BAB II LANDASAN TEORI
II.1
Pengertian pajak Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S. H. seperti dikutip Wirawan B. Ilyas dan Richard
Burton (2004) mendefinisikan, “pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang yang dapat dipaksakan dengan tidak mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) uang langsung yang dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum” (h.5).
II.2
Azas pengenaan pajak
Terdapat beberapa asas yang dapat dipakai oleh negara sebagai asas dalam menentukan wewenangnya untuk mengenakan pajak, khususnya untuk pengenaan pajak penghasilan. Asas utama yang paling sering digunakan oleh negara sebagai landasan untuk mengenakan pajak adalah:
1. Asas domisili atau disebut juga asas kependudukan (domicile/residence principle), berdasarkan asas ini negara akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan, apabila untuk kepentingan perpajakan, orang pribadi tersebut merupakan penduduk (resident) atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang bersangkutan berkedudukan di negara itu. Dalam kaitan ini, tidak dipersoalkan dari mana penghasilan yang akan dikenakan pajak itu berasal. Itulah sebabnya bagi negara yang menganut asas ini, dalam sistem pengenaan pajak terhadap penduduk-nya akan menggabungkan asas domisili 7
(kependudukan) dengan konsep pengenaan pajak atas penghasilan baik yang diperoleh di negara itu maupun penghasilan yang diperoleh di luar negeri (worldwide income concept). 2. Asas sumber, Negara yang menganut asas sumber akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan hanya apabila penghasilan yang akan dikenakan pajak itu diperoleh atau diterima oleh orang pribadi atau badan yang bersangkutan dari sumber-sumber yang berada di negara itu. Dalam asas ini, tidak menjadi persoalan mengenai siapa dan apa status dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan tersebut sebab yang menjadi landasan pengenaan pajak adalah objek pajak yang timbul atau berasal dari negara itu. Contoh: Tenaga kerja asing bekerja di Indonesia maka dari penghasilan yang didapat di Indonesia akan dikenakan pajak oleh pemerintah Indonesia. 3. Asas kebangsaan atau asas nasionalitas atau disebut juga asas kewarganegaraan (nationality/citizenship principle). Dalam asas ini, yang menjadi landasan pengenaan pajak adalah status kewarganegaraan dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan. Berdasarkan asas ini, tidaklah menjadi persoalan dari mana penghasilan yang akan dikenakan pajak berasal. Seperti halnya dalam asas domisili, sistem pengenaan pajak berdasarkan asas nasionalitas ini dilakukan dengan cara menggabungkan asas nasionalitas dengan konsep pengenaan pajak atas world- wide income.
II.3
Sistem pemungutan pajak
Mengacu kepada Husein dan Tjahjono (2005), sistem pengenaan / pemungutan Pajak ada 3, yaitu : 8
1. Sistem Official Assessment : memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. 2. Sistem Self Assessment : memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan pajak terutang. 3. Sistem Withholding : memberi wewenang kepada pihak ke-3 (bukan fiskus, bukan wajib pajak) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
II.4
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebagai pengganti Pajak Penjualan
Proses penggantian ini merupakan salah satu rangkaian perombakan sistem perpajakan nasional yang dikenal sebagai Tax Reform 1983. PPN menggantikan peranan PPn di Indonesia, karena PPN memiliki beberapa karakter positif yang tidak dimiliki oleh PPn.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen.
II.5
Karakteristik PPN
Karakteristik PPN seperti dikutip Resmi (2004) adalah :
1. PPN adalah pajak tidak langsung, artinya beban pajak dilimpahkan kepada pihak lain. Sehingga pemikul beban pajak dan penyetor pajak ke Negara berada pada pihak yang berbeda. 2. PPN adalah pajak yang objektif, artinya timbulnya kewajiban pajak ditentukan oleh objek pajak. 9
3. PPN Indonesia menggunakan tarif tunggal 10%, kecuali PPN ekspor tarifnya 0%. 4. PPN bersifat multi stage tax , artinya dikenakan pada setiap mata rantai jalur produksi dan jalur distribusi. 5. Pemungutan pajaknya menggunakan faktur pajak. 6. Penghitungan PPN terutang yang disetor ke Negara menggunakan indirect substraction method / credit method/ invoice method dengan cara mengkreditkan pajak masukan (Pajak Keluaran – Pajak Masukan).
