BAB II LANDASAN TEORI
II.1
Auditing
II.1.1 Pengertian Auditing Dalam bukunya, Boynton, Johnson, dan Kell yang diterjemahkan oleh Rajoe, P.A., Gania, G., & Budi, I.S. (2003:5) mendefinisikan auditing sebagai berikut: ”Auditing adalah suatu proses sistematis untuk memperoleh serta mengevaluasi bukti secara objektif mengenai asersi-asersi kegiatan dan peristiwa ekonomi, dengan tujuan menetapkan derajat kesesuaian antara asersi-asersi tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya serta penyampaian hasil-hasilnya kepada pihak-pihak yang berkepentingan”. Menurut Arens, Elder dan Beasley yang diterjemahkan oleh Wibowo, H.(2008:4), ”Auditing adalah pengumpulan dan evaluasi bukti tentang informasi untuk menentukan dan melaporkan derajat kesesuaian antara informasi itu dan kriteria yang telah ditetapkan dan dilakukan oleh orang yang kompeten dan independen”. Menurut Hall, James. A. yang diterjemahkan oleh Fitriasari, D. dan Kwary, D.A. (2007:48) mendefinisikan, ”Auditing adalah bentuk dari pembuktian independen yang ahli–auditor yang menyatakan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan perusahaan”. Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan auditing adalah suatu proses sistematis dengan tujuan untuk mendapatkan dan mengevaluasi bukti atas suatu informasi untuk melaporkan tingkat kesesuaian dari informasi tersebut dengan kriteriakriteria yang telah ditetapkan dilakukan oleh orang yang kompeten dan independen.
7
II.1.2 Jenis-jenis Auditing Tunggal, A. W. (2008:9) menyatakan, “Dalam pelaksanaannya audit dibedakan menjadi tiga jenis yaitu: 1. Audit Laporan Keuangan (Financial Statement Audit) Audit laporan keuangan adalah penilaian apakah laporan keuangan disusun dengan kriteria yang ditetapkan, seperti prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum. 2. Audit Operasional (Operational Audit) Audit operasional adalah audit yang dilakukan terhadap kegiatan operasi perusahaan untuk menilai efisiensi, efektifitas dan ekonomis operasi perusahaan. Hasil audit operasional akan digunakan oleh pihak manajemen perusahaan. 3. Audit Ketaatan (Compliance Audit) Audit ketaatan adalah audit yang dimaksudkan untuk menilai apakah prosedur tertentu, aturan, regulasi yang ditetapkan oleh otorisasi lebih tinggi ditaati dan diikuti”.
II.2
Audit Operasional
II.2.1 Pengertian Audit Operasional Menurut Tunggal, A.W. (2008:11) menyatakan, ”Audit operasional merupakan audit atas operasi yang dilaksanakan dari sudut pandang manajemen untuk menilai ekonomi, efisiensi dan efektifitas dari setiap dan seluruh operasi, terbatas hanya pada keinginan manajemen”.
8
Dalam bukunya Bayangkara IBK (2008:2) mendefinisikan sebagai berikut: “Audit manajemen (audit operasional) adalah rancangan secara sistematis untuk mengaudit aktivitas-aktivitas, program-program yang diselenggarakan, atau sebagian dari entitas yang bisa diaudit untuk menilai dan melaporkan apakah sumber daya dan dana telah digunakan secara efisien, serta apakah tujuan dari program dan aktivitas yang telah direncanakan dapat tercapai dan tidak melanggar ketentuan aturan dan kebijakan yang telah ditetapkan perusahan”. Berdasarkan beberapa pendapat dari para ahli, dapat disimpulkan audit operasional adalah suatu proses sistematis untuk menilai efektifitas, efisiensi dan ekonomis aktivitas operasional perusahaan dengan memberikan rekomendasi perbaikan yang dapat dipertimbangkan oleh manajemen.
