BAB II LANDASAN TEORI
A. Teori Keagenan Jensen dan Mackling (1976) menyatakan bahwa hubungan keagenan adalah sebuah kontrak antara manajer (agent) dengan investor (principal). Konflik kepentingan antara pemilik dan agen terjadi karena adanya perbedaan kepentingan antara principal dan agent. Pemegang saham sebagai principal diasumsikan hanya tertarik kepada hasil keuangan yang bertambah atau investasi mereka di dalam perusahaan. Sedang para agen disumsikan menerima kepuasan berupa kompensasi keuangan dan syarat-syarat yang menyertai dalam hubungan tersebut. Dalam teori keagenan, principal adalah pemegang saham / pemilik yang menyediakan fasilitas dan dana untuk kegiatan operasional, sedangkan agen adalah managemen sebagai pengelola dari harta sebagaimana dipercayakan oleh principal untuk meningkatkan kemakmuran para pemegang saham dengan cara meningkatkan nilai perusahaan. Namun pada kenyatannya, seringkali egen tidak melaksanakan kontrak kerja untuk meningkatkan kemakmuran para
pemegang
sahamnya,
namun
cenderung
mementingkan
kemakmurannya sendiri. Eisenhardt (1989) menyatakan bahwa teori agensi menggunakan tiga asumsi sifat manusia yaitu: (1) manusia pada umumya mementingkan diri sendiri (self-interest), (2) manusia memiliki daya pikir terbatas
6
mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan (3) manusia selalu menghindari resiko (risk averse). Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut manajer sebagai manusia akan bertindak opportunistik, yaitu mengutamakan kepentingan pribadinya (Haris, 2004 dalam Ujiyantho, 2007: 5). Dibandingkan dengan pemilik saham, manajer yang bertindak sebagai pengelola perusahaan akan lebih banyak mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan dimasa mendatang. Pada dasarnya manajer berkewajiban untuk memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada para pemiliknya. Sinyal yang diberikan dapat dilakukan melalui pengungkapan informasi melalui laporan keuangan. Ketidakseimbangan informasi akan menimbulkan asimetri informasi (information asymmetry). Asimetri antara manajemen dan pemilik dapat memberikan kesempatan kepada manajer untuk melakukan manajemen laba (earnings management). Teori keagenan juga menyatakan bahwa konflik kepentingan antara manajemen dan para pemegang saham dapat diminimumkan dengan suatu mekanisme pengawasan yang dapat menyejajarkan kepentingan. Namun dengan adanya suatu pengawasan tersebut akan menimbulkan suatu biaya yang disebut sebagai biaya keagenan (agency cost). Ada beberapa macam biaya keagenan yaitu pertama, biaya pengawasan yang dikeluarkan principal mengawasi aktivitas dan perilaku manajer, misalnya dengan
7
membayar jasa auditor untuk melakukan audit terhadap laporan keuangan perusahaan. Kedua, biaya bonding yang ditanggung manajer untuk memberikan jaminan kepada para pemilik perusahaan bahwa manajer tidak melakukan tindakan – tindakan yang akan merugikan perusahaan. Dan ketiga, residual loss yang merupakan biaya yang ditanggung oleh principal untuk mempengaruhi keputusan manajer agar meningkatkan kesejahteraan principal. Biaya keagenan dapat diminimalisir dengan beberapa cara antara lain : Pertama, dengan memberikan atau meningkatkan kepemilikan oleh manajemen didalam
perusahaan (insider shareholders). Penyebab
timbulnya konflik keagenan adalah karena para pengambil keputusan tidak perlu menanggung resiko sebagai akibat adanya kesalahan dalam pengambilan keputusan. Resiko tersebut ditanggung oleh pemilik. Maka dengan meningkatkan kepemilikan oleh manajemen, manajemen merasa ikut memiliki dan merasakan langsung hasil dari keputusan yang diambil. Kedua, dengan meningkatkan deviden payout ratio; ketiga, dengan meningkatkan pendanaan hutang; dan keempat adalah dengan kepemilikan institutional (institutional investors).
