BAB II LANDASAN TEORI
2.1
Sistem komunikasi kabel laut
2.1.1
Sistem komunikasi kabel laut dengan repeater Untuk jarak link lebih dari 400 kilometer, efek dari attenuasi dan dispersi
optik akan membuat sinyal yang diterima kurang baik. Untuk memecahkan masalah tersebut maka digunakan penguat sehingga sinyal yang diterima akan dikuatkan menjadi sama dengan sinyal yang dikirim. Pemakaian penguat juga akan menguatkan efek dispersi dan gangguan lainnya pada link. Pada awalnya, kabel laut menggunakan regenerator bawah laut yang tidak hanya menguatkan sinyal namun juga akan memperbaikinya kedalam bentuk sinyal asli. Regenerator merupakan suatu peralatan digital yang akan menghilangkan efek distorsi dari dispersi sinyal dan selanjutnya akan mentransmisikan kembali sinyal tersebut sehingga sinyal sama seperti ditransmisikan dari source. Proses perbaikan ini lebih dikenal dengan sebutan 3R yaitu retiming, reshaping dan reamplification. Proses 3R ini tidak bisa dilakukan pada komponen optik oleh karena itu sinyal harus dikonversikan dalam bentuk elektrik, diproses dan dikonversikan kembali kedalam bentuk optik kemudian ditransmisikan kembali. Pada sistem bawah laut teknologi DWDM, regenerator 3R terlalu besar dan mahal untuk diletakkan pada dasar laut, sebagai gantinya maka digunakan Erbium-Dopped Fiber Amplifiers (EDFAs) dalam empat tahun terakhir sehingga
5
sinyal dapat dikirimkan sampai 9000 kilometer tanpa memerlukan regenerasi sinyal (regenerator 3R). Pada 1987 ilmuwan Universitas Southampton di Inggris menemukan bahwa jika pada serat optik ditambahkan unsur erbium maka unsur tersebut dapat berfungsi sebagai penguat optik yang ketika distimulasi dengan pompa laser akan meningkatkan level sinyal selama perjalanan. Pompa laser adalah laser khusus yang akan menguatkan sinyal tanpa konversi elektrik. Penguat optik yang menggunakan EDFAs
mempunyai beberapa
keuntungan dibandingkan menggunakan penguat opto-elektrik. Hal paling utama adalah EDFAs menggunakan lebih sedikit ruang dan lebih andal karena komponen aktif hanyalah pompa laser. EDFAs dapat mencapai peningkatan sinyal hingga 30 dB yang berarti meningkatkan sinyal sampai seribu kali lipat. Ketika kabel laut harus melewati lautan atau samudera maka sistem harus memakai repeater. Repeater ini dipasang setiap jarak 40-90 kilometer. Jarak pemasangan repeater tergantung pada panjang sistem dan kapasitas. Interval repeater harus dipasang lebih dekat pada sistem dengan kapasitas besar. Untuk jarak repeater yang lebih dekat, sistem dengan kapasitas yang besar memerlukan gain equalization atau compensation unit untuk menghitung variasi gain pada wavelength. Gain equalization akan dihasilkan dengan menggunakan filter equalizing. Filter ini diletakan disamping repeater namun juga dapat ditempatkan sebagai unit tersendiri sepanjang fiber setelah setiap 15 sampai 20 repeater.
6
Gambar 2.1 Sistem kabel laut dengan repeater 2.1.2
Komponen-komponen pada kabel laut Sistem Kabel Laut terbagi menjadi dua bagian utama yaitu wet plant yang
terdiri dari komponen-komponen yang berada di perairan/laut dan dry plant yang mencakup perlengkapan dan komponen-komponen yang diletakan di daratan berada pada kedua ujung kabel. 2.1.2.1 Wet Plant Komponen-komponen pada wet plant diantaranya adalah serat optik, equalizer, branching unit, dan repeater (1).
