BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Rasa Rendah Diri 2.1.1 Pengertian Rasa Rendah Diri Adler (dalam Suryabrata, 1983) menjelaskan bahwa sejak menjadi dokter Adler telah menaruh perhatian terhadap fungsi-fungsi jasmani yang kurang sempurna, hal ini dirumuskan dalam Organ minderwertigheit und ihre psychische kompensastionen (1912). Mula-mula Adler menyelidiki tentang kenapakah apabila orang sakit itu menderita didaerah-daerah tertentu pada tubuhnya, misalnya ada orang sakit jantung, ada yang sakit paru-paru, dan ada lagi yang sakit punggung dan sebagainya. Adler berpendapat bahwa daerah tersebut kekurangan kesempurnaan atau minderwertgkeit (inferiority), baik karena dasar maupun karena kelainan dalam perkembangan. Selanjutnya Adler menemukan bahwa orang yang mempunyai organ yang kurang baik itu berusaha mengkompensasikannya dengan jalan memperkuat organ tersebut melalui latihanlatihan yang intensif. Contoh yang terkenal mengenai kompensasi terhadap organ yang kurang sempurna adalah Demonthenes yang pada masa kanak-kanaknya menggagap, tetapi karena latihan-latihan akhinya menjadi orator yang paling sempurna. Adler menerbitkan monograf tentang monderwertigkeit von organen. Adler memperluas pendapatnya tentang rasa rendah diri mencakup segala kurang berharga timbul karena ketidakmampuan psikologis, sosial yang dirasa secara subyektif, ataupun fisik (karena keadaan jasmani yang kurang sempurna). Pada 10
mulanya Adler menyatakan inferioritas itu “kebetinaan” dan kompensasinya disebut “protes kejantanan”, akan tetapi kemudian ia memasukkan hal itu kedalam pengertian yang lebih luas yaitu rasa diri kurang atau rasa rendah diri yang timbul karena perasaan kurang berharga atau kurang mampu dalam bidang penghidupan apa saja. Misalnya saja anak merasa kurang jika membandingkan diri dengan orang dewasa, dan karenanya didorong untuk mencapai taraf perkembangan yang lebih tinggi, dan apabila dia telah mencapai taraf perkembangan timbul lagi rasa diri kurangnya dan didorong untuk maju lagi, demikian selanjutnya. Adler berpendapat, bahwa rendah diri itu bukanlah suatu pertanda ketidak-normalan, melainkan justru melainkan pendorong bagi segala perbaikan dalam kehidupan manusia. Rasa rendah diri berlebihan sehingga manifestasinya juga tidak normal, misalnya timbul komplek rendah diri atau komplek untuk superior.
Dalam
keadaan normal rasa rendah diri itu merupakan pendorong ke arah kemajuan atau kesempurnaan (superior). Adler bukanlah seorang hedonist; walaupun rasa rendah diri adalah penderitaan, namun hilangnya rasa rendah diri tidak mesti berarti datangnya kenikmatan. Bagi Adler tujuan manusia bukanlah mendapatkan kenikmatan, akan tetapi mencapai kekuasaan.
Adler (dalam Alwisol, 2005) menyatakan rasa rendah diri adalah perasaan seseorang lebih rendah dibanding orang lain dalam satu atau lain hal (orang yang merasa rendah diri cenderung bersikap egosentris, memposisikan diri sebagai korban, merasa tidak puas terhadap dirinya, mengasihani diri sendiri dan mudah menyerah). Perasaan lebih rendah dapat muncul sebagai akibat sesuatu yang nyata atau hasil imajinasi saja. Rasa rendah diri sering terjadi tanpa disadari dan 11
bisa membuat orang yang merasakannya melakukan kompensasi yang berlebihan untuk mengimbanginya, berupa prestasi yang spektakuler, atau perilaku antisosial yang ekstrem, atau keduanya. Tidak seperti rasa rendah diri yang normal (keinginan dihormati, dihargai, keinginan dipuji) yang dapat mendorong pencapaian prestasi, sedangkan rendah diri yang abnormal (rasa tinggi hati yang berlebihan, menganggap dirinya sangat tinggi, egois, dan punya kecenderungan untuk menolak orang lain) yang akan merusak dirinya sendiri. kompleks rasa rendah diri adalah berupa keadaan putus asa parah, yang mengakibatkan orang yang mengalaminya melarikan diri saat mengalami kesulitan. Penelitian awal dalam bidang ini dipelopori oleh Alfred Adler, yang menggunakan contoh kompleks yang dialami Napoleon untuk mengilustrasikan teorinya. Seperti yang diketahui, Napoleon Bonaparte dikenal juga dengan teori sindrom orang pendek yang konvensional yang terkenal dengan sindrom Napoleon atau sindrom orang kecil. Seperti dilansir dari Buzzle (dalam Wahyuningsih (2010), sindrom orang pendek adalah teori yang berhubungan dengan orang-orang bertubuh mungil alias pendek. Teori ini menunjukkan bahwa beberapa orang pendek memiliki rasa rendah diri karena bertubuh pendek dan cenderung mengimbanginya dengan aspek lain di kehidupannya. Orang-orang yang berpostur pendek ditemukan sangat agresif dan pencemburu berat. Ini hanya diduga sebagai kondisi psikologis, dan terjadi pada beberapa orang pendek yang berkelamin laki-laki. Sindrom ini bukanlah gangguan mental tetapi dianggap sebagai stereotip sosial yang merendahkan. Adler berpendapat bahwa kompleks rendah diri juga dapat dirasakan pada tingkatan yang lebih luas, yaitu pada suatu budaya dari bangsa 12
tertentu. Selanjutnya menurut teori ini, Kaisar Napoleon Bonaparte selalu mengimbagi perawakannya yang pendek dengan menjadi sangat agresif. Teori ini juga terkait dengan penguasa agresif lainnya, seperti Hitler dan Mussolini. Pada aspek sosialnya anak bertubuh jauh lebih pendek dari yang lain akan diintimidasi oleh teman-temannya. Perasaan kompleks muncul seperti rendah diri pada anakanak, yang akan membuatnya selalu berusaha keras untuk mendapat perhatian yang lebih besar, juga menuntut kekuasaan dan kontrol atas orang lain. Ini akan membuatnya menjadi orang yang agresif ketika dewasa kelak.
