BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1.
Penyakit Paru Obstruksi Kronik a.
Definisi Penyakit Paru Obstruksi Kronik adalah penyakit yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang bersifat menetap dan progresif yang disebabkan oleh respon inflamasi pernafasan dan jaringan paru akibat paparan dari zat maupun gas berbahaya (Global Inisiative for Chronic Obstructive Lung Disease, 2014).
b. Faktor Risiko 1) Rokok Rokok merupakan faktor risiko utama kematian oleh karena bronkitis kronis dan emfisema (Naik dan Cucullo, 2015). Hal tersebut ditunjukkan oleh adanya penurunan volume udara ekspirasi pada detik pertama (FEV1) pada pasien yang merokok. Secara histologis, makrofag secara normal berada pada bronkiolus respiratori hingga alveolus, akan tetapi hasil dari bronchoalveolar lavage fluid menunjukkan bahwa makrofag terakumulasi 5 kali lebih banyak pada perokok. (Reilly et al., 2012). 5
6
2) Pekerjaan Sebagai akibat dari globalisasi, regulasi yang mengatur tentang keselamatan pekerja semakin terabaikan oleh karena mahalnya biaya kesehatan. Paparan debu, asap dan material berbahaya merupakan suatu faktor risiko yang sulit untuk dihindari saat bekerja, sehingga beberapa pekerjaan seperti penambang emas, pekerja pabrik kapas, penambang batu bara, dan lain-lain merupakan faktor resiko terjadinya kerusakan pada bronkiolus respiratori hingga alveolus seperti pada perokok (Krisztina et al., 2010). 3) Polusi Udara Sudah banyak penelitian yang membuktikan bahwa pasien dengan penyakit-penyakit respiratorik lebih banyak terjadi pada daerah perkotaan daripada pedesaan. Para warga kota yang sering terpapar polusi udara terbukti memilki risiko lebih besar terkena penyakit paru obstruksi kronis (Reilly et al., 2012). 4) Genetik Defisiensi alpha-1 antitrypsin merupakan sebuah kondisi kelainan genetik yang menyebabkan penyakit PPOK pada beberapa pasien. Pasien dengan defisiensi alpha-1 antitrypsin dapat mengalami PPOK meskipun pasien tidak pernah merokok dan tidak sering terpapar polusi zat berbahaya ( National Heart, Lung and Blood Institute, 2015).
7
c.
Patogenesis PPOK Perubahan abnormal pada pasien PPOK terjadi pada saluran nafas besar dan kecil, parenkim paru, dan jaringan pembuluh darah pada paru oleh karena proses kerusakan berulang. Respon inflamasi dapat disebabkan oleh kelainan genetik maupun pajanan partikel berbahaya, seperti asap rokok. Akan tetapi, beberapa pasien PPOK tidak memiliki riwayat merokok. Adanya ketidakseimbangan antara protease dan antiprotease, yang memiliki fungsi protektif terhadap jaringan ikat paru akan memperbesar respon inflamasi pada pasien. Respon inflamasi semakin diperparah oleh kehadiran sel sitotoksik CD8+
dan
mediator
inflamasi
(faktor
kemotaktik,
sitokin
proinflamasi dan faktor pertumbuhan) (Papandrinopoulou et al., 2012). Meskipun tidak semua penderita PPOK memiliki riwayat merokok, akan tetapi paparan zat berbahaya merupakan faktor risiko terbesar dan utama yang dapat menyebabkan kerusakan DNA pada Lung Epithelial Barrier Cell (LEBC). Kerusakan DNA dapat menyebabkan mutasi DNA pada LEBC yang menyebabkan sel dendritik
merespon
LEBC
sebagai
benda
asing
dan
mempresentasikan antigen melalui MHC di nodus limfatikus. Hal tersebut menyebabkan adanya proliferasi dari sel sitotoksik CD8+ yang
akan
mensekresi
perforin
dan
granzymes
untuk
menghancurkan LEBC yang mengalami mutasi DNA. Semakin
8
banyak LEBC yang hancur menyebabkan jaringan parenkim paru semakin rentan mengalami kerusakan dan menyebabkan orang tersebut menderita PPOK (Papandrinopoulou et al., 2012).
d. Aspek Patofisiologi 1) Obstruksi Aliran Udara Aliran udara saat ekspirasi dipengaruhi elastic recoil paru dan resistensi jalan nafas yang mempengaruhi aliran udara pada jalan nafas. Kehilangan elastic recoil paru oleh karena berkurangnya jaringan elastis pada parenkim paru berdampak pada berkurangnya aliran udara saat ekspirasi seperti pada emfisema.
