BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pajak
II.1.1 Definisi dan Klasifikasi Pajak Ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh berbagai ahli dibidang
perpajakan, antara lain : Menurut Mardiasmo (2006:1) mendefinisikan, “pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa imbalan (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”. Sedangkan menurut Prof. Dr. P. J. A. Andriani dalam waluyo (2009:2) mendefinisikan: “Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara yang menyelenggarakan pemerintahan”. Dari pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri yang melekat pada definisi pajak, yaitu : 1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksanaannya yang sifatnya dapat dipaksakan. 6
2. Pajak dipungut oleh negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah berdasarkan Undang-Undang serta aturan pelaksanaannya. 3. Pajak berfungsi sebagai sumber pembiayaan negara (budgeter) dan untuk tujuan mengatur dan melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial ekonomi (regulered). 4. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah.
Sebagaimana telah diketahui ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak dari berbagai definisi, terlihat adanya dua fungsi pajak yaitu Fungsi penerimaan (budgeter) dan fungsi mengatur (regulerend). Mengacu pada Waluyo (2009:12), Pajak di Indonesia dapat dikelompokan menjadi beberapa kelompok menurut golongan, sifat, dan lembaga pemungutnya untuk memudahkan pemahaman dan prakteknya dimasyarakat. Klasifikasi pajak adalah sebagai berikut: 1. Menurut Golongan a. Pajak Langsung adalah pajak yang pembebanannya tidak dapat dilimpahkan
pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung Wajib Pajak yang bersangkutan. Contoh : Pajak Penghasilan. b. Pajak Tidak langsung adalah pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan
kepada pihak lain. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
7
2. Menurut Sifat : Pembagian pajak menurut sifat dimaksud pembedaan dan pembagiannya berdasarkan ciri-ciri prinsip : a. Pajak Subjektif adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya yang selanjutnya dicari syarat objektifnya, dalam arti memperhatikan keadaan dari Wajib Pajak. Contoh: Pajak Penghasilan (PPH). b. Pajak Objektif adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh: PPN dan PPNBM. 3. Menurut Lembaga Pemungutnya a. Pajak Pusat adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh: PPH, PPN dan PPn BM serta Bea Materai. b. Pajak Daerah adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Pajak Daerah terdiri atas: • Pajak Propinsi, contoh : Pajak Kendaraan Bermotor dan Pajak Bahan Bakar
Kendaraan Bermotor. • Pajak Kabupaten/Kota, contoh : Pajak Hotel, Pajak Restoran
Contoh: pajak reklame dan pajak hiburan dan Pajak Hiburan. 8
II.1.2 Sistem Pemungutan Pajak Dibawah ini akan dijelaskan tentang sistem pemungutan pajak yang berlaku di Indonesia mengacu pada Waluyo (2009:17): 1.
Official Assesment System Adalah sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk memnetukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Ciri-cirinya: • Wewenang untuk men entukan besarnya pajak yang terutang ada pada
fiskus. • Wajib Pajak bersifat pasif. • Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus.
2.
Self Assesment System Adalah
system
pemungutan
pajak
yang
memberikan
wewenang,
kepercayaan, tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang terutang. Ciri-cirinya: • Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib
Pajak sendiri. • Wajib Pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan
sendiri pajak yang terutang. • Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
3.
Witholding System Adalah sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak 9
ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Ciri-cirinya: Wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga, pihak lain selain fiskus dan Wajib Pajak.
