BAB II LANDASAN TEORI II.1 Konsep Sortasi Dan Gradasi Buah Melon Buah melon yang telah dipanen diangkut kemudian dikumpulkan dalam pasar atau segmen pasar. Tahapan selanjutnya adalah proses penentuan tingkat mutu (gradasi mutu). Buah yang sehat dan utuh dipisahkan dari buah yang cacat fisik maupun buah yang cacat karena gangguan hama dan penyakit. Buah melon yang berkualitas tinggi selanjutnya mengalami gradasi mutu atau tahap pengkelasan. Pada tingkat segmen pasar umumnya mutu buah melon dikelompokkan berdasarkan keseragaman dan bobot buah. Selain berdasarkan keseragaman dan bobot, mutu buah melon seringkali ditentukan berdasarkan derajat kemanisan yag dapat ditentukan berdasarkan uji organoleptik atau menggunakan alat brix-refractometer. Berdasarkan uji organoleptik melon dapat dikelompokkan dalam tiga kategori, yaitu manis, sedang dan tawar. Penilaian mutu dengan cara ini sering memberikan hasil yang sangat beragam karena dipengaruhi oleh sensitivitas penilai (penguji) terhadap rasa manis tersebut. Untuk mengatasi kelemahan uji organopleptik, para pelaku bisnis mulai memanfaatkan suatu alat pengukur derajat kemanisan, yaitu brix-refractometer yang menghasilkan penilaian yang lebih akurat dan seragam. Derajat kemanisan buah melon ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain varietas (Tabel 1), ketinggian cabang tempat buah terbentuk dan umur buah yang dihitung sejak selesai penyerbukan. Kombinasi dua faktor terakhir disajikan dalam Tabel 2. Beberapa karakter buah yang dapat dijadikan indikator kemanisan buah adalah jari-jari (jarak pada jaring terdekat ke tangkai buah), kebulatan, luas dan warna. Dalam penelitian ini dilakukan pengamatan empat ciri yaitu jari-jari daerah tidak berjaring disekitar tangkai buah, kebulatan buah, letak ketinggian buah dan umur buah.
Tabel 1. Data Tingkat Kemanisan yang Berbeda dari Tiap-tiap Varietas Tingkat Kem anisa n Varie ta s Me lon (br ix) Sky Rock et 14 – 16 Silve r Bal l 14 – 17 Sun 15 – 17 Melindo - 3 12 – 13 Autumn S weet 13 – 16 Emerald Jewel 14 - 15 Sumber : Direktorat Tanaman Buah 2004
Pakar melon memiliki standar mutu berdasarkan terbentuknya pola jaring, kekasaran jaring, jarak jaring terakhir yang mendekati stem end (pangkal tangkai buah), keluarnya getah (bleeding) dari pangkal tangkai dan tingkat kebulatan buah melon. Keempat faktor tersebut merupakan dasar yang digunakan oleh pakar melon untuk mengetahui tingkat kemanisan dan mutu buah. Menurut pendapat pakar, melon yang memiliki gradasi yang terbaik adalah melon yang pola jaringnya terbentuk secara penuh, memiliki tingkat kekasaran yang tinggi, jaring yang terbentuk apabila dilihat dari atas mendekati pangkal tangkai, mengalami bleeding lapangan dan tingkat kebulatan buah yang tinggi, dalam arti buah tidak bergelombang atau sedikit bergelombang. Tingkat kemanisan buah melon berdasarkan nilai brix-refractometer dapat ditentukan oleh umur buah dan letak ketinggian cabang tempat dibentuknya buah. Kisaran nilai brix berdasarkan kombinasi umur dan letak ketinggian cabang dikemukakan dalam Tabel 2. Tabel 2. Tingkat Kemanisan(*)Berdasarkan Umur Buah dan Cabang UMUR
CABANG 30
35
40
12
10 < x = 12
12 < x = 14
14 < x = 16
13
8 < x = 10
10 < x = 12
12 < x = 14
14
6<x =8
8 < x = 10
10 < x = 12
Sumber : Adnan (Konsultasi Pribadi) (*) Tingkat kemanisan dinyatakan dalam brix merupakan satuan dari alat yang digunakan yaitu Refractometer
II.2 Pengolahan Citra
Pengolahan citra merupakan proses pengolahan dan analisis citra yang banyak melibatkan persepsi visual (Ahmad 2005). Proses ini mempunyai data masukan dan informasi keluaran yang berbentuk citra. Teknik -teknik pengolahan citra b iasanya melakukan penajaman citra, kompresi citra dan koreksi citra yang tidak fokus. Beberapa penerapan teknik pengolahan citra antara lain : — Computer graphics — Pattern recognition — Artificial intelligence — Psychophysics Sistem visual adalah sebuah proses untuk memperoleh pengukuran atau abstraksi dari sifat-sifat geometri dari citra. Komponen yang membentuk sistem visual adalah komponen geometri, pengukuran dan interpretasi. Proses pembentukan citra terdiri atas dua bagian, yaitu geometri citra dan fisik cahaya (Arymurthy & Suryana 1992). Geometri citra untuk menentukan suatu titik dalam pemandangan yang diproyeksikan pada bidang citra. Sementara itu fisik cahaya untuk menentukan kecerahan suatu titik pada bidang citra sebagai fungsi pencahayaan pemandangan serta sifat-sifat permukaan. Citra masukan diperoleh melalui suatu kamera yang didalamnya terdapat suatu alat digitasi yang mengubah citra masukan yang berbentuk analog menjadi citra digital. Dalam pengambilan citra, hanya citra yang berbentuk digital yang dapat diproses oleh komputer digital. Data citra yang dimasukkan berupa nilai-nilai integer yang menunjukkan nilai intensitas cahaya atau keabuan setiap pixel (piksel). Citra digital, dapat diperoleh secara otomatis dari sistem penangkap citra, membentuk suatu matrik yang elemen-elemennya menyatakan nilai intensitas cahaya pada suatu himpunan diskrit pada titik.
