BAB II LANDASAN TEORI Dalam penelitian landasan teori digunakan untuk memberikan landasan dasar yang berguna untuk membantu penelitian dalam memecahkan masalah. Landasan teori dimaksudkan untuk memberi gambaran dan batasan tentang teoriteori yang digunakan sebagai landasan penelitian yang akan dilakukan, dengan demikian penulisan dapat menggunakan teori-teori yang relevan dengan tujuan penelitian. 2.1.
Kebijakan Publik
2.1.1. Pengertian Kebijakan Publik Kebijakan berasal dari kata policy dari bahasa Inggris. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kebijakan dapat diartikan sebagai rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak. Sedangkan publik bisa diartikan sebagai umum, masyarakat, ataupun negara. Secara etimilogi, Kebijakan Publik terdiri dari dua kata yaitu kebijakan dan publlik. Kebijakan oleh Graycar 17 dapat dipandang dari perspektif filosofis, produk, proses, dan kerangka kerja.Sebagai suatu konsep filosofis, kebijakan dipandang sebagai serangkaian prinsip atau kondisi yang diinginkan.Sebagai suatu produk, kebijakan diartikan sebagai serangkaian kesimpulan atau rekomendasi. Sebagai suatu proses, kebijakan menunjuk pada cara dimana melalui cara tersebut suatu organisasi dapat mengetahui apa yang diharapkan
17 Donovan
dan Jackson dalam Kaban, 2008, hal.59
19 Universitas Sumatera Utara
darinya yaitu program mekanisme dalam mencapai produknya. Dan sebagai suatu kerangka kerja, kebijakan merupakan suatu proses tawar menawar dan negosiasi untuk merumuskan isu-isu dan metode implementasi. Menurut Easton
18
, kebijakan publik adalah pengalokasian nilai-nilai
kekuasaan untuk seluruh masyarakat yang keberadaannya mengikat. Sehingga cukup pemerintah yang dapat melakukan sesuatu tindakan kepada masyarakat dan tindakan tersebut merupakan bentuk dari sesuatu yang dipilih oleh pemerintah yang merupakan bentuk dari pengalokasian nilai-nilai kepada masyarakat. Sedangkan menurut Anderson19, Kebijakan Publik merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu kelompok, maupun suatu lembaga pemerintah) atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan. Konsep kebijakan ini dianggap tepat karena memusatkan perhatian pada apa yang sebenarnya dilakukan atau bukan pada apa yang diusulkan atau dimaksudkan. Berdasarkan pengertian para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik merupakan faktor kritikal bagi kemajuan atau kemunduran suatu negara-bangsa. Selain itu kebijakan publik merupakan serangkaian pedoman dan dasar rencana yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam mengatasi sebuah persoalan yang ada dalam kehidupan masyarakatnya dengan hubungan yang mengikat. Jadi, kebijakan publik berpusat pada penyelesaian masalah yang sudah nyata.
18
Tangkilisan, Hesel N. 2003. Kebijakan Publik yang Membumi (Yogyakarta: YPAPI) hal. 2. Winarno, Budi. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik (Yogyakarta: Media Pressindo) hal. 16.
19 dalam
20 Universitas Sumatera Utara
Pada dasarnya, meskipun tidak tertulis, dalam memahami kebijakan publik terdapat dua jenis aliran atau pemahaman20, yaitu: a. Kontinentalis 21 , yang cenderung melihat bahwa kebijakan publik adalah turunan dari hukum, bahkan kadang mempersamakan antara kebijakan publik dan hukum, utamanya hukum publik ataupun hukum tata negara, sehingga melihatnya sebagai proses interaksi diantara institusi-institusi negara. b. Anglo-saxionis, yang cenderung memahami bahwa kebijakan publik adalah turunan dari politik-demokrasi sehingga melihatnya sebagai sebuah produk interaksi antara negara dan publik. Kebijakan publik mengatur, mengarahkan, dan mengembangkan interaksi dalam komunitas dan antara komunitas dengan lingkungannya untuk kepentingan agar komunitas tersebut dapat memperoleh atau mencapai diharapkannya secara efektif.
kebaikan yang
Jadi, secara praktis dapat dikatakan bahwa
kebijakan publik adalah alat dari suatu komunitas yang melembaga untuk mencapai kepercayaan sosial. 2.1.2. Tahapan Kebijakan Publik Analisis kebijakan adalah aktivitas intelektual dan praktis yang ditujukan untuk menciptakan, secara kritis menilai, dan mengkomunikasikan pengetahuan tentang dan dalam proses kebijakan 22 . Pembuatan proses dan kegiatan pada dasarnya bersifat politis. Aktivitas politis tersebut dijelaskan sebagai proses Riant Nugroho, Public Policy Dinamika kebijakan – Analisis Kebijakan – Manajemen Kebijakan, (Jakarta: Gramedia, 2009), hal, 30 21 Hukum adalah salah satu bentuk dari kebijakan publik, baik dari sisi wujud maupun produk, proses atau sisi muatan. 22 William Dunn : 2004 Dalam Riant Nugroho, Public Policy Dinamika kebijakan – Analisis Kebijakan – Manajemen Kebijakan, (Jakarta: Gramedia, 2009), hal. 269-270. 20
21 Universitas Sumatera Utara
pembuatan kebijakan dan divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling bergantung dan diatur menurut urutan waktu yakni: penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan. Aktivitas yang bersifat intelektual terdiri dari perumusan masalah, peramalan (forecasting), rekomendasi kebijakan, pemantauan (monitoring), dan evaluasi kebijakan. Kebijakan publik memiliki tahap yang cukup kompleks karena memiliki banyak proses dan variabel. Menurut William Dunn 23 , tahap-tahap kebijakan publik adalah sebagai berikut: a. Penyusunan Agenda (Agenda Setting) Kelompok masyarakat seperti parpol, ormas, serikat, ataupun kelompok lainnya akan menyuarakan isu mereka kepada pemerintah. Isu yang disampaikan oleh mereka akan bersaing untuk dapat masuk ke dalam agenda kebijakan. Para pembuat kebijakan akan memilih isu yang akan mereka angkat. Sedangka isu yang lain ada yang tidak tersentuh sama sekali dan sebagian lagi akan didiamkan dalam waktu yang cukup lama. b. Formulasi Kebijakan (Policy Formulation) Isu yang telah masuk ke dalam agenda kebijakan dan dibahas oleh para pembuat kebijakan akan didefenisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif yang ada.Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk
23
Winarno, Budi. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik (Yogyakarta: Media Pressindo). hal. 28
22 Universitas Sumatera Utara
masuk ke dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan masing-masing alternatif bersaing untuk memecahkan masalah. c. Adopsi Kebijakan (Policy Adoption) Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh para perumus kebijakan, pada akhirnya salah satu alternatif kebijakan tersebut diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus antara direktur lembaga atau keputusan peradilan. d. Implementasi Kebijakan (Policy Implementation) Kebijakan yang sudah diadopsi kemudian dirangkum melalui programprogram yang harus diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan administrasi maupun agen pemerintah di tingkat bawah. Kebijakan yang telah diambil akan dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasikan sumber daya finansial dan manusia. Pada tahap ini, berbagai kepentingan akan bersaing. Beberapa implementasi kebijakan mendapat dukungan para pelaksana, namun beberapa yang lain mungkin akan ditentang oleh para pelaksana. e. Evaluasi Kebijakan (Policy Evaluation) Pada tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi untuk melihat sejauh mana kebijakan yang telah mampu memecahkan masalah. Kebijakan publik yang pada dasarnya dibuat untuk meraih dampak yang diinginkan.Dalam hal ini memperbaiki masalah yang dihadapi masyarakat.Oleh karena itu, ditentukanlah ukuran-ukuran atau
23 Universitas Sumatera Utara
kriteria-kriteria yang menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan publik telah meraih dampak yang diinginkan. 2.2. Implementasi Kebijakan Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Untuk mengimplementasikan kebijakan publik, ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program atau melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan publik tersebut24. Secara umum dapat digambarkan sebagai berikut: KEBIJAKAN PUBLIK
KEBIJAKAN PUBLIK PENJELAS
PROGRAM
PROYEK
KEGIATAN
PEMANFAATAN (BENEFICIARIES)
Gambar. 2.2.1. Sekuensi Implementasi Kebijakan Rangkaian implementasi kebijakan, dari gambar di atas, dapat dilihat dengan jelas, yaitu dimulai dari program, ke proyek, dan ke kegiatan.
Riant Nugroho, Public Policy Dinamika kebijakan – Analisis Kebijakan – Manajemen Kebijakan, (Jakarta: Gramedia, 2009), hal. 618-619.
24
24 Universitas Sumatera Utara
Secara etimologi, implementasi berasal dari bahasa Inggris yaiu to implement (mengimplementasikan) berarti to provide the means for carrying out (menyediakan sesuatu untuk melaksanakan sesuatu) dan to give practical effect to (untuk menimbulkan dampak atau akibat berupa undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan, dan kebijakan yang dibuat oleh lembagalembaga pemerintah dalam kehidupan kenegaraan. Implementasi adalah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu atau pejabat-pejabat kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya
tujuan-tujuan
yang
telah
digariskan
dalam
keputusan
kebijakan 25 .Implementasi kebijakan adalah pelaksanaan pengendalian aksi-aksi kebijakan di dalam kurun waktu tertentu 26 .Sedangkan Van Meter dan Horn menyatakan bahwa implementasi kebijakan merupakan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dan swasta baik secara individu maupun secara kelompok yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan27. Implementasi kebijakan berarti berusaha untuk memahami “apa yang senyatanyaterjadi sesudah suatu program diberlakukan atau dirumuskan, yyakni peristiwa - peristiwa dan kegiatan - kegiatan yang terjadi setelah proses pengesahan kebijakan publik, baik
itu
menyangkut
usaha-usaha untuk
mengadministrasikannya maupun usaha-usaha untuk memberikan dampak tertentu pada masyarakat28.
Wahab, Solichin Abdul. 2001. Analisis Kebijakan: Dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara (Malang: UMM Press) hal.65. 26 Dunn, William N. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik, ed. 2 (Yogyakarta: Gajah Mada Unversity Press) hal. 132 27 (Van Meter dan Horn dalam Samodra : 2009) dalam Wibawa, Samodra, dkk.1994. Evaluasi kebijakan Publik (Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa) hal. 15. 28 (Mazmian dan Sebastier dalam Solicin Abdul Wahab, 2008:176) 25
25 Universitas Sumatera Utara
Tahap implementasi kebijakan adalah tahap alternatif dimana telah ditetapkan dan diwujudkan kedalam tindakan yang nyata. Tahap ini dilakukan oleh unit-unit administratif dengan memobilisasi sumber daya yang ada. Tanpa adanya implementasi, suatu kebijakan tidaklah berarti apa-apa dan hanya berupa sebuah konsep saja. Implementasi kebijakan suatu rantai yang menghubungkan formulasi
kebijakan
dengan
hasil
(outcome)
kebijakan
yang
diharapkan.Disimpulkan bahwa implementasi berupa penerapan, pelaksanaan, penyelenggaraan, atau pengeksekusian suatu kebijakan yang telah ditetapkan. 2.2.1. Model-Model Implementasi Kebijakan Kerumitan dalam tahap implementasi kebijakan bukan hanya ditunjukkan dari banyaknya aktor kebijakan yang terlibat, namun juga variabel-variabel yang terkait di dalamnya. Dalam implementasi kebijakan, terdapat beberapa model kebijakan, yakni: 1. Model Implementasi Kebijakan George Edward III29
Gambar 2.2.1.1: Dampak Langsung dan Tidak Langsung Dalam Implementasi 29 Indiahono, Dwiyanto. 2009. Kebijakan Publik: Berbasis Dynamic Policy Analysis (Yogyakarta: Gava Media) hal. 3133.
26 Universitas Sumatera Utara
Menurut George C. Edwards III ada empat variabel yang mempengaruhi kebijakan publik, yaitu:
1. Komunikasi Komunikasi, yaitu menunjukkan bahwa setiap kebijakan akan dapat dilaksanakan dengan baik jika terjadi komunikasi efektif antara pelaksana program (kebijakan) dengan para kelompok sasaran (target group). Dalam hal ini Edwards menjelaskan, bahwa jika pembuat keputusan / decision maker berharap agar implementasi kebijakan sesuai dengan apa yang diharapkan, maka ia harus memberikan informasi secara tepat. Tujuan dan sasaran dari program/kebijakan dapat disosialisasikan secara baik sehingga dapat menghindari adanya distorsi atas kebijakan dan program. Ini menjadi penting karena semakin tinggi pengetahuan kelompok sasaran atas program maka akan mengurangi tingkat penolakan dan kekeliruan dalam mengaplikasikan program dan kebijakan dalam ranah yang sesungguhnya. 2. Sumber daya Sumber daya, yaitu menunjuk setiap kebijakan harus didukung oleh sumber daya yang memadai, baik sumber daya manusia maupun sumber daya finansial.Sumber daya manusia adalah kecukupan baik kualitas maupun kuantitas implementor yang dapat melingkupi seluruh kelompok sasaran.Sumber daya finansial adalah kecukupan modal investasi atas sebuah program/kebijakan. Keduanya harus diperhatikan dalam implementasi program/kebijakan pemerintah, jika implementator kekurangan sumber daya, maka implementasi tidak akan
27 Universitas Sumatera Utara
efektif, adapun sumber daya yang dimaksud meliputi staff, informasi, otoritas, dan fasilitas.
Sedangkan
sumber
daya
finansial
menjamin
keberlangsungan
program/kebijakan.Tanpa ada dukungan finansial yang memadai, program tak dapat berjalan efektif dan cepat dalam mencapai tujuan dan sasaran. 3. Disposisi Disposisi, yaitu menunjuk karakteristik yang menempel erat kepada implementor kebijakan/program.Karakter yang paling penting dimiliki oleh implementor adalah kejujuran, komitmen dan demokratis. Implementor yang memiliki komitmen tinggi dan jujur akan senantiasa bertahan diantara hambatan yang ditemui dalam program/kebijakan. Kejujuran mengarahkan implementor untuk tetap berada dalam arus program yang telah digariskan dalam guideline program. Sebagaimana yang pernah Edward katakan dalam bukunya sendiri bahwa disposisi merupakan hal yang krusial karena berlawanan dengan arah kebijakan, jadi perspektif ini dapat mengakibatkan ketidaksesuaian antara tujuan kebijakan yang sesungguhnya dengan implementasi kebijakan dilapangan. Salah satu contoh kasus yang pernah diutarakan oleh Edward, bahwa banyak negara bagian dan sekolah-sekolah di AS yang tidak mengalokasikan dana bagi anak kebutuhan khusus meskipun aturan tentang alokasi dana tersebut telah dituangkan dalam Title I of the Elementary and Secondary Education Act of 1965. Pelanggaran ini disebabkan oleh sikap negara-negara bagian dan sekolah-sekolah tersebut tidak berminat/not interested dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut.
28 Universitas Sumatera Utara
4. Struktur Birokrasi Struktur birokrasi, menunjuk bahwa struktur birokrasi menjadi penting dalam implementasi kebijakan.Aspek struktur birokrasi ini mencakup dua hal penting
pertama adalah
mekanisme,
dan struktur organisasi pelaksana
sendiri.Mekanisme implementasi program biasanya sudah ditetapkan melalui standar operating procedur (SOP) yang dicantumkan dalam guideline program/kebijakan. SOP yang baik mencantumkan kerangka kerja yang jelas, sistematis, tidak berbelit, dan mudah dipahami oleh siapapun karena akan menjadi acuan dalam bekerjanya implementor. Sedangkan struktur organisasi pelaksana pun sejauh mungkin menghindari hal yang berbelit, panjang, dan kompleks.Struktur organisasi pelaksana harus dapat menjamin adanya pengambilan keputusan atas kejadian luar biasa dalam program secara cepat.Dan hal ini hanya dapat lahir jika struktur didesain secara ringkas dan fleksibel menghindari “virus weberian” yang kaku, terlalu hirarkis, dan birokratis. 2. Model Implementasi Van Meter dan Van Horn30 Menurut Meter dan Horn terdapat beberapa variabel yang diyakini dapat mempengaruhi implementasi dan suatu model kinerja kebijakan. Beberapa variabel yang terdapat dalam Model Meter dan Horn adalah sebagai berikut:
30 Subarsono,
AG, 2005, Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori, dan Aplikasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar) hal. 99-
100.
29 Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.2.1.2.: Model Implementasi Van Meter dan Van Horn, Sumber: Van Meter dan Van Horn, 1975: 463 (1) Standart kebijakan dan sasaran. Pada dasarnya adalah apa yang hendak dicapai oleh program atau kebijakan, baik yang terwujud maupun tidak, jangka pendek, menengah atau panjang. Kejelasan dan sasaran kebijakan harus dapat dilihat secara spesifik sehingga di akhir program dapat diketahui keberhasilan atau kegagalan dari kebijakan atau program yang dijalankan. (2) Sumber daya. Implementasi kebijakan perlu dukungan sumber daya baik sumber daya manusia (human resources) maupun sumber daya non-manusia (non-human resources). (3) Hubungan antar organisasi. Dalam banyak program, implementasi sebuah program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain. Untuk itu, diperlukan koordinasi dan kerjasama antar instansi bagi keberhasilan suatu program.
30 Universitas Sumatera Utara
(4) Karakteristik agen pelaksana. Mencakup birokrasi, norma-norma, dan polapola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semuanya
menunjuk
seberapa besar daya dukung struktur organisasi, nilai-nilai yang berkembang, hubungan dan komunikasi yang terjadi di internal birokrasi dalam mempengaruhi implementasi suatu program. (5) Lingkungan sosial, ekonomi dan politik. Menunjuk bahwa lingkungan dalam ranah implementasi dapat mempengaruhi kesuksesan implementasi kebijakan itu sendiri. Variabel ini mencakup sumber daya ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan imlementasi kebijakan; sejauh mana kelompok-kelompok kepentingan memberi dukungan kepada implementasi kebijakan; karakteristik para partisipan, yakni mendukung ataukah menolak; bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan; dan apakah elite politik mendunkung implementasi kebijakan. (6) Disposisi implementator. Mencakup kedalam tiga hal yang penting, Yakni: (a) respons
implementor
kemauannya
untuk
terhadap
kebijakan
melaksanakan
yang
kebijakan,
akan (b)
mempengaruhi kognisi,
yakni
pemahamannya terhadap kebijakan, dan (c) intensitas disposisi implementator, yakni preferensi nilai yang dimiliki oleh implementator. Dari pemaparan diatas, standar dan sasaran kebijakan dapat kita masukkan kedalam variabel “komunikasi”, karena dari penjelasan yang ada mennunjukkan bahwa diperlukannya standar dan sasaran kebijakan yang jelassehingga tidak menimbulkan multi interpretasi maupun konflik. Sumber daya sejalan dengan variabel “sumber daya”, yaitu mencakup SDM dan non-SDM.Hubungan antar
31 Universitas Sumatera Utara
organisasi masuk dalam variabel “struktur organisasi”.Karakteristik agen pelaksana dan disposisi implementator, masuk dalam variabel disposisi”, karena membicarakan tetang norma-norma dan pola-pola hubungan yang terjadi pada implementator merupakan dapat mengacu pada sikap yang ada pada implementator dalam menyikapi nilai-nilai yang dibawa oleh kebijakan. Yang sedikit berbeda adalah kondisi sosial, politik, dan ekonomi yang tidak ada dalam model edwards III, pada variabel ini terlihat bahwa model ini mempertimbangkan faktor eksternal. 3. Model Implementasi Kebijakan Grindle Implementasi menurut Grindle 31 , ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Ide dasar Grindle adalah bahwa setelah kebijakan ditransformasikan menjadi program aksi maupun proyek individual biaya telah disediakan, maka implementasi kebijakan dilakukan, tetapi ini tidak berjalan mulus, tergantung pada implementability dari program itu, yang dapat dilihat pada isi dan konteks kebijakannya. Isi kebijakan mencakup: (1) kepentingan yang dipengaruhi oleh kebijakan, (2) tipe atau jenis manfaat yang akan dihasilkan, (3) derajat perubahan yang diinginkan, (4) kedudukan pembuat kebijakan, (5) siapa pelaksana program, (6) sumber daya yang dilibatkan. Demikian
dengan
konteks
kebijakan
juga
memengaruhi
proses
implementasi.Yang dimaksud Grindle dengan konteks kebijakan adalah: (1) kekuasaan, kepentingan, dan strategi aktor yang terlibat, (2) karakteristik lembaga dan penguasa, dan (3) kepatuhan serta daya tanggap pelaksana. Intensitas 31
Wibawa, Samodra, dkk.1994. Evaluasi kebijakan Publik (Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa) hal. 15.
