10
BAB II LANDASAN TEORI
A. Dasar Perpajakan 1. Pengertian Pajak Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan memberikan definisi pajak sebagai berikut : “ kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Sementara itu, Mardiasmo (2006:1) memberikan definisi pajak sebagai berikut : “Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undangundang (yang dapat
dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal
(kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”. Dari 2 definisi diatas dapat ditarik kesimpulan : 1. Pajak dibayarkan oleh orang pribadi atau badan 2. Bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang 3. Tidak mendapatkan imbalan secara langsung 4. Digunakan untuk kemakmuran rakyat
11
Lembaga pemerintah yang membantu mengurusi kewajiban kewajiban wajib pajak di Indonesia adalah Direktorat Jendral Pajak ( DJP ) yang berada dibawah Kementrian Keuangan Republik Indonesia.
2. Fungsi pajak Pajak mempunyai beberapa fungsi, yaitu: A. Fungsi mengatur (regulerend) Dalam mengatur pertumbuhan ekonomi pemerintah bisa menggunakan kebijaksanaan pajak sebagai alat untuk mencapai pertumbuhan tersebut. Misalnya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi negara yang dilakukan melalui perusahaan – perusahaan yang ada di Indonesia, pemerintah dapat meringankan pajak yang rendah bagi seseorang yang ingin berinvestasi. B. Fungsi anggaran ( budgetair ) Suatu negara pasti mempunyai suatu tujuan. Untuk mencapai tujuan tersebut pastinya memerlukan dana yang besar untuk menjalankan tugas rutin negara, membiayai pengeluaran negara, membiayai pembangunan. Dana ini diperoleh dari penerimaan pajak yang dibayarkan oleh warga negara dari negara tersebut. C. Fungsi redistribusi pendapatan Fungsi ini lebih menekankan pada unsur pemerataan pada masyarakat. Dana yang didapat negara digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum termasuk untuk membiayai pembangunan yang dapat
12
membuka kesempatan kerja. Dengan terciptanya kesempatan kerja dapat meningkatkan pendapatan warga negara. D. Fungsi stabilitas Stabilitas dalam negeri dapat dikendalikan melalui pajak. Jika negara sedang mengalami inflasi, pemerintah dapat menaikkan pajak untuk mengurangi kelebihan permintaan dalam masyarakat dan mengurangi peredaran uang.
3. Pengelompokan Pajak 1.
Menurut golongannya, pajak terdiri dari : a. Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan pembayarannya tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak Penghasilan. b. Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai.
2. Menurut sifatnya, pajak terdiri dari: a. Pajak subjektif, yaitu pajak yang dasarnya adalah subjeknya, dalam arti memfokuskan pada diri Wajib Pajak, dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. b. Pajak Objektif, yaitu pajak yang dasarnya adalah objeknya, dalam arti tidak memfokuskan pada diri Wajib Pajak.
13
3. Menurut lembaga pemungutnya, pajak terdiri dari: a. Pajak pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan Bea Meterai. b. Pajak daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Pajak daerah terdiri atas : 1) Pajak
Daerah
Tingkat
I
(Propinsi),
contoh:
Pajak
Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor. 2) Pajak Daerah Tingkat II (Kabupaten/Kota), contoh: Pajak Hotel dan Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, dan Pajak Penerangan Jalan.
4. Asas dan Sistem Pemungutan Pajak di Indonesia Asas pemungutan pajak : 1. Asas Domisili (tempat tinggal) Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib Pajak yang bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan dari dalam maupun luar negeri. Asas ini berlaku untuk Wajib Pajak dalam negeri. 2. Asas Sumber Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di
14
wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak. 5. Asas Kebangsaan Pengenaan pajak dihubungkan denagn kebangsaan suatu negara. Misalnya pajak bangsa asing di Indonesia dikenakan pada setiap orang yang bukan berkebangsaan Indonesiayang bertempat tinggal di Indonesia. Asas ini berlaku untuk Wajib Pajak luar negeri.
