BAB II LANDASAN TEORI
A. Kebijakan Perusahaan Terbuka 1. Kebijakan Perusahaan Terbuka (Go Public) Tentu
menjadi
obsesi
semua
pengusaha
untuk
menjadikan
perusahaannya menjadi besar, bahkan untuk bertahan selamanya. Namun, untuk mencapai hal tersebut tidaklah mudah. Paling tidak, harus dipebuhi dua hal; pertama, profesionalisme dalam pengelolaan perusahaan dan kedua; tambahan modal untuk melakukan peningkatan kapasitas produksi. (Sawidji, 2009). Menurut Sawidji, dengan cara go public, suatu perusahaan dapat memenuhi kebutuhan atas kedua haltersebut. Dengan go public, penempatan orang-orang dalam jabatan di perusahaan tidak lagi ditentukan oleh satu orang –misalnya pendiri perusahaan– melainkan harus diputuskan melalui RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham). Dengan demikian, akan diperioleh para profesional yang handal karena dipilih banyak orang. Demikian juga dengan modal, perusahaan bisa menggali dana secara tak terbatas dari masyarakat untuk dijadikan tambahan modal.
Modal pada prinsipnya bisa berasala dari dua sumber, yaitu hutang dan ekuitas atau sering disebut modal sendiri (lihat bagan 2.1). dalam dunia keuangan, hutang disebut modal asing. Selanjutnya, modal asing ini berasal dari perorangan/lembaga atau dari masyarakat luas, yaitu memobilisasi hutang dari pasar modal.
Tabel 2.1 Sumber dan Jenis Modal Sumber Modal
Jenis Modal yang Dimobilisasi
Perorangan/Lembaga •
Pendiri
•
Hutang
•
Teman/Keluarga
•
Ekuitas
•
Bank
•
Lembaga Lain
•
Pasar Modal
•
Hutang
•
Ekuitas
Sumber: Pasar Modal Indonesia (Sawidji, 2009) Berdasarkan tabel di atas, sumber modal dapat dikalsifikasikan ke dalam dua bagian, yaitu modal yang bersumber dari perorangan/lembaga dan modal yang bersumber dari pasar modal. Adapun untuk jenis modal
yang dimobilisasi atau yang didapatkan bisa berupa hutang dan bisa berupa ekuitas. Jika jenis modal yang didapatkan berupa hutang dari kreditor, biasanya kreditor meminta jaminan sebagai alat untuk menghindari kerugian ketika perusahaan mengalami kegagalan dalam pengembalian pinjaman tersebut. Jaminan kredit aman jika diberikan kepada kreditor dengan reputasi pembayaran kembali kredit yang baik. Sayangnya tidak semua kreditor bereputasi baik. Oleh karena itu, perlu adanya suatu jaminan atas kredit tersebut. Untuk perusahaan kecil kadang-kadang di samping jaminan bank, kreditur meminta pula jaminan perseorangan (personel guarantee). (Siswanto Sutojo, 2008). Salah satu metode pendanaan untuk modal perusahaan, yang sering diambil adalah metode bauran pendanaan (financing mixing). Yaitu penentuan
manajemen
untuk
struktu
modal
perusahaan
secara
campuran/bauran. Sebagaimana dijelaskan oleh Agnes Sawir (2004) bahwa tujuan manajemen struktur modal adalah menciptakan suatu bauran
sumber
dana
permanen
sedemikian
rupa
agar
mampu
memaksimalkan harga saham dan agar tujuan manajemen keuangan untuk memaksimalkan nilai perusahaan tercapai. Selain dari kredit, perusahaan pun dapat memperoleh tambahan dana dari pasar modal dengan cara go public.