Serat Optik Serat optik terdiri dari serat-serat dari bahan kaca dimana pulsa-pulsa
cahaya dapat ditransmisikan dan dideteksi. Serat optik pertama kali digunakan secara komersial pada akhir 1970 dan berkembang sehingga digunakan untuk jaringan jarak jauh pada pertengahan 1980. Semua serat optik terdiri dari dua lapisan yaitu inti dan selimut. Inti merupakan lapisan dalam tempat sinyal ditransmisikan. Selimut akan melindungi inti dan mempunyai indeks refraksi yang lebih rendah dibanding inti, hal ini menyebabkan cahaya berjalan didalam inti dan
7
akan direfleksikan kembali ke inti. Serat optik biasanya digunakan secara berpasangan karena sinyal pada umumnya akan ditransmisikan secara dua arah. Pada kabel laut, dimana serat optik
rawan terjadi kerusakan akibat
jangkar, lalu lintas kapal dan sebagainya maka pada serat optik perlu ditambahkan semacam pelindung yang akan melindungi serat optik dari kerusakan. Jenis pelindung yang digunakan akan berbeda tergantung dari daerah dimana kabel laut diletakkan. Untuk daerah pantai dimana kabel laut mengalami resiko tertinggi kerusakan karena banyaknya aktifitas manusia pelindung yang digunakan adalah jenis double armour atau rock double armour dimana pelindungnya dilapisi baja sehingga memberikan perlindungan maksimum. Sedangkan pada daerah lepas pantai dimana resiko akan kerusakan tidak terlalu tinggi jenis pelindung yang digunakan adalah single armour ataupun lightweight. Gambar 2.2 menunjukkan jenis pelindung yang digunakan.
Gambar 2.2 Jenis – jenis kabel laut
8
Tabel 2.1 Keterangan jenis kabel laut
(2)
Jenis Kabel
Diameter
Kedalaman
Lightweight Cable
17 mm
s/d 8000 m
Single Armour Light Cable
28 mm
s/d 2000 m
Single Armour Heavy Cable
31 mm
s/d 1500 m
Double Armour Heavy Cable
46 mm
s/d 500 m
Rock Armour Cable
46 mm
s/d 200 m
Equalizer Equalizer merupakan komponen wet plant yang berfungsi untuk
mengkonpensasi dispersi kromatik yang timbul pada serat optik. Equalizer hanya digunakan pada SKKL yang menggunakan teknologi WDM. karena pada teknologi WDM akan menimbulkan gangguan pada serat optik yang disebut dispersi kromatik. (3)
Branching Unit Pada konfigurasi sistem kabel laut terdapat sistem yang menggunakan
beberapa landing point. Sistem ini memerlukan branching unit agar dapat menghubungi beberapa landing point tersebut. Ada beberapa macam hubungan yang dapat dibentuk pada peralatan optik yaitu : fiber add-and-drop, channel addand-drop dan fiber and channel add/drop. Dua tipe terakhir merupakan tipe yang digunakan pada sistem yang memakai teknologi WDM.
9
Gambar 2.3 Branching Unit (4)
Repeater Repeater dapat membuat sinyal yang ditransmisikan mencapai jarak yang
lebih jauh dengan menggunakan Erbium-Dopped Fiber Amplifier (EDFA) untuk meningkatkan power dari sinyal. EDFA adalah serat optik yang intinya dikotori oleh atom erbium. Atom erbium memiliki ion-ion yang mempunyai kemampuan menyerap foton dengan panjang gelombang yang tinggi. Dengan adanya foton di dalam daerah panjang gelombang emisi akan dapat mengawali proses terjadinya emisi yang distimulasi. Hal ini akan menyebabkan terjadinya penguatan sinyal. Selain erbium, unsur-unsur golongan lantanida lainnya yang dapat digunakan yaitu Neodymium dan Praseodymium yang digunakan untuk penguatan sinyal pada panjang gelombang disekitar 1300 nm. Erbium sendiri digunakan sebagai dopant untuk penguatan sinyal pada panjang gelombang disekitar 1550 nm.
Gambar 2.4 Repeater kabel laut
10
2.1.2.2 Dry Plant (1)
Submarine Line termination equipment (SLTE) Fungsi umum SLTE adalah mentransmisikan sinyal dari MUX ke kabel
serat optik dan sebaliknya. Untuk meningkatkan kualitas transmisi maka pada SLTE terdapat proses FEC (Forward Error Correction) pada setiap sinyal STM16. FEC bekerja dengan menambahkan bit syndrome dan bit-bit overhead sehingga sinyal ini akan dikonversi masing-masing menjadi sinyal 2666 Gbps (FEC Frame format). Kedelapan sinyal tersebut tersebut akan digabung dengan proses WDM untuk kemudian ditransmisikan melalui serat optik. Pada sisi penerima akan terjadi proses sebaliknya.
