15
BAB II LANDASAN TEORI
2.1
STRATEGI PEMASARAN Dunia menghadapi pasar yang sedang berubah. Kini, perusahaan harus
menyiapkan diri menghadapi ekonomi baru, yang ditandai dengan globalisasi, hiperkompetisi, teknologi, dan konsumen yang lebih pintar. Pada ekonomi lama, pemasar (produk dan jasa) bekerja berdasarkan sejumlah teori dan prinsip tertentu, dengan fokus utama pada efisiensi internal dan produktivitas. Namun, fokus tersebut kini berubah menjadi bagaimana memenangi kompetisi di pasar melalui penyusunan startegi yang tepat di masa depan. Semakin banyak perusahaan memasuki arena persaingan, pandangan tentang keunggulan kompetitif pun berubah. Strategi pemasar yang semula ditempuh melalui berbagai parameter seperti iklan (advertising), kualitas (quality), harga (pricing), branding, potongan harga (discounts), kemasan (packaging), dan sebagainya guna meraih kemenangan, kini seakan tidak memiliki keunggulan lagi, mengingat setiap orang juga menempuh strategi serupa. Perusahaan pun harus memeras otak lebih ketat lagi untuk dapat memenangi pasar. Caranya, dengan menerapkan perencanaan strategis berorientasi pasar, yang menekankan pada dua hal yakni penjualan dan pemasaran, dengan melibatkan empat
16
bidang
yakni
tujuan
organisasi,
orientasi,
segmentasi,
dan
menangkap
pemahaman/persepsi konsumen (Kotler 2002)12.
2.2. KONSUMEN Konsumen adalah raja, demikian kata pepatah. Tidak heran apabila sebagian besar produsen menjadikan selera konsumen sebagai dasar pengambilan keputusan dalam meluncurkan produk baru, tidak terkecuali produk otomotif. Dalam berbagai literatur, konsumen didefinisikan sebagai seseorang yang membeli suatu produk/jasa untuk memenuhi kebutuhannya. Berdasarkan tujuan pembeliannya, Kotler mengklasifikasikan konsumen menjadi dua kelompok yaitu konsumen akhir dan konsumen organisasional. Konsumen akhir terdiri atas individu yang memiliki tujuan pembelian suatu produk/jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri atau untuk dikonsumsi. Konsumen individu membentuk pasar konsumen (consumer market). Sedangkan konsumen organisasional terdiri atas organisasi, pemakai industri, pedagang, dan lembaga bukan-untuk-profit yang bertujuan membeli produk barang/jasa untuk keperluan bisnis. Karena itu, konsumen organisasional membentuk pasar bisnis (business market).
12
-------, Strategic Marketing – Role of Relationships, Information, and Sources
17
2.2.1 PERILAKU KONSUMEN Analisis mengenai perilaku konsumen pun menjadi sangat penting sebagai dasar pengenalan produk. Tanpa memahami perilaku konsumen yang akan dibidik, ibarat seseorang yang meraba dalam gelap. Dengan mengetahui perilaku konsumen lebih pasti—termasuk dari aspek persepsi mereka—akan lebih mudah bagi produsen untuk mendefinisikan produk yang akan diluncurkan. Bagi sebagian besar konsumen, mereka tidak memerlukan pertimbangan serius ketika memutuskan membeli produk yang bersifat fast-moving (cepat habis), baik dalam hal besarnya jumlah yang harus dibeli maupun kedekatan hubungan terhadap produk tersebut (McWilliam 1992). Akibatnya, perilaku konsumen dapat ditinjau sebagai dua jenis dikotomi: perilaku keterkaitan rendah (low-involvement behavior) dan perilaku keterkaitan tinggi (high-involvement behavior). Sejalan dengan konsep keterlibatan tersebut, terlebih dahulu harus diketahui apakah kelas suatu produk lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari. Keterkaitan tersebut sering diukur dengan tingkat kepentingan produk terhadap pembeli: -
Persepsi tentang pentingnya produk;
-
Persepsi tentang risiko yang berhubungan dengan penggunaan;
-
Nilai simbolis produk;
-
Nilai hedonis produk. Persepsi risiko mengacu pada persepsi pentingnya konsekuensi terhadap
pilihan yang buruk. Simbolisme merujuk pada nilai yang melekat di benak konsumen
18
atas sebuah produk. Sedangkan nilai hedonis poduk mengacu kepada sikap emosi kosumen.13 Menurut Hawkins, Mothersbaugh, dan Best (2007, p. 6), perilaku konsumen adalah ilmu tentang individu, kelompok, atau organisasi, dan proses yang digunakan untuk memilih, mendapatkan, menggunakan, dan menentukan produk, jasa, pengalaman, atau ide untuk memuaskan keutuhan dan akibat yang ditimbulkan dari proses tersebut kepada konsumen dan masyarakat. Schiffman dan Kanuk (2004, p. 8) mendefinisikan perilaku konsumen sebagai proses yang dilalui konsumen dalam mencari, membeli, menggunakan, dan mengevaluasi suatu produk/jasa yang diharapkan bisa memenuhi kebutuhannya. Solomon (2007, p 7), hampir mirip dalam mendefinisikan perilaku konsumen, yaitu ilmu yang mempelajari proses yang dilalui ketika individu atau kelompok mencari, membeli, menggunakan, dan mengevaluasi suatu produk, jasa pengalaman, atau ide untuk memuaskan kebutuhan dan keinginannya.