2. Pasar Modal Banyak literatur yang menjelaskan mengenai pasar modal, sehingga definisi yang berkembang mengenai pasar modal cukup banyak, diantaranya: Menurut UU RI No. 8/1995 tentang pasar modal: “Bursa efek adalah pihak yang menyelenggarakan dan menyediakan sistem/sarana untuk mempertemukan penawaran jual beli efek pihak-pihak lain dengan tujuan memperdagangkan efek diantara mereka.” Sedangkan menurut keputusan Menkeu RI No. 1548/1990: “Pasar modal adalah suatu sistem keuangan yang terorganisir, termasuk didalamnya adalah bank-bank komersial dan semua lembaga-lembaga perantara di bidang keuangan serta keseluruhan surat-surat berharga”. Pasar modal mempunyai peran penting dalam kegiatan ekonomi secara makro. Pasar modal dapat berperan sebagai alat untuk mengalokasikan sumber daya ekonomi secara optimal. Perusahaan yang memerlukan dana memandang pasar modal sebagai alat untuk memperoleh dana yang lebih menguntungkan dibandingkan dengan modal yang diperoleh dari sektor perbankan. Modal yang diperoleh dari sini selain mudah memperolehnya juga biaya yang diperlukan lebih mudah.
Bentuk pasar modal ada 3 jenis (Iban Sofyan, 2006): 1. Stock exchange, meliputi obligasi, saham, promes dan wesel. 2. Money exchange, meliputi pertukaran mata uang (valuta asing). 3. Commodity exchange, meliputi 2 hal yaitu soft commodity exchange yaitu pertukaran komoditas hasil pertanian dan peternakan, dan hard commodity exchange yaitu pertukaran gold, silver, platinum dan oil.
3. Initial Public Offering (IPO) Initial Public Offering (IPO) adalah kegiatan penawaran umum yang dilakukan perusahaan untuk mendapatkan dana dari masyarakat investor dengan cara menjual saham atau obligasi, penawaran umum ini disebut juga dengan go public (Purwanta:2006). Terdapat dua metode utama untuk melakukan go public yang digunakan di seluruh dunia. Pertama, melakukan penawaran perdana (initial public offering) dengan penawaran pada harga tetap (a fixed price offer) atau penawaran melalui sistem tender, metode yang kedua yaitu dengan prosedur lelang (auction procedure),dimana penentuan harga saham berdasarkan penawaran tertinggi.
Perusahaan yang akan melakukan kenijakan go public harus melalui empat prosedur (Purwanta: 2006). Keempat prosedur tersebut adalah sebagai berikut: 1. Persiapan Tahap awal untuk melakukan penawaran umum adalah meminta persetujuan dari para pemegang saham dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) untuk melakukan Penawaran Umum Saham (PUS). 2. Pengajuan Pernyataan Pendaftaran Menyampaikan pendaftaran ke BAPEPAM hingga pernyataan pendaftaran dinyatakan efektif. Pengajuan pendaftaran ini harus disertai kelengkapan dokumen sebagai berikut: a. Laporan keuangan yang telah diaudit, b. Opini dari konsiultan hokum, c. Dokumen lainnya. Pernyataan efektif dari BAPEPAM adalah tiket perusahaan untuk melakukan penawaranumum di pasar perdana. 3. Melakukan penawaran umum di pasar perdana Tahap ini merupakan tahap utama. Pada tahao ini emiten menawarkan saham kepada masyarakat investor. Investor dapat membeli saham tersebut melalui agen-agen penjual yang telah ditunjuk. Masa penawaran umum sekurang-kurangnya 3 hari kerja, yaitu waktu untuk masyarakat untuk mengisi formulir pemesanan dan penyerahan uang kepada agen penjual.
