BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Koro Pedang Koro pedang (Canavalia ensiformis) secara luas ditanam di Asia Selatan dan Asia Tenggara, terutama di India, Sri Lanka, Myanmar dan Indo China. Koro pedang kini telah tersebar di seluruh daerah tropis dan telah ternaturalisasi di beberapa daerah di Indonesia, termasuk wilayah Jawa Tengah. Pada tahun 2010-2011 tercatat dari lahan seluas 24 Ha di 12 kabupaten di Jawa Tengah telah menghasilkan 216 ton koro pedang setiap panen (Kabupaten Blora, Banjarnegara, Temanggung, Pati, Kebumen, Purbalingga, Boyolali, Batang, Cilacap, Banyumas, Magelang, dan Jepara) (Dakornas, 2012 dalam Wahjuningsih dan Wyati, 2013). Para petani kacang koro pedang yang terhimpun dalam Komunitas Damar Sindoro-Sumbing, di Temanggung, Jawa Tengah mampu menghasilkan 4–8 ton koro pedang setiap panen (Balitkabi, 2016). Di Indonesia penyebaran koro pedang yang terbesar meliputi wilayah pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Nusa Tenggara. Tanaman ini dapat tumbuh subur dan menyebar di daerah tropis. Koro pedang dapat tumbuh dengan baik pada dataran rendah (mulai 40 m dpl) namun dapat pula tumbuh pada ketinggian 2.000 m dpl. Tanaman ini tumbuh baik pada suhu rata – rata 14oC – 27oC di lahan tadah hujan atau 12oC – 32oC di daerah tropik dataran rendah (Priyono, 2014). Koro pedang merupakan tanaman musiman dengan tinggi tanaman berkisar 0,5-2 m, batangnya berkayu lunak, perakaran menyebar, daunnya berselang-seling, panjang tangkai daun 7-13 cm, panjang daun 616 cm, lebar daun 4-13 cm. Bunga berbentuk tandan semu, tumbuh pada ketiak daun. Tanaman sudah dapat berbunga pada umur 2-2,5 bulan. Buah berupa polong, panjang besar berbentuk pedang dengan panjang polong 20-40 cm, lebar 2,5-3 cm, biji berbentuk bundar atau oval agak segiempat
7
berwarna putih hingga cokelat muda (Purwanto, 2007). Tumbuhan koro pedang dan biji koro pedang dapat dilihat pada Gambar 2.1 dan Gambar 2.2.
Gambar 2.1 Tanaman Koro Pedang (Canavalia ensiformis) Sumber : Deptan, 2013
Gambar 2.2 Biji Koro Pedang Putih Secara botani tanaman koro pedang dibedakan kedalam dua tipe tanaman yaitu koro pedang yang tumbuh merambat (climbing) dan berbiji merah (Canavalia gladiate (jack) DC) dan koro pedang tumbuh tegak dan berbiji putih (Canavalia ensiformis (L.) DC. Menurut Puji (2009), taksonomi dari tanaman koro tersebut adalah Kingdom
: Plantae (tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (berpembuluh) Superdivisio : Spermatophyta (menghasilkan biji) Divisio
: Magnoliophyta (berbunga)
Kelas
: Magnoliopsida (berkeping dua/dikotil)
Sub-kelas
: Rosidae
Ordo
: Fabales
Familia
: Fabaceae (suku polong-polongan) 8
Genus
: Canavalia
Species
: Canavalia ensiformis (L.) DC. Kacang koro merupakan salah satu jenis kacang-kacangan yang
memiliki kandungan protein dan karbohidrat yang cukup tinggi. Biji koro mengandung protein yaitu sekitar 18-25%. Sedangkan kandungan lemaknya sangat rendah, yaitu sekitar 0,2-3,0% dan kandungan karbohidratnya relatif tinggi, yaitu 50-60% (Van Der Mesen dan Somaatmaja, 1993). Protein koro – koroan dapat dipertimbangkan sebagai sumber protein untuk bahan pangan, sebab keseimbangan asam aminonya sangat baik. Disamping itu, koro – koroan mempunyai sumber vitamin B1,
beberapa
mineral
dan
serat
pangan
bagi
kesehatan
(Newman, et al., 1987 dalam Windrati dkk, 2010). Koro pedang memiliki potensi cukup besar sebagai bahan pangan. Di Jawa Tengah, koro pedang dimanfaatkan untuk bahan pembuatan tempe. Ekstrak biji koro pedang dapat meningkatkan ketahanan tubuh dan mencegah kanker. Beberapa perusahaan swasta nasional mengembangkan koro pedang untuk diekspor ke Jepang dan Amerika (Laksono, 2015). Koro pedang juga dapat diolah menjadi beberapa produk pangan seperti tepung koro pedang serta produk olahannya seperti cake, cookies dan produk bakery lainnya, nugget koro pedang, kerupuk koro pedang, dan tempe koro pedang (Wahjuningsih dan Wyati, 2013). Selain itu, menurut Ariyantoro (2012), tepung koro pedang dapat digunakan untuk fortifikasi tepung terigu dalam pembuatan mie kering. Secara tradisional di Indonesia tanaman koro pedang digunakan untuk pupuk hijau dan polong mudanya digunakan untuk sayur (dimasak seperti irisan buncis) (Sutrisno, 2012). Dari hasil penelitian, adanya komposisi kimia yang cukup besar yaitu kandungan karbohidrat dan protein pada koro pedang membuka peluang baru untuk memanfaatkan koro pedang sebagai bahan baku produk protein rich flour (PRF) atau tepung kaya protein (Windrati dkk, 2010). Koro pedang memiliki nilai gizi yang tinggi dibandingkan dengan kacang-kacang lainnya. Kandungan
9
karbohidrat yang tinggi pada koro pedang memungkinkan koro pedang dijadikan tepung. Komposisi gizi biji koro pedang dapat dilihat pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Kandungan Gizi Beberapa Jenis Kacang Koro Koro pedang Koro benguk Kandungan Koro glinding (Canavalia (Mucuna Gizi (%) (Phasaolus lunatus) ensiformis) pruriens) Kadar Air 2,1 – 8,7 * 11 – 15,5 * 10 * Protein 22,1 – 25 * 27,4 ** 23,4 * Lemak 1,2 – 1,6 * 2,9 ** 5,7 * Karbohidrat 70,3 – 72,3 * 66,1 ** 51,5 * Serat Kasar 3,5 – 11 * 4,9 – 8,0 * 6,4 * Sumber : Rini (2008)*, Duke (1992)**