(2)
Power Feed Equipment (PFE) PFE diletakkan pada stasiun kabel laut dengan tujuan memberikan arus
listrik konstan ke komponen
kabel laut seperti repeater dan branching unit
sehingga dapat memberikan energi pada komponen tersebut, Beberapa macam tipe PFE tersedia dengan berbagai tipe tegangan yaitu high, medium, dan low tergantung dari karakteristik tegangan setiap link. Pencatuan dapat dilakukan secara single end feed maupun dual end feed dengan polaritas PFE yang berlawanan.
11
Gambar 2.5 Konfigurasi PFE
(3)
Network Protection Equipment (NPE) Pada sistem SKKL yang konfigurasinya membentuk “ring”, setiap landing
station mempunyai dua pasang fiber pada kabelnya yaitu satu pasang untuk melayani permintaan dan yang lainnya untuk perlindungan. Kabel untuk perlindungan merupakan rangkaian rute back up ketika kabel utama sedang mengalami gangguan, pada setiap landing station akan dipasang NPE untuk dapat menangani penyambungan otomatis dari trafik kabel utama ke kabel perlindungan. NPE merupakan add/drop multiplekser SDH yang akan menggabungkan input-input STM-1 menjadi output STM-16.
(4)
Cable Terminating Box (CTB) CTB berfungsi untuk menyambungkan kabel serat optik dari SLTE ke
serat optik dari kabel laut dan menyambungkan kabel power dari PFE ke lapisan konduktor kabel laut. Dibawah ini adalah gambar dari CTB.
12
Gambar 2.6 Cable Terminating Box (CTB)
(5)
Line Monitoring Equipment (LME) LME berfungsi untuk:
Memonitor level power input dan output Repeater.
Memonitor temperatur dan current bias laser dioda Repeater.
Melakukan perintah switch laser dioda Repeater.
Melakukan perintah switch optik atau add and drop l di BU.
Melakukan automatic fault handling.
Dalam melakukan fungsi monitor LME akan membangkitkan suatu supervisory command ke repeater supervisory interface dan sebagai response maka repeater akan mengirimkan supervisory response ke LME untuk selanjutnya diproses dan diteruskan ke SSE. (6)
Sistem Supervisory Equipment (SSE) SSE berfungsi untuk
Monitoring alarm / status SLTE, PFE, MUX
Monitoring performance transmisi
Switching control SLTE, PFE, dan MUX
13
Monitoring dan switching control Repeater melalui LME
Mendisplay remote station melalui remote SSE
SSE dapat menyediakan automatik periodical report sesuai setting yang ditentukan oleh operator, seperti daily report dan timely report yang mencakup laporan alarm status, performance, dan power feeding current / voltage.
2.2
Sistem Komunikasi Serat Optik Serat optik merupakan salah satu media transportasi untuk menyalurkan
sinyal dengan gelombang cahaya sebagai carrier. Dalam hal ini terjadi konversi dari sinyal elektrik menjadi sinyal cahaya di pemancar dan sebaliknya terjadi di penerima. Jadi bagian penting dari suatu tansmisi serat optik adalah pemancar yang terdiri dari sumber cahaya dan sirkit drive yang mendukung, kabel optik yang memberikan proteksi ke serat optik tersebut, juga penerima yang terdiri dari pendeteksi cahaya dan penguat sinyal. Sumber cahaya yang lazim digunakan pada jarak jauh adalah Laser Diode (LD). Proses terjadinya cahaya karena adanya emisi terstimulasi atau yang lebih dikenal sebagai LASER. Sedangkan untuk pedeteksi cahaya yang biasa digunakan adalah Avalanche Photo Diode (APD) dan Positive Intrinsic Negative Photo Diode (Dioda PIN). Namun untuk transmisi jarak jauh APD lebih baik karena sensitivitas tinggi dan dapat mengakomodasi bandwidth lebih besar. Komponen tambahan lainnya termasuk konektor, splices, couplers atau beam splitters, dan repeaters. Perlindungan pada serat optik sendiri sangat diperlukan. Oleh karena itu, kabel optik mengandung kabel tembaga untuk pencatuan repeater pada
14
transmisi jarak jauh. Instalasi dari serat optik sendiri dapat di udara, pipa, dasar laut, dan di dalam tanah. 2.3
Power Budget Power budget yang biasa disebut juga sebagai link budget atau anggaran
daya saluran adalah suatu metoda untuk memperhitungkan daya cahaya yang sampai pada fotodetektor (penerima) berdasarkan daya yang disampaikan melalui serat dan rugi-rugi di tengah jalan. Gambar 2.6 di bawah ini merupakan ilustrasi dari sistem transmisi optik. Pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa rugi-rugi di tengah jalan dari sistem transmisi optik di antaranya disebabkan oleh: splices, konektor dan atenuasi fiber.
