BAB II LANDASAN TEORI
II.1. Tinjauan Pustaka II.1.1. Persalinan Persalinan adalah proses pengeluaran hasil konsepsi (janin dan uri) yang cukup bulan atau dapat hidup diluar kandungan melalui jalan lahir atau melalui jalan lain (sectio caesaria) dengan bantuan atau tanpa bantuan (kekuatan sendiri) (Manuaba, 1998). Persalinan adalah suatu proses terdiri dari kontraksi uterus yang efektif dan teratur sehingga menyebabkan pendataran dan pembukaan serviks. Dari proses ini akan menyebabkan pengeluaran hasil konsepsi berupa janin dan plasenta dari uterus secara pervaginam (DeCherney AH et al, 2007). Persalinan adalah suatu periode yang diawali oleh kontraksi uterus sampai dengan pengeluaran plasenta (Cunningham FG et al, 2007). Partus normal disebut juga partus spontan, adalah proses lahirnya bayi pada letak belakang kepala secara pervaginam dengan tenaga ibu sendiri, tanpa bantuan alat-alat serta tidak melukai ibu dan bayi yang umumnya berlangsung kurang dari 24 jam. Partus luar biasa (abnormal) ialah persalinan pervaginam dengan bantuan alat-alat atau melalui dinding perut dengan operasi caesaria (Mochtar R, 1998).
II.1.1.2. Fisiologi Persalinan Normal Tanda-tanda masuknya persalinan (in partu) adalah timbulnya rasa sakit oleh adanya his yang datang lebih kuat, sering, dan teratur, keluar lendir bercampur darah (bloody show) yang lebih banyak karena robekan-robekan kecil pada serviks, kadang-kadang ketubah pecah dengan sendirinya dan pada pemeriksaan dalam : serviks mendatar dan pembukaan telah ada (Mochtar, 1998). Terdapat empat kala persalinan : 1. Kala I (Kala Pembukaan): Telah tercapainya kontraksi uterus dengan frekuensi,intensitas dan durasi yang cukup untuk menghasilkan dilatasi serviks yang progresif. Kala satu persalinan selesai ketika serviks sudah membuka lengkap (sekitar 10 cm) sehingga memungkinkan kepala janin
lewat (Prawirohardjo, 2008).
Kala I dibagi menjadi dua fase :
Fase Laten: Fase yang diawali dengan mulai timbulnya kontraksi uterus yang teratur yang menghasilkan perubahan pada serviks dan meluas sampai permulaan fase aktif persalinan (dilatasi serviks 3-4 cm). Pada ibu yang belum pernah melahirkan (nulipara) fase laten biasanya kurang dari 20 jam dan pada ibu yang beberapa kali melahirkan (multipara) fase laten kurang dari 14 jam (Benzion Taber M.D, 1994).
Fase Aktif: Fase aktif ditandai dengan dilatasi serviks yang terus menerus sampai serviks terdilatasi penuh.Pada nulipara dilatasi serviks sampai 1,2 cm setiap jam dan multipara 1,5 cm setiap jam (Benzion Taber M.D, 1994).
2. Kala II (Kala Pengeluaran Janin): Dimulai ketika dilatasi serviks sudah lengkap dan berakhir ketika janin sudah lahir. Proses ini biasanya berlangsung 2 jam pada ibu yang pertama kali melahirkan (primipara) dan 1 jam pada ibu yang beberapa kali melahirkan (multipara). Pada proses ini his terkoordinir, kuat, cepat dan lebih lama, kira-kira 2-3 menit sekali. Kepala janin telah turun masuk ruang panggul sehingga terjadi tekanan pada otot-otot dasar panggul sehingga terjadi tekanan pada otot-otot dasar panggul yang secara reflektoris menimbulkan rasa mengedan. Karena tekanan pada rektum, ibu merasa seperti ingin buang air besar,dengan tanda anus terbuka. Pada waktu his, kepala janin mulai kelihatan, vulva membuka, dan perineum meregang. Dengan his mengedan yang terpimpin akan melahirkan kepala, diikuti oleh seluruh badan janin. Setelah istirahat sebentar, his mulai lagi untuk mengeluarkan anggota badan bayi secara lengkap (Mochtar R, 1998 & Wiknjosastro H dkk, 2007). 3. Kala III (Kala Pengeluaran Uri): Dimulai segera setelah janin lahir dan berakhir
dengan
lahirnya
plasenta
dan
selaput
ketuban
janin
(Prawirohardjo, 2008). Waktu untuk pelepasan dan pengeluaran uri dimulai segera setelah bayi lahir sampai lahirnya plasenta, yang berlangsung tidak lebih dari 30 menit. Setelah bayi lahir, kontraksi rahim
istirahat sebentar. Uterus teraba keras dengan fundus uteri setinggi pusat, dan berisi plasenta yang menjadi tebal 2 kali sebelumnya. Dalam waktu 510 menit seluruh plasenta terlepas, terdorong ke dalam vagina dan akan lahir spontan atau dengan sedikit dorongan dari atas simfisis atau fundus uteri. Pada saat plasenta lahir pada umumnya otot-otot uterus berkontraksi, pembuluh-pembuluh darah akan terjepit dan perdarahan akan segera berhenti. Seluruh proses biasanya berlangsung 5-30 menit setelah bayi lahir. Pengeluaran plasenta disertai dengan pengeluaran darah kira-kira 100-200 cc (Mochtar R, 1998 & Wiknjosastro H dkk, 2007). 4. Kala IV (Kala Pengawasan): Mulai dari lahirnya uri selama 1-2 jam dimana dilakukan pengamatan keadaan ibu terutama terhadap bahaya perdarahan post partum. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan pada kala IV ini adalah : kontraksi uterus harus baik, tidak ada perdarahan dari vagina atau alat genital lainnya, plasenta dan selaput ketuban harus telah lahir lengkap, kandung kemih harus kosong, luka-luka pada perineum terawat dengan baik, bayi dalam keadaan baik, dan ibu dalam keadaan baik (Mochtar R,1998 & Wiknjosastro H dkk, 2007).
Diferensiasi aktivitas uterus Selama persalinan, uterus berubah bentuk menjadi dua bagian yang berbeda :
Segmen atas: berkontraksi secara aktif menjadi lebih tebal ketika persalinan berlangsung. Segmen atas mengalami retraksi dan mendorong janin keluar sebagai respon terhadap gaya dorong kontraksi segmen atas.
Segmen bawah: relatif pasif dibanding dengan segmen atas dan bagian ini berkembang menjadi jalan lahir yang berdinding jauh lebih tipis. Segmen bawah secara bertahap terbentuk ketika kehamilan bertambah tua dan kemudian menipis pada saat persalinan. Segmen bawah uterus dan serviks akan semakin lunak berdilatasi sehingga membentuk suatu saluran muskular dan fibromuskular yang menipis sehingga janin dapat menonjol keluar. Miometrium pada segmen atas uterus tidak berelaksasi sampai kembali ke panjang aslinya setelah kontraksi tetapi menjadi relatif menetap pada panjang yang lebih pendek. Namun teganganya tetap sama
seperti sebelum kontraksi. Bagian atas uterus berkontraksi ke bawah meski pada saat isinya berkurang sehingga tegangan miometrium tetap konstan. Efek
akhirnya
adalah
mengencangkan
yang
kendur
dengan
mempertahankan kondisi menguntungkan yang diperoleh dari ekspulsi janin dan mempertahankan otot uterus tetap menempel erat pada isi uterus. Karena pemendekan serat otot yang terus menerus pada setiap kontraksi segmen atas uterus yang aktif menjadi menebal di sepanjang kala pertama dan kedua persalinan dan menjadi tebal sekali tepat setelah kelahiran janin (Prawirohardjo, 2008).
Mekanisme Persalinan Normal ditentukan oleh tiga faktor utama, yaitu : 1. Power : kekuatan his yang adekuat dan tambahan kekuatan mengejan. 2. Passage : jalan lahir (tulang dan otot). 3. Passanger : janin,plasenta dan selaput ketuban (Rustam, 1998).