II.2.2 Tujuan Audit Operasional Menurut Tunggal, A.W (2008:40), ”Tujuan dari audit operasional antara lain: 1. Mengungkapkan kekurangan dan ketidakberesan dalam setiap unsur yang diuji oleh auditor operasional dan untuk menunjukkan perbaikan apa yang dimungkinkan untuk memperoleh hasil yang terbaik dari operasi yang bersangkutan. 2. Untuk membantu manajemen mencapai administrasi operasi yang paling efisien. 3. Untuk membantu mengusulkan kepada manajemen cara-cara dan alat-alat untuk mencapai tujuan apabila manajemen organisasi sendiri kurang pengetahuan tentang pengelolaan yang efisien. 4. Untuk mencapai efisiensi dari pengelolaan. 5. Untuk membantu manajemen, audit operasional berhubungan dengan setiap fase dari aktivitas usaha yang dapat merupakan dasar pelayanan kepada manajemen. 6. Untuk membantu manajemen pada setiap tingkat dalam pelaksanaan yang efektif dan efisien dari tujuan dan tanggung jawab mereka”. 9
II.2.3 Karakteristik Audit Operasional Menurut Tunggal A. W. (2008:37), “Karakteristik audit operasional adalah sebagai berikut: 1. Audit operasional adalah prosedur yang bersifat investigatif. 2. Mencakup semua aspek perusahaan. 3. Yang diaudit adalah seluruh perusahaan, atau salah satu unitnya (bagian penjualan, bagian perencanaan, produksi, dan sebagainya), atau suatu fungsi, atau salah satu subklasifikasinya (pengendalian persediaan, sistem pelaporan, pembinaan pegawai, dan sebagainya). 4. Penelitian dipusatkan pada prestasi atau keefektifan dari perusahaan, unit, atau fungsi yang diaudit dalam menjalankan misi, tanggung jawab, dan tugasnya. 5. Pengukuran terhadap keefektifan didasarkan pada bukti atau data dan standar. 6. Tujuan utama audit operasional adalah memberikan informasi kepada pimpinan tentang efektif–tidaknya perusahaan, suatu unit, atau suatu fungsi. Diagnosis tentang permasalahan dan sebab–sebabnya, dan rekomendasi tentang langkah–langkah korektifnya merupakan tujuan tambahan”.
II.2.4 Jenis-jenis Audit Operasional Tunggal, A.W. (2008:28) menyatakan, ”Jenis-jenis audit operasional terdiri dari: a. Fungsional Seperti yang tersirat dari namanya audit operasional berkaitan dengan sebuah fungsi atau lebih dalam suatu organisasi, misalnya fungsi pemasaran, fungsi pembayaran, fungsi penggajian suatu divisi atau untuk perusahaan secara keseluruhan. Keunggulan audit fungsional adalah memungkinkan adanya spesialisasi oleh auditor, 10
Auditor-auditor tertentu dalam staf audit intern dapat mengembangkan banyak keahlian dalam suatu bidang, seperti rekayasa produksi. Sehingga mereka dapat lebih efisien untuk memeriksa dalam bidang itu. Kekurangan audit fungsional adalah tidak dievaluasinya fungsi yang saling berkaitan. b. Organisasi Audit operasional atas suatu organisasi menyangkut keseluruhan unit organisasi seperti departemen, cabang, atau anak perusahaan. Penekanan dalam suatu audit organisasi adalah seberapa efisien dan efektif fungsi-fungsi yang saling berinteraksi. Rencana organisasi dan metode-metode untuk mengkoordinasikan aktivitas yang ada, sangat penting dalam audit jenis ini. c. Penugasan Khusus Penugasan audit operasional khusus timbul atas permintaan manajemen. Audit ini dapat terjadi sewaktu-waktu, dapat pula dalam suatu pelaksanaan audit operasional secara fungsional maupun organisasional, pemeriksa diminta untuk melakukan audit operasional yang bersifat khusus. Sebagai contoh, pada saat audit operasional terhadap fungsi gudang, persiapan pihak manajemen memberi penugasan khusus kepada pemeriksa untuk menjadi pengawas langsung terhadap karyawan bagian gudang dalam melakukan stock opname persediaan dan melakukan audit terhadap kuantitas barang dagangan yang direkrut oleh pembelinya, jadi audit semacam ini meliputi hal-hal yang luas”.