II.6
Mekanisme pemungutan PPN
Mengacu pada Untung Sukardji (1999), mekanisme pemungutan PPN di Indonesia adalah :
1. Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP)/Jasa Kena Pajak (JKP) wajib memungut PPN dari pembeli/penerima BKP/JKP yang bersangkutan sebesar 10% dari Harga Jual atau penggantian, dan membuat Faktur Pajak sebagai bukti pemungutannya. 2. PPN yang tercantum dalam Faktur Pajak tersebut merupakan Pajak Keluaran (Out Put Tax) bagi PKP Penjual BKP/JKP, yang sifatnya sebagai pajak yang harus dibayar (hutang pajak). 3. Pada waktu PKP di atas melakukan pembelian/perolehan BKP/JKP yang dikenakan PPN, PPN tersebut merupakan Pajak Masukan (In Put Tax), yang sifatnya sebagai pajak yang dibayar di muka, sepanjang BKP/JKP yang dibeli tersebut berhubungan langsung dengan kegiatan usahanya. 10
4. Untuk setiap masa pajak (setiap bulan), apabila jumlah Pajak Keluaran lebih besar dari pada Pajak Masukan, maka selisihnya harus disetor ke Kas Negara selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikutnya. Dan sebaliknya, apabila jumlah Pajak Masukan lebih besar dari pada Pajak Keluaran, maka selisih tersebut dapat diminta kembali (restitusi) atau di kompensasi ke masa pajak berikutnya. 5. Pengusaha Kena Pajak di atas wajib menyampaikan Laporan Perhitungan PPN setiap bulan (SPT Masa PPN) ke Kantor Pelayanan Pajak terkait selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya.
II.7
Objek PPN
Objek PPN dalam Pasal 4 Undang-Undang No. 18 Tahun 2000 adalah :
1. Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha. 2. Impor Barang Kena Pajak. 3. Penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha. 4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. 5. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. 6. Ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
11
7. Penyerahan Barang/Jasa tersebut akan dikenakan PPN apabila memenuhi syarat-syarat kumulatif sebagai berikut :
a. Barang atau jasa yang diserahkan merupakan BKP / JKP. b. Penyerahannya dilakukan (terjadi) di Dalam Negeri. c. Penyerahan tersebut dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaan Pengusaha yang bersangkutan.
II.8
Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak
Barang Kena Pajak dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 ) adalah :
-
Semua barang pada prinsipnya merupakan Barang Kena Pajak (dikenakan PPN) kecuali yang ditentukan lain oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 itu sendiri.
-
Barang Kena Pajak tersebut terdiri dari barang berwujud (bergerak dan tidak bergerak) dan barang tidak berwujud (merek dagang, paten, hak cipta, dll).
-
Yang diatur secara rinci oleh Undang-Undang PPN adalah barang-barang yang tidak dikenakan PPN (negatif list), yaitu di Pasal 4A Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000.
-
Dengan demikian, secara otomatis barang-barang lainnya merupakan Barang Kena Pajak (BKP).
Jenis-Jenis Barang Tidak Kena Pajak dalam Pasal 4A Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 Pasal 1 s.d. Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 adalah :
12
1. Barang hasil pertambangan, penggalian, dan pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya ( minyak mentah, gas bumi, pasir dan kerikil, bijih besi, bijih timah, bijih emas, dan sebagainya). 2. Barang hasil pertanian, hasil perkebunan, dan hasil kehutanan, yang dipetik langsung, diambil langsung, atau disadap langsung, dari sumbernya. 3. Barang hasil peternakan, perburuang atau penagkapan, atau penangkaran, yang diambil langsung dari sumbernya. 4. Barang hasil penangkapan, atau budidaya perikanan, yang diambil langsung dari sumbernya. 5. Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan rakyat banyak (beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, dan garam baik beriodium maupun tidak beriodium). 6. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya (baik dikonsumsi di tempat maupun dibawa pulang, tidak termasuk katering). 7. Uang, emas batangan, dan surat-surat berharga. 8. Listrik, kecuali listrik untuk perumahan dengan daya di atas 6.600 watt. 9. Saham, obligasi, dan surat-surat berharga sejenisnya. 10. Air bersih yang disalurkan melalui pipa oleh Perusahaan Air Minum milik Pemerintah.
II.9
Subjek PPN
Dalam Pasal 1 angka 14 UU PPN 1984 dirumuskan bahwa pengusaha adalah orang pribadi atau badan yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan perdagangan, melakukan 13
barang tak berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha jasa atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean.
Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) yang dikenakan pajak menurut Undang-Undang ini, tidak termasuk pengusaha kecil yang ditetapkan KMK.
