BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Koro Glinding (Phaseolus lunatus) Koro
glinding
(Phaseolus
lunatus)
merupakan
tanaman
spermatophyta yang disebut tanaman dikotil, karena dapat menghasilkan biji dari hasil perkawinan antara benang sari dan sel telur, klasifikasi lengkapnya adalah: Kingdom
: Plantae
Sub Kingdom
: Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi
: Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi
: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas
: Magnoliopsida (Berkeping dua atau dikotil)
Sub Kelas
: Rosidae
Ordo
: Fabales
Familia
: Fabaceae (Leguminosa atau polong-polongan)
Genus
: Phaseolus
Spesies
: Phaseolus lunatus L.
Gambar 2.1 Kacang Koro Glinding (Munip, 2008). Tanaman koro glinding (Phaseolus lunatus), merupakan tanaman yang merambat rendah dan mempunyai biji yang berbentuk kecil. Tanaman ini berasal dari Brasil dan pada saat ini telah banyak tumbuh dikawasan tropis lainnya termasuk Afrika dan Asia Tenggara. Sebagai tanaman kacang-kacangan, koro glinding memiliki beberapa keunggulan,
5
6
yaitu produktivitas yang tinggi berkisar 3,0-4,5 ton/hektar. Tanaman koro glinding mudah dibudidayakan pada berbagai jenis tanah, mulai dari tanah berpasir hingga tanah liat. Tanaman ini toleran terhadap lahan kering, ketinggian 2-2,4 meter di atas permukaan laut, suhu 12-32ºC dan curah hujan 700-4200 mm/tahun, tetapi tidak toleran terhadap pH tanah 5,8-6,5 (Winton dan Winton, 1949 dalam Eko, 2001; Munip, 2008). Koro glinding (Phaseolus lunatus) atau lima bean atau butter bean memiliki dua tipe varietas yaitu tipe semak dan tipe merambat. Tipe semak dapat dipanen lebih awal (65-75 hari) daripada varietas merambat (75-85 hari). Panjang polong dapat mencapai hingga 15 cm dan biji yang sudah siap panen dapat berukuran 1-3 cm berbentuk oval hingga menyerupai bentuk ginjal (kidney). Biji koro glinding warnanya bervariasi mulai dari putih hingga coklat atau berbintik-bintik. Biji yang belum masak akan berwarna hijau. Bentuk bijinya pipih dan berlekuk dengan panjang ±1,75 cm. Kandungan pati kacang koro glinding 37,5%; untuk koro glinding muda (baby lima bean) kandungan patinya mencapai 56-60% (Winton dan Winton, 1949 dalam Eko, 2001; Perez et al., 2007; Betancur et al., 2001). Kacang koro glinding dapat dimanfaatkan sebagai tempe dan kecap. Selain itu koro glinding juga telah dikembangkan menjadi tepung kaya protein yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan daging tiruan, semacam sosis, nugget, bakso, produk brownies, flakes ubi jalar, sebagai tambahan bahan baku mi basah dengan tepung ubi jalar ungu bahkan bisa menjadi pengganti tepung terigu pada pembuatan mi instan hingga subsitusi 30% (Rini, 2008; Nafi dkk, 2006). 2. Ekstraksi Pati Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk mendapatkan pati dari suatu bahan pangan. Metode ekstraksi pati dapat dilakukan dengan dua cara, yakni ekstraksi cara basah dan cara kering. Metode ekstraksi cara basah meliputi persiapan bahan, sortasi, penghancuran atau penggilingan bahan, kemudian dilarutkan dalam air. Campuran tersebut lalu disaring
7
