28
BAB II LANDASAN TEORI
2.1
Supply Chain Management 2.1.1
Pengertian SCM Kompetisi yang terjadi antar perusahaan akhir-akhir ini dapat dikatakan tidak hanya sangat ketat, namun juga terjadi persaingan dengan perusahaan yang berasal dari berbagai negara. Hal ini diakibatkan oleh globalisasi dan “pemaksaan” ekonomi pasar bebas yang dilakukan oleh organisasi-organisasi dunia seperti WTO (World Trade Organization), AFTA (Asean Free Trade Area), APEC (AsiaPasific Economic Cooperation), dan sebagainya dimana diharuskan untuk melakukan penghapusan berbagai hal yang menghalangi kompetisi pasar seperti bea masuk, proteksi, dan subsidi pemerintah. Sehingga
perusahaan-perusahaan
berlomba-lomba
untuk
mencari
penyelesaian untuk tetap hidup, bertahan, dan berkembang, dan tetap mempertahankan pangsa pasar mereka. Supply Chain (rantai pengadaan) adalah suatu sistem yang berupa jaringan organisasi dari sebuah perusahaan untuk menyalurkan barang produksi dan jasanya kepada para pelanggannya hingga ke tangan pemakai terakhir. Konsep lama yang dimiliki mengenai SCM ini hanya melihat logistik sebagai persoalan intern masing-masing
29
perusahaan, dan pemecahannya dititikberatkan pada pemecahan persoalan secara intern di perusahaan masing-masing. Namun sekarang permasalahan logistik dilihat sebagai permasalahan yang lebih luas yang terbentang sangat panjang sejak bahan dasar sampai barang jadi yang dipakai konsumen akhir. Tujuan diadakannya perancangan SCM ini adalah untuk memecahkan perbatasan-perbatasan antar perusahaan yang memisah-misahkan pelaku pengadaan barang atau jasa, dan memecahmecah pula daya kemampuannya untuk meningkatkan efisiensi. Dengan melakukan analisa keseluruhan proses, dari initial supply sampai ultimate consumption, dapat diperoleh keuntungan-keuntungan dari Supply Chain, sebagai berikut : 1. Mengurangi inventory barang 2. Menjamin kelancaran penyediaan barang 3. Menjamin mutu
Istilah SCM pertama kali dikemukakan oleh Oliver dan Weber pada tahun 1982(cf. Oliver & Weber, 1982; Lambert et al. 1998). Supply Chain adalah jaringan fisiknya, yakni perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam memasok bahan baku, memproduksi barang, maupun mengirimkannya ke pemakai akhir, sedangkan SCM adalah metode, alat, atau pendekatan pengelolaannya. Jadi, Supply Chain management tidak hanya berorientasi pada urusan internal sebuah perusahaan,
30
melainkan urusan eksternal yang menyangkut hubungan dengan perusahaan-perusahaan partner. Semangat kolaborasi dan koordinasi dilandasi oleh kuatnya sebuah Supply Chain yang bergantung pada kekuatan seluruh elemen yang ada di dalamnya. SCM yang baik bisa meningkatkan kemampuan bersaing bagi Supply Chain secara keseluruhan, namun tidak menyebabkan satu pihak berkorban dalam jangka panjang. Menurut Cohen dan Roussel (2005) terdapat empat kriteria SCM sehingga dapat dikatakan sukses yaitu : 1. Sesuai dengan strategi bisnis Kriteria ini berhubungan dengan biaya, inovasi, pelayanan, dan kualitas. Penentuan strategi bisnis ini diawali dengan membuat visi dari perusahaan. SCM yang sukses haruslah mendukung tercapainya visi tersebut., yang berarti SCM harus dirancang mengikutinya. Visi sendiri ditetapkan setelah mempertimbangkan faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi: kompetensi inti perusahaan, kebijakan bisnis, dan sasaran keuangan. Sedangkan faktor eksternal meliputi: ukuran pasar, peta persaingan, dan kebutuhan konsumen. Penjelasan mengenai keempat faktor yang berhubungan dengan strategi bisnis akan terlihat pada tabel 2.1
31
Tabel 2.1 Empat Faktor Penting dalam Strategi Bisnis Strategi Utama
Biaya
Inovasi
Pelayanan
Mutu
Sumber Keunggulan
Basis Kompetisi
Efisiensi biaya
Harga termurah di
produksi
kelasnya
Unik teknologi dan merek Pelayanan prima
Kunci Keberhasilan Efisien infrastruktur dan moda
Produk inovasi
Ketepatan waktu
Sesuai dengan keinginan
Rancang SCM
khusus konsumen
secara khusus
Keamanan dan
Produk dan dapat
keandalan produk
diandalkan
Pengendalian mutu dalam SCM (traceability)
(Sumber Tabel : Ilham Said, Andi, Bayu A. Soedjarwo, dkk, 2006, Produktifitas dan efisiensi dengan Supply Chain Management, PPM.)