II.10 Saat pajak terutang
Pasal 11 UU PPN 1984 mengatur PPN terutang pada saat :
1. Penyerahan BKP/JKP. 2. Impor BKP. 3. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean. 4. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean. 5. Ekspor BKP. 6. Pembayaran, dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan BKP atau sebelum pemanfaatan BKP tidak berwujud atau JKP dari luar Daerah Pabean. 7. Pada saat lain yang ditetapkan Dirjen Pajak, dalam hal saat terutangnya pajak sukar ditetapkan atau terjadi perubahan ketentuan yang dapat menimbulkan ketidakadilan.
Saat pajak terutang seperti tersebut di atas diartikan sebagai saat mulai timbulnya utang pajak kepada negara, sehingga bukan merupakan batas akhir pembayaran pajak ke kas negara. 14
Terutangnya Pajak atas Penyerahan JKP :
Yaitu saat mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata, baik sebagian atau keseluruhan.
II.11 Tempat pajak terutang
Berdasarkan Pasal 12 UU PPN 1984 yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000, menetapkan tempat pajak terutang yaitu :
1.
Atas Penyerahan BKP/JKP adalah di tempat tinggal (Pengusaha orang pribadi) atau tempat kedudukan (Pengusaha Badan) dan tempat kegiatan usaha dilakukan, yaitu di tempat Pengusaha dikukuhkan atau seharusnya dikukuhkan sebagai PKP.
2.
Atas Impor BKP adalah di tempat dimasukannya Barang Kena Pajak ke dalam Daerah Pabean.
3.
Atas Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dan/atau JKP dari luar Daerah Pabean adalah di tempat orang pribadi atau badan yang memanfaatkan BKP Tidak Berwujud/JKP tersebut terdaftar sebagai wajib pajak.
4.
Atas Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan adalah di tempat bangunan didirikan.
5.
Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan tempat lain selain tempat di atas sebagai tempat pajak terutang atas ekspor BKP, baik atas permohonan tertulis dari Pengusaha Kena Pajak atau secara jabatan.
15
II.12 Tarif PPN dan Dasar Pengenaan PPN
Berdasarkan Pasal 7 UU PPN Nomor 18 Tahun 2000 :
Tarif PPN = 10% x Dasar Pengenaan Pajak Tarif PPN atas Ekspor BKP = 0%. Dengan Peraturan Pemerintah, tarif PPN dapat diubah serendah-rendahnya 5% dan setinggi-tingginya 15%
Dasar Pengenaan Pajak (DPP) artinya nilai uang yang dijadikan dasar untuk menghitung pajak yang terutang, dengan mengalikan tarif pajaknya.
Dalam Pasal 1 angka 17 UUN PPN 1983, jenis Dasar Pengenaan PPN adalah : 1. Harga Jual, adalah nilai berupa uang termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak. 2. Penggantian, adalah nilai berupa uang termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh Pemberi Jasa karena penyerahan Jasa Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak. 3. Nilai Impor, adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan menurut Undang Undang Kepabeanan, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai. 4. Nilai Ekspor, adalah nilai berupa uang termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir. 16
5. Nilai Lain, adalah suatu nilai berupa uang yang digunakan sebagai Dasar Pengenaan Pajak bagi penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang memenui kriteria tertentu.
II.13 Pengkreditan Pajak Masukan
Prinsip Dasar Pengkreditan menurut Pasal 9 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 Jo Peraturan Pemerintah Nomor 143 TAHUN 2000 Jo Peraturan Pemerintah Nomor 24 TAHUN 2002 ) adalah :
1. Syarat utama pengkreditan pajak masukan adalah Faktur Pajak. 2. Pajak Masukan dalam suatu masa pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran yang dipungut dalam masa pajak yang sama (Pajak Masukan bulan Januari 2000 dikreditkan dengan Pajak Keluaran bulan Januari 2000 pada SPT masa PPN Januari 2000). 3. Apabila tidak dapat dikreditkan pada masa pajak yang sama (misalnya Faktur Pajaknya diterima terlambat), Pajak Masukan tersebut masih bisa dikreditkan pada masa pajak berikutnya, selambat-lambatnya tiga bulan setelah berakhirnya masa pajak yang bersangkutan, sepanjang : a. Belum dibebankan sebagai biaya atau tidak ditambahkan (dikapitalisasikan) pada harga perolehan BKP/JKP. b. Belum dilakukan pemeriksaan oleh fiskus, kecuali dalam pemeriksaan tersebut diketahui bahwa perolehan BKP/JKP yang bersangkutan telah dibukukan. 4. Apabila jangka waktu 3 (tiga) bulan tersebut telah terlewati, maka Pajak Masukan tetap dapat dikreditkan dengan cara melakukan pembetulan SPT Masa PPN. 17
Misalnya, Faktur Pajak Masukan bulan April 2002 baru diterima oleh PKP pada bulan November 2002, Faktur Pajak Masukan tersebut tetap dapat dikreditkan dengan cara melakukan pembetulan SPT Masa PPN untuk Masa April 2002. 5. Dalam hal pada suatu masa pajak belum terdapat Pajak Keluaran (misalnya ; belum ada produksi/penjualan), Pajak Masukan tetap dapat dikreditkan. 6. Jika Pajak Keluaran lebih besar dari pada Pajak Masukan, maka selisihnya harus disetor ke kas negara selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikutnya. 7. Jika Pajak Masukan lebih besar dari pada Pajak Keluaran, maka kelebihan tersebut dapat dikompensasikan ke masa pajak berikutnya atau diminta kembali (direstitusi). 8. Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, adalah Pajak Masukan atas perolehan BKP/JKP yang berhubungan langsung dengan kegiatan usaha (produksi, manajemen, distribusi, dan pemasaran) dari BKP/JKP yang diserahkan/yang dijual.