2.3.
SEGMENTASI Salah satu poin yang penting dalam memahami perilaku konsumen adalah
dengan membuat strategi segmentasi yang jelas sehingga memungkinkan untuk menentukan sasaran dan memosisikan produk dengan proses komunikasi yang baik. Segmentasi atau pengelompokan adalah membagi konsumen menjadi beberapa kelompok yang membutuhkan jenis produk dan jasa yang berbeda.
13
Frank Bradley, Strategic Marketing, John Wiley & Sons Ltd., West Sussex, 2003 p. 33
19
Strategi segmentasi dapat ditempuh melalui pengelompokan berdasarkan demografi (perbedaan usia, gender, status sosial, dsb), geografi atau lokasi, psikografi (perbedaan sifat atau karakter), serta berdasarkan perilaku (behaviour) terhadap produk dan jasa14. Segmentasi adalah metode untuk melihat pasar secara kreatif15, yang melibatkan identifikasi dan pemanfaatan beragam peluang yang muncul di pasar. Agar kreatif dalam melihat pasar. Pertama harus fokus sehingga lebih mudah mengalokasikan sumber daya serta tepat dalam menyasar pasar sesuai keunggulan kompetitif yang dimiliki. Kedua, segmentasi memudahkan sebuah perusahaan memperoleh insight mengenai peta kompetisi dan posisi pasar. Ketiga, segmentasi memudahkan perusahaan mempersiapkan positioning, diferensiasi, dan penguatan merk. Keempat, segmentasi merupakan faktor kunci untuk mengalahkan pesaing dengan memandang pasar dari sudut yang uni dan cara yang berbeda. Pendekatan kontemporer dalam dunia pemasaran adalah dengan menerapkan berbagai aspek perilaku sebagai kemudi utama variabel dalam segmentasi pasar dengan cara mencari tahu perbedaan dari segi perilaku mencapai aspek pemakaian (usage), kegunaan (benefit), keterikatan dengan merk (brand relationship), dan sebagainya. Pembagian ini dikatakan lebih bermakna dan lebih berguna bagi keputusan bisnis perusahaan16
14
Amalia Maulana, Consumer Insghts via Ethnography, Esensi, Jakarta, 2009 Hermawan Kartajaya, Hemawan Kartajaya on Segmentation, MarkPlus&Co dan Mizan, Bandung, 2006 16 Amalia Maulana, ibid, p. 170 15
20
Tahap yang paling awal dalam strategi pemasaran yang efektif menurut Kotler adalah mengidentifikasi dan memprofilkan kelompok pembeli khusus yang berbeda kebutuhan dan pilihan mereka, atau dengan kata lain adalah segmentasi pasar.
2.3.1 KRITERIA SEGMENTASI YANG EFEKTIF Tidak semua skema segmentasi bermanfaat. Contohnya, pembeli garam dapat dibagi menjadi pelanggan berambut hitam atau coklat. Namun, warna rambut tidak relevan dengan pembelian garam. Selain itu, jika semua pembeli garam membeli jumlah yang sama setiap bulan, meyakini semua garam adalah sama, dan ingin membayar harga yang sama, maka segmentasi pasar itu hanya minimum menurut sudut pandang marketing (Kotler, 2007, p 246). Agar dapat berdaya guna, segmensegmen pasar haruslah dinilai berdasarkan lima kriteria utama: 1.