5. Kepatuhan Pajak Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia. ”Kepatuhan berarti tunduk atau patuh pada ajaran atau aturan”. Kepatuhan adalah motifasi seseorang kelompok; atau organisasi untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Perilaku kepatuhan seseorang merupakan interaksi antara perilaku individu, kelompok dan organisasi. Internal Revenue Servise (IRS) dalam Mustikasari (2007) mendefinisikan Tax Compliance sebagai ”accurate, timely and fully paid return without IRS enforcement effort”. Dengan demikian kepatuhan pajak dapat didefinisikan sebagai memasukkan dan melaporkan pada waktunya informasi yang diperlukan; mengisi secara benar jumlah pajak terutang dan membayar pajak pada waktunya tanpa ada tindakan pemaksaan. Berdasarkan pemahaman atas definisi kepatuhan pajak seperti yang diungkapkan di atas, maka diharapkan semua warga negara dapat lebih patuh dalam membayar pajak sehingga dapat memenuhi fungsi dari pajak.
15
Nurmantu (2003: 148-149) mengemukakan bahwa “kepatuhan perpajakan didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya”. Ada dua macam kepatuhan perpajakan menurut Nurmantu (2003) yakni kepatuhan formal dan kepatuhan material. Kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi kewajiban perpajakan secara formal sesuai ketentuan dalam undang – undang perpajakan. Sedangkan kepatuhan material adalah suatu keadaan dimana wajib pajak secara subtantif / hakekat memenuhi semua ketentuan material perpajakan, yakni sesuai isi dan jiwa undang – undang perpajakan. Permasalahan tentang kepatuhan pajak merupakan permasalahan lama dalam
bidang
perpajakan.
Dalam
membahas
permasalahan
ini
dapat
menggunakan berbagai perspektif. Menurut James et al (1998) dalam Mustikasari (2007), perspektif tersebut diantaranya keuangan publik, penegakan hukum, persediaan tenaga kerja, etika dan kombinasi dari perspektif tersebut. Sebelum tahun 1982, literatur akademis empiris tentang kepatuhan pajak masih sangat sedikit dan penelitian tersebut menggunakan desain survey. Responden yang disurvey
adalah
pembayar
pajak
untuk
mengetahui
perilaku
mereka.
Perkembangan berikutnya setelah tahun 1980’an riset tentang kepatuhan kebanyakan menggunakan desain eksperimental. Jackson dan Milliron (1986) dalam Mustikasari (2007) telah melakukan review literature yang menyeluruh terhadap penelitian yang berkaitan dengan kepatuhan pajak. Mereka kemudian mengidentifikasi 14 variabel yang paling
16
sering menjadi fokus penelitian dan ditemukan mempengaruhi perilaku kepatuhan pembayar pajak yaitu umur, jenis kelamin, pendidikan, tingkat pendapatan, sumber pendapatan, pekerjaan, kepatuhan rekan kerja, keadilan, kontak dengan IRS, sanksi, etika, kemungkinan terdeteksi dan tarif pajak. Berdasarkan hasil review tersebut, Bobek dan Hatfield (2003) mengklasifikasikan ke 14 variabel yang mempengaruhi perilaku kepatuhan dalam 4 golongan besar (1) demografi (misalnya: jenis kelamin, umur), (2) kesempatan ketidakpatuhan (misalnya: tingkat pendapatan, sumber pendapatan), (3) Sikap (misalnya: etika, keadilan), (4) Struktural (kompleksitas, kemungkinan pemeriksaan) Walaupun beberapa laporan atau artikel, baik yang diterbitkan oleh instansi pemerintah maupun majalah ilmiah menunjukkan bahwa masih banyak perusahaan yang tidak mematuhi peraturan perpajakan, akan tetapi masih relatif sedikit penelitian secara akademis melakukan pengujian secara ilmiah terhadap fenomena tersebut untuk perusahaan yang berskala kecil. The General Accounting Office (1990) dalam Siahaan (2005) telah menemukan bahwa perusahaan manufaktur memiliki tingkat kepatuhan terhadap peraturan perpajakan yang relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan perusahaan jasa (service) dan dagang eceran (retail). Rice (1992) dalam Siahaan (2005) telah melakukan penelitian terhadap tingkat kepatuhan perusahaanperusahaan kecil terhadap peraturan perpajakan. Rice menemukan bahwa 2/3 dari perusahaan kecil yang diteliti tidak mematuhi peraturan perpajakan. Faktor-faktor yang siginifikan yang ditemukan dalam hubungannya dengan tingkat kepatuhan
17
perusahaan-perusahaan kecil terhadap peraturan perpajakan adalah pengungkapan laporan keuangan kepada publik (memiliki hubungan positif), Marginal Tax Rate (memiliki hubungan negatif), ukuran perusahaan (memiliki hubungan positif) dan lokasi yang diidentifikasi oleh IRS yang masuk dalam Poor Compliance Region (memiliki hubungan negatif).