Ketiga faktor utama ini sangat menentukan jalannya persalinan sehingga akan terjadi proses persalian : Spontan belakang kepala Persalinan buatan dengan tambahan tenaga dari luar : Induksi persalinan Persalinan operatif (Manuaba, 2007).
Persalinan normal adalah : LOA (Left Occipito Anterior = Ubun ubun kiri depan) adalah presentasi kepala yang lazim.Sikapnya adalah flexi ,bagian terendah janin adalah bagian posterior vertex dan ubun-ubun kecil,dan penunjuknya adalah occciput (O) (Oxorn dan Forte, 1990)
Gambar 1 : Persalinan normal 1.
2.
3.
4.
II.1.1.3.
Malpresentasi Terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya malpresentasi :
1. Faktor maternal dan uterus : Panggul sempit, neoplasma, kelainan uterus, pada uterus bicornis, kelainan letak dan besarnya plasenta. Keadaan seperti plasenta previa disertai dengan kedudukan janin yang tidak baik. 2. Faktor janin : Bayi yang besar, kesalahan dalam polaritas janin misalnya pada presentasi bokong atau letak lintang, sikap janin: tidak fleksi tapi ekstensi,
kehamilan
ganda,
kelainan
janin:
hydrocephalus
dan
anenchepalus, hydroamnion (Cunningham, 2005). Pengaruh-pengaruh malpresentasi : 1. Pengaruh pada ibu : Karena diperlukan kerja otot uterus dan perut yang lebih besar dan karena persalinan sering berjalan lama, perineum dan jaringan lunak lebih teregang sehingga lebih banyak terjadi robekan, perdarahan lebih banyak berasal dari robekan uterus,cervix dan vagina dan tempat perlekatan plasenta. Insidensi infeksi lebih tinggi,ini disebabkan oleh :
Ketuban pecah awal
Perdarahan banyak
Kerusakan jaringan
Pemeriksaan vaginal dan rectal yang lebih sering.
Pasien mengeluh kesakitan sebelum uterus mengeras dan masih terus merasakan nyeri setelah uterus relaksasi
Paresis usus dan vesica urinaria menambah penderitaan pasien.
2. Pengaruh pada janin: Janin tidak sempurna menyesuaikan diri dengan panggul sehingga lebih melewati panggul dan menyebabkan perputaran (moulage) berlebihan. Persalinan yang lama berpengaruh lebih berat untuk janin,mengakibatkan
insidensi
anoxia,kerusakan
otak,asphyxia,dan
kematian intrauterine yang lebih tinggi. Insidensi tindakan yang juga lebih tinggi memperbesar bahaya trauma pada bayi. Tali pusat menumbung lebih sering terjadi.
Presentasi sungsang adalah keadaan dimana janin terletak memanjang
dengan kepala di fundus uteri dan dan bokong berada di bagian bawah kavum uteri. Presentasi sungsang terjadi bila panggul atau ekstremitas bawah janin berada di pintu atas panggul. Dengan insidensi angka kejadian 3 – 4% (Cunningham, 2005).
II.1.1.4. Klasifikasi Presentasi Sungsang. Terdapat 3 jenis presentasi sungsang : Frank breech atau bokong murni (50-70%) yaitu tampak ekstremitas bawah mengalami fleksi pada sendi panggul dan ekstensi pada sendi lutut sehingga kaki terletak berdekatan dengan kepala. Complete breech atau bokong sempurna (5-10%) yaitu satu atau kedua lutut dalam keadaan fleksi. Foot ling atau incomplete atau presentasi kaki (10-30%) yaitu satu atau kedua kaki atau lutut terletak di bawah bokong sehingga kaki atau lutut bayi terletak paling bawah pada jalan lahir (Cunningham, 2005). Presentasi sungsang pada kehamilan tunggal dengan berat badan < 2500 gram: 40% adalah FrankBreech, 10% adalah Complete Breech, dan 50% adalah Foot ling Breech. Presentasi sungsang pada kehamilan tunggal dengan Berat Badan Janin > 2500 gram: 65% adalah Frank Breech, 10% adalah Complete Breech dan 25% adalah Foot ling Breech (Cunningham, 2005). Gambar 2 : Presentasi sungsang
II.1.1.5. Etiologi 1. Kehamilan prematur 2. Hidramnion , Oligohidramnion 3. Kelainan uterus (uterus bicornu atau uterus septum) 4. Tumor panggul 5. Riwayat presentasi bokong 6. Multiparitas 7. Panggul sempit 8. Hidrosepalus, anensepalus 9. Kehamilan kembar (Cunningham, 2005 & Harry 1990).
II.1.1.6. Penyulit Pada presentasi bokong persisten terjadi peningkatan frekuensi penyulit yaitu: 1. Morbiditas dan mortalitas perinatal akibat pelahiran yang sulit 2. Berat lahir rendah pada kelahiran preterm, pertumbuhan terhambat atau keduanya 3. Prolaps tali pusat 4. Plasenta previa 5. Anomali janin,neonatus dan bayi 6. Anomali dan tumor uterus 7. Janin multipel (Cunningham, 2005)
II.1.1.7. Diagnosis 1. Palpasi dan Balotement: Leopold I : teraba kepala (balotemen) di fundus uteri 2. Vaginal Toucher : teraba bokong yang lunak dan iregular 3. X-ray : Dapat membedakan dengan presentasi kepala dan pemeriksaan ini penting untuk menentukan jenis presentasi sungsang dan jumlah kehamilan serta adanya kelainan kongenital lain 4. Ultrasonografi:
Pemeriksaan USG
yang dilakukan oleh operator
berpengalaman dapat menentukan : Presentasi janin, ukuran, jumlah
kehamilan, lokasi plasenta, jumlah cairan amnion, malformasi jaringan lunak atau tulang janin. Gambar 3 :
Pemeriksaan radiologi yang menunjukkan adanya presentasi sungsang dengan jenis Frank Breech II.1.1.8. A.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan (masuknya persalinan) Intrapartum 1. Pemeriksaan :
Pasien harus dirawat di RS bila terdapat tanda persalinan atau terjadi ketuban pecah (dikhawatirkan terjadi prolaps tali pusat).
Di RS dilakukan pemeriksaan USG ulangan untuk memastikan jenis persalinan sungsang – fleksi kepala janin -kelainan kongenital.
Lakukan anamnesa dan pemeriksaan untuk menentukan keadaan ibu dan anak.
Tentukan cara persalinan yang dipilih.
2. Pemantauan kesehatan janin Selama persalinan, bila mungkin lakukan pemantauan detak jantung janin
secara terus menerus (electronic fetal heart rate monitoring) Oksitosin drip Umumnya oksitosin dapat digunakan bila kontraksi uterus tidak memuaskan dengan pengawasan pada ibu dan anak secara ketat.
B.
Persalinan Penentuan cara persalinan adalah sangat individual, kriteria pada tabel
berikut dibawah ini dapat digunakan untuk menentukan cara persalinan
Tabel 1 :
Kriteria pemilihan jenis persalinan sungsang
Persalinan pervaginam
Sectio caesarea
Presentasi frankbreech
Presentasi footling
Usia kehamilan >34 minggu
Janin
preterm
(usia
kehamilan
25-34
minggu) Taksiran berat janin 2000-3500 gram
Taksiran berat janin > 3500 gram atau < 1500 gram Kepala janin defleksi atau hiperekstensi
Kepala fleksi
Kepala janin defleksi atau hiperekstensi
Ukuran panggul adekuat (berdasarkan x-ray Panggul sempit atau ukuran dalam nilai pelvimetri)
“borderline”
(Diameter transversal PAP 11,5 cm dan Bagian terendah janin belum engage diameter anteroposterior 10.5 cm : Diameter transversal panggul tengah 10 cm dan diameter anteroposterior 11,5 cm) Tidak ada indikasi sectio caesar pada ibu Partus lama dan anak Janin Previable (usia kehamilan< 25 minggu Infertilitas atau riwayat obstetrik buruk & < 700 g) Kelainan kongenital (+)
Letak presentasi kaki pada kehamilan 25 minggu tanpa disertai kelainan kongenital (untuk mencegah prolapsus tali pusat)
Proses
persalinan
meskipun
sudah
berlangsung direncanakan
normal Ketuban pecah dini lama sectio
caesarea (persalinan pervaginam masih merupakan pilihan dibandingkan sectio caesarea).