B. Good Corporate Governance Good corporate governance, yang merupakan konsep yang didasarkan pada teori keagenan, muncul sebagai akibat dari adanya pemisahan antara kepemilikan dengan pengendalian perusahaan. Good
8
corporate governance atau tata kelola perusahaan yang baik dapat didefinikan sebagai sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan untuk menciptakan nilai tambah bagi para pemiliknya. Komite Cadbury mendefinisikan good corporate governance sebagai berikut : Corporate governance adalah sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan dengan tujuan, agar mencapai keseimbangan antara kekuatan kewenangan yang diperlukan perusahaan untuk menjamin kelangsungan eksistensinya dan pertanggungjawaban kepada stakeholders. Hal ini berkaitan langsung dengan peraturan kewenangan pemilik, direktur, manajer, pemegang saham dan sebagainya.
Sedangkan menurut Price Waterhouse Coopers : Corporate governance terkait dengan pengambilan keputusan yang efektif. Dibangun melalui kultur organisasi, nilai – nilai, sistem berbagai proses, kebijakan – kebijakan dan struktur organisasi, yang bertujuan unutk mencapai bisnis yang menguntungkan, efisien dan efektif dalam mengelola resiko dan bertanggungjawab dengan memperhatikan kepentingan stakeholders .
Pemenuhan kepentingan seluruh stakeholder secara seimbang berdasarkan peran dan fungsinya masing masing dalam suatu perusahaan merupakan tujuan utama yang ingin dicapai dalam penerapan good corporate governance. Prinsip – prinsip utama dari good corporate governance yang menjadi
indicator sebagaimana dijelaskan
oleh Organization for
Economics Coorporation and Development (OECD) adalah :
9
1. Keterbukaan (transparency), yaitu keterbukaan dalam pengungkapan informasi yang bersifat penting, dimana informasi tersebut harus disiapkan, diaudit dan diungkapkan dengan pembukuan yang berkualitas dan penyebarannya harus bersifat tepat waktu, adil dan efisien. 2. Akuntabilitas
(accountability),
menekankan
pada
pentingnya
penciptaan sistem pengawasan yang efektif berdasarkan pembagian kekuasaan antara komisaris, direksi dan pemegang saham yang meliputi monitoring, evaluasi dan pengendalian terhadap manajemen untuk meyakinkan bahwa manajemen bertindak sesuai dengan kepentingan pemegang saham dan pihak pihak berkepentingan lainnya.. 3. Tanggung
jawab
(responsibility),
meliputi
adanya
jaminan
penghormatan semua hak – hak bagi pihak yang berkepentingan, dibukanya mekanisme pengembangan prestasi dan adanya akses terhadap informasi yang relevan. 4. Independensi (Independency), untuk melancarkan asas good corporate governance, perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing – masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain. Independensi diperlukan untuk menghindari adanya konflik kepentingan yang mungkin timbul oleh pemegang saham mayoritas.
10
5. Kewajaran (fairness), meliputi perlindungan bagi para pemegang saham dan perlakuan yang sama bagi para pemegang saham yang harus selalu diperhatikan dalam mengelola perusahaan.
Melalui pemenuhan kepentingan
yang seimbang, benturan
kepentingan yang terjadi di dalam perusahaan dapat diarahkan dan dikontrol sedemikian rupa, sehingga tidak menyebbabkan timbulnya kerugian bagi suatu perusahaan. Untuk mendorong implementasi good corporate governance, muncul suatu ide tentang organ tambahan dalam struktur perusahaan. Organ tambahan tersebut diharapkan dapat meningkatkan penerapan good corporate governance di dalam perusahaan – perusahaan di Indonesia dan meningkatkan perlindungan bagi kreditor. Organ – organ tambahan tersebut yaitu : 1. Komisaris Independen Istilah komisaris independen menunjukkan keberadaan mereka senahai wakil dari pemegang saham independen (minoritas) dan juga mewakili
kepentingan
investor.
Sebagimana
dimaksud
dalam
ketentuan Bapepam Nomor IX.E.1 tentang benturan Kepentingan Transaksi tertentu, kata independen yang dimaksud pada pemegang saham independen lebih menyoroti kepada keberadaan pemegang saham tersebut yang tidak mewakili pihak manapun juga atau dalam kata lain mewakili diri mereka sendiri.