II.2 Pajak Penghasilan
II.2.1 Definisi Penghasilan dan Pajak Penghasilan Berdasarkan Undang-undang Pajak Penghasilan No.17 Tahun 2000 Pasal (1)
memberikan definisi “Pajak Penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterimanya atau diperolehnya dalam tahun pajak”. Sedangkan peraturan terbaru dalam Undang-Undang PPh No.36 tahun 2008 Pasal 4 ayat 1, “Penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun”. Gunadi (2003:3) mendefinisikan “Pajak Penghasilan (PPh) merupakan jenis Pajak Subjektif yang kewajiban pajaknya melekat pada Subjek Pajak yang bersangkutan, artinya kewajiban pajak tersebut dimaksudkan untuk tidak dilimpahkan kepada Subjek Pajak lainnya”. Pajak Penghasilan ini dikenakan terhadap Subjek Pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam suatu tahun pajak. PPh adalah salah satu penerimaan terbesar negara dari sektor perpajakan jika dibandingkan dengan jenis-jenis pajak lainnya. PPh dikenakan atas penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak orang pribadi maupun badan. Pengertian PPh tidak lepas dari Penghasilan Kena 10
Pajak, yaitu Penghasilan (Bruto) setelah dikurangi dengan penghasilan yang tidak dikenakan pajak, biaya-biaya untuk memperoleh, menagih, dan mempertahankannya serta biaya pengurang lainnya yang ditentukan oleh undang-undang perpajakan. Sedangkan peraturan terbaru dalam Undang-Undang PPh No. 36 tahun 2008 pasal (1) mendefinisikan, “Pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap subyek pajak atas penghasilan yang diterimanya atau diperolehnya dalam tahun pajak”. Dari definisi tersebut maka ada tiga unsur pokok dalam pengenaan pajak penghasilan, yaitu : 1. Subyek Pajak 2. Penghasilan 3. Tahun Pajak
II.2.2 Subjek dan Objek Pajak Menurut Waluyo (2009:89), Subjek Pajak diartikan sebagai orang yang dituju oleh Undang-Undang untuk dikenakan pajak. Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam Tahun Pajak. Berdasarkan pasal 2 ayat (1) No. 36 Tahun 2008, subjek pajak dikelompokan sebagai berikut : 1.
a. Subjek Pajak Orang pribadi b. Subjek Pajak Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
2.
Subjek Pajak Badan
3.
Subjek Pajak Bentuk Usaha Tetap 11
Berdasarkan lokasi geografis, Subjek Pajak dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: Subjek Pajak Dalam Negeri dan Subjek Pajak Luar Negeri Yang menjadi objek penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan bentuk apapun. Menurut Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 yang termasuk penghasilan sebagai Objek Pajak antara lain : 1.
Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini;
2.
hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
3.
laba usaha;
4.
keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk: a.
keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
b.
keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;
12
c.
keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
d.
keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihakpihak yang bersangkutan; dan
e.
keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan;
5.
penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;
6.
bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
7.
dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi; 13
8.
royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
9.
sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
10.
penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
11.
keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
12.
keuntungan selisih kurs mata uang asing;
13.
selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
14.
premi asuransi;
15.
iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
16.
tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak;
17.
penghasilan dari usaha berbasis syariah;
18.
imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
19.
surplus Bank Indonesia.
Sedangkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, Pasal 4 ayat (3) yang dikecualikan dari objek pajak adalah: 14
1.
a.
Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan para penerima zakat yang berhak.
b.
Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badab pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil, termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
2.
Warisan.
3.
Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau penyertaan modal.
4.
Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari wajib pajak atau pemerintah.
5.
Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa.
6.
Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat: a.
Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan.
15
b. Bagi perseroan terbatas, badan usaha mili negara dan badan usaha milik daerah yang menerima dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif diluar kepemilikan saham tersebut. 7.
Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai.
8.
Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada angka 7, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
9.
Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perumpulan, firma, dan kongsi.
10.
Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama 5 (lima) tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberiaan izin usaha.
11.
Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut: a.
Merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan
b.
Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
16
12.
Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
13.
Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak
dalam
bidang
pendidikan
dan/atau
bidang
penelitian
dan
pengembangan, yang telah terdaftar pada intasnsi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4(empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan 14.
Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada wajib pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan dan keuangan.
II.2.3 Biaya Fiskal dan Non Fiskal Menurut UU Pajak Penghasilan, biaya-biaya dapat digolongkan menjadi dua, yaitu biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto (biaya fiskal/ deductable expense) dengan biaya yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto (biaya non-fiskal/ non-deductable expense). Dalam Pasal 6 Ayat (1) Undang-undang PPh, biaya-biaya yang diperkenankan menjadi pengurang dari penghasilan bruto (deductible expense) dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak (PKP) bagi Wajib Pajak Badan adalah pengeluaran yang berhubungan langsung dengan usaha perusahaan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak yang pembebanannya dapat 17
dilakukan dalam tahun pengeluaran atau selama masa manfaat dari pengeluaran tersebut, termasuk: 1.
Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha, antara lain: a. Biaya pembelian bahan. b. Biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium,
bonus, gratifikasi dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang. c. Bunga, sewa, royalti. d. Biaya perjalanan. e. Biaya pengolahan limbah. f. Premi asuransi. g. Biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan. h. Biaya administrasi. i. Pajak kecuali Pajak Penghasilan. 2.
Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun.
3.
Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
4.
Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan. 18
5.
Kerugian dari selisih kurs mata uang asing.
6.
Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia.
7.
Biaya beasiswa, magang dan pelatihan.
8.
Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat : a. Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial. b. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak. c. Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang atau pembebasan utang antara kreditur dengan debitur yang bersangkutan atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu. d. Syarat sebagaimana dimaksud pada huruf c tidak berlaku untuk penghapusan piutang tidak tertagih debitur kecil.
9.
Sumbangan dalam rangka penaggulangan bencana nasionalyang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
10. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di
Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah. 11. Biaya pembagunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah. 12. Sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah. 19
13. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah. 14. Kompensasi kerugian yang dapat dikompensasikan dengan penghasilan mlai tahun
pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun. 15. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) bagi Wajib Pajak Dalam Negeri Orang
Pribadi. Sedangkan biaya-biaya yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan Pasal 9 ayat (1) sebagai berikut : 1.
Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.
2.
Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu atau anggota.
3.
Pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali a. Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang
menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang. b. Cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang
dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. c. Cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan. d. Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan. e. Cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan. f. Cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah 20
industri untuk usaha pengolahan limbah industri. 4.
Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna dan asuransi beasiswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak Orang Pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan. Premi asuransi tersebut yang dibayar oleh Wajib Pajak Orang Pribadi tidak boleh dibebankan sebagai biaya karena pada saat Orang Pribadi tersebut menerima penggantian atau santunan asuransi, penerimaan tersebut bukan merupakan objek pajak.
5.
Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyelenggaraan penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan, yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.
6.
Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan.
7.
Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, kecuali zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi pemeluk agama Islam dan atau Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah.
8.
Pajak penghasilan. 21
9.
Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya.
10. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma atau perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham. Anggota badan-badan tersebut diperlakukan sebagai satu kesatuan sehingga tidak ada imbalan sebagai gaji. 11. Sanksi administrasi berupa bunga, denda dan kenaikan serta sanksi pidana berupa
denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan. II.3
Penghasilan Kena Pajak Penghasilan Kena Pajak merupakan dasar perhitungan untuk menentukan
besarnya pajak penghasilan yang terutang. Tarif pajak adalah tarif untuk menghitung besarnya pajak yang harus dibayar. ketentuan tentang tarif pajak adalah ketentuan tentang cara menghitung besarnya pajak yang terutang. Tarif pajak penghasilan biasanya merupakan persentase untuk diterapkan atas penghasilan netto untuk menghitung besarnya pajak penghasilan yang harus dibayar oleh Wajib Pajak. Berdasarkan ketentuan Pasal 17 ayat (1) tahun 2000 Undang-Undang Pajak Penghasilan, besarnya tarif Pajak Penghasilan yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak Dalam Negeri dan Wajib Pajak Luar Negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia melalui suatu Bentuk Usaha Tetap di Indonesia, sebagai berikut:
22
Tabel II.1 Tarif Pajak Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
sampai dengan Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) 10% di atas Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai
15%
Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) di atas Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
30%
Sedangkan Besarnya Tarif Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan baru Undang-Undang PPh No.36 Tahun 2008 Pasal 17 atas Penghasilan kena pajak bagi wajib pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebagai berikut:
Tabel II.2 Tarif Pajak Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap Tahun Pajak
Tarif Pajak
2009
28 %
2010 dan seterusnya
25 %
Berlaku Tarif Tunggal (Single Tax)
Dalam penggunaan tarif PPh badan pasal 17 Undang-Undang PPh No.36 Tahun 2008 berlaku mekanisme yang diatur dalam pasal 31 huruf (e) sebagai berikut: 1.
Jika Penghasilan Bruto (PB) lebih dari Rp. 50 Milyar, maka Penghasilan Kena Pajaknya (PKP) langsung dikalikan dengan tarif 28 % atau 25 % pada tahun 2010. 23
2.
Jika Penghasilan Bruto (PB) berkisar antara Rp. 0 s.d Rp. 50 Milyar, maka: a.
Jika PB kurang dari Rp. 4,8 Milyar, maka PKP pendapat pengurangan 50 %, jadi tarif yang dikenakan adalah sebesar 14 %.
b.
Jika PB lebih dari Rp. 4,8 Milyar tetapi tidak melebihi Rp. 50 Milyar, maka yang mendapat pengurangan 50 % hanya bagian PB s.d Rp. 4,8 Milyar.