Sedangkan
dipengaruhi oleh
resistensi
beberapa
pada
faktor
jalan yang
nafas
dapat
menyebabkan
obstruksi lumen di antaranya sekret yang berlebihan di dalam saluran nafas, bertambahnya tonus sel otot polos bronkus dan hipertrofi kelenjar submukosa. Akibatnya proses pengosongan udara/ekspirasi menjadi tidak tuntas dan volume residual paru bertambah (Papandrinopoulou et al., 2012). 2) Hiperinflasi Hilangnya elastic recoil pada pasien PPOK membuat pasien harus bernafas di atas volume Functional Residual Capacity (FRC), untuk mempertahankan terbukanya jalan nafas
9
oleh karena udara berlebih yang terperangkap dalam paru (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006). Pada orang normal, volume udara di dalam paru pada saat akhir respirasi normal seharusnya mendekati FRC. Akan tetapi, pada pasien PPOK volume akhir respirasi paru (EELV) dapat jauh melebihi FRC. Oleh sebab itu, proses pengosongan udara melambat dan proses ekspirasi terganggu oleh proses inspirasi selanjutnya sebelum pasien mencapai FRC, di mana FRC merupakan titk equilibrium antara elastic recoil paru dan elastic recoil dinding dada (Papandrinopoulou et al., 2012). Hiperinflasi memiliki dua efek negatif yang menganggu fungsi otot diafragma. Yang pertama, diafragma akan tertekan oleh paru dan mengurangi zone of apposition antara rongga thoraks dan rongga abdomen. Yang kedua, serabut otot diafragma akan menjadi lebih pendek dan menjadi kurang efisien dalam proses inspirasi. Diafragma yang tertekan oleh karena proses hiperinflasi paru akan beradaptasi untuk mempertahankan fungsinya dengan cara menambah serabut otot tipe 1, yang tidak mudah
lelah,
menambah
konsentrasi
mitokondria
dan
meningkatkan efisiensi transport elektron (Papandrinopoulou et al., 2012). Akan tetapi, proses adaptasi yang dilakukan diafragma memiliki
batas,
di
mana
diafragam
sudah
tidak
bisa
10
mengkompensasi hiperinflasi paru yang bersifat kronis. Bila hal ini terjadi, maka akan terjadi kegagalan inspirasi seperti pada proses
eksaserbasi
pasien
PPOK
yang
berakibat
fatal
(Papandrinopoulou et al., 2012).
e.
Diagnosis Untuk diagnosis
secara formal, para klinisi
biasanya
menggunakan spirometri sebagai alat untuk mengukur adanya obstruksi aliran udara. Dari pemeriksaan spirometri tersebut, para klinisi dapat mengetahui nilai dari forced expiratory volume in 1 second (FEV1). Pada pasien PPOK, nilai dari FEV1 akan menurun di bawah angka 80% (Miller et al., 2011). Studi radiografi juga dapat membantu untuk menentukan derajat keparahan dari PPOK. Studi ini dapat dilakukan dengan foto toraks dan CT-SCAN. Pada foto toraks dapat ditemukan adanya flattening pada diafragma, adanya peningkatan ruang udara retrosternal, bayangan jantung sempit dan hiperlusensi paru. Untuk studi radiografi yang lebih sensitif, para klinisi menggunakan CTSCAN (Institute for Clinical Systems Improvement, 2011). Untuk keperluan tes
tambahan, biasanya
para klinisi
melakukan tes hematokrit, serum kalium, evaluasi sputum, elektrokardiografi, kadar AAT dan tes 6MWT (Celli et al., 2004). Analisa gas darah juga dapat dilakukan untuk mendeteksi tingkat
11
keparahan dari PPOK, status asam-basa dan mendeteksi adanya hipoksemia (Institute for Clinical Systems Improvement, 2011).
f.