Terukur (measureable). Beberapa faktor meliputi ukuran, daya beli, dan profil segmen yang dihasilkan harus dapat diukur. Dalam kaitannya dengan produk mobil murah yang akan ditawarkan, beberapa segmen yang dapat diincar misalnya pemilik usaha kecil untuk berdagang, karyawan kelas menengah dan atau pegawai negeri untuk keperluan bekerja, serta siswa SMA atau mahasiswa.
2.
Terjangkau (accessible). Segmen yang ditargetkan hendaknya dapat dijangkau dan dilayani secara efektif. Segmen buruh kecil atau pensiunan mungkin akan sulit diakses mengingat secara formal mungkin kurang memiliki dukungan persyaratan untuk membeli mobil, meskipun harganya relatif murah.
21
3.
Cukup besar (substantial). Segmen pasar yang dituju haruslah cukup besar dan cukup menguntungkan apabila digarap. Suatu segmen harus merupakan kelompok homogen terbesar yang paling mungkin, yang cukup berharga untuk diraih. Dengan menargetkan pengusaha kecil, pegawai negeri, serta siswa SMA/mahasiswa, sudah dapat diperoleh skala ekonomi yang cukup menjanjikan untuk digarap.
4.
Terbedakan (differentiable). Dari sejumlah segmen yang ada, hendaknya dapat dipisahkan dan masing-masing dapat memberikan tanggapan yang berlainan. Segmen tersebut juga hendaknya memiliki karakteristik dan perilaku pembelian yang berbeda dari segmen-segmen lain.
5.
Dapat digarap (actionable). Berbagai program yang efektif dapat dirumuskan untuk menarik segmen-segmen tersebut. Contoh program yang efektif untuk menarik segmen tersebut adalah dengan mengadakan skema kredit khusus melalui koperasi, sehingga selain meringankan calon konsumen karena mereka dapat memperoleh kredit bersyarat ringan, juga merangsang koperasi untuk aktif sebagai pemasar.
Lingkup studi ini tidak meneliti berapa besar persentase setiap segmen. Untuk memperoleh data seperti itu, tentunya diperlukan studi lanjutan dengan metode kuantitatif.
22
2.4. PERSEPSI Kamus Webster mendefinisikan persepsi sebagai “tindakan untuk menerima atau kemampuan menerima; penangkapan mental terhadap obyek, kualitas, dsb melalui indera; awareness; perbandingan” (“the act of perceiving or the ability to perceive; mental grasp of objects, qualities, etc. by means of the senses; awareness; comprehension.”) Definisi
psikologis
atas
persepsi
adalah
“proses
di
mana
otak
mengorganisasikan dan menerjemahkan informasi keindraan/process by which the brain organizes and interprets sensory information” (Wade and Tavris, 1996). Pengukuran terhadap faktor ekspektasi dan persepsi, khususnya untuk kualitas layanan (maupun produk, tentunya), dikonsepsikan sebagai sikap konsumen secara keseluruhan atas kinerja suatu layanan (maupun produk). Beberapa peneliti mendasarkan pada satu pertanyaan tunggal namun menyeluruh tentang kualitas, diukur pada skala dari payah/poor hingga hebat/excellent (Rust and Oliver, 1994).
2.4.1. TINJAUAN TEORETIS PERSEPSI Ricciardi (2004) menyebutkan bahwa sebagian besar studi akademik gagal merumuskan definisi dasar dari frasa persepsi ataupun mengabaikan pentingnya topik persepsi tersebut dalam satu pola. Kendati sebagian besar penelitian atas persepsi merupakan pengetahuan dasar dalam ilmu perilaku, tidak banyak yang dapat menerapkannya pada sektor lain, keuangan, misalnya. Satu-satunya ahli finansial yang menghasilkan diskusi ekstensif menenai persepsi dari perspektif perilaku adalah Gooding (1973) yang mengambil tajuk persepsi investor.”
23
Bidang perilaku organisasi menawarkan perspektif tentang persepsi sebagai berikut: “Persepsi merupakan pemilihan dan pengorganisasian dorongan lingkungan untuk menyediakan pengalaman yang berarti bagi si penerima. Itu mewakili proses psikologis di mana orang mengambil informasi dari lingkungannya dan membuatnya masuk akal. Persepsi meliputi perhatian (awareness) terhadap kejadian di dunia, orang, obyek, situasi, dan sebagainya, termasuk mencari, memperoleh, dan memproses informasi tentang dunia.” (“Perception is the selection and organization of environmental stimuli to provide meaningful experiences for the perceiver. It represents the psychological process whereby people take information from the environment and make sense of their world. Perception includes an awareness of the world events, people, objects, situations, and so on, and involves searching for, obtaining, and processing information about that world.”) (Hellriegel, Slocum, and Woodman, 1989, 61-62) Persepsi merupakan dasar untuk memahami perilaku mengingat proses ini merupakan cara di mana stimulus (dorongan) memengaruhi individu.