4. Pencatatan saham di bursa efek Setelah saham dijual ke pasar perdana, selanjutnya saham tersebut akan dicatatkan ke bursa efek. Di Indonesia, saham dapat dicatatkan ke Bursa Efek Indonesia (BEI). Dalam tahap persiapan diri, setelah keputusan go public ditetapkan dalam rapat umum pemegang saham, perusahaan harus menyiapkan dokumen dokumen dengan bantuan para profesi di pasar modal, antara lain: penjamin emisi efek (underwriter), akuntan publik, notaris, konsultan hukum, perusahaan penilai (appraisal) dan lain lain. Setelah semua persiapan yang telah dilakukan, semua dokumen persyaratan pendaftaran dikirim ke BAPEPAM. Tahap ketiga dapat dilaksanakan setelah mendapatkan ijin dari BAPEPAM. Pada tahap ini dilakukan penawaran umum perdana (IPO) dan memasuki pasar sekunder dengan pencatatan efeknya di bursa. Dalam melakukan IPO, perusahaan harus menerbitkan prospectus sebelum melakukan listing di BEJ. Prospectus adalah dokumen yang berisikan informasi tentang perusahaan penerbit sekuritas dan informasi lainnya yang berkaitan dengan sekuritas yang ditawarkan. Penjualan sekuritas di pasar perdana dilakukan oleh penjamin emisi (underwriter) yang ditunjuk oleh perusahaan dengan bantuan agen penjualan.
Pada umumnya underwriter mempunyai tiga fungsi, yaitu : advisory function, underwriting function, dan marketing function. Sebagai advisory function, underwriter memberikan saran kepada perusahaan yang akan melakukan go pulic mengenai jenis sekuritas yang akan ditawarkan, penentuan harga sekuritas dan waktu penawarannya. Underwriting function adalah fungsi penjaminan dimana emiten akan meminta underwriter untuk menjamin penjualan saham perdana emiten tersebut, jika emiten meminta underwriter memberikan jaminan full commitment, maka underwriter menjamin seluruh sekuritas akan habis terjual dan bersedia untuk membeli sisanya jika sebagian sekuritas tidak terjual. Dalam prakteknya, tidak semua underwriter bersedia memberikan jaminan full commitment, terutama untuk sekuritas perusahaan yang belum mapan. Untuk perusahaan yang belum mapan tersebut biasanya underwriter hanya berani memberikan jaminan best effort saja, artinya underwriter hanya akan berusaha sebaik mungkin untuk menjual sekuritas yang diterbitkan oleh perusahaan tersebut. Harga sekuritas yang dijual di pasar perdana (offering price) yang telah ditentukan terlebih dahulu oleh perusahaan yang akan melakukan go public (emiten) dengan penjamin emisi, dimana harga sekuritas tersebut telah dicantumkan dalam prospectus. Dalam penentuan offering price, underwriter
dan
emiten
sering
memperkirakan harga yang wajar.
menghadapi
kesulitan
untuk
4. Saham Perdana dan Underpricing Menurut Pulus Situmorang (2008), ketika perusahaan pertama kali melakukan penawaran sahamnya ke pasar modal, masalah yang dihadapi adalah penentuan harga di pasar perdana tersebut. Di satu pihak pemegang saham lama tidak ingin menawarkan saham baru dengan harga yang terlalu murah kepada investor baru, tetapi disisi lain investor menginginkan untuk memperoleh capital gains dari pembelian saham di pasar perdana tersebut. Perbedaan kepentingan tersebut, dimana emiten menginginkan dana yang lebih besar dan investor menginginkan return, mengakibatkan terjadinya underpricing, yakni adanya selisih positif antara harga saham dipasar sekunder dengan harga perdana, yang