BAB II LANDASAN TEORI
2.1
Fungsi Persediaan
Persediaan memiliki beberapa fungsi yang dapat memberikan fleksibilitas pada sebuah operasional perusahaan. Menurut Heizer, J. (2000, p 440), Keenam fungsi persediaan adalah: 1.
To provide a stock of goods to meet anticipated customer demand and provide a “selection” of goods.
2.
To decouple suppliers from production and production from distribution. …
3.
To take advantage of quality discounts, because purchases in larger quantities may reduce the cost of goods or delivery.
4.
To hedge against inflation and upward price changes.
5.
To protect against delivery variation due to weather, supplier shortages, quality problems, or improper deliveries. “Safety stocks” - namely, extra goods on hand - reduce the risk of shortages.
6.
To permit operations to continue smoothly with the use of “work-inprocess” inventory (goods that have been moved partway through production). These inventories exist because there may be disruptions in various stages of the production process.
7
8
2.2
Tipe Persediaan
Persediaan dapat dikelompokkan menjadi empat tipe, yaitu: 1.
Raw material inventory / Persediaan bahan baku, merupakan barang-barang telah dibeli tetapi belum diproses.
2.
Work-in-process (WIP) inventory / Persediaan barang setengah jadi, merupakan komponen-komponen atau bahan baku yang sedang dalam proses perubahan tetapi belum selesai.
3.
Maintenance/repair/operating (MROs) / Persediaan untuk keperluan perawatan, perbaikan, dan operasi yang merupakaan persediaan yang dibutuhkan untuk menjaga mesin-mesin dan seluruh proses tetap produktif.
4.
Finished goods inventory / Persediaan barang jadi yang merupakan produk yang telah siap untuk dikirim. Heizer, J. (2000, p 440 - 441)
2.3
Manajemen Persediaan
Sebuah operasional perusahaan memiliki sistem untuk mengelola persediaan dan menurut Heizer, J. (2000, p 441) terdapat dua faktor penting pada sebuah sistem persediaan, yaitu: 1.
Bagaimana cara mengelompokkan barang-barang persediaan (yang disebut dengan ABC analysis).
2.
Seberapa akurat data persediaan dapat dipertahankan (maintained).
9
2.3.1 ABC Analysis ABC analysis membagi persediaan menjadi tiga kelompok berdasarkan annual dollar volume. ABC analysis merupakan aplikasi persediaan yang dikenal sebagai prinsip Pareto. Tujuannya adalah untuk membangun kebijakan persediaan yang perhatiannya tertuju pada bagian persediaan yang few critical bukan yang many trivial. Sangat tidak realistis jika perhatian pada barang-barang yang murah memiliki bobot yang sama untuk barang-barang yang mahal.
Gambar 2.1 Grafik Representasi dari ABC Analysis
Sumber : Heizer, J. (2000, p 441)
Untuk menentukan annual dollar volume untuk ABC analysis, dihitung permintaan per tahun setiap barang lalu dikalikan dengan biaya per unit. Kelompok A diperuntukkan barang-barang yang memiliki nilai tinggi. Meskipun jumlah barangnya
10
hanya sekitar 15% total persediaan, tetapi nilainya mencapai 70% - 80% dari total biaya. Kelompok B adalah barang-barang dengan nilai tidak terlalu tinggi, yaitu sekitar 10% - 25% total biaya dan berjumlah sekitar 30% total persediaan. Sedangkan kelompok C adalah kelompok barang yang memiliki nilai rendah sekitar 5% total biaya tetapi memiliki jumlah yang paling banyak, yaitu sekitar 55% total persediaan. Pada umumnya, kondisi persediaan perusahaan akan tampak seperti gambar 2.1.
2.3.2 Record Accuracy Kebijakan persediaan yang baik akan tidak memiliki arti apapun jika manajemen tidak mengetahui persediaan apa yang dimilikinya. Keakuratan dalam pencatatan adalah faktor terpenting pada sistem produksi dan persediaan, sehingga perusahaan dapat fokus pada barang-barang yang dibutuhkan, selain membenahi segala sesuatu yang berada pada persediaan. Ketika sebuah perusahaan dapat menentukan dengan akurat apa yang dimilikinya maka ia akan membuat keputusan-keputusan yang tepat mengenai pemesanan (ordering), penjadwalan (schedulling), dan pengiriman (shipping).