6. Kriteria Wajib Pajak Patuh Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 192/PMK.03/2007 tentang tata cara penetapan wajib pajak dengan kriteria tertentu dalam rangka pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak dalam pasal 1 disebutkan bahwa wajib pajak dengan kriteria tertentu yang selanjutnya disebut sebagai wajib pajak patuh adalah wajib pajak yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. Tepat waktu dalam penyampaian Surat Pemberitahuan; 2. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali tunggakan pajak yang telah memperoleh izin mengangsur atau menunda pajak; 3. Laporan keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan keuangan pemerintah dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian selama 3 (tiga) tahun berturut-turut; dan
18
4. Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir. Sehubungan dengan penerbitan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 192/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Penetapan Wajib Pajak dengan Kriteria Tertentu dalam Rangka Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak, Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-2/PJ./2008 tentang Tata Cara Penetapan Wajib Pajak dengan Kriteria Tertentu. Dalam surat edaran tersebut tertera definisi wajib pajak patuh dan juga kriteria wajib pajak patuh yang tertuang dalam bagian I nomor 1 dan 2 sebagai berikut: 1. Wajib Pajak Patuh adalah Wajib Pajak yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai Wajib Pajak yang memenuhi kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 192/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Penetapan Wajib Pajak dengan Kriteria Tertentu dalam Rangka Pengemnbalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak. 2. Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 192/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Penetapan Wajib Pajak dengan Kriteria Tertentu dalam Rangka Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak adalah: a. Tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan, meliputi:
19
1. Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan tepat waktu dalam 3 (tiga) tahun terakhir; 2. Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa yang terlambat dalam tahun terakhir untuk Masa Pajak Januari sampai November tidak lebih dari 3 (tiga) Masa Pajak untuk setiap jenis pajak dan tidak berturut-turut; dan 3. Surat Pemberitahuan Masa yang terlambat sebagaimana dimaksud pada butir 2 telah disampaikan tidak lewat dari batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Masa pajak berikutnya; b. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali tunggakan pajak yang telah memperoleh izin mengangsur atau menunda pembayaran pajak, meliputi keadaan pada tanggal 31 Desember tahun sebelum penetapan sebagai wajib pajak patuh dan tidak termasuk utang pajak yang belum melewati batas akhir pelunasan. c. Laporan keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan keuangan pemerintah dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian selama 3 (tiga) tahun berturut-turut, dengan ketentuan: 1. Laporan keuangan yang diaudit harus disusun dalam bentuk panjang (long form report) dan menyajikan rekonsiliasi laba rugi komersial dan fiskal bagi wajib pajak yang wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan; dan
20
2. Pendapat Akuntan atas Laporan Keuangan yang diaudit ditandatangani oleh Akuntan Publik yang tidak sedang dalam pembinaan lembaga pemerintah pengawas Akuntan Publik; dan d. Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir.
7. Pemahaman Tax Profesional Terhadap Sistem Self Assessment Ada beberapa sistem pemeungutan pajak, yaitu: a. Official Assessment System Dalam official assessment system, pemerintah ( fiskus ) mempunyai wewenang dan berperan aktif dalam penghitungan dan penetapan besarnya pajak terutang. b. Self Asessment System Dalam self assessment system besarnya pajak terutang dihitungan, disetor, dan dilapokan oleh wajib pajak. Pemerintah ( fiskus ) hanya sebagai pengawas apakah surat pemberitahuan ( SPT ) sudah diisi dengan lengkap dan benar. c. Witholding Assessment System Dalam witholding assessment system yang melakukan penghitungan, penetapan, penyetoran, dan pelaporan dilakukan oleh pihak ke tiga selain pemerintah ( fiskus ) dan wajib pajak bersangkutan.