disebut initial return bagi investor. Bagi emiten, underpricing ini tentunya merugikan karena perusahaan tidak dapat memperoleh dana secara maksimal. Underpricing terjadi karena perusahaan dinilai lebih rendah dari nilai yang sesungguhnya oleh underwriter dalam rangka untuk mengurangi tingkat resiko yang harus di hadapi karena fungsi penjaminannya. Emiten dilain pihak tidak mengetahui keadaan pasar modal yang sesungguhnya. Dalam hal ini underwriter sebagai pihak yang lebih sering berhubungan dengan pasar modal mempunyai informasi yang lebih banyak mengenai pasar modal bila dibandingkan dengan calon emiten. Adanya asimetri informasi inilah maka harga saham pada penawaran perdana lebih rendah dari pada harga saham di passar sekunder. Jadi underwriter menggunakan
ketidaktahuan emiten mengenai pasar modal untuk mengurangi resiko yang harus ditanggug apabila saham yang dia jamin dipasar perdana tidak laku, maka underwriter harus membeli sisa saham tersebut sebesar harga penawaran dikalikan dengan sisa saham yang tidak laku terjual. Penentuan harga dalam IPO merupakan bagian yang sulit, sekaligus penting karena tidak ada harga sebelumnya di pasar dan sejarah mengenai operasi perusahaan sangat sedikit atau hampir tidak ada. Jika harga ditemukan terlalu rendah, perusahaan penerbit tidak dapat memperoleh dana maksimal dari potensi yang ada untuk menaikkan modalnya. Sementara itu jika harga terlalu tinggi, investor akan memperoleh return yang sangat kecil sehingga berakibat pada penolakan investor untuk membeli saham tersebut, dengan demikian tanpa harga (pricing) yang akurat pasar dapat menguntungkan salah satu pihak dan merugikan pihak lainnya. Hal ini tidak sesuai dengan tujuan pengaktifan kembali pasar modal yaitu pemerataan pendapatan masyarakat (investor) melalui kepemilikan saham perusahaan, akan tetapi harga yang sebenarnya ini baru bisa diketahui setelah saham dijual di pasar sekunder, karena harga ditentukan oleh kekuatan penawaran dan permintaan (supply and demand) dari investor. Menurut Paulus Situmorang (2008), salah satu metode digunakan dalam menetapkan harga saham adalah metode pendekatan nilai tunai
(present value approach). Dengan pendekatan ini semua pendapatan yang akan diterima dikapitalisasi dengan suatu tingkat diskonto yang sesuai. Dengan kata lain intrinsiknya dihitung berdasarkan cash flow yang diharapkan akan diterima di masa yang akan datang. Cash flow ini didiskontokan dengan suatu tingkat diskonto tertentu. Nilai intrinsik ini diukur dengan formula berikut: Nilai Sekuritas =
n
Cash flows
t=1
(1+k) t
x 100%
n = Jumlah periode k = tingkat diskonto t = Tingkat jumlah periode diskonto Fenomena lain yang menarik untuk dicermati dalam konteks IPO dan underpricing adalah besar kecilnya tingkat underpriced ternyata tidak sama antara negara yang satu dengan negara yang lain. Secara sederhana, perbedaan yang mencolok terhadap tinggi rendahnya tingkat underpriced di antara dua kelompok negara tersebut merupakan cerminan dari tingkat resiko dan ketidakpastian yang ada serta sampai sejauh mana keterbukaan informasi mampu diakses oleh calon investor. Dalam materi Simposium Nasional tahun 2007, tesis Aminul Amin menuliskan bahwa underpricing didefinisikan sebagai penentuan harga saham di pasar perdana lebih rendah daripada harga di pasar sekunder untuk saham yang sama.