II.2.5 Pengertian Efektifitas, Efisien, dan Ekonomis Menurut pendapat Bayangkara, IBK (2008:12), ”Definisi efektifitas, efisiensi, dan ekonomis dapat didefinisikan sebagai berikut: 11
1. Efektifitas diartikan bahwa produk akhir suatu kegiatan operasi telah mencapai tujuannya baik dari segi kualitas hasil kerja, kuantitas hasil kerja maupun dari batas waktu yang ditargetkan. 2. Efisiensi adalah bertindak dengan cara yang dapat meminimalisasi kerugian atau pemborosan sumber daya dalam melaksanakan suatu kegiatan operasi perusahaan atau menghasilkan suatu produk atau jasa. 3. Ekonomis berarti cara penggunaan suatu barang atau jasa secara berhati-hati dan bijak agar diperoleh hasil yang terbaik atau memanfaatkan segala kekayaan perusahaan secara baik, sehingga tidak terjadi suatu pemborosan”.
II.2.6 Tahapan Audit Operasional Bayangkara, IBK (2008:10), menyatakan, ”Tahap-tahap yang dilakukan dalam audit manajemen terdiri dari lima tahap, yaitu: 1. Audit Pendahuluan Audit pendahuluan dilakukan untuk mendapatkan informasi latar belakang terhadap objek yang diaudit. Pada audit ini juga dilakukan penelaahan terhadap berbagai peraturan, ketentuan, dan kebijakan berkaitan dengan aktivitas yang diaudit, serta menganalisis berbagai informasi yang telah diperoleh untuk mengidentifikasi hal-hal yang potensial mengandung kelemahan pada perusahan yang diaudit. 2. Review dan Pengujian Pengendalian Manajemen Pada tahapan ini auditor melakukan review dan pengujian terhadap pengendalian manajemen objek audit, dengan tujuan untuk menilai efektivitas pengendalian manajemen dalam mendukung pencapaian tujuan perusahaan.
12
3. Audit Terinci Pada tahap ini auditor melakukan pengumpulan bukti yang cukup dan kompeten untuk mendukung tujuan audit yang telah ditentukan. Pada tahap ini juga dilakukan pengembangan temuan untuk mencari keterikatan antara satu temuan dengan temuan yang lain dalam menguji permasalahan yang berkaitan dengan tujuan audit. 4. Pelaporan Tahapan ini bertujuan untuk mengkomunikasikan hasil audit termasuk rekomendasi yang diberikan kepada berbagai pihak yang berkepentingan. 5. Tindak Lanjut Sebagai tahap akhir audit manajemen, tinjak lanjut bertujuan untuk mendorong pihak-pihak yang berwenang untuk melaksanakan tindak lanjut (perbaikan) sesuai dengan rekomendasi yang diberikan”.
II.2.7 Temuan Hasil Audit Kata temuan (finding) diartikan sebagai himpunan informasi-informasi mengenai kegiatan, organisasi, kondisi atau hal-hal yang lain yang telah dianalisa atau dinilai serta diperkirakan akan menarik atau berguna untuk pihak yang berwenang. Menurut Bayangkara, IBK (2008:175), ”Penyusunan temuan yang baik harus mencakup: 1. Kondisi (condition) Merupakan keadaan yang menggambarkan kenyataan yang terjadi di perusahaan. Audit operasional memerlukan temuan fakta awal dalam tahap pekerjaan lapangan (field work). Ketika temuan fakta digunakan untuk menyatakan suatu kondisi, auditor perlu memeriksa dan menguji operasi dan data terkait untuk membuat fakta
13
