BAB II LANDASAN TEORI
A. School Connectedness 1. Definisi School Connectedness Definisi school connectedness masih berkembang hingga saat ini. Secara umum school connectedness dijelaskan sebagai tingkat dimana siswa merasa menjadi bagian dari sekolah serta dipedulikan oleh orang-orang di sekolahnya (Resnick & Wilson, dalam Levesque, 2011). Bonny dan koleganya (2000) mengemukakan bahwa school connectedness merupakan perasaan memiliki dan menerima siswa terhadap lingkungan sekolahnya. Libbey (dalam Hattie & Anderman, 2013) mendefinisikan school connectedness sebagai kepemilikan sosial, solidaritas dalam kelompok, dukungan guru, school attachment, school bonding, emotional engagement dan kepuasan siswa. Definisi lain menurut Blum (2004), school connectedness merupakan keyakinan siswa bahwa orang-orang dewasa di sekolahnya mempedulikan dia baik dalam hal akademik maupun dia sebagai individu. Sementara itu, Stracuzzi & Mills (2010) menggambarkan school connectedness sebagai perasaan positif siswa mengenai pendidikan, perasaan memiliki akan lingkungan sekolah serta adanya hubungan positif dengan staff sekolah dan teman-temannya.
11
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan penjelasan menurut beberapa ahli, maka dapat disimpulkan bahwa school connectedness merupakan perasaan siswa mengenai lingkungan sekolahnya serta hubungannya dengan guru, staff sekolah maupun teman-temannya.
2. Aspek School Connectedness Connell dan Wellborn (dalam Stracuzzi & Mills, 2010) school connectedness terdiri dari tiga aspek utama yakni: a. Dukungan Sosial Aspek ini didasarkan pada sejauh mana siswa merasa dekat dan dihargai oleh guru dan staf lainnya di sekolah. Hal ini dapat diukur melalui pernyataan siswa mengenai apakah guru menyukai dirinya atau tidak, siswa memperhatikan apa yang dinilai oleh guru mengenai dirinya, siswa merasa nyaman ketika berbicara dengan guru, serta seberapa sering guru memuji mereka. b. Rasa Memiliki Aspek ini didefinisikan sebagai perasaan yang dimiliki oleh siswa mengenai dirinya sendiri bahwa ia adalah bagian dari sekolah. Aspek ini diukur melalui tingkat di mana siswa merasa dihormati di sekolahnya, menjadi bagian dari sekolahnya, merasa orang-orang yang ada di sekolah peduli dengannya, serta memiliki banyak teman di sekolah.
12
Universitas Sumatera Utara
c. Keterlibatan Aspek ini merefleksikan resiprokasi siswa atas rasa memiliki (belonging) dan dukungan yang didapat melalui kepedulian yang aktif dan keterlibatan dalam bagiannya.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi school connectedness School connectedness dipengaruhi oleh tiga faktor yang saling berinteraksi yakni (Blum, 2004): a. Individu Faktor individu merupakan faktor yang menjelaskan tentang hubungan antara siswa dengan staf sekolah. Hubungan di antara keduanya merupakan jantung dari school connectedness. Siswa yang menerima guru dan administrator sekolahnya sebagai orang yang membentuk lingkungan belajar yang baik, nyaman, jelas serta adil terhadap semua siswa akan menunjukkan school connectedness yang lebih tinggi. b. Lingkungan Sekolah School connectedness tidak hanya dipengaruhi oleh hubungan antara siswa dengan staf sekolahnya, akan tetapi juga dipengaruhi oleh lingkungan sekolah. Sekolah bertanggung jawab untuk menyediakan lingkungan yang nyaman sehingga siswa dapat mengembangkan dirinya baik itu secara akademis, emosional maupun perilaku.
13
Universitas Sumatera Utara
c. Kultur Sekolah Kultur sekolah menunjukkan adanya keseimbangan antara kebutuhan sosial dan pembelajaran artinya sekolah dapat menyeimbangkan antara pembelajaran dengan kebutuhan sosial siswa seperti bersosialisasi dengan teman-temannya, melakukan aktivitas olahraga serta mengikuti kegiatan ekstrakulikuler. Dalam hal ini penting peran dari guru tersebut. Sekolah dengan kultur tersebut akan mengakibatkan siswasiswanya lebih sering untuk belajar bersama, lebih terlibat di kelas serta mengerjakan tugas rumah secara teratur.
