BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Kinerja Mengajar Guru Menurut Hanif (2004), Kinerja mengajar guru adalah prestasi kerja guru yang ditunjukkan dalam tiga dimensi yaitu keterampilan mengajar, keterampilan manajemen, kedisiplinan dan ketertiban. Keterampilan mengajar, mempunyai arti seorang guru harus memiliki keterampilan dalam aktivitas dan keterampilan dalam mengorganisasi atau mengatur manajemen
kelas
dan
mengadakan
komunikasi
dengan anak sehingga terjadi proses belajar mengajar. Keterampilan mengajar meliputi (Hanif, 2004): (a) guru sebelum mengajar membuat persiapan mengajar dari rumah, (b) mengajar dengan hasil belajar sebagian besar siswa mendapat nilai baik, (c) dalam mengajar seorang guru menggunakan berbagai gaya mengajar, (d) guru mengajar siswa menurut potensi siswa, (e) guru memiliki kemampuan mengajar materi yang sulit dengan mudah, (f) guru dapat menjawab pertanyaan siswa dengan memuaskan.
Keterampilan manajemen artinya seorang guru harus memiliki keterampilan dalam mengelola kelas, siswa, tugas siswa, dan tugas guru. Keterampilan manajemen guru mencakup (Hanif, 2004): (a) seorang guru harus berbuat adil terhadap semua siswa dalam memberi nilai, (b) dalam
11
proses belajar mengajar tidak terpengaruh oleh kegiatan ekstra kurikuler, (c) pada kegiatan belajar mengajar guru tidak terpengaruh oleh pekerjaan rumah, (d) guru dalam kegiatan belajar mengajar selalu berusaha mengembangkan diri.
Kedisiplinan dan ketertiban artinya seorang guru dalam proses belajar mengajar sesuai dengan ketentuan yang berlaku, misalnya (Hanif, 2004): (a) guru harus hadir di kelas tepat waktu, (b) guru tidak mengerjakan pekerjaan tambahan di dalam kelas, (c) guru mengerjakan pekerjaannya dengan penuh tanggung jawab selama proses belajar mengajar, (d) guru mengerjakan silabus tepat waktu di kelas, (e) selama proses belajar mengajar guru menerapkan berbagai metode mengajar.
2.2
Faktor-faktor
yang
Mempengaruhi
Kinerja Mengajar Guru Hanif (2004) mengadakan penelitian menemukan bahwa kinerja mengajar guru secara signifikan dipengaruhi oleh 7 faktor yaitu faktor: (1) stres guru; (2) self-efficacy; (3) status; (4) jumlah siswa dalam kelas; (5) pendapatan; (6) pengalaman kerja; (7) sistem sekolah . Hanif (2004) menemukan bahwa stres guru dapat berpengaruh negatif terhadap kinerja mengajar guru, yang berarti bahwa semakin tinggi stres guru maka semakin rendah kinerja mengajar guru. Stres guru dapat berdampak secara psikologis dan sosial, salah satu bentuk dari dampak tersebut adalah 12
rendahnya kinerja mengajar guru. Hanif juga menemukan bahwa faktor self-efficacy berpengaruh positif terhadap kinerja mengajar guru, artinya semakin tinggi self-efficacy guru dalam melaksanakan suatu tugas atau mencapai tujuan, akan meningkatkan kinerja mengajarnya. Hanif (2004) juga mengemukakan bahwa kinerja mengajar guru secara signifikan dipengaruhi faktor status. Guru yang sudah menikah ditemukan memiliki kinerja lebih rendah dibandingkan dengan guru yang belum menikah. Kinerja mengajar guru di dalam kelas dengan jumlah siswa yang sangat banyak juga ditemukan sangat rendah. Faktor pendapatan juga dapat mempengaruhi kinerja mengajar guru, karena terbukti semakin tinggi pendapatan guru maka akan semakin baik kinerja mengajarnya. Pengalaman kerja guru yang semakin banyak juga akan semakin meningkatkan kinerja mengajar guru menjadi semakin baik. Sistem suatu sekolah ternyata juga dapat mempengaruhi kinerja guru. Terbukti dari penelitian Hanif (2004) menerangkan kinerja guru di Sekolah Negeri dengan di Sekolah swasta ditemukan bahwa kinerja mengajar guru di Sekolah Negeri lebih buruk, dibandingkan dengan kinerja mengajar guru di Sekolah Swasta. Sari (2011) menemukan bahwa kinerja mengajar guru dipengaruhi oleh faktor motivasi kerja dan profesionalisme. Semakin tinggi motivasi kerja dan profesionalisme guru maka kinerja mengajar guru akan semakin tinggi pula. Penelitian Alviah (2012) 13
menemukan bahwa motivasi dan supervisi berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap kinerja mengajar guru. Artinya semakin rendah motivasi dan intensitas supervisi maka semakin rendah pula kinerja guru.