2. Sesuai dengan kebutuhan konsumen Satu hal yang paling prinsip dalam SCM secara keseluruhan adalah bahwa satu-satunya elemen dalam SCM yang mengeluarkan uang adalah konsumen. Distributor, dealer, pabrik, gudang, hingga pemasok pada dasarnya hanya menikmati beberapa persen bagian dari selisih harga jual di konsumen dengan biaya barang. Sehingga memastikan apa yang diinginkan konsumen akhir sangatlah diperlukan. Selanjutnya perlu juga mengenali lebih lanjut mengenai kebutuhan konsumen untuk masing-masing segmen dan
32
produk tertentu. Secara berkala keinginan konsumen juga harus dipantau karena ada kemungkinan terjadi pergeseran.
3. Sesuai dengan power position SCM merupakan sebuah permainan daya tawar dan kekuatan. Untuk mencapai sebuah kesuksesan sebuah perusahaan tidak dapat memperolehnya tanpa bekerja sama dengan perusahaan lain. Kerjasama sama yang dilakukan dapat dalam berbagai bentuk, dan dapat dilakukan dengan perusahaan yang sama besarnya, lebih besar, atau lebih kecil. Perusahaan yang dapat dikategorikan sukses adalah perusahaan yang bisa menjaga keseimbangan di seluruh rantai pasok SCM.
4. Adaptif SCM haruslah beradaptasi dengan situasi bisnis yang dinamis dan selalu berubah. Perubahan teknologi, lingkungan bisnis, basis kompetisi, dan terjadinya akusisi bisa mempengaruhi rancangan
SCM
secara
mendasar.
Perubahan
lain
yang
membutuhkan SCM beradaptasi adalah perubahan lingkup usaha (seperti pada perusahaan makanan pembuatan produk dibuat kebijakan untuk diberikan komposisinya sehingga dapat dibuat langsung oleh cabang), masuk keluarnya kompetitor (seperti dengan
33
melakukanm pembukaan outlet-outlet khusus, penentuan distributror sendiri), dan terjadinya akusisi maupun merger.
Untuk mencapai keempat kriteria sukses di atas., Cohen dan Roussel (2005) mengusulkan lima hal, yang dapat disebut sebagai Five road to success in SCM yang terdiri dari : 1. View SCM as a Strategic Asset Dalam hal ini SCM diposisikan sebagai alat bersaing strategik bagi perusahaan sehingga perlu diperhatikan oleh seluruh organisasi dan seirama dengan strategi bisnis organisasi. Untuk menjadikan SCM asset strategik perusahaan perlu mempersiapkan lima strategi (Cohen and Roussel, 2005), yaitu : •
Operation Strategy Pilihan strategi operasi mencakup strategi make to stock (membuat produk terlebih dahulu sebelum dijual), configure to order (adanya konfirmasi terlebih dahulu mengenai pembelian, baru produk akan dibuat, bedanya dengan make to order, disini produk setengah jadinya yang bersifat standard dan massal sudah dibuat terlebih dahulu, biasanya juga disebut sebagai Mass-Customization), make to order (kebalikan dari make to stock) , dan engineer to order (bentuk yang lebih kompleks dari
34
make to order, karena di sini bahkan desain pun masih perlu dipesan tersendiri, biasanya digunakan untuk produk berbentuk proyek). Pada tabel 2.2 menggambarkan kapan sebaiknya masing-masing strategi operasi itu dipilih dan bagaimana strategi SCM-nya yang sesuai.
