BAB II LANDASAN TEORI A. PENGGUNAAN BEBERAPA ISTILAH DALAM PENELITIAN Sebelum masuk kepada telaah teoritis antar variabel penelitian, terlebih dahulu akan dijelaskan mengenai penggunaan beberapa istilah dalam penelitian ini, antara lain mengenai ideologi, sikap, dan Islam mainstream. 1.
Ideologi Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ideologi merupakan
seperangkat sistem atau himpunan kepercayaan, nilai, norma, ide, dan cara berpikir yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok yang menjadi dasar dalam menentukan sikap, arah, dan tujuan hidup. Penelitian ini melihat interaksi antara kesesuaian ideologi dan sikap terhadap kesesuaian ideologi terhadap orientasi akulturasi kelompok dominan, dengan subjek penelitian adalah Islam mainstream, Ahmadiyah Qadiyan, dan Ahmadiyah Lahore. Maka dari itu, ideologi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah ideologi yang dimiliki oleh Islam mainstream, Ahmadiyah Qadiyan, dan Ahmadiyah Lahore. Adapun ideologi Islam mainstream yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah sebagai berikut (dalam Divisi Riset Ilmiah Universitas Islam Madinah, 2009): 1.
Beriman kepada Allah SWT termasuk nama dan sifa-sifatnya (Asmaul Husna), yakni Allah SWT tidak serupa dengan makhluk lain (mukholafatuhu lil hawadis), Allah SWT adalah dzat yang 9 Universitas Sumatera Utara
10
maha benar (al-haq), maha esa (wahdaniyah), tidak beranak dan tidak diperanakkan (surat Al-ikhlas (3) yang berbunyi lam yalid wa lam yuulad). 2.
Beriman kepada kitab-kitab Allah, yakni Taurat, Zabur, Injil, dan Al-qur’an, serta meyakini Al-qur’an merupakan kitab suci terakhir sebagai penutup juga penyempurna kitab-kitab sebelumnya dan tidak akan ada wahyu lain setelah Al-Qur’an.
3.
Beriman kepada rasul Allah, dan menyakini bahwa nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir.
4.
Tidak mengharamkan untuk menikah dengan seseorang di luar keanggotaan kelompoknya selama yang bersangkutan beragama Islam.
5.
Tidak mengharamkan untuk sholat di belakang imam di luar keanggotaan kelompoknya selama yang bersangkutan adalah Islam dan baligh.
6.
Nabi Muhammad SAW adalah nabi akhir zaman dan tidak akan ada lagi nabi setelah nabi Muhammad SAW.
7.
Mengucap dua kalimat syahadat sebagai syarat seorang muslim (bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT dan nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah SWT).
Adapun ideologi kelompok Ahmadiyah Qadiyan (Jema’at Ahmadiyah) yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah sebagai berikut (dalam Dzahir, 2008):
Universitas Sumatera Utara
11
1.
Tuhan memiliki sifat-sifat seperti manusia, seperti puasa, shalat, tidur, terjaga, berlaku benar dan salah, menulis, memiliki tanda tangan, dan memiliki anak.
2.
Memiliki kitab suci tersendiri yang terdiri dari 20 juz yang disebut Al-Kitab Al-Mubin (ada juga yang menyebutnya dengan Tadzkira) (lihat juga dalam Jaiz, 2009).
3.
Meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi setelah nabi Muhammad SAW (lihat juga dalam Sastrawi, 2011; Fathoni, 1994; Jaiz, 2009) dan meyakini bahwa nabi dan rasul akan tetap ada hingga hari kiamat.
4.
Mengharamkan untuk menikah dengan non-Ahmadiyah Qadiyan (lihat juga dalam Sastrawi, 2011; Jaiz, 2009).
5.
Mengharamkan pengikutnya untuk sholat di belakang Imam seseorang yang bukan Ahmadiyah Qadiyan dan bila mensholatkan seorang Muslimin (lihat juga dalam Sastrawi, 2011; Jaiz, 2009).
6.
Setiap orang di luar keanggotaan Ahmadiyah Qadiyan adalah kafir.
Adapun ideologi Ahmadiyah Lahore (Gerakan Ahmadiyah) yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah sebagai berikut (dalam Sastrawi, 2011): 1.
Allah SWT adalah tuhan yang satu (esa) yang wajib disembah.
2.