untuk memisahkan padatan dengan suspensi pati. Karena pati tidak dapat larut dalam air, maka akan terjadi endapan. Langkah selanjutnya adalah memisahkan endapan dengan airnya, setelah diperoleh endapan tersebut dikeringkan. Tahap selanjutnya pati yang diperoleh digiling untuk mendapatkan ukuran partikel yang seragam. Sedangkan untuk metode ekstraksi cara kering, prosesnya sama dengan cara basah, namun sampel terlebih dahulu dikeringkan dengan oven, dibuat serbuk dengan cara diblender dan diayak. Metode ekstraksi cara basah memiliki rendemen yang lebih besar dibandingkan metode ekstraksi kering (Febriyanti, 1990; Faridah dkk, 2014) Metode ekstraksi yang dilakukan juga tergantung dari jenis dan karakteristik awal bahan. Proses pembuatan pati dari umbi-umbian meliputi pengupasan umbinya, umbi dikecilkan ukurannya dengan digiling kemudian ditambahkan air sedikit demi sedikit sambil dilumatkan dan kemudian disaring. Hasil saringan didiamkan hingga diperoleh endapan yang kemudian dilakukan proses pemisahan dengan endapan. Endapan yang diperoleh kemudian dikeringkan dan digiling kembali. Pati yang didapatkan diayak untuk memperoleh ukuran yang seragam. Lain halnya proses ekstraksi pati dari kelompok leguminosa. Proses ekstraki diawali dengan merendam kacang dengan larutan NaOH. Perendaman ini bertujuan untuk melunakkan struktur kulit kacang agar mudah diproses selanjutnya juga untuk melarutkan protein yang terkandung dalam bahan. Setelah perendaman dan dekantansi, pati dikeringkan lalu digiling (Winarno 1995; Huang et al., 2007). 3. Pati Pati merupakan sumber utama karbohidrat dalam bahan pangan. Pati merupakan komponen utama pada bebijian dan umbi-umbian. Pati merupakan bentuk penting polisakarida yang tersimpan dalam jaringan tanaman, berupa granula dalam kloroplas daun dan dalam amiloplas biji dan umbi. Bentuk ukuran struktur dan komposisi kimia pati sangat
8
bervariasi dan dipengaruhi oleh asal pati. Aplikasi pati dalam pangan sebagai komponen nutrisi, juga menjadi penentu karakteristik produk. Dalam bentuk alaminya, satu jenis pati tidak bisa diaplikasikan untuk semua tipe pengolahan. Penyebab keterbatasan aplikasi pati di industri antara lain adalah hilangnya viskositas pada pH rendah, suhu tinggi atau perlakuan mekanis. Proses modifikasi yang mengubah struktur dan mempengaruhi ikatan hidrogen secara terkontrol, dilakukan untuk memperbaiki karakteristik fisik kimia pati agar sesuai untuk suatu aplikasi spesifik (Eliasson, 2004). Setiap jenis pati mempunyai sifat yang berbeda tergantung dari panjang rantai C-nya, apakah bentuk rantai molekulnya lurus atau bercabang. Pati termasuk homopolimer glukosa dengan ikatan αglikosidik. Pati mempunyai dua fraksi yaitu fraksi yang larut dalam air panas namanya amilosa dan fraksi yang tidak larut dalam air panas namanya amilopektin. Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan α(1,4)-D-glukosa, sedang amilopektin mempunyai cabang dengan ikatan α(1,6)-D-glukosa sebanyak 4-5% dari berat total. Gambar struktur molekul pati dapat dilihat pada Gambar 2.2. Bentuk butiran pati secara fisik berupa semikristalin yang terdiri dari unit kristal dan unit amorf. Unit kristal lebih tahan terhadap perlakuan asam kuat dan enzim. Bagian amorf dapat menyerap air dingin sampai 30% tanpa merusak struktur pati secara keseluruhan (Winarno, 2005).