Tabel 2.2 Strategi Operasi vs Strategi SCM Strategi Operasi
Dipilih untuk Produk standar yang
Pelayanan
dijual dalam volume besar
Produk sesuai pesanan Make to Order
konsumen, pesan ulang masih mungkin
Strategi SCM SCM seefisien mungkin, standarisasi metode dan alat frekuensi dan lot size optimal, EOQ, ROP SCM responsif, target ketepatan waktu sangat penting. Variasi metode dan alat perlu
tapi frekuensi kecil
dipersiapkan
Produk Standar yang
Dari pabrik ke outlet
Cofigure to
produk akhirnya
adalah SCM efisien, dari
Order
disesuaikan dengan
outlet ke konsumen SCM
keinginan konsumen
responsif
Produk kompleks dan
SCM responsif. Metode
unik untuk keperluan
alat perlu negosiasi dan
konsumen tertentu
kontrak khusus
Engineer to Order
(Sumber Tabel : Ilham Said, Andi, Bayu A. Soedjarwo, dkk, 2006, Produktifitas dan efisiensi dengan Supply Chain Management, PPM.)
35
•
Channel Strategy Pada pilihan strategi ini mempunyai fokus pada cara untuk mendistribusikan produk ke tangan konsumen, yaitu dengan melakukan pemilihan pola distribusi (langsung atau melalui distributor), moda transportasi (darat, laut, udara), dan metode pengiriman (dalam jumlah dan frekuensi pengiriman) yang tepat. Dasar
pengambilan
keputusannya
adalah
menyesuaikan
kebutuhan per segmen pasar dan letak geografis.
•
Outsourcing Strategy Strategi ini memiliki pertimbangan utama yaitu membuat keputusan untuk membeli (buy) atau membuat (make). Untuk meningkatkan tingkat efisien dan efektif dari kinerja perusahaan ada beberapa perusahaan yang menggunakan pihak luar (outsourcing). Namun sebelum menyerahkan sebagian proses operasi atau SCM ke pihak luar, perusahaan juga harus mempertimbangkan untuk tidak melakukan outsourcing pada proses yang merupakan keunggulan utama sekaligus keunikan perusahaan, bila perusahaan itu sendiri masih tersedia cukup kapasitas dan kapabilitas, dan bila nantinya hanya akan menjadi prioritas terakhir karena lingkup bisnis mitranya terlalu besar.
36
•
Customer Service Strategy Strategi ini terus memperhatikan seberapa besar tingkat pelayanan yang seharusnya diberikan sesuai dengan segmentasi dan kontribusinya. Strategi ini diterapkan melalui pemetaan secar jelas mengenai high-value customers, tingkat pelayanan yang dibutuhkan, permasalahan yang sering muncul, cara mengatasi dan menyelesaikan permasalahan tersebut.
•
Asset Network Pada strategi ini memfokuskan pada jaringan asset yang harus dikendalikan oleh perusahaan. Beberapa faktor penting yang perlu dipertimbangkan antara lain: ukuran bisnis, customer service level, peraturan pajak dan ketenagakerjaan, ketersediaan pemasok, infrastruktur, keahlian, dan sebagainya.
Terdapat tiga model jaringan yang dapat dipilih: ¾ Global model Satu produk diproduksi di satu negara untuk seluruh dunia, biasanya dilakukan bila Research and Development-nya
37
dilakukan terpusat sedangkan produksinya membutuhkan investasi yang sangat besar.
¾ Regional model Satu produk dibuat secara regional untuk juga dipasarkan secara regional. Ini dipakai terutama bila bahan baku dan keahlian tenaga kerja tersebar, sementara pasarnya juga tersebar.
¾ Country model Dimana produk dibuat di satu negara untuk dipasarkan ke negara yang bersangkutan. Biasanya dilakukan dilakukan bila biaya pengiriman dalam bentuk produk jadi terlalu tinggi.
2. Effective End-to-End Process Architecture Membangun rancangan SCM secara integrasi mulai dari pemasok terujung hingga konsumen terakhir.
38
3. Powerful Organization Struktur organisasi SCM haruslah menjadi bagian terintegrasi dari organisasi secara keseluruhan, tanggung jawab peran jelas, dan diisi oleh personel yang kompeten.