(Hannah , 2000) Metode lain untuk menentukan cara persalinan adalah dengan menggunakan
Zatuchni Andros Breech Scoring seperti terlihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 2.
Zatuchni Andros Breech Scoring :
0
1
2
0
1
2
39
38
< 37
Taksiran Berat Janin
>3500
3000-3500
< 3000
Riwayat persalinan
0
1
2
Dilasi
2
3
4
Stasion
-3
-2
-1
Paritas Usia
Kehamilan
(minggu)
sungsang
Persalinan sungsang pervaginam dengan prognosis baik bila Zatuchni Andros scoring antara 0 – 4. Persalinan sungsang perabdominal dengan sectio caesarea saat ini lebih sering dilakukan. Data terbaru menunjukkan bahwa cara persalinan pada presentasi sungsang tidak mempengaruhi morbiditas jangka panjang pada janin. Resiko umum sectio caesarea terhadap ibu (perdarahan, anestesi dan infeksi) dan resiko janin pada persalinan sungsang pervaginam (asfiksia dan trauma) harus merupakan pertimbangan kuat dalam pengambilan keputusan mengenai cara persalinan yang dipilih. Ahli obstetri yang memilih persalinan dengan sectio caesarea umumnya dengan alasan : 1. Cedera persalinan sungsang perabdominal lebih rendah dibandingkan persalinan pervaginam. 2. Banyak pasangan yang mempunyai pandangan “anak sedikit” dan membutuhkan anak yang “perfect” sehingga memilih persalinan sungsang
perabdominal. 3. 30 – 40% trial of labor pada persalinan sungsang berakhir dengan persalinan Sectio Caeserae. 4. Sectio Caesarea pada masa sekarang adalah operasi yang “aman”. Ahli obstetri yang cenderung untuk mencoba berlangsungnya persalinan sungsang pervaginam umumnya memiliki alasan: 1. Morbiditas maternal pada Sectio Caesarea lebih besar. 2. 5 – 15% janin pada presentasi sungsang disertai dengan kelaina kongenital. 3. Sejumlah ibu ingin memiliki pengalaman persalinan pervaginam (Vezina, 2004)
Persalinan Pervaginam Mekanisme persalinan sungsang pervaginam berlangsung melalui “seven cardinal movement” yang terjadi pada masing-masing tahapan persalinan sungsang pervaginam: 1. Persalinan Bokong 2. Persalinan Bahu 3. Persalinan Kepala Persalinan sungsang pervaginam secara spontan (sungsang “Bracht”) dapat dibagi menjadi 3 tahap : 1. Fase Lambat Pertama
Tahapan persalinan dari bokong sampai umbilikus
Disebut fase lambat oleh karena pada fase ini umumnya tidak terdapat halhal yang membahayakan jalannya persalinan.
Pada fase ini, penolong bersikap pasif menunggu jalannya persalinan.
2. Fase Cepat
Tahapan persalinan dari umbilikus sampai mulut.
Disebut fase cepat oleh karena dalam waktu < 8 menit ( 1 – 2 kali
kontraksi uterus ) fase ini harus sudah berakhir.
Pada fase ini, talipusat berada diantara kepala janin dengan PAP sehingga dapat menyebabkan terjadinya asfiksia janin.
3. Fase Lambat Kedua
Tahapan persalinan dari mulut sampai seluruh kepala.
Pertolongan pada tahap persalinan ini tidak boleh tergesa-gesa oleh karena persalinan kepala yang terlalu cepat pada presentasi sungsang dapat menyebabkan terjadinya dekompresi mendadak pada kepala janin yang menyebabkan perdarahan intrakranial (Manuaba, 1998).
Gambar 4.
Tahapan Persalinan Sungsang Pervaginam
1.
Presentasi
sungsang
dengan sacrum kanan depan.
Ø bitrochanteric bokong
masuk panggul pada Ø tranversal panggul ibu.
Pada saat dilatasi servik
lengkap.
bokong
mengalami
desensus lebih lanjut kedalam panggul.
2.
Pada
saat panggul,
bokong
mencapai
saluran
menyebabkan
bokong
jalan
dasar lahir
mengalami
PPD (putar paksi dalam) sehingga Ø
bitrochanterica berada pada Ø anteroposterior PBP (pintu bawah
panggul).
3.
Bokong depan nampak di vulva.
Dengan his berikutnya, bokong akan
meregang PBP (pintu bawah panggul).
Terjadi laterofleksi tubuh janin dan bahu
berputar sehingga akan melewati PAP (pintu atas panggul).
Pada saat ini, penolong persalinan
mengenakan perlengkapan persalinan dan siap untuk melakukan pertolongan persalinan.
4.
Bokong sudah lahir dan bahu saat ini
masuk pada Ø tranversa PAP.
Gerakan ini menyebabkan terjadinya
PPL (putar paksi luar) bokong sehingga punggung anak menghadap atas.
5.
Bahu anak melewati saluran jalan lahir dan
mengalami PPD (putar paksi dalam) sehingga Ø bisachromial menempati diameter anteroposterior PBP (pintu bawah panggul).
Secara serempak, bokong berputar keanterior
sejauh 900 (restitusi) .
Kepala
janin
sekarang
memasuki
(engagement) PAP dengan sutura sagitalis berada pada Ø tranversalis PAP (pintu atas panggul).
Desensus kedalam pelvis terjadi dengan
kepala dalam keadaan fleksi.
6.
Bahu depan lahir dari belakang
simfisis
pubis
laterofleksi.
melalui
gerakan
Gambar 5 : Manuver Persalinan Sungsang Anak dibiarkan tergantung beberapa saat didepan vulva. Dilakukan tekanan pada daerah suprasimfisis untuk menambah fleksi kepala (bukan mendorong fundus uteri). Bila tengkuk anak sudah terlihat, penolong persalinan memegang kaki anak dan melakukan gerakan melingkar keatas. Manuver ini menggunakan referensi tepi bawah sacrum, menarik kepala anak kebawah dan memutar melalui PBP (pintu bawah panggul) sehingga dagu, hidung dan dahi nampak dan lahir didepan vulva (Gimovsky, 1995).
3 teknik persalinan sungsang : 1. Persalinan bahu dengan cara Lovset. Prinsip: Memutar badan janin setengah lingkaran (180°) searah dan berlawanan arah jarum jam sambil melakukan traksi curam kebawah sehingga bahu yang semula dibelakang akan lahir didepan (dibawah simfsis). Hal tersebut dapat terjadi oleh karena : 1. Adanya inklinasi panggul (sudut antara pintu atas panggul dengan sumbu panggul) 2. Adanya lengkungan jalan lahir dimana dinding sebelah depan lebih panjang dibanding lengkungan dinding sacrum disebelah belakang 3. Sehingga setiap saat bahu posterior akan berada pada posisi lebih rendah dibandingkan posisi bahu anterior
Gambar 6 : Teknik Persalinan Lovset
Tubuh janin dipegang dengan pegangan femuropelvik. Teknik : Dilakukan pemutaran 180° sambil melakukan traksi curam kebawah sehingga bahu belakang menjadi bahu depan dibawah arcus pubis dan dapat dilahirkan
Gambar 7 : Teknik Persalinan Lovset
Teknik : Dilakukan traksi curam bawah, tubuh janin diputar 180° kearah yang berlawanan sehingga bahu depan menjadi bahu depan dibawah arcus pubis dan dapat dilahirkan
Gambar 8 : Teknik Persalinan Lovset
Teknik : Tubuh janin diputar kembali 180° kearah yang berlawanan sehingga bahu belakang kembali menjadi bahu depan dibawah arcus pubis dan dapat dilahirkan
Keuntungan persalinan bahu dengan cara Lovset : 1. Teknik sederhana. 2. Hampir selalu dapat dikerjakan tanpa melihat posisi lengan janin. 3. Kemungkinan infeksi intrauterin minimal.
