) Process
Capability
Focus Groups
System
Checksheets
Analysis (MSA) or Gage
Spreadsheets
R&R
SIPOC IPO Diagram
Measurement
Refine
Project
Charter,
including COPQ Refine Process Map Fix Gantt Chart / Timeline SIPOC or IPO Diagram Step Documentation and Next Steps Exit Review
Descriptive Statistics & Capability Pareto Chart / Control Charts Measurement
System
Analysis Flowchart
or
Proces
Map Project Charter or SOW Gantt Chart / Timeline
II-15
Tabel 2.4 Alat-alat bantu Six Sigma (Lanjutan)
Strategic
Common Strategic Section
Steps
Deliverables
Analyze
dentified Root Cause(s)
Fishbone Diagram (5
Cause and Effect
Statistical Analyses
Why)
Documentation
Next Steps Exit Review
FMEA Interrelationship
Validated Root Cause(s) Step
Traditional Tools
and
Diagram Histogram Scatter
Diagrams
(Correlation) Hyp
Testing
/
Chi
Square Confidence Intervals Pareto Chart / Control Charts Regression ANOVA DOE Response
Surface
Methods Flowchart Map
or
Process
II-16
Tabel 2.4 Alat-alat bantu Six Sigma (Lanjutan)
Strategic
Common Strategic Section
Traditional Tools
Steps
Deliverables
Improve
Selected Root Cause(s) &
Hypothesis Testing
Countermeasures Improvement
Confidence Intervals DOE
Implementation Plan Validated
Solutions
Improvements
Statistical Analyses
Affinity Diagram
or
FMEA Trial
and
Error
/
Simulation Flowchart or Proces Map Implementation Validation Plan
&
II-17
Tabel 2.4 Alat-alat bantu Six Sigma (Lanjutan)
Strategic
Common Strategic Section
Steps
Deliverables
Control
Traditional Tools
Control Plan
Controls,
Tolerance,
Control Charts Process
Map
/
and Measures
Monitor / Response
Charts and Monitor
Plan
Standard
Operating
Procedures (SOP) Response Plan
Ownership
Poka-Yokes
Standardization
SOP
/
Work
Instructions
or
Responsibilities
Process Dashboards
Corrective Actions
Capability Studies
Validated
In Control
MSA or Gage R&R
Process and Benefits
Documentation
Process Capability
Final Reports
Measurement Analysis
System
(MSA)
Presentation
or
Gage R&R
Step
Documentation
and Final Report
Exit Review – Project Completion
and
Handoff to Owner Catatan: perangkat ini digunakan sesuai dengan kebutuhannya saja
II-18
2.4.1
Diagram Alir (Flow Chart) Diagram Alir (flow chart) secara grafis menyajikan sebuah
proses
atau
sistem dengan menggunakan kotak dan garis yang saling
berhubungan. Diagram ini cukup sederhana, tetapi merupakan alat yang sangat baik untuk mencoba memahami sebuah proses atau menjelaskan sebuah proses. Diagram flow proses adalah gambaran atau ilustrasi yang mempresentasikan urutan (sequence) dari langkah-langkah proses. Dalam diagram tersebut dideskripsikan aktivitas kunci proses yang tereksekusi beserta penanggung jawab prosesnya. Salah satu prinsip kerja dalam diagram flow proses adalah aktivitas investigasi berbagai kesempatan / peluang
pengembangan
dan
peningkatan
dengan upaya
memahami
berbagai variasi per tahapan antar-proses, di titik proses mana saja seluruh modifikasi alternatif tersebut dapat dilakukan. (Hidayat, 2007, p301) Diagram alir digunakan untuk membuat proses menjadi lebih mudah dilihat berdasarkan urutan-urutan (langkah-langkah) dari proses itu, sehingga bermanfaat bagi analisis dan perbaikan proses terus-menerus. Diagram alir digunakan apabila berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut :
Terdapat masalah dalam proses yang ditunjukkan melalui tingkat performansi proses yang rendah.
Memberikan pelatihan kepada karyawan baru.
Mengembangkan sistem pengukuran.
Menganalisis ketidaksinkronan, kesenjangan, dan lain-lain, yang berkaitan dengan proses.
Landasan untuk perbaikan proses terus-menerus.