Persepsi
merupakan pencarian atas penjelasan terbaik dari informasi keindraan seseorang berdasarkan pemahaman maupun pengalaman seseorang di masa lalu. Seringkali selama proses membuat persepsi (perceptual process), ilusi dapat menjadi contoh yang intens bagaimana seseorang salah menerjemahkan suatu informasi dan akan memproses informasi tersebut secara keliru (Gregory, 2001). “Kita bertindak berdasarkan apa yang kita pahami (perceive); tindakan kita mengarah kepada persepsi baru; hal tersebut kemudian mengarah ke berbagai tindakan baru, yang bercampur aduk sedemikian rupa yang akan membentuk
24
kehidupan kita. Jelasnya, pemahaman terhadap proses di mana seseorang menyadari diri dan dunianya merupakan dasar yang cukup untuk memahami perilaku manusia.” (Ricciardi, 2004) Berkaitan dengan persepsi terhadap perusahaan, Li Jin dan Myers (2005) menyimpulkan terdapat perbedaan berkaitan dengan akses informasi antara insider dan outsider investor. Insider memperoleh informasi mengenai perusahaan lebih baik, sementara outsider memiliki informasi yang terbatas.
Keterbatasan perolehan
informasi ini menimbulkan persepsi yang terbatas di kalangan outsider investor, terutama mengenai nilai perusahaan. Crashes akan terjadi jika insiders memiliki informasi terlalu banyak mengenai berita buruk perusahaan dan memutuskan angkat tangan.
2.4.2. PERCEPTUAL MAP Perceptual map atau peta persepsi merupakan metode diagram atau grafis untuk mempresentasikan persepsi atas posisi sebuah produk di benak konsumen, baik konsumen biasa maupun konsumen potensial. Peta ini membandingkan posisi produk, lini produk, merek, maupun perusahaan yang ditampilkan secara komprehensif terhadap para pesaingnya. Peta persepsi dapat terdiri dari beberapa dimensi, namun biasanya terdiri dari dua dimensi yang membentuk bidang bersumbu x dan y. Ilustrasi berikut (lihat gambar 2.1) merupakan contoh peta persepsi konsumen terhadap beberapa produk dari dua dimensi.
25
Dari gambar tersebut, tampak bahwa produk B, E, dan F berada dalam satu cluster (gugusan) pada kuadran canggih dan mahal. Gugusan produk dengan positioning yang hampir sama ini dapat dibaca sebagai bahwa produk B merupakan yang tercanggih dan termahal, sedangkan produk E sedikit di bawah produk B dalam hal kecanggihan, namun, sediki lebih murah.
Canggih Produk B Produk E Produk F
Produk A Produk G Produk Z
Produk Y
Terjangkau Produk V Produk N
Mahal Produk M
Simpel Gambar 2.1. Peta persepsi sejumlah produk berdasarkan kualitas dan harga
Di sisi lain, produk F dengan kualitas kecanggihan di bawah E, tapi lebih mahal dari E meski sedikit lebih murah dari B. Dalam hal harga, produk N berada di posisi moderat, namun dari sisi produk cenderung simpel. Penentuan atribut pada sumbu x dan y dapat dikondisikan sedemikian rupa, sehingga dapat diperoleh kombinasi value atas sebuah produk. Dengan demikian, peta persepsi ini akan memiliki cukup banyak variasi.
26
Lebih banyak kombinasi variasi akan dapat merepresentasikan gambaran lebih riil atas sifat ataupun kinerja sebuah produk. Contoh yang dapat ditempuh adalah mengombinasikan atribut mahal dan canggih, image dan keamanan, kenyamanan dan nilai jual kembali, dan seterusnya.
