BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Beras Beras adalah biji-bijian (serealia) dari famili rumput-rumputan (gramine) yang kaya akan karbohidrat sehingga menjadi makanan pokok bagi manusia. Beras berasal dari tanaman padi. Beras giling (milled rice) adalah proses pengelupasan lapisan kulit ari sehingga didapat biji beras yang putih bersih. Biji beras yang putih bersih ini sebagian besar terdiri dari pati (Dianti, 2010). Proses penyosohan beras pecah kulit menghasilkan beras giling, dedak dan bekatul. Sebagian protein, lemak, vitamin dan mineral akan terbawa dalam dedak, sehingga kadar komponen-komponen tersebut dalam beras giling menurun. Beras giling berwarna putih agak transparan karena hanya memiliki sedikit aleuron dan kandungan amilosa umumnya sekitar 20%. Beras giling atau biasa disebut beras sosoh saat ini sedang mendominasi pasar beras di Indonesia. Beras sosoh diperoleh dari hasil penggilingan karena telah terbebas dari bagian dedaknya yang berwarna coklat. Beras mempunyai kandungan karbohidrat terbesar dibandingkan dengan semua jenis serealia yang ada. Karbohidrat tersebut terdiri dari pati (bagian utama), pentosan, selulosa, hemiselulosa dan gula bebas (Dianti, 2010).
Menurut Winarno (2004) beras yang mengandung kadar amilosa rendah (10-15%) memiliki karakterisitik nasi yang pulen dan agak lengket. Beras yang mengandung kadar amilosa sedang (16-24%) memiliki karakteristik nasi yang tidak pera namun tidak pulen dan agak lengket. Beras yang mengandung kadar amilosa tinggi (25-35%) memiliki karakteristik pera dan tidak lengket (buyar).
6
7
Tabel 2.1 Komposisi Kimia Beras Pecah Kulit (PK) dan Beras Sosoh (BS) Komposisi Beras PK Beras Sosoh Protein (%)* 7,50 6,71 Lemak (%)* 2,68 0,55 Karbohidrat (%)* 76,17 78,69 Abu (%)* 1,27 0,61 Air (%)* 13,65 13,44 Amilosa (%)* 20,44 19,75 Kalsium (mg)** 33,00 9,00 Magnesium (mg)** 143,00 35,00 Phosphorus (mg)** 264,00 108,00 Iron (mg)** 4,80 4,36 Thiamin (mg)** 0,41 0,578 Niacin (mg)** 4,30 5,093 Potasium (mg)** 84 86 Sumber: *Yuwono, dkk (2013), **USDA (2015)
2. Diversifikasi Pangan Diversifikasi konsumsi pangan menurut Peraturan Pemerintah RI No 68 Tahun 2002 Tentang Ketahanan Pangan Pasal 1 ayat 9 dijabarkan sebagai upaya peningkatan konsumsi aneka ragam pangan dengan prinsip gizi seimbang (Widara, 2012). Hasil penelitian Martianto, dkk (2009) mengenai percepatan diversifikasi pangan berbasis pangan lokal menunjukkan bahwa perspektif diversifikasi pangan terdiri dari diversifikasi semua jenis pangan dan diversifikasi pangan pokok. Salah satu kendala pada diversifikasi pangan adalah tingginya konsumsi beras. Menurut Kementerian Pertanian Indonesia (2016), tingkat konsumsi beras di Indonesia pada tahun 2014 mencapai 84,628 kilogram per orang per tahun. Tingginya konsumsi beras di Indonesia tidak disebanding dengan produktivitas beras di Indonesia pada tahun yang sama. Menurut Badan Pusat Statistik (2016), produksi beras pada tahun 2014 mengalami penurunan sebesar 0,63% menjadi sebesar 70 juta ton beras. Angka tersebut ternyata belum bisa mencukupi kebutuhan masyarakat Indonesia akan beras. Terbukti dengan tingginya impor beras yang dilakukan Indonesia pada tahun yang sama yaitu sebesar 844.163 ton beras sepanjang tahun 2014. Tingginya tingkat konsumsi beras di Indonesia selain pola konsumsi masyarakat yang sulit berubah dari beras ke bahan pangan lain. Hal tersebut
7
8
disebabkan oleh faktor sosial antara lain masyarakat menganggap mengonsumsi sumber beras termasuk dari status sosial dan hanya akan mengonsumsi sumber karbohidrat lain (gaplek atau tiwul) jika jumlahnya terbatas atau tidak mampu membeli beras (Widara, 2012). Upaya penerapan diversifikasi pangan pokok di Indonesia berfokus pada pengurangan konsumsi beras dan meningkatkan konsumsi sumber karbohidrat lokal seperti jagung, sagu, sorgum dan umbi umbian. Namun masyarakat masih belum terbiasa mengonsumsi makanan tersebut bersama lauk karena makanan tersebut biasa dimakan sebagai kudapan saja. Oleh karena itu, upaya lebih lanjut diperlukan untuk menarik minat masyarakat terhadap makanan tersebut dengan mengolahnya menjadi makanan yang dapat diterima masyarakat. Salah satu upaya yang dapat menjadi solusi masalah tersebut adalah pengoptimalan pengembangan teknologi pangan (Widara, 2012). Adanya perkembangan teknologi pangan dapat membantu upaya diversifikasi dengan cara mengolah bahan-bahan sumber karbohidrat menjadi produk yang diterima masyarakat. Salah satu bentuk olahan dari bahan tersebut adalah beras analog. Karakteristik beras analog ini diharapkan dapat lebih diterima masyarakat karena memiliki bentuk dan rasa yang menyerupai beras sehingga masyarakat tidak perlu mengubah pola makannya karena cara konsumsi beras analog sama seperti beras yang berasal dari padi (Widara, 2012). 