4. Kategori school connectedness Karcher dan Lee (dalam Lohmeier dan Lee, 2011) menyatakan bahwa school connectedness dikategorikan ke dalam 3 tingkatan yakni : a. Dukungan Umum (General Support) Kategori dukungan umum merupakan kategori yang paling rendah. Pada kategori ini, siswa merasa bahwa dukungan yang diterimanya dari guru, staf sekolah maupun temannya tidak jauh berbeda. Namun demikian, siswa tetap merasa bahwa dirinya diterima di sekolah. b. Dukungan Spesifik (Specific Support) Kategori dukungan spesifik merupakan kategori sedang. Pada kategori ini siswa mengganggap dukungan berasal dari sumber yang spesifik dimana siswa menyadari bahwa adanya perbedaan dukungan dari guru,
14
Universitas Sumatera Utara
teman atau staf sekolah. Pada kategori ini, siswa merasa bahwa dirinya diterima di sekolah namun siswa tidak secara aktif mencari dukungan. c. Keterlibatan (Engagement) Kategori keterlibatan merupakan kategori yang paling tinggi. Pada kategori ini siswa menunjukkan upaya dalam keterlibatannya pada tugas sekolah maupun aktivitas sekolah lainnya. Siswa juga merasakan bahwa adanya dukungan dari guru, staf sekolah maupun teman secara spesifik, menghargai setiap hubungan dan aktif mencari dukungan.
B. Sekolah Pembauran Sekolah merupakan lembaga pendidikan jalur formal yang terdiri dari tingkatan dasar, menengah hingga atas. Istilah sekolah pembauran sendiri bermula dari masa Orde Baru dimana sekolah-sekolah yang ada di Indonesia kebanyakan memiliki siswa yang berasal dari keturunan Tionghoa. Melihat kondisi tersebut, pemerintah melalui Instruksi Presiden Kabinet No. 37/U/In/G/ 1967 mengeluarkan peraturan dalam mendirikan Sekolah Nasional Proyek Khusus (SNPK) yang bertujuan agar siswa-siswi keturunan Tionghoa berbaur dengan siswa-siswi keturunan Indonesia asli. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dilihat bahwa adanya keinginan dari pemerintah Orde Baru untuk menjadikan sekolah (lembaga pendidikan) di Indonesia dari tingkat SD (Sekolah Dasar) sampai dengan SMA (Sekolah Menengah Atas) sebagai wadah pembauran atau melting pot (Glazer & Moynihan, dalam Pelly (2003)) 15
Universitas Sumatera Utara
Woolfolk (2004) menyatakan bahwa melting pot merupakan kiasan untuk kelompok imigran (pendatang) membaur dan mengasimilasikan dirinya ke kelompok pada umumnya (dominan) sehingga perbedaan etnis tersebut tidak terjadi lagi. Kelompok pendatang yang dimaksud disini adalah WNI keturunan Tionghoa, sedangkan kelompok dominannya adalah kelompok WNI asli. Harapan pemerintah
terhadap kedua
kelompok tersebut berbeda. Bagi kelompok WNI keturunan asing (Tionghoa), pemerintah berharap agar mereka melakukan asimilasi total ke dalam budaya nasional (kelompok WNI asli). Sementara itu, bagi kelompok WNI asli, pemerintah berharap agar sesama kelompok etnik WNI asli terjadi akulturasi (saling memberi dan menerima unsur budaya masing-masing). Berdasarkan peraturan Tim Pembantu Pelaksana Asimilasi di Bidang Pendidikan dan Pengaturan Pendidikan Asing di Indonesia (PAP3A) Propinsi Sumatera Utara melalui Surat Keputusan Menteri P dan K No.044/P/75 tanggal 18 Maret 1975 menetapkan adapun yang menjadi ketentuan-ketentuan untuk sekolah-sekolah asimilasi (pembauran) adalah sebagai berikut: a. Sekolah asimilasi dilaksanakan oleh yayasan pendidikan swasta baik yang berlatar agama, seperti yayasan pendidikan Islam, Kristen atau Katolik, maupun yayasan pendidikan umum (nasional). b. Komposisi siswa di sekolah tersebut harus 50% WNI asli dan 50% WNI asing. 16
Universitas Sumatera Utara
c. Kurikulum yang digunakan adalah kurikulum nasional yang berarti bahwa kurikulum harus sama dengan kurikulum sekolah negeri. d. Bahasa pengantar yang digunakan di sekolah adalah Bahasa Indonesia. e. Sekolah dilarang mengajarkan bahasa Tionghoa. Penerapan
ketentuan-ketentuan
tersebut
ternyata
dalam
pelaksanaannya di sekolah pembauran saat ini belum dapat terpenuhi. Ketentuan mengenai komposisi murid-murid 50 % WNI asli dan 50 % WNI asing merupakan salah satu ketentuan yang tidak terpenuhi. Jumlah murid-murid dari kelompok WNI asli dari tahun ke tahun semakin berkurang (Pelly, 2003).