lebih jelas. Pernyataan kondisi ini memberikan titik referensi kepada temuan yang berkaitan dengan kriteria yang ada. 2. Kriteria (criteria) Adalah ukuran atau standar yang harus diikuti atau kondisi yang seharusnya ada dan merupakan standar yang harus dipatuhi oleh setiap bagian dalam perusahaan, yang dapat berupa kebijakan yang telah ditetapkan manajemen, kebijakan perusahaan sejenis atau kebijakan industri, dan peraturan pemerintah. 3. Sebab (cause) Merupakan tindakan-tindakan yang menyimpang dari standar yang berlaku dan apa penyebab terjadinya kondisi tersebut di perusahaan serta bagaimana terjadinya. Temuan audit tidaklah lengkap sampai auditor secara penuh mengidentifikasi penyebab atau alasan terjadinya penyimpangan dari kriteria. Faktor paling utama dari temuan audit yaitu menentukan penyebab kelemahan. Penyebab ini adalah alasan mengapa kegiatan operasi menjadi tidak efisien, efektif dan ekonomis. 4. Akibat (effect) Merupakan dampak dari tindakan-tindakan yang menyimpang dari standar yang berlaku. Salah satu tujuan utama dalam melaksanakan audit operasional adalah mendorong manajemen operasional melakukan tindakan positif untuk mengoreksi temuan atas kekurangan operasional yang diidentifikasi oleh tim audit. 5. Rekomendasi (recommendation) Menjelaskan apa yang harus dilakukan untuk mengatasi kelemahan masalah yang dikemukakan dalam temuan. Rekomendasi haruslah masuk akal diikuti dengan sebuah penjelasan mengapa kondisi ini terjadi, penyebabnya, dan apa yang harus dilakukan untuk mencegah berulang hal itu”. 14
II.3
Pengendalian Intern
II.3.1 Pengertian Pengendalian Intern Dalam buku Rama dan Jones yang diterjemahkan oleh Wibowo, M.S. (2008:132) mendefinisikan pengendalian intern sebagai berikut: ”Pengendalian intern (internal control) sebagai suatu proses, yang dipengaruhi oleh dewan direksi entitas, manajemen, dan personel lainnya, yang dirancang untuk memberikan kepastian yang beralasan yang terkait dengan pencapaian sasaran kategori sebagai berikut: efektivitas dan efisiensi operasi; keandalan pelaporan keuangan; dan ketaatan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku”. Menurut Warren, Reeve, and Fees yang diterjemahkan oleh Farahmita, Ama nugrahani dan Hendrawan (2006:235), ”Pengendalian intern adalah kebijakan dan prosedur yang melindungi aktiva perusahaan dari kesalahan penggunaan, memastikan bahwa informasi usaha yang disajikan akurat dan meyakinkan bahwa hukum serta peraturan telah diikuiti”. Menurut Iriyadi (2004:76), ”Sistem pengendalian intern adalah suatu proses yang dijalankan oleh dewan komisaris, manajemen dan personel lain, yang didesain untuk memberikan keyakinan memadai tentang pencapaian tiga golongan tujuan yaitu: keandalan laporan keuangan, kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku dan efektifitas dan efisiensi operasi”.
II.3.2 Tujuan Sistem Pengendalian Intern Menurut Arens & Loebbecke yang diterjemahkan oleh Jusuf, A.A (2003:258) “Manajemen dalam merancang struktur pengendalian intern mempunyai kepentingankepentingan sebagai berikut: 1. Keandalan pelaporan keuangan
15
Manajemen bertanggung jawab dalam menyiapkan laporan keuangan bagi investor, kreditor dan pengguna lainnya. Manajemen mempunyai kewajiban hukum dan profesional untuk menjamin bahwa informasi telah disiapkan sesuai standar laporan, yaitu prinsip akuntansi yang berlaku umum. 2. Mendorong efisiensi dan efektifitas operasional Pengendalian dalam suatu organisasi adalah alat untuk mencagah kegiatan dan pemborosan yang tidak perlu dalam segala aspek usaha, dan untuk mengurangi penggunaan sumber daya yang tidak efisien dan efektif. 3. Ketaatan pada hukum dan peraturan Banyak sekali hukum peraturan yang harus diikuti oleh perusahaan, beberapa di antaranya berkaitan tidak langsung dengan akuntansi, misalnya UU Lingkungan Hidup dan UU Perburuhan, sedangkan peraturan lain yang sangat berkaitan erat dengan akuntansi contohnya adalah UU Perpajakan dan UU Perseroan Terbatas”.