4. Right Collaborative Model Perusahaan perlu membangun pola-pola kerjasama yang bersifat jangka panjang, secara cerdas dan seimbang. Dengan kolaborasi perusahaan bisa lebih cepat memasuki pasar yang baru, lebih fleksibel, dan dapat memanfaatkan teknologi maupun tenaga akhli yang tidak dimiliki.
5. Metrics to manage performance Untuk memastikan tercapainya sasaran SCM, maka diperlukan alat pantau yang bisa mengukur kinerja seluruh rantai SCM. Pengukuran kinerja supply chain yang benar akan mendorong perusahaan meningkatkan kinerja supply chain mereka. Dengan pengukuran yang baik perusahaan akan mengetahui apa yang bisa dihemat dan berapa jumlahnya serta hal apa saja yang perlu diperbaiki. Perusahaan yang baik biasanya memiliki SOP yang baik. Mereka memiliki sistem yang terintegrasi satu dengan lainnya. Standard
39
operating procedure (SOP) yang baik sangat penting untuk memecahkan permasalahan penjualan, produksi, dan logistik.
2.1.2
Area cakupan SCM Kegiatan-kegiatan utama yang masuk dalam klasifikasi SCM biasanya tercermin dalam bentuk pembagian departemen atau divisi pada perusahaan manufaktur. Pembagian tersebut sering dinamakan functional division karena mereka dikelompokkan sesuai dengan fungsinya. Umumnya sebuah perusahaan manufaktur akam mempunyai bagian
pengembangan
produk,
bagian
pembelian
atau
bagian
pengadaan, bagian produksi, bagian perencanaan produksi dan bagian pengiriman atau distribusi barang jadi. Tabel 2.3 menguraikan lebih lanjut mengenai klasifikasi ini serta beberapa contoh kegiatan yang biasanya dilakukan oleh masing-masing bagian.
Tabel 2.3 Empat Klasifikasi Utama SCM Bagian
Cakupan kegiatan yang dilakukan Departemen ini akan melakukan riset pasar, membuat rancangan produk baru,
Pengembangan Produk
dan melibatkan supplier yang sudah menjadi rekan dalam merancang produk baru
40
Bagian
Cakupan kegiatan yang dilakukan Departemen ini yang akan melakukan pemilihan supplier, mengevaluasi kinerja supplier, melakukan
Pengadaan
pembelian bahan baku dan komponen untuk produksi, memonitor supply risk, membina dan memelihara hubungan dengan para supplier
Perencanaan dan
Departemen ini akan melakukan demand planning,
Pengendalian
peramalan akan permintaan, perencanaan kapasitas, perencanaan produksi dan persediaan
Operasi / Produksi
Departemen ini akan melakukan eksekusi produksi dan pengendalian kualitas produk
Pengiriman / Distribusi
Departemen ini melakukan perencanaan jaringan distribusi, penjadwalan pengiriman, mencari dan memelihara hubungan dengan perusahaan jasa pengiriman, memonitor service level di tiap pusat distribusi.
(Sumber Tabel : Ilham Said, Andi, Bayu A. Soedjarwo, dkk, 2006, Produktifitas dan efisiensi dengan Supply Chain Management, PPM.)
2.1.3
Model Supply Chain Salah satu faktor kunci untuk mengoptimalkan supply chain adalah dengan menciptakan alur informasi yang bergerak secara mudah dan akurat diantara jaringan atau mata rantai tersebut, dan pergerakan
41
barang yang efektif dan efisien yang dapat menghasilkan kepuasan yang maksimal terhadap konsumen. Model supply chain sudah dikembangkan dengan cukup baik pada tahun 1994 oleh A.T. Kearney. Dalam ilustrasi tersebut, suppliers’ suppliers telah dimasukkan untuk menunjukkan hubungan yang lengkap dari sejumlah perusahaan atau organisasi yang secara bersama-sama mengumpulkan atau mencari, mengubah, dan mendistribusikan barang dan jasa kepada konsumen akhir. Dua konsep yang banyak digunakan dan dikembangkan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pergerakan barang, yaitu : 1. Mengurangi jumlah supplier •
Konsep ini bertujuan untuk mengurangi ketidakseragaman, biaya-biaya negosiasi, dan pelacakan (tracking).
•
Konsep ini merupakan perubahan yang dilakukan dari konsep multiple supplier ke single supplier.