Adler (dalam Boerre, 2006) menyatakan setiap individu ditarik ke arah pemenuhan, penyempurnaan dan aktualisasi diri. Namun sebagian orang yang sakit jiwa pada akhirnya gagal memenuhi keinginan individu itu sendiri, mengalami ketidaksempurnaan dan tidak mampu mengaktualisaikan dirinya, itu semua terjadi karena individu tidak memiliki kesadaran sosial, atau dalam bahasa yang positif, karena individu terlalu mementingkan diri-sendiri. Pertanyaannya sekarang adalah apa yang menyebabkan begitu banyak dari individu yang mementingkan diri-sendiri. Adler mengatakan itu semua terjadi karena individu terlalu dikuasai oleh inferioritas individu sendiri. Kalau individu merasa mampu dan percaya diri melakukan segalanya sendirian, individu akan memiliki perhatian pada orang lain. Tapi kalau keadaanya tidak demikian, kalau kehidupan sepertinya tidak berpihak pada individu, maka segenap perhatian individu pun akan tertuju hanya pada diri individu itu sendiri. Tentu saja setiap orang menderita dengan keinferioran yang mereka alami dalam berbagai bentuk. Misalnya, Adler mengawali analisis teoretisnya dengan membahas inferioritas organ, yaitu 13
kenyataan bahwa setiap individu memiliki kelemahan, sekaligus kelebihan tertentu, baik secara anatomi atau fisiologi. Ada diantara individu yang lahir dengan kondisi jantung lemah, atau mengidap kelainan jantung dini, ada lagi yang memiliki paru-paru lemah, asma atau polio, ada yang mengalami masalah penglihatan, pendengaran atau otot sejak kecil, diantara individu ada yang sudah punya kecenderungan gemuk sejak kecil, dan tidak ada pula jarang pula ada yang sejak kecil sudah kerempeng (kurus), sementara ada yang sejak kecil sudah tidak bisa diharapkan pertumbuhannya, serta masih banyak lagi contoh yang lain. Adler menyatakan bahwa tidak jarang orang dalam menghadapi inferioritas organik semacam ini dengan cara kompensasi. Individu berusaha menutupi kelemahankelemahannya dengan berbagai cara. Kelemahan secara fisik bisa diatasi dengan cara melatihnya bahkan bisa menjadi lebih kuat dibanding yang lain, atau ada lagi orang yang mengkompensasi kelemahan fisiknya secara psikologis karena masalah-masalah fisik bisa mendorong perkembangan bakat atau gaya kepribadian tertentu. Individu tentu pernah mengagumi kelebihan orang yang memiliki kelemahan fisik. Sayangnya, tidak sedikit pula orang yang gagal mengatasi kesulitan-kesulitan seperti ini, sehingga individu menjalani hidupnya dengan perasaan tertekan dan menderita. Adler berpendapat masyarakat yang sangat optimistik sekarang ini tidak terlalu memperhatikan jumlah orang-orang yang seperti ini. Namun Adler kemudian melihat bahwa ini bukanlah akhir dari keseluruhan cerita.
