BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Nasi Goreng Beras merupakan salah satu sumber makanan pokok yang biasa dikonsumsi
masyarakat,
khususnya
masyarakat
Indonesia.
Beras
sebagaimana bulir serealia lain, bagian terbesar beras didominasi oleh pati (sekitar 80-85%). Beras juga mengandung protein, vitamin (terutama pada bagian aleuron), mineral, air, dan karbohidrat. Menurut Kristiatuti dan Rita (2004) makanan pokok adalah makanan yang dapat dikonsumsi dalam jumlah yang banyak, sumber karbohidrat, mengeyangkan dan merupakan hasil alam daerah setempat. Makanan pokok adalah sumber karbohidrat bagi tubuh manusia, makanan pokok biasanya tidak menyediakan keseluruhan nutrisi yang dibutuhkan tubuh, oleh karenanya biasanya makanan pokok dilengkapi dengan lauk pauk atau diolah dengan bahan makanan lain untuk mencukupkan kebutuhan nutrisi seseorang dan mencegah kekurangan gizi. Pengolahan nasi sebagai menjadi berbagai produk
makanan pokok
yang berbeda sudah banyak dilakukan oleh
masyarakat. Berbagai pengolahan tersebut dilakukan untuk mengurangi rasa bosan terhadap jenis makanan yanng dikonsumsi setiap hari. Modifikasi pengolahan nasi bisa dilakukan dengan menambahkann berbagai bahan tambahan pada proses pemasakan nasi. Bahan tambahan yang biasa ditambahkan adalah santan, sari kunyit, bumbu halus, cabai dan lain sebagainya. Pengolahan nasi tergantung pada kondisi beras sebagai bahan utamanya, dan teknik olah yang digunakan antara lain adalah di masak dengan lemak, digoreng dengan sedikit minyak, dan direbus. Beberapa contoh olahan beras sebagai makanan pokok adalah nasi tim, nasi goreng, lontong dan nasi uduk. Nasi goreng adalah nasi yang diolah dengan teknik digoreng (Hidayanti, 2014).
4
5
Nasi goreng adalah sebuah komponen penting dari masakan tradisional Tionghoa, menurut catatan sejarah sudah mulai ada sejak 4000 SM. Nasi goreng kemudian tersebar ke Asia Tenggara dibawa oleh perantau-perantau Tionghoa yang menetap di sana dan menciptakan nasi goreng khas lokal yang didasarkan atas perbedaan bumbu-bumbu dan cara menggoreng. Nasi goreng juga dikenal sebagai hidangan khas Indonesia (Handayani, 2011). Pada penelitian ini nasi yang digunakan dalam pengalengan nasi goreng menggunakan beras varietas IR64. Beras varietas IR64 merupakan beras yang banyak beredar di pasaran dan sering dikonsumsi oleh masyarakat lokal di Indonesia. Harganya cukup terjangkau dan sesuai dengan selera masyarakat Indonesia (Subarna, et al, 2005). 2. Kerusakan Produk dalam Kaleng Mengemas makanan dalam kaleng merupakan salah satu teknologi pengawetan makanan dengan cara sterilisasi dengan suhu tinggi. Saat ini makanan dalam kemasan kaleng semakin populer akibat mobilitas masyarakat yang sangat tinggi, sehingga mengkonsumsi produk makanan kaleng dapat menghemat waktu. Kerusakan utama yang terjadi pada bahan makanan yang dikemas dalam kaleng adalah kerusakan yang diakibatkan oleh mikroba yang menyebabkan makanan menjadi berbau busuk, asam dan bahkan beracun. (Shaffiyah, 2008). Dalam produk olahan nasi rentan terdapat bakteri Staphylococcus aureus
yang
dapat
mengakibatkan
keracunan
pada
manusia.