II-19
2.4.2
Diagram Pareto (Pareto Diagram) Suatu diagram atau grafik yang menjelaskan hirarkhi dari masalah-
masalah yang timbul sehingga berfungsi untuk menentukan prioritas penyelesaian masalah. Urutan-urutan prioritas perbaikan untuk mengatasi permasalahan dapat dilakukan dengan memulai pada masalah dominan yang diperlukan dan yang diperoleh dari diagram pareto ini. Setelah diadakannya perbaikan dapat dibuat diagram pareto baru untuk membandingkan dengan kondisi sebelumnya. Jadi kegunaan diagram pareto ini, antara lain : 1.
Menunjukkan masalah utama dengan menunjukkan urutan prioritas dari beberapa masalah.
2.
Menyatakan perbandingan masing-masing masalah terhadap keseluruhan.
3.
Menunjukkan tingkat perbaikan setelah tindakan perbaikan pada daerah terbatas.
4.
Menunjukkan perbandingan masing-masing masalah sebelum dan sesudah perbaikan. Terdapat banyak aspek dalam produksi yang harus diperbaiki,
yaitu : cacat, alokasi waktu, penghematan biaya dan seterusnya. Dalam fakta, setiap permasalahan terdiri dari banyak masalah kecil-kecil sehingga menjadi sulit hanya untuk mengetahui bagaimana melangkah ke pemecahannya. Pada dasarnya diagram Pareto dapat digunakan sebagai alat interpretasi untuk:
Menentukan frekuensi relatif dan urutan pentingnya masalahmasalah atau penyebab-penyebab dari masalah yang ada.
Memfokuskan melalui
perhatian
pada
isu-isu
kritis
dan
penting
pembuatan ranking terhadap masalah-masalah atau
penyebab-penyebab dari masalah itu dalam bentuk yang signifikan.
II-20
Sebuah diagram pareto menunjukkan masalah apa yang pertama harus kita pecahkan untuk menghilangkan kerusakan dan memperbaiki operasi. Item cacat yang paling sering muncul ditangani terlebih dahulu kemudian dilanjutkan dengan item cacat tertinggi kedua dan seterusnya. Walaupun diagram ini sangat sederhana, grafik balok ini sangat berguna dalam pengendalian mutu pabrik, kita dapat lebih mudah melihat kerusakan mana yang paling penting dengan grafik balok dari pada dengan menggunakan sebuah tabel bilangan saja. Diagram ini berdasarkan pekerjaan Vilfredo Pareto, seorang pakar ekonomi di abad ke-19. Joseph M. Juran mempopulerkan pekerjaan Pareto dengan menyatakan bahwa
80%
permasalahan
perusahaan
merupakan hasil dari penyebab yang hanya 20%. Kontribusi relatif dalam diagram Pareto kemungkinan besar terletak pada nilai-nilai frekuensi relatif, biaya relatif, dan lain-lainnya. Kontribusi relatif digambarkan sebagai garis lintasan tebal dalam diagram, sedangkan garis kumulatif adalah fungsi dari
kontribusi
kumulatif.
Prosedur penentuan prioritas dalam diagram Pareto sebagai berikut:
Pemilihan
konsistensi
yang
akan
diranking
dan
diukur
(misalnya frekuensi, biaya, dan lain-lain).
Menyusun daftar-daftar elemen dari kiri ke kanan di atas aksis garis horizontal sebagai ukuran order.
Mengatur kesesuaian skala vertical pada bagian kiri dan di atas klasifikasinya.
Mengatur skala 0-100% di bagian kanan dan menarik garis tegas yang lebih tinggi dari garis yang tertinggi, dan menggesernya pada posisi di atas basis kumulatif yang ditarik dari kiri ke kanan. Pada sistem pengendalian kualitas, setelah dilakukan langkah-
langkah pengendalian proses, maka langkah selanjutnya adalah melakukan
II-21
tindakan perbaikan pada faktor-faktor yang masih mempunyai kekurangan walaupun proses telah dikendalikan. Akan tetapi tindakan perbaikan pada faktor-faktor tersebut tidak dapat dilakukan pada saat yang bersamaan karena tidak efisien dari segi ekonomis. Tata Cara Pembuatan Diagram Pareto adalah sebagai berikut : 1.
Buat klasifikasi dari cacat.
2.