5. Pendeteksiaan Underpricing Underpricing dapat dideteksi dan diukur dengan initial return. Metode perhitungan dengan initial return ini dikembangkan oleh Alli dan Yung (1994) dan Ernyan dan Husnan (2002), merupakan tingkat return awal yang diterima oleh investor yaitu selisih antara harga penutupan saham (closing price) pada hari pertama perdagangan di bursa dengan harga di pasar perdana dibagi dengan harga perdana. Menurut Amin Aminul (2007), underpricing dapat diketahui dengan menghitung initial return, yaitu harga penutupan di hari pertama bursa dikurangi harga perdana dibagi harga penutupan di hari pertama bursa. Apabila Initial Return Negatif, saham perdana mengalami underpricing. Dengan kata lain, karakteristik saham perdana underpricing adalah saham perdana yang memiliki initial return negatif. Sedangkan tingkat persentase underpricing dapat diukur dengan membagi initial return dengan harga penutupan saham perdana dikalikan 100%. Initial Return
= Harga Penutupan Perdana – Harga Perdana
Underpricing
= Initial Return Negatif
Tingkat Underpricing =
Harga Penutupan Perdana – harga perdana × 100% Harga Penutupan Perdana
6. Contoh Kasus Underpricing Andy Porman Tambunan dalam bukunya yang berjudul Menilai Harga Wajar Saham (2002) memaparkan contoh kasus underpriding yang terjadi pada PT. Bank Mandiri, Tbk yang melaksanakan kebijakan go public pada tahun 2003. PT. Bank Mandiri, Tbk melakukan kebijakan go public pada tanggal 14 Juli 2003 dengan harga penawaran saham perdana Rp 675,- / lembar saham. Pada saat penutupan di hari pertama bursa, harga saham PT. Bank Mandiri, Tbk ditutup dengan harga Rp 850,- / lembar saham. Sehingga, terjadi initial return yang negatif (underpricing)
dengan perhitungan
sebagai berikut: Initial Return
= Harga Penutupan Perdana – Harga Perdana = Rp. 675 - Rp. 850 = Rp (175)
Tingkat Underpricing =
=
Harga Penutupan Perdana – harga perdana × 100% Harga Penutupan Perdana Rp. 675 - Rp. 850 Rp. 850
× 100 % = 20,59 %
Berdasarkan perhitungan di atas, saham perdana PT. Bank Mandiri, Tbk mengalami underpricing dengan tingkat underpricing 20,59%.
B. Pengukuran Kinerja Perusahaan 1. Kinerja Keuangan Dasar teoritis dari konsep Nilai Tambah Ekonomis disajikan dalam kertas akademis yang dipublikasikan antara tahun 1958 dan 1961 oleh dua ekonom finansial, yaitu Merton H. Miller dan Franco Modigliani, yang memenangkan hadiah nobel dalam bidang ekonomi. Mereka beragumentasi bahwa laba ekonomis (economic income) merupakan sumber penciptaan nilai (value creation) di perusahaan dan bahwa tingkat pengembalian (rate of return/cost of capital). Semakin tinggi tingkat pengembalian, maka semakin tinggi nilai kinerja keuangan perusahaan tersebut (Amin Widjaja Tunggal: 2008). Pengukur kinerja keuangan berdasarkan nilai (value based) dapat dilakukan dengan Economic Value Added (EVA). EVA sama dengan selisih antara laba operasi bersih setelah pajak (NOPAT) dengan biaya modal (Amin Widjaja Tunggal, 2009). Hasil
perhitungan
EVA
yang
positif
menunjukkan
tingkat
pengembalian atas modal yang lebih tinggi daripada tingkat biaya modal. Hal ini berari bahwa perusahaan mampu menciptakan nilai tambah bagi pemilik perusahaan berupa tambahan kekayaan. Hasil perhitungan EVA negatif menunjukkan bahwa selama periode penelitian manajemen perusahaan tidak berhasil memberikan nilai tambah ekonomis kepada perusahaan dan hasil EVA yang positif menandakan telah terjadi proses nilai tambah ekonomis bagi perusahaan. Selain itu meskipun
laba perusahaan naik belum tebntu EVA-nya juga akan naik ,karena hal ni sangat tergantung pada struktur modal serta ongkos modal setiap komponennya.