2.3.3 Cycle Counting Meskipun sebuah perusahaan telah berusaha untuk melakukan pencatatan persediaan dengan akurat, seluruh catatan tersebut harus diverisifikasi dengan dilakukan audit secara terus-menerus. Audit yang demikian disebut dengan cycle counting.
11
Menurut Heizer, J. (2000, p 444), terdapat beberapa manfaat dengan melakukannya cycle counting, yaitu: 1.
Eliminating the shutdown and interruption of production necessary for annual physical inventories;
2.
Eliminating annual inventories adjustments;
3.
Providing trained personnel to audit the accuracy of inventory;
4.
Allowing the cause of the errors to be identified and remedial action to be taken;
5.
2.4
Maintaining accurate inventory records.
Peramalan
Forecasting atau peramalan adalah langkah awal sebuah perencanaan. Sebelum melakukan perencanaan, perusahaan harus memperkirakan terlebih dahulu kondisi apa yang mungkin terjadi di masa depan. Banyak alasan mengapa sebuah perusahaan harus melakukan peramalan, namun yang terpenting adalah peramalan merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari oleh perusahaan-perusahaan yang sedang melakukan perencanaan untuk memenuhi permintaannya di masa yang akan datang. Tujuan utama sebuah perusahaan adalah untuk melayani pelanggan. Pemasaran memiliki peranan untuk memenuhi kebutuhan para pelanggan, sedangkan operasional, melalui materials management, berperan untuk menyediakan sumbersumber daya tersebut. Koordinasi dalam melakukan perencanaan pada kedua pihak tersebut disebut dengan demand management.
12
Menurut Arnold, J.R. (1996, p 189): Demand management is the function of recognizing and managing all demands for products. It occurs in the short, medium, and long term. In the long term, demand projections are needed for strategic business planning of such things as facilities. In the medium term, the purpose of demand management is to project aggregate demand for production planning. In the short run, demand management is needed for items and is associated with master production scheduling. Demand management termasuk di dalamnya adalah forecasting, order entry, order promising, branch warehouse requirements, interplant orders, dan service parts requirements. Ia menghubungkan antara perencanaan dan pengendalian manufaktur dengan marketplace.
2.4.1 Karakteristik Permintaan Jika data historis permintaan dipetakan pada sebuah skala waktu, maka akan menunjukkan sebuah bentuk atau beberapa pola yang telah ada. Sebuah pola adalah bentuk umum pada serangkaian waktu (time series). Menurut Arnold, J.R. (1996, p 190), terdapat beberapa alasan terjadinya sebuah pola, yaitu: Trend. That can be level, having no change from period to period, or it can rise or fall. Seasonality. This fluctuation may be the result of the weather, holiday seasons, or particular events that take place on a seasonal basis. Seasonality is usually thought of as occurring on a yearly basis, but it can also occur on a weekly or even daily basis.
13
Random variation. Many factors affect demand during specific periods and occur on a random basis, the variation may be small, with actual demand falling close to the pattern, or it may be large, with points widely scattered. Cycle. Over a span of several years and even decades, wavelike increases and decreases in the economy influences demand.
Pola-pola pada beberapa permintaan produk atau jasa dapat berubah-rubah setiap saat dan ada beberapa yang tidak berubah. Pola-pola yang cenderung bertahan pada bentuk umum disebut dengan stable dan yang tidak disebut dengan dynamic. Perubahan-perubahan dinamis dapat mempengaruhi trend, seasonality, atau keragaman pada permintaan aktual. Sehingga, semakin stabil sebuah permintaan, maka semakin mudah ia untuk diramalkan.
2.4.2 Teknik Peramalan Terdapat banyak metode untuk melakukan peramalan, namun secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu: 1.
Qualtitative Techniques Teknik kualitatif bersifat subjektif dan merupakan perkiraan yang berdasarkan penilaian, intuisi, dan opini-opini.