32 Universitas Sumatera Utara
keterlibatan para perencana, politisi, pengusaha, kelompok sasaran, dan para pelaksana program akan bercampur baur memengaruhi efektivitas implementasi. Hal ini searah dengan variabel kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang dikemukakan oleh van meter dan Van Horn, dimana juga berpengaruh terhadap proses implementasi kebijakan. Kelebihan dari Model Grindle dalam variabel lingkungan kebijakan adalah model ini lebih menitikberatkan pada politik dari para pelaku kebijakan.
Gambar 2.2.1.3: Implementasi sebagai proses politik dan administrative32 4. Model Implementasi Kebijakan Sebatier dan Mazmanian Menurut Sebatier dan Mazmanian 33 , ada tiga kelompok variabel yang mmengaruhi keberhasilan implementasi, yakni: (1) karakteristik dari masalah
32 Sebatier dan Mazmanian (1983) dalam Merilee S. Grindle. 1980. Politics and Policy Implementation in the Third World, (Princeton University Press, New Jersey, p. 11)
33 Universitas Sumatera Utara
(tractability of the problems), (2) karakteristik kebijakan undang-undang (ability of state to structure implementation), (3) variabel lingkungan (nonstatutory variables affecting implementation). Kerangka berpkir yang mereka tawarkan juga mengarah pada dua persoalan yang mendasar yaitu, kebijakan dan lingkungan kebijakan. Hanya saja pemikiran Sabatier dan Mazmanian ini terkesan menganggap bahwa suatu implementasi akan efektif apabila pelaksanaannya mematuhi peraturan yang ada.
Gambar 2.2.1.4: Model Implementasi Kebijakan Sebatier dan Mazmanian
33 dalam Subarsono, AG, 2005, Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori, dan Aplikasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar) hal. 94
34 Universitas Sumatera Utara
5. Model Briant W. Hogwood dan Gunn (1978) The Top down Aproach34 Hogwood dan Gunn menyatakan bahwa studi implementasi kebijakan terletak di kuadran “puncak ke bawah” dan berada di mekanisme paksa dan mekanisme pasar. Menurut Hogwood dan Gunn terdapat beberapa syarat yang diperlukan dalam melakukan implementasi kebijakan, yakni: 1. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh Badan atau instansi pelaksana tidak akan menimbulkan gangguan atau kendala serius. Beberapa kendala pada saat implementasi kebijakan seringkali berada di luar kendali para administrator, sebab hambatan-hambatan itu memang berada di luar jangkauan wewenang kebijakan dan badan pelaksana. 2. Untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber-sumber yang cukup memadai. Syarat kedua ini kerap kali muncul diantara kendala-kendala yang bersifat eksternal. Artinya, kebijakan yang memilki tingkat kelayakan fisik dan politis tertentu bisa saja tidak berhasil mencapai tujuan yang diinginkan karena alasan terlalu banyak berharap dalam waktu yang terlalu pendek, khususnya persoalannya menyangkut sikap dan perilaku. Alasan lainnya adalah bahwa para politisi kadangkala hanya peduli dengan pencapaian tujuan, namun kurang peduli dengan penyediaan sarana yang digunakan untuk mencapainya, sehingga tindakan-tindakan pembatasan/pemotongan terhadap pembiayaan program mungkin akan membahayakan upaya pencapaian tujuan program karena sumber-sumber yang tidak memadai. Masalah lain yang biasa terjadi ialah apabila dana khusus untuk membiayai pelaksanaan program Wahab, Solichin Abdul. 2001. Analisis Kebijakan: Dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara (Malang: UMM Press) hal. 71.
34
35 Universitas Sumatera Utara
sudah tersedia harus dapat dihabiskan dalam tempo yang sangat singkat, kadang lebih cepat dari kemampuan program/proyek untuk secara efektif menyerapnya. Salah satu hal yang perlu pula ditegaskan disini, bahwa dana/uang itu pada dasarnya bukanlah resources/sumber itu sendiri, sebab ia tidak lebih sekedar penghubung untuk memperoleh sumber-sumber yang sebenarnya. Oleh karena itu, kemungkinan masih timbul beberapa persoalan berupa kelambanan atau hambatan-hambatan dalam proses konversinya, yaitu proses mengubah uang itu menjadi sumber-sumber yang dapat dimanfaatkan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan program atau proyek. Kekhawatiran mengenai keharusan untuk mengembalikan dana proyek yang tidak terpakai habis pada setiap akhir tahun anggaran seringkali menjadi penyebab kenapa instansi-instansi pemerintah (baik pusat maupun daerah) selalu berada pada situasi kebingungan, sehingga karena takut dana itu menjadi hangus, tidak jarang pula terbeli atau dilakukan hal-hal yang seharusnya tidak perlu. 3. Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar -benar tersedia. Persyaratan ketiga ini lazimnya mengikuti persyaratan kedua, artinya disatu pihak harus dijamin tidak terdapat kendala-kendala pada semua sumber-sumber yang diperlukan, dan dilain pihak, pada setiap tahapan proses impelementasinya perpaduan diantara sumber-sumber tersebut benar-benar dapat disediakan. 4. Kebijakan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan kausalitas yang handal. Kebijakan kadangkala tidak dapat diimplementasikan secara
efektif
bukan
lantaran
karena
kebijakan
tersebut
telah
diimplementasikan secara sembrono/asal-asalan, melainkan karena kebijakan
36 Universitas Sumatera Utara
itu sendiri memang buruk. Penyebab dari kemauan ini, kalau mau dicari, tidak lain karena kebijakannya itu telah disadari oleh tingkat pemahaman yang tidak memadai mengenai persoalan yang akan ditanggulangi. Sebabsebab timbulnya masalah dan cara pemecahannya, atau peluang-peluang yang tersedia untuk mengatasi masalahnya, sifat permasalahannya dan apa yang diperlukan untuk memanfaatkan peluang-peluang itu. Dalam kaitan ini Pressman dan Wildalsky 35 , menyatakan secara tegas bahwa setiap kebijakan pemerintah pada hakikatnya memuat hipotesis (sekalipun tidak secara eksplisit) mengenai kondisi-kondisi awal dan akibat-akibat yang diramalkan bakal terjadi sesudahnya. Oleh karena itu, apabila ternyata kelak kebijakan itu gagal, maka kemungkinan penyebabnya bersumber pada ketidaktepatan teori yang menjadi landasan kebijakan tadi dan bukan karena implementasinya yang keliru. 5. Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai penghubungnya. Dalam hubungan ini Pressman dan Wildavsky juga memperingatkan bahwa kebijakan-kebiajakan yang hubungan sebab akibatnya tergantung pada mata rantai yang amat panjang maka ia akan mudah sekali mengalami keretakan, sebab semakin panjang mata rantai kausalitas, semakin besar hubungan timbal balik diantara mata rantai penghubungnya dan semakin menjadi kompleks implementasinya. Semakin banyak hubungan dalam mata rantai, semakin besar pula resiko bahwa beberapa diantaranya kelak terbukti amat lemah atau tidak dapat dilaksanakan dengan baik.
35 Pressman
dan Wildavsky (1973)
37 Universitas Sumatera Utara
6. Hubungan ketergantungan harus kecil. Implementasi yang sempurna menuntut adanya persyaratan bahwa hanya terdapat badan pelaksana tunggal, yang untuk keberhasilan misi yang diembannya, tidak perlu tergantung pada badanbadan lain, atau kalaupun dalam pelaksanaannya harus melibatkan badanbadan/ instansi-instansi lainnya, maka hubungan ketergantungan dengan organisasi-organisasi ini haruslah pada tingkat yang minimal, baik artian jumlah maupun kadar kepentingannya. Jika implementasi suatu program ternyata tidak hanya membutuhkan serangkaian tahapan dan jalinan hubungan tertentu, melainkan juga kesepakatan/komitmen terhadap setiap tahapan diantara sejumlah besar aktor/ pelaku yang terlibat, maka peluang bagi keberhasilan implementasi program, bahkan hasil akhir yang dihar apkan kemungkinan akan semakin berkurang. 7. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan Persyaratan ini mengharuskan adanya pemahaman yang
menyeluruh mengenai, dan
kesepakatan terhadap, tujuann atau sasaran yang akan dicapai, dan yang penting,
keadaan
ini
harus
dapat
dipertahankan
selama
proses
implementasi.Tujuan tesebut haruslah dirumuskan dengan jelas, spesifik, dan lebih baik lagi apabila dapat dikualifikasikan, dipahami, serta disepakati oleh seluruh pihak yang terlibat dalam organisasi, bersifat saling melengkapi dan mendukung, serta mampu berperan selaku pedoman dengan mana pelaksana program dapat dimonitor. 8. Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat Persyaratan ini mengandung makna bahwa dalam mengayun langkah menuju tercapainnya
38 Universitas Sumatera Utara
tujuan-tujuan yang telah disepakati, masih dimungkinkan untuk merinci dan menyusun dalam urutan-urutan yang tepat seluruh tugas yang harus dilaksanakan oleh setiap pihak yang terlibat. Sebenarnya, model Hogwood dan Gunn mendasarkan pada konsep manajemen strategis yang mengarahakan pada praktik manajemen yang sistematis dan tidak meninggalkan kaidah-kaidah pokok. Kelemahannya, konsep ini tidak secara tegas menunjukkan mana yang bersifat politis, strategis, dan teknis atau operasional. 2.3. Evaluasi Sebuah kebijakan publik tidak dapat dilepas begitu saja.Kebijakan harus selalu diawasi, dan salah satu mekanisme pengawasan tersebut disebut “evaluasi kebijakan”.Evaluasi biasanya ditujukan untuk menilai sejauh mana keefektifan kebijakan publik guna dipertanggungjawabkan konstituennya.Sejauh mana tujuan dicapai.Evaluasi bertujuan untuk melihat antara “harapan” dan “kenyataan”. Tujuan pokok evaluasi bukanlah untuk menyalah-nyalahkan, melainkan untuk melihat seberapa besar kesenjangan antara pencapaian dan harapan suatu kebijakan publik.Evaluasi bertujuan untuk mencari kekurangan dan menutup kekurangan. Ciri evaluasi kebijakan adalah: (1) Tujuannya menemukan hal-hal yang strategis untuk meningkatkan kinerja kebijakan. (2) Evaluator mampu mengambil jarak dari pembuat kebijakan, pelaksana kebijakan, dan target kebijakan (3) Prosedur dpat dipertangggung jawabkan secara metodologi (4) Dilaksanakan tidak dalam suasana permusuhan atau kebencian (5) Mencakup rumusan, implementasi, lingkungan, dan kinerja kebijakan.
39 Universitas Sumatera Utara
Evaluasi merupakan tahap terakhir didalam proses kebijakan publik. Rossi dan Freeman36 menyatakan evaluasi berkaitan dengan penelitian sosial mengenai konsepsialisasi dan pendesainan, implementasi dan pemanfaatan program intervensi sosial yang dilakukan oleh pemerintah. Evaluasi kebijakan 37 adalah kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan dampak.Evaluasi kebijakan dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja melainkan kepada seluruh proses kebijakan. Menurut W. Dunn, istilah evaluasi mempunyai arti yang berhubungan, masing-masing menunjuk pada aplikasi beberapa skala nilai terhadap hasil kebijakan dan program. “Secara umum istilah evaluasi dapat disamakan dengan penaksiran (appraisal), pemberian angka (rating), dan penilaian (assessment), katakata yang menyatakan usaha untuk menganalisis hasil kebijakan dalam arti satuan nilainya. Evaluasi berkenaan denga produksi informasi mengenai nilai atau manfaat hasil kebijakan38” Pengertian di atas menjelaskan bahwa evaluasi kebijakan merupakan hasil kebijakan dimana pada kenyataannya mempunyai nilai dari hasil tujuan atau sasaran kebijakan. Bagian akhir dari suatu proses kebijakan adalah evaluasi kebijakan.
Wirawan, Evaluasi: teori, model, standar, aplikasi, dan profesi, (Depok: PT Rajagrafindo Persada, 2012), hal. 16. 1975) 38 Dunn, William, 2003, Pengantar Analisis Kebijakan Publik: Edisi Kedua. (Yogyakarta: Gadjah Mada Unniversity Press), hal 608 36
37 (Anderson:
40 Universitas Sumatera Utara
2.3.1. Sifat Evaluasi Gambaran utama evaluasi adalah bahwa evaluasi menghasilkan tuntutantuntutan yang bersifat evaluatif. Di sini pertanyaan utamanya bukan mengenai fakta (Apakah sesuatu ada ?) atau aksi (Apakah yang harus dilakukan ?) tetapi nilai (Berapa nilainya ?). Karena itu evaluasi mempunyai sejumlah karakteristik yang membedakannya dari metode-metode analisis kebijakan lainnya : ü Fokus nilai. Evaluasi berbeda dengan pemantauan, dipusatkan pada penilaian menyangkut keperluan atau nilai dari sesuatu kebijakan dan progam. Evaluasi terutama merupakan usaha untuk menentukan manfaat atau kegunaan sosial kebijakan atau program, dan bukan sekedar usaha untuk mengumpulkan informasi mengenai hasil aksi kebijakan yang terantisipasi. Karena ketepatan tujuan dan sasaran kebijakan dapat selalu dipertanyakan, evaluasi mencakup prosedur untuk mengevaluasi tujuan-tujuan dan sasaran itu sendiri39. ü Interdependensi Fakta-Nilai. Tuntutan evaluasi tergantung baik “fakta” maupun “nilai”. Untuk menyatakan bahwa kinerja kebijakan atau program tertentu telah mencapai tingkat kinerja yang tertinggi (atau rendah) diperlukan tidak hanya bahwa hasil-hasil kebijakan berharga bagi sejumlah individu, kelompok atau seluruh masyarakat untuk menyatakan demikian, harus didukung oleh bukti bahwa hasil-hasil kebijakan secara aktual merupakan konsekuensi dari aksi-aksi yang dilakukan untuk memecahkan masalah tertentu. Oleh karena itu, pemantauan merupakan prasyarat bagi evaluasi.
39 (Fracis
G. Caro, 1971:2)
41 Universitas Sumatera Utara
ü Orientasi Masa Kini dan Masa Lampau. Tuntutan evaluatif, berbeda dengan tuntutan-tuntutan advokatif, diarahkan pada hasil sekarang dan masa lalu, ketimbang hasil di masa depan. Evaluasi bersifat retrospektif dan setelah aksiaksi dilakukan (ex post). Rekomendasi yang juga mencakup premis-premis nilai, bersifat prospektif dan dibuat sebelum aksi-aksi dilakukan (ex ante). ü Dualitas nilai. Nilai-nilai yang mendasari tuntutan evaluasi mempunyai kualitas ganda, karena mereka dipandang sebagai tujuan dan sekaligus cara. Evaluasi sama dengan rekomendasi sejauh berkenaan dengan nilai yang ada (misalnya, kesehatan) dapat dianggap sebagai intrinsik (diperlukan bagi dirinya) ataupun ekstrinsik (diperlukan karena hal itu mempengaruhi pencapaian tujuan-tujuan lain), nilai-nilai sering ditata di dalam suatu hirarki yang merefleksikan kepentingan relatif dan saling ketergantungan antar tujuan dan sasaran. 2.3.2. Fungsi Evaluasi Evaluasi memainkan sejumlah fungsi utama dalam analisis kebijakan. Menurut William N. Dunn fungsi evaluasi, yaitu: “Pertama, dan yang paling penting, evaluasi memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan.Kedua, evaluasi memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari pemilihan tujuan dan target. Ketiga, evaluasi memberi sumbangan pada aplikasi metode-metode analisis kebijakan lainnya, termasuk perumusan masalah dan rekomendasi40” Berdasarkan pendapat William N. Dunn di atas dapat disimpulkan bahwa evaluasi merupakan suatu proses kebijakan yang paling penting karena dengan evaluasi kita dapat menilai seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan dengan William, 2003, Pengantar Analisis Kebijakan Publik: Edisi Kedua. (Yogyakarta: Gadjah Mada Unniversity Press), hal 609-610
40 Dunn,
42 Universitas Sumatera Utara
melalui tindakan publik, dimana tujuan-tujuan tertentu dapat dicapai. Sehingga kepantasan dari kebijakan dapat dipastikan dengan alternatif kebijakan yang baru atau merevisi kebijakan. Selain hal tersebut diatas, evaluasi kebijakan memiliki 4 (empat) fungsi41 , yaitu: 1. Eksplanasi. Melalui evaluasi dapat dipotret realitas pelaksana program dan dapat dibuat suatu generalisasi tentang pola-pola hubungan antar berbagai dimensi realitas yang diamatinya. Dari evaluasi ini evaluator dapat mengidentifikasi
masalah,
kondisi,
dan
aktor
yang
mendukung
keberhasilan atau kegagalan kebijakan. 2. Kepatuhan. Melalui evaluasi dapat diketahui apakah tindakan yang dilakukan oleh para pelaku lainnya, sesuai dengan standart dan prosedur yang ditetapkan kebijakan. 3. Audit. Melalui evaluasi dapat diketahui apa output benar-benar sampai ke tangan kelompok sarsaran kebijakan atau justru ada kebocoran atau penyimpangan. 4. Akunting. Melalui evaluasi dapat diketahui apa akibat sosial-ekonomi dari kebijakan tersebut. 2.3.3. Tujuan Evaluasi Kebijakan Dalam mengevaluasi kebijakan, ada fokus yang ingin dicapai oleh Evaluator. Adapun tujuan evaluasi dapat dirincikan sebagai berikut42:
Wibawa, Yuyun Purbokusumo, dan Agus Pramusinto, Evaluasi Kebijakan Publik. Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1994. Hal 10-11 42 Subarsono, AG, 2005, Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori, dan Aplikasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), hal. 120-121 41 Samodra
43 Universitas Sumatera Utara
a) Menentukan tingkat kinerja suatu kebijakan, melalui evaluasi dapat diketahui derajat pencapaian tujuan dan sasaran kebijakan. b) Mengukur tingkat efesiensi sutau kebijakan, dengan evalusasi dapat diketaui berapa biaya dan manfaat dari suatu kebijakan. c) Mengukur tingkat keluaran (outcome) suatu kebijakan, salah satu tujuan evaluasi adalah mengukur pengeluaran ouput dari kebijakan d) Mengukur dampak suatu kebijakan, evaluasi ditujukan untuk melihat dampak dari suatu kebijakan, baik dampak positif maupun negatif. e) Untuk mengetahui apabila ada penyimpangan, evaluasi bertujuan untuk mengetahui adanya penyimpangan-penyimpangan yang mungkin terjadi, dengan cara membandingkan antara tujuan dan sasaran dengan pencapaian target. f) Sebagai bahan melakukan (input) untuk kebijakan yang akan datang, tujuan akhir dari evaluasi adalah memberikan masukan bagi proses kebijakan kedepan agar dihasilkan kebijakan yang lebih baik. 2.3.4. Model Evaluasi Kebijakan Dua macam model evaluasi kebijakan43, yakni: 1. Evaluasi Formatif Evaluasi yang dilakukan ketika kebijakan atau program yang sedang diimplementasikan merupakan analisis tentang “seberapa jauh sebuah program diimplementasikan dan apa kondisi yang bisa meningkatkan keberhasilan implementasi”. Pada fase implementasi memerlukan evaluasi
Parsons, Wayne, 2008, Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan,Prenada Media Group, Jakarta (Hal. 549-552)
43
44 Universitas Sumatera Utara
‘formatif’ yang akan emonitor cara dimana sebuah program dikelola atau diatur untuk menghasilkan umpan balik yang bisa berfungsi untuk meningkatkanproses implementasi. Rossi dan Freeman dalam buku Parsons mendeskripsikan model evaluasi ini sebgai evaluasi pada tiga persoalan: Ø Sejauh mana sebuah program mencapai target populasi yang tepat Ø Apakah penyampaian pelayanan konsisten dengan spesifikasi desain program atau tidak Ø Sumber daya apa yang dikeluarkan dalam melakukan program 2. Evaluasi Sumatif Evaluasi yang dilakukan untuk mengukur bagaimana kebijkan atau program
secara aktual berdampak pada problem yang ditanganinya.