Tentukan periode dari diagram Pareto.
3.
Tulis jumlah cacat yang timbul pada periode waktu yang telah ditentukan.
4.
Buat dua sumber koordinat.
5.
Gunakan garis horizontal untuk menggambarkan presentase.
6.
Buat
diagram-diagram
dimana
tinggi
diagram
menyatakan
presentase jenis cacat.
2.4.3
Diagram Sebab-Akibat (Cause and Effect Diagram) Diagram sebab akibat adalah suatu diagram yang menunjukkan
hubungan antara sebab dan akibat. Berkaitan dengan pengendalian proses statistical, diagram sebab akibat dipergunakan untuk menunjukkan faktorfaktor
penyebab
(sebab)
dan karakteristik
kualitas
(akibat)
yang
disebabkan oleh faktor-faktor penyebab itu. Diagram sebab-akibat ini sering juga disebut sebagai diagram tulang ikan (fishbone) karena bentuknya seperti kerangka ikan, atau diagram Ishikawa (Ishikawa’s diagram) karena pertama kali diperkenalkan oleh Prof. Kaoru Ishikawa dari Universitas Tokyo pada tahun 1953. Setiap „tulang‟ mewakili kemungkinan sumber kesalahan. Diagram ini merupakan suatu diagram yang digunakan untuk mencari unsur penyebab yang diduga dapat menimbulkan masalah tersebut. Diagram ini sering disebut dengan diagram tulang ikan karena menyerupai bentuk susunan tulang ikan. Bagian kanan dari diagram biasanya menggambarkan akibat atau permasalahan
II-22
sedangkan cabang-cabang tulang ikannya menggambarkan penyebabnya. Pada umumnya bagian akibat pada diagram ini berkaitan dengan masalah kualitas. Sedangkan unsur-unsur penyebab biasanya terdiri dari faktor-faktor manusia, material, mesin, metode, dan lingkungan. Komposisi bahan mentah dapat sedikit berbeda dengan sumber pasokan dan mungkin terdapat perbedaan ukuran dalam batas yang di izinkan. Mesin kelihatannya berfungsi dengan cara yang sama, tetapi dispersi dapat muncul dari sebuah mesin bila beroperasi optimal hanya sebagian dari sebagian waktu kerja. Metode kerja yang samapun dapat menunjukkan perbedaan dalam hasil prosesnya. Kegunaan dari diagram ini adalah untuk menemukan faktor-faktor yang merupakan sebab pada suatu masalah. Untuk menentukan faktor-faktor yang berpengaruh, ada lima faktor utama yang harus diperhatikan yaitu manusia, material, metode, mesin dan lingkungan, diagram ini berfungsi: 1.
Menemukan faktor yang berpengaruh pada karakteristik kualitas
2.
Prinsip bebas, penyebab yang berdiri sendiri
3.
Untuk pengisian digunakan metode sumbang saran
4.
Menggunakan metode 4 M + 1 L (mesin, material, metode, manusia, lingkungan). Bila terdapat sedikit perbedaan dalam bahan mentah, peralatan
dan metoda kerja, dispersi produk dalam histogram akan bertambah besar. Faktor penyebab sebaran adalah bahan mentah, peralatan, metode kerja dan sebagainya, perbedaan ini menghasilkan dispersi mutu produk. Mutu
yang ingin kita perbaiki dan kendalikan
disebut
“karakteristik mutu”. Yang dapat menyebabkan penyebaran disebut faktor. Untuk mengilustrasikan pada sebuah diagram hubungan antara sebab dan akibat kita ingin mengetahui sebab dan akibat dalam bentuk yang nyata. Oleh karenanya, akibat = karakteristik mutu, dan sebab = faktor.
II-23
Dalam diagram sebab akibat, faktor merupakan penyebab terjadinya cacat, sementara karakteristik mutu merupakan akibat. Pada umumnya, faktor harus ditulis lebih rinci untuk membuat diagram menjadi bermanfaat.