PPOK Stabil Definisi dari PPOK stabil adalah suatu kondisi pasien PPOK di mana pasien tidak dalam keadaan eksaserbasi. Keadaan eksaserbasi pada pasien PPOK ditandai dengan adanya perubahan keadaan umum pasien, di mana pasien membutuhkan penanganan khusus oleh rumah sakit (American Academy of Family Physician , 2015). Pasien PPOK memasuki keadaan eksaserbasi bila ditemukan adanya kondisi seperti berikut : 1) Meningkatnya intensitas dan tingkat keparahan gejala pasien (perubahan
pada
produksi
sputum,
dyspneu,
malaise,
berkurangnya toleransi untuk melakukan aktivitas, demam, wheezing, berkurangnya suara napas) 2) Adanya penyakit ko-morbid (pneumonia, aritmia, gagal jantung kongestif, diabetes, gagal ginjal dan gangguan liver) Untuk PPOK stabil sendiri dibagi menjadi 3 kategori yakni: 1) PPOK stabil derajat ringan (FEV1 bernilai 60%-80%) 2) PPOK stabil derajat sedang (FEV1 bernilai 40%-59%) 3) PPOK stabil derajat berat (FEV1 bernilai kurang dari 40%)
12
2.
Forced Expiratory Volume in One Second (FEV1) Forced Expiratory Volume in 1 Second (FEV1) adalah udara (liter) yang dapat diekspirasikan secara maksimal dalam satu detik pertama (Tortora dan Derrickson, 2014). Nilai dari FEV1 (liter) secara normal akan menurun sebesar 30 ml/tahun karena proses aging dan akan menurun lebih signifikan pada pasien PPOK (Wise, 2006). Nilai dari FEV1 juga sangat dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu usia, tinggi badan, ras dan jenis kelamin. Faktor yang paling mempengaruhi adalah usia dan tinggi badan. Oleh karena itu, Association for Respiratory Technology and Physiology (ARTP) mempublikasikan rumus nilai normal FEV1 (liter) prediksi yang didapat dari studi cohort (Wise, 2006).
FEV1{liter} = 4.30*tinggi badan{meter}-0.029*age{usia} -2.49 Gambar 2.1 Rumus Menghitung Nilai FEV1 (Liter) Prediksi (Wise, 2006)
Namun untuk menentukan derajat keparahan PPOK dibutuhkan nilai FEV1 (%) prediksi yang didapat dari perbandingan antara nilai FEV1 (liter) yang diukur pada pasien dengan nilai FEV1 (liter) prediksi dikali 100%.
Nilai normal FEV1 (%) prediksi adalah sekitar 80%
(Qaseem et al., 2011).
13
3.
Sesak Napas pada Pasien PPOK dan Borg Category-ratio (CR-10) scale Menurut American Thoracic Society, sesak napas atau yang dikenal dengan sebutan dyspnea adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan perasaan subyektif mengenai ketidaknyamanan dalam bernapas yang menunjukkan adanya perbedaan secara kualitatif dalam berbagai intensitas. Sesak napas merupakan keluhan yang umum dalam praktek klinis, serta menjadi faktor utama yang membatasi kualitas hidup pada PPOK (Wise, 2006). Terdapat metode pemeriksaan secara kualitatif dan kuantitatif untuk menentukan tingkat keparahan sesak napas. Salah satu metode kualitatif yang paling sering digunakan adalah Borg Category-ratio (CR10) scale. Borg Scale adalah sebuah pengukuran dengan 10 skala numerik dari 0 sampai 10, di mana 0 menunjukkan tidak adanya gejala sedangkan skala 10 menujukkan munculnya gejala yang paling maksimal. Pada pengukuran ini, para pasien dinilai derajat ketidaknyamanan dalam bernapas setelah dilakukannya tes berjalan ditempat selama 6 menit atau yang dikenal dengan sebutan 6-minute walk test. Borg Scale sudah sering digunakan oleh banyak peneliti, namun para klinisi masih jarang menggunakannya. Akan tetapi, skala pengukuran ini sangat berguna untuk mengetahui derajat sesak napas pasien PPOK karena pasien dapat dengan mudah menentukan batas kemampuan bernapasnya setelah dilakukan tes berjalan ditempat selama 6 menit (Satake et al .,2015). Uji
14
Borg sendiri memiliki tingkat sensitivitas sebesar 83% dan spesifisitas sebesar 91%. Tingginya tingkat sensitivitas dan spesifisitas yang dimiliki oleh uji Borg membuat uji ini dapat dijadikan suatu indikator derajat sesak napas yang dimiliki oleh pasien dengan kelainan paru dan para atlet (Tanchoco et al., 2008). Tes berjalan ditempat selama 6 menit merupakan salah satu metode diagnosis untuk menentukan adanya sesak napas pada pasien PPOK. Tes ini memiliki cara yang mudah dan tidak memerlukan adanya peralatan yang canggih. Tujuan dari tes ini adalah untuk memancing proses dynamic hyperinflation yang muncul pada pasien PPOK karena dynamic hyperinflation merupakan salah satu penyebab sesak napas (Satake et al., 2015). 4.