11
Adanya komisaris independen tidak terlepas dari keberadaan komisaris pada umumnya, yang merupakan organ yang mengawasi kebijakan direksi dalam menjalankan perusahaan serta memberikan nasihat kepada direksi. Dengan adanya komisaris independen diharapkan dapat bersikap netral terhadap segala kebijakan yang dibuat oleh direksi. Komisaris independen memiliki peranan yang sama dengan komisaris,
yaitu
menjamin
pelaksanaan
strategi
perusahaan,
mengawasi manajemen perusahaan dalam mengelola perusahaan, serta terlaksananya akuntanbilitas. Komisaris independen bersama dewan komisaris memiliki tugas – tugas utama, meliputi : a. Menilai dan mengarahkan strategi perusahaan, garis – garis besar rencana kerja, kebijakan pengendalian resiko, anggaran tahunan dan rencana usaha, menetapkan sasaran kerja, mengawasi pelaksanaan dan kinerja perusahaan, serta memonitor penggunaan modal perusahaan, investasi dan penjualan asset. Tugas ini terkait dengan peran dan tanggung jawab, serta mendukung usaha untuk menjamin penyeimbangan kepentingan manajemen. b. Menilai sistem penetapan penggajian penjabat pada posisi kunci dan penggajian anggota dewan direksi, serta
12
menjamin suatu proses pencalonan anggota dewan direksi yang transparan dan adil. c. Memonitor dan mengawasi masalah benturan kepentingan pada tingkat manajemen, anggota dewan direksi dan anggota dewan direksi dan anggota dewan komisaris, termasuk penyalahgunaan aset perusahaan dan manipulasi transaksi perusahaan. Tugas ini memberikan perlindungan hak – hak para pemegang saham. Memonitor pelaksanaan governance,
dan
mengadakan
perubahan
apabila
diperlukan. d. Memantau proses keterbukaan dan efektifitas komunikasi dalam
perusahaan
(OECD
principles
of
corporate
governance). Proses keterbukaan ini untuk menjamin tersedianya informasi yang tepat waktu dan jelas.
2. Direktur Independen Berhasil atau tidaknya suatu perusahaan tidak terlepas dari kinerja direksi perusahaan. Akan tetapi pada praktiknya, banyak direktur yang tidak melaksanakan diduciary duty yang diembannya dengan
optimal,
bahkan
beberapa
diantaranya
menggunakan
perusahaan untuk mencari keuntungan pribadi. Hal ini terjadi karena umumnya direksi adalah salah satu pemegang saham mayoritas ataupun afiliasi dari pemegang saham mayoritas ataupun komisaris
13
dimana direktur kerap memanfaatkan perusahaan yang dipimpinnya untuk memperoleh keuntungan pribadi. Keadaan ini membahayakan perusahaan karena perusahaan tidak dikelola oleh orang – orang professional, tetapi diduduki oleh orang – orang yang memiliki kekuatan
ekonomi
yang
bertujuan
untuk
lebih
mendapatkan
keuntungan ekonomi tetapi merugikan perusahaan dan pemegang saham minoritas. Berdasarkan peraturan Bapepam no. IX.I.6, keberadaan direktur independen saat ini menjadi salah satu komponen yang diwajibkan
untuk
meningkatkan
penerapan
prinsip
prinsip
pengelolalaan perusahaan yang baik. Konsep dari direktur independen ini memiliki tugas dan peran yang sama dengan direktur lainnya tetapi keberadaannya yang independen atau tidak terafiliasi dengan komisatis atau pemegang saham pengendali
3. Komite Audit Komite audit adalah organ tambahan yang diperlukan dalam pelaksanaan prinsip – prinsip good corporate governance . Komite audit timbul sebagai akibat peran pengawasan dan akuntabilitas dewan komisaris perusahaan untuk melakukan pemeriksaan atau penelitian yang dianggap perlu terhadap pelaksanaan fungsi direksi dalam pelaksanaan pengelolaan perusahaan serta melaksanakan tugas penting yang berkaitan dengan sistem pelaporan keuangan.
14
Komite audit dituntut untuk bersikap secara independen. Independensinya tidak dapat dipisahkan dari moralitas yang melandasi integritasnya. Hal ini perlu disadari karena komite audit merupakan pihak yang menjembatani antara eksternal auditor dan perusahaan yang juga menjembatani antara fungsi pengawasan dewan komisaris dengan internal auditor. Komite audit adalah suatu komite yang beranggotakan satu atau lebih anggota dewan komisaris. Anggota audit dapat berasal dari kalangan luar dengan berbagai keahlian, pengalaman dan kualitas lainnya yang dibutuhkan guna mencapai tujuan komite audit. Komite audit harus bebas dari pengaruh direksi, ekternal auditor dan hanya bertanggung jawab kepada dewan komisaris. Kebutuhan akan komite audit disebabkan belum memadainya peran pengawasan dan akuntabilitas dewan komisaris perusahaan. Pada umumnya komite audit mempunyai tanggung jawab pada tiga bidang, yaitu : a. Laporan keuangan (financial reporting) Tanggung jawab komite audit di bidang laporan keuangan adalah untuk memastikan bahwa laporan yang dibuat oleh manajemen
telah
memberikan
gambaran
yang
sebenarnya
mengenai kondisi keuangan, hasil usaha, rencana dan komitmen perusahaan dalam jangka panjang.