Meskipun memiliki potensi gizi yang besar, kacang koro pedang tidak umum digunakan sebagai makanan karena apabila dikonsumsi secara langsung akan berakibat buruk pada tubuh manusia. Hal ini dikarenakan koro pedang mengandung senyawa berbahaya dan beracun seperti asam sianida, dan adanya faktor antinutrisial seperti hemaglutinin, inhibitor protease, asam hidrosianik, tanin, fitat dan canavanin. Beberapa perlakuan pendahuluan dapat dilakukan untuk mengurangi kandungan senyawa berbahaya yang terdapat di dalam biji koro pedang. Proses perendaman, perebusan, dan pengupasan kulit dapat mengurangi kandungan senyawa berbahaya
yang ada dalam tanaman koro
(Ekanayake, 2007). Sebelumnya diketahui bahwa koro pedang memiliki senyawa yang berbahaya terhadap kesehatan tubuh sehingga koro pedang tidak dapat langsung dikonsumsi. Koro pedang mengandung senyawa toksik yaitu glukosida sianogen, canavanine dan asam fitat sebagai anti gizi. Glukosida sianogen dapat terurai dan mengeluarkan hidrogen sianida. Sianida merupakan racun yang bekerja cepat, berbentuk gas tidak berbau dan tidak berwarna. Racun ini akan menghambat sel tubuh untuk mendapatkan suplai oksigen sehingga organ yang paling terpengaruh adalah jantung dan otak (Clarissa, 2012).
10
Canavanine merupakan suatu senyawa amino yang mirip dengan arginin dan senyawa ini bersifat toksik. Canavanine sangat berbeda dengan arginin, sehingga dapat mengganggu fungsi protein tersebut. Koro pedang memiliki kandungan canavanine yang tinggi sebanyak 88-91%. Kandungan canavanine dapat dihilangkan dengan cara direndam, dan dihancurkan ataupun digiling (Ekanayake, 2006). Biji koro pedang mengandung HCN sebesar 11,2 mg/100 gram berat kering. Kandungan HCN memiliki batas normal konsumsi yaitu < 50 ppm atau mg/kg. Aktivitas pembentukan sianida ini dapat dihilangkan atau dikurangi melalui berbagai cara. Adapun kadar sianida kacang koro pedang hasil dari ketujuh metode yang telah diteliti dapat dilihat pada tabel sebagai berikut: Tabel 2.2. Kadar Sianida Kacang Koro Pedang Hasil Perlakuan Ketujuh Metode Penurunan Sianida Kadar Sianida % Penurunan Metode (mg/kg) Sianida Kacang Koro Awal (Kontrol) 95,94 Pengukusan 28,71 70,07 Perebusan 9,65 89,93 Perendaman dengan NaCl 17,28 83,03 Perendaman dengan NaOH 13,12 86,32 Perendaman dengan Na2S2O3 19,51 79,66 Perendaman dengan air 18,79 80,41 Perendaman dengan NaHCO3 16,56 82,74 Sumber : Marthia dkk (2013)
Senyawa HCN mudah menguap pada proses perebusan, pengukusan, dan proses memasak lainnya, karena sifat HCN yang mudah menguap pada suhu kamar (26,5oC), mempunyai bau khas HCN, dan mudah berdifusi. Kacang koro pedang hasil metode perendaman dengan NaOH memiliki kadar sianida 13,12 mg/kg atau mengalami penurunan sebesar 86,32%. Hal tersebut dikarenakan NaOH yang bersifat hidroskopis (dapat menarik air) dan juga bersifat sebagai basa kuat sehingga dapat menaikkan pH serta merusak dinding sel sehingga terjadi plasmolisis (pecahnya sel karena kekurangan air). Hal ini menyebabkan glukosida sianogenik terdegradasi membentuk HCN yang dapat berikatan dengan Na dan
11
langsung terlarut. Larutan NaOH yang bersifat basa kuat dapat merusak sel di dalam kacang koro pedang, akibatnya akan terjadi pembentukan HCN karena aktifnya enzim β-glukosidase. Enzim ini mampu mengkatalis degradasi glukosida sianogenik menjadi glukosa dan aglikon. Aglikon yang terbentuk merupakan substrat enzim hidroksinitril liase pada reaksi penguraian senyawa ini menjadi HCN. HCN yang terbentuk akan berikatan dengan Natrium membentuk NaCN yang mudah terlarut dalam air (Marthia dkk, 2013). 2. Pati Pati secara alami terdapat di dalam senyawa-senyawa organik di alam yang tersebar luas seperti di dalam biji-bijian, akar, batang yang disimpan sebagai energi selama dormansi dan perkecambahan. Ketika tanaman
menghasilkan
molekul-molekul
pati,
tanaman
akan
menyimpannya di dalam lapisan-lapisan di sekitar pusat hilum membentuk suatu granula yang kompak (Smith, 1982 dalam Rahman, 2007). Pati merupakan campuran dari amilosa dan amilopektin yang tersusun di dalam granula pati. Amilosa merupakan polimer linier yang mengandung 500-2000 unit glukosa yang terikat oleh ikatan α-(1,4) sedangkan
amilopektin
selain
mengandung
ikatan
α-(1,4)
juga
mengandung ikatan α-(1,6) sebagai titik percabangannya (Smith, 1982; Swinkels, 1985; Pomeranz, 1991 dalam Rahman, 2007). Menurut Almatsier (2004), dalam butiran pati, rantai-rantai amilosa dan amilopektin tersusun dalam bentuk semi kristal, yang menyebabkan tidak larut dalam air dan memperlambat proses pencernaannya oleh kristal. Bila dipanaskan dengan air, struktur kristal rusak dan rantai polisakarida akan mengambil posisi acak. Hal inilah yang menyebabkannya mengembang dan memadat (gelatinisasi). Cabangcabang yang terletak pada bagian amilopektinlah yang terutama sebagai penyebab terbentuknya gel yang cukup stabil. Proses pemasakan pati di
12
samping menyebabkan terbentuknya gel juga dapat melunakkan dan memecah sel, sehingga mempermudah proses pencernaan. Penggunaan pati alami sangat terbatas oleh sifat kimia dan sifat fisiknya. Seringkali viskositas pati alami yang dimasak terlalu tinggi untuk digunakan pada beberapa jenis makanan. Karakteristik reologi dari beberapa pati yang terdispersi misalnya pati kentang, tapioka atau waxy starch memberikan sifat lengket dan tekstur yang kohesif bila digunakan untuk mengentalkan makanan dan dapat merusak cita rasanya; memiliki sifat hidrofilik; dispersi pati yang mengandung amilosa cenderung menjadi bentuk keras atau kaku, gel buram karena retrogradasi gel (Polnaya, 2006). Secara umum pati alami memiliki kekurangan yang sering menghambat
aplikasinya
dalam
proses
pengolahan
pangan.