2.
Extrinsic Techniques Teknik ekstrinsik adalah perkiraan yang berdasarkan indikator-indikator eksternal (ekstrinsik) yang berhubungan dengan permintaan dari produk-produk perusahaan.
14
3.
Intrinsic Techniques Sedangkan teknik instrinsik adalah peramalan dengan menggunakan data-data historis. Data-data ini umumnya tercatat dan telah tersedia pada perusahaan. Peramalan teknik instrinsik berasumsi bahwa apa yang telah terjadi di masa lalu akan terulang kembali di masa yang akan datang.
Setelah dibahas mengenai fungsi persediaan, tipe persediaan, manajemen persediaan, dan teknik-teknik melakukan peramalan, pada topik selanjutnya akan dibahas mengenai cara-cara melakukan manajemen persediaan. Tujuan dari manajemen persediaan adalah untuk menentukan tingkat kebutuhan setiap pelanggan perusahaan dan mengurangi biaya-biaya yang ditimbulkannya. Untuk mencapai hal tersebut, terdapat dua pertanyaan utama yang harus dijawab, yaitu: 1.
Berapa jumlah pesanan dalam satu kali pemesanan?
2.
Kapan melakukan sebuah pemesanan?
Sebuah perusahaan harus memiliki kebijakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, sehingga personel manajemen persediaan dapat memutuskan kapan dan berapa jumlah yang harus dipesan. Salah satu metode yang umum digunakan untuk melakukan perhitungan jumlah pesanan adalah economic-order quantity (EOQ).
15
2.5
Economic Order Quantity (EOQ)
Menurut Arnold, J.R. (1996, p 243), dalam menggunakan metode EOQ harus diperhatikan asumsi-asumsi sebagai berikut: 1.
Demand is relatively constant and is known.
2.
The item is produced or purchased in lots or batches and not continuously.
3.
Order preparation costs, inventory-carrying costs, and lead times are constant and known.
4.
Replacement occurs all at once
Terdapat pula beberapa biaya yang berhubungan dengan metode EOQ, yaitu: 1.
Annual cost of placing orders.
2.
Annual cost of carrying inventory.
Pada saat jumlah pesanan meningkat, rata-rata jumlah persediaan dan biaya penyimpanan persediaan per tahun pun akan meningkat, akan tetapi jumlah dan biaya pemesanan per tahun akan berkurang. Sehingga diperlukan sebuah langkah untuk menentukan jumlah pesanan yang menghasilkan biaya penyimpanan dan biaya pemesanan yang minimum.
Berikut ini adalah rumus untuk menentukan jumlah pesanan menggunakan metode EOQ: EOQ =
2 AS ic
16
Dimana: A = annual usage in units S = ordering cost in dollars per order i = annual carrying cost rate as decimal of a percentage c = unit cost in dollars Q = order quantity in units
Annual ordering cost = number of orders x cost per order =
A ×S Q
Annual carrying cost = average inventory x cost of carrying one unit for one year = average inventory x unit cost x carrying cost =
Q ×c×i 2
Total annual cost = annual ordering costs + annual carrying cost =
Q A × S + ×c×i Q 2
Idealnya, total biaya yang akan diperoleh adalah minimum. Dimana annual demand (A), cost of ordering (S), dan cost of carrying inventory (i) diketahui, maka total biaya akan tergantung pada jumlah pesanan (order quantity / Q).
17
Menurut Arnold, J.R. (1996, p 257), terdapat beberapa pertimbangan dalam menerapkan EOQ, yaitu: Lumpy demand. The EOQ assumes that demand is uniform and
replenishment occurs all at once. When this is not true, the EOQ will not produce the best results. It is better to use the period-order quantity.
Anticipation inventory. Demand is not uniform, and stock must be built
ahead. It is better to plan a buildup of inventory bases on capacity and future demand.
Minimum order. Some suppliers require minimum order. This minimum
order may be bases on the total order rather than on individual items. Often these are C items where the rule is to order plenty, not an EOQ.
Transportation inventory. …, carriers give rates based on amount
shipped. A full load cost per ton to ship than a part load. This is similar to the price break given by suppliers for large quantities. The same type of analysis can be used.