15
b. Tata kelola perusahaan (corporate governance) Dalam bidang tata kelola perusahaan komite audit bertugas untuk memastikan bahwa perusahaan telah dijalankan sesuai dengan undang – undang dan peraturan yang berlaku dan etika, melaksanakan pengawasan efektif terhadap benturan kepentingan dan kecurangan yang dilakukan oleh karyawan perusahaan. c. Pengawasan perusahaan (corporate control) Komite
audit
bertanggung jawab
untuk
melakukan
pengawasan perusahaan, termasuk didalamnya hal – hal yang berpotensi mengandung resiko dan sistem pengedalian interen serta memonitor proses pengawasan yang dilakukan oleh auditor internal.
C. Struktur Kepemilikan Masalah good corporate governance merupakan masalah yang timbul sebagai akibat dari pihak – pihak perusahaan yang memiliki berbagai kepentingan yang berbeda – beda. Perbedaan tersebut timbul karena adanya karakteristik kepemilikan dalam perusahaan, seperti kepemilikan
menyebar
(dispersed
ownership)
dan
kepemilikan
terkonsentrasi (closely held) dan kepemilikan oleh BUMN. Struktur kepemilikan (ownership structure) merupakan kondisi modal antara hutang dan ekuitas termasuk juga proporsi antara kepemilikan
saham
inside
shareholder
16
dan
outside
shareholder.
Kepemilikan yang terkonsentrasi dalam konteks good governance.
Semakin
terkonsentrasinya
kepemilikan,
corporate principal
mempunyai insentif untuk memonitor agen, agar mereka bertindak selaras dengan kepentingan pemilik (Bathala, et. Al., 1994) Adanya agency problem
dapat
dipengaruhi
oleh struktur
kepemilikan. Struktur kepemilikan dipercaya mampu memberikan pengaruh terhadap jalannya perusahaan yang pada akhirnya berpengaruh pada kinerja perusahaan dalam pencapaian tujuan perusahaan, disebabkan oleh adanya kontrol yang mereka miliki.
1. Kepemilikan Manajerial Merupakan kepemilikan saham oleh manajemen perusahaan yang diukur dengan persentase jumlah saham yang dimiliki oleh manajemen (Sujono dan Soebiantoro, 2007). Struktur kepemilikan manajerial dapat dipandang dari dua pendekatan, yaitu pendekatan keagenan yang menganggap bahwa struktur manajerial merupakan sebuah instrument untuk mengurangi konflik keagenan diantrara beberapa klaim (claim holder) terhadap perusahaan dan pendekatan ketidakseimbangan informasi sebagai suatu cara untuk mengurangi ketidakseimbangan informasi antara insider dan outsider melalui pengungkapan informasi di dalam pasar modal.
17
2. Kepemilikan Institusional Yang merupakan kepemilikan saham oleh pemerintah, institusi keuangan, institusi berbadan hukum, institusi luar negeri, dana perwalian serta institusi lainnya pada akhir tahun. Adanya kepemilikan institusional dapat menunjukkan mekanisme corporate governance yang kuat dan akan mendorong peningkatan pengawasan yang lebih optimal terhadap kinerja manajemen.
Pengaruh
investor
institusional
terhadap
manajemen
perusahaan dapat digunakan untuk menyelaraskan kepentingan pemegang saham dan manajemen (Salomon dan Salomon, 2004).
D. Manajemen Laba 1. Motivasi Manajemen Laba Manajemen laba merupakan setiap tindakan manajemen yang dapat mempengaruhi angka laba yang dilaporkan yang dapat memberikan informasi mengenai keuntungan ekonomis (economic advantage) yang sesungguhnya tidak dialami perusahaan, yang dalam jangka panjang tindakan tersebut dapat merugikan perusahaan (Merchan dan Rocness, 1994). Davidson, Stickey dan Weil mengatakan bahwa manajemen laba merupakan proses untuk mengambil langkah tertentu yang disengaja dalam batas – batas prinsip akuntansi berterima umum untuk menghasilkan tingkat yang diinginkan dari laba yang dilaporkan.