3. Beras Analog Beras analog merupakan sebutan lain dari beras tiruan (artificial rice). Beras analog merupakan beras tiruan yang berbentuk seperti beras, dapat dibuat dari tepung non beras dengan penambahan air. Beras analog dikonsumsi seperti layaknya makan nasi dari beras padi. Beras analog dapat dirancang sehingga semiliki kandungan gizi hampir sama bahkan melebihi beras padi, dan juga dapat memiliki sifat fungsional sesuai dengan bahan baku yang digunakan (Noviasari, 2013). Beras analog merupakan produk mirip beras yang dibuat dari sumber karbohidrat selain padi dengan
8
9
kandungan karbohidrat mendekati atau melebihi beras. Beras analog terbuat dari bahan baku antara lain 50-98% bahan yang mengandung pati atau turunannya, 2-45% bahan yang dapat memperkaya beras analog, dan 0,110% hidrokoloid (Sari, 2014). Beras analog dapat diproduksi dengan menggunakan teknologi ekstrusi yang telah banyak digunakan dalam memproduksi berbagai produk pangan. Penerapan teknologi ekstrusi memudahkan dalam pembuatan beras analog, karena paling efektif dari segi proses dan dapat menghasilkan beras analog yang menyerupai butir beras. Prinsip ekstrusi adalah proses pengolahan bahan
pangan
yang
mengkombinasikan
beberapa
proses
yang
berkesinambungan antara lain pencampuran, pemanasan dengan suhu tinggi, pengadonan, shearing, dan pembentukan hasil ekstrusi. Beras analog dikeringkan sampai kadar air 4-15% untuk mencapai kadar air optimal sehingga dapat meningkatkan umur simpan (Noviasari, 2013). 4. Pembuatan Beras Analog a. Bahan Pembuatan Beras Analog 1. Tepung Jagung Jagung (Zea mays L.) merupakan komoditi pangan di Indonesia yang
dalam
data
statistik
(Badan
Pusat
Statistik)
tingkat
produktivitasnya menempati urutan kedua setelah padi. Meskipun cenderung menurun tingkat konsumsinya, jagung masih merupakan bahan makanan pengganti bagi sebagian masyarakat pedesaan khususnya di Jawa Tengah, Jawa Timur khususnya daerah Sulawesi Tenggara. Proporsi penggunaan jagung sebagai bahan pangan cenderung menurun, sebaliknya penggunaan sebagai bahan pakan dan bahan baku industri meningkat. Sebagai bahan pangan, jagung dikonsumsi dalam bentuk jagung basah, jagung kering, pipilan, dan dalam bentuk tepung jagung (Suarni dan Soenong, 2005). Jagung (Zea mays L.) merupakan biji-bijian yang tergolong dalam jenis tanaman serealia. Serealia merupakan biji-bijian dari famili rumput-rumputan (gramine) yang kaya akan karbohidrat
9
10
sehingga dapat menjadi makanan pokok manusia, pakan ternak, dan industri yang menggunakan karbohidrat sebagai bahan baku (Muchtadi, 2010). Karbohidrat merupakan komponen yang paling banyak terdapat dalam biji jagung. Karbohidrat jagung terutama berupa pati. Jagung kuning mengandung karotenoid berkisar antara 6,4-11,3 μg/g, 22% diantaranya beta-karoten dan 51% xantofil., Pigmen xantofil yang utama adalah lutein dan zeaxanthin. Pati mengandung dua macam molekul yaitu amilosa dan amilopektin. Karbohidrat jagung selain pati yaitu gula, pentosan dan serat kasar. Total gula pada biji jagung 1-3%. Sukrosa merupakan bagian terbesar dari komponen gula, sedangkan glukosa, fruktosa dan rafinosa hanya terdapat dalam jumlah kecil (Koswara, 2009). Karbohidrat dalam bentuk pati umumnya berupa campuran amilosa dan amilopektin. Suhu gelatinisasi pati jagung berkisar 62-75°C. Menurut Muhandri (2012), kandungan amilosa jagung berada pada kisaran 23,06%-27,26%. Tabel 2.2 Komposisi Kimia Tepung Jagung per 100 gram Komponen Jumlah (gram) Air 10,91 Protein 6,93 Lemak 3,86 Karbohidrat 76,85 Serat 7,3 Abu 0,696 Sumber: USDA (2015)