Model evaluasai ini pada dasarnya dalah model penelitian komparatif yang mengukur beberapa persoalan yaitu: Ø Membandingkan sebelum dan sesudah program diimplementasikan Ø Membandingkan dampak intervensi terhadapsatu kelompok dengan kelompok lain atau antara satu kelompok yang menjadi subjek intervensi dan kelompok lain yang tidak (kelompok kontrol) Ø Membandingkan apa yang terjadi dengan apa yang mungkin terjadi tanpa intervensi Ø Atau membandingkan bagaimana bagian-bagian yang berbeda dalam satu wilayah mengalami dampak yang berbeda-beda akibat dari kebijakan yang sama.
45 Universitas Sumatera Utara
2.3.5. Kriteria untuk Evaluasi Kebijakan Suatu kebijakan yang telah diimplementasikan harus menghasilkan informasi menegnai kinerja kebijakan.Mengevaluasi suatu program atau kebijakan publik diperlukan adanya suatu kriteria untuk mengukur keberhasilan program atau kebijakan publik tersebut. William N. Dunn44mengemukakan beberapak kriteria dalam evaluasi, yakni: TIPE KRITERIA Efektivitas Efisiensi
Kecukupan
Perataan
Resposivitas
Ketepatan
PERTANYAAN Apakah hasil yang diinginkan telah dicapai? Seberapa banyak usaha diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan? Seberapa jauh pencapaian hasil yang diinginkan memecahkan masalah?
ILUSTRASI Unit pelayanan Unit biaya Manfaat bersih Rasio biaya-manfaat Biaya tetap (masalah tipe I) Efektivitas tetap (masalah tipe II) Kriteria Pareto Kriteria kaldorHicks Kriteria Rawls Konsistensi dengan survai warga Negara
Apakah biaya dan manfaat didistribusikan dengan merata kepada kelompokkelompok tertentu? Apakah hasil kebijakan kebutuhan, memuaskan preferensi atau nilai kelompok-kelompok tertentu? Apakah hasil (tujuan) yang Program publik diinginkan benar-benar harus merata dan berguna atau bernilai? efisien
Tabel 2.3.5.1: Kriteria Evaluasi (Sumber: Dunn, 2003:610) Kriteria-kriteria di atas merupakan tolak ukur atau indikator dari evaluasi kebijakan publik.Dikarenakan penelitian ini menggunakan metode kualitatif maka pembahasan dalam penelitian ini berhubungan dengan pertanyaan yang dirumuskan oleh William N. Dunn untuk setiap kriterianya.Sedangkan untuk 44 Dunn,
William N. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik, ed. 2 (Yogyakarta: Gajah Mada Unversity Press) hal.
610
46 Universitas Sumatera Utara
ilustrasi dilihat dari tabel di atas pembahasannya lebih kepada metode kuantitatif. Untuk lebih jelasnya setiap indikator tersebut akan dijelaskan sebagai berikut. 2.3.5.1. Efektivitas Efektivitas berasal dari kata efektif yang mengandung pengertian dicapainya keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.Efektivitas disebut juga hasil guna.Efektivitas selalu terkait dengan hubungan antara hasil yang diharapkan dengan hasil yang sesungguhnya dicapai. Seperti yang dikemukakan oleh Arthur G. Gedeian dkk dalam bukunya Organization Theory and Design yang mendefinisikan efektivitas adalah That is, the greater the extent it which an organization`s goals are met or surpassed, the greater its effectiveness (Semakin besar pencapaian tujuan-tujuan organisasi semakin besar efektivitas)45. Berdasarkan pendapat di atas, bahwa apabila pencapaian tujuan-tujuan daripada organisasi semakin besar, maka semakin besar pula efektivitasnya. Pengertian tersebut dapat disimpulkan adanya pencapaian tujuan yang besar daripada organisasi, maka makin besar pula hasil yang akan dicapai dari tujuantujuan tersebut. William N. Dunn dalam bukunya yang berjudul Pengantar Analisis Kebijakan Publik: Edisi Kedua, menyatakan bahwa: “Efektivitas (effectiveness) berkenaan dengan apakah suatu alternative mencapai hasil (akibat) yang diharapkan, atau mencapai tujuan dari diadakannya tindakan.Yang secara dekat berhubungan dengan rasionalitas teknis, selalu diukur dari unit produk atau layanan atau nilai moneternya46”.
45 Gedeian, 46 Dunn,
1991:61 William N. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik, ed. 2 (Yogyakarta: Gajah Mada Unversity Press) hal.
429
47 Universitas Sumatera Utara
Apabila
setelah
pelaksanaan
kegiatan
kebijakan
publik
ternyata
dampaknya tidak mampu memecahkan permasalahan yang tengah dihadapi masyarakat, maka dapat dikatakan bahwa suatu kegiatan kebijakan tersebut telah gagal, tetapi adakalanya suatu kebijakan publik hasilnya tidak langsung efektif dalam jangka pendek, akan tetapi setelah melalui proses tertentu. Efektifitas berasal dari kata efektif yang mengandung pengertian dicapainya keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.Efektivitas tersebut juga hasil guna.Efektivitas selalu terkait dengan hubungan anatara hasil yang diharapkan dengan hasil yang sesungguhnya dicapai47. Berdasarkan pendapat diatas, bahwa apabila pencapaian tujuan-tujuan organisasi semakin besar, maka efektifitasnya akan semakin besar pula. Kesimpulannya adanya pencapaian yang besar dari organisasi, maka makin besar pula hasil yang akan dicapai dari tujuan tersebut. Apabila setelah terlaksananya kegiatanpublik ternyata dampaknya tidak mampu memecahkan permasalahan yang sedang dihadapi masyarakat , maka dapat dikatakan bahwa suatu kegiatan kebijakan tersebut telah gagal, tetapi ada saat dimana suatu kebijakan publik itu saat di jalankan hasilnya tidak langsung efektif dalam jangka pendek, tetapi etelah melalui beberapa proses tertentu.Pendapat lain juga dinyatakan oleh Susanto, yaitu: “efektivitas merupakan daya pesan untuk mempengaruhi atau tingkat kemampuan pesan-pesan untuk mempengaruhi48”. Berdasarkan definisi tersebut, peneliti beranggapan bahwa efektivitas bisa tercipta jika pesan yang disampaikan dapat mempengaruhi khalayak yang diterpanya.
47 Menurut
Winarno (2002:184) 1975:156)
48 (Susanto,
48 Universitas Sumatera Utara
Menurut pendapat David Krech, Ricard S. Cruthfied dan Egerton L. Ballachey dalam bukunya Individual and Society yang dikutip Sudarwan Danim dalam bukunya Motivasi Kepemimpinan dan Efektivitas Kelompok menyebutkan ukuran efektivitas, sebagai berikut: 1. Jumlah hasil yang dapat dikeluarkan, artinya hasil tersebut berupa kuantitas atau bentuk fisik dari organisasi, program atau kegiatan. Hasil dimaksud dapat dilihat dari perbandingan (ratio) antara masukan (input) dengan keluaran (output). 2. Tingkat kepuasan yang diperoleh, artinya ukuran dalam efektivitas ini dapat kuantitatif (berdasarkan pula jumlah atau banyaknya) dan dapat kualitatif (berdasarkan pada mutu). 3. Produk kreatif, artinya penciptaan hubungannya kondisi yang kondusif dengan dunia kerja, yang nantinya dapat menumbuhkan kreativitas dan kemampuan. 4. Intensitas yang akan dicapai, artinya memiliki ketaatan yang tinggi dalam suatu tingkatan intens sesuatu, dimana adanya rasa saling memiliki dengan kadar yang tinggi.49 Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ukuran daripada efektivitas diharuskan adanya suatu perbandingan antara masukan dan keluaran.Ukuran daripada efektivitas mesti adanya tingkat kepuasan dan adanya penciptaan hubungan kerja yang kondusif serta intensitas yang tinggi.Artinya ukuran daripada efektivitas adalah adanya keadaan rasa saling memiliki dengan tingkatan yang tinggi. Adapun menurut pendapat Cambell yang dikutip oleh Richard M. Steers dalam bukunya Efektivitas Organisasi menyebutkan beberapa ukuran daripada efektivitas50, yaitu:
49 (Dalam 50 (Dalam
Danim, 2004:119-120) Steers, 1985:46-48)
49 Universitas Sumatera Utara
1. Kualitas artinya kualitas yang dihasilkan oleh organisasi; 2. Produktivitas artinya kuantitas dari jasa yang dihasilkan; 3. Kesiagaan yaitu penilaian menyeluruh sehubungan dengan kemungkinan dalam hal penyelesaian suatu tugas khusus dengan baik; 4. Efisiensi merupakan perbandingan beberapa aspek prestasi terhadap biaya untuk menghasilkan prestasi tersebut; 5. Penghasilan yaitu jumlah sumber daya yang masih tersisa setelah semua biaya dan kewajiban dipenuhi; 6. Pertumbuhan adalah suatu perbandingan mengenai eksistensi sekarang dan masa lalunya; 7. Stabilitas yaitu pemeliharaan struktur, fungsi dan sumber daya sepanjang waktu; 8. Kecelakaan yaitu frekuensi dalam hal perbaikan yang berakibat pada kerugian waktu; 9. Semangat kerja yaitu adanya perasaan terikat dalam hal pencapaian tujuan, yang melibatkan usaha tambahan, kebersamaan tujuan dan perasaan memiliki; 10. Motivasi artinya adanya kekuatan yang muncul dari setiap individu untuk mencapai tujuan; 11. Kepaduan yaitu fakta bahwa para anggota organisasi saling menyukai satu sama lain, artinya bekerja sama dengan baik, berkomunikasi dan mengkoordinasikan; 12. Keluwesan Adaptasi artinya adanya suatu rangsangan baru untuk mengubah prosedur standar operasinya, yang bertujuan untuk mencegah keterbekuan terhadap rangsangan lingkungan; Sehubungan dengan hal-hal yang dikemukakan di atas, maka ukuran efektivitas merupakan suatu standar akan terpenuhinya mengenai sasaran dan tujuan yang akan dicapai. Selain itu, menunjukan pada tingkat sejauhmana organisasi, program/kegiatan melaksanakan fungsi-fungsinya secara optimal.
50 Universitas Sumatera Utara
2.3.5.2. Efisiensi Menurut William N. Dunn51 “Efisiensi (efficiency) berkenaan dengan jumlah usaha yang diperlukan untuk menghasilkan tingkat efektivitas tertentu.Efisiensi yang merupakan sinonim dari rasionalitas ekonomi, adalah merupakan hubungan antara efektivitas dan usaha, yang terakhir umumnya diukur dari ongkos moneter.Efisiensi biasanya ditentukan melalui perhitungan biaya per unit produk atau layanan. Kebijakan yang mencapai efektivitas tertinggi dengan biaya terkecil dinamakan efisien” . Apabila sasaran yang ingin dicapai oleh suatu kebijakan publik ternyata sangat sederhana sedangkan biaya yang dikeluarkan melalui proses kebijakan terlampau besar dibandingkan dengan hasil yang dicapai. Ini berarti kegiatan kebijakan telah melakukan pemborosan dan tidak layak untuk dilaksanakan. 2.3.5.3. Kecukupan Menurut Dunn52: Kecukupan dalam kebijakan publik dapat dikatakan tujuan yang telah dicapai sudah dirasakan mencukupi dalam berbagai hal.Kecukupan (adequacy) berkenaan dengan seberapa jauh suatu tingkat efektivitas memuaskan kebutuhan, nilai, atau kesempatan yang menumbuhkan adanya masalah. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kecukupan masih berhubungan dengan efektivitas dengan mengukur atau memprediksi seberapa jauh alternatif yang ada dapat memuaskan kebutuhan, nilai atau kesempatan dalam menyelesaikan masalah yang terjadi.
51 Dunn,
William N. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik, ed. 2 (Yogyakarta: Gajah Mada Unversity Press) hal.
430 52 Ibid
51 Universitas Sumatera Utara
Hal ini, dalam kriteria kecukupan menekankan pada kuatnya hubungan antara alternatif kebijakan dan hasil yang diharapkan. Kriteria tersebut berkenaan dengan empat tipe masalah53, yaitu: 1) Masalah Tipe I. Masalah dalam tipe ini meliputi biaya tetap dan efektivitas yang berubah dari kebijakan. Jadi, tujuannya adalah memaksimalkan efektivitas pada batas risorsis yang tersedia. 2) Masalah Tipe II. Masalah pada tipe ini menyangkut efektivitas yang sama dan biaya yang berubah dari kebijakan. Jadi, tujuannya adalah untuk meminimalkan biaya. 3) Masalah Tipe III. Masalah pada tipe ini menyangkut biaya dan efektivitas yang berubah dari kebijakan. 4) Masalah Tipe IV. Masalah pada tipe ini mengandung biaya sama dan juga efektivitas tetap dari kebijakan. Masalah ini dapat dikatakan sulit dipecahkan karena satu-satunya alternatif kebijakan yang tersedia barangkali adalah tidak melakukan sesuatu pun. Tipe-tipe masalah di atas merupakan suatu masalah yang terjadi dari suatu kebijakan sehingga dapat disimpulkan masalah tersebut termasuk pada salah satu tipe masalah tersebut. Hal ini berarti bahwa sebelum suatu produk kebijakan disahkan dan dilaksanakan harus ada analisis kesesuaian metoda yang akan dilaksanakan dengan sasaran yang akan dicapai, apakah caranya sudah benar atau menyalahi aturan atau teknis pelaksanaannya yang benar.
William N. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik, ed. 2 (Yogyakarta: Gajah Mada Unversity Press) hal. 430-431
53 Dunn,
52 Universitas Sumatera Utara
2.3.5.4. Perataan Menurut William N. Dunn54: Perataan dalam kebijakan publik dapat dikatakan mempunyai arti dengan keadilan yang diberikan dan diperoleh sasaran kebijakan publik.menyatakan bahwa kriteria kesamaan (equity) erat berhubungan dengan rasionalitas legal dan sosial dan menunjuk pada distribusi akibat dan usaha antara kelompok-kelompok yang berbeda dalam masyarakat. Kebijakan yang berorientasi pada perataan adalah kebijakan yang akibatnya atau usaha secara adil didistribusikan.Suatu program tertentu mungkin dapat efektif, efisien, dan mencukupi apabila biaya-manfaat merata.Kunci dari perataan yaitu keadilan atau kewajaran. Seberapa jauh suatu kebijakan dapat memaksimalkan kesejahteraan sosial dapat dicari melalui beberapa cara55, yaitu: 1. Memaksimalkan kesejahteraan individu. Analis dapat berusaha untuk memaksimalkan kesejahteraan individu secara simultan. Hal ini menuntut agar peringkat preferensi transitif tunggal dikonstruksikan berdasarkan nilai semua individu. 2. Melindungi kesejahteraan minimum. Di sini analis mengupayakan peningkatan kesejahteraan sebagian orang dan pada saat yang sama melindungi posisi orang-orang yang dirugikan (worst off). Pendekatan ini didasarkan pada kriteria Pareto yang menyatakan bahwa suatu keadaan sosial dikatakan lebih baik dari yang lainnya jika paling tidak ada satu orang yang diuntungkan dan tidak ada satu orangpun yang dirugikan. Pareto ortimum adalah suatu keadaan sosial dimana tidak mungkin membuat satu orang diuntungkan (better off) tanpa membuat yang lain dirugikan (worse off).
William N. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik, ed. 2 (Yogyakarta: Gajah Mada Unversity Press) hal. 434 55 Dunn, William N. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik, ed. 2 (Yogyakarta: Gajah Mada Unversity Press) hal. 435-436 54 Dunn,
53 Universitas Sumatera Utara
3. Memaksimalkan kesejahteraan bersih. Di sini analisis berusaha meningkatkan kesejahteraan bersih tetapi mengasumsikan bahwa perolehan yang dihasilkan dapat digunakan untuk mengganti bagian yang hilang. Pendekatan ini didasarkan pada kriteria Kaldor-Hicks: Suatu keadaan sosial lebih baik dari yang lainnya jika terdapat perolehan bersih dalam efisiensi dan jika mereka yang memperoleh dapat menggantikan mereka yang kehilangan. Untuk tujuan praktis kriteria yang tidak mensyaratkan bahwa yang kehilangan secara nyata memperoleh kompensasi ini, mengabaikan isu perataan. 4. Memaksimalkan kesejahteraan redistributif. Di sini analis berusaha memaksimalkan manfaat redistributif untuk kelompok-kelompok yang terpilih, misalnya mereka yang secara rasial tertekan, miskin atau sakit. Salah satu kriteria redistributif dirumuskan oleh filosof John Rawls: Suatu situasi sosial dikatakan lebih baik dari lainnya jika menghasilkan pencapaian kesejahteraan anggota-anggota masyarakat yang dirugikan (worst off). Formulasi dari Rawls berupaya menyediakan landasan terhadap konsep keadilan, tapi kelemahannya adalah pengabaian pada konflik. Pertanyaan menyangkut perataan, kewajaran, dan keadilan bersifat politis cara-cara tersebut tidak dapat menggantikan proses politik, berarti cara-cara di atas tidak dapat dijadikan patokan untuk penilaian dalam kriteria perataan. Berikut menurut William N. Dunn56: “Pertanyaan menyangkut perataan, kewajaran, dan keadilan bersifat politis; dimana pilihan tersebut dipengaruhi oleh proses distribusi dan legitimasi kekuasaan dalam masyarakat. Walaupun teori ekonomi dan filsafat moral dapat memperbaiki kapasitas kita untuk menilai secara kritis kriteria kesamaan, kriteria-kriteria tersebut tidak dapat menggantikan proses politik”. Pelaksanaan kebijakan haruslah bersifat adil dalam arti semua sektor dan dari segi lapisan masyarakat harus sama-sama dapat menikmati hasil kebijakan.