Kekurangannya yaitu kebanyakan pati alami tidak tahan pada pemanasan suhu tinggi. Dalam proses gelatinisasi pati, biasanya akan terjadi penurunan kekentalan suspensi pati dengan meningkatnya suhu pemanasan. Apabila dalam proses pengolahan digunakan suhu tinggi (misalnya pati alami digunakan sebagai pengental dalam produk pangan yang diproses sterilisasi) maka akan dihasilkan kekentalan produk yang tidak sesuai. Oleh karena itu, pati alami sering dimodifikasi untuk menghasilkan pati dengan karakteristik produk pangan yang diinginkan (Kusnandar, 2010). 3. Pati Legum (Kacang-kacangan) Kadar pati total pada legum berkisar 18-49% dengan kadar amilosa berkisar 11,6-88,0%. Sebagian besar pati legum mempunyai struktur kristalin tipe C dengan kristalinitas berkisar 17,0-34,0%, kecuali pada
pati
wrinkled
pea
yang
menunjukkan
struktur
tipe
B
(Hoover dkk, 2010). Pati dari black gram, chick pea, kacang hijau, lentil, field pea, dan pigeon pea mempunyai struktur kristalin tipe C dengan kristalinitas berkisar 27,2-33,5%. Pati legum bersifat lambat dicerna, mempunyai
13
indeks glikemik rendah, dan dapat difermentasi di usus besar sehingga menghasilkan asam lemak rantai pendek (short chain fatty acid atau SCFA) yang sangat menguntungkan bagi kesehatan kolon (Sandhu dan Lim, 2008 dalam Ratnaningsih dan Marsono, 2013). Komposisi kimia pati kacang-kacangan dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 2.3 Komposisi Kimia Pati Kacang-kacangan Sampel Pati Air Abu Protein Lemak Kacang merah 11.540.06 0.250.02 0.200.07 0.0290.02 Kacang tunggak 12.510.29 0.150.01 0.510.07 0.190.01 Kacang koro putih 13.300.04 0.300.02 0.120.00 0.790.03 Kacang hijau 8.570.02 0.290.01 0.800.05 0.190.02 Kacang koro pedang 8.390.03 0.230.01 0.380.06 0.160.02 Sumber: Ratnaningsih dan Marsono (2013)
4. Ekstraksi Pati Ekstraksi pati kacang-kacangan terutama pada kacang koro pedang menurut metode Adebowale et al. (2005), antara lain dimulai dengan perendaman biji kacang koro pedang pada 4 liter aquades (1:4). Kemudian ditambahkan dengan NaOH 1 M hingga pH mencapai 8 dan dibiarkan selama 12 jam pada suhu 4oC. Setelah itu, dilakukan beberapa kali pencucian dengan air bersih dan dilanjutkan dengan pengupasan kulit kacang secara manual. Langkah berikutnya adalah penghancuran biji kacang dengan menggunakan blender (Braun Multimix de luxe MX40 type 2291) selama 30 menit. Bubur kacang yang diperoleh dari proses pemblenderan kemudian diencerkan dalam 5 liter aquades dan ditambahkan dengan NaOH 0,5 M hingga pH 8. Untuk tetap menjaga pH bubur kacang agar tetap konstan pada angka 8-8,5 maka dilakukan pengadukan selama 30 menit. Proses selanjutnya adalah penyaringan pati dengan menggunakan ayakan 75 m dan disentrifus dengan alat sentrifugasi (tipe GLC-1 Ivan Sovall, Inc, USA) selama 30 menit pada 10.000g. Pati yang diperoleh kemudian dicuci sebanyak dua kali dan dikering anginkan selama 2 hari (48 jam) pada suhu 30 oC.