21
Sistem self assessment yang diterapkan dalam perpajakan di Indonesia memberikan kepercayaan penuh kepada wajib pajak untuk menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang terutang. Sistem ini akan efektif apabila wajib pajak memiliki kesadaran pajak, kejujuran, dan kedisiplinan dalam menjalankan/melaksanakan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Hasil penelitian Chusnul Chotimah (2007) yang dilakukan terhadap wajib pajak orang pribadi menunjukkan bahwa pemahaman terhadap sistem self assessment berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak orang pribadi dalam melaksanakan kewajiban perpajakan pajak penghasilan. Jadi semakin tinggi tingkat pemahaman wajib pajak terhadap sistem self assessment akan semakin meningkat pula kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan sehingga akan meningkat pula penerimaan pajak.
8. Tingkat Pendidikan Tax Profesional Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
22
Pendidikan pada dasarnya merupakan usaha pengembangan SDM yang dilakukan secara sistematis, programatis dan berjenjang agar dapat dihasilkan manusis-manusia berkualitas yang akan dapat memberikan mamfaat dan sekaligus meningkatkan kualitas. Adapun tingkatan pendidikan antara lain: a. Pendidikan Dasar Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan awal selama 6 (enam) tahun pertama masa sekolah anak-anak yang melandasi jenjang pendidikan menengah. b. Pendidikan Menengah Pendidikan menengah merupakan jenjang pendidikan lanjutan pendidikan dasar (SMP/SMA). c. Pendidikan Tinggi Pendidikan tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program sarjana, magister, doctor, dan spesialis yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Tingkat
pendidikan
masyarakat
yang
semakin
tinggi
akan
menyebabkan masyarakat lebih mudah memahami ketentuan dan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku. Tingkat pendidikan yang masih rendah juga akan berpeluang membuat wajib pajak enggan melaksanakan kewajiban perpajakan karena kurangnya pemahaman mereka terhadap sistem perpajakan yang diterapkan.
23
Hasil penelitian Muhammad Syafiqurrahman dan Sri Surata (2006) menemukan bahwa tingkat pendidikan tidak berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak restoran di Surakarta. Hasil ini juga sejalan dengan hasil penelitian Chusnul Chotimah (2007) terhadap wajib pajak orang pribadi dalam melaksanakan kewajiban pajak penghasilan.
9. Kualitas Pelayanan Fiskus Menurut Boediono (2003) dalam Ni Luh (2006) pelayanan adalah suatu proses bantuan kepada orang lain dengan cara-cara tertentu yang memerlukan kepekaan dan hubungan interpersonal agar tercipta kepuasan dan keberhasilan. Hakikat pelayanan umum adalah sebagai berikut: a. Meningkatkan mutu dan produktivitas pelaksanaan tugas dan instansi pemerintah di bidang pelayanan umum. b. Mendorong upaya mengefektifkan sistem data dan tata laksana pelayanan sehingga pelayanan umum dapat diselenggarakan secara lebih berdaya guna dan berhasil guna (efisien dan efektif). c. Mendorong tumbuhnya kretivitas, prakarsa, dan pern serta masyarakat dalam pembangunan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas. Dikaitkan
dengan
pelayanan
perpajakan
maka
pelayanan
dapat
didefinisikan sebagai pelayanan dalam bentuk jasa di bidang perpajakan oleh
24
Direktorat Jendral Pajak melalui satuan kerja yang ada dibawahnya dalam rangka memenuhi ketentuan perpajakan yang telah ditetapkan dan dapat menjadi sumbangan terbesar penerimaan negara. Salah satu aspek yang menjadi peranan penting bagi fiskus yang dalam hal ini Direktorat Jendral Pajak adalah aspek pelayanan terhadap wajib pajak. Tidak dapat dipungkiri bahwa pelayanan memegang kunci dalam menanamkan citra Direktorat Jendral Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama kepada wajib pajak. Pelayanan yang berkualitas harus dapat memberikan 4K, yaitu keamanan, kenyamanan, kelancaran, dan kepastian hukum. Kualitas pelayanan dapat diukur dengan memberikan pelayanan dengan tanggapan, kemampuan, kesopanan, dan sikap dapat dipercaya yang dimiliki oleh aparat pajak. Di samping itu, juga kemudahan dalam melakukan hubungan komunikasi yang baik, memahami kebutuhan wajib pajak, tersediannya fasilitas fisik termasuk sarana komunikasi yang memadai, dan pegawai yang cakap dalam tugasnya (Ni Luh, 2006). Menurut Caro & Garcia (2007), indikator kualitas pelayanan ditentukan oleh tiga faktor yaitu kualitas interaksi, kualitas lingkungan fisik, hasil kualitas pelayanan. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa kualitas interaksi merupakan faktor penting dimana mempunyai pengaruh yang signifikan dalam persepsi wajib pajak terhadap kualitas pelayanan secara keseluruhan. Yang dimaksud dari kualitas interaksi di atas yaitu bagaimana cara fiskus dalam mengkomunikasikan pelayanan pajak kepada wajib pajak sehingga wajib pajak puas terhadap pelayanannya.