Kriteria Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan menurut Pasal 9 dan Pasal 16B Undang-Undang PPN Nomor 18 Tahun 2000 adalah :
1. Pajak Masukan yang dibayar sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. 2. Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan usaha. 3. Pajak Masukan atas perolehan dan pemeliharaan mobil jenis sedan, jeep, station wagon, van, dan combi, kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan. 4. Pajak Masukan yang tercantum dalam Faktur Pajak Sederhana.
18
5. Pajak Masukan yang tecantum dalam Faktur Pajak Standar yang tidak memenuhi ketentuan perundang-undangan PPN. 6. Pajak Masukan yang dibayar setelah ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak. 7. Pajak Masukan yang belum dikreditkan dalam SPT, yang diketemukan dalam pemeriksaan, kecuali dalam pemeriksaan tersebut dapat dibuktikan bahwa perolehan BKP/JKP yang bersangkutan telah dibukukan. 8. Pajak Masukan atas perolehan BKP/JKP untuk menghasilkan penyerahan BKP/JKP yang mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN. 9. Pajak Masukan yang tercantum dalam Faktur Pajak yang penerbitannya telah melebihi batas waktu (PER - 159/PJ./2006).
II.14 Tata cara pembayaran PPN
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 548/KMK.04/2000, yang wajib membayar atau menyetor dan melapor PPN adalah :
1. Pengusaha Kena Pajak (PKP). 2. Pemungut PPN adalah: a. Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara. b. Bendaharawan Pemerintah Pusat dan Daerah. c. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. d. Pertamina. e. BUMN atau BUMD. f. Kontraktor Bagi Hasil dan Kontrak Karya bidang Migas dan Pertambangan Umum lainnya. 19
g. Bank Pemerintah. h. Bank Pembangunan Daerah. i. Perusahaan Operator Telepon Selular.
Yang wajib disetor adalah :
a. PPN yang dihitung sendiri melalui pengkreditan Pajak Masukan dan Pajak Keluaran. Yang disetor adalah selisih Pajak Masukan dan Pajak Keluaran, bila Pajak Masukan lebih kecil dari Pajak Keluaran. b. PPN yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), dan Surat Tagihan Pajak (STP).
Saat pembayaran dan penyetoran PPN yaitu :
1. PPN yang dihitung sendiri oleh PKP harus disetorkan paling lambat 15 (lima belas) bulan takwim berikutnya setelah bulan Masa Pajak. 2. PPN dan yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP harus dibayar/ disetor sesuai batas waktu yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP tersebut. 3. PPN atas impor, harus dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk, dan apabila pembayaran Bea Masuk ditunda/ dibebaskan, harus dilunasi pada saat penyelesaian dokumen impor. 4. PPN yang pemungutannya dilakukan oleh: a. Bendaharawan Pemerintah, harus disetor paling lambat tanggal 7 (tujuh) bulan takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. 20
b. Pemungut PPN selain Bendaharawan Pemerintah, harus disetor paling lambat 15 (lima belas) bulan takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. c. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang memungut PPN atas impor, harus menyetor dalam jangka waktu sehari setelah pemungutan pajak dilakukan. 5. PPN dari penyerahan tepung terigu oleh Badan Urusan Logistik (BULOG), harus dilunasi sendiri oleh PKP sebelum Surat Perintah Pengeluaran Barang (D.O) ditebus.