2. Mengembangkanm supplier partnership atau strategic alliance •
Konsep ini beranggapan dengan supplier partnership, key supplier untuk barang / produk tertentu merupakan strategic sources yang diandalkan dan dapat menjamin lancarnya pergerakan barang dalam supply chain.
42
•
Konsep ini selalu diterapkan sejajar dengan konsep perbaikan yang dilakukan terus-menerus dalam biaya dan mutu barang.
Model ini dapat disebut the Interprise Supply Chain Model. Model ini merupakan suatu mata rantai supply, yang dinamakan juga “model empat langkah” (the four step model), yang terdiri dari unsurunsur : 1. suppliers (dan sub-suppliers atau supliers’ suppliers); 2. manufacturers (plant, yang terdiri dari beberapa unit); 3. distributor (terdiri dari distribution center, wholesaler, dan sebagainya); 4. retailers (yang sangat banyak jumlahnya).
2.1.4
Manajemen Transportasi dan distribusi Pada proses SCM tidaklah lepas dari jaringan distribusi dan transportasi. Jaringan distribusi dan transportasi ini memungkinkan produk pindah dari lokasi. Kemampuan untuk mengirimkan produk ke pelanggan secara tepat waktu, dalam jumlah yang sesuai dan dalam kondisi yang baik sangat menentukan apakah produk tersebut pada akhirnya akan kompetitif di pasar. Perkembangan teknologi dan inovasi dalam
manajemen
distribusi
memungkinkan
perusahaan
untuk
menciptakan kecepatan waktu kirim serta efisiensi yang tinggi dalam
43
jaringan
distribusi.
Teknologi
penyimpanan,
barcoding,
ASRS
(Automatic Storage and Retrieval System), RFID (Radio Frequency Identification) adalah sebagian dari teknologi yang dapat digunakan untuk mempermudah operasi distribusi produk. Demikian juga teknikteknik yang inovatif seperti crosssdocking, flow through distribution, dan penggunaan 3PL (jasa logistik pihak ketiga). Secara umum fungsi distribusi dan transportasi adalah menghantarkan produk dari lokasi di mana produk tersebut diproduksi sampai di mana mereka akan digunakan. Manajemen distribusi dan transportasi pada umumnya melakukan sejumlah fungsi dasar yang terdiri dari: 1. melakukan segmentasi dan menentukan target service level 2. menentukan mode transportasi yang akan digunakan 3. melakukan konsolidasi informasi dan pengiriman 4. melakukan penjadwalan dan penentuan rute pengiriman 5. memberikan pelayanan nilai tambah 6. menyimpan persediaan 7. menangani pengembalian (return)
Dalam manajemen transportasi / pengiriman, kita biasanya membedakan antara pihak yang memiliki barang dan pihak yang melakukan pengiriman. Pemilik barang yang berkepentingan barangnya
44
untuk dikirim biasanya disebut sebagai shipper, sedangkan pihak yang bertugas melakukan pengiriman dinamakan carrier. Beberapa hal yang biasanya dipakai sebagai dasar pertimbangan dalam mengevaluasi mode transportasi, adalah : 1. Dari sudut pengirim atau carier, hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah
biaya-biaya
yang
terlibat,
mulai
dari
biaya
alat
transportasinya sendiri (bisa berupa biaya beli atau sewa alat transportasi), biaya operasional tetap (biaya terminal atau bandara yang besarnya tidak tergantung pada volume barang yang dikirim), biaya overhead dan biaya operasional variabel (seperti biaya bahan bakar) dimana besarnya biaya tergantung pada volume angkut atau jarak yang ditempuh dalam pengiriman.
2. Dari sisi shipper, pertimbangannya bisa didasarkan pada berbagai ongkos yang timbul pada supply chain, termasuk ongkos selain yang terkait langsung dengan transportasi, namun sebagai konsekuensi dari pemilihan mode transportasi tersebut. Kemudian yang juga harus dipertimbangkan adalah biaya persediaan, biaya loadingunloading, dan biaya fasilitas.
45
Secara umum, tiap mode transportasi memiliki keunggulan dan kelemahan tersendiri ditinjau dari berbagai pertimbangan. Salah satu hal penting yang perlu dipertimbangan dalam mengelola kegiatan pengiriman adalah tradeoff antara biaya dengan kecepatan respon dari suatu mode transportasi.