Menurut Adler (dalam Boerre, 2006) orang-orang lebih banyak mengidap inferioritas psikologis. Di antara individu yang dicap sebagi orang bodoh, nakal, 14
lemah dan sebagainya. Di antara individu ada yang mulai meyakini tidak mampu berbuat hal-hal positif. Di sekolah individu mengikuti ujian berkali-kali dan memperoleh nilai yang menunjukkan individu berada jauh dibawah teman lain atau individu dilecehkan karena tampang yang jelek sehingga tidak punya teman atau tidak punya pacar atau ketika individu terpaksa ikut main bola basket, individu siap dicaci maki oleh anggota tim yang lain. Dalam contoh ini, yang jadi persoalan bukan lagi keinferioran jasmaniah karena secara fisik kita tidak kurang apa-apa, tetapi individu perlahan-lahan mulai membenci diri sendiri. Kemudian individu akan mencari kompensasi
dengan cara mencari sisi-sisi baik dari
kekurangan-kekurangan tadi. Kompensasi itu didapat dengan cara berusaha untuk lebih dibidang yang lain, akan tetapi pada waktu yang sama tetap memelihara perasaan inferior tadi. Bahkan ada sebagian orang yang tidak mampu mengembangkan sisi baik apapun dalam keadaan seperti ini. Kompleks inferioritas bukan persoalan kecil, atau bisa dikatakan penyakit yang neurosis, artinya masalah inferioritas sama besarnya dengan masalah kehidupan itu sendiri. Individu akan menjadi pemalu dan penakut, merasa tidak aman, ragu-ragu, pengecut, tertindas dan sebagainya. Individu mulai mempercayakan diri pada orang untuk mengatur hidup individu itu sendiri, dan individu mulai memanfaatkan orang lain, tidak ada orang yang betah dengan individu tersebut yang disebut dengan inferioritas sosial. Selain dengan kompensasi dan kompleks inferioritas, masih ada lagi cara lain yang dilakukan orang untuk merespon sifat inferioritas yang ada dalam dirinya, yaitu kompleks superioritas. Kompleks superioritas berarti menutupi kelemahan dan keinferioritas individu dengan cara 15
berpura-pura punya kelebihan dan superior. Jika individu merasa tubuh bertumbuh besar adalah menganggap orang lain bertubuh kecil. Diktator dan orang yang senang mengintimidasi adalah contoh hal ini, sedangkan contoh yang paling jelas adalah orang yang sok pahlawan, orang yang memandang rendah orang lain berdasar ras, etnik, asal, agama, orientasi seksual, atau postur tubuh mereka. Bahkan ada lagi individu menyembunyikan kelemahannya dengan cara yang lebih halus, yaitu dengan terlibat dengan alkohol dan narkoba.
Adler (dalam Chiril, 2010) menyatakan Man is pushed by the need to overcome his inferiority and pulled by the desire to be superior. Bahwa manusia dilahirkan dengan kekurangan tertentu yang membawa rasa rendah diri. Rasa rendah diri ini akan mendorong individu untuk berusaha mengatasinya agar individu mencapai rasa superior dan mencapai kesempurnaan. Ada dua tipe rendah diri yang biasanya dialami oleh semua individu yaitu rasa rendah diri terhadap aspek fisik diri dan aspek kejiwaan atau psikologis. Rasa rendah diri terhadap aspek fisik diri yang disebut juga rendah diri organ. Ada di dalam diri individu efek dari tanggapan subjektifnya atas bentuk fisik miliknya yang mana dikatakan kurang sempurna. Perasaan inferiority organ dialami oleh individu yang dilahirkan cacat anggota badannya. Ada juga individu normal dapat mengalami perasaan inferiority organ karena diri individu berpikiran negatif dan pesimis terhadap diri sendiri. Tidak heran, jika ada individu yang mengambil jalan pintas dengan menjalani operasi wajah demi mendapatkan kepuasan dan menghilangkan perasaan rendah diri di dalam dirinya. Kemudian, inferior kejiwaan yang terjadi subjektif efek dari ketidaksesuaian individu menghadapi dunia sosialnya. 16
Perasaan inferior ini turut muncul dalam diri individu dalam pengaruh layanan orang tua yang diterima saat di awal 5 tahun pertama. Baik individu ini dimanjakan atau diabaikan oleh ibu dan ayah menjadi faktor yang menyumbang kepada pembentukan kepribadian individu ketika dewasa. Pengasuhan orang tua yang tidak toleran dengan anak dipercaya mampu memberi langkah kepada anak bersikap memberontak dan bersikap anti-sosial. Proses memampas inferioriti ini akan terjadi terus menerus (cycle through lifetime) dan terjadi di sepanjang hayat. Karena itu, inferior ini perlu dilihat dari perspektif yang positif. Dalam perasaan inferior, manusia sebenarnya mengalami proses perkembangan yang sehat dan individu merupakan satu kritik yang konstruktif buat diri sendiri dan dalam pada saat yang sama individu menjadi lebih peka terhadap kelemahan dan kelebihan diri sendiri.
2.1.2 Ciri-ciri Rasa Rendah diri Dari tahun ke tahun teori rasa rendah diri Adler sudah dikembangkan menjadi teori yang lebih spesifik, kuat, mudah untuk dipelajari dan dipahami. Empat pengertian tentang rendah diri dari teori Adler yang dari tahun-ke tahun seperti yang
dikemukakan oleh Suryabrata (1983), Alwisol (2005), Boeree
(2006), Chiril (2010), dan ciri-ciri rasa rendah diri menurut Adler dalam Kumbarini (2010). Dari setiap pendapat yang dikembangkan oleh tokoh ditemukan pendapat yang berbeda yang mengupas rasa rendah diri tetapi apabila dipahami akan sama-sama menjelaskan rasa rendah diri. Penulis dapat
17
menyimpulkan ciri-ciri dari rendah diri yang dikelompokkan menurut aspek fisik, psikologis, dan sosial dalam teori Adler seperti dibawah ini: 1. Adler (dalam Suryabrata, 1983), ciri-ciri rendah diri mencakup: a. Fisik
: Jasmani kurang sempurna dan orgam inferiority rendah karena daerah tersebut kekurangan kesempurnaan baik karena dasar maupun karena kelainan dalam perkembangan
b. Psikologis
: Perasaan kurang berharga
c. Sosial
: perasaan kurang mampu dalam kehidupan sosial.