14
5. Kadar Amilosa Amilosa merupakan rantai lurus yang bersifat amorf, sedangkan amilopektin merupakan rantai bercabang yang bersifat kristalin. Rantai lurus pada amilosa membatasi akses β-amilase ke dua terminal unit glukosa pada rantai amilosa di dalam usus halus karena membentuk lipatan. Sebaliknya, amilopektin mempunyai banyak rantai cabang dan memberikan lebih banyak terminal unit glukosa sehingga lebih mudah diakses oleh enzim β-amilase (Sharma dkk, 2008 dalam Ratnaningsih dan Marsono, 2013). Makin tinggi kadar amilosa dapat menurunkan kecernaan pati karena terdapat korelasi positif antara kadar amilosa dengan pembentukan RS. Makin banyak amilosa maka pati makin sulit mengalami gelatinisasi dan makin mudah bergabung membentuk struktur kristal padat atau mengalami retrogradasi (Marsono, 1998 dalam Ratnaningsih dan Marsono, 2013). Amilosa merupakan hal yang paling banyak diteliti dalam memperkirakan karakter pati. Kadar amilosa mempengaruhi sifat fisikokimia. Kandungan amilosa mempunyai korelasi positif dengan jumlah penyerapan air dan pengembangan volume (Aliawati, 2003). Besarnya kadar amilosa pati kacang dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 2.4 Kadar Amilosa Pati Alami Kacang-kacangan (% berat kering) Sampel Pati Kadar Amilosa (% db) Kacang merah 44.83 1,56 Kacang tunggak 38.20 2.79 Kacang koro putih 41.86 2.02 Kacang hijau 58.34 3.21 Kacang koro pedang 61.50 1.49 Sumber: Ratnaningsih dan Marsono (2013).
6. Derajat Putih Pengukuran warna secara objektif penting dilakukan karena pada produk pangan warna merupakan daya tarik utama sebelum konsumen mengenal dan menyukai sifat lainnya. Warna tepung diamati secara kuantitatif dengan metode Hunter menghasilkan tiga nilai pengukuran,
15
yaitu L, a, dan b. Nilai L menunjukkan tingkat kecerahan sampel. Semakin cerah sampel yang diukur maka nilai L mendekati 100. Sebaliknya semakin kusam (gelap), maka nilai L mendekati 0. Nilai a merupakan pengukuran warna kromatik campuran merah-hijau. Nilai b merupakan pengukuran warna kromatik campuran kuning-biru (Hutching, 1999). Dalam penelitiannya, Ratnaningsih dan Marsono (2013) berhasil mendapatkan besarnya angka hasil pengukuran warna pati pada beberapa sampel kacang-kacangan. Tingkat warna pada pati alami yang bersumber dari kacang-kacangan dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 2.5 Hasil Pengukuran Warna Pati Alami Kacang-kacangan Sampel Pati L a b Kacang merah 95.55 0.17 0.22 0.03 3.87 0.19 Kacang tunggak 94.64 0.15 0.94 0.05 5.20 0.16 Kacang koro putih 95.44 0.07 -0.25 0.06 5.37 0.23 Kacang hijau 95.22 0.10 -1.15 0.04 8.09 0.29 Kacang koro pedang 96.25 0.25 -0.31 0.23 3.91 0.14 Sumber: Ratnaningsih dan Marsono (2013).
Pati
alami
yang
memiliki
swelling
power
tinggi
dan
kecenderungan retrogradasinya rendah memiliki kejernihan yang lebih tinggi. Suspensi pati alami dalam air berwarna buram, namun proses gelatinisasi pada granula pati dapat meningkatkan transparansi larutan tersebut. Pati dengan warna buram dapat digunakan untuk produk sejenis salad dressing (Balagopalan et al., 1988 dalam Titi dkk, 2013). Disamping itu kejernihan dipengaruhi oleh kandungan ISSP (insoluble starch particles) dalam pati (Stoddard, 1999 dalam Titi dkk, 2013). Derajat putih sangat dipengaruhi oleh proses ekstraksi pati. Semakin murni proses ekstraksi pati, maka tepung yang dihasilkan akan semakin putih. Jika proses ekstraksi pati dilakukan dengan baik maka semakin banyak komponen pengotor yang hilang bersama air pada saat pencucian pati (Meyer, 1960 dan Mulyandari, 1992 dalam Titi dkk, 2013). Dari hasil pengamatan, pati singkong menghasilkan warna putihkrem sedangkan pati ubi jalar berwarna cokelat. Kondisi ini disebabkan
16
oleh proses pemanasan pada pre gelatinisasi akan melarutkan beberapa komponen kimia dalam tepung dan sel pati seperti gula, amilosa, protein. Proses pengeringan kembali pati yang tergelatinisasi memungkinkan senyawa-senyawa terlarut tersebut, seperti gula perduksi dan protein bereaksi menghasilkan pigmen berwarna coklat atau krem (Titi dkk, 2013). 7. Swelling Power dan Kelarutan Swelling power adalah perbandingan antara berat sedimen pasta pati dengan berat kering yang dapat membentuk pasta (Yanuwardana, 2013). Menurut Balagopalan et al. (1998) dalam Rahman (2007), daya kembang pati atau swelling power didefinisikan sebagai pertambahan volume dan berat maksimum yang dialami pati dalam air. Nilai swelling power perlu diketahui untuk memperkirakan ukuran atau volume wadah yang digunakan dalam proses produksi sehingga jika pati mengalami swelling, wadah yang digunakan masih bisa menampung pati tersebut (Suriani, 2008). Kelarutan dalam air atau dispersibility adalah kemampuan tepung untuk didistribusikan dalam air, yang merupakan kemampuan gumpalan aglomerat untuk jatuh dan menyebar dalam air (Khalil, 1999 dalam Suriani, 2008). Nilai dispersibility menunjukkan indikasi tingkat kemudahan suatu tepung untuk dapat larut dalam air. Nilai dispersibility yang tinggi mengindikasikan bahwa tepung lebih mudah larut dalam air dan sebaliknya. Hal ini disebabkan partikel-partikel yang tidak larut dalam air akan lebih sedikit yang didispersikan (Janathan, 2007). Swelling power dan kelarutan terjadi karena adanya ikatan nonkovalen antara molekul-molekul pati. Ketika granula pati dipanaskan dalam air, granula mulai mengembang (swelling). Swelling terjadi pada daerah amorf granula pati. Ikatan hidrogen yang lemah antar molekul pati pada daerah amorf akan terputus saat pemanasan, sehingga terjadi hidrasi air oleh granula pati. Granula pati akan terus mengembang, sehingga
17