Gambar 2.2 Struktur molekul pati (Eliasson, 2004)
9
4. Gelatinisasi Pati Granula pati memiliki sifat pengembangan yang bolak-balik (reversible) jika dipanaskan dibawah suhu gelatinisasinya, namun jika pemanasan telah mencapai suhu gelatinisasi, pengembangan granula pati menjadi tidak bolak-balik (irreversible). Granula pati membengkak lalu pecah dan rusak sehingga tidak dapat kembali ke bentuk semula (Greenwood dan Munro, 1979 dalam Erna, 2004). Bila suspensi pati dalam air dipanaskan, beberapa perubahan selama terjadinya gelatinisasi dapat diamati. Mula-mula suspensi pati yang keruh seperti susu tiba-tiba mulai menjadi jernih pada suhu tertentu, tergantung jenis pati yang digunakan. Terjadinya translusi larutan pati tersebut biasanya diikuti pembengkakan granula. Bila energi kinetik molekul-molekul air menjadi lebih kuat daripada daya tarik-menarik antarmolekul pati di granula, air dapat masuk ke dalam butir-butir pati. Hal ini yang menyebabkan bengkaknya granula pati tersebut. Karena jumlah gugus hidroksil dalam molekul pati sangat besar, maka kemampuan menyerap air sangat besar. Terjadinya peningkatan viskositas disebabkan air yang dulunya berada di luar granula dan bebas bergerak sebelum suspensi dipanaskan, kini sudah berada dalam butir-butir pati yang tidak dapat bergerak dengan bebas lagi (Winarno, 2005). Mekanisme gelatinisasi pati dapat dilihat pada Gambar 2.3. Pati yang telah tergelatinisasi dan tidak mengalami pemanasan lebih lanjut, maka pati tersebut akan mengalami pengkristalan. Proses kristalisasi kembali pati yang telah mengalami gelatinisasi disebut retrogradasi. Pada pati yang dipanaskan dan telah dingin kembali, sebagian air masih berada dibagian luar granula yang membengkak. Jika gel dibiarkan selama beberapa hari, air tersebut dapat keluar dari bahan. Keluarnya cairan dari suatu gel pati disebut sebagai sineresis (Winarno, 2005).
10
Gambar 2.3 Mekanisme Gelatinisasi Pati (Harper, 1990). 5. Modifikasi Heat Moisture Treatment (HMT) Secara umum pati alami memiliki kekurangan yang sering menghambat aplikasinya dalam pengolahan pangan. Untuk meningkatkan sifat fungsional dan karakteristik pati dapat diperoleh melalui modifikasi pati. Pati modifikasi adalah pati yang telah diubah sifat aslinya, yaitu sifat kimia dan atau sifat fisiknya sehingga mempunyai karakteristik sesuai dengan yang dikehendaki. Pati yang digunakan dalam industri pangan harus memenuhi syarat mudah dicampur dan menyatu dengan bahanbahan lain tanpa menggumpal, viskositas harus stabil terhadap pengaruh panas, efek mekanis maupun pengaruh bahan lain, pati harus menunjukkan penampakan yang baik pada pH yang diinginkan. Pada produk akhirnya penampakan harus menarik dan memiliki konsistensi yang baik, tidak mempunyai rasa, memiliki sifat tekstur yang baik dan tidak keras (Yeh, 1993 dalam Teja dkk, 2008). Terdapat berbagai metode dalam memodifikasi pati, yaitu secara kimia maupun fisik. Modifikasi pati secara kimia dapat dilakukan seperti
11
eterifikasi, esterifikasi, cross linking, grafting, dekomposisi asam, hidrolisa dengan menggunakan enzim, dan oksidasi. Sementara modifikasi secara fisik dapat dilakukan hydrothermal, shear stress (dengan gesekan pada suatu lempengan), freezing in liquid nitrogen, dan radiasi. Kelebihan modifikasi secara fisik ini khususnya mampu mengubah sifat-sifat fungsional pati dan cenderung lebih aman dan alami dibandingkan perlakuan kimia dan enzimatis (Gonzalez et al., 2007; Collado et al., 2001; Kuswandari dkk, 2013). Hydrothermal merupakan salah satu modifikasi pati dengan perlakuan fisik yang dilakukan dengan pemanasan pada kadar air tertentu (hydrothermal). Metode hydrothermal-treatment terdiri dari annealing dan heat moisture treatment (HMT). Pada annealing, modifikasi dilakukan dengan menggunakan jumlah air yang banyak (lebih dari 40%) dan dipanaskan pada suhu dibawah suhu gelatinisasi pati. Sedangkan HMT dilakukan dalam kondisi semi kering, yaitu tingkat kadar air yang lebih rendah dari kondisi yang disyaratkan untuk terjadinya proses gelatinisasi. Kadar air yang disyaratkan untuk proses HMT adalah 18-30% (b/b); dan dipanaskan pada suhu melebihi suhu gelatinisasinya, selama beberapa waktu yang berkisar antara 15 menit sampai 16 jam (Manuel, 1996). Modifikasi HMT dilaporkan dapat meningkatkan suhu gelatinisasi, menurunkan viskositas puncak, pengembangan granula dan pelepasan amilosa, sehingga dapat meningkatkan stabilitas granula terhadap panas dan pengadukan (Jacobs dan Delcour, 1998; Adebowale et al., 2005; Collado dan Corke, 1999). Sebelumnya metode HMT telah digunakan untuk memodifikasi pati kentang dan sorgum merah (Collado et al., 2001; Adebowale et al., 2005). Penelitian tersebut dilaporkan dapat menurunkan daya kembang pati sorghum sehingga memiliki potensi sebagai bahan substitusi pati beras pada pembuatan bihun. Menurut Kusnandar (2010), produk yang cocok untuk pati yang dimodifikasi secara HMT adalah mi dan bihun dikarenakan metode ini menghasilkan pati dengan viskositas yang stabil pada suhu tinggi.