2. Economic Value Added (EVA) a. Definisi Economic Value Added (EVA) Menurut Agnes Sawir (2005) Economic Value Added adalah suatu indicator tentang adnya penambahan nilai suatu investasi. Jika EVA positif berarti manajemen perusahaan berhasil meningkatkan nilai perusahaan bagi pemilik perusahaan sesuai dengan tujuan manajemen keuangan yaitu memaksimalkan nilai perusahaan (Agnes Sawir: 2005). Sedangkan menurut Amin Widjaja Tunggal (2008) Economic Value Added adalah laba yang tertinggal setelah dikurangi dengan biaya modal (cost capital) yang diinvestasikan untuk menghasilkan laba tersebut. EVA merupakan suatu tolak ukur kinerja keuangan yang berbasis nilai. EVA nerupakan suatu tolak ukur yang menggambarkan jumlah absolut dari nilai pemegang saham (shareholder value) yang diciptakan (created atau dirusak (destroyed) oada suati periode tertentu, biasanya satu tahun. EVA yang positif menunjukkan penciptaan nilai (value creation), sedangkan EVA yang negatif menunjukkan oenghancuran nilai (value destriction).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa EVA merupakan suatu alat analisis finansial untuk menilai profitabilitas yang realistis dari operasi perusahaan. Selain itu EVA juga mempertimbangkan dengan adil harapan para penyandang dana, melalui perhitungan biaya modal tertimbang dari struktur modal perusahaan. Amin Widjaja Tunggal pun mengemukakan perbedaan utama pengukuran akuntansi, yaitu laba bersih versi akuntansi hanya memperhitungkan biaya modal dari hutang (cost of debt), dan tidak memperhitungkan biaya modal dari ekuitas (cost of equity). Laba ekonomis memperhitungkan keduanya, cost of debt dan cost of equity. Konsep
EVA
sebagai
alat
pengukuran
kinerja
keuangan
dikemukakan oleh Stern Steward and Co. Rumus dasar EVA adalah laba operasi setelah pajak dikurangi total biaya modal. Tilah ukur yang digunakan adalah apabila EVA > 0 berarti kinerja perusahaan baik, jika EVA = 0 adalah menunjukan posisi impas dan jika EVA < 0 menunjukan tidak ada nilai tambah ekonomis ke dalam perusahaan. b. Pengukuran Economic Value Added (EVA) Agnes Sawir (2004) dalam bukunya Kebijakan Pendanaan & Restrukturisasi Perusahaan menjelaskan bahwa EVA dapat diukur dari Net Operating Profit After Taxes/Laba Operasi Bersih Setelah Pajak (NOPAT) dan modal dalam kinerja akuntansi, yaitu:
EVA = NOPAT - (WACC x Modal yang diinvestasikan)
NOPAT = EBIT (1 - Tarif Pajak)
WACC =
Keterangan:
Modal diinvestasikan = Kewajiban Jangka Panjang + Ekuitas Pemegang Saham NOPAT =
Net Operating Profit After Taxes (Laba operasi bersih
setelah pajak) EBIT = Earning Before Interest and Taxes (Laba sebelum pajak) WACC = Weighted Average Cost of Capital (Biaya modal rata-rata tertimbang) EVA = Economic Value Added T = Tarif pajak Adapun WACC (Weighted Average Cost of Captal/Biaya modal
rata-rata tertimbang) dihitung melalui rumus sebagai berikut: WACC = Wd . Kd (1-t) + We . Ke
dengan penjabaran: Wd . Kd (1-t) = dan We . Ke =