viskositas meningkat hingga volume hidrasi maksimum yang dapat dicapai oleh granula pati (Swinkels, 1985 dalam Rahman, 2007). Ketika pati dipanaskan dalam air, sebagian molekul amilosa akan keluar dari granula pati dan larut dalam air. Presentase pati yang larut dalam air ini dapat diukur dengan mengeringkan supernatan yang dihasilkan saat pengukuran swelling power. Menurut Fleche (1985) dalam Rahman (2007), ketika molekul pati sudah benar-benar terhidrasi, molekul-molekulnya mulai menyebar ke media yang ada di luarnya dan yang pertama keluar adalah molekul-molekul amilosa yang memiliki rantai pendek. Semakin tinggi suhu maka semakin banyak molekul pati yang akan keluar dari granula pati. Selama pemanasan akan terjadi pemecahan granula pati, sehingga pati dengan kadar amilosa lebih tinggi, granulanya akan lebih banyak mengeluarkan amilosa. Swinkels (1985) dalam Rahman (2007) menyatakan bahwa, nilai swelling power dapat diukur pada kisaran suhu terbentuknya pasta pati, yaitu sekitar 50-95oC dengan interval 5oC. Pengukuran swelling power dapat dilakukan dengan membuat suspensi pati dalam botol sentrifus lalu dipanaskan selama 30 menit pada suhu yang telah ditentukan. Kemudian bagian yang cair (supernatan) dipisahkan dari endapan. Swelling power diukur sebagai berat pati yang mengembang (endapan) per berat pati kering. Menurut Pomeranz (1991) dalam Rahman (2007), kelarutan pati semakin tinggi dengan meningkatnya suhu, serta kecepatan peningkatan kelarutan adalah khas untuk setiap pati. Pola kelarutan pati dapat diketahui dengan cara mengukur berat supernatan yang telah dikeringkan dari hasil pengukuran swelling power. Kelarutan terkait dengan kemudahan molekul air untuk berinteraksi dengan molekul dalam granula pati dan menggantikan interaksi hidrogen antar molekul sehingga granula akan lebih mudah menyerap air dan mempunyai pengembangan yang tinggi. Adanya pengembangan tersebut akan menekan granula dari dalam
18
sehingga granula akan pecah dan molekul pati terutama amilosa akan keluar (Purnamasari, et al., 2010). 8. Daya Serap Air Daya serap air tepung menunjukkan kemampuan tepung tersebut dalam menyerap air (Suarni, 2009). Daya serap air dipengaruhi oleh kandungan karbohidrat, baik pati maupun serat kasar, serta protein dan komponen lainnya yang bersifat hidrofilik. Kemampuan penyerapan air pada pati dipengaruhi oleh adanya gugus hidroksil yang terdapat pada molekul pati. Bila jumlah gugus hidroksil dalam molekul pati sangat besar maka kemampuan menyerap air sangat besar. Bila pati mentah dimasukkan ke dalam air dingin, maka granula pati akan menyerap air dan
membengkak.
Namun,
jumlah
air
yang
terserap
dan
pembengkakannya terbatas. Air yang terserap hanya mencapai sekitar 30% (Winarno, 1992). Hal yang sama juga disampaikan oleh Gomez dan Aguilers (1983) dalam Janathan (2007), bahwa nilai daya serap air tergantung pada ketersediaan grup hidrofilik dan kapasitas pembentukan gel dari makromolekul yaitu pati yang tergelatinisasi dan terdestrinasi. Semakin banyak pati yang tergelatinisasi dan terdekstrinasi, maka semakin besar kemampuan produk untuk menyerap air. Nilai kelarutan dalam air sebanding dengan nilai daya serap air. Kemampuan daya serap air suatu bahan pangan ternyata dapat berkurang apabila kadar air terlalu tinggi atau tempat penyimpanan yang lembab ternyata dapat menghambat daya serap. Daya serap air sangat bergantung dari produk, misalnya dalam pembuatan roti umumnya diperlukan daya serap air yang lebih tinggi daripada pembuatan mie dan biskuit (Prabowo, 2010). 9. Amilografi Sifat amilografi adalah sifat-sifat pati atau tepung yang diidentifikasi dengan menggunakan alat Brabender Amylograph. Sifat amilografi meliputi suhu awal gelatinisasi, suhu gelatinisasi maksimum, viskositas maksimum, viskositas balik, dan viskositas dingin (suhu 50oC).
19
Menurut Fennema (1985) dalam Muhandri (2007), suhu atau titik gelatinisasi adalah titik saat sifat birefriengence pati mulai menghilang. Suhu gelatinisasi dapat ditentukan dengan Brabender Viscoamylograph dan Differential Scanning Calorimetry (Be Miller et al., 1995 dalam Muhandri, 2007). Suhu awal gelatinisasi ialah suhu pada saat pertama kali viskositas mulai naik. Suhu gelatinisasi merupakan suatu fenomena sifat fisik pati yang kompleks yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain ukuran molekul amilosa dan amilopektin serta keadaan media pemanasan. Kadar lemak atau protein yang tinggi mampu membentuk kompleks dengan amilosa sehingga membentuk endapan yang tidak larut dan menghambat pengeluaran amilosa dari granula. Dengan demikian diperlukan energi yang lebih besar untuk melepas amilosa sehingga suhu awal gelatinisasi yang dicapai akan lebih tinggi (Glicksman, 1969 dalam Richana dan Titi, 2004). Selama
pemanasan
terjadi
peningkatan
viskositas
yang
disebabkan oleh pembengkakan granula pati yang irreversible di dalam air, dimana energi kinetik molekul air lebih kuat daripada daya tarik molekul pati di dalam granula pati. Hal ini dapat menyebabkan air dapat masuk ke dalam granula pati (Winarno, 1986 dalam Richana dan Titi, 2004). Viskositas maksimum merupakan titik maksimum viskositas pasta yang dihasilkan selama proses pemanasan. Suhu dimana viskositas maksimum tercapai disebut suhu akhir gelatinisasi. Pada suhu ini granula pati telah kehilangan sifat birefringence-nya dan granula sudah tidak mempunyai kristal lagi. Komponen yang menyebabkan sifat kristal dan birefringence adalah amilopektin (Dowd et al., 1999 dalam Richana dan Titi, 2004). Jane et al., (1999) dalam Richana dan Titi (2004) menunjukkan bahwa kadar amilosa, protein dan lemak berkorelasi negatif terhadap viskositas.