12
Menurut Manuel (1996) perubahan-perubahan yang terjadi akibat HMT disebabkan adanya hubungan antara faktor berikut, yaitu: (i) terjadinya perubahan struktur pada area berkristal (crystalline) dan area tak beraturan (amorphous) pada granula pati, serta (ii) terjadinya modifikasi fisik pada bagian permukaan granula pati selama proses HMT berlangsung. Modifikasi pati dengan teknik HMT dapat merusak bentuk granula pati hingga terbentuk lubang di bagian permukaannya. Proses pemanasan pati dan keberadaan air saat HMT berlangsung mengakibatkan area amorf pati mengembang, kemudian menekan keluar area berkristal sehingga terjadi kerusakaan dan pelelehan area berkistral granula pati, serta menghasilkan bentuk granula pati yang lebih stabil terhadap panas. Perubahan yang terjadi pada pati yang dimodifikasi HMT disebabkan oleh adanya interaksi antara amilosa dan amilopektin di dalam granula pati dengan air. Imbibisi air ke dalam granula pati dimungkinkan oleh adanya suhu tinggi yang dapat memutuskan ikatan hidrogen antara molekul amilosa-amilosa, amilosa-amilopektin, maupun amilopektinamilopektin. Ikatan hidrogen antara molekul tersebut kemudian digantikan oleh ikatan hidrogen dengan air. Oleh karena itu, kadar air dan suhu yang diterapkan selama modifikasi kemungkinan akan saling berinteraksi dalam mempengaruhi
karakteristik
pati
termodifikasi
yang
dihasilkan
(Herawati, 2009). 6. Kadar Amilosa Amilosa merupakan rantai lurus yang terdiri dari molekul-molekul glukosa yang berikatan α-(1,4)-D-glukosa. Pada umumnya amilosa dari umbi-umbian mempunyai berat molekul yang lebih besar dibandingkan dengan berat molekul amilosa serealia, dengan rantai polimer lebih panjang daripada rantai polimer amilosa serealia. Amilosa memiliki struktur rantai polimernya yang sederhana. Strukturnya yang sederhana ini dapat membentuk interaksi molekular yang kuat. Interaksi ini terjadi pada
13
gugus hidroksil molekul amilosa. Pembentukan ikatan hidrogen ini lebih mudah terjadi pada amilosa daripada amilopektin (Moorthy, 2002). Kandungan amilosa mempengaruhi tingkat penyerapan air pati. Semakin tinggi kandungan amilosa, maka kemampuan pati untuk menyerap air menjadi lebih besar karena amilosa mempunyai kemampuan untuk membentuk ikatan hidrogen yang lebih besar daripada amilopektin. Semakin tinggi kadar amilosa pati maka kelarutannya di dalam air juga akan meningkat karena amilosa memiliki sifat polar. Lu et al. (1996) menyampaikan sehingga
bahwa HMT
menurunkan
jumlah
menimbulkan degradasi amilopektin molekul
besar
(amilopektin)
dan
meningkatkan jumlah molekul kecil (amilosa) sehingga amilosa-amilosa ini dapat saling berikatan. Kadar amilosa berperan pada penentuan kerakteristik pasta pati, gelatinisasi, retrogradasi serta swelling power pati. 7. Derajat Putih (L) Pengukuran warna secara objektif penting dilakukan karena pada produk pangan warna merupakan daya tarik utama sebelum konsumen mengenal dan menyukai sifat- sifatnya. Warna tepung dapat diamati secara kuantitatif dengan metode Hunter menghasilkan tiga nilai pengukuran yaitu L, a dan b. Nilai L menunjukkan tingkat kecerahan sampel. Semakin cerah sampel yang diukur maka nilai L mendekati 100. Sebaliknya semakin kusam (gelap), maka nilai L mendekati 0. Nilai a merupakan pengukuran warna kromatik campuran merah-hijau. Nilai b merupakan pengukuran warna kromatik campuran kuning-biru (Hutching, 1999). Derajat putih merupakan faktor kualitas utama dari tepungtepungan. Derajat putih suatu bahan merupakan kemampuan memantulkan cahaya dari bahan tersebut terhadap cahaya yang mengenai permukaannya (Indrasti, 2004). Derajat putih produk tepung-tepungan pada umumnya menjadi salah satu parameter kualitasnya. Produk tepung-tepungan biasanya diharapkan memiliki derajat putih yang tinggi. Derajat putih pati 93,98% sampai 99,73%. Derajat putih menyatakan tingkat keputihan pati