II.3.3 Unsur-unsur Pengendalian Intern Menurut COSO ada lima komponen pengendalian intern (components of internal control) yang saling berhubungan, yaitu: 1. Lingkungan pengendalian (control environment) merupakan penetapan suasana suatu organisasi, yang mempengaruhi kesadaran akan pengendalian dari orangorangnya. Lingkungan pengendalian merupakan fondasi dari semua komponen pengendalian intern lainnya, yang menyediakan disiplin dan struktur. 2. Penilaian risiko (risk assesment) merupakan pengidentifikasian dan analisis entitas mengenai risiko yang relevan terhadap pencapaian tujuan entitas, yang membentuk suatu dasar mengenai bagaimana risiko harus dikelola. 16
3. Aktivitas pengendalian (control activities) merupakan kebijakan dan prosedur yang membantu meyakinkan bahwa perintah manajemen telah dilaksanakan. 4. Informasi
dan
komunikasi
(information
and
communication)
merupakan
pengidentifikasian, penangkapan, dan pertukaran informasi dalam suatu bentuk dan kerangka waktu yang membuat orang mampu melaksanakan tanggung jawabnya. 5. Pemantauan (monitoring) merupakan suatu proses yang menilai kualitas kinerja pengendalian intern pada suatu waktu”.
II.3.4 Pengendalian Intern atas Fungsi Penjualan, Piutang Usaha dan Penerimaan Kas Menurut Agoes, S. (2004:157), “Beberapa ciri Internal Control yang baik atas transaksi penjualan, piutang, dan penerimaan kas adalah: 1. Adanya pemisahan tugas dan tanggung jawab antara yang melakukan penjualan, mengirimkan barang, melakukan penagihan, memberikan otorisasi atas penjualan kredit, membuat faktur penjualan dan melakukan pencatatan. 2. Digunakannya formulir-formulir bernomor urut tercetak (prenumbered), misalnya sales order (pesanan penjualan), sales invoice (faktur penjualan), delivery order (surat pengiriman barang), credit memo, official receipt (kuitansi). 3. Digunakannya price list (daftar harga jual) dan setiap penyimpanan dari price list atau setiap discount yang diberikan kepada pelanggan harus disetujui oleh pejabat yang berwenang. 4. Diadakannya sub buku besar piutang atau kartu piutang (account receivable subledger card) untuk masing-masing pelanggan yang selalu di update. 5.
Setiap akhir bulan dibuat aging schedule piutang (analisa umur piutang). 17
6. Setiap akhir bulan jumlah saldo dari masing-masing pelanggan dibandingkan (direconcile) dengan jumlah saldo piutang menurut buku besar. 7. Setiap akhir bulan dikirimkan monthly statement of account kepada masing-masing pelanggan. 8. Uang kas, check atau giro yang diterima dari pelanggan harus disetor dalam jumlah seutuhnya paling lambat keesokan harinya. 9. Mutasi kredit diperkirakan piutang (buku besar dan sub buku besar) yang berasal dari retur penjualan dan penghapusan piutang harus diotorisasi oleh pejabat perusahaan yang berwenang. 10. Setiap pinjaman yang diberikan kepada pegawai, direksi, pemegang saham, dan perusahaan afiliasi harus diotorisasi oleh pejabat perusahaan yang berwenang, didukung oleh bukti-bukti yang lengkap dan dijelaskan apakah dikenakan bunga atau tidak”. Menurut Arrens dan Loebbecke yang diterjemahkan oleh Jusuf, A.A (2003:363), pengendalian intern penjualan, meliputi kegiatan-kegiatan seperti: 1. Pencatatan penjualan didukung oleh dokumen pengiriman yang diotorisasi dan order pelanggan disetujui. 2. Faktur penjualan prenumbered dan dipertanggungjawabkan dengan semestinya. 3. Rekening bulanan dikirim ke pelanggan; keluhan mendapatkan tindak lanjut yang independen. 4. Dokumen pengiriman prenumbered dan dipertanggungjawabkan. 5. Faktur penjualan prenumbered dan dipertanggungjawabkan. 6. Penentuan harga, syarat penjualan dan potongan harga mendapat persetujuan sebagaimana mestinya. 18
7. Verifikasi intern atas penyiapan faktur. 8. Penggunaan bagian akun yang memadai. 9. Telaah dan verifikasi intern. 10. Prosedur yang diperlukan untuk penagihan dan pencatatan penjualan setiap hari sedikit mungkin dari saat kejadian. Pengendalian intern piutang usaha, meliputi kegiatan-kegiatan seperti: 1. Memeriksa dokumen sebelum tagihan dikirim ke pelanggan. 2. Membandingkan total dari berkas induk piutang usaha dengan akun buku besar. 3. Pengujian terinci atas saldo penting untuk menetukan keberadaan piutang usaha yang dicatat adalah konfirmasi saldo pelanggan. 4. Piutang usaha dicatat sebesar jumlah yang dapat direalisir (nilai realisasi). 5. Piutang usaha diperhitungkan dengan cepat. 6. Transaksi piutang yang terjadi dicatat dalam periode yang sesuai.