2.4.4
Diagram Kontrol (Control Chart) Prinsip
kerja
SPC
adalah
diagram-diagram
kontrol
/
pengendalian. Diagram kontrol adalah salah satu bagian dari diagram proses yang berbentuk cukup sederhana, dan terdiri atas dua tipe, yaitu : • Special cause variation, sumber dari varian yang tidak sepenuhnya tersedia pada waktu yang bersamaan, dan muncul dari keadaan yang spesifik. • Common cause variation, sumber dari variasi yang berpengaruh pada segenap nilai individual dari karakteristiknya. Hal membedakan
kedua
tipe
diagram
kontrol
terpenting
tersebut
dalam
adalah dengan
meninjaunya dari bagaimana cara memangkas adanya variasi penyebab khusus yang secara fundamental sangat berbeda dari „common cause variation‟. Strategi dalam menghadapi ‘common cause variation’ adalah bagaimana cara untuk menekan atau mereduksi sinyalemen kejadiannya. Misalnya, pendeteksian awal dengan metode desain kontrol, atau dengan mengukur kapabilitas dan kinerja proses yang memperlihatkan penurunan / pelemahan
atau
peningkatannya
tidak. perlu
Kalaupun ditinjau
ada, strategi
kembali,
pengembangan
terutama
dan
di titik-titik kritis
pentahapan proses. Berbeda dengan „special cause variation’, dalam menghadapi kejadian tersebut, disarankan
untuk
berkonsentrasi
pada
aktivitas penstabilan aktivitas proses dengan kembali pada fokus kontrol. Ini karena ‘special cause’ (penyebab khusus) hanya dapat diidentifikasi dengan diagram kontrol yang memiliki empat kriteria standar, antara lain : • Seluruh titik berada di luar garis kontrol; • Lintasan tujuh poin di atas atau di bawah garis tengah;
II-24
• Lintasan tujuh interval atas atau interval bawah; • Seluruh „obvious’ pattern non-random. (Hidayat, 2007, p302-303)
2.5
Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) FMEA adalah sistematika dari aktivitas yang mengidentifikasi dan
mengevaluasi tingkat kegagalan (failure) potensial yang ada pada sistem, produk, atau proses terutama pada bagian akar-akar fungsi produk / proses pada faktor-faktor yang mempengaruhi produk / proses. FMEA juga merupakan bentuk-bentuk desain “rank order
potential”,
dan
sebagai
pendefinisi proses. Sebagai perangkat kerja metode kualitas, FMEA berfungsi sebagai pengilustrasi dari implementasi metode-metode kualitas yang sesuai, yaitu sebagai media pengeliminasi dan pereduksi adanya perubahan-perubahan nilai yang terjadi karena adanya “failure occurring”. Tujuan FMEA adalah mengembangkan, meningkatkan, dan mengendalikan nilai / harga probabilitas dari “failure” yang terdeteksi dari sumber (input), dan juga mereduksi efek-efek yang ditimbulkan oleh kejadian “failure”
tersebut.
Fokus
FMEA
adalah strategi preventif terhadap
meningkatnya nilai faktor-faktor “non-conformance”, dan merupakan salah satu perangkat kerja dalam menganalisis resiko-resiko dalam sistem, produk, maupun proses. Dalam inisiatif Six Sigma, FMEA dikolaborasikan dengan model Kano sebagai landasan penerjemahan tingkat-tingkat ekspektasi konsumen. Model Kano berperandalam fungsi-fungsi pendefinisian praktis atas
ekspektasi
sedangkan
konsumen (termasuk
FMEA
tingkat-tingkat
berperan
(Hidayat, 2007, p244-245)
kepuasan
konsumen),
sebagai perangkat kerja dalam mereduksi
ketidakpuasan konsumen
peningkatan kepuasan konsumen.
definisi
dan bukan sebagai metode
II-25
Definisi dari berbagai terminologi dalam FMEA adalah sebagai berikut : (Pyzdek, 2003, p596-599) : 1. Potential Failure Mode adalah kegagalan-kegagalan yang mungkin terjadi dan yang mungkin tidak disukai oleh customer. 2. Potential Failure Effect adalah hal-hal yang muncul apabila kegagalan (Potential Failure Mode) itu terjadi. 3. Potential Causes adalah kemungkinan penyebab dari Potential Failure Mode tersebut. 4. Severity adalah penilaian atas seberapa signifikan kegagalan tersebut bisa memberikan kepada customer. Penilaian dengan pemberian rating untuk Severity bisa dilihat pada tabel di bawah ini. (Pyzdek, 2003, p598-599)
II-26
Tabel 2.5 Penjelasan Nilai Rating Severity dalam FMEA
Rating
Severity (SEV)
1
Minor. Customer tidak akan menyadari efeknya atau bahkan menganggap hal itu tidak penting.