Proses tersebut merupakan bagian terdepan dari suatu sistem pengolahan citra, yang secara diagramatik dikemukakan dalam Gambar 1.
Citra Masukan
Sensor
Pengubah Analog ke Digital
Monitor Peraga
Citra Digital
Komputer Digital
Bingkai Penyimpan Citra
Gambar 1. Sistem Terdepan dari Pengolahan Citra (Arymurty & Suryana 1992).
Alat masukan citra yang digunakan adalah kamera dan Charged Couple Device (CCD) pengolah citra. Sensor citra dari alat ini menghasilkan keluaran berupa citra analog sehingga dibutuhkan proses digitasi dengan menggunakan alat digitasi seperti yang telah disebutkan di atas. Perangkat pengolahan citra terdiri dari perangkat keras dan perangkat lunak (Arymurthy & Suryana 1992). Komponen utama dari perangkat keras pengolahan citra secara digital adalah komputer dan alat peraga. Komputer tersebut bisa dari jenis komputer multi guna (pemakaian sehari-hari untuk kantor maupun dirumah tangga) atau dari jenis khusus yang dirancang untuk pengolahan citra digital. Operasi pada pengolahan citra pada umumnya dilakukan dari piksel ke piksel yang sifatnya paralel. Sistem perangkat keras terdiri dari beberapa sub sistem yaitu sub sistem komputer, masukan video, keluaran video, kontrol proses interaktif, penyimpan berkas citra, dan perangkat khusus pengolah citra (Gambar 2). Masukan Video
Pita Magnetik Disk Komputer Alat Pencetak Terminal
Perekam Pita Video Sistem Kamera Alat Digitasi
Prosesor Citra
Kontrol Interaktif Terminal Trackball Tablet
Penyimpan Citra
Keluaran Video Perekam Foto Plotter Kamera Monitor Video
Gambar 2. Perangkat Keras Pengolah Citra (Arymurty & Suryana 1992).
Citra sebagai keluaran suatu sistem perekaman data dapat bersifat optik berupa foto, bersifat analog berupa sinyal-sinyal video seperti gambar pada
monitor televisi atau bersifat digital yang dapat langsung disimpan pada suatu pita magnetik. Komputer digital hanya dapat memproses suatu citra dalam bentuk digital, data citra yang dimasukkan berupa nilai-nilai integer yang menunjukkan nilai intensitas cahaya atau tingkat warna tiap piksel. Citra digital dapat diperoleh secara otomatis dari sistem frame grabber (penangkap citra) digital yang melakukan penjelajahan citra dan membentuk suatu matrik yang elemen elemennya menyatakan nilai intensitas cahaya pada suatu himpunan diskrit dari titik. Citra (x,y) disimpan dalam memori komputer atau penyimpan bingkai citra dalam bentuk matrik N x M dari contoh diskrit dengan jarak sama sebagai berikut:
f(0,0) f(0,1) … f(0,M-1) f(1,0) f(1,1) … f(1,M-1) f(x,y) =
…
…
…
…
f(N,0) f(N,1) … f(N,M-1)
Setiap elemen dari matrik tersebut disebut sebagai piksel yang merupakan suatu daerah empat persegi panjang kecil dengan ukuran tertentu dan menunjukkan nilai intesitas warna piksel pada lokasi yang bersangkutan. Ukuran piksel ini sering disebut resolusi piksel.
II.2.1 Konsep Dasar Citra
Citra merupakan dimensi spatial yang berisi informasi warna dan tidak bergantung pada waktu. Citra merupakan sekumpulan titik -titik dari gambar, yang disebut Picture E lement (pixel). Titik -titik tersebut menggambarkan posisi koordinat dan mempunyai intensitas yang dapat dinyatakan dengan bilangan , seperti terlihat pada Gambar 3. Intensitas ini menunjukan warna citra, melalui penjumlahan nilai intensitas (Red, Green dan Blue/RGB). 255,255,0
Y
255,0,0 255,0,255
255,255,255
M B
0,0,0
0,0,255
0,255,0
C 0,255,255
Ket : R=Red (Merah), G=Green (Hijau), B=Blue (Biru), C=Cyan (Biru Muda), M=Magenta (Ungu), Y= Yellow (Kuning)
Gambar 3. Koordinat RGB.