20
Viskositas balik mencerminkan kemampuan asosiasi atau retrogradasi molekul pati pada proses pendinginan. Viskositas balik yang tinggi tidak diharapkan untuk produk kue, cake, maupun untuk re-roti-an, karena menyebabkan kekerasan sesudah produk dingin. Namun sebagai bahan pengisi dan pengental justru lebih baik, karena akan menghasilkan produk yang lebih stabil (Richana dan Titi, 2004). Viskositas dingin merupakan parameter yang digunakan untuk melihat perilaku gel dari suatu jenis pati pada kondisi dingin (50oC). Sedangkan viskositas balik (sama dengan selisih nilai viskositas dingin dengan viskositas puncak) merupakan parameter untuk mengetahui sifat gel. Nilai viskositas balik yang tinggi menunjukkan bahwa gel cenderung mengeras pada akhir proses pemasakan, sehingga produk olahannya tidak mudah hancur (Munarso dkk, 2004). Menurut Schoch and Maywald (1968) dalam Krisna (2011), kurva amilografi dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa tipe sebagai berikut: a. Tipe A yang menunjukkan penggelembungan granula yang tinggi dan diikuti dengan penurunan viskositas dengan cepat selama pemasakan. Pati yang termasuk dalam tipe ini yaitu kentang, tapioka dan waxy cereal. b. Tipe B yang menunjukkan penggelembungan granula yang lebih rendah daripada tipe A dan bersifat moderat selama pemasakan. Pati yang termasuk dalam kategori ini adalah pati serealia. c. Tipe C yang menunjukkan penggelembungan granula terbatas dan tidak menunjukkan viskositas puncak serta relatif bersifat konstan selama pemasakan. Pati yang termasuk dalam kategori ini adalah pati Leguminosae dan pati modifikasi. d. Tipe D yang menunjukkan penggelembungan granula sangat terbatas. Pati yang termasuk dalam kategori ini adalah pati yang mempunyai kadar amilosa yang lebih dari 50%.
21
Gambar 2.3 Beberapa Tipe Amilogram Pengukuran Rabender (Chen, 2003 dalam Mandasari dkk, 2015) 10. Gelatinisasi Pati merupakan butiran kecil yang disebut granula di dalam sel tanaman. Granula pati dideskripsikan sebagai struktur semikristalin yang terdiri dari struktur kristalin dan amorphous. Bagian amorphous terdiri dari molekul rantai panjang amilopektin, amilosa, dan percabangan amilopektin. Sedangkan rantai pendek amilopektin akan membentuk untaian heliks yang membentuk kristalin (Tester et al., 2004 dalam Saputra, 2012). Amilosa berkontribusi terhadap karakteristik gel karena kehadiran amilosa berpengaruh terhadap pembentukan gel (Paker, 2003 dalam Ramadhan, 2009). Gelatinisasi merupakan proses pembengkakan granula pati ketika dipanaskan dalam media air. Granula pati tidak larut dalam air dingin, tetapi granula pati dapat mengembang dalam air panas. Naiknya suhu pemanasan
akan
meningkatkan
pembengkakan
granula
pati.
Pembengkakan granula pati menyebabkan terjadinya penekanan antara granula pati dengan lainnya. Mula-mula pembengkakan granula pati bersifat reversible (dapat kembali ke bentuk awal), tetapi ketika suhu tertentu sudah terlewati, pembengkakan granula pati menjadi irreversible (tidak dapat kembali). Kondisi pembengkakan granula pati yang bersifat irreversible ini disebut dengan gelatinisasi, sedangkan suhu terjadinya gelatinisasi disebut suhu gelatinisasi (Pomeranz, 1991 dalam Rahman, 22
2007). Air akan masuk ke dalam daerah amorphous dalam granula pati dan menyebabkan terjadinya pembengkakan granula. Pembengkakan ini menimbulkan tekanan pada daerah kristalin yang terdiri dari molekul amilopektin dan merusak susunan double helix yang ada. Kerusakan double helix amilopektin dapat mengganggu susunan kristalin bahkan dapat menghilangkan kristalinitasnya. Selama pemanasan granula pati akan terus menyerap air sampai granula pecah dan molekul amilosa akan keluar sehingga mengakibatkan ketidakteraturan struktur granula, peningkatan viskositas suspensi pati, dan hilangnya sifat birefringence pati. Perubahan ini dikenal dengan sebutan gelatinisasi pati dan sifatnya tidak dapat balik (Roder et al., 2005 dalam Saputra, 2012). Pati yang telah tergelatinisasi dan tidak mengalami pemanasan lebih
lanjut maka akan mengalami pengkristalan. Proses kristalisasi
kembali pati yang telah mengalami gelatinisasi disebut retrogradasi. Pada pati yang dipanaskan dan telah dingin kembali, sebagian air masih berada dibagian luar granula yang membengkak. Jika gel dibiarkan selama beberapa hari, air tersebut dapat keluar dari bahan dan peristiwa keluarnya cairan dari suatu gel pati disebut sebagai sineresis (Winarno, 1997). Suhu gelatinisasi adalah suhu pada saat granula pati pecah. Suhu gelatinisasi tidak sama pada berbagai jenis pati. Dalam suatu larutan pati, suhu gelatinisasi berupa kisaran. Hal ini disebabkan oleh populasi granula yang bervariasi dalam ukuran, bentuk, dan energi yang diperlukan untuk mengembang. Semakin besar ukuran granula memungkinkan pati lebih mudah dan lebih banyak menyerap air sehingga mudah membengkak menyebabkan pati lebih mudah mengalami gelatinisasi (suhu gelatinisasi relatif rendah). Pola gelatinisasi tepung ini dapat dipelajari dengan mengukur sifat-sifat amilografi tepung dengan menggunakan alat Brabender amilograf (Ramadhan, 2009). Mekanisme gelatinisasi pati dapat dilihat pada Gambar 2.3.