II.4 Manajemen Pajak
II.4.1 Definisi Manajemen Pajak Pemerintah saat ini melakukan upaya dalam bidang perpajakan. Oleh karena
itu, pengusaha harus menanggapinya dengan berbagai cara, yaitu dengan menempuh manajemen pajak. Pajak bagi perusahaan merupakan “biaya”. Artinya sekecil apapun pajak yang harus dibayar oleh perusahaan, tetap saja akan mengurangi laba yang diterima oleh perusahaan. Jika pengelolaan pajak tidak dilakukan dengan baik kemungkinan di kemudian hari perusahaan akan menimbulkan masalah. Upaya dalam melakukan penghematan pajak secara legal dapat dilakukan melalui manajemen pajak. Namun perlu diingat bahwa legalitas manajemen pajak tergantung dari instrumen yang dipakai. Legalitas baru dapat diketahui secara pasti setelah ada putusan pengadilan. Menurut Erly Suandy (2008:6), Manajemen Pajak adalah sarana untuk memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar tetapi jumlah pajak yang dibayar dapat ditekan serendah mungkin untuk memperoleh laba dan likuiditas yang diharapkan. Sedangkan tujuan Manajemen Pajak adalah untuk memperoleh likuiditas dan dana 24
yang cukup. manajemen pajak sebagai memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar, tetapi jumlah pajak yang ditekan serendah mungkin untuk memperoleh laba dan likuiditas yang diharapkan. Dengan demikian, di kemudian hari tidak terjadi restitusi pajak atau kurang bayar yang mengakibatkan denda dan sebagainya.
II.5 Perencanaan Pajak
II.5.1 Definisi dan Manfaat Perencanaan Pajak. Perencanaan pajak merupakan langkah awal dalam manajemen pajak. strategi
penghematan pajak disusun pada saat perencanaan, dapat juga diartikan sebagai upaya membayar pajak sebatas hanya diwajibkan sehingga dapat ditarik kesimpulan, bahwa perencanaan pajak adalah proses mengorganisasi usaha Wajib Pajak atau kelompok Wajib Pajak sedemikian rupa sehingga hutang pajaknya baik pajak penghasilan maupun pajak-pajak lainnya, berada dalam posisi yang minimal. Menurut Zain dalam buku Manajemen Perpajakan (2003: 43), “Perencanaan pajak (tax planning) adalah proses mengorganisasi usaha wajib pajak atau kelompok wajib pajak sedemikian rupa sehingga utang pajaknya, baik pajak penghasilan maupun pajak-pajak lainnya, berada dalam posisi paling minimal, sepanjang hal ini dimungkinkan baik oleh ketentuan peraturan peundang-undangan perpajakan maupun secara komersial”. Dari definisi tersebut dapat dilihat bahwa perencanaan pajak melalui penghindaran pajak merupakan satu-satunya cara legal yang dapat ditempuh oleh wajib pajak dalam rangka mengefisiensikan pembayaran pajaknya. ide dasarnya adalah usaha pengaturan terlebih dahulu semua aktivitas perusahaan guna menghindarkan dampak 25
perpajakan sebanyak mungkin. Dalam hal ini tentunya sangat tergantung kepada para manajer, sampai sejauh mana manajer tersebut mewaspadai secara konstan altenatifaltenatif penghematan pajak pada setiap tindakan yang akan diambilnya. Dapat disimpulkan bahwa suatu perencanaan pajak yang efektif tidak hanya tergantung kepada seorang ahli pajak profesional, tetapi sangat tergantung kepada kesadaran dan keterlibatan para pengambil keputusan akan adanya dampak pajak yang melekat pada setiap aktivitas perusahaannya. Manfaat Perencanaan Pajak dan untuk menghemat pajak dapat dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut : 1.
Penghematan kas keluar yaitu perencanaan pajak dapat menghemat pajak yang merupakan biaya bagi perusahaan.
2.
Mengatur aliran kas (cash flow) yaitu perencanaan pajak dapat mengestimasi kebutuhan kas untuk pajak dan menentukan saat pembayaran sehingga perusahaan dapat menyusun anggaran kas secara lebih akurat. Sedangkan untuk menghemat pajak dapat dilakukan dengan menggunakan prinsip-prinsip sebagai berikut : a. Memanfaatkan secara optimal ketentuan-ketentuan perpajakan yang berlaku b. Mengambil keuntungan dari pemilihan bentuk-bentuk usaha yang tepat. c. Mendirikan perusahaan dalam satu jalur usaha sehingga dapat diatur
secara keseluruhan penggunaan tarif pajak dan potensi penghasilan. d. Menyebar penghasilan ke beberapa tahun untuk menghindari pengenaan tarif pajak tertinggi.