Multiplies. Sometimes, order size is constrained by package size. …
Setelah mengetahui berapa jumlah yang harus dipesan, selanjutnya adalah menentukan kapan pesanan tersebut harus dilakukan. Jika sebuah persediaan terlambat dipesan akan menyebabkan kekurangannya persediaan dan kemungkinan kehilangan pelanggan. Sedangkan jika pesanan dilakukan lebih awal akan menimbulkan tambahan biaya bagi perusahaan.
18
Pada dasarnya terdapat tiga buah sistem untuk menentukan kapan seharusnya melakukan pemesanan, yaitu:
2.6
1.
Order point system.
2.
Periodic review system.
3.
Material requirement planning.
Independent Demand Ordering System
2.6.1 Order Point System Pada saat jumlah suatu barang persediaan berada di bawah tingkat yang telah ditentukan sebelumnya, maka kondisi tersebut disebut dengan order point, dimana pemesanan harus dilakukan. Untuk jumlah yang akan dipesan, umumnya telah diperhitungkan sebelumnya dengan menggunakan konsep economic-order-quantity. Dengan menggunakan sistem ini, pemesanan harus dilakukan pada saat kondisi persediaan yang tersisa hanya dapat memenuhi permintaan pada saat dilakukannya pemesanan sampai dengan pesanan tersebut diterima (yang disebut dengan lead time). Seringkali permintaan yang terjadi selama periode lead time sangat bervariasi, sehingga perusahaan membutuhkan tindakan berjaga-jaga untuk menghindari tidak tersedianya persediaan dengan menambahkan safety stock pada persediaan. Pada gambar 2.2 dapat terlihat hubungan antara safety stock, lead time, order quantity, dan order point.
19
Gambar 2.2 Hubungan antara safety stock, lead time, order quantity, dan order point
Sumber : Arnold, J.R. (1996, p 266)
Menurut Arnold, J.R. (1996, p 266), dengan digunakannya sistem order point: 1.
Order quantities are usually fixed.
2.
The order point is determined by the average demand during the lead time. If the average demand or the lead time changes and there is no corresponding change in the order point, effectively there has been a change in safety stock.
3.
The intervals between replenishment are not constant but vary depending on the actual demand during the reorder cycle.
4.
Average inventory = (order quantity / 2) + safety stock = Q / 2 + SS
Dalam menentukan titik pemesanan (order point) tergantung dari tingkat permintaan selama periode lead time dan jumlah safety stock yang dibutuhkan.
20
2.6.2 Menentukan Safety Stock Jumlah safety stock yang dibutuhkan tergantung dari: 1.
Variasi tingkat permintaan selama periode lead time.
2.
Frekuensi pemesanan ulang.
3.
Tingkat layanan yang diharapkan.
4.
Lamanya lead time. Semakin lama sebuah lead time, semakin banyak pula jumlah safety stock yang dibutuhkan untuk memenuhi tingkat layanan yang diharapkan. Hal ini menjadi alasan penting mengapa lead time perlu dikurangi sebanyak mungkin.
5.
Kemampuan untuk meramalkan atau mengendalikan lead times. Dikarenakan pada beberapa produk, lead time dapat sangat beragam dan sulit untuk dikendalikan.
Tingkat keragaman, atau sebaran dari permintaan aktual dibandingkan dengan tingkat rata-ratanya dapat dihitung dengan menggunakan beberapa cara sebagai berikut: 1.
As a range of the maximum minus the minimum value.
2.
As a standard deviation. This is a statistical value that measures how closely the individual values cluster about the about the average.
3.
As the mean absolute deviation (MAD), which is measure of the average forecast error.
21
Jumlah safety stock yang dibutuhkan sebuah perusahaan tergantung pada tingkat layanan (service level) yang diharapkan; dan suatu tingkat layanan, berhubungan langsung dengan nilai MAD guna menentukan jumlah safety stock, yang disebut dengan safety factor.