14
mengunakan pembanding BaSO4 yang nilai derajat putihnya 100% (Wulan dkk, 2007). Proses pemanasan dapat menyebabkan pati mengalami reaksi pencokelatan non enzimatis, yang dikenal dengan reaksi maillard. Prinsip dari reaksi maillard adalah terjadinya reaksi bolak-balik antara aldosa dan asam amino yang menghasilkan basa Schiff. Reaksi tersebut terjadi dengan prinsip amadori yang menghasilkan amino ketosa. Dehidrasi dari reaksi tersebut menghasilkan furfuraldehida yaitu heksosa. Turunan dari reaksi tersebut dihasilkan metal α-dikarbonil dan α-dikarboksil. Aldehid-aldehid yang dihasilkan dari reaksi-reaksi tersebut akan terpolimerisasi dengan atau tanpa gugus amino dan menghasilkan senyama melanoid yang menyebabkan warna cokelat. Reaksi maillard ini dapat terlihat pada suhu 37°C, dapat terjadi secara cepat pada suhu 100°C, dan tidak dapat terjadi pada suhu 150°C (Winarno, 2005). 8. Swelling power Swelling power atau daya kembang merupakan parameter penting dalam karekterisasi pati, menunjukkan kemampuan pati mengembang dalam air (Moorthy, 2002). Selain itu, swelling power mengindikasikan kemampuan pati dalam mengikat air, yang secara umum digunakan untuk menunjukkan perbedaan antara berbagai jenis pati. Dalam penggunaan pati secara komersial, kapasitas mengikat air dalam pati penting untuk menentukan kualitas dan tekstur dari beberapa produk makanan karena dapat menjadi penstabil, dan mencegah terjadinya sineresis selama pendinginan (Crosbie, 1991; Baker et al., 1994). Pati dengan swelling power tinggi memiliki daya cerna yang tinggi dan menunjukkan kemampuan pati untuk memperbaiki sifat-sifat makanan dan penggunaan pati dalam berbagai aplikasi makanan. Pati yang memiliki swelling power tinggi akan baik digunakan untuk produk bakery yang membutuhkan pengembangan besar, sedangkan tepung dengan swelling power rendah cocok digunakan sebagai bahan baku produk yang tidak
15
membutuhkan pengembangan terlalu besar, contohnya mi (Nuwamanya et al., 2010; Kusumayanti dkk., 2015). Menurut Pomeranz (1991), swelling power dapat diukur pada interval 5 pada kisaran suhu gelatinisasi sampai 100°C. Kenaikan nilai swelling power ditentukan oleh lamanya waktu dan suhu pemanasan yang menyebabkan terjadinya degradasi dari pati sehingga rantai pati tereduksi dan cenderung lebih pendek sehingga mudah menyerap air. Air yang terserap pada setiap granula menyebakan nilai swelling power meningkat, dikarenakan granula-granula yang terus membengkak dan saling berhimpitan (Hakiim dan Sistihapsari, 2011). Swelling merupakan sifat yang dipengaruhi oleh amilopektin (Li dan Yeh, 2001). Selain itu, terdapat korelasi yang negatif antara swelling power dengan kadar amilosa, swelling power menurun seiring dengan peningkatan kadar amilosa (Sasaki dan Matsuki, 1998). 