Jagung memiliki asam amino yang lengkap namun rendah kandungannya, selain itu jagung juga kekurangan asam amino triptofan yaitu hanya sebesar 0,6%. Jagung juga memiliki asam amino pembatas yaitu lisin. Asam amino pembatas adalah asam amino yang sangat kurang terkandung dalam suatu bahan pangan (Azizah, 2013). 2. Mocaf Kata mocaf adalah singkatan dari Modified Cassava Flour yang berarti tepung singkong yang dimodifikasi. Secara definitif, mocaf adalah produk tepung dari singkong (Manihot esculenta Crantz) yang 10
11
diproses menggunakan prinsip memodifikasi sel yang ada pada singkong secara fermentasi, dimana BAL (Bakteri Asam Laktat) yang berperan selama fermentasi tersebut. Mikroba yang tumbuh menghasilkan enzim pektinolitik dan sellulolitik yang dapat menghancurkan dinding sel singkong, sedemikian rupa sehingga terjadi liberasi granula pati. Mikroba tersebut juga menghasilkan enzim-enzim yang menghidrolisis pati menjadi gula dan selanjutnya mengubahnya menjadi asam-asam organik, terutama asam laktat (Subagio, 2008). Proses pembebasan granula pati ini akan menyebabkan perubahan karakteristik dari tepung yang dihasilkan berupa naiknya viskositas, kemampuan gelasi, daya rehidrasi, dan kemampuan larut dalam air. Selanjutnya granula pati tersebut akan mengalami hidrolisis menghasilkan monosakarida sebagai bahan baku untuk menghasilkan asam-asam organik. Senyawa asam ini akan bercampur dengan tepung sehingga ketika tepung tersebut diolah akan menghasilkan aroma dan cita rasa khas yang dapat menutupi aroma dan cita rasa singkong yang cenderung tidak disukai konsumen, cita rasa mocaf menjadi netral dengan menutupi cita rasa ubi kayu sampai 70% (Subagio, 2007). Secara teknis, cara pengolahan mocaf sangat sederhana, mirip dengan pengolahan tepung ubi kayu biasa, namun disertai dengan proses fermentasi. Ubi kayu dibuang kulitnya, dikerok lendirnya, dan dicuci bersih, kemudian dilakukan pengecilan ukuran ubi kayu dilanjutkan dengan tahap fermentasi selama 12-72 jam. Setelah fermentasi, ubi kayu tersebut dikeringkan kemudian ditepungkan sehingga dihasilkan produk tepung ubi
kayu termodifikasi
(Subagio, 2008). Selama proses fermentasi terjadi penghilangan komponen penimbul warna, seperti pigmen (khusus pada ubi kayu kuning) dan protein yang dapat menyebabkan warna coklat ketika pemanasan. Dampaknya adalah warna mocaf yang dihasilkan lebih putih jika
11
12
dibandingkan dengan warna tepung ubi kayu biasa dan juga berbau netral (tidak berbau apek khas) (Subagio, 2007). Walaupun dari komposisi kimianya tidak jauh berbeda (Tabel 2.3), mocaf mempunyai karakteristik fisik dan organoleptik yang spesifik jika dibandingkan dengan tepung ubi kayu pada umumnya. Kandungan protein mocaf lebih rendah dibandingkan tepung ubi kayu, dimana senyawa ini dapat menyebabkan warna coklat ketika pengeringan atau pemanasan. Dampaknya adalah warna mocaf yang dihasilkan lebih putih jika dibandingkan dengan warna tepung ubi kayu biasa (seperti Tabel 2.3). Tabel 2.3 Komposisi Kimia Mocaf dan Tepung Singkong Parameter Mocaf Tepung Singkong Kadar air (%) Max. 13 Max. 13 Kadar protein (%) Max. 1.0 Max. 1.2 Kadar abu (%) Max. 0.2 Max. 0.2 Kadar pati (%) 85-87 82-85 Kadar serat (%) 1,9-3,4 1,0-4,2 Kadar lemak (%) 0,4-0,8 0,4-0,8 Kadar HCN (mg/kg) Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Sumber: Subagio, 2008
Penggunaan mocaf dalam beras analog didasarkan pada ketersediaan ubi kayu yang melimpah dengan harga yang cukup murah, namun selama ini pemanfaatannya belum optimal hanya terbatas pada pembuatan kue atau makanan ringan, sedangkan pada kenyataannya mocaf memiliki kandungan karbohidrat 80,05% yang setara dengan beras 79,34%. Mocaf juga mengandung pati sebesar 8587%, dengan rasio amilosa : amilopektin berkisar antara 26,77% : 73,23% (Yuwono dkk, 2013). Kadar amilosa yang rendah ini dapat terjadi karena adanya proses fermentasi. Selama fermentasi, granula pati singkong yang digunakan dalam pembuatan mocaf akan mengalami hidrolisis oleh mikroba yang menghasilkan monosakarida yang kemudian digunakan oleh mikroba untuk menghasilkan asam-asam organik. Subagio (2007) melaporkan bahwa terdapat aktivitas enzim amilase selama proses fermentasi mocaf. Hal ini menunjukkan bahwa
12
13
mikroba yang tumbuh pada singkong dapat menghasilkan enzim amilase yang dapat mendegradasi amilosa pada singkong, sehingga kadar amilosanya lebih rendah dibandingkan tepung tapioka. Masih adanya komponen lain pada mocaf juga menyebabkan kandungan amilosa yang terukur menjadi lebih kecil.