2. Adler (dalam Alwisol, 2005) ciri-ciri rendah diri mencakup: a. Fisik
: Tubuh pendek
b. Psikologis : Memposisikan diri sebagai korban, merasa tidak puas terhadap
dirinya,
mengasihani
diri
sendiri,
mudah
menyerah, agresif, egosentris. c. Sosial
: kecenderungan menolak orang, diintimidasi oleh temanteman.
3. Adler (dalam Boeree, 2006). Ciri-ciri rendah diri mencakup: a. Fisik
: Inferioritas organ (lahir dengan kondisi jantung lemah,
mengidap kelainan jantung dini, memiliki paru-paru lemah, asma / polio, mengalami masalah penglihatan, pendengaran atau otot sejak kecil, sudah ada kecenderugan gemuk sejak kecil, sejak kecil sudah tidak bisa diharapkan perkembangannya. b. Psikologis
: Selalu dicap sebagai orang yang bodoh, nakal,
lemah, dilecehkan. 18
c. Sosial : Malu, penakut, merasa tidak aman, ragu-ragu, pengecut, tertindas. 4. Adler (dalam Chiril, 2010). Ciri-ciri rendah diri mencakup: a.Fisik
: Cacat angggota tubuh, rendah diri organ (penyakit), individu normal dapat mengalami perasaan inferiority organ karena diri individu berpikiran negatif dan pesimis terhadap diri sendiri (disfungsi).
b.Psikologis
: berfikiran negatif, pesimis.
c.Sosial
: dimanja, diabaikan, pengasuhan yang tidak toleran.
Adler (dalam Kumbarani, 2011) mengemukakan ciri-ciri rendah diri ini akan terus menerus mengingat keterbatasan individu, sebagai hasil dari tindakan orang tua yang terlalu otoriter atau tekanan dari teman sebaya. Keterbatasan ini mungkin dalam penampilan fisik, perbedaan budaya, respons emosional, dan keterampilan dasar tertentu. Dengan terus-menerus mengingat keterbatasan ini, maka seseorang akan mulai menunjukkan ciri-ciri dari rasa rendah diri. Individu juga mengembangkan mekanisme pertahanan diri yang akan digunakan setiap kali mereka merasa rendah diri. Mekanisme pertahanan diri yang kemudian menjadi ciri-ciri dari rasa rendah diri.
Ciri-ciri orang yang rendah diri dikemukakan Adler (dalam Kumbarani, 2011) sebagai berikut:
19
1. Menarik diri dari kehidupan sosial. Individu yang merasa rendah diri akan menarik diri dari lingkungan sosialnya. Menganggap dirinya tidak berharga dibanding orang lain yang mereka anggap lebih baik dalam setiap hal. 2. Kelainan fisik. Seperti kepincangan, lemah, kerdil, cacat, bagian wajah yang
tidak
proposional,
ketidakmampuan
dalam
bicara
maupun
penglihatan, akan mengakibatkan reaksi emosional dan berhubungan dengan pengalaman yang tidak menyenangkan pada kejadian sebelumnya 3. Menyalahkan
Dunia.
Individu
yang
merasa
rendah
diri
selalu
menyalahkan faktor ekternal, misalnya nasib sial, perusahaannya, atau lingkungannya secara umum, setiap kali dia mengalami kegagalan yang disebabkan oleh dirinya sendiri. Individu tidak mampu untuk menerima bahwa kegagalannya mungkin terjadi karena kesalahannya sendiri. Karena itulah, individu menuntut bahwa seluruh dunia harus bertanggung jawab atas penderitaan dan kegagalannya. 4. Mencela. Salah satu ciri paling umum dari orang yang menderita rasa rendah diri adalah sikap yang suka mencela. Sebagai contoh, individu mungkin tidak mampu untuk melakukan suatu pekerjaan dengan benar, dan jika temannya bisa melakukannya dengan baik, maka dia mengaitkan kesuksesan temannya itu dengan faktor luar, misalnya bantuan dari orang lain, atau keberuntungan. Dia tidak pernah mengaitkan kesuksesan temannya itu dengan kemampuan yang dimiliki oleh temannya. Cara ini
20
digunakannya sebagai jalan untuk menolak kebenaran atau fakta bahwa sebenarnya temannya tersebut memang lebih ahli dibanding dirinya. 5. Tidak Sportif. Orang yang rendah diri menolak untuk berpartisipasi dalam semua jenis kompetisi, dimana kemampuan individu akan diuji melawan orang lain. Meski individu melakukannya, sikapnya yang suka mencela akan muncul. Meski begitu, dia sangat menikmati kemenangan, walau itu mungkin bukan atas usahanya sendiri. 6. Sangat Sensitif. Orang yang punya rasa rendah diri sangat sensitif terhadap pujian dan kritikan. Jika dipuji, individu akan mempertanyakan ketulusan dari orang yang memuji, dan jika dikritik, individu akan segera mempertahankan diri. Individu tidak bisa merespon humor ringan dengan baik. Bila dilontarkan komentar secara tidak sengaja individu mungkin akan menanggapinya dengan serius. 7. Memancing Pujian. Orang yang rendah diri sangat suka memancing pujian dari orang lain. Akan tetapi, terkadang, meski ingin sekali dipuji, individu mungkin tidak mau menerimanya dan percaya bahwa orang yang memuji tersebut hanyalah karena dipancing. 8. Takut Membuat Kesalahan. Orang yang rendah diri juga takut untuk mencoba sesuatu yang baru, karena jauh di dalam hatinya dia sangat takut membuat kesalahan sehingga akan terus menerus teringat dengan kesalahannya tersebut. 9. Bersikap Kasar. Orang rendah diri, sering berbicara lantang, bahkan sampai bersikap kasar. Ini berasal dari keinginan untuk membuktikan pada 21
dirinya dan orang lain bahwa dia juga mampu untuk melakukan hal-hal yang dilakukan oleh orang lain.