Tabel 2.1 Safety Factor Service Level (%)
Safety Factor
50
0.00
75
0.84
80
1.05
85
1.30
90
1.60
94
1.95
95
2.06
96
2.19
97
2.35
98
2.56
99
2.91
99.5
3.20
99.99
5.00
Service level pada tabel 2.1 adalah persentase dari siklus pesanan tanpa terjadinya kekurangan persediaan.
22
Contoh: Jika MAD adalah 200 unit, tingkat layanan yang diharapkan adalah 90%, dan demand during lead time (DDLT) adalah 1500 unit. Berapa safety stock yang harus disediakan dan berapa order point-nya?
Jawab: Dapat dilihat pada tabel 2.1, safety factor pada tingkat layanan 90% adalah 1.60, maka: Safety stock = MAD x safety factor = 200 x 1.60 = 320 units
Order point
= DDLT + SS = 1500 + 320 = 1820 units
Terdapat dua tipe produk: independen dan dependen. Produk independen adalah produk yang tidak memiliki hubungan dengan komponen atau produk lain, sehingga dalam menentukan tingkat kebutuhannya dilakukan peramalan. Sedangkan untuk produk dependen yang tergantung pada tingkat kebutuhan produk lain, maka tingkat kebutuhannya dapat ditentukan dengan melakukan perhitungan; dan material requirements planning dirancang untuk melakukan perhitungan tersebut.
23
2.7
Material Requirements Planning (MRP)
Material Requirements Planning (MRP) adalah sistem yang digunakan untuk menghindari komponen-komponen yang terlewatkan. Ia menghasilkan penjadwalan (perencanaan prioritas) yang menampilkan komponen-komponen yang dibutuhkan pada setiap tingkat assembly, berdasarkan lead times, dan menghitung waktu dimana komponen-komponen tersebut akan dibutuhkan.
Menurut Arnold, J.R. (1996, p 68), terdapat dua tujuan utama dari MRP: Determine requirements. The main objective of any manufacturing
planning and control system is to have the right materials in the right quantities available at the right time to meet the demand for the firm’s products. The material requirements plan’s objective is to determine what components are needed to meet the master production schedule and, based on lead time, to calculate the periods when the components must be available. It must determine the following: ! What to order. ! How much to order. ! When to order. ! When to schedule delivery.
Keep priorities current. … . In this ever-changing world, a material
requirements plan must be able to reorganize priorities to keep plans current. It must be able to add and delete, expedite, delay, and change orders.
24
Terdapat beberapa manfaat yang dapat diperoleh dengan menerapkan MRP. Menurut Heizer, J. (2000, p 538), beberapa manfaat tersebut adalah: 1.
better response to customer orders as the result of improved adherence to schedules,
2.
faster response to market changes,
3.
improved utilization of facilities and labor, and
4.
reduced inventory levels.
Tingkat perhatian yang lebih baik kepada pelanggan dan pasar akan berdampak pada jumlah pesanan dan pangsa pasar. Pemanfaatan fasilitas dan tenaga kerja yang lebih baik akan berdampak tingkat produktivitas dan pengembalian modal yang lebih tinggi. Pengurangan jumlah persediaan akan menyebabkan modal dan ruang yang berlebih dapat dimanfaatkan untuk kegunaan-kegunaan lain.
2.7.1 Masukan MRP Terdapat tiga masukan pada sistem MRP, yaitu: 1.
Master production schedule (MPS) Master production schedule adalah laporan mengenai produk akhir yang akan diproduksi, jumlah yang akan diproduksi, dan tanggal selesai produksi.
2.
Inventory records Terdapat dua jenis informasi yang dibutuhkan MRP berhubungan dengan data persediaan: Pertama, disebut dengan planning factors, termasuk informasi seperti: order quantities, lead times, safety stock, dan scrap. Informasi seperti
25
ini tidak sering berubah, namun dibutuhkan dalam melakukan perencanaan berapa jumlah yang harus dipesan dan kapan harus melakukan pemesanan. Kedua, informasi yang dibutuhkan adalah status dari setiap barang. MRP membutuhkan informasi mengenai berapa yang tersedia, berapa yang akan dialokasikan, dan berapa yang tersedia di masa yang akan datang. Informasi yang demikian bersifat dinamis dan berubah-ubah sesuai dengan transaksi yang terjadi. 3.