2. Persalinan bahu dengan cara klasik atau disebut sebagai teknik deventer. Prinsip : Melahirkan lengan belakang lebih dulu (oleh karena ruang panggul sebelah belakang/sacrum relatif lebih luas didepan ruang panggul sebelah depan) dan kemudian melahirkan lengan depan dibawah arcus pubis. Dipilih bila bahu tersangkut di pintu atas panggul.
Gambar 9 : Teknik Persalinan Klasik
Melahirkan lengan belakang pada teknik melahirkan bahu cara klasik Gambar 10 : Teknik Persalinan Klasik
Melahirkan lengan depan pada teknik melahirkan bahu cara klasik : 1. Kedua pergelangan kaki dipegang dengan ujung jari tangan kanan penolong berada diantara kedua pergelangan kaki anak, kemudian di elevasi sejauh mungkin dengan gerakan mendekatkan perut anak pada perut ibu. 2. Tangan kiri penolong dimasukkan kedalam jalan lahir, jari tengan dan telunjuk tangan kiri menyelusuri bahu sampai menemukan fosa cubiti dan kemudian dengan gerakan “mengusap muka janin” lengan posterior bawah
bagian anak dilahirkan. 3. Untuk melahirkan lengan depan, pegangan pada pergelangan kaki janin diubah. Dengan tangan kanan penolong, pergelangan kaki janin dipegang dan sambil dilakukan traksi curam bawah melakukan gerakan seperti “mendekatkan punggung janin pada punggung ibu” dan kemudian lengan depan dilahirkan dengan cara yang sama. Bila dengan cara no 3 diatas lengan depan sulit untuk dilahirkan, maka lengan tersebut diubah menjadi lengan belakang dengan cara: 1. Bahu dan lengan bayi yang sudah lahir di pegang dengan kedua tangan penolong sehingga kedua ibu jari penolong terletak dipunggung anak dan sejajar dengan sumbu badan janin ; sedangkan jari-jari lain didepan dada. 2. Dilakukan pemutaran tubuh anak kearah perut dan dada anak sehingga lengan depan menjadi terletak dibelakang dan dilahirkan dengan cara yang sudah dijelaskan pada no 2.
Keuntungan : Umumnya selalu dapat dikerjakan pada persalinan bahu
Kerugian : Masuknya tangan kedalam jalan lahir meningkatkan resiko infeksi
3. Persalinan bahu dengan cara Mueller
Melahirkan bahu dan lengan depan lebih dahulu dibawah simfisis melalui ekstraksi kemudian melahirkan lengan belakang di belakang (depan sacrum ). Dipilih bila bahu tersangkut di Pintu Bawah Panggul. Gambar 11 : Teknik Persalinan Mueller
Melahirkan bahu depan dengan ekstraksi pada bokong dan bila perlu dibantu dengan telunjuk jari tangan kanan untuk mengeluarkan lengan depan Gambar 12 : Teknik Persalinan Mueller
Melahirkan lengan belakang (mengait lengan atas dengan telunjuk jari tangan kiri penolong) Teknik pertolongan persalinan bahu cara Mueller : Bokong dipegang dengan pegangan femuropelvik. Dengan cara pegangan tersebut, dilakukan traksi curam bawah pada tubuh janin sampai bahu depan lahir (gambar 11) dibawah arcus pubis dan selanjutnya lengan depan dilahirkan dengan mengait lengan depan bagian bawah. Setelah bahu dan lengan depan lahir, pergelangan kaki dicekap dengan tangan kanan dan dilakukan elevasi serta traksi keatas (gambar 12) traksi dan elevasi sesuai arah tanda panah sampai bahu belakang lahir dengan sendirinya. Bila tidak dapat lahir dengan sendirinya, dilakukan kaitan untuk melahirkan lengan belakang anak (gambar 12). Keuntungan: penggunaan tehnik ini adalah oleh karena tangan penolong tidak masuk terlalu jauh kedalam jalan lahir maka resiko infeksi berkurang
(Bambang W, 2009).
II.1.1.9. PROGNOSIS Dibandingkan persalinan pervaginam pada presentasi belakang kepala, morbiditas dan mortalitas ibu dan atau anak pada persalinan sungsang pervaginam lebih besar. Morbiditas maternal : lebih tingginya frekuensi persalinan operatif pada presentasi sungsang termasuk sectio caesar menyebabkan peningkatan morbiditas ibu antara lain : Morbiditas infeksi. Ruptura uteri. Laserasi servik. Luka episiotomi yang meluas. Atonia uteri akibat penggunaan analgesi sehingga terjadi perdarahan pasca persalinan.
Morbiditas dan mortalitas perinatal : lebih tinggi dibandingkan pada presentasi belakang kepala (vertex). Trauma persalinan : 1. Fraktura humerus dan klavikula. 2. Cedera pada muskulus sternocleiodomastoideus. 3. Paralisis tangan akibat cedera pada pleksus brachialis saat melahirkan bahu.
Mortalitas perinatal terutama akibat : 1. Persalinan preterm. 2. Asfiksia intrapartum ( janin sudah berusaha bernafas saat kepala masih berada dalam jalan lahir oleh karena sebagian besar tubuh janin sudah berada diluar jalan lahir sehingga menimbulkan refleks bernafas pada janin) 3. Kelainan kongenital (Newman, 1993).
II.1.2. Usia Gestasi Lamanya kehamilan mulai dari ovulasi sampai partus adalah kira-kira 280 hari (40 minggu) dan tidak lebih dari 300 hari (43 minggu). Kehamilan antara 28 dan 36 minggu disebut kehamilan prematur atau preterm.Prematuritas juga sering digunakan untuk menunjukkan imaturitas. Prematuritas dihubungkan dengan kenaikan morbiditas dan mortalitas neonatus. Pada bayi yang lahir dengan usia kehamilan prematur dapat terjadi berbagai kegawatan seperti asfiksia perinatal (Behrman RE, 2000). Usia kehamilan aterm kira-kira berlangsung pada usia kehamilan 38-42 minggu (Asrining Surasmi,2003) . Pada kondisi usia kehamilan aterm resiko untuk terjadinya gawat janin sangat kecil, dikarenakan organ-organ serta fungsi tubuh janin telah matur,akan tetapi bila terjadi kegawatan pada janin pada usia aterm biasanya tidak terkait dengan faktor janin, tetapi kemungkinan disebabkan oleh karena faktor ibu ataupun metode persalinan (Behrman RE, 2000). Bayi dengan usia kehamilan postterm atau postmatur adalah bayi yang dilahirkan sesudah kehamilan 42 minggu, dihitung dari masa menstruasi terakhir ibu (Surasmi, 2003) Bayi lewat bulan berat badannya akan sering bertambah dengan tidak adanya lanugo, kurang atau tidaknya verniks kaseosa,kuku panjang, rambut kulit kepala banyak, kulitnya putih seperti kertas dan adanya deskuamasi (pengelupasan) dan kewaspadaanya bertambah. Bila persalinan tertunda 3 minggu atau lebih sesudah aterm maka ada peningkatan mortalitas secara bermakna. Induksi persalinan atau Seksio Caesarea dapat diindikasikan untuk mengakhiri kehamilan postmatur , terutama apabila terbukti ada kegawatan janin (Behrman RE,2000).