Dari ciri-ciri rendah diri menurut teori Adler yang dapat dikategorikan oleh penulis dalam 3 aspek, dapat menyimpulkan bahwa ciri-ciri tersebut mempunyai hasil yang tumpang tindih dan hampir sama. Yang membedakan hanyalah bentuk penjelasannya dari setiap teori rendah diri dari Adler yang dikembangkan oleh Suryabrata (1983), Alwisol (2005), Boeree (2006), Chiril (2010) dan Kumbarini (2011). Berikut ini penulis menjabarkan dan menjelaskan aspek rendah diri Adler dengan menggolongkan ciri-ciri rendah diri untuk dimasukkan ke setiap aspek rendah diri untuk diterapakan dengan instrumen yang dipakai:
1. Dari aspek fisik, Alwisol, Boeree, Chiril dan Kumbarini menjelaskan lebih spesifik ke dalam bagian fisik dan organ inferiority seperti: bertumbuh pendek/kerdil, kepincangan, cacat, bagian wajah yang tidak proposional, ketidakmampuan dalam bicara maupun penglihatan, aspek fisik lebih kedalam organ inferiority bentuk fisik kurang sempurna, cacat anggota tubuh dan tubuh yang normal mengalami inferiority organ karena diri individu berfikiran negatif dan pesimis terhadap dirinya (disfungsi), kondisi jantung lemah, mengidap kelainan jantung dini, memiliki paruparu lemah, asma atau polio, mengalami
masalah penglihatan,
pendengaran atau otot sejak kecil, sejak kecil sudak kerempeng, ada yang sejak kecil sudah tidak bisa diharapkan pertumbuhannya. sedangkan 22
Suryabrata menjelaskan lebih luas yaitu jasmani kurang sempurna dan juga menjelaskan mengenai organ inferiority karena daerah tersebut kekurangan kesempuran baik karena dasar maupun karena kelainan dalam perkembangan. Jadi kesimpulannya dari perbedaaan mengenai ciri-ciri rendah diri tersebut akan menjadi lebih kuat, jelas dan mudah dipahami setelah dimasukkan ke aspek fisik. 2. Dari aspek psikologis, Suryabrata, Alwisol, Boeree, Chiril dan Kumbarini menjelaskan masing-masing lebih spesifik contohnya: Perasaan kurang berharga, Memposisikan diri sebagai korban, merasa tidak puas terhadap dirinya, mengasihani diri sendiri, mudah menyerah,agresif, egosentris, Selalu dicap sebagai orang yang bodoh, nakal, lemah, dilecehkan, berfikiran negatif, pesimis, takut membuat kesalahan, menyalahkan dunia, berfikir negatif. walaupun dalam penjelasannya saling tumpah tindih/tidak sama tetapi apabila dipahami akan sama-sama menjelaskan bahwa ciri-ciri rendah diri tersebut masuk ke aspek psikologis. Jadi kesimpulannya dari perbedaaan ciri-ciri rendah diri tersebut akan menjadi lebih kuat, jelas dan mudah dipahami setelah dimasukkan ke aspek psikologis. 3.
Dari aspek sosial, Suryabrata, Alwisol, Boeree, Chiril, dan Kumbarini menjelaskan masing-masing lebih spesifik contohnya: perasaan kurang mampu dalam penghidupan, kecenderungan menolak orang, diintimidasi oleh teman-teman, Malu, penakut, merasa tidak aman, ragu-ragu, pengecut, tertindas, dimanja, diabaikan, pengasuhan yang tidak toleran, menarik diri dari kehidupan sosial, mencela, tidak sportif, sangat sensitif, 23
memancing pujian, bersikap kasar. walaupun dalam penjelasannya saling tumpang tindih/tidak sama tetapi apabila dipahami akan sama-sama menjelaskan bahwa ciri-ciri rendah diri tersebut masuk ke aspek sosial. Jadi kesimpulannya dari perbedaaan ciri-ciri rendah diri tersebut akan menjadi lebih kuat, jelas dan mudah dipahami setelah dimasukkan ke aspek sosial.