Sedangkan
penelitian
dari
Prapta
(2013),
menemukan bahwa kinerja mengajar guru dipengaruhi oleh faktor supervisi akademik kepala sekolah dan iklim kerja, yaitu apabila semakin baik supervisi akademik kepala sekolah dan makin efektif iklim kerja maka semakin tinggi tingkat kinerja mengajar guru. Dari hasil penelitian Hanif dan temuan beberapa penelitian
menunjukkan
bahwa
kinerja
mengajar
dipengaruhi banyak faktor yang memberikan gambaran bahwa dalam upaya meningkatkan kinerja guru merupakan hal yang kompleks dan perlu dilakukan identifikasi yang tepat agar dapat mengatasi masalah kinerja guru.
2.3 Pengukuran Kinerja Mengajar Guru Dalam mengukur kinerja mengajar guru dapat diukur dengan menggunakan beberapa alat ukur, seperti: (1) kuesioner kinerja (Nisun, 2011) yang disusun berupa kuesioner kinerja guru mengajar yang berjumlah 25 item yang diisi oleh guru sendiri; (2) Angket kinerja guru (Wardoyo, 2010) yang dibuat untuk meneliti Kinerja guru di SMK 45 Wonosari dengan memberikan angket kinerja guru kepada siswa dan menilai dengan pengamatan berdasarkan indika14
tor yang terlihat ketika guru yang bersangkutan mengajar di kelas; (3) Teacher Performance Evaluation Forms (Cambrige, 2006) menyusun evaluasi guru oleh siswa berdasarkan kriteria kinerja pengajaran yang efektif; (4) Hultman dalam Chandra (2008), membuat alat ukur untuk mengukur kinerja guru yang disebut sebagai Peak Performance Inventory yang mengukur aspek komitmen, kepercayaan, kompetensi, kondisi dan komunikasi interpersonal guru; (5) Hanif (2004) menyusun skala kinerja guru yang dinamakan Teacher Job Performance Scale. Penelitian ini mempergunakan alat ukur Teacher Job Performance Scale yang disusun oleh Hanif (2004) yang diadaptasi untuk mengukur kinerja mengajar guru. TJPS telah terbukti valid dan reliabel. Hanif melakukan uji validitas dan reliabilitas dengan 25 item pada skala kinerja mengajar guru dan hasilnya adalah r (corrected item-total correlation) sebesar 0,27 – 0,46 dan alpha sebesar 0,71 pada tingkat signifikansi sebesar 0,01. TJPS dibuat untuk mengukur kinerja guru di tempat kerja dan dapat membantu untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan kinerja guru pada tingkat individual dan organisasional serta membantu guru untuk meningkatkan kualitas dan efektivitas dalam mengajar. Skala Kinerja Mengajar Guru diambil dari 15 item yang mengukur 3 aspek yaitu: (1) Teaching Skill (TS) adalah guru memiliki keterampilan mengajar yang baik yaitu mengajar secara efektif di kelas dan 15
memuaskan dalam gaya dan kualitas mengajarnya; (2) Management skill (MS) adalah keterampilan guru untuk mengatur waktu mengajar dan tugas-tugasnya yang lain yang ditugaskan oleh kepala Sekolah; (3) Discipline and regularity (DR) terkait dengan keteraturan dan ketepatan waktu guru di sekolah. Skala Kinerja
Mengajar
Guru
diambil
dari
TJPS
yang
disusun oleh Hanif (2004) sebanyak 25 item.