Staphylococcus aureus dapat berkembang biak dengan baik pada suhu 37°C - 40°C atau dalam suhu ruang, dan dapat bertahan pada suhu dingin. Staphylococcus aureus memproduksi enterotoxins pada suhu 40°C - 45°C dan mati pada suhu di atas 50°C (Medvedova, 2012) . Menurut Agata et al (2002), produk-produk bahan pangan berbasis beras sangat rentan terkontaminasi oleh Bacillus cereus yang tumbuh dan memproduksi emetictoxins dalam waktu relatif singkat pada nasi yang disimpan pada suhu ruang. Bacillus cereus dapat membentuk spora, berkembang biak
6
dengan baik pada suhu 28°C - 37°C dan juga masih dapat bertahan pada suhu dingin walaupun dalam kondisi lingkungan anaerob sekalipun. Bacillus cereus tidak dapat bertahan hidup dan mati pada suhu 90°C (Rajkovic et al, 2008). Mutu makanan mengalami penurunan selama proses pengolahan. Panas yang digunakan selama proses dapat menyebabkan perubahan mutu, nutrisi produk, perubahan warna dan protein, serta perubahan kadar proksimat dan mineral. Penurunan mutu ini terus berlangsung selama penyimpanan karena reaksi-reaksi kimia yang terjadi secara alami, sehingga akan mempengaruhi citarasa, warna, tekstur dan nilai gizi makanan tersebut (Awuah et al, 2007). Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap mutu makanan kaleng adalah suhu ruangan penyimpanan. Suhu yang terlalu tinggi dapat meningkatkan kerusakan citarasa, warna dan tekstur. Suhu tinggi juga menyebabkan bakteri yang tidak hancur selama proses sterilisasi cenderung untuk tumbuh dan berkembang biak. Oleh sebab itu, sebaiknya makanan kaleng disimpan pada suhu ruangan 1021°C
untuk
mencegah
terjadinya
kerusakan
dan
pembusukan
(Muchtadi, 1989). Perubahan yang terjadi pada fisik kaleng juga dapat menandakan kerusakan pada produk makanan kaleng. Menurut Winarno (1997), kerusakan makanan kaleng secara umum dapat dibagi menjadi 4 bagian yaitu: 1. Flat Sour, apabila permukaan kaleng tetap datar dan tidak mengalami kerusakan apapun, tetapi produk di dalam kaleng tersebut sudah rusak dan berbau asam. 2. Flipper, apabila dilihat sekilas, bentuk kaleng terlihat normal tanpa kerusakan. Tetapi bila salah satu ujung kaleng ditekan, maka ujung yang lainnya akan terlihat cembung. 3. Springer, apabila salah satu ujung kaleng tampak rata dan normal, sedangkan ujung yang lain tampak cembung permanen.
7
4. Swell (cembung), apabila kedua ujung kaleng sudah terlihat cembung akibat adanya bakteri pembentuk gas.
3. Pengalengan, Suhu dan Waktu Optimum Sterilisasi Produk-produk
bahan
pangan
berbasis
beras
sangat
rentan
terkontaminasi oleh Bacillus cereus yang tumbuh dan memproduksi emetic toxins dalam waktu relatif singkat pada nasi yang disimpan pada suhu ruang. Oleh karena itu perlu dilakukan proses pengawetan untuk memperpanjang umur simpan nasi goreng dengan cara pengalengan. Pengalengan merupakan cara pengawetan bahan pangan dalam wadah yang tertutup rapat (hermetis) dan disterilisasi dengan panas. Pada umumnya proses pengalengan bahan pangan terdiri atas beberapa tahap, diantaranya persiapan bahan, pengisian bahan ke dalam kaleng, pengisian medium, exhausting, sterilisasi, pendinginan, dan penyimpanan (Desroier 1978 dalam Utami 2012). Setelah proses sterilisasi harus segera dilakukan proses pendinginan untuk mencegah terjadinya over cooking pada makanan
dan
tumbuhnya
kembali
bakteri
termofilik
(Winarno dan Fardiaz, 1980). Proses sterilisasi merupakan proses utama pada proses produksi pangan steril komersial, khususnya untuk menjamin tercapainya keamanan pangan steril komersial. Sterilisasi (Processing) pada pengalengan adalah proses pemanasan wadah serta isinya pada suhu dan jangka waktu tertentu untuk menghilangkan atau mengurangi faktor-faktor penyebab kerusakan makanan, tanpa menimbulkan gejala lewat pemasakan (over cooking) pada makanannya. Waktu dan suhu yang diperlukan untuk proses sterilisasi biasanya tergantung pada konsistensi atau ukuran partikel bahan, derajat keasaman isi kaleng, ukuran headspace, besar dan ukuran kaleng, kemurnian uap air (steam) yang digunakan, dan kecepatan perambatan panas (Kannan, 2008). Proses sterilisasi merupakan tahap yang paling penting dan kritis dalam proses pengalengan yang menentukan sukses tidaknya proses