56 Dunn,
William N. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik, ed. 2 (Yogyakarta: Gajah Mada Unversity Press) hal.
437
54 Universitas Sumatera Utara
Karena pelayanan publik merupakan pelayanan dari birokrasi untuk masyarakat dalam memenuhi kegiatan masyarakat
baik secara langsung maupun tidak
langsung. Pelayanan publik sendiri menghasilkan jasa publik. 2.3.5.5. Responsivitas Responsivitas dalam kebijakan publik dapat diartikan sebagai respon dari suatu aktivitas.Yang berarti tanggapan sasaran kebijakan publik atas penerapan suatu kebijakan.Menurut William N. Dunn menyatakan bahwa responsivitas (responsiveness) berkenaan dengan seberapa jauh suatu kebijakan dapat memuaskan kebutuhan, preferensi, atau nilai kelompok-kelompok masyarakat tertentu
57
. Suatu keberhasilan kebijakan dapat dilihat melalui tanggapan
masyarakat yang menanggapi pelaksanaan setelah terlebih dahulu memprediksi pengaruh yang akan terjadi jika suatu kebijakan akan dilaksanakan, juga tanggapan masyarakat setelah dampak kebijakan sudah mulai dapat dirasakan dalam bentuk yang positif berupa dukungan ataupun wujud yang negatif berupa penolakan. Dunn pun mengemukakan bahwa: “Kriteria responsivitas adalah penting karena analisis yang dapat memuaskan semua kriteria lainnya (efektivitas, efisiensi, kecukupan, kesamaan) masih gagal jika belum menanggapi kebutuhan aktual dari kelompok yang semestinya diuntungkan dari adanya suatu kebijakan”.
57 Dunn,
William N. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik, ed. 2 (Yogyakarta: Gajah Mada Unversity Press) hal.
437
55 Universitas Sumatera Utara
Oleh karena itu, kriteria responsivitas cerminan nyata kebutuhan, preferensi, dan nilai dari kelompok-kelompok tertentu terhadap kriteria efektivitas, efisiensi, kecukupan, dan kesamaan. 2.3.5.6. Ketepatan Ketepatan merujuk pada nilai atau harga dari tujuan program dan pada kuatnya asumsi yang melandasi tujuan-tujuan tersebut. William N. Dunn menyatakan bahwa kelayakan (Appropriateness)58 adalah: “Kriteria yang dipakai untuk menseleksi sejumlah alternatif untuk dijadikan rekomendasi dengan menilai apakah hasil dari alternatif yang direkomendasikan tersebut merupakan pilihan tujuan yang layak. Kriteria kelayakan dihubungkan dengan rasionalitas substantif, karena kriteria ini menyangkut substansi tujuan bukan cara atau instrumen untuk merealisasikan tujuan tersebut”. Artinya ketepatan dapat diisi oleh indikator keberhasilan kebijakan lainnya (bila ada). Misalnya dampak lain yang tidak mampu diprediksi sebelumnya baik dampak tak terduga secara positif maupun negatif atau dimungkinkan alternatif lain yang dirasakan lebih baik dari suatu pelaksanaan kebijakan sehingga kebijakan bisa lebih dapat bergerak secara lebih dinamis. Berdasarkan uraian di atas maka yang dimaksud dengan evaluasi dampak kebijakan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu penilaian terhadap pelaksanaan kebijakan yang telah diberlakukan oleh organisasi atau pemerintah, dengan cara mengevaluasi aspek-aspek dampak kebijakan yang meliputi efektivitas, 58 Dunn,
efisiensi,
kecukupan,
perataan,
responsivitas
dan
ketepatan
William N. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik, ed. 2 (Yogyakarta: Gajah Mada Unversity Press) hal.
499
56 Universitas Sumatera Utara
pelaksanaan kebijkan tersebut ditinjau dari aspek masyarakat sebagai sasaran kebijakan tersebut. 2.3.6. Pendekatan terhadap Evaluasi Evaluasi implementasi kebijakan dibagi tiga menurut timing evaluasi, yaitu sebelum dilaksanakan, pada waktu dilaksanakan, dan setelah dilaksanakan. Secara spesifik Dunn 59 mengembangkan tiga pendekatan evaluasi implementasi kebijakan, yang tujuan, asumsi, dan bentuk-bentuk utamanya dilukiskan dalam tabel dibawah ini. Pendekatan
Tujuan
Asumsi
Evaluasi semu
Menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid tentang hasil kebijakan
Ukuran manfaat atau nilai terbukti dengan sendirinya atau tidak controversial
Evaluasi Formal
Menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang terpercaya dan valid mengenai hasil kebijakan secara formal diumumkan sebagai tujuan program kebijakan Menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang
Tujuan dan sasaran dari pengambil kebijakan dan administrator yang secara resmi diumumkan merupakan ukuran yang tepat dari manfaat atau nilai
Evaluasi Keputusan Teoritis
Tujuan dan sasaran dari berbagi pelaku yang diumumkan secara formal
Bentuk-Bentuk Utama • Eksperimentasi sosial • Akuntansi sistem sosial • Pemeriksaan sosial • Sintesis riset dan praktik • Evaluasi perkembangan • Evaluasi eksperimental • Evaluasi proses retrospektif • Evaluasi hasil retrospektif
• Penelitian tentang dapat tidaknya evaluasi • Analisis utilitas
William N. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik, ed. 2 (Yogyakarta: Gajah Mada Unversity Press) hal. 612-613
59 Dunn,
57 Universitas Sumatera Utara
diammultiatribut dan ataupun terpercaya valid mengenai diam merupakan hasil kebijakan ukuran yang tepat yangg secara dari manfaat atau nilai eksplisit diinginkan oleh berbagai pelaku kebijakan Tabel: 2.3.6.1. Pendekatan Evaluasi, Sumber : Dunn (2003:612) Sebagai pembanding James P. Lester dan Joseph Steward, Jr. (2000) mengelompokkan evaluasi implementasi kebijakan menjadi evaluasi proses, yaitu evaluasi yang berkenaan dengan proses implementasi; evaluasi impak, yaitu evaluasi berkenaan dengan hasil dan/atau pengaruh dari implementasi kebijakan; evaluasi kebijakan, yaitu apakah benar hasil yang dicapai mencerminkan tujuan yang dikehendaki dan evaluasi meta-evaluasi yang berkenaan dengan evaluasi berbagai implementasi kebijakan yang ada untuk menurunkan kesamaankesamaan tertentu. Adapula penilaian evaluasi sesuai dengan teknik evaluasinya, yaitu: 1. Evaluasi komparatif, yaitu membandingkan implementasi kebijakan (proses dan hasilnya) dengan implementasi kebijakan yang sama atau berlainan, di suatu tempat yang sama atau berlainan. 2. Evaluasi historikal, yaitu membuat evaluasi kebijakan berdasarkan rentang sejarah munculnya kebijakan-kebijakan tersebut. 3. Evaluasi laboratorium atau eksperimental, yaitu evaluasi yang melakukan eksperimen yang diletakkan dalam sejenis laboratorium. 4. Evaluasi ad hock. Yaitu evaluasi dilakukan secara mendadak dalam waktu segera untuk mendapatkan gambar pada saat itu (snap shot)
58 Universitas Sumatera Utara
2.3.7. Langkah-langkah Evaluasi Kebijakan Dalam bukunya Budi Winarno, Kebijakan Publik Teori dan Proses (2004:169) mengutip pernyataan edward A. Suchman yaitu di sisi lain lebih masuk ke sisi praktis dengan mengemukakan enam langkah dalam evaluasi kebijakan, yakni: 1. Mengidentifikasi tujuan program yang akan dievaluasi 2. Analisis terhadap masalah 3. Deskripsi dan standarisasi kegiatan 4. Pengukuran terhadap tingkatan perubahan yang terjadi 5. Menentukan arah perubahan yang diamati merupakan akibat dari kegiatan tersebut atau karena penyebab lain 6. Beberapa indikator untuk menentukan keberadaan suatu dampak Setelah masalah didefenisikan dengan jelas maka tujuan-tujuan dapat disusun dengan jelas pula. Oleh karena itu, Suchman juga mengidenteifikasi beberapa pertanyaan operasional untuk menjalankan riset evaluasi seperti: 1. Apa yang menjadi isi dari tujuan program? 2. Siapa yang menjadi target program? 3. Kapan perubahan yang diharapkan terjadi? 4. Apakah tujuan yang ditetapkan satu atau banyak (unitary or multiple)? 5. Apakah dampak yang diharapkan besar? 6. Bagaimanakah tujuan-tujuan tersebut dicapai?
59 Universitas Sumatera Utara
2.3.8. Metode Evaluasi Menurut Finsterbucsh dan Motz 60 , dalam melakukan evaluasi terhadap program program yang telah diimplementasikan, ada beberapametode evaluasi yanh dapat dipilih yakni: a) Single program after – only yaitu informasi diperoleh berdasarkan keadaan kelompok sasaran sesudah program dijalankan. b) Single program before – after yaitu informasi yang diperolah bedasarkan perubahan keadaan sasaran sebelum dan sesudah program dijalankan. c) Comparative after – only yaitu informasi yang diperoleh berdasarkan keadaan sasaran dan bukan sasaran program dijalankan d) Comparative before – after yaitu informasi yang diperoleh berdasarkan efek program terhadap kelompok sasaran sebelum dan sesudah program dijalankan.
Jenis Evaluasi
Pengukuran kondisi kelompok sasaran
Kelompok kontrol
Sebelum
Sesudah
Tidak
Ya
Tidak Ada
Ya
Ya
Tidak Ada
Tidak
Ya
Ada
Ya
Ya
Ada
Single Program After-Only Single Program Before-after Comparative Program AfterOnly Comparative Program Before-After
Informasi yang diperoleh Keadaan kelompok sasaran Perubahan kelompok sasaran Keadaan kelompok sasaran dan kelompok kontrol Efek program terhadap kelompok sasaran dan kelompok kontrol
Tabel 2.3.8.1: Metodologi untuk Evaluasi Program, Sumber : Subarsono (2005:130) 60 dalam
Subarsono (2005:128)
60 Universitas Sumatera Utara
2.3.9. Evaluasi Dampak Sebelumnya telah disebutkan bahwa evaluasi kebijakan adalah usaha untuk menentukan dampak dari kebijakan pada kondisi kehidupan nyata. Dampak adalah perubahan kondisi fisik maupun sosial sebagai akibat dari output kebijakan. Akibat dari output kebijakanada dua macam yakni: a) Akibat yang dihasilkan oleh suatu intervensi program pada kelompok sasaran (baik akibat yang diharapkan atau tidak diharapkan) dan akibat tersebut mampu menimbulkan pola perilaku baru pada kelompok sasaran (impact) b) Akibat yang dihasilkan oleh suatu intervensi program pada kelompok sasaran, baik yang sesuai dengan yang diharapkan atau tidak dan akibat tersebut tidak mampu menimbulkan perilaku baru pada kelompok sasaran (effects). Evaluasi dampak merupakan usaha menentukan dampak atas implementasi kebijakan pada keadaan-keadaan atau kelompok-kelompok diluar sasaran. Lester dan Steward61, ada tiga yang dilakukan evaluator dalam melakukan evaluasi kebijakan publik, yaitu: ü Evaluasi kebijakan mungkin menjelaskan keluaran-keluaran kebijakan, misalnya pekerjaan, uang, materi yang di produksi, dan pelayanan yang disediakan. Keluaran ini merupakan hasil dari adanya kebijakan, namun tidak memberi makna sama sekali bagi seorang evaluator.
61 dalam
Winarno (2002:170-171)
61 Universitas Sumatera Utara
ü Evaluasi kebijakan barangkali mengenai kemampuan kebijaka dalam memperbaiki masalah-masalah sosial, misalnya usaha untuk mengurangi kemacetan lalu lintas atau tingkat kriminalitas. ü Evaluasi kebijakan barangkali menyangkut konsekuensi-konsekuensi kebijakan dalam bentuk policy feedback, termasuk didalmnya reaksi dari tindakan-tindakan pemerintah atau pernyataan dalam sistem pembuat kebijakan atau dalam beberapa pembuat keputusan. Thomas R. Dye beberapa dimensi dan
62
menyatakan dampak suatu kebijakan mempunyai
semuanya harus diperhitungkan dalam membicarakan
evaluasi. 1.
Dampak kebijakan pada masalah-masalah publik dan dampak kebijakan pada orang-orang yang terlibat
2.
Kebijakan mengkin mempunyai dampak pada keadaaan-keadaan
atau
kelompok-kelompok diluar sasaran 3.
Kebijakan mungkin mempunyai dampak pada keadaan-keadaan sekrang dan dimasa yang akan datang
4.
Evaluasi juga menyangkut kepada unsur yang lain juga, yakni biaya langsung yang dikeluarkan untuk membiayai program-proram kebijakan publik.
5.
Dimensi yang terakhir dari evaluasi adalah menyangkut biaya-biaya yang tidak langsung ditanggung oleh masyarakat atau beberapa anggota masyarakat akibat adanya kebijakan publik.
62 dalam
Winarno (2002:171-173)
62 Universitas Sumatera Utara
Sekalipun dampak sebenarnya dari suatu kebijkan publik mungkin sangat jauh dengan apa yang diharapkan, namun kebijakan tersebut pada dasarnya mempunyai
konsekuensi-konsekuensi
yang
penting
bagi
setiap
lapisan
masyarakat. 2.3.10. Model Evaluasi yang Digunakan Peneliti Didalam penelitian ini, peneliti akan melakukan evaluasi dampak dengan menggunakan metode Single Program Before-After dengan model Evaluasi Sumatif. Peneliti hendak meneliti keadaan kelompok sasaran sebelum dan sesudah program - atas apa yang telah dicanangkan oleh BPJS dalam menangani keluhan pasien di rumah sakit khususnya pada Rumah Sakit Umum Daerah Dr Pirngadidijalankan. 2.4. Teori-Teori Khusus 2.4.1. Jasa Service is Something which can be bought anf sold but which you cannot drop on your feet 63 . Maksudnya adalah bahwa jasa bisa dipertukarkan namun kerapkali sulit dialami atau dirasakan secara fisik. Jasa juga merujuk pada pengalaman yang tidak berwujud (intangible) yang diterima oleh pelanggan bersamaan dengan produk yang berwujud (tangible) dari suatu produk yang dibeli64. Definisi lain dari Jasa juga dapat diartikan sebagai a service is any act or performance that one party can offer to another that is essentially intangible and does not result in the ownership of anything65. Maksudnya adalah bahwa Jasa
Tjiptono, Fandy dan Chandra, 2011, Service Quality dan Satisfaction, Edisi Ketiga, ANDI, Yogyakarta (Hal 11) Utari, 2010:140 65 Kaihatu, 2008: 69) 63 64
63 Universitas Sumatera Utara
merupakan tindakan yang ditawarkan oleh satu pihak kepada pihak lain yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak berakibat pada kepemilikan atas sesuatu. Jasa berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan sebagai suatu aktivitas yang mempunyai beberapa karakteristik yang tidak terlihat atau tidak berwujud yang berhubungan dengan jasa itu sendiri, dan melibatkan interaksi antara penyedia jasa dengan pelanggan, serta tidak berdampak pada pengalihan kepemilikan sesuatu. Karakteristik Jasa Karakteristik jasa dapat diuraikan sebagai berikut66: a. Intangible ( tidak berwujud ) Jasa bersifat intangible artinya, jasa tidak terlihat, tidak dapat dicium, didengar, diraba atau dicoba sebelum dibeli dan dikonsumsi. Penilaian untuk kualitas jasa sebelum dan sesudah pembelian lebih sulit dibandingkan dengan barang, karena jasa itu bersifat intangible atau tidak berwujud. Oleh sebab itu, tugas penyedia jasa adalah manage the evidences dan tangiblize the intangible. b. Inseparability (tidak dapat dipisahkan) Barang pada umumnya diproduksi terlebih dahulu, kemudian dijual baru dikonsumsi. Sedangkan jasa umumnya dijual terlebih dahulu, baru diproduksi dan dikonsumsi pada waktu dan tempat yang sama. Interaksi antara penyedia jasa dan pelanggan merupakan ciri khusus dalam pemasaran jasa.
66
Musanto 2004: 125
64 Universitas Sumatera Utara
c. Heterogenity (keragaman) Jasa bersifat sangat variabel, artinya terdapat banyak variasi bentuk, kualitas dan jenis, tergantung pada siapa kapan dan dimana jasa tersebut diproduksi. d. Perishability (tidak tahan lama) Karakteristik jasa yang ini, merupakan komoditas yang tidak tahan lama tidak dapat disimpan untuk pemakaian ulang diwaktu mendatang. Berdasarkan kutipan diatas, dapat disimpulkan bahwa, jasa sering dipandang sebagai suatu fenomena yang rumit. Kata jasa itu sendiri mempunyai banyak arti, dari mulai pelayanan personal sampai jasa sebagai suatu produk. Sementara perusahaan yang memberikan operasi jasa adalah mereka yang memberikan konsumen produk jasa baik yang berwujud atau tidak. Di dalam jasa selalu ada aspek interaksi antara pihak konsumen dan pemberi jasa, meskipun pihak-pihak yang terlibat tidak selalu menyadari. 2.4.2. Kualitas Pelayanan Kualitas adalah atribut yang dilekatkan pada suatu barang atau jasa 67 . Kualitas menggambarkan sekumpulan karakteristik barang atau jasa, baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat. Jasa yang memiliki kualitas baik akan menarik kesetiaan
konsumen
dalam
mengkonsumsi
jasa
yang
ditawarkan
dan
meningkatkan kepuasan konsumen. Kualitas dapat diartikan sebagai derajat yang dicapai oleh karakteristik yang berkaitan dalam memenuhi persyaratan68.
67 68
Hutasoit, 2011:57 Lupiyoadi dan Hamdi, 2006, Manajemen Pemasaran Jasa, Edisi Kedua, Penerbit Salemba Empat, Jakarta (Hal. 175).
65 Universitas Sumatera Utara
Kualitas sering dianggap sebagai ukuran relatif kebaikan suatu produk atau jasa yang terdiri atas kualitas desain dan kualitas kesesuaian. Kualitas desain merupakan fungsi spesifikasi produk, sedangkan kualitas kesesuaian adalah suatu ukuran seberapa jauh suatu produk mampu memenuhi persyaratan atau spesifikasi kualitas yang telah ditetapkan. Terdapat lima macam perspektif kualitas69, yaitu: 1. Transcendental approach Kualitas dipandang sebagai innate execellence, di mana kualitas dapat dirasakan
atau
diketahui,
tetapi
sulit
didefinisikan
dan
dioperasionalisasikan, biasanya diterapkan dalam dunia seni. 2.