2.4 Pengertian Supervisi akademik Lucio (1990) merumuskan supervisi akademik adalah
upaya
untuk
membimbing
mengembangkan kemampuannya
guru
dalam
untuk mengelola
proses pembelajaran demi mencapai tujuan pembelajaran. Dalam memberikan bimbingan kepada guru untuk mengembangkan kemampuannya mengelola proses pembelajaran
mencakup: (1) perencanaan;
(2) pelaksanaan; (3) umpan balik yang berkaitan dengan prestasi mengajar guru melalui evaluasi. Inti kegiatan supervisi akademik itu bukan mengevaluasi unjuk kerja guru dalam mengelola proses pembelajaran, melainkan membantu membimbing guru mengembangkan kemampuan profesionalnya. Bantuan kepada guru dapat berupa dukungan dan evaluasi. Bimbingan perlu diberikan kepada guru, karena guru pada umumnya masih menemui kesulitan dalam menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, melaksanakan kegiatan pembelajaran serta melaksana16
kan
evaluasi
(Lucio,
1990).
Menyusun
rencana
pembelajaran memuat beberapa konsep yang mesti dituangkan oleh guru seperti tujuan, materi, metode, alat dan sumber serta evaluasi. Dalam melaksanakan pembelajaran guru berpedoman pada rencana pelaksanaan pembelajaran yang telah disusun, dan untuk melaksanakan evaluasi sebelumnya guru membuat rencana evaluasi agar pelaksanaan evaluasi tidak menyimpang dari materi yang telah tertuang dalam rencana pembelajaran. Setelah bantuan diberikan selama proses berlangsung, maka pada akhirnya guru diberi bantuan evaluasi untuk memastikan semua bantuan yang diberikan bermanfaat sesuai dengan tujuan. Fungsi
kedua
supervisi
akademik
adalah
evaluasi. Proses evaluasi dalam supervisi merupakan proses yang sangat penting. Dapat dikatakan bahwa tidak
ada
bimbingan
yang
efektif
tanpa
proses
evaluasi. Evaluasi adalah suatu tindakan pengujian terhadap manfaat (worth), kualitas, kebermaknaan, jumlah, kadar atau tingkat, tekanan atau kondisi dari beberapa perbandingan situasi (hasil evaluasi dari beberapa situasi yang sama yang digunakan sebagai standar perbandingan), yang kualitasnya telah diketahui dengan baik (Lucio, 1990). Evaluasi memiliki karakteristik: (1) Mengidentifikasi aspek-aspek yang akan dievaluasi; (2) memfasilitasi pertimbangan-pertimbangan; (3) Menyediakan informasi yang berguna (ilmiah, reliabel, valid dan 17
tepat waktu); (4) melaporkan penyimpangan/kelemahan untuk memperoleh remediasi dari yang dapat diukur saat itu juga (Lucio, 1990). Jadi secara umum kegiatan supervisi akademik ditujukan untuk perbaikan situasi belajar mengajar yang dilakukan melalui proses peningkatan kemampuan profesi para guru dalam melaksanakan tugasnya. Secara sederhana supervisi dapat dirumuskan sebagai suatu kegiatan yang direncanakan dari segi kualitatif sekolah dengan membantu guru melalui proses dukungan dan evaluasi pada proses belajar mengajar sehingga dapat meningkatkan hasil belajar. Supervisi akademik memiliki beberapa tujuan. Tujuan supervisi akademik secara konkrit menurut Lucio (1990) adalah sebagai berikut: a. Membantu guru mengelola pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan; b. Membantu guru dalam membimbing pengalaman belajar siswa; c. Membantu guru dalam menggunakan saranasarana belajar; d. Membantu guru dalam menggunakan metodemetode dan alat-alat pelajaran modern; e. Membantu guru dalam memenuhi kebutuhan belajar; f. Membantu guru dalam menilai kemajuan dan hasil pekerjaan guru itu sendiri; g. Membantu guru dalam membina reaksi mental atau moral kerja guru dalam rangka pertumbuhan pribadi dan jabatannya; h. Membantu guru baru di sekolah sehingga mereka merasa gembira dengan tugas yang diperolehnya;
18
i.
j.