26
II.5.2 Motivasi Perencanaan Pajak Mengacu pada Erly Suandy (2008:10), motivasi dilakukannya perencanaan pajak pada umumnya bersumber dari tiga unsur perpajakan, yaitu: 1.
Kebijakan Perpajakan (Tax Policy), merupakan alternatif dari berbagai sasaran yang menjadi tujuan dalam sistem perpajakan. Faktor-faktor yang mendorong dilakukannya suatu perencanaan pajak, antara lain :
2.
a.
Jenis Pajak yang akan dipungut.
b.
Subjek Pajak.
c.
Objek Pajak.
d.
Besarnya Tarif Pajak.
e.
Prosedur pembayaran pajak.
Undang-undang Perpajakan (Tax Law). Tidak ada undang-undang yang mengatur setiap permasalahan secara sempurna. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya selalu diikuti oleh ketentuan-ketentuan lain, seperti Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri Keuangan, dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak. Sering terjadi pertentangan antara ketentuan pelaksanaan tersebut dengan undang-undang itu sendiri karena adanya penyesuaian dengan kepentingan pembuat kebijakan dalam mencapai tujuan lain yang ingin dicapainya. Akibatnya terbuka celah (loopholes) bagi Wajib Pajak untuk menganalisis dengan cermat kesempatan tersebut untuk melakukan perencanaan pajak yang baik.
3.
Administrasi Perpajakan (Tax Administration). Indonesia sebagai negara yang sedang membangun masih mengalami kesulitan dalam melaksanakan administrasi perpajakannya
secara
memadai.
Hal
ini
mendorong
perusahaan
untuk 27
melaksanakan perencanaan dengan baik untuk menghindari sanksi administrasi maupun pidana yang diakibatkan karena adanya perbedaan penafsiran antara aparat fiskus dengan perusahaan selaku Wajib Pajak karena luasnya peraturan perpajakan yang berlaku dan sistem informasi yang belum efektif.
II.5.3 Tahapan dalam Perencanaan Pajak Dalam membuat suatu perencanaan pajak, harus memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi perencanaan tersebut secara komprehensif. Mengacu pada Erly Suandy (2008:13), perencanaan pajak dapat berjalan sesuai tujuannya, maka rencana itu seharusnya dilakukan melalui berbagai urutan tahap-tahap berikut ini: 1.
Menganalisis informasi (Basis Data) yang ada Tahap pertama dari proses pembuatan perencanaan pajak adalah menganalisis komponen yang berbeda atas pajak yang terlibat dalam suatu proyek dan menghitung dengan tepat beban pajak yang harus ditanggung. Untuk itu, seorang perencanaan pajak harus memperhatikan faktor-faktor internal maupun eksternal, yaitu: a. Fakta yang relevan
Dalam arus globalisasi dan tingkat persaingan yang semakin ketat, seorang perencana pajak dalam melakukan perencanaan pajak harus benar-benar menguasai situasi yang dihadapinya, baik dari segi internal maupun eksternal serta mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi agar perencanaan pajak dapat dilakukan secara tepat dan menyeluruh terhadap situasi dan transaksitransaksi yang berdampak dalam perpajakan. 28
b. Faktor-faktor Pajak
Dalam menganalisis setiap permasalahan yang dihadapi dalam penyusunan perencanaan pajak tidak terlepas dari dua hal utama yang berkaitan dengan: ·
Sistem perpajakan nasional yang dianut oleh suatu negara.
·
Sikap fiskus dalam menafsirkan peraturan perpajakan.
c. Faktor Non Pajak
Beberapa faktor non pajak yang relevan untuk diperhatikan dalam penyusunan suatu perencanaan pajak antara lain: ·
masalah badan hukum.
·
masalah mata uang dan nilai tukar.
·
masalah pengawasan devisa.
·
masalah program insentif investasi.
·
masalah faktor nonpajak lainnya, seperti hukum, ekonomi, politik dan lainnya.
2.
Membuat satu model atau lebih rencana besarnya pajak
3.
Mengevaluasi atas perencanaan pajak
4.
Mencari kelemahan dan kemudian memperbaiki kembali rencana pajak
5.