9. Kelarutan Kelarutan digunakan untuk menunjukkan jumlah maksimal zat yang dapat larut dalam suatu larutan. Kelarutan tinggi pada pati berarti jumlah padatan yang larut relatif banyak dan sebaliknya apabila kelarutan pati rendah berarti jumlah padatan yang larut relatif sedikit. Kelarutan terjadi karena adanya ikatan non-kovalen antara molekul-molekul pati. (Lorenz dan Kulp, 1981). Faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan pati yaitu rasio amilosa-amilopektin, distribusi berat molekul dan panjang rantai dari granula pati juga mempengaruhi kelarutan. Semakin tinggi kadar amilosa pati maka kelarutannya di dalam air juga akan meningkat karena amilosa memiliki sifat polar, semakin pendek rantai polimer pati maka kelarutan pati juga semakin meningkat. Pati yang didominasi dengan berat molekul rendah memiliki kelarutan yang tinggi (Moorthy, 2002). Kelarutan pati semakin tinggi dengan meningkatnya suhu, serta kecepatan peningkatan kelarutan adalah khas untuk tiap pati. Semakin tinggi suhu pemanasan menyebabkan terjadinya degradasi dari pati
16
sehingga rantai pati tereduksi dan cenderung lebih pendek akan meningkatkan sifat hidrofilik pati. Peningkatan kelarutan selalu diikuti oleh peningkatan viskositas pati. Hal ini disebabkan karena peningkatan jumlah gugus hidroksil yang menyebabkan kelarutan dalam air meningkat dan mengakibatkan air yang sebelumnya bebas bergerak diluar granula menjadi terperangkap dan tidak dapat bergerak bebas lagi (Pomeranz, 1991; Greenwood dan Munro, 1979 dalam Erna, 2004). 10. Daya Serap Air Daya serap air (water absorption) menunjukkan kemampuan tepung dalam menyerap air pada satuan waktu tertentu. Kapasitas penyerapan air pada tepung berkaitan dengan komposisi granula dan sifat fisik pati setelah ditambahkan dengan sejumlah air, granula pati dapat basah dan secara spontan terdispersi dalam air yang disebabkan oleh absorbs oleh granula yang terikat secara fisik maupun intermolekuler pada bagian amorf (Rohmah, 2012). Kemampuan penyerapan air pada pati dipengaruhi oleh adanya gugus hidroksil yang terdapat pada molekul pati. Bila jumlah gugus hidroksil dalam molekul pati sangat besar, maka kemampuan menyerap air juga besar karena sifatnya yang mudah berikatan dengan air. Gugus hidroksil terletak pada salah satu ujung rantai amilosa dan pada ujung rantai pokok amilopektin. Ketika berlangsung modifikasi HMT, gugus hidroksil dari pati akan tarik menarik dengan gugus hidrogen dari air yang masuk ketika proses modifikasi HMT (Alsuhendra dan Ridawati, 2009). Kandungan amilosa juga akan berhubungan dengan daya serap air. Pati dengan kadar amilosa tinggi, memiliki kemampuan menyerap air lebih tinggi karena sifat amilosa yang bersifat hidrofilik yang mudah menyerap air (Zhiqiang et al., 1999). 11. Amilografi Sifat amilografi berkaitan dengan pengukuran viskositas tepung dengan konsentrasi tertentu selama pemanasan dan pengadukan. Sifat
17
amilografi menunjukkan sifat pecahnya granula pati setelah proses gelatinisasi pati yang disebabkan karena adanya panas dan air (Indrastuti dkk, 2012). Sifat gelatinisasi dan pembengkakan dari suatu pati, salah satunya ditentukan oleh struktur amilopektin, komposisi pati dan ukuran granular pati. Di samping itu, perbedaan sifat gelatinisasi juga dipengaruhi oleh berat molekul granula pati. Makin besar berat molekul, maka gelatinisasi akan terjadi pada suhu yang lebih rendah dibandingkan dengan yang berat molekulnya lebih rendah. Saat larutan pati dipanaskan di atas temperatur gelatinisasinya, pati yang