Membantu guru agar lebih mudah mengadakan penyesuaian terhadap masyarakat dan cara-cara menggunakan sumber-sumber masyarakat. Membantu guru agar waktu dan tenaga guru tercurahkan sepenuhnya dalam pembinaan sekolah.
2.5 Meningkatkan Supervisi Akademik Peran Kepala Sekolah sebagai Supervisor Supervisi merupakan kegiatan yang harus dilaksanakan secara terus menerus dan berkesinambungan. Kegiatan supervisi harus sesuai dengan fungsi dan perannya, bertanggung jawab terhadap enam tugas yaitu menyangkut perencanaan, manajemen, pelaksanaan supervisi itu sendiri, pengembangan kurikulum, demonstrasi pengajaran dan penelitian (Lucio dalam Barokah, 2005). Sebagai pemimpin di sekolah, Kepala Sekolah mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk selalu mensinkronkan semua aspek pendidikan, baik dari dimensi lembaga maupun dimensi individu agar perilaku seluruh warga sesuai dengan yang diharapkan demi tercapainya tujuan supervisi. Seorang kepala sekolah selain harus mengetahui aspek atau bidang keterampilan yang akan dibina, juga harus mengetahui karakteristik sifat atau kepribadian guru, sehingga teknik supervisi yang digunakan sesuai dengan kebutuhan guru. Lucio (1990) menyarankan agar Kepala Sekolah mempertimbangkan enam faktor kepribadian guru yaitu: kebutuhan 19
guru, minat guru, bakat guru, temperamen guru, sikap guru dan sifat-sifat somatik guru di dalam melaksanakan program pembinaan atau supervisi akademik dalam meningkatkan kinerja guru. Kepala Sekolah memiliki peran dan tanggung jawab memantau, membina, dan memperbaiki proses belajar mengajar di sekolah. Peran dan tanggung jawab ini dilaksanakan melalui kegiatan supervisi. Sebagai supervisor, kepala sekolah hendaknya melaksanakan kegiatan supervisi secara teratur, berkelanjutan dan dengan perencanaan yang matang. Lucio (dalam
Akbar, 2011) mendefinisikan tugas supervisi
yang meliputi: (a) Tugas perencanaan, yaitu untuk menetapkan kebijaksanaan dan program; (b) tugas administrasi, yaitu pengambilan keputusan serta pengkoordinasian melalui konferensi dan konsultasi yang dilakukan dalam usaha mencari perbaikan kualitas pengajaran; (c) Partisipasi secara langsung dalam pengembangan kurikulum, yaitu dalam kegiatan merumuskan tujuan pembelajaran, membuat penuntun mengajar bagi guru dan memilih isi pengalaman belajar (d) melaksanakan demonstrasi mengajar untuk guru-guru, serta (e) melaksanakan penelitian.
Memang salah satu tugas kepala sekolah/ madrasah adalah melaksanakan supervisi akademik. Untuk
melaksanakan
supervisi
akademik
secara
efektif diperlukan keterampilan konseptual, interpersonal dan teknikal (Glickman et.al, 2007). Oleh sebab itu, setiap kepala sekolah/madrasah harus memiliki dan 20
menguasai konsep supervisi akademik yang
meliputi: pengertian, tujuan dan fungsi, prinsipprinsip,
dan
dimensi-dimensi
substansi
supervisi
akademik. Menurut Mulyasa (2007) untuk melaksanakan supervisi, kepala sekolah sebagai supervisor harus memperhatikan prinsip-prinsip: (1) hubungan konsultatif, kolegial, dan bukan hierarkhis, (2) dilaksanakan secara demokratis, (3) berpusat pada tenaga kependidikan (guru), (4) dilakukan berdasarkan kebutuhan tenaga kependidikan (guru), (5) merupakan bantuan profesional.