8
pengalengan secara keseluruhan. Proses ini dilakukan setelah kaleng ditutup dan dimasukkan ke dalam ketel uap atau retort. Suhu sterilisasi standar yang digunakan adalah 121,1o C (250o F). Suhu proses untuk membunuh spora mikroba patogen yang dapat membentuk toksin dan dapat meracuni manusia umumnya dilakukan pada 110o - 130o C selama waktu tertentu, tergantung pada kondisi dari produknya. Sedangkan suhu untuk mereduksi jumlah Clostridium botulinum dalam makanan kaleng adalah 121,1o C selama 3 menit (Kusnandar, 2006). Indikator proses sterilisasi yang optimal umumnya dilakukan dengan memastikan Clostridium botulinum dapat mati. Dengan demikian, mikroba lain yang kurang tahan panas akan otomatis mati apabila Clostridium botulinum berhasil dibunuh. Penentuan waktu dan suhu sterilisasi dipengaruhi oleh kecepatan perambatan panas, keadaan awal produk (pH, dimensi produk, dan jumlah mikroba awal), wadah yang digunakan, dan ketahanan panas mikroba atau sporanya. Setiap partikel makanan harus menerima panas dalam jumlah yang sama. Kombinasi waktu dan suhu yang diberikan pada produk yang disterilisasi harus cukup untuk mematikan mikroba patogen dan mikroba pembusuk (Reuter (1993) dalam Utami, 2012). Dalam suatu perancangan proses termal, karakteristik ketahanan panas mikroba dan profil pindah panas dari medium pemanas ke dalam bahan pada titik terdinginnya merupakan hal penting yang harus diketahui. Karakteristik ketahanan panas dinyatakan dengan nilai D dan nilai z. Nilai D adalah waktu pemanasan pada suhu tertentu untuk mereduksi mikroorganisme sebanyak 90% atau menjadi 1/10. Sedangkan nilai z adalah derajat kenaikan atau penurunan suhu untuk menurunkan atau menaikkan nilai D menjadi 10 kali dari nilai awalnya. F0 adalah ekuivalen letalitas proses termal dengan waktu pemanasan pada suhu 250°F. Nilai F0 ini ditentukan sebelum proses termal berlangsung. Nilai F0 dapat dihitung pada suhu standar atau pada suhu tertentu, dimana untuk menghitungnya perlu diketahui nilai D dan nilai z. Secara umum, nilai F0 menggambarkan waktu (menit) yang
9
dibutuhkan untuk membunuh mikroba target hingga mencapai level tertentu pada suhu tertentu. Untuk produk yang beredar di pasaran yang menggunakan proses sterilisasi biasa menggunakan sterilisasi komersial yaitu pada suhu 121°C selama 15 menit. Proses sterilisasi ini bergantung pada bahan yang disterilisasi (Daniel, 2014). Produk pangan yang mengalami sterilisasi dan dikombinasikan dengan kemasan
yang kedap udara dapat mencegah terjadinya
rekontaminasi. Kondisi pengemasan yang kedap udara ini dapat menyebabkan terbatasnya jumlah udara yang ada, sehingga bakteri yang bersifat aerob tidak akan mampu tumbuh pada produk pangan tersebut. Umumnya, proses pengemasan bagi bahan pangan yang disterilisasi dikombinasikan dengan teknik pengemasan yang akan menyebabkan kondisi anaerobik. Kondisi ini akan memberikan beberapa keuntungan, antara lain mikroba tidak tahan panas sehingga lebih mudah dimusnahkan pada proses pemanasan dan kondisi anaerobik ini dapat mengurangi reaksi oksidasi yang mungkin terjadi selama proses pemanasan maupun selama proses penyimpanan setelah proses. Untuk mempertahankan kondisi anaerob ini, bahan pangan perlu dikemas dalam kemasan kedap udara (Utami, 2012). 4. Accelerated Shelf Life Test (ASLT) Penentuan umur simpan suatu produk dilakukan dengan mengamati produk selama penyimpanan sampai terjadi perubahan yang tidak dapat diterima lagi oleh konsumen. Menurut Syarief dan Halid (1993), penurunan mutu makanan dapat diketahui dari perubahan faktor mutu tersebut, oleh karena itu dalam menentukan daya simpan suatu produk perlu dilakukan pengukuran terhadap atribut mutu produk tersebut. Hasil atau akibat berbagai reaksi kimiawi yang terjadi di dalam produk makanan bersifat akumulatif dan irreversible (tidak dapat dipulihkan kembali) selama penyimpanan sehingga pada saat tertentu hasil reaksi tersebut mengakibatkan mutu makanan tidak dapat diterima lagi. National Food Prosessor Association mendefinisikan bahwa umur simpan adalah suatu