II.1.3. Asfiksia Neonatorum Asfiksia neonatorum adalah suatu keadaan bayi baru lahir yang gagal bernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir. Keadaan ini disertai dengan hipoksia,hiperkapnia dan berakhir dengan asidosis. Hipoksia yang terdapat pada penderita asfiksia ini merupakan faktor yang terpenting yang dapat menghambat adaptasi bayi baru lahir terhadap kehidupan ekstrauterin. Penelitian
statistik dan pengalaman klinis atau patologi anatomis menunjukkan bahwa keadaan ini merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas bayi baru lahir . Hal ini dibuktikan oleh Drage dan Berendes (1966) yang mendapatkan bahwa skor Apgar rendah sebagai manifestasi hipoksia berat pada bayi saat lahir akan memperlihatkan angka kematian yang tinggi (Hassan, 2006). Ikatan Dokter Anak Indonesia Asfiksia neonatorum adalah kegagalan napas secara spontan dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah saat lahir yang ditandai dengan hipoksemia, hiperkarbia dan asidosis. WHO Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas secara spontan dan teratur segera setelah lahir. ACOG dan AAP (American Academy of Pediatrics) seorang neonatus disebut mengalami asfiksia bila memenuhi kondisi sebagai berikut: 1. Nilai Apgar menit kelima 0-3 2. Adanya asidosis pada pemeriksaan darah tali pusat (pH<7.0) 3. Gangguan neurologis (misalnya: kejang, hipotonia atau koma) 4. Adanya
gangguan
sistem
multiorgan
(misalnya:
gangguan
kardiovaskular,gastrointestinal, hematologi, pulmoner, atau sistem renal) (Gomella TL, et all, 2004) Asfiksia dapat bermanifestasi sebagai disfungsi multiorgan, kejang dan ensefalopati,hipoksik-iskemik, serta asidemia metabolik. Bayi yang mengalami episode hipoksia- iskemi yang signifikan saat lahir memiliki risiko disfungsi dari berbagai organ, dengan disfungsi otak sebagai pertimbangan utama.
II.1.3.1. Etiologi : Asfiksia neonatorum dapat terjadi selama kehamilan, pada proses persalinan dan melahirkan atau periode segera setelah lahir.Janin sangat bergantung pada pertukaran plasenta untuk oksigen, asupan nutrisi dan pembuangan produk sisa sehingga gangguan pada aliran darah umbilikal maupun plasental hampir selalu akan menyebabkan asfiksia. Tanda-tanda gawat janin seperti denyut jantung janin abnormal, pewarnaan mekoneum dan partus lama juga memiliki hubungan yang kuat dengan timbulnya asfiksia neonatorum (Depkes RI,2008).
Tabel 3. Faktor Resiko Asfiksia Neonatorum (Depkes RI,2008)
II.1.3.2. Perubahan patofisiologis dan gambaran klinis Pernafasan spontan bayi baru lahir tergantung kepada kondisi janin pada masa kehamilan dan persalinan. Proses kelahiran sendiri selalu menimbulkan asfiksia ringan yang bersifat sementara pada bayi (asfiksia transien). Proses ini dianggap sangat perlu untuk merangsang kemoreseptor pusat pernafasan agar terjadi “primary gasping” yang kemudian berlanjut dengan pernafasan teratur. Bila terdapat gangguan pertukaran gas atau pengangkutan oksigen selama kehamilan/persalinan akan terjadi asfiksia lebih berat. Keadaan ini akan mempengaruhi fungsi sel tubuh dan bila tidak teratasi akan menyebabkan kematian. Kerusakan dan gangguan fungsi ini dapat reversible atau tidak bergantung kepada berat dan lamanya asfiksia (Hassan, 2006). Awal asfiksia dimulai dengan suatu periode apnu (primary apnoea) disertai
dengan
penurunan
frekuensi
jantung
,selanjutnya
bayi
akan
memperlihatkan usaha bernafas (gasping) yang kemudian diikuti oleh pernafasan teratur.Pada asfiksia berat usaha bernafas ini tidak tampak dan bayi selanjutnya berada dalam periode apnu kedua (secondary apnoea) dan ditemukan juga
bradikardia (Hassan, 2006) Maclaurin (1970) menggambarkan secara skematis perubahan yang penting dalam tubuh selama proses asfiksia berdasarkan gejala klinis,yaitu : 1. Menurunnya tekanan O2 darah (Pa02) 2. Meningginya tekanan CO2 darah (PaCO2) 3. Menurunnya PH (akibat asidosis respiratorik dan metabolik) 4. Dipakainya sumber glikogen tubuh untuk metabolisme anaerobik 5. Terjadinya perubahan sistem kardiovascular Penyebab asfiksia dapat berasal dari faktor ibu, janin dan plasenta.Adanya hipoksia dan iskemia jaringan menyebabkan perubahan fungsional dan biokimia pada janin. Faktor ini yang berperan pada kejadian asfiksia (Depkes RI,2008). 1. Cara bayi memperoleh oksigen sebelum dan setelah lahir: sebelum lahir, paru janin tidak berfungsi sebagai sumber oksigen atau jalan untuk mengeluarkan karbondioksida. Pembuluh arteriol yang ada di dalam paru janin dalam keadaan konstriksi sehingga tekanan oksigen (pO2) parsial rendah. Hampir seluruh darah dari jantung kanan tidak dapat melalui paru karena konstriksi pembuluh darah janin, sehingga darah dialirkan melalui pembuluh yang bertekanan lebih rendah yaitu duktus arteriosus kemudian masuk ke aorta. Setelah lahir, bayi akan segera bergantung pada paru-paru sebagai sumber utama oksigen. Cairan yang mengisi alveoli akan diserap ke dalam jaringan paru, dan alveoli akan berisi udara. Pengisian alveoli oleh udara akan memungkinkan oksigen mengalir ke dalam pembuluh darah di sekitar alveoli. Arteri dan vena umbilikalis akan menutup sehingga menurunkan tahanan pada sirkulasi plasenta dan meningkatkan tekanan darah sistemik. Akibat tekanan udara dan peningkatan kadar oksigen di alveoli, pembuluh darah paru akan mengalami relaksasi sehingga tahanan terhadap aliran darah bekurang. Keadaan relaksasi tersebut dan peningkatan tekanan darah sistemik, menyebabkan tekanan pada arteri pulmonalis lebih rendah dibandingkan tekanan sistemik sehingga aliran darah paru meningkat sedangkan aliran pada duktus arteriosus menurun. Oksigen yang diabsorbsi di alveoli oleh pembuluh darah di vena pulmonalis dan darah yang banyak mengandung oksigen
kembali ke bagian jantung kiri, kemudian dipompakan ke seluruh tubuh bayi baru lahir. Pada kebanyakan keadaan, udara menyediakan oksigen (21%) untuk menginisiasi relaksasi pembuluh darah paru. Pada saat kadar oksigen meningkat dan pembuluh paru mengalami relaksasi, duktus arteriosus mulai menyempit. Darah yang sebelumnya melalui duktus arteriosus sekarang melalui paru-paru, akan mengambil banyak oksigen untuk dialirkan ke seluruh jaringan tubuh. Pada akhir masa transisi normal, bayi
menghirup
udara
dan
menggunakan
paru-
parunya
untuk
mendapatkan oksigen. Tangisan pertama dan tarikan napas yang dalam akan mendorong cairan dari jalan napasnya. Oksigen dan pengembangan paru merupakan rangsang utama relaksasi pembuluh darah paru. Pada saat oksigen masuk adekuat dalam pembuluh darah, warna kulit bayi akan berubah dari abu-abu/biru menjadi kemerahan (Depkes RI, 2008) 2. Bayi dapat mengalami kesulitan sebelum lahir, selama persalinan atau setelah lahir. Kesulitan yang terjadi dalam kandungan, baik sebelum atau selama persalinan, biasanya akan menimbulkan gangguan pada aliran darah di plasenta atau tali pusat. Tanda klinis awal dapat berupa deselerasi frekuensi jantung janin. Masalah yang dihadapi setelah persalinan lebih banyak berkaitan dengan jalan nafas dan atau paru-paru, misalnya sulit menyingkirkan cairan atau benda asing seperti mekonium dari alveolus, sehingga akan menghambat udara masuk ke dalam paru mengakibatkan hipoksia. Bradikardia akibat hipoksia dan iskemia akan menghambat peningkatan tekanan darah (hipotensi sistemik).Selain itu kekurangan oksigen atau kegagalan peningkatan tekanan udara di paru-paru akan mengakibatkan arteriol di paru-paru tetap konstriksi sehingga terjadi penurunan aliran darah ke paru-paru dan pasokan oksigen ke jaringan. Pada beberapa kasus, arteriol di paru-paru gagal untuk berelaksasi walaupun paru-paru sudah terisi dengan udara atau oksigen (Persisten Pulmonary Hypertension Newborn) (Depkes RI, 2008). 3. Bayi baru lahir akan melakukan usaha untuk menghirup udara ke dalam paru- parunya yang mengakibatkan cairan paru keluar dari alveoli ke jaringan insterstitial di paru sehingga oksigen dapat dihantarkan ke arteriol