2.6 Pengukuran Supervisi Akademik Dalam mengukur supervisi akademik, terdapat beberapa alat ukur yang dapat dipergunakan, seperti (1) menurut
Glicman
(1981) mengukur supervisi
akademik dengan skala, diukur melalui tiga tahap yaitu pertemuan awal, observasi kelas, dan pertemuan akhir (penilaian dan umpan balik) dengan jumlah item 32; (2) Sujana
(2010) mengukur supervisi akademik
dengan dengan skala. Dimensi yang diukur ada tiga dimensi yaitu memantau, menilai, serta pelatihan dan pembimbingan dengan jumlah 21 item; (3) Angket Supervisi kepala Sekolah yang dikembangkan oleh Suryadi (2009). Angket ini terdiri dari 34 item yang mengembangkan dari konsep membuat perencanaan, pelaksanaan supervisi, dan evaluasi tindak lanjut supervisi akademik; (4) Skala Supervisi Akademik 21
menurut teori Lucio (1990) terdiri dari konsep yaitu perencanaan, pelaksanaan, dan umpan balik supervisi dengan jumlah 82 item. Supervisi akademik dalam penelitian ini bukan untuk menilai proses supervisi yang dilakukan kepala sekolah, namun lebih ditekankan kepada persepsi atau tanggapan guru terhadap kemanfaatan supervisi tersebut. Pengukuran supervisi akademik dilakukan berdasarkan tiga konsep menurut Lucio (1990), yaitu tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, dan tahap umpan balik. Ketiga konsep dikembangkan dengan memperhatikan kondisi di tempat penelitian. Skala
yang
digunakan
untuk
mengukur
supervisi akademik terdiri dari 74 butir item yang telah digunakan oleh Jaenuri (2012), disusun dalam bentuk item favourable atau item yang mendukung teori. Setiap butir item diberikan empat alternatif jawaban dengan skala Likert. Masing-masing jawaban diberi skor sesuai dengan jenisnya, mulai dari 1 sampai dengan 4 (skala 4). Semakin tinggi skor yang diperoleh guru berarti semakin tinggi manfaat supervisi akademik yang dirasakan guru. Tetapi sebaliknya semakin rendah skor yang diperoleh guru berarti semakin rendah manfaat supervisi akademik yang dirasakan oleh guru.
22
2.7 Pengertian Motivasi Kerja Herzberg (1995) berpendapat bahwa motivasi kerja adalah dorongan untuk bergerak yang mengarahkan perilaku seseorang dalam melakukan pekerjaan. Motivasi kerja sebagai suatu kekuatan energetik yang dimiliki seseorang untuk menunjukkan perilaku terkait pekerjaan dan menentukan bentuk, arah dan intensitas. Keterkaitan motivasi kerja dengan kinerja mengajar dapat dilihat dari peran guru dalam menjalankan perannya secara optimal. Herzberg (1995) mengemukakan teori motivasi terdiri dari dua faktor yaitu faktor hygiene dan motivator. Dia membagi kebutuhan Maslow menjadi dua bagian yaitu kebutuhan tingkat rendah (fisik, rasa aman, dan sosial) dan kebutuhan tingkat tinggi (harga diri dan aktualisasi diri) serta mengemukakan bahwa cara terbaik untuk memotivasi individu adalah dengan memenuhi kebutuhan tingkat tingginya. Menurut teori ini ada dua faktor yang mempengaruhi kondisi pekerjaan seseorang, yaitu faktor pemuas (motivation factor) yang disebut juga dengan satisfier atau intrinsic motivation dan faktor kesehatan (hygienes) yang juga disebut disatisfier atau ekstrinsic motivation. Jadi guru yang terdorong secara intrinsik akan menyenangi menggunakan
pekerjaan kreativitas
yang dan