Al-Qur’an sebagai kitab suci terakhir dan penyempurna kitab sebelumnya yang dijadikan sebagai pedoman hidup.
Universitas Sumatera Utara
12
3.
Mempercayai bahwa nabi Muhammad SAW merupakan nabi akhir zaman dan tidak akan ada lagi nabi setelah nabi Muhammad SAW dan Mirza Ghulam Ahmad bukanlah seorang nabi, melainkan hanya seorang tokoh pembaharu.
4.
Tidak melarang untuk menikah dengan Islam di luar anggota Ahmadiyah.
5.
Membolehkan bermakmum (dalam shalat) kepada non Ahmadiyah selama yang bersangkutan adalah seorang Islam.
6.
Meyakini bahwa siapa pun yang membacakan dua kalimat syahadat adalah Muslim.
2.
Sikap terhadap kesesuaian ideologi Sikap yang dimaksud dalam penelitian ini merupakan sikap yang
bersifat unidimensional, yakni sikap yang hanya terdiri dari elemen evaluasi yang dapat diekspresikan melalui perasaan suka atau tidak suka, rasa cinta atau benci, dan pandangan baik atau buruk (Franzoi, 2009). Dengan kata lain, sikap yang bersifat unidimensional dapat diartikan sebagai evaluasi positif atau negatif terhadap suatu objek. Adapun objek dalam penelitian ini merupakan kesesuaian ideologi antara kelompok Islam mainstream dan kedua kelompok Ahmadiyah Qadiyan dan Lahore seperti yang dipaparkan pada poin 1 di atas. Maka sikap dalam penelitian ini merupakan evaluasi positif atau negatif terhadap kesesuaian ideologi kedua kelompok Ahmadiyah Qadiyan dan Ahmadiyah Lahore dengan ideologi Islam pada umumnya.
Universitas Sumatera Utara
13
3.
Islam Mainstream Istilah mainstream diartikan sebagai suatu aliran induk atau faham yang
dianut oleh mayoritas masyarakat setempat. Mengacu kepada istilah tersebut, Islam mainstream dapat diartikan sebagai arus utama Islam yang mengarah kepada kelompok-kelompok islam dengan faham yang dianut oleh mayoritas masyarakat Islam. Islam mainstream di Indonesia sendiri merupakan kelompok-kelompok Islam yang berkiblat kepada faham utama Islam (lihat kembali ideologi Islam pada umumnya pada poin 1 di atas), yang bernaung dibawah payung sebuah Majelis Ulama Islam Indonesia (MUI), seperti kelompok NU (Nahdlatul Ulama), Muhammadiyah, Al-Wasliyah, Syarikat Islam, dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah). Salah satu contoh kelompok di luar mainstream ini adalah kelompok Ahmadiyah (Qadiyan dan Lahore) (lihat Van-Bruinessen, 1992). Mengacu kepada penjelasan singkat tersebut, dapat terllihat bahwa Islam mainstream merupakan kelompok dominan dan kelompok Ahmadiyah (Qadiyan dan Lahore) merupakan kelompok nondominan yang ada di Indonesia. Islam mainstream sebagai kelompok dominan merupakan subjek penelitian dalam penelitian ini. Pada pembahasan selanjutnya, kelompok Islam mainstream adalah sebagai kelompok dominan dan istilah kelompok Ahmadiyah Lahore dan Ahmadiyah Qadiyan adalah sebagai kelompok non-dominan. B. TELAAH TEORITIS ANTAR VARIABEL PENELITIAN Penelitian ini berangkat dari hubungan negatif antar kelompok, yakni konflik. Konflik antar kelompok merupakan proses di mana suatu kelompok
Universitas Sumatera Utara
14