Sarana pembayaran dan penyetoran PPN adalah :
1. Untuk membayar/menyetor PPN dan PPnBM digunakan formulir Surat Setoran Pajak (SSP) yang tersedia di Kantor-kantor Pelayanan Pajak dan Kantor-kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan (KP4) di seluruh Indonesia. 2. Surat Setoran Pajak (SSP) menjadi lengkap dan sah bila jumlah PPN/PPnBM yang disetorkan telah sesuai dengan yang tercantum di dalam Daftar Nominatif Wajib Pajak (DNWP) yang dibuat oleh: Bank penerima pembayaran, Kantor Pos dan Giro, atau Kantor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai penerima setoran.
II.15 Faktur Pajak
Faktur Pajak menurut Pasal 1 huruf T UU PPN 1984 yang dengan UU Nomor 18 Tahun 2000 menjadi Pasal 1 angka 23 adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh 21
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak atau bukti pungutan pajak karena impor Barang kena Pajak yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Fungsi Faktur Pajak adalah :
1. Bukti pungutan pajak bagi PKP yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dan bagi DJBC atas impor BKP. 2. Bukti pembayaran PPN bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) pembeli BKP / JKP. 3. Sarana pengkreditan Pajak Masukan. 4. Dasar pembuatan Nota Retur.
Macam Faktur Pajak menurut Pasal 13 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 yaitu :
1. Faktur Pajak Sederhana (FPS), yaitu faktur pajak yang bentuk dan isinya telah ditetapkan oleh keputusan Dirjen Pajak. Faktur Pajak Sederhana harus memuat :
a. Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan BKP/JKP. b. Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak. c. Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga. d. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut. e. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut. f. Kode, Nomor Seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak. 22
g. Nama, jabatan dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.
2. Faktur Pajak Gabungan, yaitu Faktur Pajak Standar yang memuat lebih dari satu transaksi dalam satu masa pajak untuk satu pelanggan. 3. Faktur Pajak Sederhana menurut Pasal 13 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 Jo KEP - 524/PJ./2000 Jo KEP - 425/PJ./2001 Jo KEP - 128/PJ./2004 Jo SE 06/PJ.52/2004 yaitu : a. Dibuat dalam hal terjadi penyerahan BKP/JKP kepada konsumen akhir atau kepada pembeli BKP/penerima JKP yang nama, alamat, atau NPWP-nya tidak dapat diketahui. b. Bisa berupa bon kontan, faktur penjualan, segi cash register, karcis, kuitansi, atau tanda bukti penyerahan atau pembayaran lainnya yang sejenis. c. Minimal memuat:
-
Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan BKP atau JKP.
-
Jenis dan kuantum BKP/JKP yang diserahkan.
-
Jumlah Harga Jual atau Penggantian yang sudah termasuk pajak atau besarnya pajak dicantumkan tersendiri.
-
Tanggal pembuatan Faktur Pajak Sederhana.
d. Harus dibuat selambat-lambatnya pada saat penyerahan BKP/JKP atau pada saat pembayaran apabila pembayaran diterima sebelum penyerahan BKP/JKP. e. Dibuat minimal rangkap dua.
23
-
PPN yang tercantum dalam Faktur Pajak Sederhana tidak dapat dikreditkan oleh Pembeli BKP/ Penerima JKP.
-
Faktur Pajak Standar yang diisi tidak lengkap bukan merupakan Faktur Pajak Sederhana.
II.16 PPN atas Penyerahan Produk Rekaman Suara
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 567 / KMK.04 /2000 tanggal 6 Desember 2000 yang kemudian mulai 1 Juni 2002 diubah dengan dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 251 / KMK.04 / 2002, salah satu penyerahan BKP yang PPN dihitung menggunakan Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak adalah penyerahan produk rekaman gambar dan atau suara yang ditetapkan berdasarkan harga jual rata-rata.
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 174 / KMK.03 / 2004 tanggal 29 April 2004 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Produk Rekaman Suara, bahwa produk rekaman suara adalah semua produk rekaman suara yang dibuat di atas media rekaman seperti pita kaset, Compact Disc (CD), dan Video Compact Disc (VCD), Laser Disc (LD), Digital Versatile Disc (DVD), dan media rekaman lain, yang berisi rekaman suara atau rekaman suara beserta rekaman gambar. Mengacu pada Untung Sukardji, produk rekaman suara dapat dikelompokkan sebagai berikut :
a. Kaset isi jenis A, yaitu :
1. Kaset yang berisi lagu berbahasa Indonesia dan yang berisi lagu campuran yang berbahasa Indonesia dan berbahasa campuran, yang seluruh pencipta dan penyanyinya warga negara Indonesia; 24
2. Kaset yang berisi lagu instrumentalia yang seluruh penciptanya warga negara Indonesia.
Adapun Dasar Pengenaan Pajaknya adalah Rp. 8.000,00 (delapan ribu rupiah) sehingga PPN yang terutang atas penyerahan per kaset adalah Rp. 800,00 (delapan ratus rupiah).