Tabel 2.4 Perbedaan Sifat Fisik Mocaf dengan Tepung Singkong Parameter Mocaf Tepung Singkong Besar Butiran (mesh) Max. 80 Max. 80 Derajat Keputihan 88-91 85-87 (%) Warna Putih Putih agak kecoklatan Aroma Netral Kesan singkong Rasa Netral Kesan singkong Sumber: Subagio, 2008
Perbedaan sifat organoleptik mocaf dengan tepung singkong tertera pada Tabel 2.4. Mocaf menghasilkan aroma dan cita rasa khas yang menutupi aroma dan cita rasa singkong yang cenderung tidak menyenangkan konsumen apabila bahan tersebut diolah. Hal ini karena hidrolisis granula pati menghasilkan monosakarida sebagai bahan baku penghasil asam-asam organik, terutama asam laktat yang akan terimbibisi dalam bahan (Subagio, 2008). 3. Puree Bit Merah Puree adalah salah satu bentuk olahan yang dibuat dengan menghancurkan bahan tanpa adanya penambahan air menjadi bentuk seperti bubur. Puree juga biasa disebut sebagai bubur (Maceiraz et al, 2006). Antioksidan adalah senyawa yang mampu menghilangkan, membersihkan, menahan pembentukan oksigen reaktif dan radikal bebas dalam tubuh. Radikal bebas adalah atom atau molekul yang tidak stabil karena tidak memiliki elektron yang tidak berpasangan dalam orbital luarnya sehingga sangat reaktif untuk mendapatkan pasangan elektron dengan mengikat sel-sel tubuh. Apabila hal tersebut terjadi secara terus-menerus dapat menyebabkan kerusakan dan kematian sel (Erawati, 2012).
13
14
Bit merupakan tanaman semusim yang berbentuk rumput. Batang bit sangat pendek, hampir tidak terlihat. Akar tunggangnya tumbuh menjadi umbi. Daunnya tumbuh terkumpul pada leher akar tunggal (pangkal) dan berwarna kemerahan. Umbi berbentuk bulat atau menyerupai gasing. Akan tetapi, ada pula bit berbentuk lonjong. Bunganya tersusun dalam rangkaian bunga yang bertangkai panjang banyak (racemus). Tanaman ini sulit berbunga di Indonesia (Molina et al, 2014). Bit merah banyak ditanam di dataran tinggi dengan ketinggian lebih dari 1.000 m dipermukaan laut. Di dataran rendah bit tidak mampu membentuk umbi. Ada pun syarat penting agar bit tumbuh dengan baik adalah tanahnya subur, gembur, dan lembap. Selain itu tanah liat yang berlumpur dengan pH tanah 6-7 lebih sesuai untuk bit merah. Sebaiknya waktu tanam bit pada awal musim hujan atau akhir musim hujan (Molina et al, 2014). Betasianin adalah zat warna alami yang berwarna merah. Zat warna betasianin ini bersifat polar sehingga larut dalam pelarut polar. Pigmen betasianin hanya dapat dijumpai pada tanaman beberapa famili anggota ordo Caryophyllales, termasuk Amaranthaceae. Betasianin bersifat mutual eksklusif dengan pigmen antosianin. Sifat ini berarti bahwa pigmen betasianin dan antosianin jarang dijumpai bersama-sama pada satu tanaman. Oleh karena itu pigmen betasianin sangat signifikan dalam penentuan taksonomi tanaman tingkat tinggi. Betasianin adalah salah satu pewarna alami penting yang banyak digunakan dalam sistem pangan. Walaupun pigmen betasianin telah digunakan
untuk
pewarna
alami
sejak
dahulu
tetapi
pengembangannya tidak secepat antosianin. Hal ini karena keterbatasan tanaman yang mengandung pigmen betasianin. Sampai saat ini pigmen betasianin yang telah diproduksi dalam skala besar hanya berasal dari bit (Beta vulgaris L). Betasianin dari bit (Beta vulgaris L) telah diketahui memiliki efek antiradikal dan aktivitas antioksidan yang tinggi (Mastuti, 2010).
14
15
Tabel 2.5 Komposisi Kimia Bit Merah yang Sudah Dimasak per 100 gram Komponen Jumlah Air 87,06 g Protein 1,3 g Lemak 0,12 g Karbohidrat 5,9 g Serat 1,9 g Abu 0,9 g Total folat 90 μg Sodium 84 mg Fosfor 32 mg Potassium 300 mg Kalsium 25 mg Besi 0,4 mg Beta-karoten 15 μg Total vitamin A 3 μg Thiamin 0,03 mg Riboflavin 0,05 mg Niasin 0,1 mg Vitamin C 6 mg Vitamin E 0,05 mg Vitamin B6 0,05 mg Sumber: USDA (2015) Menurut Dumbrava., et al (2011), aktivitas antioksidan bit merah dengan uji DPPH sebesar 5,04 μM/s, lebih tinggi daripada kobis merah, tomat dan apel. 4. GMS Glycerol Monostearat (GMS) atau juga dikenal dengan acylglicerols merupakan hasil diesterifikasi dari gliserol dengan asam lemak. Dibedakan menjadi tiga kelompok fungsional hidroksil yang diesterifikasi dengan satu, dua atau tiga asam lemak untuk membentuk masing-masing monogliserida, digliserida dan trigliserida. GMS diperoleh dari lemak hewan dan tumbuhan, serta juga diproduksi melalui sintesis (Chemicalland, 2011).