mempersepsikan kelompok lain telah atau akan melakukan tindakan yang bertentangan dengan kepentingan mereka yang dapat dimulai dari permasalahan sederhana dan dengan cepat meningkat ke arah kemarahan, dendam, dan tindakan untuk membahayakan dan melukai kelompok lain tersebut (Baron, Byrne, & Branscombe, 2006). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kelompok dominan merupakan kelompok dalam masyarakat yang mempunyai sifat-sifat lebih dibandingkan dengan kelompok lain tidak hanya dalam hal jumlah, tetapi juga dalam hal penguasaan atas sumber daya alam dan manusia di dalam masyarakat, sedangkan kelompok non-dominan merupakan golongan sosial yang jumlah warganya jauh lebih kecil dibandingkan dengan golongan lain dalam suatu masyarakat dan dengan status mereka sebagai kelompok yang lemah dalam suatu masyarakat membuat kelompok ini cenderung mengalami diskriminasi oleh golongan lain yang lebih besar. Berdasarkan pemaparan kedua definisi di atas dapat disimpulkan bahwa konflik antara kelompok dominan dan non-dominan merupakan proses di mana suatu kelompok yang memiliki kekuatan dari segi jumlah dan kekuasaan dalam masyarakat mempersepsikan kelompok lain yang lebih lemah statusnya dari mereka (baik dari jumlah maupun kekuatannya dalam masyarakat) telah atau akan melakukan tindakan yang bertentangan dengan kepentingan mereka sehingga menimbulkan kemarahan, dendam, dan tindakan untuk membahayakan dan melukai kelompok yang statusnya lebih lemah dari mereka tersebut. Banyak determinan konflik yang telah ditemukan sebelumnya, namun dalam penelitian ini peneliti memfokuskan pada peran sikap terhadap kesesuaian
Universitas Sumatera Utara
15
ideologi dan orientasi akulturasi yang dapat memecahkan konflik antar kelompok. Konflik juga merupakan produk dari kesenjangan kombinasi orientasi dan strategi akulturasi yang dilakukan oleh kelompok dominan dan non-dominan (Bourhis, dkk., 1997) yang dipengaruhi oleh seberapa berbeda atau sama nilai-nilai, norma, kepercayaan, maupun bahasa antar kelompok yang berinteraksi tersebut (Berry & Sam, 2006), di mana semakin besar perbedaan akan semakin dievaluasi secara negatif dan sebaliknya (Berry, Poortinga, Segall, & Dasen, 2002) yang pada akhirnya mengarahkan kepada penerimaan atau penolakan dari satu kelompok terhadap kelompok lain (Mummendey & Wenzel, 1999) yang dapat digambarkan dari orientasi akulturasi yang diinginkan oleh kelompok tersebut (Bourhis, dkk., 1997). Berdasarkan penalaran singkat tersebut, dinamika penelitian ini dapat digambarkan dalam bagan berikut:
Sikap terhadap kesesuaian ideologi
Kesesuaian ideologi
Orientasi akulturasi (integrasi, asimilasi, segregasi, eksklusi, dan individualisme)
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian
1.
Ideologi Antar Kelompok Sebagai Determinan Orientasi Akulturasi Kenrick (2007) mendefinisikan kelompok sebagai suatu unit yang terdiri dari dua atau lebih individu yang saling bergantung dan mempengaruhi satu sama lain serta saling berbagi identitas bersama, di
Universitas Sumatera Utara
16
mana setiap kelompok sudah tentu akan memiliki nilai, norma dan tujuan masing-masing. Setiap kelompok memiliki nilai, norma, simbol, maupun kepercayaan (ideologi) yang berbeda satu sama lain dengan perspektif yang mungkin berbeda terhadap penerapannya masing-masing (Sihbudi & Nurhasim, 2001). Dalam realita kehidupan sehari-hari, dapat dilihat bahwa setiap kelompok memiliki ideologi dengan kadar kesesuaian maupun ketidaksesuaian
yang
beragam.