Koordinat memberikan informasi warna p iksel berdasarkan Brightness (kecerahan) warna cahaya (hitam, abu-abu, putih) dari sumber, corak warna (Hue) yang ditimbulkan oleh warna (merah, kuning, hijau dll ) dan merupakan panjang gelombang dominan dari sumber. Citra dengan 8 bit per p iksel mempunyai 256 warna (2 8=256) dan citra dengan 24 bit mempunyai 16 777 216 warna (2 24=16 777 216), jadi tiap piksel dinyatakan d engan : ♦ bit 0 sampai dengan 7 untuk warna merah. ♦ bit 8 sampai dengan 15 untuk warna hijau ♦ bit 16 sampai dengan 24 untuk warna biru Kemungkinan kombinasi warna yang ada adalah = 2563 + 256 2 + 2561 = 16 843 008, dimana nilai 0 menyatakan warna hitam sedangkan nilai 16 843 008 menyatakan warna putih. Citra dapat diubah dari domain spatial menjadi domain yang lain, dengan tujuan untuk mempermudah pengkodean. Proses perubahan ini dinamakan transformasi (Mandala 2003). II.2.2 Pengolahan Warna
Warna tidak lebih dari sekedar respon psycho-physiological dari intensitas yang berbeda (Ahmad 2005). Energi dari cahaya ditangkap oleh mata dan diterjemahkan oleh otak sebagai warna. Fakta menunjukkan bahwa banyak ilmu pengetahuan tentang warna didasarkan pada karakteristik sensor dari mata. Display komputer menggunakan RGB model untuk merepresentasikan warna. Dalam hal ini, sebuah warna didefinisikan dengan jumlah relatif dari intensitas ketiga warna pokok (merah, hijau, biru) yang diperlukan untuk membentuk sebuah warna. Intensitas dapat berkisar dari 0% sampai 100% dan jumlah bit digunakan untuk merepresentasikan resolusi dari intensitas yang berarti jumlah warna yang dapat ditampilkan. Intensitas 0% untuk ketiga warna pokok berarti ketiadaan suatu warna maupun kecerahan pada suatu piksel sehingga tampak sebagai titik hitam (warna hitam) dan intensitas 100% untuk ketiga warna pokok berarti semua komponen warna akan saling menetralkan pada suatu piksel sehingga tampak suatu titik putih (warna putih). Dalam hal perangkat keras monitor dan kartu grafik yang dapat menampilkan warna dalam format 24-bit, tiap 24-bit nilai piksel mendefinisikan sebuah warna yang mengandung 8-bit intensitas untuk warna merah, hijau, dan biru, sehingga dapat menghasilkan kombinasi warna sebanyak 16 777 216 macam (angka ini didapatkan dengan memangkatkan 24 kepada bilangan 2, atau memangkatkan 8 kepada bilangan 2 lalu memangkatkannya kembali dengan 3, yaitu jumlah komponen warna pokok dalam model warna RGB) Model warna RGB adalah contoh dari sebuah model warna, model yang formal untuk mendefinisikan dan menampilkan warna-warna. Sebenarnya sudah banyak model warna yang telah dikembangkan oleh para ahli, tapi hanya tiga macam model yang banyak digunakan dalam komputer grafis.
Tabel 3 memperlihatkan beberapa model warna yang penting dan deskripsi serta pemakaiannya . Tabel 3. Model warna
Model RGB CMY (K)
YCbCr
HSB/HSL/HSI
Deskripsi Merah, Hijau, dan Biru (warna pokok). Sebuah model warna pokok aditif. Cyan, Magenta, Kuning (dan Hitam). Sebuah model warna subtraktif. Luminase (Y) dan dua komponen chrominasi (Cb dan Cr). Digunakan dalam siaran televisi sama dengan model YIQ Hue, Saturasi, dan Intensitas. Berdasarkan persepsi manusia terhadap warna.
Sumber : (Ahmad 2005)
Persepsi warna dalam pengolahan citra tergantung pada tiga faktor, yaitu spectral reflectance dari permukaan (yang menentukan bagaimana suatu permukaan memantulkan warna), spectral content dari penyinaran (kandungan warna dari cahaya yang menyinari permukaan), dan spectral response (kemampuan merespon warna dari sensor dalam imaging system). Model warna telah banyak dikembangkan oleh para ahli, seperti model Red, Green, Blue (RGB), model Cyan, Magenta, Yellow (CMY (K)) (luminase serta dua komponen kromin asi Cb
, YcbCr
dan Cr), dan Hue, Saturation,
Intensity (HSI). Model warna RGB merupakan model warna pokok aditif, yaitu warna dibentuk dengan mengkombinasikan energi cahaya dari ketiga warna pokok dalam berbagai perbandingan. Display komputer menggunakan warna RGB untuk merepresentasikan warna. Dalam hal ini, sebuah warna didefinisikan dengan jumlah relatif dari intensitas ketiga warna pokok (merah, hijau dan biru) yang diperlukan untuk membentuk sebuah warna. Intensitas dapat berkisar dari 0% sampai 100% dan jumlah bit digunakan untuk merepresentasikan resolusi dari intensitas yang berarti jumlah warna yang dapat ditampilkan. Intensitas nol untuk ketiga warna pokok berarti warna hitam dan intensitas 100% untuk ketiga warna pokok berarti warna putih.
Model warna RGB dapat juga dinyatakan dalam indeks warna RGB dengan rumus sebagai berikut : Indeks warna merah (indeks R) = R/(R+G+B).....................................(1) Indeks warna hijau (indeks G) = G/(R+G+B)........................................(2) Indeks warna biru (indeks B)
= B/(R+G+B).......................................(3)
dengan R, G, dan B masing-masing merupakan besaran yang menyatakan nilai intensitas warna merah, hijau, dan biru. Model warna HSI menyatakan Hue, Saturation, Intensity merupakan model warna yang paling sesuai dengan persepsi manusia. Nilai Hue dapat diaplikasikan untuk membedakan antara objek dan latar belakang. Saturation yang tinggi dapat menjamin nilai Hue cukup akurat dalam membedakan objek dan latar belakang. Intensity merupakan nilai abu-abu piksel dalam citra hitam putih. Model warna RGB dapat ditransformasikan ke model HSI dengan persamaan sebagai berikut:
[
]
0.5 2R − G − B 2 Cos H = × (R − G) + (R − G)(G − B) ....................................... (4) 2 3 S = 1− × min ( R, G, B)................................................................... (5) (R + G + B)
R +G + B I = ................................................................................................... (6) 3 II.3 Logika Fuzzy Pada dasarnya manusia dalam menilai suatu objek sering melakukannya secara kualitatif artinya apa yang dikriteriakan oleh si A belum tentu sama dengan si B yang kita sebut ketidakpastian. Seperti ungkapan penentuan suhu panas, hangat dan dingin, orang bertubuh tinggi atau pendek dan lain sebagainya (Rich & Knight 1983). Dasar ketidakpastian inilah yang menjadi pencetusan teori fuzzy. Sistem fuzzy adalah suatu cara mengambil keputusan melalui pendekatan fuzzy logic (logika fuzzy). Logika fuzzy merupakan suatu teknik yang memungkinkan untuk membangun sistem pakar yang dap at mewakili atau lebih merefleksikan dunia nyata.