Product-based approach Kualitas
merupakan
dikuantitatifkan
karakteristik
dan dapat
diukur.
atau
atribut
yang
dapat
Perbedaan dalam kualitas
mencerminkan perbedaan dalam jumlah beberapa unsur atau atribut yang dimiliki produk. 3. User-based approach Kualitas tergantung pada orang yang memandangnya, sehingga produk yang paling memuaskan preferensi seseorang (misalnya perceived quality) merupakan produk yang berkualitas tinggi. 4.
69
Manufacturing-based approach
Tjiptono, 2011: 168
66 Universitas Sumatera Utara
Kualitas sebagai kesesuaian/ sama dengan persyaratan. Dalam sektor jasa bahwa kualitas seringkali didorong oleh tujuan peningkatan produktivitas dan penekanan biaya. 5. Value-based approach Kualitas dipandang dari segi nilai dan harga. Kualitas dalam pengertian ini bersifat relatif, sehingga produk yang memiliki kualitas paling tinggi belum tentu produk yang paling bernilai. Akan tetapi yang paling bernilai adalah barang atau jasa yang paling tepat dibeli. Pelayanan adalah kegiatan yang dikehendaki konsumen atau klien atau pekerjaan yang dilakukan untuk orang lain 70 . Yang dimaksud dengan kualitas pelayanan adalah kesesuaian dan derajat kemampuan untuk digunakan dari keseluruhan karakteristik produk dan jasa yang disediakan dalam pemenuhan harapan yang dikehendaki konsumen dengan atribut atau faktor yang meliputi : bukti langsung, perhatian pribadi dari karyawan kepada konsumen, daya tanggap, keandalan dan jaminan71. Definisi Kualitas pelayanan 72 adalah upaya pemenuhan kebutuhan dan keinginan pelanggan serta ketepatan penyampaiannya untuk mengimbangi harapan pelanggan. Kualitas pelayanan juga dapat diartikan sebagai jasa/pelayanan yang diberikan untuk memenuhi kebutuhan dann harapan konsumen73.
70
Hutasoit, 2011: 61 Hutasoit, 2011: 68 72 Tjiptono, 2011: 164 73 Deghdan, Zenouzi, & Albadhvi, 2012: 4 71
67 Universitas Sumatera Utara
Sehingga dapat disimpulkan kualitas pelayanan merupakan suatu pernyataan tentang sikap, hubungan yang dihasilkan dari perbandingan antara ekspektasi (harapan) dengan kinerja (hasil). Ada dua faktor yang mempengaruhi kualitas pelayanan jasa 74 , yaitu jasa yang diharapkan (expected service) dan jasa yang dirasakan/dipersepsikan (perceived service. Apabila jasa yang diharapkan sesuai jasa yang dirasakan, maka kualitas jasa yang bersangkutan akan dipersepsikan baik atau positif. Jika jasa yang dirasakan melebihi jasa yang diharapkan, maka kualitas jasanya dapat dipersepsikan sebagai kualitas ideal. Namun, apabila jasa yang dirasakan lebih jelek dari jasa yang diharapkan maka kualitas jasanya dapat dipersepsikan sebagai kualitas yang buruk. Persepsi buruk atau rasa tidak puas pada pelanggan dapat berakibat pada pelanggan tidak berminat lagi untuk menggunakan jasa kita. Maka dari itu, para penyedia jasa seharusnya memperhatikan kualitas dalam memenuhi harapan dan kepuasan pelanggan. Kualitas pelayanan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan kepuasan konsumen. Kualitas memberikan suatu dorongan kepada pelanggan untuk menjalin ikatan hubungan yang kuat dengan perusahaan untuk memahami dengan seksama harapan konsumen. Dengan demikian, perusahaan bisa meningkatkan kepuasan konsumen dimana perusahaan memaksimalkan pengalaman puas konsumen dan meminimalkan ketidakpuasan.
74
Kresnamurti & Sinambela, 2011: 114
68 Universitas Sumatera Utara
Kualitas berdampak langsung pada kinerja produk atau jasa. Jadi dapat disimpulkan bahwa kualitas sangat dekat hubungannya dengan penilaian konsumen dan kepuasan konsumen. 2.4.3. Dimensi Kualitas Pelayanan Ada Lima dimensi kualitas pelayanan jasa yang diidentifikasikan oleh para konsumen dalam mengevaluasi kualitas pelayanan75, yaitu : 1. Tangibles 2. Reliability; 3. Responsiveness; 4.
Assurance;,
5.
Empathy dan;
Pengertian Kelima dimensi kualitas jasa tersebut76 adalah: 1. Bukti fisik Bukti fisik (tangible) merupakan meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai, dan sarana komunikasi. Hal ini bisa berarti penampilan fasilitas fisik, seperti gedung dan ruangan front office, tersedianya tempat parkir, kebersihan, kerapian dan kenyamanan ruangan, kelengkapan peralatan komunikasi, dan penampilan karyawan. Prasarana yang berkaitan dengan layanan konsumen juga harus diperhatikan oleh manajemen perusahaan. Gedung
yang
megah
dengan
fasilitas
pendingin
(AC),
alat
telekomunikasi yang cangggih atau perabot kantor yang berkualitas, dan
75 76
Kresnamurti & Sinambela, 2011: 114-115 Tjiptono & Chandra, 2011:198
69 Universitas Sumatera Utara
lain-lain menjadi pertimbangan konsumen dalam memilih suatu produk / jasa. 2. Reliabilitas atau Keandalan (Reliability) Keandalan (reliability) merupakan kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segera, akurat dan memuaskan. Hal ini berarti perusahaan memberikan jasanya secara tepat semenjak saat pertama (right the first time). Selain itu juga berarti bahwa perusahaan yang bersangkutan memenuhi janjinya, misalnya menyampaikan jasanya sesuai dengan jadwal yang disepakati. Dalam unsur ini, pemasar dituntut untuk menyediakan produk/ jasa yang handal. Produk/ jasa jangan sampai mengalami kerusakan/ kegagalan. Dengan kata lain, produk/ jasa tersebut harus selalu baik. Para anggota perusahaan juga harus jujur dalam menyelesaikan masalah sehingga konsumen tidak merasa ditipu. Selain itu, pemasar harus tepat janji bila menjanjikan sesuatu kepada konsumen. Sekali lagi perlu diperhatikan bahwa janji bukan sekedar janji, namun janji harus ditepati. Oleh karena itu, time schedule perlu disusun dengan teliti. 3. Daya Tanggap (Responsiveness) Daya tanggap (responsiveness) merupakan keinginan para staf untuk membantu para konsumen dan memberikan pelayanan dengan tanggap. Daya tanggap dapat berarti respon atau kesigapan karyawan dalam membantu konsumen dan memberikan pelayanan yang cepat dan, yang
70 Universitas Sumatera Utara
meliputi kesigapan karyawan dalam melayani konsumen, kecepatan karyawan dalam menangani transaksi, dan penanganan. Para anggota perusahaan harus memperhatikan janji spesifik kepada konsumen. Unsur lain yang juga penting dalam elemen cepat tanggap ini adalah anggota perusahaan selalu siap membantu konsumen. Apa pun posisi seseorang di perusahaan hendaknya selalu memperhatikan konsumen yang menghubungi perusahaan. 4. Jaminan (Assurance) Jaminan (assurance) merupakan mencakup pengetahuan, kemampuan, kesopanan, dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki para staf, bebas dari bahaya, risiko atau keragu-raguan. Pada saat persaingan sangat kompetitif, anggota perusahaan harus tampil lebih kompeten, artinya memiliki pengetahuan dan keahlian di bidang masing-masing. menangani pemasangan dan layanan purna jual. Faktor security, yaitu memberikan rasa aman dan terjamin kepada konsumen merupakan hal yang penting pula. 5. Empati Empati (empathy) merupakan kemudahan dalam melakukan hubungan, komunikasi yang baik, perhatian pribadi, dan memahami kebutuhan para konsumen. Setiap anggota perusahaan hendaknya dapat mengelola waktu agar mudah dihubungi, baik melalui telepon ataupun bertemu langsung.
71 Universitas Sumatera Utara
Pengertian lain mengenai dimensi kualitas pelayanan (tangible , reliability, responsiveness, assurance, empathy)77: 1. Bukti fisik/ tangibles merupakan seberapa baik penampilan dan kemampuan sarana dan prasarana fisik harus dapat diandalkan. Penampilan fisik pelayanan, kayawan, dan komunikasi akan memberikan warna dalam pelayanan pelanggan. Tingkat kelengkapan peralatan atau teknologi yang digunakan akan berpengaruh pada pelayanan pelanggan. Karyawan adalah sosok yang memberikan perhatian terkait dengan sikap,penampilan dan bagaimana mereka menyampaikan kesan pelayanan. Dalam hal ini sejauh mana perusahaan memfasilitasi sarana komunikasi sebagai upaya untuk memberikan kemudahan dalam pelayanan adalah hal yang tidak terpisahkan. 2. Keandalan / reliability merupakan suatu kemampuan dalam memenuhi janji (tepat waktu, konsisten, kecepatan dalam pelayanan). Pemenuhan janji dalam pelayanan akan terkait dan mencerminkan kredibilitas perusahaan dalam pelayanan. Tingkat kompentensi perusahaan juga dapat dilihat dari sini, sejauh mana tingkat
kemampuan perusahaan dapat ditunjukkan.
Keandalan berkaitan dengan probabilitas atau kemungkinan suatu produk melaksanakan fungsinya secara berhasil dalam periode waktu tertentu dibawah kondisi tertentu dengan demikian keandalan merupakan
77
Assegaff, 2009:172
72 Universitas Sumatera Utara
karakteristik yang merefleksikan kemungkinan atau probabilitas tingkat keberhasilan. 3. Daya tanggap / responsiveness merupakan suatu kebijakan untuk membantu dan memberikan pelayanan yang cepat kepada pelanggan. Pada pelayanan, kemampuan untuk segera mengatasi kegagalan secara profesional dapat memberikan persepsi yang positif terhadap kualitas pelayanan. Adapun bentuk kepedulian tersebut dapat dilakukan baik melalui pencapaian informasi atau penjelasanpenjelasan ataupun melalui tindakan yang dapat dirasakan manfaatnya oleh pelanggan. 4. Jaminan / assurance Jaminan merupakan pengetahuan dan keramahan karyawan serta kemampuan melaksanakan tugas secara spontan yang dapat menjamin kerja yang baik, sehingga menimbulkan kepercayaan dan keyakinan pelanggan. Tingkat pengetahuan mereka akan menunjukkan tingkat kepercayaan bagi pelanggan, sikap ramah, sopan bersahabat adalah menunjukkan adanya perhatian pada pelanggan. 5. Empati / empathy adalah memberikan jaminan yang bersifat individual atau pribadi kepada pelanggan dan berupaya untuk memahami keinginan pelanggan. Tingkat kepedulian dan perhatian perusahaan pada pelanggannya secara individual akan sangat didambakan oleh pelanggan. Persoalan dan masalah dapat muncul dan sejauh mana tingkat kepedulian untuk
73 Universitas Sumatera Utara
menyelesaikan masalah, mengerti kemauan
dan kebutuhan pelanggan
dapat diaktualisasikan. Kepedulian terhadap masalah yang dihadapi pelanggan, mendengarkan serta berkomunikasi secara individual, kesemuanya itu akan menunjukkan sejauh mana tingkat pelayanan yang diberikan. 2.4.4. Kepuasan Konsumen Kepuasan
konsumen
adalah
tingkat
perasaan
seseorang
setelah
membandingkan kinerja (atau hasil) yang ia rasakan dibandingkan dengan harapannya. Kepuasan konsumen dapat diartikan sebagai hasil akumulasi dari konsumen atau konsumen dalam menggunakan produk dan jasa 78 . Kepuasan konsumen juga dapat dideskripsikan sebagai sesuatu yang dipengaruhi oleh nilainilai suatu layanan yang disuguhkan oleh pegawai kepada pelanggan79. Dengan mengkaji beberapa definisi dan pengertian dari pendapat para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa kepuasan konsumen adalah perasaan senang atau tidak senang, puas atau tidak puas setelah mereka mengevaluasi kinerja yang dirasakannya dan mengevaluasi apakah harapannya sudah terpenuhi. Ada dua elemen dasar yang dirasakan konsumen untuk menggambarkan variasi tingkat kepuasannya80, yaitu : 1. Harapan, yaitu berbagai kriteria mengenai barang atau jasa yang diinginkan.
78
Windarti, 2012: 2 Kaihatu, 2008: 72 80 Hutasoit, 2011: 21 79
74 Universitas Sumatera Utara
2. Kinerja, yaitu segala jenis hasil atau pelayanan yang diberikan oleh perusahaan mengenai suatu barang atau jasa. Kepuasan konsumen diartikan sebagai sesuatu yang dipengaruhi oleh nilai – nilai yang disuguhkan pegawai kepada konsumen. Pada dasarnya tujuan dari suatu bisnis adalah untuk menciptakan para konsumen yang merasa puas. Terciptanya kepuasan konsumen dapat memberikan beberapa manfaat, diantaranya hubungan antara perusahaan dan konsumen menjadi harmonis, memberikan dasar yang baik bagi pembelian ulang dan terciptanya loyalitas konsumen, dan membentuk suatu rekomendasi dari mulut ke mulut yang menguntungkan perusahaan. Konsumen akan memiliki harapan mengenai bagaimana produk tersebut seharusnya berfungsi (performance expectation), harapan tersebut adalah standar kualitas yang akan dibandingkan dengan fungsi atau kualitas produk yang sesungguhnya dirasakan konsumen. 2.5. Penanganan Keluhan dan Sistem Penanganan Keluhan 2.5.1. Defenisi Keluhan Pelanggan Bagi banyak orang, istilah keluhan/komplain atau pengaduan identik dengan sebuah kritik dan ancaman yang menyudutkan. Keluhan atau komplain berasal dari bahasa latin yaitu “plangere” yang artinya memukul dan ditujukan pada bagian dada seseorang. Dapat diartikan sebagai sebuah penderitaan yang mengganggu dan membuat tidak nyaman. Keluhan/komplain merupakan sebuah harapan yang belum terpenuhi 81 . Keluhan pelanggan merupakan ungkapan ketidakpuasan yang dirasakan oleh konsumen 82 keluhan pelanggan adalah hal
81 (Barlow 82 (Rusadi,
& Moller, 1996) 2004)
75 Universitas Sumatera Utara
yang tidak dapt diabaikan karena apabila diabaikan hal tersebut akan membuat konsumen merasa tidak diperhatikan pada akhirnya pelanggan akan meninggalkan perusahaan. Pada dasarnya setiap orang yang berhubungan dengan kita merupakan seorang pelanggan. Pelanggan83 adalah yang membeli produk dan jasa pada suatu perusahaan. Pelanggan dapat berupa seorang (individu) dan dapat pula sebagai suatu perusahaan. Pelanggan terdiri atas dua jenis 84, yaitu: 1. Pelanggan internal (internal custumer), yaitu orang-orang yang terlibat dalam proses penyediaan jasa atau proses produksi barang, sejak dari perencanaan, penciptaan jasa atau pembuat barang, sampai dengan pemasaran dan penjualan dan pengadministrasiannya. 2. Pelanggan eksternal (external customer), yaitu semua orang yang berada diluar organisasi komersil atau organisasi non komersil yang menerima layanan penyerahan barang dan jasa dari organisasi (perusahaan). Keluhan pelanggan dalam satu sisi merupakan alat kendali atau evaluasi dalam pemberian kualitas pelayanan kepada masyarakat atau pelanggan. Keluhan menjadi suatu hal yang perlu diperhatian, yang menjadikan keluhan sebagai suatu masalah yang perlu dicari solusinya. Setiap pelanggan memiliki respon yang tidak sama terhadap kondisi yang dihadapi berkaitan dengan layanan yang diterima. Terkadang keluhan menjadi metode pelanggan untuk memberitahukan kepada rumah sakit bagaimana menjalankan sebuah organisasi. Survei nielson tahun
83 (Yotie:2002) 84 Barata,
2004:12-13
76 Universitas Sumatera Utara
199885menunjukkan 6 (enam) alasan mengapa perusahaan kehilangan pelanggan, yaitu: Ø 1% pelanggan meninggal Ø 3% pelanggan pindah tempat tinggal Ø 5% dipengaruhi orang lain Ø 9% terpikat oleh pesaing karena harga atau hal lain Ø 15% dikecewakan oleh kualitas produk/jasa Ø 68% merasa ditolak oleh sikap tidak peduli para karyawan Oleh karena itu pelanggan yang mengeluh bisa menjadi loyal apabila organisasi dapat menangani keluhan tersebut dengan baik86. 2.5.1.1.Jenis – Jenis keluhan Helath Services Review Council (2005) menjelaskan bahwa keluhan dapat dikelompokka dalam tiga kategori besar. Beberapa keluhan akan bergerak melalui ketiganya, yakni: a) Point of Sevices Complaint/Enquiries adalah keluhan langsung yang dapat ditangani dengan segera untuk kepuasan konsumendi titik pelayanan. Kadang-kadang semua yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah adalah bagi konsumen untuk berbicara secara langsung kepada staf yang terlibat. b) Complaint Needing Investigation adalah hal-hal yang lebih serius atau kompleks atau keluhan yang belum terselesaikan mungkin perlu dirujuk kepada staf yang lebih senior atu manajer keluhan. Ada kebutuhan untuk
2003) 1994
85 (Nulman, 86 Cannie,
77 Universitas Sumatera Utara
penyelidikan dan hasil yang jelas diidentifikasi. Ini mungkin melibatkan tingkatyang berbeda dalam organisasi. c) External complaints adalah keluhan yang belum terselesaikan oleh organisasi. Mereka perlu dirujuk kelembaga eksternal atau asuransi untuk menangani. Kotler87 membagi keluhan menjadi 2 (dua) macam, yaitu: a) Keluhan disampaikan secara lisan melaui telepon dan komuniksi langsung b) Keluhan yang disampaikan secara tertulis melalui guest complaint form. Tjiptono88 membedakan keluhan menjadi 2 (dua) tipe, yaitu: a) Instrumental complain, komplain atau keluhan yang diungkapkan dengan tujuan mengubah situasi atau keadaan yang tidak diinginkan. b) Non-instrumental complain, keluhan yang dilontarkan tanpa ekspektasi khusus bahwa situasi yang tidak diinginkan tersebut akan berubah. Kompalin ini mencakup pula instrumental complain yang disampaikan kepada pihak ketiga dan bukan kepada pihak yang menimbulkan masalah. Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa keluhan dibedakan menjadi keluhan langsung dan tidak langsunng. Keluhan langsung merupakan keluhan yang dilakukan dengan berinteraksi langsung dengan bertatap muka atau komunikasi lewat telepon. Sedangkan keluhan tidak langsung disampaikan dengan menggunakan media surat atau form
87 Kotler,
2003
88 Tjiptono:2005
78 Universitas Sumatera Utara
pengaduan yangg diselesaikan pihak perusahaan atau melalui pihak ketiga (pengacara dan media massa) 2.5.1.2. Dokumentasi Keluhan Pelanggan Manajemen penanganan komplain yang efektif membutuhkan prosedur yang jelas dan terstruktur dengan baik agar dapat menyelesaikan masalah serta didukung oleh sumber daya dan infrastruktur yang memadai sehingga menciptakan kinerja yang
memuaskan. Beberapa karakteristik penilaian
manajemen komplain yangg efektif menurut Tjiptono89 : a) Komitmen : Pihak manajemen dan semua anggota memiliki komitmen yang tinggi utuk mendengarkan dan menyelesaikan masalah komplain dalam rangka peningkatan produk dan jasa. b) Visible : memberikan informasi yang jelas dan akurat kepada pelanggan tentang prosedur penyampaian komplain dan pihak-pihak yang dihubungi. c) Acessible : perusahaan menjamin bahwa pelanggan dapat menyampaikan komplain secara bebas, mudah dan murah. d) Kesederhanaan: prosedur komplain sederhana dan mudah dipahami pelanggan. e) Kecepatan : komplain ditangani secepat mungkin. Rentang waktu penyelesaian masalah diinformasikan secara realistis kepada pelanggan, setiap perkembangan atau kemajuan dlam penanganan masalah dikomunikasikan kepada pelanggan yang bersankutan. f) Fairness : setiap komplain mendapat perlakuan yang sama adil tanpa membeda-bedakan. g) Confidential : menghargai dan menjaga keinginan dan privasi pelanggan h) Records : data mengenai komplain disusun sedemikian rupa sehingga setiap upaya perbaikan berkesinambungan. i) Sumber Daya : perusahaan mengalokasikan sumber daya dan infrastrukur yang memadai untuk pengembangan dan penyempurnaan sistem penanganan komplain termasuk pelatihan karyawan. j) Remedy : pemecahan dan penyelesaian yang tepat (seperti maaf, ganti rugi, refund) untuk setiap komplain ditetapkan dan diimplementasikan secara konsekuen.