Sebagai
contoh,
kelompok
Islam
mainstream dan Ahmadiyah Qadiyan memiliki ideologi yang sangat berbeda dan tidak sesuai antara satu sama lain walaupun Ahmadiyah Qadiyan juga mengatasnamakan kelompok mereka sebagai Islam (lihat Dzahir, 2008; Sastrawi, 2011; Fathoni, 1994; Jaiz, 2009), sedangkan kelompok Ahmadiyah Lahore memiliki ideologi yang hampir sesuai dari Islam pada umumnya yang juga mengatasnamakan kelompok mereka sebagai Islam (lihat Sastrawi, 2011; Iskandar, 2005). Seberapa sama atau berbeda ideologi yang dimiliki antar kelompok sangat kuat pengaruhnya terhadap proses akulturasi yang disebut dengan degree of similarity (Berry & Sam, 2006). Dalam proses akulturasi masingmasing kelompok yang berakulturasi memiliki masing-masing orientasi akulturasi (yang dilakukan oleh kelompok dominan) dan strategi akulturasi (yang dilakukan oleh kelompok non-dominan), dan kombinasi antara orientasi dan strategi akulturasi ini yang nantinya akan menentukan kualitas hubungan antara kedua kelompok dominan dan non-dominan (positif atau negatif) (Bourhis, dkk., 1997). Mengacu kepada definisi orientasi akulturasi
Universitas Sumatera Utara
17
yang dikemukakan oleh Bourhis, dkk. (1997), yakni strategi akulturasi yang diinginkan oleh kelompok dominan maka secara spesifik kadar kesesuaian dan ketidaksesuaian ideologi antara kelompok dominan dan non-dominan dapat mempengaruhi harapan kelompok dominan sehubungan dengan strategi akulturasi yang harus digunakan oleh kelompok non-dominan. Ada satu variabel yang dipercaya menengahi peran dari faktor degree of similarity tersebut terhadap preferensi akulturasi kelompok dominan yang akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya. Orientasi akulturasi kelompok dominan pada awalnya dikemukakan oleh Berry pada tahun 1974 yang dikenal sebagai ekspektasi akulturasi, yakni keinginan kelompok dominan akan strategi akulturasi yang harus dilakukan oleh kelompok non-dominan terhadap budaya dominan. Mengingat bahwa kelompok dominan memiliki kuasa dan kekuatan dalam menentukan keberhasilan strategi akulturasi yang dilakukan kelompok nondominan, maka kemudian Berry menambahkan kajian ekspektasi akulturasi pada teori akulturasinya (Berry & Sam, 2006; Chun, Organista, & Marin, 2003). Bourhis, dkk. (1997) kemudian menyempurnakan temuan Berry tersebut dan menyatakan bahwa keberhasilan akulturasi memang sangat ditentukan oleh kelompok dominan dengan orientasi akulturasinya, yang pada akhirnya dapat menentukan kualitas hubungan antara kedua kelompok (positif atau negatif). Adapun orientasi akulturasi kelompok dominan yang disempurnakan oleh Bourhis, dkk. (1997) terbagi menjadi lima orientasi, yakni :
Universitas Sumatera Utara
18
1.
Integrasi, kelompok dominan menerima kelompok non-dominan dalam mempertahankan budaya asli mereka dan juga menerima mereka ketika mereka mengadopsi nilai-nilai budaya dominan.
2.
Asimilasi, kelompok dominan menginginkan kelompok nondominan untuk sepenuhnya mengikuti budaya dominan dan sepenuhnya meninggalkan budaya mereka.
3.
Segregasi, kelompok dominan bisa menerima kelompok nondominan untuk mempertahankan budaya mereka selama mereka memisahkan diri dan hidup terpisah sepenuhnya dari budaya dominan.
4.
Eksklusi, kelompok dominan tidak menginginkan kelompok nondominan untuk mempertahankan budaya mereka dan tidak pula menerima mereka untuk mengadopsi nilai budaya dominan.
5.
Individualisme, kelompok dominan menolak kelompok nondominan dari sisi budaya atau kelompok dimana mereka bernaung karena tipe ini tidak memandang orang lain dari sisi budaya atau kekelompokkan, melainkan menerima mereka secara pribadi atau secara personal terlepas dari kekelompokkan di mana mereka bernaung. Bagaimana kesesuaian maupun ketidaksesuaian ideologi antar
kelompok dapat menentukan masing-masing orientasi akulturasi di atas akan dijelaskan dalam penjabaran selanjutnya.
Universitas Sumatera Utara
19
2.