C. Profil SMA WR Supratman 2 Medan 1. Sejarah Berdiri SMA WR Supratman 2 Medan merupakan sekolah swasta nasional yang berkedudukan di Medan, Provinsi Sumatera Utara. SMA WR Supratman
adalah sekolah yang berada di naungan yang dulunya
bernama Yayasan Perguruan Tri Bukit dan kini berganti nama menjadi Yayasan Perguruan Wage Rudolf Supratman. Pada awal berdiri, sekolah ini diperuntukkan untuk siswa keturunan Tionghoa. Namun pada tahun 1974, sekolah ini mengikuti program pembauran yang dilaksanakan
oleh
pemerintah
sehingga
akhirnya
membuka
kesempatan kepada siswa keturunan non Tionghoa untuk bersekolah di sekolah tersebut (Tentang Kami, dalam wrsupratman.sch.id, 2014. 17
Universitas Sumatera Utara
2. Visi dan Misi Visi yang ditanamkan oleh perguruan WR Supratman adalah menjadikan perguruan WR Supratman Medan diakui keunggulannya di Sumatera Utara, di tingkat nasional dan di tingkat internasional serta dibanggakan masyarakat Indonesia. Sebagai upaya untuk mewujudkan tersebut, SMA WR Supratman memiliki beberapa misi yakni: 1. Melaksanakan pendidikan yang bermutu, efektif, dan dinamis untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas, berkarakter, berkompeten, terdidik, kreatif, cakap, terampil, menguasai bahasa asing, ilmu pengetahuan dan teknologi informasi. 2. Melaksanakan pendidikan yang berdasarkan budi pekerti luhur untuk menghasilkan lulusan yang berkepribadian, beretika tinggi, berakhlak
mulia,
beriman,
bertaqwa,dan
mengabdi
untuk
kesejahteraan bangsa dan negara. Sebagai sekolah dengan konsep pembauran, SMA WR Supratman 2 Medan memiliki siswa-siswi yang berasal dari latar belakang agama dan etnis yang beragam. Dari latar belakang agama terdapat siswa-siswi yang menganut agama Budha, Islam, dan Kristen. Sementara itu, dari latar belakang etnis terdapat siswa-siswi dengan etnis Tionghoa, Batak, Karo, Jawa, India, dan lain sebagainya. Secara keseluruhan, siswa SMA WR Supratman 2 Medan berjumlah 467 orang dengan proporsi kelas X terdapat 4 kelas (X MIPA 1, X MIPA 2, X IPS 1, X IPS 2), kelas XI terdapat 4 kelas (XI IPA 1, XI IPA 18
Universitas Sumatera Utara
2, XI IPS 1, XI IPS 2) serta kelas XII terdapat 4 kelas (XII IPA 1, XII IPA 2, XII IPS 1, XII IPS 2). Kegiatan ekstrakulikuler yang ada di SMA WR Supratman yakni robotic club, futsal, pramuka, basket, marching band, dance club, paduan suara, dan english club. Keterlibatan siswa dalam kegiatan ekstrakulikuler dapat terlihat dari jumlah siswa yang mengikuti ekstrakulikuler yakni sebanyak 41 % dari jumlah keseluruhan siswa.