Hubungan FEV1 dengan Derajat Sesak Napas Penyakit Paru Obstruksi Kronis memiliki 2 aspek patofisiologi, yaitu obstruksi aliran udara dan hiperinflasi. Obstruksi aliran udara disebabkan oleh adanya proliferasi makrofag, neutrofil dan fibroblas yang akan meningkatkan kadar mediator proinflamasi seperti interleukin8 (IL-8), Tumor Necrosis Factor-Alpha (TNF-α) dan Colony Stimulating Factor (CSF). Mediator proinflamasi tersebut menyebabkan kelenjar mukus dan sel otot polos pada saluran napas besar maupun kecil mengalami hipertrofi. Hipersekresis mukus dan bertambahnya ukuran sel otot polos akan membuat saluran napas menjadi sempit dan pada akhirnya menimbulkan obstruksi aliran udara. Sedangkan hiperinflasi
15
paru disebabkan oleh kerusakan DNA sel LEBC secara progresif dan menyebabkan sel dendritik meresponnya sebagai antigen asing. Setelah sel dendritik menuju ke limfonodi sekitar dan mempresentasikan antigen sel LEBC yang rusak melalui Major Histocompatibilty Class I (MHC-1) maka akan terjadi prolferasi sel T CD-8+ dan akan mendestruksi sel LEBC yang masih sehat. Sel LEBC yang berguna sebagai protektor paru, lama-kelamaan akan berkurang dan proses kerusakan parenkim paru dan jaringan elastin akan semakin mudah terjadi. Bila kerusakan tersebut terjadi secara terus-menerus maka elastic recoil paru akan menurun dan menyebabkan hiperinflasi paru. Kedua aspek di atas menyebabkan FEV1 pada pasien PPOK menurun sehingga menyebabkan volume akhir ekspirasi (EELV) meningkat dan dapat melebihi Functional Residual Capacity (FRC). Seperti yang diketahui, FRC merupakan titik dimana tidak terjadi proses kontraksi maupun relaksasi otot-otot pernapasan dan titik dimana tidak terdapat perbedaan tekanan antara udara di trakea dan tekanan intrapulmonal.
Meningkatnya
volume
akhir
ekspirasi
(EELV)
menyebabkan tekanan intrapulmonal menjadi lebih positif, yang pada akhirnya menyebabkan pasien harus berusaha lebih keras pada saat proses inspirasi. Sehingga semakin meningkatnya EELV maka pasien akan
merasakan
sesak
napas
(Papandrinopoulou et al., 2012).
yang
semakin
bertambah
parah
16
Namun, pada pasien PPOK stabil derajat ringan sering kali fenomena sesak napas tidak muncul terutama pada saat pasien tidak melakukan aktivitas fisik meskipun nilai FEV1 sudah menurun. Hal tersebut mungkin terjadi karena peningkatan EELV tidak begitu signifikan dan volume FRC masih mendekati nilai normal. Akan tetapi, volume akhir ekspirasi (EELV) dapat meningkat secara drastis dan lebih cepat saat pasien melakukan aktivitas. Hal ini menyebabkan kecepatan ventilasi per menit meningkat secara drastis dan membuat pasien menjadi kesulitan saat bernapas. Proses di atas dikenal dengan sebutan dynamic hyperinflation. Adanya proses tersebut menyebabkan pasien menjadi sesak napas terutama saat melakukan aktivitas (Calverley, 2006).
17
B. Kerangka Pemikiran FAKTOR RISIKO rokok, pekerjaan,polusi udara, perokok pasif, genetik (defisiensi
PPOK
alpha-1 antitripsin dan mutasi gen MMP 12)
kerusakan DNA LEBC
proliferasi makrofag, neutrofil dan fibroblas
sel dendritik merespon LEBC yang rusak sebagai antigen asing
meningkatnya mediator proinflamasi (IL-8, CSF)
apoptosis LEBC oleh CD8+ sehingga sel protektor paru berkurang
hipertrofi kelenjar mukus dan sel otot polos saluran nafas
kerusakan parenkim dan elastin
penyempitan saluran nafas dan produksi sputum berlebihan
elastic recoil obstruksi aliran udara oleh karena meningkatnya resistensi jalan nafas
hiperinflasi paru
FEV1
derajat sesak napas
Gambar 2.2. Kerangka Pemikiran
18
C. Hipotesis Terdapat hubungan antara FEV1(%) prediksi dengan derajat sesak napas pada pasien PPOK stabil derajat ringan.