pulmonal dan menyebabkan arteriol berelaksasi. Jika keadaan ini terganggu maka arteriol pulmonal akan tetap kontriksi, alveoli tetap terisi cairan dan pembuluh darah arteri sistemik tidak mendapat oksigen. Pada saat pasokan oksigen berkurang, akan terjadi konstriksi arteriol pada organ seperti usus, ginjal, otot dan kulit, namun demikian aliran darah ke jantung dan otak tetap stabil atau meningkat untuk mempertahankan pasokan oksigen. Penyesuaian distribusi aliran darah akan menolong kelangsungan fungsi organ-organ vital. Walaupun demikian jika kekurangan oksigen berlangsung terus maka terjadi kegagalan fungsi miokardium dan kegagalan peningkatan curah jantung, penurunan tekanan darah, yang mengkibatkan aliran darah ke seluruh organ akan berkurang. Sebagai akibat dari kekurangan perfusi oksigen dan oksigenasi jaringan, akan menimbulkan kerusakan jaringan otak yang irreversible, kerusakan organ tubuh lain, atau kematian. Keadaan bayi yang membahayakan akan memperlihatkan satu atau lebih tanda-tanda klinis seperti tonus otot buruk karena kekurangan oksigen pada otak, otot dan organ lain; depresi pernapasan karena otak kekurangan oksigen; bradikardia (penurunan frekuensi jantung) karena kekurangan oksigen pada otot jantung atau sel otak; tekanan darah rendah karena kekurangan oksigen pada otot jantung, kehilangan darah atau kekurangan aliran darah yang kembali ke plasenta sebelum dan selama proses persalinan; takipnu (pernapasan cepat) karena kegagalan absorbsi cairan paru-paru; dan sianosis karena kekurangan oksigen di dalam darah (Depkes RI, 2008). 4. Pernapasan adalah tanda vital pertama yang berhenti ketika bayi baru lahir kekurangan oksigen. Setelah periode awal pernapasan yang cepat maka periode selanjutnya disebut apnu primer (gambar 1). Rangsangan seperti mengeringkan atau menepuk telapak kaki akan menimbulkan pernapasan. Walaupun demikian bila kekurangan oksigen terus berlangsung, bayi akan melakukan beberapa usaha bernapas megap-megap dan kemudian terjadi apnu sekunder, rangsangan saja tidak akan menimbulkan kembali usaha pernapasan bayi baru lahir. Bantuan pernapasan harus diberikan untuk mengatasi masalah akibat kekurangan oksigen. Frekuensi jantung mulai
menurun pada saat bayi mengalami apnu primer. Tekanan darah akan tetap bertahan sampai dimulainya apnu sekunder sebagaimana diperlihatkan dalam gambar di bawah ini (kecuali jika terjadi kehilangan darah pada saat memasuki periode hipotensi). Bayi dapat berada pada fase antara apnu primer dan apnu dan seringkali keadaan yang membahayakan ini dimulai sebelum atau selama persalinan. Akibatnya saat lahir, sulit untuk menilai berapa
lama
bayi telah berada dalam keadaan
membahayakan.
Pemeriksaan fisik tidak dapat membedakan antara apnu primer dan sekunder, namun respon pernapasan yang ditunjukkan akan dapat memperkirakan kapan mulai terjadi keadaan yang membahayakan itu (Depkes RI, 2008). Gambar 12. Perubahan frekuensi jantung dan tekanan darah selama apnu
Sumber: American Academy of Pediatrics dan American Heart Association. Buku panduan resusitasi neonatus. Edisi ke-5, 2006
Jika bayi menunjukkan tanda pernapasan segera setelah dirangsang, itu adalah apnu primer. Jika tidak menunjukkan perbaikan apa-apa, ia dalam keadaan apnu sekunder. Sebagai gambaran umum, semakin lama seorang bayi dalam keadaan apnu sekunder, semakin lama pula dia bereaksi untuk dapat memulai pernapasan. Walau demikian, segera setelah ventilasi yang adekuat, hampir sebagian besar bayi baru lahir akan memperlihatkan gambaran reaksi yang sangat cepat dalam hal peningkatan frekuensi jantung. Jika setelah pemberian ventilasi tekanan positif yang adekuat, ternyata tidak memberikan respons peningkatan frekuensi jantung maka keadaan yang membahayakan ini seperti gangguan fungsi miokardium dan tekanan darah, telah jatuh pada keadaan kritis. Pada keadaan seperti ini, pemberian kompresi dada dan obat-obatan mungkin diperlukan untuk resusitasi (Depkes RI, 2008).
II.1.3.3. Disfungsi Multi Organ Pada Hipoksia Gambaran klinik yang terlihat pada berbagai organ tubuh tersebut sangat bervariasi tergantung pada beratnya hipoksia, selang waktu antara pemeriksaan keadaan hipoksia akut terjadi, masa gestasi bayi, riwayat perawatan perinatal, serta faktor lingkungan penderita termasuk faktor sosial ekonomi. Beberapa penelitian melaporkan, organ yang paling sering mengalami gangguan adalah susunan saraf pusat. Pada asfiksia neonatus, gangguan fungsi susunan saraf pusat hampir selalu disertai dengan gangguan fungsi beberapa organ lain (multiorgan failure). Kelainan susunan saraf pusat yang tidak disertai gangguan fungsi organ lain, hampir pasti penyebabnya bukan asfiksia perinatal (Depkes RI, 2008). 1. Sistem Susunan Saraf Pusat Pada keadaan hipoksia aliran darah ke otak dan jantung lebih dipertahankan dari pada ke organ tubuh lainnya, namun terjadi perubahan hemodinamik di otak dan penurunan oksigenisasi sel otak tertentu yang selanjutnya mengakibatkan kerusakan sel otak, 8-17% bayi penderita serebral palsi disertai dengan riwayat perinatal hipoksia. Salah satu gangguan akibat hipoksia otak yang paling sering ditemukan pada masa perinatal adalah ensefalopati hipoksik iskemik (EHI). Pada bayi cukup bulan keadaan ini timbul saat terjadinya hipoksia akut, sedangkan pada bayi kurang bulan kelainan lebih sering timbul sekunder pasca hipoksia dan iskemia akut. Manifestasi gambaran klinik bervariasi tergantung pada lokasi bagian otak yang terkena proses hipoksia dan iskemianya. Pada saat timbulnya hipoksia akut atau saat pemulihan pasca hipoksia terjadi dua proses yang saling berkaitan sebagai penyebab perdarahan peri/intraventrikular. Pada proses pertama, hipoksia akut yang terjadi menimbulkan vasodilatasi serebral dan peninggian aliran darah serebral. Keadaan tersebut menimbulkan peninggian tekanan darah arterial yang bersifat sementara dan proses ini ditemukan pula pada sirkulasi kapiler di daerah matriks germinal yang mengakibatkan perdarahan. Selanjutnya keadaan iskemia dapat pula terjadi akibat perdarahan ataupun renjatan pasca perdarahan yang akan memperberat keadaan penderita. Pada proses kedua, perdarahan dapat terjadi pada fase pemulihan pasca hipoksia akibat adanya proses reperfusi dan hipotensi sehingga menimbulkan iskemia di daerah mikrosirkulasi
periventrikular yang berakhir dengan perdarahan. Proses yang mana yang lebih berperan dalam terjadinya perdarahan tersebut belum dapat ditetapkan secara pasti, tetapi gangguan sirkulasi yang terjadi pada kedua proses tersebut telah disepakati mempunyai peran yang menentukan dalarn perdarahan tersebut (Depkes RI, 2008). 2. Sistem Pernapasan Penyebab terjadinya gangguan pernapasan pada bayi penderita asfiksia neonatus
masih
belum
dapat
diketahui
secara
pasti.