Sikap Terhadap Kesesuaian Ideologi Antar Kelompok Sebagai Determinan Orientasi Akulturasi Sikap dari definisi unidimensional diartikan sebagai evaluasi positif atau negatif terhadap suatu objek yang dapat diekspresikan dengan rasa suka atau tidak suka, rasa cinta atau benci, dan pandangan baik atau buruk (Franzoi, 2009). Sikap positif atau negatif yang dimiliki oleh suatu kelompok terhadap kelompok lain tergantung dari seberapa berbeda atau sesuai ideologi yang dimiliki oleh keduanya, di mana semakin individu menilai suatu kelompok sebagai berbeda dengan kelompok di mana diri bernaung, maka semakin negatif sikap individu terhadap kelompok tersebut dan sebaliknya (lihat Berry, dkk., 2002). Hal ini dapat terjadi karena ideologi kelompok lain yang berbeda dapat dipersepsikan sebagai suatu ancaman terhadap ideologi suatu kelompok tertentu yang pada akhirnya dapat melahirkan perasaan negatif terhadap kelompok tersebut (lihat Verkuyten, Gonzales, Weesie, & Poppe, 2008). Jadi, semakin berbeda ideologi yang ada akan semakin dipersepsikan sebagai ancaman yang akhirnya melahirkan sikap negatif, dan sebaliknya semakin kecil perbedaan ideologi tersebut semakin tidak dipersepsikan sebagai ancaman sehingga yang muncul adalah sikap positif. Ketidaksesuaian
ideologi
akan
memunculkan
sikap
negatif
(Hipotesis 1) sehingga yang terjadi adalah penolakan (i.e. asimilasi, segregasi, atau eksklusi) terhadap kelompok yang ideologinya sangat tidak sesuai dengan ideologi mereka (Hipotesis 3a, 3b, dan 3c). Sedangkan
Universitas Sumatera Utara
20
terhadap kelompok dengan ideologi yang sesuai dengan ideologi mereka akan memunculkan sikap positif (Hipotesis 1) sehingga yang terjadi adalah penerimaan (e.g. integrasi dan individualisme) terhadap kelompok yang ideologinya sesuai dengan ideologi mereka. a.
Sikap Terhadap Kesesuaian Ideologi Kelompok Ahmadiyah Qadiyan dan Ahmadiyah Lahore Sebagai Determinan Orientasi Akulturasi Islam Mainstream Ideologi (seperangkat sistem nilai, norma, dan kepercayaan) yang
sesuai akan dievaluasi secara positif, sebaliknya ideologi yang tidak sesuai akan dievaluasi secara negatif (Berry, dkk., 2002), di mana evaluasi dapat diartikan sebagai sikap unidimensional (Franzoi, 2009). Ketika diterapkan pada contoh subjek dalam penelitian ini, yakni antara Ahmadiyah Lahore (ideologinya sesuai dengan ideologi Islam pada umumnya) dan Qadiyan (ideologinya tidak sesuai dengan ideologi Islam pada umumnya), maka Islam mainstream akan memiliki sikap negatif terhadap Ahmadiyah Qadiyan dan positif terhadap Ahmadiyah Lahore (Hipotesis 1). Ketika dikaitkan dengan kajian persepsi ancaman oleh Verkuyten, dkk. (2008), maka ketidaksesuaian ideologi kelompok Ahmadiyah Qadiyan dari ideologi Islam pada umumnya akan dipersepsikan sebagai ancaman oleh Islam mainstream, sehingga Islam mainstream memiliki sikap negatif terhadap kelompok ini, dan sebaliknya pada Ahmadiyah Lahore dikarenakan ideologi mereka yang sesuai dengan ideologi Islam pada umumnya sehingga tidak begitu
Universitas Sumatera Utara
21
dipersepsikan sebagai ancaman oleh Islam mainstream, sehingga Islam mainstream memiliki sikap positif terhadap kelompok Ahmadiyah Lahore. Sebagai akibatnya Islam mainstream lebih dapat menerima Ahmadiyah Lahore dari segi orientasi akulturasinya (yakni tipe orientasi integrasi dan individualisme) daripada Ahmadiyah Qadiyan (yakni tipe orientasi asimilasi, segregasi, dan eksklusi) (Hipotesis 2 dan 3). Jika kita lihat kembali pada ideologi kedua kelompok Ahmadiyah Qadiyan dan Ahmadiyah Lahore terhadap ideologi Islam mainstream (lihat poin A hal. 9), dapat terlihat bahwa ideologi kelompok Ahmadiyah Qadiyan sangat tidak sesuai dengan ideologi Islam pada umumnya, sedangkan ideologi Ahmadiyah Lahore dapat dikatakan sesuai dengan ideologi Islam pada umumnya. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kadar perbedaan ataupun ketidaksesuaian ideologi dapat membuat anggota suatu kelompok menyikapi secara negatif kelompok lain, sikap negatif itu sendiri dapat berupa penolakan, diskriminasi, bahkan konflik (Berry, dkk., 2002; Verkuyten, dkk., 2008; Mummendey & Wenzel, 1999). Dengan demikian, kelompok dengan ideologi yang tidak sesuai dengan ideologi kelompok dominan akan disikapi secara negatif yang pada akhirnya akan mengarahkan kepada penolakan terhadap kelompok nondominan tersebut, sedangkan kelompok dengan ideologi yang sesuai dengan ideologi kelompok dominan akan disikapi secara positif yang
Universitas Sumatera Utara
22
pada akhirnya akan mengarahkan kepada penerimaan terhadap kelompok non-dominan tersebut. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, bahwa secara spesifik pada contoh kasus ini, ideologi Ahmadiyah Qadiyan yang sangat tidak sesuai dengan ideologi Islam pada umumnya dipercaya menciptakan lahirnya sikap negatif terhadap kelompok ini yang pada akhirnya mengarahkan Islam mainstream untuk menolak kelompok Ahmadiyah Qadiyan (asimilasi, segregasi, atau eksklusi) (Hipotesis 3a, 3b, dan 3c). Sebaliknya yang terjadi pada kelompok Ahmadiyah Lahore, ideologi mereka yang sesuai dengan ideologi Islam pada umumnya melahirkan sikap yang lebih positif sehingga mengarahkan Islam mainstream untuk menerima kelompok ini (integrasi dan individualisme) (Hipotesis 2a dan 2b). Penerimaan atau penolakan kelompok dominan terhadap non dominan merupakan elemen dalam fenomena akulturasi (lihat Bourhis, dkk., 1997), dan juga tergantung dari sikap (evaluasi) mereka terhadap seberapa sesuai atau tidak sesuai ideologi mereka dengan ideologi kelompok non-dominan tersebut (Mummendey & Wenzel, 1999; Berry, dkk., 2002). Melihat penalaran teoritis tersebut, maka peneliti berasumsi bahwa sikap Islam mainstream terhadap kesesuaian ideologi itu sendiri yang memediasi peran kesesuaian ideologi dalam menentukan orientasi akulturasi yang diinginkan Islam mainstream terhadap kedua kelompok Ahmadiyah Qadiyan dan Ahmadiyah Lahore.
Universitas Sumatera Utara
23
Sikap Islam Mainstream Terhadap Kesesuaian ideologi kedua kelompok Ahmadiyah dengan ideologi Islam pada umumnya.
Ideologi Sesuai : Ahmadiyah Lahore.
Orientasi akulturasi Islam mainstream (integrasi, asimilasi, segregasi, eksklusi, dan individualisme).
Ideologi Tidak Sesuai: Ahmadiyah Qadiyan.
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Penelitian antara Islam Mainstream dan Kedua Kelompok Ahmadiyah Qadiyan dan Ahmadiyah Lahore. Ada dua dimensi yang membentuk kelima orientasi akulturasi kelompok dominan yang dikemukakan oleh Bourhis, dkk. (1997) dan dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini:
Dimensi 2: apakah patut untuk diterima ketika kelompok nondominan mengadopsi budaya kelompok dominan?
Dimensi 1: apakah patut untuk diterima ketika kelompok non-dominan mempertahankan budaya asli mereka? Yes
Yes Integrasi
No
Segregasi
No Asimilasi Ekslusi Individualisme
Gambar 3. Dimensi Orientasi Akulturasi Kelompok Dominan
Ketika teori dikaitkan dengan contoh kasus penelitian antara Ahmadiyah (Qadiyan & Lahore) dan Islam mainsream, bahwa penerimaan atau penolakan dari kelompok dominan ditentukan oleh sikap mereka (Mummendey & Wenzel, 1999), dan sikap mereka ditentukan oleh kesesuaian ideologi yang dimiliki oleh kelompok nondominan (Berry, dkk., 2002), maka Islam mainstream akan memiliki
Universitas Sumatera Utara
24