Tabel 2.4 Evaluasi umum berbagai mode transportasi Mode transportasi Volume yang bisa dikirim Fleksibelitas waktu kirim Fleksibelitas rute pengiriman
Truk Sedang
Tinggi
Tinggi
Kereta
Kapal
Sangat
Sangat
banyak
banyak
Rendah
Rendah
Rendah
Tinggi
Sangat
Sangat
Sangat
Sangat
rendah
rendah
rendah
tinggi
Kecepatan
Sedang
Sedang
Rendah
Biaya pengiriman
Sedang
Rendah
Rendah
Sedikit
Banyak
Inventory (in transit)
Sangat banyak
Pesawat Banyak
Sangat tinggi Tinggi
Rendah
Paket Sangat sedikit
Tinggi Sangat tinggi Sangat rendah
(Sumber Tabel : Ilham Said, Andi, Bayu A. Soedjarwo, dkk, 2006, Produktifitas dan efisiensi dengan Supply Chain Management, PPM.)
Salah satu keputusan operasional yang sangat penting dalam manajemen distribusi adalah penentuan jadwal serta rute pengiriman dari atu lokasi ke beberapa lokasi tujuan. Biaya bukanlah satu-satunya faktor yang perlu dipertimbangkan dalam proses pengiriman. Secara
46
umum permasalahan penjadwalan dan penentuan rute pengiriman bisa memiliki beberapa tujuan yang ingin dicapai seperti tujuan untuk meminimumkan biaya pengiriman, meminimumkan waktu, atau meminimumkan jarak tempuh.
2.1.5
Metode Inovatif dalam Manajemen Distribusi Secara tradisional, perusahaan sering menggunakan gudang sebagai tempat penyimpanan produk sebelum ada pesanan dari pelanggan. Setelah ada pesanan, barang yang dipesan akan diambil dari gudang, dikemas, kemudian dikirim. Pada model crossdocking, gudang tidak berfungsi sebagai tempat penyimpan produk, tetapi sebagai tempat transfer barang dari truk pengangkut ke truk penjemput. Barang yang dikirim dari tempat asal sudah dimiliki oleh pemesan sehingga begitu sampai di gudang, petugas akan mengetahui ke truk penjemput mana produk tersebut akan ditransfer. Menurut Gue (2001), model crossdocking menghilangkan dua kegiatan gudang yang paling mahal yaitu kegiatan penyimpanan dan order packing. Jadi, pada model ini gudang tidak melaksanakan dua aktifitas tersebut, tetapi tetap berfungsi sebagai fasilitas penerimaan (receiving) dan pengiriman (shipping). Salah satu keunggulan dari crossdocking adalah waktu tempuh yang pendek bagi barang-barang yang dikirim. Gue (2001) menyatakan bahwa produk yang tepat ditangani dengan crossdocking adalah yang
47
variasiny a sedikit dan volume kebutuhanny a bany ak. Oleh karena itu, p ada model crossdocking, p emesan harus sudah memiliki firm order (p emesan definitif) beberapa hari sebelu m jadwal p engiriman.
Gambar 2.1 Ilustrasi Crossdocking p ada Bisnis Ritel
2.1.6 M onitoring Pen giriman Pada saat pengiriman dilakukan, p erusahaan p engirim maup un p emesan seharusny a bisa melacak p osisi baran g dalam perjalanan serta men gevaluasi ap akah kiriman bisa samp ai tep at waktu sesuaijadwal atau tidak. Informasi ini sangat p enting diketahui oleh kedua belah p ihak sehingga bisa d ilakukan p roses p engendalian secara d ini. Proses monitoring atau p elacak an ini membutuhkan teknologi yang bisa secara real time melap orkan p osisi barang setiap saat. Teknologi ini b isa
48
meliputi komunikasi radio, satelit, barcoding, intelligent messaging, dan sebagainya. Banyak manfaat yang bisa diberikan dengan pemakaian teknologi yang tepat dalam memonitor proses pengiriman. Beberapa manfaat tersebut adalah: 1. Perusahaan pengiriman bisa melakukan pemetaan posisi geografis armada mereka dalam suatu trek peta elektronik. 2. Terjadi pengurangan waktu pengiriman karena dimungkinkan melakukan perubahan rute untuk menghindari kemacetan / blockages. 3. Bisa melakukan perubahan tujuan atau tempat koleksi apabila terjadi perubahan dan perubahan tersebut dianggap penting dan mendesak. 4. Perusahaan pengirim maupun pemesan bisa mendapatkan kepastian yang lebih tinggi terhadap kedatangan barang. Apabila ada tandatanda keterlambatan, pemesan mungkin bisa mengambil tindakan alternatif berupa memesan mendadak atau perubahan jadwal produksi.