18
Manajemen laba sebagai campur tangan manajemen dalam proses pelaporan keuangan eksternal bertujuan untuk menguntungkan dirinya sendiri (manajemen). Manajemen laba merupakan salah satu faktor yang dapat mengurangi kredebilitas laporan keuangan, menambah bias dalam laporan keuangan serta mengganggu pengguna laporan keuangan yang mempercayai angka laba hasil rekayasa tersebut sebagai angka laba tanpa rekayasa (Setiawati dan Na’im, 2000). Sedangkan menurut National Asscociation of Certified Fraud Examiners manajemen laba diartikan sebagai kesalahan atau kelalaian yang disengaja dalam membuat laporan mengenai fakta material atau data akuntansi sehingga menyesatkan ketika semua informasi itu dipakai untuk membuat pertimbangan dan akhirnya akan menyebabkan irang yang membacanya akan mengganti atau mengubah pendapat atau keputusannya. Fisher dan Rosenzweig mengartikan manajemen laba sebagai tindakan – tindakan manajer untuk menaikan (menurunkan) laba periode berjalan dari sebuah perusahaan yang dikelolalnya tanpa menyebabkan kenaikan (penurunan) keuantungan ekonomi perusahaan jangka panjang. Dilihat dari berbagai definisi manajemen laba, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa manajemen laba merupakan suatu langkah tertentu yang disengaja untuk mengatur laba, campur tangan dalam penyusunan laporan keuangan, kesalahan atau kelalaian yang disengaja dalam membuat laporan keuangan, tindakan untuk mengatur laba, fleksibilitas
19
yang mendorong penggunaan laba serta menggunakan keputusan tertentu untuk mengubah laporan keuangan. Apa yang dilakukan oleh manajer dapat diterima, sejauh yang dilakukan oleh manajer masih dalam lingkup prinsip akuntansi berterima umum, maka tindakan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai kecurangan. Namun bagi pihak lain, menganggap bahwa tindakan manajer dalam melakukan manajemen laba dianggap sebagai perbuatan curang. Dalam positive accounting theory terdapat tiga hipotesis yang merupakan faktor – faktor pendorong terjadinya manajemen laba (Watt dan Zimmerman, 1986) yaitu sebagai berikut : a. Bonus plan hypothesis. Bonus plan hypothesys menyatakan bahwa “managers of firms with bonus plan are more likely to use accounting methods that increase current periode reported income” Dalam bonus atau kompensasi manajerial, pemilik perusahaan berjanji bahwa manajer akan menerima sejumlah bonus jika kinerja perusahaan mencapai jumlah tertentu. Janji bonus inilah yang merupakan alasan bagi manajer untuk mengelola dan mengatur labanya pada tingkat tertentu sesuai dengan yang diisyaratkan agar dapat menerima bonus. Seandainya pada tahun tertentu kinerja sesungguhnya berada di bawah syarat untuk memperoleh bonus, maka manajer akan melakukan manajemen laba agar dapat mencapai tingkat minimal
20
untuk mendapatkan bonus. Sebaliknya, jika pada pada tahun itu kinerja yang diperoleh manajer jauh diatas jumlah yang diisyaratkan, maka manajer akan mengelola dan melaporkan laba agar tidak terlalu tinggi. Upaya ini membuat manager cenderung akan selalu memperoleh bonus dari periode ke periode.
b. Debt (Equity) hypothesis “The larger the firms debt to equity ratio, the more likely managers use accounting methods that increase income” Dalam konteks perjanjian hutang, manager akan mengelola dan mengatur labanya agar kewajiban hutangnya yang seharusnya diselesaikan pada tahun tertentu dapat ditunda ke tahun berikutnya. Manajer perusahaan yang melakukan pelanggaran perjanjian kredit cenderung memilih metode akuntansi yang memiliki dampak untuk meningkatkan laba (Sweeney, 1994) untuk menjaga reputasi dari pandangan pihak eksternal. Perusahaan dengan rasio debt to equity yang tinggi akan berakibat menimbulkan kesulitan dalam memperoleh dana yang tinggi dari pihak kreditor dan terancam melanggar perjanjian hutang.