Keterangan: Wd = Persentase hutang dari modal Kd = Tingkat biaya modal hutang setelah pajak t = Tingkat pajak We = Persentase modal yang digunakan Ke = Biaya modal saham Dalam menghitung WACC dilakukan tahap-tahap sebagai berikut : Menghitung Biaya Hutang ( Cost Of Debt ) Kb = i / Interest Bearing Debt maka Kd = Kb ( 1-t ) Keterangan: Kb = Biaya hutang sebelum pajak i = Besarnya bunga yang dibayar Interest Bearing Debt = Total hutang jangka panjang + hutang jangka pendek yang berbunga Kd = Biaya hutang setelah pajak t = Tarif pajak Menghitung Biaya Modal Saham (Cost of Common Stock): Ke = Rf + ( Rm – Rf) Keterangan: Ke = Tingkat pengembalian yang diharapkan Rf = Tingkat suku bunga bebas risiko Rm = Tingkat pengembalian pasar
= Tingkat risiko saham perusahaan
b. Contoh Kasus Perhitungan EVA Amin Widjaja Tunggal dalam bukunya Memahami Economic Value Added (EVA) Teori, Soal dan Kasus (2008: 28), memaparkan contoh perhitungan EVA atas laporan keuangan perusahaan PT. ABC di akhir tahun 2000. Diketahui data laporan keuangan PT. ABC untuk tahun yang berakhir pada tanggal 31 Desember 2000 sebagai berikut:
PT. ABC NERACA Per 31 Desember 2000 (dalam jutaan rupiah) Aktiva Kas
Hutang Rp 100
Hutang Lancar
Rp 500
Piutang Dagang
740
Hutang Bank Jk Pendek
Persediaan
290
Total Hutang Lancar
1.300
Hutang Jangka Panjang
1.520
Total Aktiva Lancar
1.600
Aktiva Tetap Tanah & Bangunan
800
Ekuitas 1.300
Modal Saham
600
Peralatan
820
Laba Ditahan
860
Aktiva Tetap Lain
980
Laba Tahun Berjalan
420
Total Aktiva Tetap Total Aktiva
3.100 Rp 4.700
Total Ekuitas
1.880
Total Hutang & Ekuitas Rp 4.700
PT. ABC Laporan Laba Rugi untuk tahun yang berakhir pada tanggal 31 Desember 2000 (dalam jutaan rupiah) Penjualan bersih
Rp 5.200
Harga Pokok Penjualan
Rp (2.800)
Laba Kotor Penjualan
Rp 2.400
Biaya Penjualan & Administrasi
Rp
(800)
Biaya Penyusutan
Rp
(300)
Biaya Operasi Lainnya
Rp
(200)
Laba Bersih Operasi
Rp 1.100
Biaya Bunga
Rp
(400)
Laba Bersih Sebelum Pajak Penghasilan
Rp
700
Pajak Penghasilan (40%)
Rp
280
Laba Bersih Setelah Pajak Penghasilan
Rp
420
Untuk menghitung EVA PT. ABC dapat dihitunga dengan langkahlangkah sebagai berikut: 1. Menghitung Laba Bersih Setelah Pajak (NOPAT), 2. Menghitung Modal Diinvestasikan (Invested Capital), 3. Menghitung Biaya Modal (Capital Charges), 4. Menghitung EVA, 5. Menyusun EVA Income Statement. Berikut adalah perhitungannya: 1. Menghitung Laba Bersih Setelah Pajak (NOPAT) NOPAT = Laba operasi – Pajak Penghasilan = Rp 1.100 – Rp 280 = Rp 820
2. Menghitung Modal Diinvestasikan (Invested Capital) Invested capital = Total hutang – Non interest bearing liabilities Total Hutang
Rp 4.700
Hutang dagang
(200)
Biaya masih harus dibayar
(500)
Invested capital
Rp 4.000
3. Menghitung Biaya Modal (Capital Charges) Capital charges = weighted avarage cost of capital x invested capital Diasumsikan weighted avarage cost of capital 10% = 10% x Rp 4.000 = Rp 400 4. Menghitunga EVA EVA = NOPAT – Capital Charges = Rp 820 – Rp 400 = Rp 420 5. EVA Income Statement Penjualan Bersih
Rp 5.200
Harga pokok penjualan
Rp 2.800
Laba kotor
Rp 2.400
Biaya penjualan dan administrasi Rp (800) Biaya penyusutan
Rp (300)
Biaya operasi lainnya
Rp (200)
Laba bersih operasi
Rp 1.100
PPh (40)
Rp (280)
NOPAT
Rp
Capital charges
Rp (400)
EVA
Rp
820 420