Derajat keanggotaan dapat dibangkitkan secara berangsur–angsur dan lebih baik dibandingkan tanpa logika fuzzy, Inilah salah satu keuntungan dari logika fuzzy. Konsep fuzzy set (gugus fuzzy ) diperkenalkan oleh Lotfi A Zadeh pada tahun 1965, yang kemudian berkembang menjadi teori gugus fuzzy. Dasar teori gugus fuzzy adalah pengenalan akan adanya batasan yang tidak jelas (Zimmermann 1996). Teori ini muncul dari kebutuhan untuk menggambarkan ”keadaan antara” yang terdapat dalam dunia nyata, seperti antara ya dan tidak, antara anggota dan bukan anggota suatu gugus, yang biasanya digambarkan dengan kata–kata ”lebih, kurang, mendekati, hampir dan sebagainya”. Gugus fuzzy merupakan himpunan dengan batasan yang tidak pasti dan keanggotaannya lebih mengarah kepada tingkat atau derajat. Sistem fuzzy merupakan suatu cara pengambilan keputusan melalui pendekatan logika fuzzy. Logika fuzzy membuat model pengambilan alasan yang memungkinkan pembuatan keputusan yang relatif d i dalam lingkungan ketidakpastian
dan
ketidaktepatan.
Kemampuan
ini
tergantung
kepada
kemampuan untuk membuat jawaban perkiraan dari suatu pertanyaan yang didasarkan pada sekumpulan kondisi yang tidak tepat atau tidak jelas. Gugus fuzzy berbeda dengan crisp set (gugus klasik). Gugus klasik merupakan suatu sistem yang menunjukkan kriteria suatu obyek dalam dua nilai, anggota dan bukan anggota. Jika suatu obyek merupakan elemen dari suatu gugus, maka fungsi keanggotaannya adalah 1. Tipe pemikiran ini merupakan logika yang hanya mempunyai dua nilai kebenaran, yaitu benar (1) dan salah (0). Gugus fuzzy merupakan pengembangan dari gugus klasik. Fungsi keanggotaannya tidak hanya memberikan nilai 1 atau 0, tetapi nilai yang berada pada suatu selang tertentu, yaitu selang antara 0 dan 1. Nilai yang diberikan oleh fungsi keanggotaan disebut derajat keanggotaan (Rao 1995). Perbedaan antara gugus klasik dan gugus fuzzy dapat dilihat pada Gambar 4 dan Gambar 5, dengan gugus semesta temperatur. Terlihat bahwa gugus klasik tidak bisa mendeskripsikan kategori suhu hangat dalam gugusnya, sedangkan gugus fuzzy memiliki derajat keanggotaan untuk mendeskripsikan kategori suhu panas dalam gugusnya.
Panas
1
35 Gambar 4. Gugus klasik
Panas
1
35 Gambar 5. Gugus fuzzy
Seperti halnya himpunan konvensional, ada beberapa operasi yang didefinisikan secara khusus untuk mengkombinasi dan memodifikasi gugus fuzzy. Ada 3 operator dasar yang diciptakan oleh Zadeh, yaitu complement (kebalikan), union (gabungan) dan intersection (irisan). Operasi– operasi lain yang terdapat pada fuzzy adalah sebagai berikut (Zimmermann 1996): 1. Algebraic product (perkalian aljabar) Perkalian aljabar dari A dan B dilambangkan dengan AB. Fungsi keanggotaan AB didefinisikan sebagai berikut : A.B ⇔ µA(x).µB(x) 2. Algebraic sum (penjumlahan aljabar) Penjumlahan aljabar dari A dan B dilambangkan dengan A + B. Fungsi Keanggotaan A + B didefinisikan sebagai berikut : A + B ⇔ µA(x) + µB(x) - µ A(x).µ B(x)
3. Bounded Sum Bounded Sum gugus fuzzy A dan B adalah gugus fuzzy yang didefinisikan dengan fungsi keanggotaan sebagai berikut : A ⊕ B = {(x, µA⊕ B(x)) x ∈ X}, dimana µA⊕ B (x) = min {1, µA (x) + µ B(x)}. Pada operasi sistem fuzzy terdapat beberapa sifat antara lain sebagai berikut (Jang et al. 1997) : 1. Law of contradiction : A ∩ A ? ø 2. Law of the excluded middle : A ∪ A ? X 3. Idempotency : A ∩ A = A, A ∪ A = A 4. Commutativity : A ∩ B = B ∩ A, A ∪ B = B ∪ A 5. Associativity : (A ∪ B) ∪ C = A ∪ (B ∪ C) (A ∩ B) ∩ C = A ∩ (B ∩ C) 6. Distributivity : A ∪ (B ∩ C) = (A ∪ B) ∩ (A ∪ C) A ∩ (B ∪ C) = (A ∩ B) ∪ (A ∩ C) 7. Absorption : A ∪ (A∩B) = A A ∩ (A∪B) = A 8. Absorption of complement : A ∪ (A ∩ B) = A ∪ B A ∩ (A ∪ B) = A ∩ B Bilangan fuzzy berkaitan dengan konsep nilai pendekatan atau selang, yaitu bilangan–bilangan yang berada di suatu selang bilangan riil tertentu. Nilai–nilai linguistic (kebahasaan) ’baik’, ’buruk’ dan lain– lain merupakan contoh bilangan fuzzy. Oleh karena itu, suatu bilangan fuzzy terdiri dari beberapa bilangan riil atau beberapa bilangan pada suatu domain tertentu. Fungsi keanggotaan fuzzy adalah suatu kurva yang menunjukkan pemetaan titik–titik input data ke dalam nilai keanggotaannya yang memiliki interval antara 0 dan 1 (Rich & Knight 1983). Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mendapatkan derajat keanggotaan adalah dengan melalui pendekatan fungsi. Beberapa fungsi yang dapat digunakan yaitu representasi linier, representasi kurva segitiga, representasi