memungkinkannya inovasinya,
bekerja
dengan tingkat otonomi yang tinggi dan tidak perlu 23
diawasi dengan ketat. Kepuasan di sini tidak terutama dikaitkan dengan perolehan hal-hal yang bersifat materi. Sebaliknya mereka yang lebih terdorong oleh faktor-faktor ekstrinsik cenderung melihat kepada apa yang diberikan oleh organisasi kepada mereka, dan kinerjanya diarahkan kepada perolehan hal-hal yang diinginkannya dari organisasi (Sondang, 2002). Menurut Herzberg (2004) motivasi kerja muncul ketika dirasakan adanya ketidakadilan setiap individu dalam organisasi. Setiap orang kadang melakukan perbandingan
atas
perlakuan
yang
diterimanya
dengan perlakuan yang diterima orang lain. Dengan membandingkan perlakuan tersebut terutama outcome yang diperoleh, maka seseorang dapat merasakan keadilan atau ketidakadilan. Sementara
rasa
ketidakadilan
dalam
teori
Herzberg disebut motivation-hygiene. Teori ini menunjukkan bahwa motivasi kerja disebutkan sebagai penyebab
timbulnya
ketidakpuasan
kerja
akibat
ketidakadilan karena tidak seimbangnya pertukaran antara input yang diberikan dengan output yang diterima. Menurut Herzberg ada dua komponen pokok yang mempengaruhi seseorang bekerja yaitu faktor hygiene
(lingkungan)
dan
faktor
motivasional
(Herzberg, 1995). Aspek yang perlu diperhatikan untuk meningkatkan motivasi kerja adalah mengurangi hambatan yang datang dari dalam instansi/organisasi. Hal ini 24
dijelaskan oleh Herzberg yang menyatakan bahwa menjadi
faktor
motivator
apabila
dapat
memicu
seseorang untuk bekerja lebih baik dan bergairah, seperti: pengakuan dari orang lain, peluang untuk berprestasi, tantangan dan tanggung jawab. Terpenuhinya faktor ini menyebabkan orang merasa puas tetapi bila tidak terpenuhi, tidak akan mengakibatkan rasa
kecewa
dan
kecemasan
yang
berlebihan
(Herzberg, 1995). Salah satu cara untuk mengurangi hambatan yang datang dari dalam instansi atau sekolah agar motivasi kerja guru meningkat adalah dengan cara menambah atau melengkapi sarana-sarana untuk menunjang
kelancaran
dalam
pelaksanaan
tugas
mengajar sesuai dengan tuntutan tugas pokok dan fungsi guru.
2.8 Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Kerja Herzberg (dalam Siagian, 2004) menyatakan bahwa faktor yang mendorong aspek motivasi adalah faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik antara lain: mengetahui visi dan misi kerja, ingin mendapatkan penghargaan, ingin erprestasi, ingin mendapatkan gaji/upah, ingin meningkatkan karier, dan ingin bersosialisasi dengan mitra kerja. Sedangkan faktor ekstrinsiknya yaitu: suasana di tempat kerja, upah yang layak, adanya penghargaan atas hasil 25
pekerjaan, adanya pengakuan atas hasil pekerjaan, dan adanya kode etik dalam bekerja. Dalam penelitian ini, motivasi kerja guru berpatokan
pada
rumusan
yang
dikemukakan
oleh
Herzberg dengan menyesuaikan pada keadaan di lapangan, yaitu kombinasi faktor intrinsik berupa: (1) komitmen terhadap pekerjaan, (2) tanggungjawab, (3) kemungkinan untuk tumbuh, (4) prestasi, dan (5)
pengakuan. Dengan
faktor
motivasi
ekstrinsik
berupa: (a) kebijakan, (b) supervisi teknis, (c) hubungan antar manusia dengan atasan, (d) hubungan antar manusia dengan teman kerja, (e) besaran gaji.