25
Kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajibannya membayar pajak tergantung pada bagaimana petugas pajak memberikan mutu pelayanan yang terbaik kepada wajib pajak. Selama ini peranan dari fiskus lebih banyak menjadi seorang pemeriksa. Padahal untuk menjaga agar wajib pajak tetap patuh terhadap kewajiban perpajakannya dibutuhkan peran yang lebih dari sekadar pemeriksaan. Fiskus diharapkan memiliki kompetensi dalam arti memiliki keahlian (skill), pengetahuan (knowledge), dan pengalaman (experience) dalam hal kebijakan perpajakan. Selain itu, fiskus harus memiliki motivasi yang tinggi sebagai pelayan publik. Penelitian mengenai pelayanan terhadap wajib pajak seperti dalam Jatmiko (2006) menunjukkan bahwa persepsi tentang kualitas pelayanan berpengaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak.
Hasil penelitian Muhammad Syafiqurrahman dan Sri Suranta (2006) tentang faktor-faktor yang mempengaruhi wajib pajak terhadap kepatuhan pembayaran pajak restoran di Surakarta menunjukan bahwa variabel pelayanan tidak berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak dikarenakan kurangnya penyuluhan yang dilakukan. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kualitas pelayanan yang baik yang diberikan fiskus kepada wajib pajak akan dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan, demikian juga sebaliknya.
26
10. Persepsi Tax Profesional Atas Sanksi Pajak Menurut Mardiasmo (2006) sanksi adalah suatu
tindakan berupa
hukuman yang diberikan kepada orang yang melanggar peraturan. Peraturan atau Undang-undang merupakan rambu-rambu bagi seseorang untuk melakukan sesuatu mengenai apa yang harus dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan. Sanksi diperlukan agar peraturan atau Undang-undang tidak dilanggar. Sanksi pajak merupakan jaminan bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (norma perpajakan) akan dituruti/ditaati/dipatuhi, dengan kata lain sanksi perpajakan merupakan alat pencegah agar wajib pajak tidak melanggar norma perpajakan. Dengan adanya sanksi perpajakan diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Pandangan tentang sanksi perpajakan tersebut diukur dengan indikator menurut Yadnyana (2009) dalam Muliari dan Setiawan (2010) sebagai berikut: a. Sanksi pidana yang dikenakan bagi pelanggar aturan pajak cukup berat. b. Sanksi adminstrasi yang dikenakan bagi pelanggar aturan pajak sangat ringan. c. Pengenaan sanksi yang cukup berat merupakan salah satu sarana mendidik wajib pajak. d. Sanksi pajak harus dikenakan kepada pelanggarnya tanpa toleransi. e. Pengenaan sanksi atas pelanggaran pajak dapat dinegosiasikan. Selama ini ada anggapan umum dalam masyarakat bahwa akan dikenakan sanksi perpajakan hanya bila tidak membayar pajak. Padahal, dalam
27
kenyataannya banyak hal yang membuat masyarakat atau wajib pajak terkena sanksi perpajakan, baik itu berupa sanksi administrasi (bunga, denda, dan kenaikan) maupun sanksi pidana. Secara konvensional, terdapat dua macam sanksi yaitu sanksi positif dan sanksi negatif. Sanksi positif merupakan suatu imbalan, sedangkan sanksi negatif merupakan suatu hukuman. Namun pemberian imbalan apabila wajib pajak patuh dan telah memasukan Surat Pemberitahuan tepat pada waktunya belum diperhatikan. Saat ini Ditjen Pajak masih berfokus pada pemberian sanksi negatif dalam menuntut wajib pajak agar patuh terhadap peraturan perpajakan. Apabila dikaitkan dengan UU Perpajakan yang berlaku, menurut Ilyas dan Burton
(2010) terdapat empat hal yang diharapkan atau
dituntut dari para wajib pajak, yaitu: 1. Dituntut kepatuhan