kurva trapesium, representasi kurva bentuk bahu dan representasi kurva bentuk lonceng. fuzzy perubahan derajat keanggotaan dari suatu kondisi ke kondisi lainnya terjadi secara berangsur-angsur, tidak terjadi secara tiba-tiba. Penentuan model fungsi keanggotaan fuzzy tergantung pada tingkat keakuratan yang diinginkan, dan juga berdasarkan pengalaman pakar (Jang et al. 1997). Sistem inferensi fuzzy merupakan suatu proses pengambilan keputusan dengan menggunakan logika fuzzy. Proses yang terjadi merupakan formulasi pemetaan dari input yang diberikan ke suatu output. Metode–metode yang digunakan dalam sistem inferensi fuzzy antara lain metode Tsukamoto, metode Mamdani dan metode Sugeno (Kusumadewi 2003). Ada tiga proses pengambilan keputusan dalam logika fuzzy yaitu, fuzzifikasi, rule (evaluasi aturan) dan defuzzifikasi (Jang et al. 1997). II.3.1 Fuzzifikasi Fuzzifikasi merupakan tahap pertama dari proses inferensi fuzzy. Pada tahap ini data masukan diterima dan sistem menentukan nilai fungsi keanggotaannya serta mengubah variabel numerik (variabel non fuzzy) menjadi variabel linguistik (variabel fuzzy) (Jang et al. 1997). Dengan kata lain, fuzzifikasi merupakan pemetaan crisp points (titik–titik numerik) ke gugus fuzzy dalam semesta pembicaraan. Metode fuzzifikasi dapat juga dijumpai dengan hedge fuzzy (menerapkan pemagaran) pada sebuah kumpulan (Pal 1989). Sebuah pemagar adalah sebuah operator yang mentranformasikan sebuah kumpulan fuzzy ke dalam kumpulan fuzzy lainnya yang diintensifkan atau dijarangkan. Fungsi keanggotaan memberi arti atau mendefinisikan ekspresi linguistik menjadi bilangan yang dapat dimanipulasi. Fuzzifikasi memperoleh suatu nilai dan mengkombinasikannya dengan fungsi keanggotaan untuk menghasilkan nilai fuzzy (Sibigtroth 1992). Fuzzifikasi merupakan proses penentuan sebuah bilangan input masing–masing gugus fuzzy (Viot 1993).
II.3.2. Evaluasi Aturan Pada umumnya, aturan–aturan fuzzy dinyatakan dalam bentuk ‘IF–THEN’ yang merupakan inti dari relasi fuzzy. Relasi fuzzy, dinyatakan dengan R, juga disebut implikasi fuzzy. Relasi fuzzy dalam pengetahuan dasar dapat didefinisikan sebagai gugus pada implikasi fuzzy. Evaluasi aturan (rule) atau fuzzy inference menggunakan teknik yang disebut min –max inference untuk menentukan nilai akhir berdasarkan nilai sistem input (Sibigtroth 1992). Masing–masing kaidah memiliki bentuk pernyataan IF –THEN. Bagian IF dari suatu kaidah meliputi satu atau lebih kondisi, disebut antesendent. Sedangkan bagian THEN meliputi satu atau lebih aksi, disebut consequent. Suatu antesendent dari kaidah terhubungkan langsung pada derajat keanggotaan (fuzzy input) ditentukan melalui suatu proses fuzzifikasi (Jang et al. 1997). II.3.3. Defuzzifikasi Defuzzifikasi adalah suatu proses yang menggabungkan seluruh fuzzy output menjadi sebuah hasil spesifik yang dapat digunakan untuk masing–masing sistem output (Jang et al. 1997). Defuzzifikasi merupakan proses kebalikan dari fuzzifikasi, di mana nilai keanggotaan dari suatu gugus fuzzy dikonversi ke dalam suatu bilangan real. Pada metode Tsukamoto, setiap konsekuen pada aturan yang berbentuk IF – THEN harus direprentasikan deng an suatu gugus fuzzy
dengan fungsi
keanggotaan yang monoton. Output hasil inferensi dari tiap –tiap aturan diberikan secara crisp (tegas) berdasarkan derajat keanggotaan. Hasil akhirnya diperoleh dengan menggunakan rata–rata terbobot. Sedangkan metode Mamdani terdiri dari empat tahap, yaitu pembentukan gugus fuzzy, aplikasi fungsi implikasi (aturan), komposisi aturan dan penegasan. Penalaran dengan metode Sugeno hampir sama dengan penalaran Mamdani, hanya saja output (consequent) system tidak berupa gugus fuzzy, melainkan berupa konstanta atau persamaan linier.