D. Gambaran School Connectedness pada Siswa di Sekolah Pembauran (Studi Kasus SMA WR Supratman 2 Medan) Sekolah pembauran merupakan upaya pemerintah agar kelompok tertentu (dalam konteks ini adalah siswa keturunan Tionghoa) dapat meleburkan dirinya dan budanya kepada kelompok yang lebih dominan yaitu kelompok siswa WNI asli. Sekolah pembauran memiliki beberapa ketentuan yang harus dipenuhi oleh pihak sekolah di antaranya adalah sekolah dilaksanakan oleh yayasan baik itu berlatar belakang agama maupun yayasan pendidikan umum (nasional), siswa di dalam sekolah tersebut harus sebanding yakni 50 % siswa WNI asli dan 50 % WNI asing, kurikulum yang digunakan adalah kurikulum nasional serta menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar (Pelly, 2003). Banyaknya ketentuan yang berlaku untuk sekolah pembauran, ternyata tidak dapat dipenuhi oleh semua sekolah terutama dalam hal perbandingan siswa WNI asli dengan siswa keturunan Tionghoa. Dalam 19
Universitas Sumatera Utara
praktiknya, sekolah pembauran juga mengalami kendala yakni dalam penggunaan bahasa pengantar yang seharusnya bahasa Indonesia namun kerap kali akibat jumlah mayoritas siswa keturunan Tionghoa maka guru Tionghoa cenderung menggunakan bahasa Tionghoa dalam pembelajaran. Kendala ini menjadi hal yang membuat tidak nyaman bagi siswa WNI asli yang tidak mengerti apa yang disampaikan oleh guru. Ketidaknyamanan siswa ini akan mengarah pada perasaan siswa apakah ia diterima di sekolahnya atau tidak. Istilah ini dikenal dengan school connectedness. School connectedness merupakan perasaan positif siswa mengenai pendidikan, perasaan memiliki akan lingkungan sekolah, serta adanya hubungan yang positif dengan staff sekolah dan teman-temannya (Stracuzzi & Mills, 2010). Setiap siswa penting untuk memliki school connectedness karena siswa yang merasa menjadi bagian dari sekolahnya akan lebih
menunjukkan kesuksesan baik itu dalam hal perilaku,
emosional, maupun akademis. School connectedness terdiri dari tiga aspek utama yakni dukungan sosial, rasa memiliki siswa terhadap sekolah serta keterlibatan siswa dalam kegiatan di sekolah (Connell & Wellborn, dalam Stracuzzi & Mills, 2010). Dukungan sosial menekankan pada sejauh mana siswa merasa dekat dan dihargai oleh guru dan staff lainnya di sekolah. Setiap guru atau staff sekolah tidak membedakan antara siswa yang satu dengan yang lainnya berdasarkan jenis kelamin, agama, suku, dan status lainnya. 20
Universitas Sumatera Utara
Siswa yang memiliki school connectednesss juga tercermin dari perasaan yang dimiliki oleh siswa bahwa ia merupakan bagian dari sekolah (sense of belonging). Siswa akan merasakan bahwa orang-orang di lingkungan sekolahnya menghormati dirinya, serta memiliki banyak teman. Siswa yang sudah merasakan dukungan sosial dari orang dewasa di sekolah baik itu guru atau staff sekolah serta memiliki rasa bahwa ia merupakan bagian dari sekolah, maka siswa akan menunjukkan keterlibatannya
melalui
kegiatan-kegiatan
yang
ada
di
sekolah.
Keterlibatan siswa dapat terwujud melalui kegiatan akademik maupun non akademik. Salah satu faktor yang mempengaruhi school connectedness siswa adalah kultur sekolah. Kultur sekolah menunjukkan adanya keseimbangan antara kebutuhan sosial dan pembelajaran artinya sekolah dapat menyeimbangkan antara pembelajaran dengan kebutuhan sosial siswa seperti bersosialisasi dengan teman-temannya, melakukan aktivitas olahraga serta mengikuti kegiatan ekstrakulikuler. Kultur sekolah pada sekolah pembauran menekankan tentang kebutuhan sosialisasi siswa terhadap teman-temannya diluar budayanya agar terciptalah tujuan kebijakan pemerintah tentang Sekolah Nasional Proyek Khusus (SNPK). Kelompok WNI keturunan asing (Tionghoa) melakukan asimilasi total ke dalam budaya nasional (kelompok WNI asli) sedangkan kelompok WNI asli melakukan akulturasi (saling memberi dan menerima unsur budaya masing-masing) di antara siswa WNI asli. 21
Universitas Sumatera Utara