b. Kaset isi jenis B, yaitu :
1. Kaset yang berisi lagu berbahasa asing dan yang berisi lagu campuran yang berbahasa asing dan berbahasa Indonesia/Daerah, selain lagu keagamaan; 2. Kaset yang berisi lagu yang satu atau lebih penciptanya atau penyanyinya adalah warga negara asing; 3. Kaset yang berisi lagu instrumentalia yang satu atau lebih penyanyinya adalah warga negara asing;
Adapun Dasar Pengenaan Pajaknya adalah Rp. 16.000,00 (enam belas ribu rupiah) sehingga PPN yang terutang atas penyerahan per kaset adalah Rp. 1.600,00 (seribu enam ratus rupiah).
c. Kaset isi jenis C, yaitu :
1. Kaset yang berisi lagu yang seluruhnya berbahasa daerah yang seluruh pencipta dan penyanyinya warga negara Indonesia; 2. Kaset yang berisi rekaman cerita, lawak, wayang dan rekaman yang sejenis lainnya dalam Bahasa Indonesia/Daerah; 3. Kaset suara burung dan suara hewan laninnya; 25
4. Kaset yang berisi lagu keagamaan.
Adapun Dasar Pengenaan Pajaknya adalah Rp. 7.500,00 (tujuh ribu lima ratus rupiah) sehingga PPN yang terutang atas penyerahan per kaset adalah Rp. 750,00 (tujuh ratus lima puluh rupiah).
d. Compact Disc jenis CD.1, yaitu :
1. Compact Disc yang berisi lagu berbahasa Indoneisa dan yang berisi lagu campuran yang berbahasa Indonesia dan berbahasa daerah, yang seluruh pencipta dan penyanyinya warga negara Indonesia; 2. Compact Disc yang berisi lagu instrumentalia yang seluruh penciptanya warga negara Indonesia; 3. Compact Disc yang berisi lagu keagamaan.
Adapaun Dasar Pengenaan Pajaknya adalah Rp. 20.000,00 (dua pulu ribu rupiah) sehingga PPN yang terutang atas penyerahan per copy compacy disc adalah Rp. 2000,00 (dua ribu rupiah).
e. Compact Disc jenis CD.2 , yaitu :
1. Compact Disc yang berisi lagu berbahasa asing dan yang berisi lagu campuran berbahasa asing dan berbahasa Indoneisa/Daerah, selain lagu keagamaan; 2. Compact Disc yang berisi lagu yang satu atau lebih peciptanya atau penyanyinya adalah warga negara asing; 3. Compact Disc yang berisi lagu instrumentalia yang satu atau lebih penciptanya adalah warga negara asing. 26
Adapun Dasar Pengenaan Pajaknya adalah Rp. 48.000,00 (empat puluh delapan ribu rupiah) sehingga PPN terutang atas penyerahan per kopi compact disc adalah Rp. Rp. 4.800,00 (empat ribu delapan ratus rupiah).
f. Video Compact Disc jenis VCDK1 adalah :
Produk rekaman uara di atas video compact disc (VCD) dengan harga jual eceran lebih dari Rp. 10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) yang berisi :
a. Lagu berbahasa Indonesia dan yang berisi lagu campuran yang berbahasa Indonesia dan berbahasa daerah beserta tayangan gambar (Video Compact Disc Karaoke), yang seluruh pencipta dan penyanyinya warga negara Indonesia; b. Lagu instrumentalia beserta tayangan gambar (Video Compact Disc Karaoke) yang seluruh penciptanya warga negara Indonesia; atau c. Lagu keagamaan beserta tayangan gambar (Video Compact Disc Karaoke).
Adapun Dasar Pengenaan Pajakanya adalah Rp. 18.000,00 (delapan belas ribu rupiah) untuk penyerahan VCDK.1 sehingga junlah PPN yang terutang adalah Rp. 1.800,00 (seribu delapan ratus ribu rupiah) per kopi.
g. Video Compact Disc jenis VCDK.2 adalah :
1. Video Compact Disc yang berisi lagu berbahasa asing dan yang berisi lagu campuran yang berbahasa asing dan berbahasa Indonesia/Daerah beserta tayangan gambar (Video Compact Disc Karaoke), selain lagu keagamaan;
27
2. Video Compact Disc yang berisi lagu beserta tayangan gambar (Video Compact Disc Karaoke) yang satu atau lebih pencipta atau penyanyinya adalah warga negara asing; 3. Video Compact Disc yang berisi lagu instrumentalia besrta tayangan gambar (Video Compat Disc Karaoke) yang satu atau lebih pencipta atau penyanyinya adalah warga negara asing;
Adapun Dasar Pengenaan Pajaknya adalah Rp. 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah), sehingga PPN terutangnya atas penyerahan per kopi compact disc adalah Rp. 5.000,00 (lima ribu rupiah).