II.4
Penjualan, Piutang, dan Penerimaan Kas
II.4.1 Pengertian Penjualan IAI dalam SAK (2009) menuliskan, ”Penjualan barang meliputi barang yang diproduksi perusahaan untuk dijual dan barang yang dibeli untuk dijual kembali seperti barang dagang yang dibeli pengecer atau tanah properti lain yang dibeli untuk dijual kembali. Menurut Drebin yang diterjemahkan oleh Saragih, Sinaga dan Saat (2006:158) menyatakan, ”Penjualan Konsinyasi adalah penyerahan fisik barang-barang oleh pihak pemilik kepada pihak lain yang bertindak sebagai agen penjual, secara hukum dapat
19
dinyatakan bahwa hak atas barang-barang tersebut tetap berada di tangan pemilik sampai barang-barang ini dijual oleh pihak agen penjual”. Pihak yang memiliki barang disebut konsinyor (consignor), sedangkan pihak yang mengusahakan penjualan barang disebut konsinyi (consignee), faktor (factor), atau pedagang komisi (commission merchant). Adapun keuntungan-keuntungan dari penjualan konsinyasi bagi kedua pihak sebagai berikut: 1. Bagi pihak konsinyor a. Untuk memperluas daerah pemasaran, terutama jika: a) barang itu merupakan barang diintroduksir dan permintaan akan produk tidak diketahui. b) penjualan tahun lalu tidak menguntungkan bagi agen penjualan. c) barang itu mahal. d) fluktuasi harga atau produk tidak tahan lama. b. Konsinyor dapat memperoleh spesialis penjualan. Imbalan ini untuk jasa seperti ini hanya berupa komisi, yang dapat persentase harga jual atau dapat juga berupa jumlah yang tetap untuk setiap unit yang terjual. c. Harga jual eceran barang konsinyasi dapat dikendalikan oleh pihak konsinyor yang masih menjadi pemilik barang tersebut. 2. Bagi pihak konsinyi a. Pihak konsinyi terlepas dari resiko kegagalan dari barang itu atau resiko penjualan dengan rugi, faktor ini sangat penting bagi produk baru. b. Risiko kerusakan fisik dan fluktuasi harga dapat dihindari 20
c. Kebutuhan modal kerja berkurang, karena penetapan harga pokok persediaan barang konsinyasi dilakukan oleh pihak konsinyor. Karena keuntungan yang diperoleh sangat bermanfaat bagi kedua pihak maka keuntungan tersebut dijadikan alasan untuk mengadakan atau mengembangkan kebijaksanaan penjualan konsinyasi.
II.4.2 Pengendalian Intern atas Penjualan Menurut Mulyadi (2001:220), ”unsur pengendalian intern dalam sistem penjualan terdiri dari: a. Organisasi 1. Fungsi penjualan harus terpisah dari fungsi kredit. 2. Fungsi akuntansi harus terpisah dari fungsi penjualan dan fungsi kredit. 3. Fungsi akuntansi harus terpisah dari fungsi kas. 4. Transaksi penjualan kredit harus dilaksanakan oleh fungsi penjualan, fungsi kredit, fungsi pengiriman, fungsi penagihan, dan fungsi akuntansi. b. Sistem otorisasi dan prosedur pencatatan. 5. Penerimaan order dari pembeli diotorisasi oleh fungsi penjualan dengan menggunakan formulir surat order pengiriman. 6. Persetujuan pemberian kredit diberikan oleh fungsi kredit dengan membubuhkan tanda tangan pada credit copy (tembusan surat order pengiriman). 7. Pengiriman barang kepada pelanggan diotorisasi oleh fungsi pengiriman dengan cara menandatangani dan membubuhkan cap “sudah dikirim” pada copy surat order pengiriman.