2
Customer akan mengetahui efeknya.
3
Customer akan merasa terganggu terhadap kinerja yang rendah.
4
Sedang. Customer akan merasakan ketidakpuasan karena kinerja yang rendah
5
Produktivitas akan customer menurun.
6
Customer akan melakukan komplain. Sangat mungkin terjadi customer meminta perbaikan, retur, atau bahkan uang ganti rugi. Hal ini akan menyebabkan peningkatan biaya internal (perbaikan, pengerjaan ulang, dsb).
7
Kritis.
Loyalitas
customer
akan
berkurang.
Operasional
internal juga terkena dampak imbasnya 8
Goodwill customer akan hilang sepenuhnya sebagai akibat dari efeknya. Operasional internal sangat terganggu.
9
Keselamatan customer atau karyawan lemah.
10
Bencana. Customer atau karyawan berada dalam bahaya tanpa peringatan.
Sumber: Pyzdek, 2003, p598
II-27
5. Occurence adalah penilaian atas seberapa sering penyebab dari kegagalan ini terjadi. Penilaian dengan pemberian rating untuk Occurence bisa dilihat pada tabel di bawah ini. (Pyzdek, 2003, p598-599)
Tabel 2.6 Penjelasan Nilai Rating Occurrence dalam FMEA
Rating
Occurrence (OCC)
1
Hampir tidak pernah terjadi.
2
Tingkat kegagalan yang terdokumentasi rendah.
3
Tingkat kegagalan yang tidak terdokumentasi rendah.
4
Kegagalan terjadi dari waktu ke waktu.
5
Tingkat kegagalan yang terdokumentasi sedang.
6
Tingkat kegagalan yang tidak terdokumentasi sedang.
7
Tingkat kegagalan yang terdokumentasi tinggi.
8
Tingkat kegagalan yang tidak terdokumentasi tinggi.
9
Kegagalan sangat sering terjadi.
10
Kegagalan hampir selalu terjadi.
Sumber: Pyzdek, 2003, p598 6. Detectability adalah penilaian atas seberapa mungkin penyebab kegagalan itu bisa terdeteksi oleh sistem yang telah ada di perusahaan saat ini. Penilaian dengan pemberian rating untuk Detectability bisa dilihat pada tabel di bawah ini. Catatan: p adalah perkiraan probabilitas suatu kegagalan tidak terdeteksi. (Pyzdek, 2003, p598-599)
II-28
Tabel 2.7 Penjelasan Nilai Rating Detectability dalam FMEA
Rating
Detectability (DET)
1
Hampir pasti bisa terdeteksi sebelum sampai ke tangan customer. (p ≈ 0)
2
Kemungkinan sangat rendah untuk sampai ke tangan customer tanpa terdeteksi. (0 < p ≤ 0.01)
3
Kemungkinan rendah untuk sampai ke tangan customer tanpa terdeteksi. (0.01 < p ≤ 0.05)
4
Biasanya terdeteksi sebelum sampai ke tangan customer. (0.05 < p ≤ 0.20)
5
Kemungkinan bisa terdeteksi sebelum sampai ke tangan customer. (0.20 < p ≤ 0.50)
6
Kemungkinan tidak terdeteksi sebelum sampai ke tangan customer. (0.50 < p ≤ 0.70)
7
Sangat tidak mungkin terdeteksi sebelum sampai ke tangan 102 customer. (0.70 < p ≤ 0.90)
8
Kemungkinan terdeteksi buruk. (0.90 < p ≤ 0.95)
9
Kemungkinan terdeteksi sangat buruk. (0.95 < p ≤ 0.99)
10
Hampir pasti kegagalan tidak akan terdeteksi. (p ≈ 1)
Sumber: Pyzdek, 2003, p598 7. Risk Priority Number (RPN) adalah hasil perkalian antara Severity (SEV), Occurrence (OCC), dan Detectability (DET). 8. Recommended Action adalah usulan-usulan yang dapat dilakukan untuk mengatasi penyebab-penyebab kegagalan tersebut dan mengurangi angka Risk Priority Number (RPN).