Jadi dapat dinyatakan dari setiap aspek yang dikembangkan menjadi sebuah kesimpulan bagian yang utuh dalam rasa rendah diri dilihat dari aspek fisik, psikologi dan sosial. Dengan ciri-ciri yang utuh dan aspek rendah diri dari teori Adler penulis lebih mudah untuk memasukkan ciri-ciri rendah diri ke dalam setiap aspek untuk menjadi sebuah instrumen/kisi-kisi rendah diri yang lebih mudah untuk dipahami. Penulis membuat check list yang terdiri dari instrumen rendah diri dari teori Adler yang dikembangkan oleh Suryabrata, Alwisol, Boeree, Chiril dan Kumbarini. Check list yang sudah jadi akan dipergunakan untuk membuat pernyataan/item sebagai alat untuk mengetahui siswa yang mempunyai rasa rendah diri.
2.1.3 Jenis Rasa Rendah Diri
Adler (dalam Alwisol, 2005) mengemukakan dimana aliran Adler menunjukkan perbedaan antara rasa rendah diri primer dan sekunder Rasa rendah diri primer berakar dari pengalaman sebenarnya dari masa anak saat individu lemah, tak berdaya, dan tergantung pada orang dewasa. Perasaan demikian bisa 24
lebih meningkat saat dibandingkan dengan sesamanya atau dengan orang dewasa. Rasa rendah diri sekunder berhubungan dengan pengalaman orang dewasa saat individu gagal mencapai tujuan akhir yang tidak disadari dan fiktif berupa keamanan subjektif dan berhasil mengkompensasi perasaan rendah dirinya. Jauhnya pencapaian tujuan akan membawa pada perasaan kurang yang akan mengembalikan perasaan rendah dirinya, gabungan perasaan rendah diri demikian akan sangat terasa. Tujuan yang ditentukan untuk menghilangkan rasa rendah diri pertama yang bersifat primer justru menjadi penyebab rasa rendah diri kedua yang bersifat sekunder. Catatan Adler yang berjudul “Classical Adlerian Theory and Practice” Stein (1999 dalam Susanto. Y, 2011), menyebutkan dengan istilah primary dan secondary inferiority. Keminderan primer adalah keminderan yang adanya terletak di wilayah kepribadian kita yang paling dalam (core personality). Biasanya ini terkait dengan nilai-nilai yang kita anut atau motif. Keminderan primer sama seperti keminderan general. Sedangkan keminderan sekunder adalah bentuk keminderan yang letaknya berada di wilayah kepribadian yang di permukaan. Biasanya ini terkait dengan pengetahuan, keterampilan informasi, atau sikap. Misalnya individu minder berdampingan dengan orang yang lebih alim, lebih pakar, lebih hebat, atau lebih banyak menguasai informasi. Keminderan sekunder ini biasanya lebih mudah diubah ketimbang keminderan primer. Umumnya, keminderan primer itu adanya di alam bawah sadar individu. Sedangkan keminderan sekunder itu adanya di alam Sadar individu. Hal lain lagi yang perlu kita ketahui juga terkait dengan keminderan ini adalah ada bentuk 25
keminderan tertentu yang berasal dari opini tentang diri individu itu sendiri. Keminderan perseptual itu misalnya individu punya penilaian yang kurang atau penilaian yang negatif tentang diri sendiri. Banyak orang yang menilai dirinya tidak mampu padahal sebetulnya kemampuan itu dimiliki. Ada juga keminderan faktual, misalnya terkait dengan kecacatan fisik, kelas ekonomi, status sosial, dan seterusnya. 2.1.4 Penyebab Rasa Rendah diri Minder umumnya berawal dari penilaian diri yang buruk. Menurut Adler (dalam Kumbarani, 2011) kebanyakan orang merasa minder karena mengalami inferioritas yang ditandai adanya perasaan tidak kompeten atau kekurang mampuan diri. Perasaan ini dapat muncul karena orang tersebut merasa (atau betul-betul) memiliki kekurangan secara fisik, sosial maupun psikis. Seseorang yang selalu membandingkan dirinya dengan orang lain, dan merasa dirinya lebih rendah, akan memunculkan rasa minder. Orang perfeksionis, yaitu orang yang sangat takut penampilannya tidak memuaskan (penampilan fisik maupun hasil karyanya), juga menandakan bahwa yang bersangkutan mengalami inferioritas. Karena merasa inferior, pada umumnya individu cenderung menarik diri dari lingkungan sosial. Perasaan inferior tumbuh sejak masa kanak-kanak. Minder umumnya muncul dari pengalaman masa lalu. Pada masa perkembangan, anakanak dikondisikan untuk merasa bahwa dirinya memiliki hal yang memalukan. Akibatnya merasa tidak sebaik orang lain. Perasaan inferior seringkali tumbuh karena sikap atau perilaku orang tua, guru atau orang dewasa, yang kurang tepat terhadap anak-anak. Orang dewasa seringkali melakukan penolakan dan koreksi 26
negatif terhadap anak-anak. Julukan yang sifatnya olok-olok dan merendahkan yang setiap dialami dapat menjadi penyebab seseorang menjadi inferior. Orang tua yang perfeksionis memiliki harapan terlalu tinggi dan tidak realistik terhadap anak turut mendorong lahirnya sifat inferior. Ketika anak tidak dapat memenuhi harapan orang tuanya, anak akan merasa tak mampu dan merasa tidak berguna sehingga munculah minder.