21
8. Penetapan harga jual, syarat penjualan, syarat pengangkutan barang, dan potongan penjualan berada di tangan Direktur Pemasaran dengan penerbitan surat keputusan mengenai hal tersebut. 9. Terjadinya piutang diotorisasi oleh fungsi penagihan dengan membubuhkan tanda tangan pada faktur penjualan. 10. Pencatatan ke dalam kartu piutang dan ke dalam jurnal penjualan, jurnal penerimaan kas, dan jurnal umum otorisasi oleh fungsi akuntansi dengan cara memberikan tanda tangan pada dokumen sumber (faktur penjualan, bukti kas masuk, dan memo kredit). 11. Pencatatan terjadinya piutang didasarkan pada faktur penjualan yang didukung dengan surat order pengiriman dan surat muat. c. Praktik yang sehat 12. Surat
order
pengiriman
bernomor
urut
tercetak
dan
pemakaiannya
dipertanggungjawabkan oleh fungsi penjualan. 13. Faktur
penjualan
bernomor
urut
tercetak
dan
pemakaiannya
dipertanggungjawabkan oleh fungsi penagihan. 14. Secara periodik fungsi akuntansi mengirim pernyataan piutang (account receivable statement) kepada setiap debitur untuk menguji ketelitian catatan dan piutang yang diselenggarakan oleh fungsi tersebut. 15. Secara periodik diadakan rekonsiliasi kartu piutang dengan rekening kontrol piutang dalam buku besar.
22
II.4.3 Siklus Penjualan Arens dan Loebbecke yang diterjemahkan Jusuf A.A (2003:359) menyatakan, “Pemahaman atas fungsi yang terdapat dalam organisasi klien atas siklus penjualan adalah bermanfaat untuk memahami bagaimana pelaksanaan audit dalam siklus ini. Fungsi dalam siklus penjualan adalah sebagai berikut: a. Pemrosesan pesanan pelanggan Permintaan barang oleh pelanggan merupakan titik awal keseluruhan siklus. Penerimaan order pelanggan akan menghasilkan order penjualan. b. Persetujuan penjualan secara kredit Sebelum barang dikirimkan, seseorang berwenang dalam perusahaan harus menyetujui penjualan secara kredit ke pelanggan atas penjualan kredit tersebut. Praktik yang lemah dalam persetujuan penjualan secara kredit seringkali menyebabkan besarnya piutang tak tertagih cukup besar dan piutang usaha menjadi tidak tertagih. c. Pengiriman barang Kebanyakan perusahaan mengakui penjualan saat barang dikirimkan. Nota pengiriman disiapkan pada saat pengiriman dan dokumen pengiriman diperlukan untuk kepastian untuk penagihan atas pengiriman ke pelanggan. d. Penagihan ke pelanggan dan pencatatan penjualan Aspek terpenting dari penagihan adalah menyakinkan bahwa seluruh pengiriman diperlukan untuk kepantasan penagihan atas pengiriman ke pelanggan mencakup pembuatan faktur penjualan rangkap dan secara simultan memuktahirkan berkas transaksi penjualan dan berkas induk piutang usaha.
23
e. Pemrosesan dan pencatatan penerimaan kas Dalam pemrosesan dan pencatatan penerimaan kas, perhatian utama adalah memungkinkan dicuri sebelum penerimaan kas dicatat. Pertimbangan utama dalam penerapan penerimaan kas adalah seluruh kas disetor ke bank dalam jumlah yang benar dengan tepat waktu dan dicatat diberkas termasuk penerimaan kas, yang digunakan untuk membuat jurnal penerimaan kas memperbaharui berkas induk piutang usaha. f. Pemrosesan dan pencatatan retur penjualan dan pengurangan harga penjualan Kalau pelanggan merasa tidak puas dengan barang yang diterimanya, bagian penjualan sering kali menerima pengembalian barang dan kemudian diberikan pengurangan harga retur dan pengurangan harga penjualan dan berkas induk piutang usaha. g. Penghapusan piutang tak tertagih Penghapusan piutang tak tertagih terjadi ketika perusahaan berkesimpulan bahwa suatu jumlah akan tidak tertagih lagi, maka jumlah tersebut harus dihapuskan dan biasa ini terjadi setelah pelanggan pailit dan piutang dialihkan ke agen penagihan. h. Penyisihan piutang tak tertagih Penagihan piutang tak tertagih merupakan gambaran dari penjualan periode sekarang yang diperkirakan tidak dapat ditagih di masa depan”.