2.2 Latar belakang berkembangnya Fuzzy Konsep yang banyak dipelajari sekarang ini adalah konsep ketidakpastian (uncertainty). Model ini digunakan untuk mendekatkan suatu model yang dibuat agar dapat mengetahui dan mendekati kondisi riil dalam
49
kenyataan. Ketidakpastian memiliki peran yang penting dalam memaksimasi kegunaan dari model suatu sistem, tetapi secara umum, semakin banyak kita mentolerir ketidakpastian, maka akan semakin cenderung berkurangnya kompleksitas dan semakin meningkat kredibilitas model yang dihasilkan. Sejak tahun 1960an, para ilmuwan semakin menyadari bahwa teori probabilitas hanya dapat
merepresentasikan
hanya
satu
bentuk
ketidakpastian.
Melalui
makalahnya, Lotfi A. Zadeh tahun 1965 menawarkan sebuah teori mengenai himpunan fuzzy, suatu objek yang tidak memiliki keanggotaan dengan batasan yang tidak presisi. Keanggotaan dalam sebuah himpunan fuzzy bukan suatu affirmation atau denial, tetapi lebih ke arah derajat keanggotaan (degree).
2.3
Pengertian bilangan fuzzy Bilangan fuzzy (fuzzy number) merupakan sebuah bilangan yang memiliki precise value yang tidak pasti. Sebuah bilangan fuzzy sering dideskripsikan dengan menggunakan kata-kata seperti ‘kira-kira’, ‘kurang lebih’, ‘sekitar’, dan sebagainya. Bilangan fuzzy sebenarnya merupakan sebuah himpunan fuzzy yang didefinisikan dalam himpunan bilangan real R. Fungsi keanggotaan (membership function) dari himpunan ini, yang memiliki bentuk A: R-Æ [0,1], dapat dipandang sebagai keanggotaan bilangan fuzzy ataupun interval
fuzzy
(fuzzy
interval).
Bilangan
fuzzy
dimaksudkan
untuk
merepresentasikan konsep intuitif mengenai bilangan dan interval secara
50
aproksimatif, seperti ‘bilangan yang dekat dengan sebuah bilangan real tertentu’, atau ‘bilangan di sekitar bilangan real tertentu’. Beberapa jenis bilanan fuzzy dan kasus khususnya dapat terlihat pada gambar 2.4. Gambar tersebut berturut-turut memperlihatkan : (a) sebuah bilangan real biasa, yaitu 1.3 (b) sebuah interval tertutup biasa (crisp interval), yaitu [1.25, 1.35] (c) sebuah bilangan fuzzy dengan ekspresi ‘kira-kira 1.3’ (d) sebuah bilangan fuzzy dengan interval fuzzy
Bilangan fuzzy seperti yang terlihat pada gambar 2.2 c disebut dengan bilangan fuzzy segitiga (triangular fuzzy number), sedangkan bilangan fuzzy seperti terlihat pada gambar 2.2 d disebut dengan bilangan fuzzy trapezoid (trapezoid fuzzy number). Dua bentuk ini merupakan bentuk bilangan fuzzy yang paling sering
digunakan,
keanggotaannya.
karena
cukup
sederhana
dalam
merepresentasikan
51
(Sumber Gambar : J. Klir, George, dan Bo Yuan, 1995, FUZZI SETS AND FUZZY LOGIC : Theory and Applications, Prentice Hall P T R, Upper Saddle River, New Jersey 07458. )
Gambar 2.2 Ilustrasi Bilan gan Real dan Interval Crisp dengan Bilan gan Fuzzy dan Interval Fuzzy
2.4 Metode Defuzzifikasi Tujuan diterap kanny a metode ini ad alah untuk men gkonversi k esimp ulankesimp ulan y ang d idap at dari op erasi-op erasi y ang diterap kan den gan men ggunakan himpunan fuzzy ke dalam bilangan real tunggal agar bisa dilakukan tindak an y ang sesuai. M etode ini dilakukan untuk mengambil kesimp ulan atau keputusan optimum atau y ang terbaik dari berbagai alternatif y ang menjadi p ilihan. Ada beberapa metode defuzzifikasi y ang masin g-masin g men ghasilk an hasil atau keluaran y ang berbeda-b eda, diantarany a metode centroid, metode center of maxima, dan metode mean of maxima.