21
c. Political Cost Hypothesis Hipotesis ini menyatakan bahwa “larger firms rather than small firms are more likely to use accounting choices that reduce reported profits” Perusahaan yang memiliki biaya politik yang tinggi akan mendorong manajer untuk memilih metode akuntansi yang menangguhkan laba yang dilaporkan dari periode sekarang ke periode masa mendatang sehingga memperkecil laba yang dilaporkan.
Sedangkan menurut Scott (2003) dalam Luhgianto, menyatakan bahwa motivasi yang mendorong manajer untuk melakukan manajemen laba adalah sebagai berikut : a. Bonus Plans Manager mempunyai informasi laba bersih sebelum dilaporkan kedalam laporan keuangan. Oleh karena itu, manager akan berusaha mengatur laba bersih tersebut sehingga dapat memaksimalkan bonus mereka berdasarkan compensation plans perusahaan. b. Debt convenant Kontrak hutang jangka pannjang merupakan perjanjian untuk melindungi pemberian pinjaman dari tindakan – tindakan manager terhadap kepentingan kreditor.
22
c. Political motivation Aspek politis tidak dapat dilepaskan dari perusahaan, khususnya perusahaan besar. Salah satu motivasi politis yang mendorong perusahaan melakukan manajemen laba dengan cara menurunkan laba antara lain adalah untuk meminimalkan tuntutan serikat buruh. d. Taxation motivation Perpajakan merupakan salah satu alasan utama untuk perusahaan mengurangi laba bersih yang dilaporkan. e. Pergantian CEO Beragam motivasi timbul di sekitar waktu pergantian CEO. Sebagai contoh, CEO yang mendekati masa akhir penugasan akan memaksimalkan laba untuk meningkatkan bonusnya. f. Initial Public Offering (IPO) Pada hakikatnya, perusahaan yang baru pertama kali menawarkan sahamnya di pasar modal belum mempunyai harga pasar sehingga memiliki masalah bagaimana cara menetapkan nilai saham yang ditawarkan. Oleh karena itu, untuk tawar menawar, informasi keuangan yang terdapat dalam propektus merupakan sumber informasi yang sangat berguna. Secara analitikal, informasi seperti laba bersih dapat dipakai sebagai sinyal kepada investor tentang nilai perusahaan. Jadi hal ini memunculkan kemungkinan bahwa pihak manajemen perusahaan yang go public melakukan manajemen laba untuk memperolah harga saham yang lebih tinggi atas sahamnya.
23
2. Teknik Manajemen Laba Pola manajemen laba meneurut Scoot (2000) dalam Rahmawati (2000) dapat dilakukan dengan cara : a. Taking a bath Taking
a
bath
terjadi
pada
saat
reorganisasi
seperti
pengangkatan CEO baru. Teknik ini mengakui adanya biaya – biaya pada periode yang akan datang dan kerugian periode berjalan sehingga mengharuskan manajemen membebankan perkiraan – perkiraan biaya mendatang akibatnya laba periode berikutnya lebih tinggi. b. Income Minimization Income Minimazation dilakukan saat perusahaan mengalami tingkat profitabilitas yang tinggi sehingga jika laba periode mendatang diperkirakan turun drastic dapat diatasi dengan mengambil laba periode sebelumnya. c. Income Maximization Income maximization dilakukan pada saat laba menurun. Tindakan ini bertujuan untuk melaporkan laba bersih yang tinggi untuk tujuan bonus yang lebih besar. Pola ini dilakukan perusahaan untuk menghindari pelanggaran atas kontrak hutang jangka panjang. d. Income Smoothing Income
smoothing
dilakukan
perusahaan
dengan
cara
meratakan laba yang dilaporkan lebih besar sehingga dapat
24
mengurangi fluktuasi laba yang terlalu besar karena pada umumnya investor menyukai fluktuasi laba yang relative stabil. e. Offseting extraordinaty / unusual gains Teknik ini dilakukan dengan memindahkan efek – efek laba yang tidak biasa atau temporal yang berlawanan dengan trend laba. f. Aggressive accounting applications Aggressive accounting applications diartikan sebagai salah saji (misstatement) dan dipakai untuk membagi laba antar periode. g. Timing revenue and Expense Recognition Teknik ini dilakukan dengan cara membuat kebijakan tertentu dengan
waktu
transaksi,
misalnya
pengakuan
prematur
atas
pendapatan.