2.9 Pengukuran Motivasi Kerja Dalam
mengukur
motivasi
kerja,
terdapat
beberapa alat ukur yang dapat dipergunakan, seperti: (1)
Angket
motivasi
kerja
yang
disusun
oleh
McCormick dengan berdasarkan dua aspek motivasi kerja yaitu motivasi dari dalam (internal) dan motivasi dari luar (eksternal). Instrumen kemudian dijabarkan dalam 22 item (Mangkunegara, 2002); (2) Angket motivasi kerja (Yono, 2006) yang disusun berupa angket dengan jumlah 14 item. Angket ini dipergunakan untuk mengukur motivasi kerja guru sebanyak 36 guru pada kelompok bermain. Dimensi yang diukur adalah motivasi kerja intrinsik dan motivasi kerja ekstrinsik, (3) Kuesioner motivasi kerja (Guterres, 2012) yang disusun berupa kuesioner motivasi kerja 26
untuk mengukur motivasi kerja guru SMA dengan jumlah 18 item. Dimensi yang diukur ada 2, yaitu motivasi internal dan motivasi eksternal, (4) Skala motivasi kerja yang disusun menurut teori Herzberg (1995) yang terdiri dari faktor ekstrinsik dan faktor instrinsik dengan jumlah 18 item. Pengukuran motivasi kerja peneliti menggunakan skala yang bertujuan untuk memperoleh informasi
secara
tertulis
kepada
responden
tentang
motivasi kerja. Skala adalah seperangkat pengetahuan yang disusun untuk diajukan kepada responden untuk memperoleh informasi secara tertulis
dari
responden sebagai objek penelitian, berkaitan dengan tujuan pengujian instrumen penilaian motivasi kerja guru. Herzberg (dalam Robbins, 2007) mengatakan bahwa hal yang perlu diukur dalam motivasi kerja guru
meliputi:
prestasi
(achievement),
pengakuan
(recoqnition), tanggungjawab (responbility), kemajuan (advancement), pekerjaan itu sendiri (the work it self), dan kemungkinan berkembang (the possibility of growth), status seseorang dalam organisasi, hubungan seorang dengan rekan-rekannya, teknik supervisi, kebijakan organisasi, sistem administrasi, kondisi kerja dan sistem imbalan yang berlaku.
2.10 Penelitian yang Relevan Beberapa penelitian terkait dengan penelitian yang relevan adalah: 27
1. Sudarmadi (2012) meneliti tentang Hubungan Kepuasan Mengenai
Kerja
Guru
Supervisi
dan
Akademik
pendapat Kepala
Guru sekolah
dengan Kinerja Mengajar Guru Yayasan Pangudi Luhur Ranting Ambarawa. Populasi dalam penelitian adalah semua guru Yayasan Pangudi Luhur Ranting Ambarawa yang berjumlah 60 orang guru. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepuasan kerja guru dan supervisi akademik kepala sekolah bersama-sama memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan kinerja mengajar guru Yayasan Pangudi
Luhur
menunjukkan
Ranting
bahwa
Ambarawa.
Penelitian
koefisien korelasi
ganda
RX1.2.y = 0,642 dan p= 0,000< 0,05. Koefisien korelasi ganda Rx1.2.y lebih besar dari koefisien korelasi bivariat rx1.y = 0,593 dan rx2.y = 0,384. Semakin baik kemampuan supervisi akademik kepala sekolah dan kepuasan kerja guru maka semakin baik kinerja mengajar guru; 2. Muhtiar (2010) mengadakan penelitian tentang Hubungan Supervisi Kepala Sekolah dan Motivasi Kerja terhadap Kinerja Guru di SMP Negeri se Kota Banjarmasin. Populasi penelitian adalah guruguru dari 34 SMP se kota Banjarmasin dengan sampel sebanyak 100 orang guru. Hasil penelitian terdapat hubungan positif dan signifikan antara supervisi Kepala Sekolah, motivasi kerja dengan kinerja
guru.
Supervisi
Kepala
Sekolah
dan
motivasi kerja memberikan sumbangan secara 28
bersama-sama sebesar 39% terhadap kinerja guru. Sementara 61% kontribusi diberikan oleh unsur lain di luar supervisi kepala sekolah dan motivasi kerja; 3. Hubungan Supervisi dan Motivasi Kerja dengan Kinerja
Guru
di Gugus Ki
Hajar Dewantara
Kecamatan Pabelan, penulis Hastuti (2011). Dalam penelitian ini peneliti mengambil populasi guruguru pada sekolah dasar (SD) di Gugus Ki Hajar Dewantara
yang
berjumlah
50
guru.