Apabila komposisi aturan menggunakan metode Sugeno, maka defuzzifikasi dilakukan dengan cara mencari nilai rata–ratanya. Metode ini diperkenalkan oleh Takagi–Sugeno Kang pada tahun 1985. Ada dua model yaitu (Kusumadewi 2003): a. Model fuzzy Sugeno Orde–Nol Secara umum bentuk model fuzzy Sugeno Orde–Nol adalah : IF (x 1 is A1) AND (x2 is A2) AND (x 3 is A3 ) AND ……....….. AND (x n is An) THEN z = k Dimana, An adalah gugus fuzzy ke–n sebagai antesendent dan k adalah suatu konstanta (tegas) sebagai consequent. b. Model Fuzzy Sugeno Orde–Satu Secara umum bentuk model fuzzy Sugeno Orde–Satu adalah : IF (x 1 is A1 ) AND ……….. AND (x n is An) THEN z = p1*x 1 + …….. + pn* xn +q Dimana, An adalah gugus fuzzy ke–n sebagai antesendent dan p n adalah suatu konstanta (tegas) ke-n dan q juga merupakan konstanta dalam consequent. II.3.4 Penyusunan Logika Fuzzy Pada proses penentuan tingkat kemanisan (rasa) buah melon ini menggunakan sistem inferensi fuzzy metode Mamdani. Metode ini sering juga disebut dengan metode Max-Min atau Min-Max. Metode ini diperkenalkan oleh Ebrahim Mamdani pada tahun 1975 (Kusumadewi 2003). Untuk mendapatkan output, diperlukan 4 tahapan yaitu : a) Pembentukan gugus fuzzy (fuzzifikasi) b) Aplikasi fungsi implikasi (aturan) c) Komposisi aturan d) Penegasan (defuzzifikasi) Secara skematis dapat digambarkan sebagai berikut (Gambar 6) :
Input
Sistem Inferensi Fuzzy
Output
Gambar 6. Skema Sistem Fuzzy dari Input ke Output
Berikut adalah tahapan–tahapan sistem inferensi fuzzy secara
berurutan
(Gambar 7).
Fuzzifikasi
Aturan
Komposisi Aturan
Defuzzifikasi
Gambar 7. Skema Sistem Inferensi Fuzzy
II.3.4.1 Fuzzifikasi Skema fuzzifikasi dari masing–masing parameter input dapat dilihat pada Gambar 8 dan Gambar 9. µA(x) Tawar
1 Derajat Keanggotaan
Sedang
R
a
Manis
S
b
T
c
d
e
Nilai brix Ket : a=Rendah Min, b=Sedang Min, c=Rendah Max dan Tinggi Min, d=Sedang Max, e=Tinggi Max
Gambar 8. Derajat keanggotaan untuk nilai brix µ A(x) Tawar
1 Derajat Keanggotaan
Sedang
R
p
Manis
S
q
T
r
Nilai pH s
t
Ket : p=Rendah Min, q=Sedang Min, r=Rendah Max dan Tinggi Min, s=Sedang M ax, t=Tinggi Max
Gambar 9. Derajat keanggotaan untuk nilai pH
Proses untuk mendapatkan besarnya derajat keanggotaan masukan yang berupa suatu elemen himpunan (variable numeric non fuzzy) dalam suatu gugus fuzzy disebut fuzzification (fuzzifikasi). Penentuan keanggotaan suatu gugus fuzzy tidak dibatasi aturan–aturan tertentu.
Fuzzifikasi memperoleh suatu nilai dan mengkombinasikannya dengan fungsi keanggotaan untuk menghasilkan nilai fuzzy. Penentuan derajat keanggotaan dari variabel numerik dalam suatu gugus fuzzy dapat dilihat pada Gambar 10.
(x 2,y 2)
y
x
(x 1,y1 )
Gambar 10. Penentuan Derajat Keanggotaan
Nilai derajat keanggotaan (y) dapat dicari dengan menggunakan persamaan (7).
y − y1 x − x1 = …………………………………...................……………….(7) y 2 − y1 x 2 − x1 Skema defuzzifikasi dapat dilihat pada gambar 11 Sebagai berikut :
µ A(x)
1
Tawar
Derajat Keanggota an
Sedang
T
a1
Manis
S
a2
M
a3
a4
Hasil (brix/pH) Gambar 11. Skema defuzzifikasi
a5
II.3.4.2 Aplikasi Fungsi Implikasi (aturan) Pada metode Mamdani, baik variabel input maupun variabel output dibagi menjadi satu atau lebih gugus fuzzy, sehingga input (antecedent) dan sistem output merupakan gugus fuzzy. Proses implikasi dapat ditentukan jika telah diketahui besarnya derajat keanggotaan yang memiliki nilai dalam selang [0,1]. Setiap aturan fuzzy memiliki bentuk pernyataan IF–THEN. Aturan dasar dalam bentuk umum adalah sebagai berikut : Rule r : IF x1 is A 1j1 and x2 is A 2j2 and … and xn is A njn then u is Aj. Dimana A 1j1 adalah anggota ke–j dari variabel linguistik i yang berhubungan dengan fungsi keanggotaan µ
j
(u) yang menyatakan keadaan untuk variabel
tindakan pengaturan. Dasar yang digunakan untuk mempermudah dalam menyusun aturan –aturan dapat direpresentasikan dibawah ini : Contoh aturan pernyataan IF–THEN yang
dipergunakan
diantaranya
adalah : - IF NilaiBrix = “T” AND NilaipH = “T” THEN TingkatKemanisan = “Manis” (*)
- IF NilaiBrix = “T” AND NilaipH = “R” THEN TingkatKemanisan = “Sedang” (*)
- IF NilaiBrix = “R” AND NilaipH = “T” THEN TingkatKemanisan = “Sedang” - IF NilaiBrix = “R” AND NilaipH = “R” THEN TingkatKemanisan = “Tawar” Ket
(*)
: T=Tinggi, R=Rendah
Masukan dari proses implikasi adalah nilai yang dihasilkan oleh antecedent dan keluarannya adalah gugus fuzzy. Jika antecedent dari suatu kaidah yang diberikan memiliki lebih dari satu bagian, maka operator fuzzy digunakan untuk merepresentasikan hasil inferensi dari aturan tersebut. Proses ini menghasilkan gugus yang dinyatakan dengan fungsi keanggotaan. Nilai gugus tersebut bersesuaian dengan sifat linguistiknya, dimana variabel linguistiknya digunakan sebagai input untuk aturan–aturan fuzzy. Secara umum, ada 2 implikasi yang dapat digunakan sebagai input untuk aturan–aturan fuzzy yaitu metode min (minimum) dan dot (product).