89
Fady Tjiptono dan Anatasia, Total Quality Manajement, (Yogyakarta: Andi, 2003)
79 Universitas Sumatera Utara
Perusahaan-perusahaan menawarkan pelayanan jasa dengan memanfaatkan keluhan sebagai informasi yang dapat digunakan mengevaluasi dan memperbaiki kinerja operasional. Keluhan yang masuk dicatat dan didokumentasikan guna memantau status keluhan yang diajukan oleh pelanggan. Kegiatan melakukan dokumentasi keluhan untuk mewujudkan good custumer service, yaitu: Ø Mendokumentasikan dengan rapi setiap keluhan pelanggan Ø Mendistribusikan setiap keluhan ke departemen terkait di dlam perusahaan Ø Mencatat respon time perubahan terhadap keluhan pelanggan. Lovelock dan Wright90 menyatakan manfaat dari catatan keluhan pelanggan adalah sebagai berikut: Ø Menjadi dasar untuk melacak semua pengaduan apakah benar telah ditangani Ø Sebagai peringatan dini tentang kemerosotan yang dipahami dalam satu atau lebih dari aspek jasa. Ø Menunjuk topik atau masalah yang mungkin memerlukan penelitian lebih lanjut. Perusahaan harus dapat memanfaatkan keluhan pelanggan semaksimal mungkin dengan cara mempermudah akses pelanggan untuk melakukan pengaduan.
90 Lovelock
dan Wright (2005)
80 Universitas Sumatera Utara
2.5.2. Penyebab Terjadinya Keluhan Pada dasarnya pelanggan mengeluh karena ada dasar ketidak puasan yang diterima atas setiap layanan yang diterima. Soeharto A. Majid91 menyebut banyak hal yang menyebabkan hal tersebut terjadi, seperti: a) Pelayanan yang diharapkan tidak seperti harapan b) Mereka diacuhkan, menunggu tanpa penjelasan c) Tidak ada yang mau mendengarkan d) Sesorang berlaku tidak sopan atau tidak membantu terhadap mereka. e) Tidak ada yang bertanggung jawab untuk suatu kesalahan f) Ada kegagalan komunikasi, dll Kepuasan pelanggan ditentukan oleh performa kualitas pelayanan di lapangan92. Bila pelayanan yang didapatkan tidak sesuai harapan pelanggan, maka pelayanan yang diberikan dianggap tidak memuaskan. 2.5.3. Defenisi Sistem Sistem adalah suatu rangkaian komponen yang berhubungan satu sama lain dan mempunyai suatu tujuan yang jelas 93 . Komponen dari suatu sistem adalah input, proses, output, effect, outcome dan mekanisme umpan baliknya. Shrode dan Voich94 ciri-ciri sistem terbagi atas 6 (enam) yakni: a) Sistem mempunyai tujuan dan karena itu semua perilaku yang ada pada sistem pada dasarnya bermaksuh mencapai tujuan
91 Soeharto
A. Majid (2009:149)
92 (Yoeti:2003) 93 (Muninjaya:2004) 94 dalam
(Azwar: 2004)
81 Universitas Sumatera Utara
b) Sistem sekalipun terdiri dari berbagai bagian atau elemen, tetapi secara keseluruhan merupakan suatu yang bulat dan utuh jauh melebihi kumpulan bagian atau elemen tersebut c) Berbagai bagian atau elemen yang terdapat dalam sistem saling terkait berhungungan serta berinteraksi d) Sistem bersifat terbuka selaluberinteraksi dengan sistem lainyang lebih luas, yang biasanya disebut denga lingkungan e) Sistem mempunyai kemampuan transformasi, artinya mampu mengubah sesuatu yang lain. Dengan perkataan lain, sistem mengubah masukan menjadi keluaran
f) Sistem
mempunyai
mekanisme
pengadilan,
baik
dalam
rangka
menyatukan berbagai bagian atau elemen, atau dlam rangka mengubah masukan menjadi keluaran. Input yaitu sumber daya atau masukan yang dikonsumsi oleh suatu mutu sistem. Sumber daya dari suatu sistem adalah man, money, material, method, machine, dan market, disingkat dengan 6M. Proses yaitu semua kegiatan sistem. Melalui proses akan diubah input menjadi output. Output yaitu hasil langsung (keluaran) suatu sistem effect yaitu hasil tidak langsung yang pertama dari proses suatu sistem. Pada umumnya effect suatu sistem dapat dikaji pada perubahan pengetahuan, sikap perilaku kelompok masyarakat yang dijadikan sasaran
82 Universitas Sumatera Utara
program. Outcome yaitu dampak atau hasil tidak langsung dari proses suatu sistem95. Departemen Kesehatan RI (2007) menyebutkan bahwa yang tercakup dalam komponen masukan adalah informasi, instrumen pencatatan dan pelaporan data dan sumber daya. Komponen proses mencakup pengorganisasian dan tata kerja serta pengolahan data dan komponen keuaran mencakup penyimpanan, penyebarluasan, pendayagunaan, dan pemanfaatan informasi yang dihasilkan dari proses pengolahan data.Pengembangan sumber daya manusia adalah suatu proses perencanaan pendidikan dan pelatihan dan pengelolaan pegawai untuk mencapai suatu hasil yang optimal. Penentuan dasar kebutuhan rekrutmen pegawai di rumah sakit meliputi hal96: a) Penentuan kebutuhan secara fungsi Dasar penentuan ini adalah pelayanan. Pelayanan jenis apa yang perlu diisi dan selanjutnya apakah ada pelayanan yang mirip atau tidak. seperti pada rumah sakit kepala unit rawat jalan dan unit gawat darurat bisa dirangkap. b) Penentuan kebutuhan secara pekerja Dalam hal ini pekerjaan tentu membutuhkan berapa banyak tenaga.Berapa beban kerjanya, maka secara lebih tepat tentu perlu analisis jabatan untuk menentukannya. Fasilitas juga merupakan faktor pendukung dalam penyajian layanan kesehatan di rumah sakit, fasilitas adalah segala sesuatu yang dapat dipakai untuk 95 96
A.A. Gede Muninjaya, Manajemen Kesehatan, (Jakarta: Buku Kedokteran EGC, 2004) Boy S Sabarguna, Quality Assurance Pelayanan Rumah Sakit, (Jawa Tengah: Konsorsium RS Islam, 2004)
83 Universitas Sumatera Utara
mempermudah upaya dan memperlancar kerja dalam rangka mencapai suatu tujuan97. Hasil penelitian Rozalia98 juga menyatakan bahwa ketidakpuasan pasien disebabkan oleh kurangnya fasilitas yag tersedia 2.5.4. Sistem penanganan keluhan Pelanggan Keluhan bukanlah hal yang dipandang negatif tetapi juga dipandang sebagai hal yang positif karrena merupakan sumber pembelajaran, suatu masukan yang berharga bagi perusahaan untuk memperbaiki kinerja pelayanan mereka. Tjiptono (2001), menyebutkan aspek dalam penanganan keluhan: a) Empati terhadap pelanggan yang marah b) Kecepatan dalam penanganan dalam keluhan c) Kewajaran atau keadilan dalam memecahkan keluhan d) Kemudahan bagi pelanggan untuk menghubungi perusahaan, guna menyampaikan kkomentar, saran, kritik, pertanyaan maupun keluhan tentang pelayanan. Sedangkan menurut Barlow dan Moller99 menetapkan langkah yang harus dilakukan oleh pelaksana penganan keluhan agar efektif: a) Mengucapkan terima kasih, tidak ada cara yang lebih baik untuk membuat orang lain merasa diterima selain dengan mengucapkan terima kasih dengan tulus b) Menjelaskan betapa kita enghargai keluhannya c) Meminta maaf untuk kesalahan yang kita lakukan d) Berjanji untuk melakukan sesuatu terhadap keluhan tersebut secepatnya Zakiah darajat dalam arianto sam 2011 Penelitian Rozalia 2002 99 Barlow dan Moller (1996) 97 98
84 Universitas Sumatera Utara
e) Mengoreksi kesalahan dengan benar f) Memeriksa kepuasan pasien. Apakah pasien sudah puas dengan penyelesaian komplain tersebut atau tidak g) Mencegah kesalahan yang akan datang. Cara penanganan keluhan bervariasi dari suatu organisasi ke organisasi lain tetapi yang mendasari prinsip tetap sama. Prinsip ini dapat dimasukkan sebagai inti komponen pelayanandan dipahami oleh staff di semua tingkatan. 2.5.5. Manfaat Penanganan Keluhan Penanganan keluhan yang efektif akan memberikan dampak yang positif bagi kepuasan pelanggan yang dapat mempengaruhi citra suatu instansi. Oleh karena itu instansi pemerintah dan swasta haruslah memiliki sistem penangan keluhan yang efektif. Manfaat penanganan keluhan yang efektif yakni: a)
Memperbaiki hubungan baik antara penyedia jasa dan pelanggan yang sempat merasakan kekecewaan
b)
Terhindarnya publikasi negatif bagi penyedia jasa
c)
Penyedia jasa mengetahui aspek-aspek yang penting dalam pelayanannya
d) Penyedia jasa mengetahui sumber masalah e)
Karyawan akan termotivasi untuk memberikan pelayanan yang berkualitas
Keluhan mengandung pemahaman yang unik mengenai keinginan pelanggan dan membuat keloyalan pelanggan kepada instansi. Meningkatkan skill dalam melobi amarah pelaggan adalah salah satu manfaat yang akan didapat oleh karyawan/pelayan medis dalam menyelesaikan masalah-masalah pelanggan.
85 Universitas Sumatera Utara
2.6. BPJS KESEHATAN BPJS Kesehatan adalah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan, yaitu sebuah Badan Usaha Milik Negara yang berperan untuk menyelenggarakan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi seluruh warga negara Indonesia.BPJS sebenarnya lebih dikhusukan untuk kalangan Pegawai Negeri Sipil (PNS), Pensiunan PNS dan TNI/POLRI, Veteran, Perintis Kemerdekaan beserta anggota keluarganya dan Badan Usaha lainnya.Namun demikian, warga-masyarakat biasa juga berhak untuk mendaftar BPJS Kesehatan. BPJS Kesehatan merupakan program pemerintah dalam kesatuan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diresmikan pada 31 Desember 2013.BPJS Kesehatan mulai beroperasi pada tanggal 1 Januari, 2014.Sementara itu, BPJS Ketenagakerjaan mulai beroperasi pada tanggal 1 Juli 2014. BPJS Kesehatan selama ini dikenal dengan nama Askes (Asuransi Kesehatan). Askes dikelola oleh PT. Askes Indonesia (Persero), dan berdasarkan UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS, pada tanggal 1 Januari 2014 PT. Askes Indonesia Askes kemudian berubah menjadi BPJS. 2.6.1. Kepesertaan Pegawai negeri dengan membayar gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk lainnya. Peserta tersebut meliputi: Penerima Bantuan Iuran (PBI) JKN dan bukan PBI JKN dengan rincian sebagai berikut: a) Peserta PBI Jaminan Kesehatan meliputi orang yang tergolong fakir miskin dan orang tidak mampu.
86 Universitas Sumatera Utara
b) Peserta bukan PBI adalah Peserta yang tidak tergolong fakir miskin dan orang tidak mampu yang terdiri atas: 1. Pekerja Penerima Upah dan anggota keluarganya, yaitu: a) Pegawai Negeri Sipil; b) Anggota TNI; c) Anggota Polri; d) Pejabat Negara; e) Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri; f) Pegawai Swasta; dan g) Pekerja yang tidak termasuk huruf a sampai dengan huruf f yang menerima Upah. 2. Pekerja Bukan Penerima Upah dan anggota keluarganya, yaitu: a) Pekerja di luar hubungan kerja atau Pekerja mandiri dan b) Pekerja yang tidak termasuk huruf a yang bukan penerima Upah. c) Pekerja sebagaimana dimaksud huruf a dan huruf b, termasuk warga negara asing yang bekerja di Indonesia paling singkat 6 (enam) bulan. 3. Bukan Pekerja dan anggota keluarganya terdiri atas: a) Investor; b) Pemberi Kerja; c) Penerima Pensiun; d) Veteran; e) Perintis Kemerdekaan; dan
87 Universitas Sumatera Utara
f) Bukan Pekerja yang tidak termasuk huruf a sampai dengan huruf e yang mampu membayar Iuran. 4. Penerima pensiun terdiri atas: a) Pegawai Negeri Sipil yang berhenti dengan hak pensiun; b) Anggota TNI dan Anggota Polri yang berhenti dengan hak pensiun; c) Pejabat Negara yang berhenti dengan hak pensiun; d) Penerima Pensiun selain huruf a, huruf b, dan huruf c; dan e) Janda, duda, atau anak yatim piatu dari penerima pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf d yang mendapat hak pensiun. Anggota keluarga bagi pekerja penerima upah meliputi: a) Istri atau suami yang sah dari Peserta; dan b) Anak kandung, anak tiri dan/atau anak angkat yang sah dari Peserta, dengan kriteria: 1) tidak atau belum pernah menikah atau tidak mempunyai penghasilan sendiri; dan 2) belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau belum berusia 25 (duapuluh lima) tahun yang masih melanjutkan pendidikan formal. Sedangkan Peserta bukan PBI JKN dapat juga mengikutsertakan anggota keluarga yang lain. 5. WNI di Luar Negeri Jaminan kesehatan bagi pekerja WNI yang bekerja di luar negeri diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tersendiri.
88 Universitas Sumatera Utara
6. Syarat pendaftaran Syarat pendaftaran akan diatur kemudian dalam peraturan BPJS. 7. Lokasi pendaftaran Pendaftaran Peserta dilakukan di kantor BPJS terdekat/setempat. 8. Prosedur pendaftaran Peserta a) Pemerintah mendaftarkan PBI JKN sebagai Peserta kepada BPJS Kesehatan. b) Pemberi Kerja mendaftarkan pekerjanya atau pekerja dapat mendaftarkan diri sebagai Peserta kepada BPJS Kesehatan. c) Bukan pekerja dan peserta lainnya wajib mendaftarkan diri dan keluarganya sebagai Peserta kepada BPJS Kesehatan. 9. Hak dan kewajiban Peserta •
Setiap Peserta yang telah terdaftar pada BPJS Kesehatan berhak mendapatkan a) identitas Peserta dan b) manfaat pelayanan kesehatan di Fasilitas Kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.
•
Setiap Peserta yang telah terdaftar pada BPJS Kesehatan berkewajiban untuk: a. membayar iuran dan b. melaporkan data kepesertaannya kepada BPJS Kesehatan dengan menunjukkan identitas Peserta pada saat pindah domisili dan atau pindah kerja.
10. Masa berlaku kepesertaan a) Kepesertaan
Jaminan
Kesehatan
Nasional
berlaku
selama
yang
bersangkutan membayar Iuran sesuai dengan kelompok peserta.
89 Universitas Sumatera Utara
b) Status kepesertaan akan hilang bila Peserta tidak membayar Iuran atau meninggal dunia. c) Ketentuan lebih lanjut terhadap hal tersebut diatas, akan diatur oleh Peraturan BPJS. 11. Pentahapan kepesertaan Kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional dilakukan secara bertahap, yaitu tahap pertama mulai 1 Januari 2014, kepesertaannya paling sedikit meliputi: PBI Jaminan Kesehatan; Anggota TNI/PNS di lingkungan Kementerian Pertahanan dan anggota keluarganya; Anggota Polri/PNS di lingkungan Polri dan anggota keluarganya; peserta asuransi kesehatan PT Askes (Persero) beserta anggota keluarganya, serta peserta jaminan pemeliharaan kesehatan Jamsostek dan anggota keluarganya. Selanjutnya tahap kedua meliputi seluruh penduduk yang belum masuk sebagai Peserta BPJS Kesehatan paling lambat pada tanggal 1 Januari 2019. 2.6.2. Pembiayaan 1. Iuran Iuran Jaminan Kesehatan adalah sejumlah uang yang dibayarkan secara teratur oleh Peserta, Pemberi Kerja, dan/atau Pemerintah untuk program Jaminan Kesehatan (pasal 16, Perpres No. 12/2013 tentang Jaminan Kesehatan). 2. Pembayar Iuran •
bagi Peserta PBI, iuran dibayar oleh Pemerintah.
•
bagi Peserta Pekerja Penerima Upah, Iurannya dibayar oleh Pemberi Kerja dan Pekerja.
90 Universitas Sumatera Utara
•
bagi Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta Bukan Pekerja iuran dibayar oleh Peserta yang bersangkutan.
•
besarnya Iuran Jaminan Kesehatan Nasional ditetapkan melalui Peraturan Presiden dan ditinjau ulang secara berkala sesuai dengan perkembangan sosial, ekonomi, dan kebutuhan dasar hidup yang layak.