mengandung amilopektin lebih banyak akan membengkak lebih cepat dibandingkan dengan pati lain. Sebaliknya tepung-tepungan dengan kandungan amilosa yang lebih tinggi, seperti tepung beras dan tepung terigu, memerlukan temperatur yang lebih tinggi agar patinya tergelatinisasi (Imanningsih, 2012). Pada uji amilografi terdapat beberapa parameter yang dapat diamati yaitu suhu gelatinisasi, viskositas puncak serta viskositas balik. Menurut Muhandri (2007) karakterisasi sifat ini diperlukan untuk beberapa tujuan diantaranya adalah identifikasi perubahan respon amilografi akibat perbedaan variabel bahan atau proses, pendugaan sifat tepung selama pengolahan dan identifikasi data awal untuk keperluan set up peralatan pengolahan pati dan tepung. Perilaku gelatinisasi dan profil pemastaan dari campuran tepung-air dan pati dapat dimonitor menggunakan Rapid Visco Analyzer (RVA) yang merupakan viskometer dengan pemanasan dan pendinginan sekaligus untuk mengukur resistansi sampel terhadap penanganan dengan pengadukan terkontrol. RVA dapat memberikan simulasi proses pengolahan pangan (Jacobs dan Delcour, 1998). Pati berdasarkan profil gelatinisasinya ada 4 jenis yaitu tipe A, B, C dan D. Kurva tipe amilografi dapat dilihat pada Gambar 2.4. Profil tipe A menunjukkan pati yang memiliki kemampuan mengembang yang tinggi yang ditunjukkan dengan tingginya viskositas maksimum serta terjadi penurunan selama pemanasan (mengalami breakdown) contohnya pati kentang dan tapioka. Profil tipe B mirip pati tipe A tetapi dengan
18
viskositas maksimum lebih rendah contohnya pati dari serealia. Profil tipe C adalah pati yang mengalami pengembangan yang terbatas, yang ditunjukkan dengan tidak adanya viskositas maksimum dan viskositas breakdown (menunjukkan ketahanan panas yang tinggi) contohnya pati kacang hijau dan pati yang dimodifikasi dengan ikatan silang dan Heat Moisture Treatment (HMT). Profil tipe D adalah pati yang mengalami pengembangan terbatas yang ditunjukkan dengan rendahnya viskositas misalnya pati yang mengandung amilosa lebih dari 55% (Collado et al., 2001).
Gambar 2.4 Beberapa Tipe Kurva Amilografi (Chen, 2003 dalam Mandasari, 2015).
19
B. Kerangka Berpikir Mi merupakan produk hasil perkembangan teknologi pangan Mi dibuat dari tepung terigu
Pengembangan mi non-terigu Pati merupakan salah satu alternatif bahan baku mi non-terigu
Tahun 2009 impor gandum mencapai 5 juta ton/tahun
Pati tipe C cocok untuk bahan baku mi non-terigu
Pengembangan mi non-terigu mengurangi impor gandum
Pati tipe C didapatkan dari hasil modifikasi HMT
Koro glinding produktivitasnya tinggi Koro glinding memiliki kandungan pati 22% dalam biji
Pemanfaatan koro glinding belum banyak dikembangkan Inovasi produk koro glinding menjadi pati
Modifikasi pati koro glinding dengan HMT Karakteristik pati tipe C hasil modifikasi HMT dipengaruhi oleh kadar air dan suhu pemanasan Modifikasi HMT pati koro glinding dengan variasi kadar air dan suhu pemanasan menghasilkan pati tipe C yang cocok sebagai bahan baku mi dan bihun Gambar 2.4 Kerangka Berpikir Penelitian C. Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini adalah perlakuan modifikasi Heat Moisture Treatment (HMT) dengan variasi kadar air dan suhu pemanasan dapat meningkatkan kadar amilosa, kelarutan, daya serap air, profil amilografi namun menurunkan derajat putih dan swelling power dari pati koro glinding (Phaseolus lunatus).