52
2.4.1
Metode Centroid Pada metode ini, yang sering disebut pula sebagai metode center of gravity atau metode center of area, defuzzied value, dCA(C), merupakan nilai dalam sebuah selang variabel v di mana area di bawah kurva dari fungsi keanggotaan C dibagi menjadi dua sub area yang sama luas. Defuzzified value dapat ditentukan lewat persamaan sebagai berikut : c
d CA (C ) =
∫ C ( z ) zdz
−c c
∫ C ( z )dz
−c
Jika kasus yang dihadapi bersifat diskret, dimana C didefinisikan dalam himpunan semesta terbatas {z1, z2, ..., zn} maka persamaan menjadi n
d CA ( C ) =
∑ C (z k =1
k
)zk
C (zk )
Jika dCA tidak sama dengan salah satu nilai dalam himpunan semesta, maka diambil nilai yang terdekat dengannya. Nilai dari C(zk ) n
∑ C(z k =1
k
)
53
Untuk semua k = 1, 2, ..., n membentuk sebuah distribusi probabilitas yang didapat dari fungsi keanggotaan C dengan transformsi skala-rasio. Sehingga
defuzzified
value
dCA(C)
dapat
ditentukan
dengan
menginterpretasikannya sebagai nilai ekspektasi dari variabel v.
2.4.2
Metode Center of Maxima Pada metode ini, defuzzified value dCM(C), didefinisikan sebagai rataan dari nilai terkecil dan nilai terbesar dari v di mana C(z) adalah height dari C, h(C). Maka dapat dituliskan :
dCM (C ) =
inf M + sup M 2
Di mana M = {z ε [-c,c] ι C(z) = h(C) } Untuk kasus diskret, persamaan di atas menjadi dCM (C ) =
min{z k z k εM } + max{z k z k εM } 2
Dimana M = {zkι C(zk) = h(C) }
2.4.3
Metode Mean of Maxima Pada metode yang biasa digunakan untuk kasus diskret ini, defuzzified value dMM(C), merupakan rataan dari semua nilai dalam himpunan crisp
54
M yang didefinisikan sebagai berikut :
d MM (C ) =
∑z
z k εM
k
M
Pada kasus kontinu, di mana M = {z ε [-c,c] ι C(z) = h(C) }, dMM(C) didefinisikan sebagai nilai rataan aritmatika dari interval yang ada dalam M, termasuk interval dengan panjang nol. Atau, dMM(C) dapat pula didefinisikan sebagai rataan tertimbang dari nilai rataan interval, di mana faktor pembobot dinyatakan sebagai panjang relatif dari interval.
2.5
Analisis Kelayakan Proyek Untuk melakukan pertimbangan di dalam melakukan sebuah proyek maka diperlukan sebuah analisa terlebih dahulu mengenai proyek yang akan dilakukan. Analisa tersebut dinamakan “Analisis Kelayakan Proyek”. Analisis dipilih untuk melakukan analisa ini adalah dengan menggunakan metode NPV. Metode NPV ( Net Present Value) adalah metode dalam penilaian investasi karena mampu mengatasi kelemahan dari metode penilaian yang lain, yaitu memperhatikan nilai waktu dari uang (time value of money)
55
Net Present Value atau nilai sekarang bersih dari suatu investasi didefinisikan sebagai pengurangan dari: PV Cash Inflow PV Cash Outflow
-
NPV
PV Cash Inflow = Jumlah pengembalian dari investasi PV Cash Outflow = Jumlah investasi (yang dikeluarkan untuk investasi)
NPV yang akan dihasilkan pada penelitian ini merupakan NPV fuzzy. Dan untuk perhitungan nilai investasi yang akan dilakukan digunakan rumus A= G(A/G,i%,N)