Bill of material (BOM) Sebuah BOM adalah daftar mengenai jumlah komponen, ramuan, dan bahanbahan yang dibutuhkan untuk membuat satu unit produk.
Setelah mengetahui tiga masukan yang dibutuhkan oleh MRP, pada topik selanjutnya akan dibahas mengenai cara menyusun MRP.
2.7.2 Proses MRP Program MRP beroperasi dengan memanfaatkan informasi dari data persediaan, master schedule, dan bill of material. Proses penghitungan jumlah kebutuhan setiap barang yang dilakukan oleh sistem sering disebut dengan proses explosion. Pekerjaan dimulai dari tingkat teratas lalu turun kepada bill of materials, kebutuhan dari produk utama digunakan untuk menghitung kebutuhan dari komponen lainnya. Kemudian mempertimbangkan jumlah persediaan yang tersedia, lalu melakukan pemesanan untuk setiap kebutuhan barang yang harus diterima di masa yang akan datang.
26
Berikut ini adalah proses explosion dari MRP menurut Chase, R. (2004, p 594): 1.
The requirements for level 0 items, typically referred to as ”end items” are retrieved from the master schedule. These requirements are referred to as “gross requirements” by the MRP program. Typically, the gross requirements are scheduled in weekly time buckets.
2.
Next, the programs use the current on-hand balance, together with the schedule of orders that will be received in the future to calculate the “net requirements.” Net requirements are the amounts that are needed week by week in the future over and above what is currently on hand or committed to through an order already released and scheduled.
3.
Using net requirements the program calculates when orders should be received to meet these requirements. This can be simple process of just scheduling orders to arrive according to the exact net requirements or a more complicated process where requirements are combined for multiple periods. This schedule of when orders should arrive is referred to as “planned-order receipts.”
4.
Since there is typically a lead time associated with each order, the next step is to find a schedule for when orders are actually released. Offsetting the “planned-order receipts” by the required lead time does this. This schedule referred to as “planned-order release.”
5.
After these four steps have been completed for all the level zero items, the program moves to level 1 items.
6.
The gross requirements for each level 1 items are calculated from planned-order release schedule for the parents of each level 1 item. Any additional independent demand also needs to be included in the gross requirements.
7.
After the gross requirements have been determined, net requirements, plannedorder receipts, planned-order release are calculated as described in step 2 - 4 above.
8.
This process is then repeated for each level in the bill of materials.
27
Proses penghitungan tersebut tidak sekompleks seperti yang dideskripsikan di atas, karena biasanya, proses penghitungan explosion dilakukan setiap minggu atau setiap terjadi perubahan pada master schedule. Pada beberapa program MRP terdapat beberapa atribut untuk menghasilkan penjadwalan dengan seketika, yang disebut dengan net change schedule. Sistem net change adalah sistem yang berdasarkan aktivitas dan tingkat kebutuhan persediaan dengan melakukan pembaharuan penjadwalan setiap terjadinya transaksi yang memiliki dampak pada barang-barang tersebut. Net change memiliki kemampuan untuk mencerminkan setiap kondisi persediaan yang dikelola oleh sistem secara “real-time.” Secara umum tahapan-tahapan dalam menggunakan MRP adalah: 1.
Forecasting Demand Peramalan dilakukan terhadap seluruh produk independen perusahaan, yang umumnya merupakan produk akhir. Tingkat permintaan produk-produk tersebut diramalkan dengan menggunakan salah satu teknik peramalan yang telah diuraikan sebelumnya.
2.
Developing a Master Production Schedule Selanjutnya adalah menyusun perencanaan produksi terhadap tingkat permintaan tersebut dibandingkan dengan fasilitas dan kemampuan yang dimiliki oleh perusahaan, seperti: kapasitas produksi, jumlah persediaan yang tersedia, lead time produksi, dan sebagainya.
28
3.
Bill of Materials (Product Structure) File Bill of materials digunakan untuk mengetahui secara rinci dan pasti tingkat kebutuhan komponen (dependen produk) dari tingkat permintaan produk utamanya
(produk
independen).