II.4.4 Tujuan Audit Operasional Atas Penjualan Menurut Arrens dan Loebbecke, yang diterjemahkan oleh Jusuf, A.A (2003:379).” Tujuan audit penjualan, sebagai berikut:
24
1. Penjualan yang tercatat adalah untuk pengiriman aktual yang dilakukan kepada pelanggan non fiktif (keberadaan). 2. Penjualan yang ada telah dicatat (kelengkapan). 3. Penjualan yang tercatat adalah untuk jumlah barang yang dikirim dan ditagih serta dicatat dengan benar (akurasi). 4. Transaksi penjualan diklasifikasikan dengan pantas (klasifikasi). 5. Penjualan dicatat dengan waktu yang tepat (tepat waktu). 6. Transaksi penjualan dimasukkan dengan pantas dalam berkas induk dan diikhtisarkan dengan benar (posting dan pengiktisaran).”
II.4.5 Piutang Menurut Budileksmasa, A. (2008), ”Piutang adalah klaim kepada pihak lain atas uang barang atau jasa yang dapat diterima dalam waktu 1 tahun atau dalam satu siklus kegiatan perusahaan. Piutang usaha adalah piutang yang timbul dari transaksi penjualan barang atau jasa dalam kegiatan normal perusahaan”. Karmawan, Yanti, Sugiarto, dan Wijaya (2005:55), ”Piutang dagang adalah tagihan perusahaan kepada pihak lain tanpa disertai perjanjian secara tertulis yang timbul karena penjualan kredit”.
II.4.6 Tujuan Audit Operasional Atas Piutang Usaha Menurut Arrens dan Loebbecke (2003:434), yang diterjemahkan oleh Jusuf, A.A, tujuan audit piutang usaha dibagi menjadi sembilan, antara lain:
25
1. Piutang usaha pada neraca saldo menurut umur cocok dengan jumlah pada file master dan jumlah total telah ditambahkan dengan tepat dan cocok dengan buku besar (rincian–rincian cocok). 2. Piutang usaha yang dicatat adalah ada (keberadaan). 3. Piutang usaha yang ada telah dimasukkan semuanya (kelengkapan). 4. Piutang usaha secara mekanis adalah akurat. 5. Piutang usaha diklasifikasikan dengan tepat. 6. Piutang usaha dicatat dalam periode (pisah batas) yang sesuai. 7. Piutang usaha dinilai dengan memadai pada nilai yang dapat direalisir. 8. Piutang usaha benar-benar sah dimiliki klien. 9. Penyajian dan pengungkapan piutang usaha adalah memadai (penyajian dan pengungkapan).
II.4.7 Kas Menurut Dunia, A. (2008:125) menyatakan, ”Kas (cash) adalah aset perusahaan yang paling likuid dan karena itu dicantumkan pada urutan aset yang pertama dalam kelompok aset lancar. Yang dimaksud dengan kas adalah uang kas yang ada di perusahaan dan uang yang disimpan di bank, yang siap dan bebas dipergunakan untuk membiayai kegiatan umum perusahaan. Unsur-unsur yang dapat dianggap sebagai kas adalah: a.
Rekening giro di bank
b.
Cek-cek tunai yang diterima
c.
Pos Wesel
d.
Traveler’s check 26
e.
Uang kas perusahaan (rupiah dan koin)
II.4.7 Tujuan Audit Operasional Atas Kas Menurut Mulyadi (2002:374), tujuan diadakannya audit atas kas, adalah: 1. Memperoleh keyakinan tentang keandalan catatan akuntansi yang bersangkutan dengan kas. 2. Membuktikan keberadaan kas dan keterjadian transaksi yang berkaitan dengan kas yang dicantumkan di neraca. 3. Membuktikan kepemilikan klien atas kas yang dicantumkan di neraca. 4. Membuktikan kewajaran penilaian kas yang dicantumkan di neraca. 5. Membuktikan kewajaran penyajian dan pengungkapan kas di neraca.
27