Penyebab rasa rendah diri menurut Adler (dalam Hasanah, 2011) : 1. Saat lahir - setiap orang lahir dengan perasaan rendah diri karena pada waktu itu individu tergantung kepada orang lain yang berada di sekitarnya. 2. Sikap orangtua - memberikan pendapat dan evaluasi negatif terhadap perilaku dan kelemahan anak di bawah enam tahun akan menentukan sikap anak tersebut. 3. Kekurangan fisik - seperti kepincangan, bagian wajah yang tidak proporsional,
ketidakmampuan
dalam
bicara
atau
penglihatan
mengakibatkan reaksi emosional dan berhubungan dengan pengalaman tidak menyenangkan sebelumnya. 4. Keterbatasan mental - membawa rasa rendah diri saat dilakukan perbandingan dengan prestasi orang lain, dan saat diharapkannya penampilan yang sempurna membawa anda yng mempunyai keterbatasan mental dapat menjadi rendah diri.
27
5. Kekurangan secara sosial - keluarga, ras, jenis kelamin, atau status sosial. Yang dianggap lebih rendah / kurang dibanding keluarga, rasa, status sosial, kelompok bangsa lain.
Kemudian ditambah dengan penyebab rendah diri yang dikemukakan Adler (dalam Mukherjee , 2011) yang dijelaskan sebagai berikut: bahwa rendah diri disebabkan rasa ketidakmampuan sebagian besar muncul ketika ada konflik emosional antara keinginan pengakuan dan takut dipermalukan. Orang-orang yang telah menghadapi diskriminasi sosial karena status ekonomi mereka, warna kulit, agama, dll berada pada risiko lebih tinggi menderita masalah ini. Pendidikan adalah faktor lain bertanggung jawab untuk masalah ini. Mereka yang dirawat tidak merata oleh orang tua pada tahun-tahun formatif mereka cenderung menderita dari itu. Sayangnya, dalam masyarakat kita, mereka yang memiliki fisik cacat atau cacat mental diperlakukan sangat buruk. Mereka harus berjuang banyak untuk
mendapatkan
pengakuan
dan
rasa
penerimaan
dari
masyarakat.
Kekecewaan berulang dan penolakan memberi mereka sebuah kompleks rendah diri 2.1.5 Gejala-gejala Rasa rendah diri Menurut Adler (dalam Kuntjojo, 2010) kompleks inferioritas adalah perasaan yang berlebihan bahwa dirinya merupakan orang yang tidak mampu. Adler menyatakan bahwa gejala tersebut paling sedikit disebabkan oleh tiga hal, yaitu : a. Memiliki cacat jasmani, b. dimanjakan, dan c. dididik dengan kekerasan Masrun (dalam Kuntjojo, 2010). 28
Tanda-tanda bahwa seorang anak mengalami kompleks inferioritas adalah gagap dan buang air kecil waktu tidur (ngompol). Kompleks inferioritas bukan persoalan kecil, melainkan sudah tergolong neurosis atau gangguan jiwa, artinya masalah tersebut sama besarnya dengan masalah kehidupan itu sendiri. Orang yang menunjukkan dirinya penakut, pemalu, merasa tidak aman, ragu-ragu. adalah orang yang mengidap komplek inferioritas Adler (dalam Alwisol, 2005). Memperhatikan gejala-gejala yang telah diuraikan (gagap, ngompol, penakut, pemalu, tidak aman, ragu-ragu) banyak faktor inferioritas disebabkan oleh pengaruh lingkungan yang tidak mendukung. Kebanyakan dari mereka benarbenar dihadapkan pada situasi dimana mereka merasa tidak berguna, tidak bisa apa-apa, dan juga tidak diterima oleh lingkungannya. Membangkitkan kepercayaan diri orang yang inferior merupakan pekerjaan yang tidak mudah, karena cenderung munculnya perasaan tersebut sulit dihindari.
Adler (dalam Kumbarani, 2011) menyebutkan ada 5 gejala inferioritas yang paling umum, diantaranya :
1. Perilaku mencari perhatian. Dengan berbagai cara, subjek inferior secara terus menerus berusaha mendapatkan perhatian. 2. Dominasi, yaitu jika seseorang berbuah seolah-olah berkuasa atas sesuatu yang sebenarnya justru menyebabkan dirinya merasa minder. 3. Eksklusif, yaitu perilaku tidak terlibat dalam aktifitas sosial dan lebih suka menyendiri akibat banyak kekurangan.
29
4. Kompensasi, jika seseorang menyembunyikan perasaan inferiornya dengan mengembangkan diri, sehingga akhirnya mendatangkan respek dan perhatian dari orang lain. 5. Kritis, yaitu jika seseorang memiliki kebiasaan mengkritik orang lain dalam upaya menciptakan dan memelihara citra bahwa dirinya lebih mampu dari orang lain.