Memutakhirkan Rencana Pajak Walaupun suatu rencana pajak telah dilaksanakan dan proyek juga telah berjalan, namun tetap perlu diperhitungkan setiap perubahan yang terjadi baik dari undangundang maupun pelaksanaannya. Pemutakhiran dari suatu rencana pajak adalah konsekuensi yang perlu dilakukan atas perkembangan yang akan datang maupun situasi saat ini, dimana seorang perencana pajak mampu mengurangi resiko atas 29
perubahan dan mampu mengambil kesempatan untuk memperoleh manfaat yang potensial.
II.5.4 Strategi Umum Perencanaan Pajak
Pengelola kewajiban pajak tersebut sering diasosiasikan dengan suatu elemen dalam manajemen suatu perusahaan yang disebut dengan manajemen pajak. Menurut Sophar Lumbantoruan (1996:5) menyebutkan manajemen pajak sebagai suatu strategi penghematan pajak sebagai berikut:
a. Tax saving
Tax saving merupakan upaya efisiensi beban pajak melalui pemilihan alternatif pengenaan pajak dengan tarif yang lebih rendah.
b.
Tax avoidance
Tax
avoidance
merupakan
upaya
efisiensi
beban
pajak
dengan
menghindari pengenaan pajak melalui transaksi yang bukan merupakan objek pajak
c.
Menghindari pelanggaran atas peraturan perpajakan
Dengan menguasai peraturan pajak yang berlaku, perusahaan dapat menghindari timbulnya sanksi perpajakan berupa: •
Sanksi administrasi: denda, bunga, atau kenaikan;
30
d.
Menunda pembayaran kewajiban pajak
Menunda pembayaran kewajiban pajak tanpa melanggar peraturan yang berlaku dapat dilakukan melalui penundaan pembayaran PPN. Penundaan ini dilakukan dengan menunda penerbitan faktur pajak keluaran hingga batas waktu yang diperkenankan, khususnya untuk penjualan kredit. Dalam hal ini, penjual dapat menerbitkan faktur pajak pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan barang.
e.
Mengoptimalkan kredit pajak yang diperkenankan
Wajib Pajak sering kurang memperoleh informasi mengenai pembayaran pajak yang dapat dikreditkan yang merupakan pajak dibayar dimuka. Dalam kredit pajak PPN (Pajak Masukan), Pengusaha Kena Pajak dapat menggunakan dokumen lain yang fungsinya sama dengan faktur pajak standar, seperti SPPB atau Surat Perintah Pengiriman Barang (delivery order) yang dikeluarkan oleh Bulog untuk penyaluran tepung terigu, PNBP (Faktur Nota Bon Penyerahan) yang dikeluarkan oleh Pertamina untuk penyerahan BBM dan/atau bukan BBM, dan tanda pembayaran atau kwitansi telepon.
II.6 Laporan Keuangan Komersial Vs Laporan Keuangan Fiskal Agar hasil suatu usaha dapat diketahui dalam setiap kurun waktu (periode akuntansi) tertentu perusahaan perlu menyusun laporan keuangan. Penyusunan laporan keuangan adalah tahap akhir dalam akuntansi. Laporan keuangan harus memenuhi 31
beberapa syarat yaitu relevan, dapat dimengerti, dapat diuji, dapat dibandingkan, dapat dipercaya, lengkap, penyampaian tepat waktu, akurat, dan objektif. Laporan keuangan komersial adalah laporan keuangan yang disusun sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang meliputi Laporan Laba Rugi, Laporan Perubahan Ekuitas, Neraca, dan Laporan Arus Kas. Sedangkan laporan keuangan fiskal adalah laporan keuangan yang disusun sesuai peraturan perpajakan dan digunakan untuk keperluan penghitungan pajak. Undang-undang pajak tidak mengatur secara khusus bentuk dari laporan keuangan, hanya memberikan pembatasan untuk hal-hal tertentu baik dalam penghasilan maupun biaya. Akibat dari perbedaan pengakuan ini menyebabkan laba akuntansi dan laba fiskal dapat berbeda. Secara umum laporan keuangan disusun berdasarkan standar akuntansi keuangan, kecuali diatur secara khusus dalam undang-undang. Perusahaan dapat menyusun laporan keuangan akuntansi (komersial) dan laporan keuangan fiskal secara terpisah, atau melakukan koreksi fiskal terhadap laporan keuangan akuntansi (komersial). Laporan keuangan komersial yang direkonsiliasi dengan koreksi fiskal akan menghasilkan laporan keuangan fiskal.
32