Gambar 2.7 Power Budget Rumus dari link budget diberikan di bawah ini: Power Budget = PTX - PRX . . . (2.1) Dengan rumus (2.1) dapat dihitung seberapa besar daya yang harus dianggarkan agar masih dapat diterima di penerima dengan baik setelah melalui banyak komponen yang menyebabkan banyak redaman. PRX adalah daya yang dapat dideteksi penerima/sensitivitas receiver.
15
Selain power budget, dikenal juga istilah lain yaitu power margin atau sistem margin. Power margin menyatakan “kelebihan” daya atau daya yang disiapkan untuk mengatasi degradasi sinyal. Sistem margin ini sangat penting untuk diperhitungkan karena fiber dapat sewaktu-waktu mengalami gradasi sinyal, misalnya akibat usia fiber yang sudah tua, suhu yang fluktuatif, penambahan komponen yang menambah loss, dsb. Rumus dari power margin diberikan sebagai berikut: Power Margin = Power Budget – Total Loss . . . (2.2) Dari rumus (2.2) tersebut dapat dilihat bahwa besarnya power budget sama dengan besar total loss dalam sistem ditambah dengan power margin. Pada umumnya, besarnya power margin berkisar antara 6-8 dB. 2.4
SKKL Sea-Me-we 3 segmen 3. Pada SKKL SMW3 segmen 3, terdapat 3 landing point yang dihubungkan,
yaitu Jakarta, Tuas, dan Perth (diperlihatkan pada gambar 3.1). Wet plant yang ada pada segmen ini terdiri dari 1 BU, 60 repeater (13 repeater antara Tuas-BU, 47 repeater antara Perth-BU). Serat optik yang digunakan dalam DWDM ini, yaitu serat optic Dispersion Shifted Fiber (DSF) dan single mode Non Zero Dispersion Shifted Fiber (NZDSF) yang dibuat berdasarkan rekomendasi ITU-T G.655 dan pada daerah 1550 nm memiliki dispersi kromatik sebesar 3-6 ps/nm.km. Tujuan dari serat optik NZDSF ini adalah untuk menekan efek fourwave mixing yang dapat mengurangi kapasitas kanal pada sistem DWDM.
16
Pengaruh four-wave mixing akan semakin besar jika nilai dispersinya sangat kecil atau mendekati nol. Total panjang kabel laut serat optik yang digunakan pada segmen ini adalah 4782 Km
Gambar 2.8 Konfigurasi Sea-Me-We 3 Segmen 3 Setiap landing point tersambung dengan 2 fiber pair, dan setiap 1 fiber pair menuju ke landing point lawan yang berbeda. Pada sistem awal SMW3 Segmen 3 (sebelum upgrade), tiap 1 fiber pair memuat kapasitas 8 × STM-16, atau sama dengan 8 × 2,5 Gbps. Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, karakteristik sistem awal ini dapat dilihat pada tabel 2.2
17
Tabel 2.2 Spesifikasi Sea-Me-We3 segmen 3 Parameter
Karakteristik
Landing point
Jakarta, Tuas, Perth
Kapasitas sistem
8 x STM-16 untuk tiap landing point
Panjang kabel total sistem
4782 Km
Jenis kabel serat optik
DSF + NZDSF
Jumlah Branching Unit (BU)
1 BU
Jumlah total repeater
60 repeater
Jenis repeater
EDFA
Teknologi SLTE
WDM
Mulai beroperasi
Agustus 1999
2.5
Teknologi Wavelength Division Multiplexing (WDM) Keterbatasan yang ada pada sistem fiber optik terhadap pertumbuhan trafik
jaringan backbone yang mengalami pertumbuhan yang sangat pesat sehingga kapasitas jaringan penuh telah melahirkan sebuah pemikiran untuk memanfaatkan jaringan yang ada dibandingkan membangun jaringan baru. Salah satu solusinya adalah teknologi WDM. WDM
pada
prinsipnya
adalah teknologi
yang berfungsi
untuk
menyalurkan berbagai jenis trafik (voice, data dan video) secara transparan, dengan menggunakan panjang gelombang yang berbeda satu sama lain dalam satu fiber tunggal secara simultan. Teknologi ini dapat diimplementasikan pada jaringan long haul maupun short haul.