h. Video Compact Disc jenis VCDK Ekonomis adalah produk rekaman suara di atas video compact disc dengan harga jual eceran sampai dengan Rp. 10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) yang berisi :
1. Lagu berbahasa Indonesia dan yang berisi lagu campuran yang berbahasa Indonesia dan berbahasa daerah beserta tayangan gambar (Video Compat Disc Karaoke), yang seluruh pencipta dan penyanyinya warga negara Indonesia; 2. Lagu instrumentalia besrta tayangan gambar (Video Compat Disc Karaoke) yang seluruh penciptanya warga negara Indonesia; atau 3. Lagu keagamaan besrta tayangan gambar (Video Compact Disc Karaoke)
Adapaun Dasar Pengenaan Pajaknya adalah Rp. 10.000,00 (sepuluh ribu rupiah), sehingga PPN terutang atas penyerahan per kopi video compact disc jenis VCDK Ekonomis adalah Rp. 1.000,00 (seribu rupiah).
28
Dalam Pasal 2 Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini ditetapkan :
a. PPN terutang atas penyerahan produk rekaman suara tersebut di atas dipungut oleh produsen rekaman suara dan disetor dengan cara penebusan “Stiker Lunas PPN” b. PPN terutang atas penyerahan produk rekaman suara berupa :
a. produk rekaman suara berisi materi buku pelajaran umum, pelajaran bahasa, atau pelajaran agama; b. Laser Disc Karaoke (LD.K) c. Digital Versatile Disc Karaoke (DVD.K)
Dipungut dan disetor sesuai dengan ketentuan umum Pajak Pertambahan Nilai.
Kemudian dalam Pasal 4 ditetapkan bahwa Dasar Pengenaan Pajak untuk menghitung PPN yang terutang adalah Harga Jual.
II.17 Stiker Lunas PPN
Mengacu pada Untung Sukardji, PPN yang terutang atas penyerahan produk rekaman suara dan rekaman gambar dipungut oleh produsen rekaman dan disetor dengan cara penebusan Stiker Lunas PPN. Penebusan stiker dapat dilakukan dengan menggunakan Pajak Masukan atau Surat Setoran Pajak (SSP) untuk menebus Stiker Lunas PPN. Pajak Masukan yang tercantum dalam Faktur Pajak atas :
a. pembayaran royalti sesuai perjanjian; 29
b. pembayaran pencetakan label yang meliputi :
1. pencetakan cover rekaman gambar / suara; 2. pencetakan kotak pembungkus rekaman gambar / suara; 3. pembelian sampul pembungkus rekaman gambar / suara.
c. pembayaran biaya rekaman; d. pembelian dan pembuatan master rekaman; dan e. pembayaran periklanan pada televisi, radio, majalah, dan surat kabar,
dapat digunakan sebagai bukti pembayaran PPN untuk penebusan Stiker Lunas PPN pada Masa Pajak yang sama.
Pajak masukan yang belum dipergunakan sebagai bukti pembayaran PPN untuk penebusan Stiker Lunas PPN atau belum dikreditkan pada Masa Pajak yang sama dapat dipergunakan untuk penebusan Stiker Lunas PPN atau dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan atau dibebankan sebagai biaya.
Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-14 / PJ. / 2006 tanggal 23 Februari 2006, asosiasi industri rekaman suara yang ditunjuk untuk memberikan rekomendasi yang diperlukan dalam rangka penebusan Stiker Lunas PPN, adalah :
a. ASIRI (Asosiasi Industri Rekaman Indonesia) yang diwakili oleh pengurusnya; b. ASPARINDO (Asosiasi Pengusaha Rekaman Indonesia ) yang diwakili oleh pengurusnya; 30
c. PAPPRI (Persatuan Artis Pencipta Lagu dan Penata Rekaman Indonesia) yang diwakili oleh pengurusnya; d. ASA-PRI (Asosiasi Artis-Produsen Rekaman Indonesia) yang diwakili pengurusnya; e. GAPERINDO
(Gabungan
Perusahaan
Rekaman
Indonesia)
yang
diwakili
pengurusnya.