Beberapa
teori
mengemukakan bahwa hal ini merupakan akibat langsung hipoksia dan iskemianya atau dapat pula terjadi karena adanya disfungsi ventrikel kiri, gangguan koagulasi, terjadinya radikal bebas oksigen ataupun penggunaan ventilasi mekanik dan timbulnya aspirasi mekonium. Martin-Ancel (1995) dalam penelitiannya terhadap 72 penderita asfiksia, 19 bayi (26%) di antaranya menderita kelainan pernapasan dan 14 bayi mernerlukan tindakan ventilasi mekanik. Jenis kelainan pernapasan yang ditemukan pada penilitiannya adalah sindroma aspirasi mekonium (6 penderita), hipertensi pulmonal (3 penderita), perdarahan paru (4 penderita), dan sisanya menderita transient respiratory distress of the newborn (Depkes RI, 2008). 3. Sistem kardiovaskuler Bayi yang mengalami hipoksia berat dapat menderita disfungsi miokardium yang berakhir dengan payah jantung. Disfungsi miokardium terjadi karena menurunnya perfusi yang disertai dengan kerusakan sel miokard terutama di daerah subendokardial dan otot papilaris kedua bilik jantung. Pada penelitian terhadap 72 penderita asfiksia hanya 29% bayi yang menderita kelainan jantung. Kelainan yang ditemukan bersifat ringan berupa bising jantung akibat insufisiensi katup atrioventrikuler dan kelainan ekokardiografi khas yang menunjukkan iskernia miokardium.19 Kelainan jantung lain yang mungkin ditemukan pada penderita asfiksia berat antara lain gangguan konduksi jantung, aritmia, blok atrioventrikuler dan fixed heart rate (Depkes RI, 2008). 4. Sistem urogenital Pada sistem urogenital, hipoksia bayi dapat menimbulkan gangguan perfusi dan dilusi ginjal serta kelainan filtrasi glomerulus. Aliran darah yang kurang
menyebabkan nekrosis tubulus dan perdarahan medula. Dalam penelitian terhadap 30 penderita asfiksia neonatus Jayashree G, dkk.(1991) menemukan disfungsi ginjal pada 43 % bayi dengan gejala oliguria disertai urea darah >40 mg% dan kadar kreatinin darah >1 mg% (Depkes RI, 2008). 5. Sistem gastrointestinal Kelainan saluran cerna ini terjadi karena radikal bebas oksigen yang terbentuk pada penderita hipoksia beserta faktor lain seperti gangguan koagulasi dan hipotensi, menimbulkan kerusakan epitel dinding usus. Gangguan fungsi yang terjadi dapat berupa kelainan ringan yang bersifat sementara seperti muntah berulang, gangguan intoleransi makanan atau adanya darah dalam residu lambung sampai kelainan perforasi saluran cerna, enterokolitis nekrotikans kolestasis dan nekrosis hepar (Depkes RI, 2008). Sistem audiovisual Gangguan pada fungsi penglihatan dan pendengaran dapat terjadi secara langsung karena proses hipoksia dan iskemia, ataupun tidak langsung akibat hipoksia iskernia susunan saraf pusat atau jaras-jaras yang terkait yang menimbulkan kerusakan pada pusat pendengaran dan penglihatan. Johns ,dkk. pada penelitian terhadap 6 bayi prematur yang menderita kelainan jantung bawaan sianotik, 3 bayi di antaranya menderita retinopati. Retinopati yang ditemukan ternyata tidak hanya karena peninggian tekanan oksigen arterial tetapi pada beberapa penderita disebabkan oleh hipoksemia yang menetap. Selain retinopati, kelainan perdarahan retina dilaporkan pula pada bayi penderita perinatal hipoksia (Depkes RI,2008).
II.1.3.4. Pembagian Serta dan Gejala Tabel 4.
SKOR APGAR
TANDA
Appearance
SKOR 0
1
2
biru,pucat
tubuh
tubuh dan ektremitas
kemerahan,tungkai
kemerahan
(warna kulit)
biru Pulse
tidak ada
kurang dari 100x lebih
dari
100x/
(frekuensi nadi) Grimace
/menit
menit
tidak ada
gerakan sedikit
menangis
lumpuh
ekstremitas
(reaksi rangsangan) Activity (tonus otot) Respiratory
fleksi gerakan aktif
sedikit tidak ada
lambat,tidak teratur
menangis kuat
(pernapasan) (Aziz, 2008)
Skor Apgar ini biasanya dinilai 1 menit setelah bayi lahir lengkap, yaitu pada saat bayi telah diberi lingkungan yang baik serta telah dilakukan pengisapan lendir dengan sempurna. Skor Apgar ini menunjukkan beratnya asfiksia yang diderita dan sebagai pedoman untuk menentukan cara resusitasi. Skor Apgar perlu pula dinilai setelah 5 menit bayi lahir,karena hal ini mempunyai korelasi antara morbiditas dan mortalitas neonatal (Husein, 2007).
Asfiksia neonatorum dapat dibagi dalam : 1. Vigorous baby : skor apgar 7-10 . Bayi dianggap sehat dan tidak memerlukan tindakan istimewa. 2. Mild moderate asphyxia : skor apgar 4-6 . Pada pemeriksaan fisik akan terlihat frekuensi jantung lebih dari 100x/menit,tonus otot kurang baik atau baik,sianosis,refleks iritabilitas tidak ada. 3. Asfiksia berat : skor apgar 0-3. Pada pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi jantung kurang dari 100x/menit,tonus otot buruk,sianosis berat,dan kadang-kadang pucat,refleks iritabilitas tidak ada. Asfiksia berat dengan henti jantung . Dimaksudkan dengan henti jantung ialah keadaan (1) bunyi jantung fetus menghilang tidak lebih dari 10 menit sebelum lahir lengkap (2) bunyi jantung bayi menghilang post partum. pemeriksaan fisis lainnya sesuai dengan asfiksia berat (Husein, 2007).
Nilai APGAR juga berguna untuk menentukan perlu atau tidaknya resusitasi :
1. Nilai APGAR lebih atau sama dengan 7 tidak perlu resusitasi. 2. Nilai APGAR 1 menit : 4-6 diberikan bag and mas ventilation. 3. Nilai APGAR 1 menit : 0-3 lakukan intubasi.
Berdasarkan gambaran klinis tersebut, asfiksia dapat dibagi menjadi 2 macam, yaitu : 1. Asfiksia livida (biru) 2. Asfiksia pallida (putih) Perbedaan
Asfiksia Pallida
Asfiksia Livida
Warna kulit
Pucat
Kebiru – biruan
Tonus otot
Sudah kurang
Masih baik
Reaksi rangsangan
Negatif
Positif
Bunyi jantung
Tidak teratur
Masih teratur
Prognosis
Buruk
Lebih baik
(Mochtar, 1998)
II.1.3.5. Diagnosis 1. Anamnesis: Anamnesis diarahkan untuk mencari faktor risiko terhadap terjadinya asfiksia neonatorum. 2. Pemeriksaan fisis: Bayi tidak bernafas atau menangis. Denyut jantung kurang dari 100x/menit Tonus otot menurun Bisa didapatkan cairan ketuban ibu bercampur mekonium, atau sisa mekonium pada tubuh bayi BBLR. 3. Pemeriksaan penunjang : Laboratorium : hasil analisis gas darah tali pusat menunjukkan hasil asidosis pada darah tali pusat: PaO2< 50 mm H2O PaCO2 > 55 mm H2 pH < 7,30 Bila bayi sudah tidak membutuhkan bantuan resusitasi aktif.
II.1.3.6. Tata Laksana pada asfiksia neonatorum : Tujuan
utama
mengatasi
asfiksia
adalah
untuk
mempertahankan
kelangsungan hidup bayi dan membatasi gejala sisa (sekuele) yang mungkin timbul dikemudian hari,ini yang disebut dengan resusitasi bayi baru lahir (Hassan, 2007). Sebelum resusitasi ada beberapa hal yang perlu diperhatikan : Faktor
waktu
sangat
penting,makin
lama
bayi
menderita
asfiksia,perubahan homeostasis yang timbul makin berat,resusitasi akan lebih sulit dan kemungkinan timbulnya gejala sisa akan meningkat. Kerusakan yang timbul pada bayi akibat anoksia/hipoksia antenatal tidak dapat diperbaiki tetapi kerusakan yang terjadi karena anoksia dapat dicegah dan diatasi. Riwayat kehamilan dan partus adalah faktor penyebab terjadinya depresi pernafasan pada bayi baru lahir. Penilaian bayi baru lahir perlu dikenal baik agar resusitasi yang dilakukan dapat dipilih dan ditentukan secara adekuat. Prinsip dasar resusitasi yang perlu diingat adalah :
Memberikan lingkungan yang baik pada bayi dan mengusahakan saluran pernafasan tetap bebas serta merangsang timbulnya pernafasan yaitu agar teroksigenasi dan pengeluaran C02 berjalan lancar.