3. Pembayaran Iuran Setiap Peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari upah (untuk pekerja penerima upah) atau suatu jumlah nominal tertentu (bukan penerima upah dan PBI). Setiap Pemberi Kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran peserta yang menjadi tanggung jawabnya, dan membayarkan iuran tersebut setiap bulan kepada BPJS Kesehatan secara berkala (paling lambat tanggal 10 setiap bulan).Apabila tanggal 10 (sepuluh) jatuh pada hari libur, maka iuran dibayarkan pada hari kerja berikutnya. Keterlambatan pembayaran iuran JKN dikenakan denda administratif sebesar 2% (dua persen) perbulan dari total iuran yang tertunggak dan dibayar oleh Pemberi Kerja. Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta bukan Pekerja wajib membayar iuran JKN pada setiap bulan yang dibayarkan paling 27 lambat tanggal 10 (sepuluh) setiap bulan kepada BPJS Kesehatan. Pembayaran iuran JKN dapat dilakukan diawal. BPJS Kesehatan menghitung kelebihan atau kekurangan iuran JKN sesuai dengan Gaji atau Upah Peserta. Dalam hal terjadi kelebihan atau kekurangan pembayaran iuran, BPJS Kesehatan memberitahukan secara tertulis kepada
91 Universitas Sumatera Utara
Pemberi Kerja dan/atau Peserta paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya iuran. Kelebihan atau kekurangan pembayaran iuran diperhitungkan dengan pembayaran Iuran bulan berikutnya. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran iuran diatur dengan Peraturan BPJS Kesehatan. 4. Cara Pembayaran Fasilitas Kesehatan BPJS Kesehatan akan membayar kepada Fasilitas Kesehatan tingkat pertama dengan Kapitasi. Untuk Fasilitas Kesehatan rujukan tingkat lanjutan, BPJS Kesehatan membayar dengan sistem paket INA CBG’s. Mengingat kondisi geografis Indonesia, tidak semua Fasilitas Kesehatan dapat dijangkau dengan mudah. Maka, jika di suatu daerah tidak memungkinkan pembayaran berdasarkan Kapitasi, BPJS Kesehatan diberi wewenang untuk melakukan pembayaran dengan mekanisme lain yang lebih berhasil guna. Semua Fasilitas Kesehatan meskipun tidak menjalin kerja sama dengan BPJS Kesehatan wajib melayani pasien dalam keadaan gawat darurat, setelah keadaan gawat daruratnya teratasi dan pasien dapat dipindahkan, maka fasilitas kesehatan tersebut wajib merujuk ke fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. BPJS Kesehatan akan membayar kepada fasilitas kesehatan yang tidak menjalin kerjasama setelah memberikan pelayanan gawat darurat setara dengan tarif yang berlaku di wilayah tersebut. 5. Pertanggungjawaban BPJS Kesehatan
92 Universitas Sumatera Utara
BPJS Kesehatan wajib membayar Fasilitas Kesehatan atas pelayanan yang diberikan kepada Peserta paling lambat 15 (lima belas) hari sejak dokumen klaim diterima lengkap. Besaran pembayaran kepada Fasilitas Kesehatan ditentukan berdasarkan kesepakatan antara BPJS Kesehatan dan asosiasi Fasilitas Kesehatan di wilayah tersebut dengan mengacu pada standar tarif yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.Dalam hal tidak ada kesepakatan atas besaran pembayaran, Menteri Kesehatan memutuskan besaran pembayaran atas program JKN yang diberikan.Asosiasi Fasilitas Kesehatan ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Dalam JKN, peserta dapat meminta manfaat tambahan berupa manfaat yang bersifat non medis berupa akomodasi. Misalnya: Peserta yang menginginkan kelas perawatan yang lebih tinggi daripada haknya, dapat meningkatkan haknya dengan mengikuti asuransi kesehatan tambahan, atau membayar sendiri selisih antara biaya yang dijamin oleh BPJS Kesehatan dan biaya yang harus dibayar akibat peningkatan kelas perawatan, yang disebut dengan iur biaya (additional charge). Ketentuan
tersebut
tidak
berlaku
bagi
peserta
pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugasnya,
PBI.Sebagai
BPJS
bentuk
Kesehatan wajib
menyampaikan pertanggungjawaban dalam bentuk laporan pengelolaan program dan laporan keuangan tahunan (periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember).Laporan yang telah diaudit oleh akuntan publik dikirimkan kepada Presiden dengan tembusan kepada DJSN paling lambat tanggal 30 Juni tahun berikutnya. Laporan tersebut dipublikasikan dalam bentuk ringkasan eksekutif melalui media massa elektronik dan melalui paling sedikit 2 (dua) media massa cetak
93 Universitas Sumatera Utara
yang memiliki peredaran luas secara nasional, paling lambat tanggal 31 Juli tahun berikutnya. 2.6.3. Pelayanan 1. Jenis Pelayanan Ada 2 (dua) jenis pelayanan yang akan diperoleh oleh Peserta JKN, yaitu berupa pelayanan kesehatan (manfaat medis) serta akomodasi dan ambulans (manfaat non medis). Ambulans hanya diberikan untuk pasien rujukan dari Fasilitas Kesehatan dengan kondisi tertentu yang ditetapkan oleh BPJS Kesehatan. 2. Prosedur Pelayanan Peserta yang memerlukan pelayanan kesehatan pertama-tama harus memperoleh pelayanan kesehatan pada Fasilitas Kesehatan tingkat pertama.Bila Peserta memerlukan pelayanan kesehatan tingkat lanjutan, maka hal itu harus dilakukan melalui rujukan oleh Fasilitas Kesehatan tingkat pertama, kecuali dalam keadaan kegawatdaruratan medis. 3. Kompensasi Pelayanan Bila di suatu daerah belum tersedia Fasilitas Kesehatan yang memenuhi syarat guna memenuhi kebutuhan medis sejumlah Peserta, BPJS Kesehatan wajib memberikan kompensasi, yang dapat berupa: penggantian uang tunai, pengiriman tenaga kesehatan atau penyediaan Fasilitas Kesehatan tertentu. Penggantian uang tunai hanya digunakan untuk biaya pelayanan kesehatan dan transportasi. 4. Penyelenggara Pelayanan Kesehatan Penyelenggara pelayanan kesehatan meliputi semua Fasilitas Kesehatan yang menjalin kerja sama dengan BPJS Kesehatan baik fasilitas kesehatan milik
94 Universitas Sumatera Utara
Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan swasta yang memenuhi persyaratan melalui proses kredensialing dan rekredensialing. 2.6.4. Manfaat Jaminan Kesehatan Nasional Manfaat Jaminan Kesehatan Nasional terdiri atas 2 (dua) jenis, yaitu manfaat medis berupa pelayanan kesehatan dan manfaat non medis meliputi akomodasi dan ambulans.Ambulans hanya diberikan untuk pasien rujukan dari Fasilitas Kesehatan dengan kondisi tertentu yang ditetapkan oleh BPJS Kesehatan. Manfaat Jaminan Kesehatan Nasional mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif termasuk pelayanan obat dan bahan medis habis pakai sesuai dengan kebutuhan medis. Manfaat pelayanan promotif dan preventif meliputi pemberian pelayanan: a) Penyuluhan kesehatan perorangan, meliputi paling sedikit penyuluhan mengenai pengelolaan faktor risiko penyakit dan perilaku hidup bersih dan sehat. b) Imunisasi dasar, meliputi Baccile Calmett Guerin (BCG), Difteri Pertusis Tetanus dan HepatitisB (DPTHB), Polio, dan Campak. c) Keluarga berencana, meliputi konseling, kontrasepsi dasar, vasektomi, dan tubektomi bekerja sama dengan lembaga yang membidangi keluarga berencana. Vaksin untuk imunisasi dasar dan alat kontrasepsi dasar disediakan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah. d) Skrining kesehatan, diberikan secara selektif yang ditujukan untuk mendeteksi risiko penyakit dan mencegah dampak lanjutan dari risiko penyakit tertentu.
95 Universitas Sumatera Utara
Meskipun manfaat yang dijamin dalam JKN bersifat komprehensif, masih ada manfaat yang tidak dijamin meliputi: a. Tidak sesuai prosedur; b. Pelayanan di luar Fasilitas Kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS; c. Pelayanan bertujuan kosmetik; d. General checkup, pengobatan alternatif; e. Pengobatan untuk mendapatkan keturunan, pengobatan impotensi; f. Pelayanan kesehatan pada saat bencana ; dan g. Pasien Bunuh Diri /Penyakit yang timbul akibat kesengajaan untuk menyiksa diri sendiri/ Bunuh Diri/Narkoba. 2.6.5. Pengorganisasian 1. Lembaga Penyelenggara Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) JKN diselenggarakan oleh BPJS yang merupakan badan hukum publik milik Negara yang bersifat non profit dan bertanggung jawab kepada Presiden.BPJS terdiri atas Dewan Pengawas dan Direksi. Dewan Pengawas terdiri atas 7 (tujuh) orang anggota: 2 (dua) orang unsur Pemerintah, 2(dua) orang unsur Pekerja, 2 (dua) orang unsur Pemberi Kerja, 1 (satu) orang unsur Tokoh Masyarakat.Dewan Pengawas tersebut diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Direksi terdiri atas paling sedikit 5 (lima) orang anggota yang berasal dari unsur profesional. Direksi sebagaimana dimaksud diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. A. Fungsi, Tugas, dan Wewenang Dewan Pengawas Dalam melaksanakan pekerjaannya, Dewan Pengawas mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pelaksanaan tugas BPJS dengan uraian sebagai berikut:\
96 Universitas Sumatera Utara
1. Fungsi
Dewan
Pengawas
adalah
melakukan
pengawasan
atas
pelak¬sanaan tugas BPJS. 2. Dewan Pengawas bertugas untuk: a) melakukan pengawasan atas kebijakan pengelolaan BPJS dan kinerja Direksi; b) melakukan
pengawasan
atas
pelaksanaan
pengelolaan
dan
pengembangan Dana Jaminan Sosial oleh Direksi; c) memberikan saran, nasihat, dan pertimbangan kepada Direksi mengenai kebijakan dan pelaksanaan pengelolaan BPJS; dan d) menyampaikan laporan pengawasan penyelenggaraan Jaminan Sosial sebagai bagian dari laporan BPJS kepada Presiden dengan tembusan kepada DJSN. 3. Dewan Pengawas berwenang untuk: a) menetapkan rencana kerja anggaran tahunan BPJS; b) mendapatkan dan/atau meminta laporan dari Direksi; c) mengakses data dan informasi mengenai penyelenggaraan BPJS; d) melakukan penelaahan terhadap data dan informasi mengenai penyelenggaraan BPJS; dan e) memberikan saran dan rekomendasi kepada Presiden mengenai kinerja Direksi B. Fungsi, Tugas, dan Wewenang Direksi Dalam menyelenggarakan JKN, Direksi BPJS mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang sebagai berikut:
97 Universitas Sumatera Utara
1) Direksi berfungsi melaksanakan penyelenggaraan kegiatan operasional BPJS yang menjamin Peserta untuk mendapatkan Manfaat sesuai dengan haknya. 2) Direksi bertugas untuk: a. melaksanakan
pengelolaan
BPJS
yang
meliputi
perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi; b. mewakili BPJS di dalam dan di luar pengadilan; dan c. menjamin tersedianya fasilitas dan akses bagi Dewan Pengawas untuk melaksanakan fungsinya. 3) Direksi berwenang untuk: a. melaksanakan wewenang BPJS; b. menetapkan struktur organisasi beserta tugas pokok dan fungsi, tata kerja organisasi, dan sistem kepegawaian; c. menyelenggarakan
manajemen
kepegawaian
BPJS
termasuk
mengangkat, memindahkan, dan memberhentikan pegawai BPJS serta menetapkan penghasilan pegawai BPJS; d. mengusulkan kepada Presiden penghasilan bagi Dewan Pengawas dan Direksi; e. menetapkan ketentuan dan tata cara pengadaan barang dan jasa dalam rangka penyelenggaraan tugas BPJS dengan memperhatikan prinsip transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas;
98 Universitas Sumatera Utara
f. melakukan pemindahtanganan aset tetap BPJS paling banyak Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah) dengan persetujuan Dewan Pengawas; g. melakukan
pemindahtanganan
Rp100.000.000.000
(seratus
aset miliar
tetap rupiah)
BPJS
lebih
sampai
dari
dengan
Rp500.000.000.000 (lima ratus miliar rupiah) dengan persetujuan Presiden; dan h. melakukan
pemindahtanganan
aset
tetap
BPJS
lebih
dari
Rp500.000.000.000 (lima ratus miliar rupiah) dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan fungsi, tugas, dan we¬wenang Direksi diatur dengan Peraturan Direksi. Persyaratan untuk menjadi Dewan Pengawas dan Dewan Direksi diatur dalam UU Nomor 24 tahun 2011. 2. Hubungan Antar Lembaga BPJS melakukan kerja sama dengan lembaga pemerintah, lembaga lain di dalam negeri atau di luar negeri dalam rangka meningkatkan kualitas penyelenggaraan program Jaminan Sosial (JKN). 3. Monitoring dan Evaluasi Monitoring dan evaluasi penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional merupakan bagian dari sistem kendali mutu dan biaya.Kegiatan ini merupakan tanggung jawab Menteri Kesehatan yang dalam pelaksanaannya berkoordinasi dengan Dewan Jaminan Kesehatan Nasional. 4. Pengawasan
99 Universitas Sumatera Utara
Pengawasan terhadap BPJS dilakukan secara eksternal dan internal. Pengawasan internal oleh organisasi BPJS meliputi: a. Dewan penga¬was; dan b. Satuan pengawas internal. Sedangkan Pengawasan ekster¬nal dilakukan oleh: a. DJSN; dan b. Lembaga pengawas independen. 5. Tempat dan kedudukan BPJS Kantor Pusat BPJS berada di ibu kota Negara, dengan jaringannya di seluruh kabupaten/kota. 2.6.6. Penanganan Keluhan BPJS 1. Pengertian Keluhan adalah ungkapan ketidakpuasan peserta terhadap pelayanan yang telah diberikan dalam hal ini penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional. Penanganan keluhan adalah upaya atau proses untuk mengetahui suatu permasalahan dengan jelas, menilai, dan menyelesaikan permasalahan tersebut. 2. Prinsip Penanganan Keluhan a) Obyektif: penanganan keluhan masyarakat harus berdasarkan fakta atau bukti yang dapat dinilai berdasarkan kriteria tertentu yang ditetapkan. b) Responsif (cepat dan akurat): setiap pengaduan dan permasalahan perlu ditangani/ditanggapi secara cepat dan tepat. Untuk itu penanganan dan penyelesaian pengaduan diselesaikan pada tingkat yang terdekat dengan lokasi timbulnya masalah. c) Koordinatif: penanganan keluhan masyarakat harus dilaksanakan dengan kerja sama yang baik di antara pejabat yang berwenang dan terkait,
100 Universitas Sumatera Utara
berdasarkan mekanisme, tata kerja, dan prosedur yang berlaku, sehingga permasalahan dapat diselesaikan sebagaimana mestinya. d) Efektif dan efisien: penanganan keluhan masyarakat harus dilaksanakan secara tepat sasaran, hemat tenaga, waktu, dan biaya. e) Akuntabel: proses penanganan keluhan masyarakat dan tindak lanjutnya harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan prosedur yang berlaku. f) Transparan: penanganan keluhan masyarakat dilakukan berdasarkan mekanisme dan prosedur yang jelas dan terbuka, sehingga masyarakat yang berkepentingan dapat mengetahui perkembangan tindak lanjutnya. 3. Mekanisme Penanganan Keluhan Penanganan keluhan merupakan salah satu komponen untuk menyelesaikan masalah pelayanan kesehatan, baik yang bersifat administratif maupun bersifat medis. Permasalahan bisa terjadi antara Peserta dan Fasilitas Kesehatan; antara Peserta dan BPJS Kesehatan; antara BPJS Kesehatan dan Fasilitas Kesehatan; atau antara BPJS Kesehatan dan asosiasi Fasilitas Kesehatan. Mekanisme yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan ketidakpuasan para pihak tersebut adalah: 1) Jika Peserta tidak puas terhadap pelayanan yang diberikan oleh fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan, Peserta dapat mengajukan pengaduan kepada Fasilitas Kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS dan atau BPJS Kesehatan. 2) Jika Peserta dan/atau fasilitas kesehatan tidak mendapatkan pelayanan yang baik dari BPJS Kesehatan maka dapat menyampaikan pengaduan kepada Menteri Kesehatan.
101 Universitas Sumatera Utara
Jika terjadi sengketa antara Peserta dengan fasilitas kesehatan, Peserta dengan BPJS kesehatan, BPS Kesehatan dengan Fasilitas Kesehatan atau BPJS Kesehatan dengan asosiasi Fasilitas Kesehatan maka sebaiknya diselesaikan secara musyawarah oleh para pihak yang bersengketa. Jika tidak dapat diselesaikan secara musyawarah sengketa diselesaikan dengan cara mediasi atau pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 2.7. Kebijakan-Kebijakan dalam Pelayanan BPJS Kesehatan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS membentuk dua Badan Penyelenggara
Jaminan
Sosial,
yaitu
BPJS
Kesehatan
dan
BPJS
Ketenagakerjaan100 . Pembentukan dan pengoperasian BPJS melalui serangkaian tahapan, yaitu: 1. pengundangan UU No. 40 Tahun 2004 Tentang SJSN pada 19 Oktober 2004; 2. pembacaan
Putusan
Mahkamah
Konstitusi
atas
perkara
No.
007/PUUIII/2005 pada 31 Agustus 2005; 3. pengundangan UU No. 24 Tahun 2011 Tentang BPJS pada 25 November 2011; 4. pembubaran PT Askes dan PT Jamsostek pada 1 Januari 2014; 5. pengoperasian BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan pada 1 Januari 2014.