23
Gambar 2.4 Mekanisme Gelatinisasi Pati (Harper, 1990 dalam Ramadhan, 2009) 11. Modifikasi Pati Modifikasi pati dapat dilakukan secara fisika maupun kimia. Modifikasi secara fisika dapat dilakukan dengan cara heat moisture treatment (HMT) pada berbagai level, annealing, shear stress (dengan gesekan pada suatu lempengan), freezing in liquid nitrogen, radiasi, dan lain-lain. Modifikasi pati secara kimia dapat dilakukan dengan asetilasi, esterifikasi, cross linking, grafting, dekomposisi asam, hidrolisa dengan menggunakan enzim, dan oksidasi. Ciri modifikasi kimia adalah dengan menambahkan gugus fungsional baru pada molekul pati sehingga mempengaruhi sifat fisika-kimia dari pati tersebut. Modifikasi secara kimia dapat dilakukan dengan cara penambahan reagen atau bahan kimia tertentu dengan tujuan mengganti gugus hidroksil (OH-) pada pati. Sebagai contoh, dengan adanya distribusi gugus asetil yang menggantikan gugus OH- melalui reaksi asetilasi akan mengurangi kekuatan ikatan hidrogen di antara pati dan menyebabkan granula pati menjadi lebih mengembang (banyak menahan air), mudah larut dalam air, serta meningkatkan freeze-thaw stability pati (Adebowale et al., 2002; Adebowale et al., 2005 dalam Teja dkk, 2008). Heat moisture treatment (HMT) adalah proses pemanasan pati pada suhu tinggi di atas suhu gelatinisasi dalam kondisi semi kering, yaitu
24
tingkat kadar air yang lebih rendah dari kondisi yang disyaratkan untuk terjadinya proses gelatinisasi. Kadar air yang disyaratkan untuk proses HMT adalah 18-30% dan suhu yang digunakan adalah 100oC (Lorenz dan Kulp, 1981 dalam Ramadhan, 2009). Modifikasi HMT dilakukan dengan cara menganalisis kadar air dari pati alami sebagai dasar penambahan air hingga 15%, 20%, 25%, 30%, dan 35% sesuai dengan variabel penelitian. Pati yang telah diatur kadar airnya diletakkan dalam loyang yang ditutup aluminium foil kemudian disimpan dalam refrigerator pada suhu 5oC selama 24 jam untuk meratakan kadar air dalam pati. Setelah disimpan kemudian dipanaskan dalam oven pada suhu bervariasi dari 110oC, 115oC, 120oC, 125oC dan 130oC selama 4 jam, 8 jam, 12 jam, 16 jam dan 20 jam. Kemudian pati didinginkan selama 4 jam pada suhu 50oC. Keluar dari oven
dilakukan
analisa
fisik
dan
kimia
pati
termodifikasi
(Teja dkk, 2008). 12. Pati Termodifikasi Heat Moisture Treatment (HMT) Pati termodifikasi adalah pati yang telah mengalami perlakuan fisik atau kimia secara terkendali sehingga mengubah satu atau lebih dari sifat asalnya, seperti suhu awal gelatinisasi, karakteristik selama proses gelatinisasi, ketahanan oleh pemanasan, pengasaman dan pengadukan, serta kecenderungan retrogradasi (Kusnandar, 2010). Perubahan sifat fisik yang terjadi pada pati termodifikasi HMT antara lain perubahan profil amilografi pati, perubahan volume pembengkakan
granula
pati,
dan
perubahan
kelarutan
(Collado et al., 1999). Kemampuan daya serap air dari pati termodifikasi adalah lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak termodifikasi. Tingginya daya serap
air
ini
dihubungkan
dengan
kemampuan
produk
untuk
mempertahankan tingkat kadar air terhadap kelembaban lingkungan dan peranan
gugus
hidrofilik
(Afrianti, 2004 dalam Lase, 2012).