2.5. POSITIONING Seringkali, sebuah perusahaan menganggap konsumen akan menyukai sebuah produk yang memiliki berbagai fitur terpadu. Karena itu, mereka berlomba untuk melakukan inovasi produk guna memuaskan keinginan konsumen. Kenyataan menunjukkan inovasi nilai tidaklah sama dengan inovasi teknologi. Kalau
hanya
inovasi
teknologi
saja
yang
dikedepankan,
tanpa
mempertimbangkan inovasi nilai (value innovation), dapat dipastikan upaya itu akan mudah menghadapi kegagalan. Contoh nyata dari fenomena ini adalah Philips CD-i, sebuah produk luar biasa yang menawarkan kepada konsumen aneka fungsi terpadu. Produk yang dipromosikan sebagai “Imagination Machine” itu menggabungkan fungsi mesin video dengan sistem musik, game player, dan peranti pengajaran (teaching tool). Dengan berbagai fungsi yang canggih itu, masyarakat malah kebingungan untuk memanfaatkannya. Meskipun secara teori produk CD-i dapat mengerjakan berbagai hal, pengguna malah menghindarinya karena dirasakan tidak ramah kepada pemakai (user friendly)17.
17
W. Chan Kim, Blue Ocean Strategy, p.120
27
Karena itu, dalam mempersiapkan sebuah produk perlu, dirasa perlu untuk terlebih dulu membuat profil strategis agar terhadap sebuah produk baru dilakukan uji litmus awal (initial litmus test) sehingga dapat fokus, divergent, serta memiliki kejelasan
makna
(compelling
tagline)
yang
dapat
berbicara
kepada
pembeli/konsumen. Contoh lain berkaitan dengan topik tersebut adalah apa yang dialami Southwest Airlines, yang oleh pasar disebut sebagai jenis perusahaan pendobrak. Maskapai ini menerapkan model bisnis penerbangan sedemikian rupa, sehingga dapat menjadikan perjalanan udara sebagai alternatif untuk perjalanan jarak jauh, menyediakan kecepatan perjalanan udara dengan biaya yang setara dengan perjalanan darat.
Gambar 2.2. Kurva nilai pada kanvas strategi Produk A relatif terhadap Produk B
28
Profil strategi Southwest Airlines menggambarkan bagaimana ketiga kualitas ini mendasari strategi efektif perusahaan dalam menemukan kembali industri maskapai short-haul lewat inovasi nilai (value innovation). Southwest Airlines menciptakan sebuah blue ocean dengan meniadakan trade-off yang harus dilakukan pelanggan, yaitu di antara cepatnya pesawat terbang serta keterjangkauan dan fleksibilitas transportasi mobil. Untuk mencapai hal ini, Southwest menawarkan transportasi kecepatan tinggi dengan jumlah keberangkatan yang sangat sering dan fleksibel, pada harga yang menarik untuk massa pembeli. Caranya adalah dengan mengeliminasi dan mereduksi faktor-faktor persaingan tertentu (suguhan makanan dan minuman selama penerbangan, penyediaan lounge mewah, mencetak tiket, dan banyak lagi lainnya) di satu sisi dan di sisi lain membesarkan beberapa faktor di dalam industri maskapai penerbangan tradisional (menambah jadwal penerbangan, memperkecil waktu turnover pesawat dari saat mendarat hingga terbang kembali, dan membebaskan penumpang untuk memilih tempat duduk masing-masing). Selain itu, Southwest juga menciptakan serangkaian faktor baru yang diambil dari industri alternatif, yaitu transportasi mobil. Southwest Airlines mampu menawarkan kepada para pelaju udara (air traveler) utilitas yang tak pernah ada sebelumnya, dan mencapai lompatan nilai dengan model bisnis low-cost. Kurva nilai Southwest Airlines di kanvas strategi sangat berbeda dibandingkan dengan kompetitornya. Profil strateginya adalah suatu contoh tipikal strategi blue ocean.
29
Secara kontras, kompetitor Southwest yang memakai cara tradisional, berinvestasi di semua faktor-faktor kompetitif industri penerbangan, dan akhirnya membuat
mereka
kesulitan
menyamai
harga yang ditetapkan oleh
Southwest.
Mereka
berinvestasi
di segala hal, dan membiarkan pelbagai gerakan
Southwest
menentukan
agenda
mereka sendiri. Inilah
Gambar 2.3. Kurva nilai Southwest Airlines relatif terhadap maskapai lainnya maupun moda transportasi mobil
hasil dari model bisnis yang mahal. Secara kontras, kurva nilai para blue-ocean strategist selalu berbeda. Dengan mengaplikasikan empat aksi yaitu mengeliminasi, mereduksi, mengangkat, dan membuat, mereka membuat profil yang berbeda dibandingkan dengan profil sebuah industri kebanyakan. Southwest, misalnya, menjadi pionir di perjalanan point-topoint di antara kota berukuran sedang. Southwest mampu tampil lebih unggul dibandingkan dengan maskapai lain maupun terhadap moda transportasi mobil sekalipun.