(compliance) wajib pajak dalam membayar pajak
yang dilaksanakan dengan kesadaran penuh 2. Dituntut
tanggung
jawab
(responsibility)
wajib
pajak
dalam
menyampaikan atau memasukan Surat Pemberitahuan tepat waktu sesuai Pasal 3 Undang-undang Nomor 6 tahun 1983 3. Dituntut
kejujuran (honesty) wajib pajak
dalam mengisi
Surat
Pemberitahuan sesuai dengan keadaan sebenarnya 4. Memberikan sanksi (law enforcement) yang lebih berat kepada wajib pajak yang tidak taat pada ketentuan yang berlaku. Dari keempat hal di atas, paling efektif menurut Ilyas dan Burton (2010) adalah dengan menerapkan sanksi (law enforcement) tanpa pandang bulu dan
28
dilaksanakan secara konsekuen. Sekarang ini, wajib pajak seolah tidak takut lagi terhadap denda administrasi sebesar Rp 1.000.000 untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan yang terdapat pada pasal 7 UU KUP Nomor 28 Tahun 2007, bila wajib pajak tidak memasukan Surat Pemberitahuan atau terlambat memasukannya ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP), para wajib pajak seolah-olah menganggap remeh dengan denda yang kecil. Menurut Jatmiko (2006) wajib pajak akan memenuhi pembayaran pajak bila memandang sanksi perpajakan akan lebih banyak merugikannya. Semakin tinggi atau beratnya sanksi, maka akan semakin merugikan wajib pajak. Oleh sebab itu, sanksi perpajakan diduga akan berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak.
B. Penelitian Terdahulu Tabel berikut ini berisi ringkasan penelitian terdahulu: Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
Nama Peneliti dan Tahun Penelitian
Judul Penelitian
Hasil Penelitian
Fadjar O.P. Siahaan (2005)
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Kepatuhan Tax Professional dalam Pelaporan Pajak Badan pada Perusahaan Industri Manufaktur di Surabaya
Profitabilitas perusahaan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kepatuhan perusahaan dalam mematuhi peraturan perpajakan. Selain itu juga memberikan bukti
29
Agus Nugroho Jatmiko (2006)
Pengaruh sikap WP pada pelaksanaan sanksi denda, pelayanan fiskus, dan kesadaran perpajakan terhadap kepatuhan wajib pajak pada WP OP di Kota Semarang
Elia Mustikasari (2007)
Kajian Empiris tentang Kepatuhan Wajib Pajak Badan di Perusahaan Industri Pengolahan di Surabaya
N.K. Muliari dan P.E. Setiawan (2010)
Pengaruh Persepsi tentang Sanksi Perpajakan dan Kesadaran Wajib Pajak pada Kepatuhan
empiris bahwa fasilitas perusahaan berpengaruh secara positif signifikan terhadap kewajiban wajib pajak Badan. Sikap WP pada pelaksanaan saknsi dan denda, pelayanan fiskus, dan kesadaran perpajakan berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap tingkat kepatuhan WP OP di Kota Semarang sikap terhadap ketidakpatuhan pajak, kontrol keperilakuan yang dipersepsikan, dan persepsi tentang fasilitas perusahaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepatuhan pajak tax professional sedangkan norma subyektif, kewajiban moral, persepsi tentang kondisi keuangan, persepsi tentang iklim organisasi, niat tax professional untuk berperilaku tidak patuh, dan ketidakpatuhan pajak badan memiliki pengaruh yang negatif terhadap kepatuhan pajak tax professional. persepsi wajib pajak tentang sanksi perpajakan secara parsial berpengaruh positif dan signifikan
30
Pelaporan Wajib Pajak Orang Pribadi di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Denpasar Timur
pada kepatuhan pelaporan wajib pajak orang pribadi. Begitu juga dengan kesadaran wajib pajak secara parsial berpengaruh positif dan signifikan pada kepatuhan pelaporan wajib pajak orang pribadi.