25
pada
susunan
molekulnya
Modifikasi pati menggunakan Heat Moisture Treatment (HMT) telah dilaporkan meningkatkan ketahanannya terhadap panas, perlakuan mekanis dan pH asam (Taggart, 2004 dalam Syamsir dkk, 2012) dengan meningkatkan suhu gelatinisasi dan menurunkan kapasitas pembengkakan granula (Jacobs dan Delcour, 1998 dalam Syamsir dkk, 2012). HMT menyebabkan perubahan konformasi molekul pati dan menghasilkan struktur kristalin yang lebih resisten terhadap proses gelatinisasi. Karakteristik fisiko-kimia dan fungsional pati HMT sangat beragam dan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti jenis (sumber) pati, kadar amilosa, dan tipe kristalisasi pati. Karakteristik pati HMT juga dipengaruhi oleh kondisi proses seperti suhu, kadar air, pH dan lama waktu proses (Syamsir dkk, 2012). Suhu HMT cenderung mengakibatkan turunnya kadar amilosa. Hal ini disebabkan karena suhu HMT pada pati biji durian mengakibatkan terjadinya pengaturan ulang rantai heliks ganda pada molekul amilopektin akibat terjadinya degradasi pada molekul amilosa, sehingga pada saat analisis pengikatan iodin oleh amilosa menjadi lemah dan terjadi penurunan nilai absorbansi. Rendahnya kadar amilosa pati HMT ini disebabkan karena terjadinya pemutusan ikatan glukosida pada rantai amilosa selama pemanasan berlangsung, yang merupakan penyusun sebagian besar daerah amorf (Sumarlin dkk, 2012). Energi yang diterima oleh pati selama pemanasan berlangsung memungkinkan pelemahan ikatan hidrogen inter dan intramolekul amilosa dan amilopektin dalam granula pati. Kondisi ini memberikan peluang kepada air untuk mengimbibisi granula pati. Jumlah air yang terbatas menyebabkan pergerakan maupun pembentukan interaksi antara air dan molekul amilosa atau amilopektin juga terbatas sehingga tidak terjadi adanya peningkatan kelarutan pati di dalam air selama pemanasan berlangsung. Dengan kata lain, keberadaan air yang terbatas selama pemanasan yang dilakukan pada modifikasi HMT belum mampu membuat pati mengalami gelatinisasi yang ditunjukkan dengan masih
26
terjaganya integritas granula pati termodifikasi. Namun demikian, berbagai studi menunjukkan bahwa imbibisi air selama modifikasi HMT berlangsung menyebabkan adanya pengaturan kembali molekul amilosa dan amilopektin di dalam granula pati. Adanya pengaturan kembali pada molekul granula berimplikasi pada terjadinya perubahan sifat fisik dan kimia pati (Herawati, 2009). Perubahan-perubahan yang terjadi pada parameter fisik pati disebabkan adanya hubungan antara faktor berikut, yaitu: (i) terjadinya perubahan struktur pada area berkristal (crystalline) dan area tak beraturan (amorphous) pada granula pati, serta (ii) terjadinya modifikasi fisik pada bagian permukaan granula pati selama proses HMT berlangsung. Modifikasi pati dengan teknik HMT dapat merusak bentuk granula pati hingga terbentuk lubang di bagian permukaannya. Proses pemanasan pati dan keberadaan air saat HMT berlangsung mengakibatkan area amorphous pati mengembang, kemudian menekan keluar area berkristal sehingga terjadi kerusakan dan pelelehan area berkristal granula pati, serta menghasilkan bentuk granula pati yang lebih stabil terhadap panas (Manuel, 1996 dalam Ramadhan 2009). Jika pati mentah dimasukkan ke dalam air dingin, maka granula pati akan menyerap air dan mengembang. Namun jumlah air yang terserap dan pengembangannya terbatas. Air yang terserap tersebut hanya dapat mencapai kadar 30%. Peningkatan volume granula pati yang terjadi di dalam air pada suhu antara 55oC sampai 65oC merupakan pembengkakan yang sesungguhnya, dan setelah pembengkakan ini granula pati dapat kembali pada kondisi semula. Granula pati dapat dibuat membengkak luar biasa, tetapi bersifat tidak dapat kembali lagi pada kondisi semula. Perubahan tersebut disebut gelatinisasi. Pati yang telah mengalami gelatinisasi dapat dikeringkan. Bahan yang telah kering tersebut masih mampu menyerap air kembali dalam jumlah yang besar. Sifat inilah yang digunakan agar instant rice dan instant pudding dapat
27
menyerap air kembali dengan mudah, yaitu dengan menggunakan pati yang telah mengalami gelatinisasi (Winarno, 1992). Perlakuan HMT pada pati tidak hanya mengubah sifat fungsional pati, tetapi juga dapat meningkatkan jumlah pati resisten (resistance starch atau RS), yaitu pati yang lebih sulit dicerna. Pembentukan pati resisten selama proses HMT dapat disebabkan oleh terjadinya pemotongan rantai dari amilopektin dan pembentukan ikatan amilosa dengan amilosa, amilopektin, atau lemak sehingga membentuk struktur yang lebih kompak. Pembentukan ikatan tersebut menyebabkan pati lebih sulit untuk dipecah oleh enzim pencernaan sehingga menyebabkan penurunan indeks glikemik (IG), yaitu indeks yang menunjukkan kecepatan penyerapan karbohidrat serta kemampuan karbohidrat untuk menaikkan konsentrasi glukosa darah dalam waktu tertentu. Pati dengan indeks glikemik yang rendah berguna bagi penderita diabetes (Kusnandar, 2010). Sampai saat ini, penelitian modifikasi pati dengan HMT telah banyak dilakukan, diantaranya pati sorghum varietas merah dan putih termodifikasi heat moisture treatment (HMT) untuk produk bihun berkualitas; karakteristik pati biji durian yang dimodifikasi dengan heat moisture treatment (HMT); pengaruh dari HMT terhadap sifat fisik edible film dari pati kacang merah; pembuatan bihun instan dari pati empat varietas ubi jalar yang dimodifikasi dengan heat moisture treatment (Haryani dkk, 2015; Sumarlin dkk, 2012; Krisna, 2011; Lase, 2012).
28
B. Kerangka Berpikir Beras
Kacang Koro Pedang
Sumber energi yang tinggi
Sumber energi yang tinggi
Indeks glikemik tinggi (>70), potensi penyebab diabetes mellitus, penyakit jantung dan sindrom metabolik lainnya
Menurunkan kolesterol, tinggi serat, rendah lemak, tinggi konsentrasi asam lemak tak jenuh
Diversifikasi Pangan non beras
Tren Pangan Fungsional
Pati Koro Pedang
Tidak tahan pada pemanasan suhu tinggi, kelarutan rendah dalam air, kestabilan viskositas pasta rendah
Dilakukan upaya modifikasi secara fisik dengan Heat Moisture Treatment (HMT)
Dianalisa karakteristik fisik dan kimianya Gambar 2.5 Kerangka Berpikir Penelitian
29
C. Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini adalah kadar air dan suhu pemanasan dari modifikasi dengan Heat Moisture Treatment (HMT) akan memperbaiki kekurangan dari karakteristik fisik dan kimia pati koro pedang (Canavalia ensiformis).
30