15
16
Gliserol Monostearat (GMS) adalah surfaktan non-ionik yang banyak digunakan oleh industri stabilizer dan emulsifier. Nama IUPAC bagi senyawa ini adalah 2,4-dihidroksipropil oktadekanoat dan dikenal dengan nama lain gliserin monostearat atau monostearin. Senyawa ini secara alami terdapat dalam tubuh manusia dan produk berlemak. Salah satu bahan baku pembuatan GMS adalah asam lemak yang berasal dari minyak sawit. Kelarutannya dalam air disebabkan adanya bagian dari molekul yang mempunyai afinitas terhadap pelarut (Widara, 2012). Penggunaan GMS dalam proses pembuatan mi berbahan dasar jagung dan pati kentang menunjukkan bahwa mi memiliki cooking time yang lebih tinggi namun memperbaiki produk karena mengurangi cooking weight dan cooking loss selama pemasakan. Jumlah amilosa pada bahan pembuat mi sangat berpengaruh terhadap proses emulsifikasi GMS karena GMS berikatan dengan amilosa. GMS yang ditambahkan membentuk kompleks dengan amilosa untuk membentuk kompleks inklusi heliks, yang mencegah granula pati untuk mengembang yang dapat menyebabkan berkurangnya kekuatan pengembangan dan kelarutan. Lapisan yang tidak larut dapat terbentuk pada permukaan granula pati, yang dapat menunda transpor air menuju granula sehingga menurunkan pengembangan dan mencegah pelepasan amilosa (Widara, 2012). GMS juga berfungsi sebagai pelumas pada barel ekstrusi sehingga dapat mengurangi panas proses ekstrusi. Pengaruh penambahan GMS terhadap ekstrusi grits jagung yaitu mengurangi WSI (Water Solubility Index) atau indeks kelarutan dalam air, SEC (Specific Energy Consumption), dan expansion (pengembangan produk) tetapi meningkatkan WAI (Water Absorption Index). Fungsifungsi tersebut sangat dibutuhkan untuk membuat beras analog yang diproses pada suhu ekstrusi yang tinggi dan menghasilkan produk
16
17
yang tidak mengembang serta tidak mudah larut dalam air (Widara, 2012).
Gambar 2.1 Struktur Gliserol Monostearat (Widara, 2012). 5. Minyak Sawit Minyak sawit merupakan minyak yang diperoleh dari hasil ekstraksi dari kelapa sawit. Minyak sawit secara alami berwarna kemerahan karena mengandung jumlah tinggi beta-karoten. Minyak sawit sering dimanfaatkan sebagai minyak goreng yang berfungsi sebagai penghantar panas, penambah rasa gurih, dan penambah nilai kalori bahan. Pada pembuatan beras analog, penambahan minyak berfungsi sebagai penambah nilai kalori (Yaningtyas, 2013). Selain itu, minyak sawit berfungsi sebagai pelumas pada saat ekstrusi sehingga adonan tidak lengket serta memudahkan proses pencetakan adonan. Bila minyak dicampur dengan protein dan pati dapat memperbaiki tekstur dan kenampakan pada waktu pembentukan adonan sehingga mengurangi kelarutan pati pada waktu pemasakan (Puspitasari, 2014). 6. Air Air terdiri dari molekul-molekul H2O yang terikat satu sama lain dengan ikatan hidrogen yang bersifat polar. Sifat ini mampu melemahkan ikatan hidrogen bahan lain sehingga mempercepat proses pencampuran dan pembentukan adonan. Daya larut bahan yang melibatkan ikatan hidrogen meningkat dengan meningkatnya suhu (Winarno, 2004). Air merupakan komponen penting dalam bahan pangan karena air dapat mempengaruhi kenampakan, tekstur, serta cita rasa. Fungsi air dalam pembuatan beras analog yaitu air ikut menentukan
17
18
acceptability, kesegaran, dan daya tahan bahan. Selain itu, air berfungsi sebagai media dalam pencampuran garam dan pengikatan karbohidrat
sehingga
membentuk
adonan
yang
baik
(Yaningtyas, 2013). Air berfungsi sebagai bahan yang dapat mendispersikan berbagai senyawa yang ada di dalam bahan makanan. Air juga berfungsi mengatur suhu adonan, melarutkan bahan-bahan (seperti garam, gula), mendispersikan bahan bukan tepung secara seragam dan memungkinkan pati mengalami gelatinisasi saat pemanasan. Air dianggap sebagai suatu agensia pengeras karena air dapat bergabung dengan protein dalam tepung (Sari, 2014). 7. Garam Garam dapur berfungsi untuk memberi rasa, memperkuat tekstur dan meningkatkan elastisitas serta mengurangi kelengketan adonan. Selain itu garam dapur dapat menghambat aktivitas enzim protease dan amilase sehingga tidak menyebabkan kelengketan dan tidak mengembang secara berlebihan serta penambahan garam dapat meningkatkan gelatinisasi.