18
Yang menjadi alasan mengapa teknologi WDM menjadi pilihan cara yang paling popular dan banyak diimplementasikan adalah dengan WDM kapasitas jaringan dapat ditambah tanpa menambah jumlah fiber. Penambahan jumlah fiber tidak efisien dalam biaya. Dengan WDM, kapasitas dapat dikembangkan dengan meningkatkan
kemampuan
multiplekser
dan
demultiplekser
di
dalam
menggabungkan sejumlah cahaya dengan panjang gelombang yang berbeda menjadi satu. WDM dibagi menjadi dua jenis, yaitu: DWDM (dense) dan CWDM (coarse). Perbedaan utama antara keduanya adalah dalam hal channel spacing yang menentukan besarnya kapasitas jaringan yang dapat dihasilkan. Semakin rapat (dense) channel spacing, maka kapasitas semakin besar karena dapat dibentuk kanal cahaya yang lebih banyak dalam sistem/panjang gelombang yang dapat dimultipleks semakin banyak. Namun, pada prinsipnya keduanya memiliki konsep yang sama yaitu menggunakan beberapa panjang gelombang cahaya pada sebuah fiber. Ada tiga window optik yang digunakan pada transmisi optik, yaitu: window pertama pada 850 µm, window kedua pada 1300 nm dan window ketiga pada 1550 nm (Gambar 2.1). WDM bekerja pada window ketiga karena memiliki absorpsi/redaman yang paling minimum. Untuk sistem transmisi WDM, ada tiga band yang telah didefinisikan pada window optik ketiga ini: - S band : 1460 to 1490 nm - C band : 1530 to 1565 nm - L band : 1565 to 1595 nm 19
Gambar 2.9 Kurva redaman optic terhadap panjang gelombang operasi 2.5.1
DWDM (Dense Wavelength Division Multiplexing) DWDM meningkatkan kapasitas dari fiber dengan mengalokasikan setiap
sinyal optik yang datang ke frekuensi (panjang gelombang) yang spesifik dalam suatu rentang frekuensi tertentu dan kemudian memultipleks sinyal-sinyal optik tersebut dan mengirimkannya melalui satu fiber.
Gambar 2.10 Skema Fungsi DWDM Langkah-langkah berikut menjelaskan proses DWDM pada umumnya (Gambar 2.10): a. Transponder menerima input dalam bentuk single-mode maupun multimode. Input dapat berasal dari media fisik dan infrastruktur yang berbeda dan protocol serta tipe trafik yang berbeda.
20
Gambar 2.11 Independensi DWDM dari sinyal yang berbeda format b. Panjang gelombang dari setiap sinyal input dipetakan ke panjang gelombang DWDM. c. Panjang gelombang DWDM dari transponder dimultipleks ke sebuah sinyal optik dan disalurkan melalui fiber. Sistem juga memungkinkan kemampuan untuk menerima sinyal optik langsung ke multiplekser, misalnya sinyal dari sebuah satelit. d. Sebuah post-amplifier menguatkan sinyal sebelum ditransmisikan melalui fiber. e. Optical line amplifier digunakan sepanjang fiber sesuai dengan kebutuhan. f. Sebuah pre-amplifier menguatkan kembali sinyal sebelum masuk ke endsistem. g. Sinyal yang datang didemultipleks menjadi panjang gelombang DWDM (sesuai dengan langkah b) h. Setiap panjang gelombang DWDM tersebut akan dipetakan ke tipe output yang dibutuhkan dan dikirimkan melalui transponder
21
2.5.2
Komponen Dasar DWDM
2.5.2.1 Transponder Transponder menerima input dalam bentuk single-mode maupun multimode laser. Input dapat berasal dari berbagai media fisik, protocol dan tipe trafik yang berbeda-beda. Wavelength converting transponder pada dasarnya menerjemahkan/mengubah panjang gelombang sinyal client ke satu panjang gelombang sistem DWDM dalam band 1550 nm.
Gambar 2.12 Ilustrasi Transponder 2.5.2.2 Terminal Multiplexer Terminal multiplexer atau line terminal pada dasarnya mengandung sebuah wavelength converting transponder untuk setiap panjang gelombang yang akan dibawa. Wavelength converting transponders menerima sinyal optik masukan, mengubahnya menjadi sinyal elektrik, dan ditransmisikan kembali menggunakan laser pada band 1550nm.