II.3.4.3 Komposisi Aturan (Agregasi) Agregasi adalah proses penggabungan keluaran setiap kaidah menjadi satu nilai fuzzy. Masukan dari proses agregasi adalah keluaran dari proses implikasi untuk setiap aturan. Keluaran proses agregasi adalah gugus fuzzy tunggal untuk setiap variabel masukan yang kemudian akan dilakukan defuzzifikasi. Ada 3 metode yang digunakan dalam melakukan sistem inferensi fuzzy, yaitu max, additive (sum) dan probabilistik OR (probor). Metode yang digunakan adalah metode max. II.3.4.4 Penegasan (defuzzifikasi) Defuzzifikasi adalah proses mentransformasikan hasil penalaran fuzzy ke dalam nilai keluaran. Masukan dari proses defuzzifikasi adalah gugus fuzzy (gugus fuzzy keluaran dari proses agregasi) dan keluarannya adalah nilai tunggal. Ada beberapa metode defuzzifikasi pada komponen aturan Mamdani, yaitu metode Centroid, Bisektor, Mean of Maximum (MOM), Largest of Maximum (LOM) dan Smallest of Maximum (SOM). Dalam metode Centroid (Center of Gravity), nilai dari variabel output dihitung dengan mengambil nilai dari posisi pusat dari kurva fungsi keanggotaan variabel output yang merupakan gabungan dari proses agregasi gugus fuzzy output. Formulasi metode tersebut adalah sebagai berikut: n
D=
∑ F xS i
i =1
n
∑ Fi
i
.......................................................................................................(8)
i =1
Dimana :
D = decision Fi = fuzzy output Si = posisi pusat sistem output N = jumlah gugus yang didefinisikan untuk sistem output
Nilai D adalah nilai crisp hasil defuzzifikasi. Kategori yang dipilih disesuaikan dengan letak nilai D pada selang–selang numerik yang sebelumnya telah ditetapkan.
Metode lainnya yaitu metode Mean of Maxima yang memperoleh solusi crisp dengan cara mengambil nilai rata–rata domain yang memiliki nilai keanggotaan yang maksimum. Metode Largest of Maximum (LOM) memperoleh solusi crisp dengan cara mengambil nilai terbesar dari domain yang memiliki nilai keanggotaan maksimum. Pada metode Smallest of Maximum (SOM) hampir sama dengan LOM akan tetapi nilai yang diambil merupakan nilai terkecil. Ada juga metode Bisektor yang memperoleh solusi crisp dengan cara mengambil nilai pada domain fuzzy yang memiliki nilai keanggotaan separuh dari jumlah total nilai keanggotaan pada daerah fuzzy. Sistem inferensi fuzzy yang digunakan adalah metode mamdani dengan metode defuzzifikasi ke dalam selang penentuan rasa. Hal ini dilakukan dalam upaya menentukan mutu melon tersebut berdasarkan tingkat kemanisannya. II.4 Jaringan Syaraf Tiruan (JST) JST adalah sistem komputasi dimana arsitektur dan operasi diilhami dari pengetahuan tentang sel syaraf biologi didalam otak (Fausett 1994). JST dapat digambarkan sebagai model matematis dan komputasi untuk fungsi aproksimasi non linier, klasifikasi data, cluster dan regresi non parametrik atau sebagai sebuah simulasi dari koleksi model syaraf biologi. Model syaraf ditunjukkan dengan kemampuannya dalam emulasi, analisis, prediksi dan asosiasi. Berdasarkan kemampuan yang dimiliki, JST dapat digunakan untuk belajar dan menghasilkan aturan atau operasi dari beberapa contoh, untuk menghasilkan output yang sempurna dari contoh atau input yang dimasukkan dan membuat prediksi tentang kemungkinan output yang akan muncul atau menyimpan karakteristik dari input yang disimpan di dalamnya. Pada dasarnya JST tersusun atas beberapa layer (lapis an node) yaitu input layer (lapisan masukan), satu atau lebih hidden layer (lapisan tersembunyi) dan output layer (lapisan keluaran ) (Rich & Knight 1983). Node merupakan suatu unit komputasi yang paling sederhana pada setiap lapisan yang dihubungkan dengan setiap node pada lapisan berikutnya, hubungan antar node (unit) diekspresikan oleh suatu bilangan yang disebut weight (bobot).
Setiap unit pada input lapisan node akan menjadi masukan pada lapisan tersembunyi dan keluarannya akan menjadi masukan bagi lapisan node berikutnya sampai akhirnya menghasilkan keluaran pada output lapisan node. Bentuk JST dengan model multilayer neural network (Rich & Knight 1983) dapat dilihat pada Gambar 12. x0 = 1
wij
h0 = 1
vjk yk
x1
h1
O1
x2
h2
: :
: :
: :
Xn
Hn
input layer
hidden layer
On
output layer
Gambar 12. Model Multilayer Neural Network (Rich & Knight 1983).