daya
pengembangan
Penambahan
garam
dan
menurunkan
suhu
secara
berlebihan
akan
mempengaruhi produk yang dihasilkan. Dalam pembuatan beras analog, penambahan garam dapur untuk memberi rasa, memperkuat tekstur, meningkatkan fleksibilitas dan elastisitas, serta untuk mengikat air. Selain itu, garam dapur dapat meningkatkan daya pengembangan dan menurunkan suhu gelatinisasi (Yaningtyas, 2013). b. Proses Pembuatan Beras Analog Metode pembuatan beras analog terdiri atas dua cara yaitu metode granulasi dan ekstrusi. Perbedaan pada kedua metode ini adalah tahapan gelatinisasi adonan dan tahap pencetakan. Hasil cetakan metode granulasi adalah butiran sedangkan hasil cetakan metode ekstrusi adalah bulat lonjong dan sudah lebih menyerupai beras (Widara, 2012).
18
19
Pembuatan beras analog yang telah dipatenkan oleh Kurachi (1995) dengan metode granulasi diawali dengan tahap pencampuran tepung, air, dan hidrokoloid sebagai bahan pengikat. Proses pencampuran dilakukan pada suhu 30-80oC sehingga sebagian adonan telah mengalami gelatinisasi (semigelatinisasi). Setelah itu adonan dicetak menggunakan granulator, kemudian dikukus (gelatinisasi) dan dikeringkan (Widara, 2012). Metode pembuatan beras analog oleh Budijanto (2012) dengan cara ekstrusi memiliki sedikit perbedaan dengan metode granulasi yaitu adanya tahap penyangraian dan ekstrusi. Tahap penyangraian bertujuan untuk menggelatinisasi sebagian adonan (semigelatinisasi) atau pengondisian (conditioning) adonan sebelum diekstrusi. Tahap ekstrusi meliputi proses pencampuran, pemanasan (gelatinisasi) dan pencetakan melalui
die.
Tahap
berikutnya
adalah
ekstrudat
dikeringkan
menggunakan oven dryer pada suhu 60oC selama 4 jam (Widara, 2012). Beras analog dapat diproduksi dengan menggunakan teknologi ekstrusi yang telah banyak digunakan dalam memproduksi berbagai produk pangan. Penerapan teknologi ekstrusi memudahkan dalam pembuatan beras analog, karena paling efektif dari segi proses dan dapat menghasilkan beras analog yang menyerupai butir beras. Prinsip ekstrusi adalah proses pengolahan bahan pangan yang mengkombinasikan beberapa proses yang berkesinambungan antara lain pencampuran, pemanasan dengan suhu tinggi, pengadonan, shearing, dan pembentukan hasil ekstrusi. Beras analog dikeringkan sampai kadar air 4-15% untuk mencapai kadar air optimal sehingga dapat meningkatkan umur simpan (Noviasari, 2013). Metode pembuatan beras tiruan yang banyak dikembangkan menggunakan teknologi ekstrusi. Ekstrusi terdiri atas dua metode, yaitu hot and cold extrusion. Suhu yang digunakan pada metode hot extrusion di atas 70°C dengan melalukan pre-conditioning dan atau tanpa pindah panas dari steam yang dihasilkan dari barrel. Sementara cold extrusion biasanya digunakan dalam pembuatan pasta dan suhu yang digunakan di
19
20
bawah 70°C. Namun metode yang paling banyak digunakan dalam pembuatan beras tiruan adalah hot extrusion (Sari, 2014). Ekstruder dapat didesain sedemikian rupa sehingga dapat melakukan berbagai macam proses seperti grinding, mixing, homogenizing, cooking, cooling, shaping, cutting, dan filling. Proses ekstrusi yang terjadi pada ekstruder terdiri dari tiga tahap yaitu pra ekstrusi, ekstrusi dan tahap setelah ekstrusi. Tahap pra ekstrusi meliputi proses pencampuran, dan penambahan air. Tahap ekstrusi meliputi perlakuan shear and stress pada adonan. Tahap terakhir adalah proses pemberian tekanan ke arah die dan proses pencetakkan melalui die. Setelah produk keluar die, alat pemotong otomatis akan berputar dan memotong produk sehingga produk akhir akan memiliki bentuk seperti beras (Puspitasari, 2014). Pada tahap ekstrusi adonan dimasukkan ke dalam mesin ekstruder panas dengan twin screw yang secara otomatis akan memotong-motong bahan sehingga menyerupai butiran beras. Di dalam mesin ekstruder panas tersebut, adonan beras analog akan mengalami pemanasan sebanyak 2 kali yaitu untuk pemanasan pertama bahan dipanaskan dengan suhu 80°C dan untuk pemanasan selanjutnya bahan dipanaskan dengan menggunakan suhu 70°C, sehingga butiran beras yang dihasilkan telah mengalami gelatinisasi secara