Umumnya
struktur
sebuah
produk
menggunakan low-level coding. 4.
Inventory Records (Item Master) File MRP pun memanfaatkan informasi tambahan mengenai persediaan, seperti: identitas pemasok, biaya, lead time, safety stock, jumlah yang tersedia, status pesanan yang telah dikeluarkan, dan sebagainya.
5.
Performing the MRP Calculations Logika perhitungan MRP dapat dilihat pada uraian sebelumnya mengenai proses explosion. Secara umum MRP melakukan perencanaan dan penjadwalan terhadap seluruh barang dan menyimpan seluruh data-data tersebut ke dalam sistem. Data-data yang terdapat pada MRP terdiri dari: gross requirements, scheduled receipts, projected available balance, net requirements, plannedorder receipts, dan planned-order releases.
Setelah mengetahui persediaan dan proses manajemen persediaan, termasuk cara-cara melakukan perhitungan persediaan yang dapat meningkatkan produktivitas perusahaan, selanjutnya akan diuraikan mengenai sistem informasi dan manfaatnya bagi operasi perusahaan, khususnya dalam meningkatkan keefektifan dan efisiensi manajemen persediaan.
29
2.8
Sistem Informasi Manajemen
Sistem MRP memanfaatkan berbagai informasi dari seluruh perusahaan, sedangkan untuk menghasilkan informasi dengan cepat dibutuhkan sebuah sistem yang mengatur dan mengelola aliran informasi tersebut agar seluruh informasi dapat diperoleh dengan mudah, cepat, dan akurat. Dan salah satunya adalah management information system (MIS), dan menurut Raymond McLeod, Jr. (2001, p 239): “We define a management information system (MIS) as a computerbased system that makes information available to users with similar needs.” Menurut MIS – Webopedia.com. http://www.webopedia.com: “Short for management information system or management information services, and pronounced as separate letters, MIS refers broadly to a computer-based system that provides managers with the tools for organizing, evaluating and efficiently running their departments. In order to provide past, present and prediction information, an MIS can include software that helps in decision making, data resources such as databases, the hardware resources of a system, decision support systems, people management
and
project
management
applications,
and
any
computerized processes that enable the department to run efficiently.” Secara umum, MIS adalah sistem yang berhubungan dengan komputer yang bertujuan untuk mengelola data-data yang terdapat di seluruh perusahaan yang kemudian diolah sedemikian rupa menjadi informasi yang dapat bermanfaat bagi pengguna di mana dan kapan pun informasi tersebut dibutuhkan. Apa sebenarnya manfaat dari MIS? Pada topik selanjutnya akan diuraikan tentang manfaat MIS bagi perusahaan.
30
Manfaat Sistem Informasi Manajemen Menurut Raymond McLeod, Jr. (2001, p 253): “The MIS and its organizational subsystems contribute to problem solving in two basic ways. • Organizational Information Resources. The MIS is an organization
wide effort to provide problem-solving information. The system is a formal commitment by executives to make the computer available to all managers. The MIS sets the stage for accomplishments in the other areas – DSS, the virtual office, and knowledge-based systems. • Problem Identification and Understanding. The main idea behind the
MIS is to keep a continuous supply of information flowing to the manager. The manager uses the MIS primarily to signal problems or impending problems, and then to understand them by pinpointing locations and causes.” Pada Perusahaan Unisys yang bergerak di bidang kesehatan, MIS pun memiliki beberapa manfaat, yang di antaranya adalah: pengurangan biaya, fleksibilitas dan tanggap terhadap pasar, efisiensi, peningkatan teknologi, dan peningkatan layanan pada pelanggan. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa MIS dapat memberikan manfaat bagi perusahaan, khususnya dalam meningkatkan keefektifan dan efisiensi dari operasi perusahaan. Dalam topik ini maka meningkatkan operasi perusahaan dalam manajemen persediaan, mulai dari cara mengelola barang, melakukan perencanaan dan penjadwalan pesanan, sampai dengan integrasi dengan berbagai fungsi lain dalam perusahaan, seperti keuangan, pemasaran, dan produksi.