100
UU No. 24 Tahun 2011, Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2)
102 Universitas Sumatera Utara
Rangkaian kronologis di atas terbagi atas dua kelompok peristiwa.Peristiwa pertama adalah pembentukan dasar hukum BPJS yang mencakup pengundangan UU SJSN, pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi dan pengundangan UU BPJS. Peristiwa kedua adalah transformasi badan penyelenggara jaminan sosial dari badan hukum persero menjadi badan hukum publik (BPJS). Transformasi meliputi pembubaran PT Askes dan PT Jamsostek tanpa likuidasi dan diikuti dengan pengoperasian BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.Komisaris dan Direksi PT Askes serta Komisaris dan Direksi PT Jamsostek bertanggung jawab atas keberhasilan atau kegagalan transformasi dan pendirian serta pengoperasikan BPJS. Di masa peralihan, keduanya bertugas101: 1. Menyiapkan operasional BPJS untuk penyelenggaraan program jaminan sosial sesuai dengan ketentuan yang berlaku; 2. Menyiapkan pengalihan aset dan liabilitas, pegawai, serta hak dan kewajiban Persero kepada BPJS; 3. Khusus untuk PT Jamsostek, menyiapkan pengalihan program, aset, liabilitas, hak dan kewajiban Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) Jamsostek kepada BPJS Kesehatan. Selanjutnya diulas pembentukan dasar hukum BPJS secara kronologis waktu. 19 Oktober 2004 UU No. 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) diundangkan. UU SJSN memberi dasar hukum bagi PT Jamsostek (Persero), PT Taspen (Persero), PT Asabri (Persero) dan PT Askes Indonesia (Persero) sebagai
101UU
No. 24 Tahun 2011, Pasal 56 dan Pasal 61
103 Universitas Sumatera Utara
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial102. UU SJSN memerintahkan penyesuaian semua ketentuan yang mengatur keempat Persero tersebut dengan ketentuan UU SJSN. Masa peralihan berlangsung paling lama lima tahun, yang berakhir pada 19 Oktober 2009103. 31 Agustus 2005 Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan putusannya atas perkara nomor 007/PUU-III/2005 kepada publik pada 31 Agustus 2005. MK menyatakan bahwa Pasal 5 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN yang menyatakan bahwa keempat Persero tersebut sebagai BPJS, dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. MK berpendapat bahwa Pasal 5 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) UU SJSN menutup peluang Pemerintah Daerah untuk mengembangkan suatu subsistem jaminan sosial nasional sesuai dengan kewenangan yang diturunkan dari ketentuan Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5) UUD NRI 1945. Selanjutnya, MK berpendapat bahwa Pasal 52 ayat (2) UU SJSN tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945. Namun Pasal 52 ayat (2) hanya berfungsi untuk mengisi kekosongan hukum setelah dicabutnya Pasal 5 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) UU SJSN dan menjamin kepastian hukum karena belum ada BPJS yang memenuhi persyaratan agar UU SJSN dapat dilaksanakan. Dengan dicabutnya ketentuan Pasal 5 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) UU SJSN dan hanya bertumpu pada Pasal 52 ayat (2) maka status hukum PT (Persero) JAMSOSTEK, PT (Persero) TASPEN, PT (Persero) ASABRI, dan PT ASKES Indonesia 102
UU No. 40 Tahun 2004 Pasal 5 ayat (2) dan (3) No. 40 Tahun 2004 Pasal 52 ayat (1) dan (2)
103UU
104 Universitas Sumatera Utara
(Persero) dalam posisi transisi. Akibatnya, keempat Persero tersebut harus ditetapkan kembali sebagai BPJS dengan sebuah Undang- Undang sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU SJSN: “Badan Penyelenggara Jaminan Sosial harus dibentuk dengan Undang-Undang”. Pembentukan BPJS ini dibatasi sebagai badan penyelenggara jaminan sosial nasional yang berada di tingkat pusat. 25 November 2011 Pada 25 November 2011, Pemerintah mengundangkan UU BPJS. UU No. 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS) diundangkan sebagai pelaksanaan ketentuan UU SJSN Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 52 ayat (2) pasca Putusan Mahkamah Konstitusi atas Perkara No. 007/PUUIII/2005. UU BPJS membentuk dua BPJS, yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan berkedudukan dan berkantor di ibu kota Negara RI. BPJS dapat mempunyai kantor perwakilan di provinsi dan kantor cabang di kabupaten/kota. UU BPJS membubarkan PT Askes (Persero) dan PT Jamsostek (Persero) tanpa melalui proses likuidasi, dan dilanjutkan dengan mengubah kelembagaan Persero menjadi badan hukum publik – BPJS. Peserta, program, aset dan liabilitas, serta hak dan kewajiban PT Askes (Persero) dialihkan kepada BPJS Kesehatan, dan dari PT Jamsostek (Persero) kepada BPJS Ketenagakerjaan.UU BPJS mengatur organ dan tata kelola BPJS. UU BPJS menetapkan modal awal BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan; masing-masing paling banyak Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah) yang
105 Universitas Sumatera Utara
bersumber dari APBN. Modal awal dari Pemerintah merupakan kekayaan Negara yang dipisahkan dan tidak terbagi atas saham.UU BPJS menangguhkan pengalihan program-program yang diselenggarakan oleh PT Asabri (Persero) dan PT Taspen (Persero) ke BPJS Ketenagakerjaan paling lambat hingga tahun 2029. Kebijakan-kebijakan yang mengatur Jaminan Kesehatan di Indonesia: 1. Undang-Undang: •
UU No. 40 Th 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
•
UU No. 36 Th 2009 tentang Kesehatan
•
UU No. 24 Th 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
2. Peraturan Pemerintah PP No. 101 Th 2012 tentang Penerimaan Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan 3. Peraturan Presiden •
PERPRES No. 105 th 2013 tentang Pemeliharaan Kesehatan Menteri dan Pejabat Tertentu
•
PERPRES No. 106 th 2013 tentang Pemeliharaan Kesehatan Anggota DPR, DPD, MK, Hakim MA
•
PERPRES No. 107 th 2013 tentang YANKES tertentu berkaitan dengan KEMHAN, TNI, Kepolisian
•
PERPRES No. 108 th 2013 tentang Bentuk dan Isi Laporan Pengelolaan Program JAMSOS
•
PERPRES No. 109 th 2013 tentang Penahanan Kepesertaan Program JAMSOS
106 Universitas Sumatera Utara
•
PERPRES No. 110 th 2013 tentang Gaji Upah Manfaat DEWAS dan Direksi BPJS
•
PERPRES No. 111 th 2013 tentang perubahan atas PERPRES No. 12 th 2013 tentang JAMKES
4. Peraturan Menteri Kesehatan •
PMK No. 69 tentang Tarif Pelayanan Kesehatan Program Jaminan Kesehatan
•
PMK No. 71 th 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada JKN
5. Keputusan Menteri Kesehatan •
KMK No. 326 tentang Penyiapan Penyelenggaraan JKN
•
KMK No. 328 tentang Formularium Nasional
•
KMK No. 455 tentang Asosiasi Fasilitas Kesehatan
6. Keputusan-keputusan di Lingkungan RS TNI •
RS TNI selain menyelenggarakan kesehatan pada Prajurit , PNS dan Keluarganya, juga melaksakan pelayanan kesehatan bagi masyarakat umum melalui ‘idle capacity’104 (RS Pelamonia Makassar)
•
BPJS ingin mengoptimalkan Bintara Pembina Desa (Babinsa) menjadi bagian dari advokasi preventif untuk mengembangkan program BPJS kesehatan ke masyarakat. Selain itu, juga menjadi model contoh untuk pengembangan informasi teknologi sistem, sehingga antrian dirumah sakit akan menjadi jauh lebih pendek.
104Ungkapan
direktur kesehatan angkatan darat dr Dubel Mariyenes, Sp.B, FinaCS Bridgen TNI
107 Universitas Sumatera Utara
2.8. Perbedaan antara BPJS Kesehatan dengan Asuransi Kesehatan Lainnya BPJS Kesehatan sendiri menerapkan sistem pelayanan administratif dan berjenjang. Artinya, sebelum mendapatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit, pasien harus terlebih dahulu dilayani dan mendapat rujukan dari fasilitas kesehatan tingkat pertama (seperti puskesmas), di mana Anda berdomisili sesuai dengan kota penerbitan kartu BPJS. Namun apabila dalam kondisi darurat.Pasien bisa lansung ke rumah sakit dengan modal BPJS Kesehatan. Tapi jika Asuransi swasta, pasien akan mendapatkan pelayanan asuransi kesehatan secara langsung di rumah sakit rekanan asuransi di seluruh wilayah Indonesia tanpa harus dipusingkan dengan proses administrasi. Kelebihan atau keunggulan BPJS Kesehatan adalah mampu memberikan perlindungan standar kesehatan yang cukup dengan tarif yang terjangkau. BPJS Kesehatan juga memiliki kekurangan yaitu tidak memiliki perluasan jaminan seperti yang dimiliki oleh asuransi swasta. Seperti permintaan untuk naiknya kelas perawatan. Hal ini dikarenakan kelas perawatan maksimal yang diberikan oleh BPJS Kesehatan adalah Kelas 1. Jadi bila peserta jaminan kesehatan mau menghendaki kelas perawatan yang lebih tinggi, misalnya VIP atau VVIP, maka ada selisih biaya yang harus ditanggung dan menjadi beban peserta. Transformasi Sifat Transformasi dari PT (Persero) menjadi badan hukum publik sangat mendasar, karena menyangkut perubahan sifat dari pro laba melayani pemegang
108 Universitas Sumatera Utara
saham menuju nir laba melayani kepentingan publik yang lebih luas untuk melaksanakan misi yang ditetapkan dalam konstitusi dan peraturan perundangundangan
pelaksanaannya.
Dengan
kata
lain
BPJS
pada
dasarnya
menyelenggarakan program yang merupakan program Negara yang bertujuan memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pasal 5 ayat (2) UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik menyatakan bahwa jaminan sosial termasuk salah satu pelayanan yang termasuk dalam pelayanan publik. Sehubungan dengan itu, dalam penyelenggaraannya berpedoman pada asas-asas kepentingan umum, kepastian hukum, kesamaan hak, keseimbangan hak dan kewajiban, keprofesionalan, partisipatif, persamaan perlakuan/tidak diskriminatif, keterbukaan, akuntabilitas, fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan, ketepatan waktu, dan kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan. Prinsip Pengelolaan Prinsip
pengelolaan
BPJS
dilaksanakan
berdasarkan
9
prinsip
penyelenggaraan jaminan sosial, yaitu kegotongroyongan, nir laba, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dana amanat dan hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta. Sedangkan pengelolaan PT (persero) mengikuti prinsip-prinsip yang berlaku bagi Perseroan Terbatas yang pada intinya memaksimalkan kembalian (return) bagi pemegang saham.
109 Universitas Sumatera Utara
PT Askes (Persero) dan PT (Persero) Jamsostek dari sekarang harus mempersiapkan diri untuk melakukan perubahan struktural, mekanisme kerja dan perubahan kultur organisasi masing-masing, secara terarah dan terencana, agar target waktu yang ditentukan dalam UU BPJS dapat dipenuhi. Bila dibandingkan secara singkat, terdapat beberapa perbedaan antara sistem jaminan kesehatan yang lama dengan sistem JKN. Perbedaan tersebut antara lain sebagai berikut: No.
Aspek
1.
Kepesertaan
2.
Anak ditanggung
3.
4.
Sistem Lama
Sistem JKN
Tersebar sesuai Terintegrasi kelompok peserta yang
Maksimum 2 anak
3 anak
Penambahan jumlah keluarga yang Tidak dimungkinkan ditanggung
Bisa menambahkan jumlah yang ditanggung yakni anak ke-4 dst, ayah/ibu, dan mertua dengan menambahkan iuran yang dibayar (sebesar 1% dari gaji untuk setiap tambahan anggota keluarga).
Koordinasi Manfaat (Coordination of Tidak diatur Benefit)
Peserta bisa menaikkan kelas perawatan ke kelas yang lebih tinggi dari hak yang seharusnya diperoleh dengan cara membayar sendiri selisihnya atau ikut asuransi komersial.
Meskipun demikian
Perubahan sistem jaminan kesehatan ke Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dirasakan merugikan para peserta ASKES.
110 Universitas Sumatera Utara
Pasalnya, banyak fasilitas kesehatan yang semula didapat saat menjadi peserta ASKES,
justru
tidak
diperoleh
saat
mereka
menjadi
peserta
BPJS
Kesehatan.Banyak peserta ASKES salah satunya PNS yang mengeluhkan layanan kesehatan BPJS. Pelayanannya menurun dibanding saat menggunakan kartu ASKES. Pegawai mengeluhkan beberapa layanan yang biasanya mereka dapat di ASKES kini malah tidak diperoleh lagi ketika menjadi peserta BPJS Kesehatan.Kondisi ini membuat para pegawai berpikir lebih nyaman dengan ASKES ketimbang BPJS.Mungkin
karena
baru
berjalan,
jadi
masih
banyak
yang
harus
dibenahi.Banyak yang berharap BPJS bisa lebih meningkatkan layanan kesehatannya.Apalagi peserta BPJS, sebelum sudah pernah menikmati layanan kesehatan seperti ASKES dan lain-lainnya. 2.9. Hasil-Hasil Riset Pelayanan BPJS Kesehatan di Indonesia 1) Syarifah Usman, Pelaksanaan Pemberian Pelayanan Kesehatan Rawat Jalan Tingkat Lanjutan Bagi Peserta Jamkesmas (Studi Implementasi Pasal 19 ayat (2) jo Pasal 20 ayat (1) jo Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Saiful Anwar Kota Malang). Hasil penelitiannya: “Bahwa masih adanya perbedaan antara aturan yang dibuat dengan praktek yang dilakukan di masyarakat. Misalnya saja perbedaaan antara Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 903/Menkes/Per/V/2011 dan pelaksanaan pemberian pelayanan kesehatan rawat jalan tingkat Lanjutan di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Saiful Anwar yang terlihat dari Tahap Verifikasi Data yang berbeda melalui Syarat-Syaratnya dan Manfaat Pelayanan Kesehatan brupa Elektromedik yang belum dapat digunakan oleh Pasien JAMKESMAS”. 2) Fuzna Elsa Ulinuha, Kepuasan Pasien Bpjs (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Terhadap Pelayanan Di Unit Rawat Jalan (Urj) Rumah Sakit Permata Medika Semarang Tahun 2014. Hasil Penelitian: “penelitian ini menggunakan beberapa variabel seperti Reability/Keandalan, Responsiveness/ Daya Tangkap, Assurance / Jaminan, Emphaty, dan Tangibles dalam menilai setiap kepusan pasien di Rumah Sakit Permata Medika Semarang. Dari hasil penelitian tersebut menunjukkan kepusan pasien dari setiap variabel diatas 51% . “
111 Universitas Sumatera Utara
3) Rinda Mustika Ningrum, Nuh Huda, M.Kep.,Sp.KMB, Wiwiek Liestyaningrum, M.Kep., Christina Yuliastuti, M.Kep., Ns., Hubungan Mutu Pelayanan Kesehatan Bpjs Terhadap Kepuasan Pasien Di Poli Klinik Tht Rumkital Dr. Ramelan Surabaya. Hasil penelitian: “Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti pada responden terhadap mutu pelayanan kesehatan ditinjau dari tingkat kepuasan pasien di unit rawat jalan Puskesmas adalah adanya perbedaan tingkat kepuasan pasien berdasarkan harapan dengan kenyataan pasien di Poli Klinik THT Rumkital Dr. Ramelan Surabaya.” 4) Agung Laksono Wijayanto, Pelayanan Pemeliharaan Kesehatan Bagi Pekerja/Buruh Oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan. “Hasilnya hambatan-hambatan pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) dalam upaya pelayanan kesehatan adalah: (1) Berupa keterlambatan regulasi dari pemerintah dalam membuat peraturan yang dalam pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang akan dituangkan dalam Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden. (2) Pelaksanaan jaminan kesehatan yang menjadi salah satu hambatan upaya dalam pelayanan kesehatan pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) di mana hambatan ini karena kurangnya sosialisasi yang dilakukan. (3) Kurangnya fasilitas dan tenaga kesehatan masih minim, terutama pada unit layanan tingkat I seperti klinik dan puskesmas.(4) Adanya hambatan lainnya adalah tentang hak serta kewajiban mendasar yang banyak dialami peserta BPJS itu sendiri yang merupakan tidak pahamnya peserta atau tidak banyak mengetahui apa saja yang menjadi hak peserta serta kewajiban yang didapat.” 5) Raafika Wulandari, Gambaran Pengelolaan Penanganan Keluhan di RSUD Pasar Rebo Tahun 2014.“Hasil penelitian menunjukkan bahwa yang biasanya ditangani adalah seputar masalah jaminan kesehatan atau BPJS. Dari keluhan yang masuk melalui pencatatan ke unit pemasaran, tidak ada yang belum terselesaikan atau memerlukan atau memerlukan penanganan tingkat manajemen. Namun hal tersebut tidak menutup kemungkinan bahwa terdapat keluhan yang tidak tercatat atau tidak dilaporkan dan masih belum dapat terselesaikan.” 6) Meilinda Elvita, Analisis Penanganan Keluhan Peserta Bpjs Kesehatan Di Kantor Cabang Utama Palembang. ” Bentuk akses yang disediakan BPJS Kesehatan KCU Palembang adalah saluran komunikasi langsung dengan menyediakan penanganan dan pengaduan peserta di unit kepesertaan, sedangkan komunikasi tidak langsung melalui fax, email, sms, hotline service, dan call center. Pada tahap responding to complaints masih ditemukan staf yang tidak ramah, dan memberikan perbedaan pelayanan kepada peserta. Kecepatan waktu penyelesaian keluhan sendiri belum sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Jenis keluhan peserta yang banyak disampaikan adalah masalah administrasi pelayanan kantor dan pelayanan medis dari fasilitas kesehatan yang bekerja dengan BPJS Kesehatan KCU Palembang. Secara keseluruhan pelaksanaan penanganan keluhan peserta BPJS Kesehatan KCU Palembang belum terlaksana dengan baik, karena presentasi
112 Universitas Sumatera Utara
pencapaian indikator hanya sebesar 36,36% dari dua puluh dua indikator yang diteliti.” 7) Agus Diman Syaputra, Hubungan Mutu Pelayanan Bpjs Kesehatan Dengan Kepuasan Pasien Di Instalasi Rawat Inap Kelas Ii Rumah Sakit Umum Daerah Sekayu. “Gambaran distribusi frekuensi kepuasan pasien di Instalasi Rawat Inap Kelas II Rumah Sakit Umum Daerah Sekayu sebagian besar responden menyatakan Tidak Puas sebanyak 89 responden (61,0%). Ada hubungan antara mutu pelayanan kehandalan, daya tanggap, pelayanan jaminan, pelayanan empati, dan pelayanan bukti fisik dengan kepuasan pasien di Instalasi Rawat Inap Kelas II Rumah Sakit Umum Daerah Sekayu.” 8) Fidela Firwan Firdaus, Evaluasi Kualitas Pelayanan Terhadap Kepuasan Pasien Rawat Jalan Peserta Bpjs Di Rsud Panembahan. ” Kepuasan pasien rawat jalan peserta BPJS terhadap kualitas pelayanan RSUD Panembahan Senopati Bantul secara umum sesuai dengan teori SERVQUAL (Parasuraman dan Zeithml, 1990), yang terdiri dari 5 aspek meliputi reliability atau kehandalan, assurance atau jaminan, tangibles atau wujud nyata, empathy atau perhatian, dan responsiveness atau kepedulian. Hambatan pada pelayanan di RSUD Panembahan Senopati Bantul terutama pada pasien rawat jalan peserta BPJS yaitu ruangan dan fasilitas, waktu tunggu yang lama, kurangnya jumlah SDM dalam bagian pendaftaran dan BPJS, SIM RS yang masih versi lama, dan tata cara sistem rujukan yang belum terlaksana dengan sempurna.” 9) Paula Kartini Nipa, Sukri Palutturi, Muh. Yusri Abadi, Evaluasi Sistem Penanganan Keluhan Pasien Bpjs Di Rumah Sakit Bhayangkara Kota Makassar. “Dari penelitian mengenai evaluasi sistem penanganan keluhan pasien BPJS oleh RS Bhayangkara bahwa jenis keluhan yang biasa disampaikan oleh pasien BPJS RS Bhayangkara adalah mengenai proses administrasi pasien, pelayanan dokter dan perawat, lama mengantri, tarif serta fasilitas rumah sakit. Pelanggan dapat menyampaikan keluhannya tersebut secara langsung kepada petugas humas atau petugas informasi di instalasi maupun secara tidak langsung melalui surat, sms, telepon, dan kotak saran rumah sakit. Akan tetapi pengelolaan fasilitas untuk menampung keluhan masih belum berjalan optimal. Dalam penanganan keluhan pasien bagian humas bertindak sebagai mediator antara pelanggan dengan unit terkait. Langkah pertama yang dilakukan adalah petugas humas menerima keluhan kemudian mendokumentasikan keluhan tersebut, mencari solusi keluhan melalui koordinasi dengan satuan kerja yang terkait. Dan juga terdapat Standar Prosedur Operasional (SPO) penanganan keluhan secara tertulis, tetapi sosialisasinya masih belum berjalan baik kepada setiap satuan kerja dan pelanggan RS Bhayangkara. Belum adanya pelatihan kepada petugas mengenai handling complain juga menjadi salah satu penghambat dalam penerapan SPO yang ada. Hasil akhir dari penanganan keluhan pelanggan di RS Bhayangkara adalah keluhan pelanggan selesai ditangani.
113 Universitas Sumatera Utara