sikap yang positif terhadap Ahmadiyah Lahore (Hipotesis 1), sebagai akibatnya Islam mainstream lebih menerima kelompok ini, yakni dengan memilih integrasi (Hipotesis 2a) dan individualisme (Hipotesis 2b). Sedangkan terhadap kelompok Ahmadiyah Qadiyan, Islam mainstream akan memiliki sikap yang negatif (Hipotesis 1), sebagai akibatnya Islam mainstream lebih menolak kelompok ini, yakni dengan memilih asimilasi (Hipotesis 3a), segregasi (Hipotesis 3b), dan eksklusi (Hipotesis 3c). Peneliti berhipotesis bahwa akibat dari sikap positif kelompok dominan terhadap kelompok non-dominan yang ideologinya sesuai dengan ideologi kelompok dominan, maka kelompok dominan lebih menginginkan orientasi integrasi terhadap kelompok ini, yakni menerima kelompok di kedua dimensi akulturasi (lihat Gambar 3). Pada subjek penelitian, Islam mainstream lebih menerima Ahmadiyah Lahore untuk mempertahankan ideologi mereka dan menerima mereka sebagai bagian dari Islam. Hal ini dikarenakan kelompok dominan menyikapi kesesuaian ideologi antara mereka dan kelompok non-dominan tersebut secara positif, sehingga mengarahkan kelompok dominan untuk menerima mereka dalam mempertahankan ideologi tersebut dan juga menerima mereka untuk mengadopsi nilai-nilai dominan (yakni integrasi) (Hipotesis 2a). Peneliti juga berhipotesis bahwa kelompok dominan juga menginginkan orientasi individualisme (Hipotesis 2b) terhadap kelompok non-dominan yang ideologinya sesuai dengan ideologi mereka. Hal ini
Universitas Sumatera Utara
25
dikarenakan kelompok dominan menyikapi kesesuaian ideologi ini secara positif sehingga dapat menerima kelompok non-dominan ini secara pribadi terlepas dari keanggotaan mereka dalam suatu kelompok. Pada kasus penelitian, Islam mainstream tidak menuntut Ahmadiyah Lahore untuk mempertahankan atau meninggalkan ideologi mereka, tidak pula menuntut mereka untuk sepenuhnya menerapkan ideologi Islam pada umumnya sebagai ideologi mereka, dan tidak meminta mereka untuk memisahkan diri dari Islam. Artinya, Islam mainstream menerima mereka secara pribadi terlepas dari keanggotaan mereka sebagai Ahmadiyah (yakni individualisme) (Hipotesis 2b). Hipotesis penelitian berikutnya adalah bahwa kelompok dominan lebih menginginkan asimilasi terhadap kelompok non-dominan yang ideologinya tidak sesuai dengan ideologi kelompok dominan (Hipotesis 3a). Hal ini dikarenakan kelompok dominan menyikapi ketidaksesuaian ideologi ini secara negatif, sehingga mereka menolak kelompok nondominan
tersebut
untuk
mempertahankan
ideologi
mereka
dan
menginginkan mereka untuk sepenuhnya mengikuti budaya dominan (yakni asimilasi) (Hipotesis 3a). Pada kasus penelitian, Islam mainstream lebih menginginkan asimilasi terhadap kelompok Ahmadiyah Qadiyan, yakni menginginkan mereka untuk sepenuhnya meninggalkan ideologi mereka dan sepenuhnya mengikuti ideologi Islam pada umumnya. Peneliti juga berhipotesis bahwa konsekuensi dari sikap negatif kelompok dominan terhadap ketidaksesuaian ideologi pada kelompok
Universitas Sumatera Utara
26
non-dominan berimplikasi kepada pemilihan orientasi segregasi, yakni menolak kelompok non-dominan untuk mengadopsi ideologi dominan dan masih bisa menerima mereka dalam mempertahankan ideologi mereka namun dengan cara hidup terpisah dari kelompok dominan (yakni segregasi) (Hipotesis 3b). Secara spesifik pada kasus penelitian, Islam mainstream
lebih
menginginkan
segregasi
terhadap
kelompok
Ahmadiyah Qadiyan, yakni menginginkan mereka untuk mendirikan agama sendiri di luar agama Islam jika mereka tetap ingin mempertahankan ideologi mereka yang tidak sesuai dengan ideologi Islam pada umumnya. Peneliti juga berhipotesis bahwa kelompok dominan juga menginginkan orientasi eksklusi terhadap kelompok non-dominan yang ideloginya tidak sesuai dengan ideologi kelompok dominan. Artinya kelompok dominan menolak mereka untuk mengadopsi budaya dominan dan juga menolak mereka untuk mempertahankan budaya asli mereka (yakni eksklusi) (Hipotesis 3c). Secara spesifik pada kasus penelitian, Islam mainstream lebih menginginkan eksklusi terhadap kelompok Ahmadiyah Qadiyan, yakni menolak mereka sebagai bagian dari Islam dan juga menginginkan mereka untuk menghapuskan ideologi mereka yang tidak sesuai dengan ideologi Islam pada umumnya. Penelitian tentang orientasi akulturasi dalam kaitannya dengan sikap memang telah dilakukan sebelumnya di Israel (Bourhis & Dayan, 2004) dan Kanada (Montreuil & Bourhis, 2001). Mereka menemukan bahwa host