II.18 Perencanaan Pajak
Upaya dalam melakukan penghematan pajak secara legal dapat dilakukan melalui manajemen pajak. Menurut Sophar Lumbantoruan (1996) manajemen pajak adalah :
“Sarana untuk memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar tetapi jumlah pajak yang dibayar dapat ditekan serendah mungkin untuk memperoleh laba dan likuiditas yang diharapkan (h. 13)”
Mengacu kepada Erly Suandy (2008) , pada umumnya perencanaan pajak (tax planning) merujuk pada proses merekayasa usaha dan transaksi Wajib Pajak agar utang pajak berada dalam jumlah yang minimal, tetapi masih dalam bingkai peraturan perpajakan. Namun demikian, perencanaan pajak juga dapat diartikan sebagai perencanaan pemenuhan kewajiban perpajakan secara lengkap, benar, dan tepat waktu sehingga dapat secara optimal menghindari pemborosan sumber daya.
Perencanaan pajak adalah langkah awal dalam manajemen pajak. Pada tahap ini dilakukan pengumpulan dan penelitian terhadap peraturan perpajakan agar dapat diseleksi jenis tindakan penghematan pajak yang akan dilakukan. Perencanaan 31
perpajakan pada umumnya selalu dimulai dengan meyakinkan apakah suatu transaksi atau fenomena terkena pajak. Kalau fenomena tersebut terkena pajak, apakah dapat diupayakan untuk dikecualikan atau dikurangi jumlah pajaknya, selanjutnya pajak pembayaran pajak dimaksud dapat ditunda pembayarannya, dan lain sebagainya.
II.19 Aspek-aspek dalam Perencanaan Pajak
II.19.1 Aspek Formal dan Administratif
Kewajiban perpajakan bermula dari implementasi undang-undang perpajakan. Oleh karena itu, ketidakpatuhan terhadap undang-undang dapat dikenakan sanksi, baik sanksi administratif maupun sanksi pidana. Sanksi administratif maupun pidana merupakan pemborosan sumber daya sehingga perlu dihindari melalui perencanaan pajak yang baik. Untuk dapat menyusun perencanaan pemenuhan kewajiban perpajakan yang baik diperlukan pemahaman terhadap peraturan perpajakan.
Aspek administratif dari kewajiban perpajakan meliputi :
1. Kewajiban mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (NPPKP). 2. Menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan. 3. Memotong dan atau memungut pajak. 4. Membayar Pajak. 5. Menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT). 32
II.19.2 Aspek Material
Pajak dikenakan terhadap objek pajak yang dapat berupa keadaan, perbuatan, maupun peristiwa. Basis penghitungan pajak adalah objek pajak. Dalam rangka optimalisasi alokasi sumber dana, manajemen akan merencanakan pembayaran pajak yang tidak lebih dan tidak kurang. Untuk itu objek pajak harus dilaporkan secara lengkap dan benar.
II.20 Pelaksanaan Kewajiban Perpajakan (Tax Implementation)
Mengacu pada Erly Suandy (2008), setelah mengetahui faktor –faktor yang akan dimanfaatkan untuk melakukan penghematan pajak, maka langkah selanjutnya adalah mengimplementasikannya baik secara formal maupun material.
Untuk mencapai tujuan manajemen pajak ada dua hal yang perlu dikusai dan dilaksanakan, yaitu :
a. Memahami ketentuan peraturan perpajakan.
Dengan mempelajari paraturan perpajakan seperti undang-undang, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri Keuangan, Keputusan Dirjen Pajak, dan Surat Edaran Dirjen Pajak dapat diketahui peluang-peluang yang dapat dimanfaatkan untuk menghemat beban pajak.
b. Menyelenggarakan pembukuan yang memenuhi syarat.
33
Pembukuan merupakan sarana yang sangat penting dalam penyajian informasi keuangan perusahaan yang disajikan dalam bentuk laporan keuangan dan menjadi dasar dalam menghitung besarnya junlah pajak terutang.
II.21 Perencanaan Pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai
Mengacu kepada Erly Suandy (2008), Perencanaan Pajak Pertambahan Nilai dapat dilakukan sebagai berikut :
a. Memaksimalkan PPN masukan yang dapat dikreditkan; perusahaan sebaiknya memperoleh Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) dari Pengusaha Kena Pajak (PKP), supaya pajak masukannya dapat dikreditkan. Perusahaan perlu mengamati dengan cermat jangan sampai terdapat pajak masukan yang belum dikreditkan lagi. b. Dalam hal penjualan BKP/JKP yang pembayarannya belum diterima, pembuatan faktur pajak bisa ditunda sampai akhir bulan berikutnya setelah penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak.
34