Sumber: Hasil analis
C. Kerangka Pemikiran Teoritis 1. Theory of Planned Behavior Dalam Theory of Planned Behavior (TPB) dijelaskan bahwa perilaku yang ditimbulkan oleh individu muncul karena adanya niat untuk berperilaku. Sedangkan munculnya niat untuk berperilaku ditentukan oleh tiga faktor (Mustikasari, 2007), yaitu: a. Behavioral Beliefs Behavioral beliefs merupakan keyakinan individu akan hasil dari suatu perilaku dan evaluasi atas hasil tersebut. b. Normative Beliefs Normative beliefs yaitu keyakinan tentang harapan normatif orang lain dan motivasi untuk memenuhi harapan tersebut. c. Control Beliefs
31
Control beliefs merupakan keyakinan tentang keberadaan hal-hal yang mendukung atau menghambat perilaku yang akan ditampilkan dan persepsinya tentang seberapa kuat hal-hal yang mendukung dan menghambat perilakunya tersebut (perceived power). Penelitian tentang kepatuhan pajak telah banyak dilakukan. Penelitian sebelumnya yang menggunakan teori tersebut adalah penelitian Mustikasari (2007). Dikaitkan dengan penelitian ini, Theory of Planned of Behavior relevan untuk
menjelaskan
perilaku
wajib
pajak
dalam
memenuhi
kewajiban
perpajakannya. Sebelum individu melakukan sesuatu, individu tersebut akan memiliki keyakinan mengenai hasil yang akan diperoleh dari perilakunya tersebut. Kemudian yang bersangkutan akan memutuskan bahwa akan melakukannya atau tidak melakukannya. Hal tersebut berkaitan dengan pemahaman terhadap sistem self assessment dan tingkat pendidikan wajib pajak. Semakin tinggi tingkat pemahaman wajib pajak terhadap sistem self assessment akan semakin meningkat pula kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan, begitu juga tingkat pendidikan yang tinggi akan menyebabkan wajib pajak lebih mudah memahami ketentuan dan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku, dan akan memiliki keyakinan mengenai pentingnya membayar pajak untuk membantu menyelenggarakan pembangunan negara (behavioral beliefs). Ketika akan melakukan sesuatu, individu akan memiliki keyakinan tentang harapan normatif dari orang lain dan motivasi untuk memenuhi harapan
32
tersebut (normative beliefs). Hal tersebut dapat dikaitkan dengan kualitas pelayanan, dimana dengan adanya pelayanan yang baik dari petugas pajak, sistem perpajakan yang efisien dan efektif, serta penyuluhan-penyuluhan pajak yang memberikan motivasi kepada wajib pajak agar taat pajak, akan membuat wajib pajak memiliki keyakinan atau memilih perilaku taat pajak. Sanksi pajak terkait dengan control beliefs. Sanksi pajak dibuat adalah untuk mendukung agar wajib pajak mematuhi peraturan perpajakan. Kepatuhan wajib pajak akan ditentukan berdasarkan persepsi wajib pajak tentang seberapa kuat sanksi pajak mampu mendukung perilaku wajib pajak untuk taat pajak. Behavioral beliefs, normative beliefs, dan control beliefs sebagai tiga faktor yang menentukan seseorang untuk berperilaku. Setelah terdapat tiga faktor tersebut, maka seseorang akan memasuki tahap intention, kemudian tahap terakhir adalah behavior. Tahap intention merupakan tahap dimana seseorang memiliki maksud atau niat untuk berperilaku, sedangkan behavior adalah tahap seseorang berperilaku (Mustikasari, 2007). Pemahaman terhadap sistem self assessment, tingkat pendidikan wajib pajak, pelayanan fiskus, dan sanksi pajak dapat menjadi faktor yang menentukan perilaku patuh pajak. Setelah wajib pajak memiliki pemahaman tentang sistem, ketentuan dan peraturan yang berlaku untuk membayar pajak, termotivasi oleh fiskus dan sanksi pajak, maka wajib pajak akan memiliki niat untuk membayar pajak dan kemudian merealisasikan niat tersebut.
33
Gambar 2.1 : Kerangka Pemikiran
Variabel independen (X)
Variabel dependen (Y)
Pemahaman tax professional terhadap sistem self assessment,
Tingkat pendidikan tax professional Kualitas pelayanan fiskus Persepsi tax professional atas sanksi pajak
Kepatuhan Pajak Badan