10
produk secara umum dapat diterima untuk tujuan seperti yang diinginkan oleh konsumen dan selama bahan pengemas masih memiliki integritas serta memproteksi isi kemasan (Arpah, 2001). Metode Accelerated Shelf Life Test (ASLT) dengan model Arhennius umumnya digunakan untuk melakukan pendugaan umur simpan produk pangan yang sensitif oleh perubahan suhu, diantaranya produk pangan yang mudah mengalami ketengikan (oksidasi lemak), perubahan warna oleh reaksi pencoklatan, atau kerusakan vitamin C. Metode ini pada prinsipnya adalah menyimpan produk pangan pada suhu ekstrim, dimana kerusakan produk terjadi lebih cepat, kemudian umur simpan ditentukan berdasarkan ekstrapolasi ke suhu penyimpanan. Semakin sederhana model yang digunakan untuk menduga umur simpan, maka semakin banyak asumsi yang dipakai. Asumsi-asumsi yang digunakan dalam pendugaan metode Arrhenius adalah: 1. Perubahan faktor mutu hanya ditentukan oleh satu macam reaksi saja. 2. Tidak terjadi faktor lain yang mengakibatkan perubahan mutu. 3. Proses perubahan mutu dianggap bukan merupakan akibat proses-proses yang terjadi sebelumnya. 4. Suhu selama penyimpanan tetap atau dianggap tetap. Oleh karena itu umur simpan yang diperoleh bersifat ‘pendugaan’ yang validitasnya sangat ditentukan oleh model matematika yang diperoleh dari hasil percobaan (Kusnandar, 2008). Berdasarkan identifikasi produk yang telah dilakukan dapat diketahui faktor kualitas yang dijadikan parameter kinetika reaksi kemunduran mutu yang terjadi pada produk. Untuk membuat tingkat kemunduran mutu, data faktor kualitas ditransformasikan dalam sebuah kinetik plot dan akan didapatkan suatu model parameter kinetik yang tepat. Menurut Labuza dan Riboh (1982) proses kemunduran mutu bahan makanan dapat dinyatakan dengan persamaan umum berikut :
±
= .
11
dengan
Q
: faktor mutu yang diukur
t
: waktu
k
: ketetapan yang tergantung pada suhu dan Aw
n
: faktor pangkat atau orde reaksi
dQ/dt
: kecepatan perubahan dari faktor Q per satuan waktu
(tanda
positif
jika
kemundurannya
dinyatakan dalam bertambahnya Q dan negatif jika yang diukur adalah berkurangnya Q) Sebagian besar kemunduran mutu bahan makanan termasuk reaksi orde nol dan orde satu. Dengan evaluasi constant rate (k) pada tiga suhu atau lebih yang berbeda dapat dibuat grafik hubungan Arrhenius, yaitu ekstrapolasi dengan garis lurus hubungan antara ln k dengan 1/T untuk memprediksi kecepatan reaksi (k) dari reaksi-reaksi dari suhu lain (Labuza, 1982). Umur simpan ditentukan berdasarkan faktor yang paling berpengaruh terhadap produk tersebut. Faktor yang bisa mempengaruhi umur simpan suatu produk antara lain suhu. Penentuan umur simpan dengan faktor pembatas suhu dapat dilakukan dengan pendekatan kinetika kemunduran mutu Arrhenius. Reaksi kemunduran mutu orde nol dapat dinyatakan dengan persamaan : =
(
− A) k
Dan untuk orde 1 reaksi kemunduran dapat dinyatakan dengan persamaan berikut: =
ln(
k
)
Dimana: A
= skor akhir
A0
= skor awal (hari ke-0)
k
= Konstanta kecepatan reaksi
t
= waktu penyimpanan (dalam hari, bulan atau tahun)
12
B. Kerangka Berpikir Budaya Masyarakat Indonesia mengkonsumsi nasi dan olahannya
Nasi goreng merupakan salah satu olahan nasi favorit di Indonesia
Nasi goreng di pasaran tidak memiliki umur simpan yang lama
Pengalengan nasi goreng untuk menambah umur simpan
Penentuan suhu dan waktu optimum sterilisasi dan analisis umur simpan nasi goreng dalam kaleng
Gambar 2.1 Kerangka berpikir penelitian C. Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini adalah terjadinya perubahan sensori dan tingkat ketengikan nasi goreng dalam kaleng selama penyimpanan pada suhu di atas suhu penyimpanan normal dapat digunakan untuk menduga umur simpan nasi goreng dalam kaleng