22
Gambar 2.13 Ilustrasi line terminal 2.5.2.3 Terminal Demultiplexer Komponen ini berfungsi untuk memisahkan sinyal multi-wavelength kembali menjadi sinyal individu dan mengeluarkan masing-masing sinyal tersebut melalui fiber yang terpisah untuk dideteksi oleh penerima. Pada prakteknya, realisasi terminal demultiplexer ini menggunakan komponen/modul yang sama dengan line terminal, hanya saja diletakkan di sisi penerima dengan fungsi berkebalikan.
Gambar 2.14 Terminal demultiplexer
23
2.5.2.4 Optical Add/Drop Multiplexer (OADM) OADM berfungsi untuk menyisipkan maupun mengeluarkan satu atau lebih panjang gelombang pada beberapa titik sepanjang link antara multiplekser dan demultiplekser. Selain itu OADM juga bisa digunakan untuk melewatkan (pass through) panjang gelombang. OADM merupakan kunci untuk menuju generasi all-optical network.
Gambar 2.15 Ilustrasi OADM Terdapat dua jenis OADM, yaitu: Fixed OADM (FOADM) dan Reconfigurable OADM (ROADM). Pada FOADM, pengaturan add-drop dan pass through panjang gelombang diatur secara manual di perangkatnya. Sedangkan, pada ROADM pengaturan tersebut dapat dilakukan secara remote melalui software. Hal ini memberikan efisiensi dalam biaya dan kepraktisan. 2.5.2.5 Optical Supervisory channel (OSC) OSC berfungsi untuk melakukan supervisi secara remote terhadap semua network element (NE) sepanjang lintasan WDM. Selain itu, OSC menyediakan order-wires (data channel dan voice channel) untuk user. OSC membawa informasi tentang sinyal optik multi-wavelength dan juga kondisi jarak jauh di
24
terminal optik dan juga EDFA. Biasanya, OSC juga digunakan untuk melakukan upgrade software jarak jauh dan untuk keperluan informasi user/network operator. ITU menyarankan agar OSC seharusnya menggunakan struktur sinyal OC-3, walaupun beberapa vendor telah memilih untuk menggunakan 100 Mb Ethernet atau format sinyal yang lain. 2.6
BER (Bit error rate) dan Q-Faktor BER didefinisikan sebagai jumlah kesalahan bit yang ditransmisikan
dalam selang waktu satu detik. Untuk membuat BER tidak bergantung pada laju transmisi bit (bit-rate), maka BER dihitung sebagai probabilitas rata-rata kesalahan identifikasi bit. BER sebesar 10-6
berarti kemungkinan 1 (satu)
kesalahan bit untuk tiap satu juta bit yang ditransmisikan. Dewasa ini, sebuah system transmisi diharapkan setidaknya mempunyai BER sebesar 10 -10 untuk level STM-16 dan 10-12 untuk level STM-64. Penerima optic mempunyai rangkaian pengambil keputusan untuk menentukan apakah bit-bit yang dating adalah ‘1’ atau ‘0’. Rangkaian ini bekerja dengan membandingkan sinyal yang datang terhadap nilai ambang tertentu (ID). Agar BER minimum, nilai ambang diatur pada :
Pada persamaan diatas, I dan σ menyatakan rata-rata dan varians dengan indeks 0 dan 1 masing-masing untuk bit 0 dan bit 1. Bila σ0 = σ1, maka ID adalah rata-rata dari I0 dan I1. BER pada setting ambang seperti ini bisa dihitung :
25
Dengan factor Q pada persamaan sebelumnya didefinisikan sebagai :
Dari persamaan ini terlihat bahwa Q digunakan untuk menyatakan factor kualitas. Nilai Q yang semakin besar menunjukkan perbedaan yang semakin nyata antara bit 0 dan bit 1 yang jelas akan menyebabkan pendeteksian bit semakin baik.Hubungan antara BER dan factor Q diperlihatkan pada gambar 4.1 berikut ini.
Gambar 2.16 Hubungan antara BER dan Q-faktor 2.7
Optical Sinyal to Noise Ratio (OSNR) OSNR merupakan perbandingan antara power dari sinyal dengan noise
pada sinyal. OSNR yang baik biasanya dinyatakan dengan nilai yang besar dengan satuan dB. Bila P menyatakan daya sinyal dan Pn adalah daya noise, maka OSNR dihitung sebagai :
26
27