Memberikan bantuan pernafasan secara aktif pada bayi yang menunjukkan usaha pernafasan lemah.
Melakukan koreksi terhadap asidosis yang terjadi
Menjaga agar sirkulasi darah tetap baik
1. Antisipasi kebutuhan resusitasi Antisipasi, persiapan adekuat, evaluasi akurat dan inisiasi bantuan sangatlah penting dalam kesuksesan resusitasi neonatus. Pada setiap kelahiran harus ada setidaknya satu orang yang bertanggung jawab pada bayi baru lahir. Orang tersebut harus mampu untuk memulai resusitasi, termasuk pemberian ventilasi tekanan positif dan kompresi dada. Orang ini atau orang lain yang datang harus memiliki kemampuan melakukan resusitasi neonatus secara komplit, termasuk melakukan intubasi endotrakheal dan memberikan obat-obatan. Bila dengan mempertimbangkan faktorrisiko, sebelum bayi lahir diidentifikasi bahwa akan membutuhkan resusitasi maka diperlukan tenaga terampil tambahan dan persiapan alat resusitasi. Bayi prematur (usia gestasi < 37 minggu) membutuhkan persiapan khusus. Bayi prematur memiliki paru imatur yang kemungkinan lebih sulit diventilasi dan mudah mengalami kerusakan karena ventilasi tekanan positif serta
memiliki pembuluh darah imatur dalam otak yang mudah mengalami perdarahan Selain itu, bayi prematur memiliki volume darah sedikit yang meningkatkan risiko syok hipovolemik dan kulit tipis serta area permukaan tubuh yang luas sehingga mempercepat kehilangan panas dan rentan terhadap infeksi. Apabila diperkirakan bayi akan memerlukan tindakan resusitasi, sebaiknya sebelumnya dimintakan informed consent. Definisi informed consent adalah persetujuan tertulis dari penderita atau orangtua/wali nya tentang suatu tindakan medis setelah mendapatkan penjelasan dari petugas kesehatan yang berwenang. Tindakan resusitasi dasar pada bayi dengan depresi pernapasan adalah tindakan gawat darurat. Dalam hal gawat darurat mungkin informed consent dapat ditunda setelah tindakan. Setelah kondisi bayi stabil namun memerlukan perawatan lanjutan, dokter perlu melakukan informed consent. Lebih baik lagi apabila informed consent dimintakan sebelumnya apabila diperkirakan akan memerlukan tindakan. Alat Resusitasi Semua peralatan yang diperlukan untuk tindakan resusitasi harus tersedia di dalam kamar bersalin dan dipastikan dapat berfungsi baik. Pada saat bayi memerlukan resusitasi maka peralatan harus siap digunakan. Peralatan yang diperlukan pada resusitasi neonatus adalah sebagai berikut : Perlengkapan penghisap Balon penghisap (bulb syringe) Penghisap mekanik dan tabung Kateter penghisap Pipa lambung. Peralatan balon dan sungkup Balon resusitasi neonatus yang dapat memberikan oksigen 90% sampai 100%, dengan volume balon resusitasi ± 250 ml Sungkup ukuran bayi cukup bulan dan bayi kurang bulan (dianjurkan yang memiliki bantalan pada pinggirnya). Sumber oksigen dengan pengatur aliran (ukuran sampai 10 L/m) dan tabung. 3. Peralatan intubasi Laringoskop Selang endotrakeal (endotracheal tube) dan stilet (bila tersedia) yang cocok dengan pipa endotrakeal yang ada
Obat-obatan Epinefrin 1:10.000 (0,1 mg/ml) – 3 ml atau ampul 10 ml Kristaloid isotonik (NaCl 0.9% atau Ringer Laktat) untuk penambah volume 100 atau 250 ml. Natrium bikarbonat 4,2% (5 mEq/10 ml)—ampul 10 ml. Naloxon hidroklorida 0,4 mg/ml atau 1,0 mg/ml Dextrose 10%, 250 ml Kateter umbilikal Lain-lain Alat pemancar panas (radiant warmer) atau sumber panas lainnya Monitor jantung dengan probe serta elektrodanya (bila tersedia di kamar bersalin) Oropharyngeal airways Selang orogastrik
II.1.3.7. Pencegahan Asfiksia Neonatorum Pencegahan terhadap asfiksia neonatorum adalah dengan menghilangkan atau meminimalkan faktor risiko penyebab asfiksia. Derajat kesehatan wanita, khususnya ibuhamil harus baik. Komplikasi saat kehamilan, persalinan dan melahirkan harus dihindari. Upaya peningkatan derajat kesehatan ini tidak mungkin dilakukan dengan satu intervensi saja karena penyebab rendahnya derajat kesehatan wanita adalah akibat banyak faktor seperti kemiskinan, pendidikan yang rendah, kepercayaan, adat istiadat dan lain sebagainya. Untuk itu dibutuhkan kerjasama banyak pihak dan lintas sektoral yang saling terkait. Adanya kebutuhan dan tantangan untuk meningkatkan kerjasama antar tenaga obstetri di kamar bersalin. Perlu diadakan pelatihan untuk penanganan situasi yang tak diduga dan tidak biasa yang dapat terjadi pada persalinan. Setiap anggota tim persalinan harus dapat mengidentifikasi situasi persalinan yang dapat menyebabkan kesalahpahaman atau menyebabkan keterlambatan pada situasi gawat. Pada bayi dengan prematuritas, perlu diberikan kortikosteroid untuk meningkatkan maturitas paru janin.
II.2.
Kerangka Teori
Faktor Ibu
Faktor Neonatus
Faktor Plasenta
KETERANGAN : Variabel yang diteliti :
Variabel yang tidak diteliti :
II.3.
Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian
Variabel independen
II.4. No
Variabel dependen
Penelitian terkait yang pernah dilakukan
Judul
Nama
Tempat &
Rancangan
Variabel
Hasil
Penelitian
Peneliti
Tahun
Penelitian
Penelitian
Penelitian
Penelitian 1.
Skor
I Gusti
Semarang,
Survey
Persalinan
Terdapat
Zatuchni-
Ketut Ali
Januari 1999
dengan
sungsang,
hubungan
Andros
Semarawis
pendekata
Skor Z-A
antara skor
dalam
ma
n potong
Apgar
Z-A dengan
lintang
Score
tingginya
menentukan keberhasilan
kejadian
persalinan
asfiksia
sungsang genap bulan
2.
Hubungan
Tri
Fak.
Penelitian
Data umur
Lama
lama ketuban
Budianto,
Kedokteran
non
ibu, jenis
ketuban
pecah
Bharoto
Univ. Gadjah
eksperiment
presentasi
pecah
terhadap
Winardi
Mada/
al dengan
bokong,
berhubunga
asfiksia
Soeprono
Rumah Sakit
pendekatan
cara
n dengan
Umum Pusat
potong
persalinan,
asfiksia
perinatal
pada
Dr.Sardjito
lintang
lama
perinatal
presentasi
Yogyakarta
( Cross
ketuban
dan
bokong
Sectional
pecah dan
hubungan
hamil aterm
Study ).
lama
tersebut
persalina
dipengaruhi
yang dilahirkan
oleh berat
pervaginam
badan lahir dan lama ketuban pecah itu sendiri
II.5. Hipotesis Penelitian 1. Ada hubungan antara persalinan presentasi sungsang yang dilahirkan pervaginam pada usia kehamilan aterm dengan asfiksia perinatal.