Peneliti
menyimpulkan bahwa hubungan antara supervisi dengan kinerja guru memiliki koefisien korelasi sebesar rx.1y
=
0,490 dengan p =0,000<0,05. Ini
menunjukkan bahwa ada hubungan positif dan signifikan kinerja
antara
guru.
supervisi
Semakin
akademik
tinggi
skor
dengan supervisi
akademik, maka skor kinerja guru akan semakin naik; 4. Penelitian Indrawati (2012) berjudul Pengaruh Supervisi Kepala Sekolah dan Motivasi Kerja Guru terhadap Kinerja guru TK/RA di UPTD Pendidikan Kecamatan
Bandungan
Kabupaten
Semarang.
Populasi penelitian adalah seluruh guru TK/RA di UPTD Pendidikan Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang yang berjumlah 78 orang. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada pengaruh positif dan signifikan antara motivasi kerja terhadap kinerja guru TK/RA di Kecamatan Bandungan. Dari hasil analisis regresi linier berganda dapat 29
diketahui bahwa koefisien regresi variabel motivasi sebesar -0,19 dengan nilai thitung sebesar 1,992 dan pvalue sebesar 0,787. Karena hasil thitung dalam uji regresi motivasi lebih kecil dari ttabel dan memiliki pvalue 0,787 yang lebih besar dari 0,05, maka pengaruhnya dinyatakan tidak signifikan; 5. Penelitian Ngasripan (2011) berjudul Hubungan Kepuasan kerja dan motivasi kerja dengan kinerja mengajar Guru SD Negeri Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh guru Sekolah Dasar Negeri di wilayah
Kecamatan
Bandungan
Kabupaten
Semarang yang berjumlah 210 orang. Kesimpulan dari penelitian ini adalah ditemukan ada hubungan positif signifikan antara motivasi kerja dengan kinerja mengajar guru, dengan koefisien korelasi 0,379 dengan probabilitas 0,001 < 0,05; 6. Penelitian Sumiata, Nyoman Gede (2010) berjudul Hubungan antara kemampuan manajerial Kepala sekolah, Supervisi Pembelajaran, dan iklim Organisasi dengan Kinerja Guru pada Sekolah Dasar Negeri
di
Kecamatan
Busungbiu
Kabupaten
Buleleng. Populasi adalah guru Sekolah Dasar Negeri
di
Kecamatan
Busungbiu
Kabupaten
Buleleng yang berjumlah 181 orang. Kesimpulan penelitian ini adalah ditemukan ada hubungan positif
antara
kinerja
guru
supervisi pada
SD
pembelajaran Negeri
di
Kecamatan
Busungbiu dengan kontribusi sebesar 24%. 30
dengan
2.11 Perumusan Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini dirumuskan
se-
bagai berikut: 1. Ada hubungan yang signifikan antara
super-
visi akademik kepala sekolah dengan kinerja mengajar guru di Gugus Durian kecamatan Bejen; 2. Ada hubungan yang signifikan antara motivasi kerja dengan kinerja mengajar guru di Gugus Durian kecamatan Bejen. Hipotesis Statistik Hipotesis statistik dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1. H0 : rx1y < 0. Tidak ada hubungan positif yang signi-fikan antara supervisi akademik kepala sekolah dengan kinerja mengajar guru di gugus durian kecamatan Bejen; Ha : rx1y > 0. Ada hubungan positif yang signifikan antara supervisi akademik kepala sekolah dengan kinerja mengajar guru di gugus durian kecamatan Bejen. 2. H0 : rx2y < 0. Tidak ada hubungan positif yang signifikan antara motivasi kerja kerja dengan kinerja
mengajar
guru
di
Gugus
Durian
kecamatan Bejen;
31
Ha : rx2y > 0. Ada hubungan positif yang signifikan antara motivasi kerja kerja dengan kinerja
mengajar
kecamatan Bejen.
32
guru
di
Gugus
Durian