Keterangan : x i = variabel input node i pada lapisan input, i = 0, 1, 2, …, n h j = output node j pada lapisan hidden, j = 0, 1, 2, …, n O k = output node k pada lapisan output, k = 0,1,..., n wij = nilai bobot yang menghubungkan node i pada lapisan input dengan node j pada lapisan hidden v jk = nilai bobot yang menghubungkan node j pada lapisan hidden dengan node k pada lapisan output Kemampuan dasar JST adalah mampu mempelajari contoh input dan output yang diberikan, kemudian belajar beradaptasi dengan lingkungan, sehingga dapat memecahkan masalah-masalah yang tidak dapat dipecahkan dengan metode komputasi konvensional. Selain itu JST mampu memecahkan permasalahan di mana hubungan antara input dan output tidak diketahui dengan jelas. Proses kerja JST yaitu setiap set atau kumpulan input dan output mendapatkan proses pelatihan dan penyempurnaan proses perhitungan untuk menghasilkan bentuk respon yang konsisten sesuai dengan hubungan set input dan output yang ada. Perintah-perintah untuk JST pertama kali akan menghasilkan
sistem output langsung. Untuk menghasilkan sekumpulan output yang diharapkan maka langkah pertama kali adalah dengan melakukan pelatihan (training ). Metode pelatihan JST dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu supervised, reinforcement, dan unsupervised. Metode pelatihan supervised dapat diasumsikan dengan guru yang hadir selama proses pelatihan dan setiap contoh yang diberikan terdiri dari nilai input dan nilai target. Selama proses pelatihan, nilai output yang dihasilkan dibandingkan dengan nilai target untuk menentukan besarnya galat. Galat tersebut digunakan untuk mengubah nilai bobot pada JST sehingga dapat meningkatkan kinerja jaringan. Proses pelatihan ini tercapai jika galat pada setiap contoh yang diberikan telah diperkecil pada tingkat yang dapat diterima. Contoh algoritma
yang
menggunakan
metode
supervised
adalah
delta
rule,
backpropagation , hebbian, dan stokastik. Metode pelatihan reinforcement adalah dengan diasumsikan adanya guru yang hadir selama proses pembelajaran, tetapi nilai target tidak diberikan, hanya diberikan indikasi bahwa nilai output adalah benar atau salah. Indikasi tersebut digunakan oleh sistem untuk memperbaiki kinerja jaringan. Contoh algoritma yang menggunakan metode reinforcement adalah learning automata . Meto de pelatihan unsupervised adalah dengan diasumsikan tanpa guru selama proses pembelajaran, contoh yang diberikan selama proses pelatihan hanya nilai input tanpa nilai target. Sistem harus belajar menemukan dan beradaptasi terhadap perbedaan dan persamaan d i dalam nilai input yang diberikan. Pelatihan yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis supervised dengan algoritma backpropagation. Algoritma ini sudah umum digunakan (contoh penelitian yang sudah menggunakan algoritma ini adalah ” Pendugaan
Biji Kakao Terfermentasi,
Berjamur, dan Tak Terfermentasi untuk Evaluasi Mutu Biji Kakao (Yunindri Wulandari 2004), dan
Pendugaan Jenis Cacat Pada Kopi Robusta (Coffea
canephora) Oman (2004)) dan data yang dipakai adalah data kontinu, sehingga diharapkan sis tem dapat mempelajari hubungan antara input dengan nilai target yang diinginkan dan dapat menduga hasil output setelah proses training dan validasi.
Algoritma pelatihan backpropagation adalah sebagai berikut (Rich & Knight 1983): 1. Inisialisasi a. Normalisasi data input xi dan target tk dalam range (0, 1) b. Seluruh nilai bobot (wij dan v jk) awal diberi nilai random antara –1, 1 c. Inisialisasi aktivasi thresholding unit, x0 = 1 dan h0 = 1 2. Aktivasi unit-unit dari input layer ke hidden layer dengan fungsi : hj =
1 ..............................................................................(9) w ⋅x 1 + e ∑ ij i −σ
dimana : s = Logistic Constant 3. Aktivasi unit-unit dari hidden layer ke output layer dengan fungsi : yk =
1 ...........................................................................(10) v ⋅h 1 + e ∑ jk j −σ
dimana : s = Logistic Constant 4. Menghitung
error dari unit-unit
pada output layer
(δ k)
dan
menyesuaikannya dengan nilai bobot vjk. δ k = (1 – y k)(tk – yk)........................................................................(11 ) dimana : tk = output target vjk = v jk old + (β . δ k . h j ).................................................................(12) dimana : β = konstanta laju pelatihan (Learning Rate) 5. Menghitung
error dari unit-unit pada hidden layer
(τk) dan
menyesuaikannya dengan nilai bobot wjk. τk = hj (1 – h j) Σ k δ k . vjk..................................................................(13) wij = wij old + (β . τk . x i)................................................................(14) 6. Pindah ke training set berikutnya dan ulangi langkah ke-2. Proses learning (pembelajaran) dihentikan jika yk mendekati tk. Proses pelatihan juga dapat dihentikan berdasarkan error.
Salah
satu
persamaan
untuk
nilai
error
adalah
dengan
menggunakan Root Mean Square Error (RMSE).
( pi − ai ) 2 ..............................................................(15) ∑ n i =1 n
RMSE =
n
∑ Error (%) =
i =1
pi − ai ai × 100 % .....................................................(16) n
dimana : p i = nilai dugaan output ulangan ke-i ai = nilai aktual output ulangan ke-i n = jumlah contoh data 7. Pengulangan (Epoh) Keseluruhan proses ini dilakukan pada setiap contoh sampai sistem mencapai keadaan optimum, proses ini disebut 1 epoh. Epoh tersebut mencakup pemberian contoh pasangan input dan output, perhitungan nilai aktivasi dan perubahan nilai bobot.