optimal dan menghasilkan butiran beras yang masih basah. Proses degradasi pati menjadi molekul-molekul yang lebih kecil diminimalkan sehingga fungsi beras analog sebagai sumber karbohidrat tetap dapat dipertahankan (Akhiriani, 2014). c. Perubahan yang Terjadi Selama Pembuatan Beras Analog 1. Gelatinisasi Proses gelatinisasi dimulai dengan terjadi hidrasi, yaitu masuknya molekul air ke dalam molekul granula pati. Dengan meningkatnya suhu suspensi pati, maka ikatan hidrogen antar molekul pati akan menurun, kemudian molekul air yang relatif kecil akan bergerak ke dalam molekul pati. Pada saat suhu meningkat, molekul air yang
20
21
masuk
kedalam
granula
semakin
banyak
sehingga
terjadi
pengembangan granula pati (Sari, 2014). Pengembangan granula pati terjadi pada saat suhu mulai meningkat yakni pada suhu sekitar 60-85°C. Pada suhu tersebut, granula-granula pati menggelembung hingga volumenya lima kali lipat volume semula. Ketika ukuran granula pati membesar, campurannya menjadi kental. Pada suhu kira-kira 85°C granula pati pecah dan isinya terdispersi merata ke sekelilingnya. Molekul berantai panjang mulai membuka atau terurai sehingga campuran air dan pati menjadi kental membentuk gel. Proses ini disebut gelatinisasi (Gaman, 1992). Suhu pada saat granula pati pecah disebut suhu gelatinisasi. Proses gelatinisasi pada pembuatan beras restrukturisasi terjadi pada tahap pembuatan adonan gel dan pengukusan. Dimana jika pati mengalami gelatinisasi kadar air akan meningkat, sehingga terbentuk masa yang plastis dan kental (Sari, 2014). 2. Retrogradasi Beberapa molekul pati, khususnya amilosa dapat terdispersi dalam
air
panas
dan
meningkatkan
granula-granula
yang
membengkak. Pati yang mengalami gelatinisasi terdiri dari granulagranula yang membengkak tersuspensi dalam air panas dan molekulmolekul amilosa yang terdispersi. Asalkan pati tersebut tetap dalam keadaan panas. Bila telah dingin, energi kinetik tidak cukup tinggi untuk melawan molekul-molekul amilosa untuk bersatu kembali dan berikatan dengan cabang amilopektin pada sisi bagian luar granula. Granula-granula pati dapat digabungkan menjadi semacam jaringjaring membentuk mikrokristal dan mengendap. Proses kristalisasi kembali pati yang telah mengalami gelatinisasi disebut retrogradasi (Winarno, 2004). Molekul-molekul
amilosa
akan
lebih
cepat
mengalami
retrogradasi karena molekul amilosa meruapakan polimer yang mempunyai rantai lurus, sebaliknya molekul-molekul amilopektin
21
22
lebih lambat mengalami retrogradasi dibanding molekul amilosa. Hal ini disebabkan molekul-molekul amilopektin mempunyai rantai bercabang (Winarno, 2004). 3. Pencoklatan (Browning) Pada pembuatan beras tiruan reaksi pencoklatan yang terjadi adalah reaksi maillard. Reaksi ini terjadi pada tahap pengukusan dan pengeringan. Reaksi maillard adalah reaksi antar karbohidrat, khusunya gula pereduksi dengan gugus amina primer. Hasil reaksi tersebut menghasilkan bahan berwarna coklat, yang sering dikehendaki atau kadang-kadang menjadi pertanda penurunan mutu (Winarno, 2004). Walaupun memberikan keuntungan dalam memberi warna dan aroma, reaksi maillard juga memberikan efek yang tidak diinginkan, karena dapat merusak kualitas nutrisi protein dan bersifat antinutrisi. Dalam industri makanan yang selalu menjaga kualitas dan keseragaman produk, efek dari reaksi maillard sangat berpengaruh. Karena selain mengakibatkan perubahan warna dan flavor, juga dapat mempengaruhi penurunan kualitas makanan (Apriyantono dkk., 2002). 4. Denaturasi Protein Denaturasi adalah perubahan struktur protein dimana hanya terdapat struktur primer protein saja yang tersisa, protein sudah tidak mempunyai struktur sekunder, tersier, dan quartener. Akan tetapi belum terjadi pemutusan ikatan 22 peptide. Dalam pembuatan beras analog, denaturasi protein terjadi pada proses pengukusan dan pengeringan. Protein yang telah mengalami proses denaturasi akan mengalami penurunan kemampuan menyerap dan menahan air karena terbentuknya matriks jaringan protein yang kuat. Denaturasi dapat dipengaruhi oleh adanya panas, pH, dan pengaruh mekanis (Winarno, 2004).