E. Penelitian Terdahulu Beberapa hasil pengujian dari para penelitian terdahulu dapat dilihat dari tabel 2.1 sebagai berikut :
Tabel 2.1 Penelitian terdahulu No Peneliti 1 K.V. Peasnell, P.F. Pope dan S. Young 2 Sonda Marrakchi Chtourou,
Tahun 1998
Variabel yang diteliti Komposisi dewan komisaris independen terhadap manajemen laba
2001
Komite audit dan Komite audit berhubungan ukuran dewan direksi negatif, ukuran dewan komisaris berpengaruh
25
Hasil penelitian Proporsi dewan komisaris independen berhubungan negative dengan manajemen laba
3
Jen Bedard dan Lucie Courteau Deni Darmawati
terhadap manajemen laba
2003
4
Wedari
2004
5
Siregar dan Utama
2005
6
Halima Sathila Palestin
2006
7
Syaiful Iqbal dan Nurul Fachriyah
2007
Mekanisme CGC (pelaksanaan RUPS, kualitas dewan komisaris, kualitas komite audit, kualitas hubungan stakeholder, transparasi dan akuntanbilitas, kepemilikan saham oleh institusional) Komite audit, proporsi dewan komisaris, akuntan publik big 4, kepemilikan manajerial dan institusional
Hanya satu variabel dalam mekanisme CGC, yaitu kualitas hubungan dengan stakeholders yang berhubungan negative dengan praktik manajemen laba
Kepemilikan keluarga, kepemilikan institusional, ukuran perusahaan, praktek CGC (ukuran KAP, proporsi dewan komisaris, keberadaan komite audit) Kepemilikan, komposisi dewan komisaris, komite audit dan auditor independen dengan proksi ukuran auditor, kompensasi bonus
Kepemilikan institusional dan tiga variabel praktek CGC tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba
Kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, ukuran dewan direksi dan komite audit terhadap
26
(1). Komite audit dan dewan komisaris berpengaruh signifikan terhadap manajemen lana (2). Kepemilikan manajerial dan institusional berpengaruh positif terhadap manajemen laba
(1). Kepemilikan, proporsi dewan komisaris independen dan kompensasi bonus berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba. (2). Komite audit dan ukuran KAP tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba Kepemilikan manajerial berhubungan negatif signifikan Ukuran dewan direksi, komite audit dan kepemilikan institusional berpengaruh positif
manajemen laba 8
Marihot Nasution dan Doddy Setiawan
2007
Komposisi dewan komisaris, ukuran dewan komisaris, komite audit dan ukuran perusahaan
9
Nuryaman
2008
Konsentrasi kepemilikan, ukuran perusahaan dan mekanisme CGC (komposisi dewan komisaris dan spesialisasi industry KAP)
10
Nobuyuki Teshima dan Akinobou Shuto Welfin I Guna dan Arleen Herawati
2008
Kepemilikan manajerial terhadap manajemen laba
2010
Praktek CGC, Indenpendensi auditor dan kualitas audit
Halima Shalila Palestin
2011
11
12
signifikan terhadap manajemen laba Komposisi dewan komisaris dan keberadaan komite audit berpengaruh negative terhadap manajemen laba, ukuran dewan komisaris berpengaruh positif terhadap manajemen laba. Dan ukuran perusahaan tidak berpengaruh terhadap manajemen laba (1). Konsentrasi kepemilikan dan ukuran perusahaan berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba. (2). Komposisi dewan komisaris dan spesialisasi industry KAP tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba Kepemilikan manajerial berhubungan negatif dengan manajemen laba
Komite audit, komisaris independen, kepemilikan manajemen dan kepemilikan institusional tidak berpengaruh terhadap manajemen laba CGC, Kompensasi Dewan komisaris dan bonus dan struktur struktur kepemilikan kepemilikan terhadap berpengaruh signifikan manajemen laba negative sedangkan kompensasi bonus berpengaruh signifikan.
Sumber : dari berbagai sumber penelitian
27
F. Kerangka Penelitian Dalam hal ini akan dilihat hubungan antara mekanisme penerapan good corporate governance, struktur kepemilikan, kompensasi bonus dan nilai penawaran saham terhadap manajemen laba.
Komisaris Independen Deirektur Independen Komite audit
Manajemen laba
Kepemilikan Manajerial Kepemilikan Institusional Kompensasi bonus Nilai penawaran saham
28