Universitas Sumatera Utara
27
community terhadap kelompok non-dominan yang dihargai lebih memilih orientasi integrasi dan individualisme terhadap kelompok tersebut, sebaliknya terhadap kelompok yang tidak dihargai, host community lebih memilih orientasi asimilasi, segregasi, dan eksklusi. Hasil penelitian ini memperkuat asumsi peneliti bahwa sikap kelompok dominan (positif atau negatif) terhadap seberapa sesuai atau tidak sesuai ideologi yang ada antara mereka dengan kelompok non-dominan turut menentukan preferensi akulturasi mereka. Secara ringkas dapat disimpulkan nalar dari penelitian ini, bahwa kombinasi orientasi akulturasi yang berdampak kepada penentuan kualitas hubungan dan interaksi antar kelompok (Bourhis, dkk., 1997) dipengaruhi oleh kesesuaian ideologi yang ada antara kedua kelompok dominan dan non-dominan yang melahirkan sikap (positif atau negatif) (Berry, dkk., 2002), yang pada akhirnya mengarahkan kepada penerimaan atau penolakan (Mummendey & Wenzel, 1999) yang dapat digambarkan pada salah satu atau kedua dimensi akulturasi (Bourhis, dkk., 1997). Secara spesifik pada fenomena konflik antara Ahmadiyah Qadiyan (Jema’at Ahmadiyah) dan Islam mainstream menunjukkan bahwa telah terjadi kesenjangan orientasi dan strategi akulturasi antara Islam mainstream dan Ahmadiyah Qadiyan. Islam mainstream menginginkan asimilasi atau segregasi terhadap Ahmadiyah Qadiyan, sedangkan Ahmadiyah Qadiyan sendiri menginginkan untuk berintegrasi terhadap Islam. Sehingga terjadilah kesenjangan orientasi akulturasi oleh Islam mainstream dan strategi akulturasi oleh Ahmadiyah
Universitas Sumatera Utara
28
Qadiyan dan pada akhirnya menciptakan ketegangan dan konflik antara kedua kelompok ini (Nasution, 2008; Bourhis, dkk., 1997). Jika contoh kasus antara Ahmadiyah Qadiyan dan Islam mainstream dikaitkan dengan nalar penelitian, maka sikap Islam mainstream yang tidak menginginkan
Ahmadiyah
Qadiyan
untuk
berintegrasi
merupakan
konsekuensi dari ketidaksesuaian ideologi mereka dari ideologi Islam pada umumnya. Hal ini yang kemudian mengakibatkan kelompok tersebut disikapi secara negatif yang pada akhirnya mengarahkan Islam mainstream untuk menolak kehadiran kelompok Ahmadiyah Qadiyan (yakni asimilasi atau segregasi) (Nasution, 2008; Bourhis, dkk., 1997; Berry, dkk., 2002; Mummendey & Wenzel, 1999). C. HIPOTESIS PENELITIAN Berdasarkan uraian teoritis di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hipotesis dalam penelitian ini, yakni sebagai berikut: 1. Islam mainstream memiliki sikap yang lebih positif terhadap kelompok Ahmadiyah Lahore daripada terhadap Ahmadiyah Qadiyan. 2. Akibat dari sikap Islam mainstream yang positif terhadap kelompok Ahmadiyah Lahore maka, a. Islam mainstream lebih menginginkan tipe orientasi integrasi terhadap kelompok Ahmadiyah Lahore daripada Ahmadiyah Lahore. b. Islam mainstream lebih menginginkan tipe orientasi individualisme terhadap kelompok Ahmadiyah Lahore daripada Ahmadiyah Lahore.
Universitas Sumatera Utara
29
3. Akibat dari sikap Islam mainstream yang negatif terhadap kelompok Ahmadiyah Qadiyan maka, a. Islam mainstream lebih menginginkan tipe orientasi asimilasi terhadap kelompok Ahmadiyah Lahore daripada Ahmadiyah Qadiyan. b. Islam mainstream lebih menginginkan tipe orientasi segregasi terhadap kelompok Ahmadiyah Lahore daripada Ahmadiyah Qadiyan. c. Islam mainstream lebih menginginkan tipe orientasi eksklusi terhadap kelompok Ahmadiyah Lahore daripada Ahmadiyah Qadiyan.
Universitas Sumatera Utara