22
23
5. Kandungan Amilosa dan Amilopektin Pati tersusun atas molekul D-glucopyranose yang membentuk rantai lurus dan bercabang. Rantai lurus pada pati disebut dengan amilosa. Molekul D-glucopyranose yang berikatan membentuk rantai lurus dihubungkan oleh ikatan α-1,4 glikosida. Walaupun amilosa dikatakan sebagai rantai lurus namun bentuk amilosa sebenarnya berbentuk heliks atau spiral. Bagian dalam heliks amilosa mengandung atom hidrogen sehingga amilosa bersifat hidrophobik. Sifat hidrophobik amilosa dapat menjebak senyawa asam lemak bebas, asam lemak dari gliserida, alkohol, dan iodine. Ikatan kompleks yang terbentuk pada amilosa, senyawa lipid, dan emulsifier pangan sangat mempengaruhi suhu gelatinisasi, perubahan tekstur, viskositas, sifat pasta, dan retrogradasi pati (Adicandra, 2016). Amilosa memiliki sifat yang sulit membentuk gel dalam air. Hal ini dapat dilihat pada pati yang memiliki kandungan amilosa yang tinggi seperti pada pati beras. Saat proses pemasakan pati dalam larutan air menyebabkan amilosa keluar dari granula pati kemudian larut dalam air. Apabila dalam keadaan dingin amilosa tersebut akan mengalami retrogradasi hingga membentuk lapisan – lapisan kerak atau atau lapisan film. Hal ini dapat diamati saat memasak nasi akan muncul lapisan – lapisan yang bebentuk film putih transparan pada dinding – dinding panci. Lapisan – lapisan tersebut merupakan amilosa yang telah larut dalam air kemudian terretrogradasi hinga membentuk lapisan film (Adicandra, 2016). Amilopektin merupakan rantai bercabang yang terdapat pada pati yang dihubungkan oleh ikatan α-1,6 glikosida. Gugus amilopektin tidak semuanya memiliki ikatan α-1,6 glikosida, namun juga memiliki ikatan α1,4 glikosida, hanya pada percabangannya saja terdapat ikatan α-1,6 glikosida. Diperkirakan hanya sekitar 4% – 6% ikatan α-1,6 glikosida yang terdapat pada gugus amilopektin. Amilopektin memiliki sifat retrogradasi lebih kecil daripada amilosa karena amilopektin memiliki rantai bercabang yang cukup banyak. Sifat retrogradasi yang kecil pada amilopektin
23
24
menyebabkan amilopektin dapat mempertahankan sifat gel yang terbentuk (Adicandra, 2016). 6. Antioksidan Radikal bebas adalah suatu atom atau molekul yang mempunyai satu elektron/lebih yang tidak berpasangan biasanya pada rumus bangunnya ditulis dengan titik tebal dibelakang atom atau molekul (R*). Radikal bebas di dalam tubuh sangat berbahaya sebab untuk memperoleh pasangan elektron, dia amat reaktif dan merusak jaringan. Antioksidan merupakan substansi kimia yang dapat menghambat permulaan (inisiasi) atau memperlambat kecepatan oksidasi pada bahan yang mudah teroksidasi (Fennema, 1985 dalam Wanti, 2008). Antioksidan atau reduktor berfungsi untuk mencegah terjadinya oksidasi atau menetralkan senyawa yang telah teroksidasi dengan cara menyumbangkan hidrogen atau electron (Silalahi, 2006 dalam Wanti, 2008). Antioksidan adalah bahan tambahan yang digunakan untuk melindungi komponen-komponen makanan yang bersifat tidak jenuh (mempunyai ikatan rangkap) terutama lemak dan minyak. Meskipun demikian antioksidan dapat pula digunakan untuk melindungi komponen lain seperti vitamin dan pigmen, yang juga mengandung ikatan rangkap didalam strukturnya (Medikasari, 2000 dalam Wanti, 2008). Faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas antioksidan adalah : 1) Faktor fisik : tekanan oksigen yang tinggi, luas kontak dengan oksigen, pemanasan ataupun iradiasi menyebabkan peningkatan terjadinya rantai inisiasi dan propagasi dari reaksi oksidasi dan menurunkan aktivitas antioksidan yang ditambahkan dalam bahan. 2) Faktor substrat : sifat antioksidan dalam lipida atau dalam pangan merupakan system yang ”dependent”. Tingkat inisiasi dan propagasi merupakan fungsi dari tipe dan tingkat lipida tidak jenuh dan secara signifikan mempengaruhi aktivitas antioksidan. 3) Faktor fisikokimia : dalam bahan pangan dan sistem biologi, sifat hidrofobik dan hidrofilik senyawa antioksidan sangat mempengaruhi efektifitas antioksidatifnya. Semakin polar antioksidan maka akan lebih
24
25
aktif dalam lipida murni, sedangkan antioksidan non polar lebih efektif dalam substrat yang polar seperti emulsi. B. Kerangka Berpikir
Gambar 2.2 Kerangka Berpikir Penelitian
25
26
C. Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini antara lain: 1. Formulasi antara tepung jagung, mocaf, dan puree bit merah akan berpengaruh terhadap tingkat penerimaan konsumen terhadap beras analog yang dihasilkan. 2. Beras analog berbasis tepung jagung, mocaf, dan puree bit merah akan mempunyai karakteristik fisik dan kimia menyerupai beras, dan memiliki aktivitas antioksidan.
26