Adler (dalam Mukherjee , 2011) membahas gejala rendah diri dilihat dari fisik, psikologis dan sosial yang dimana pada beberapa orang, rasa tidak mampu hanya imajiner dan diciptakan oleh pikiran mereka. Di lain, masalah itu bisa benar-benar ada. Apapun terjadi, mengakui masalah ini sangat penting. Beberapa yang umum diidentifikasi gejala rendah diri yang kompleks adalah sebagai berikut.
1.
Individu merindukan untuk mendapatkan pujian dan pengakuan dari orang lain sepanjang waktu. Jika Individu tidak mendapatkan pujian yang bagus, mereka merasa sedih.
2.
Individu selalu sibuk dalam menunjukkan kesalahan orang lain. Hal ini terjadi hanya karena individu tidak menyukai diri-sendiri sebagai pribadi dan tidak yakin tentang diri individu sendiri, individu merasa sulit untuk memiliki perasaan positif tentang orang lain.
3.
Individu takut kritik. Individu sepenuhnya menyadari kekurangan mereka tapi jika orang lain mengatakan hal itu maka individu merasa dipermalukan. 30
4.
Beberapa orang dapat berubah agresif dan mencoba untuk mendominasi orang lain. Individu mungkin terlibat dalam beberapa kompetisi yang tidak sehat. Ini adalah sebuah usaha di bagian individu untuk mendapatkan lebih dari tekanan psikologis individu sendiri.
5.
Beberapa orang, di sisi lain, dapat menjadi sangat pemalu dan penakut. Mereka menghindari pertemuan sosial dan mengisolasi diri dari masyarakat
2.1.6 Cara mengatasi rasa rendah diri Adler membahas tentang striving for superiority, yaitu dorongan untuk mengatasi inferiority dengan mencapai keunggulan. Dorongan ini sifatnya bawaan dan merupakan daya penggerak yang kuat bagi individu sepanjang hidupnya. Adanya striving for superiority menyebabkan manusia selalu berkembang ke arah kesempurnaan. Teorinya ini yang membuat Adler memiliki pandangan lebih optimis dan positif terhadap manusia serta lebih berorientasi ke masa depan dibandingkan Freud yang lebih berorientasi ke masa lalu (Charles, 2010). Individu memulai hidupnya dengan kelemahan fisik yang menimbulkan perasaan inferior. Perasaan inilah yang kemudian menjadi pendorong agar dirinya sukses dan tidak menyerah pada inferioritasnya. Adler berpendapat bahwa manusia memulai hidup dengan dasar kekuatan perjuangan yang diaktifkan oleh kelemahan fisik neonatal (Alwisol, 2005).
Kelemahan fisik menimbulkan
perasaan inferior. Individu yang jiwanya tidak sehat mengembangkan perasaan inferioritasnya secara berlebihan dan berusaha mengkompensasikannya dengan 31
membuat tujuan menjadi superioritas personal. Sebaliknya, orang yang sehat jiwanya dimotivasi oleh perasaan normal ketidak lengkapan diri dan minat sosial yang tinggi. Individu berjuang menjadi sukses, mengacu kekesempurnaan dan kebahagiaan siapa saja. Alwisol (2005) meringkas konsep Adler tentang perjuangan mencapai tujuan final sebagai kompensasi pribadi dan sebagai minat sosial dalam diagram alur berikut ini ( dalam Kuntjojo, 2010). TUJUAN FINAL DIPERSEPSI KABUR
DI
TUJUAN FINAL DIPERSEPSI JELAS
SUPERIORITAS PRIBADI
DI
SUKSES
KEUNTUNGAN PRIBADI
MINAT SOSIAL
PERASAAN TAK LENGKAP YANG BERLEBIHAN
PERASAAN TAK LENGKAP YANG NORMAL
PERASAAN INFERIOR
PERJUANGAN MENJADI SUPERIOR
KELEMAHAN FISIK
KEKUATAN PERJUANGAN YANG DIBAWA SEJAK LAHIR
Bagan 1: PERJUANGAN MENCAPAI TUJUAN FINAL (sumber :Adler (dalam Alwisol, 2005))
32
PERJUANGAN MENJADI SUKSES
2.2 Konseling Kelompok Adlerian 2.2.1 Teori Konseling Kelompok Adlerian Karena asumsi dasar Adler dari semua yang penting didalam kepribadian sosial makhluk hidup, dia tertarik bekerja dengan konseli dalam konteks konseling kelompok. Dinkmeyer (1975 dalam Corey, 1984) menyediakan ringkasan yang bagus dari dorongan mayor model kelompok Adlerian yang berisi pendekatan Adlerian menekankan pada keberhasilan kerjasama pasien dan membantunya mengantisipasi kesuksesan. Investigasi psikologis yang terjadi dalam kelompok memerlukan eksplorasi dari konstelasi keluarga dan pandangan subjektif dari pendekatan pada tugas kehidupan kepedulian diberikan kepada keluhan, masalah, dan perasaan individu: penafsiran dibuat terutama motif, maksud, dan tujuannya. Orientasi kembali terjadi sangat efektif seperti konseli dihadapkan dengan teknik bayangan seperti konseli melihat tujuan dan tekniknya dan menjadi sadar akan kekuatannya untuk membuat keputusan. Allen (1971 dalam Corey, 1984) menuliskan bahwa sistem Adler menarik perhatian besar dan jumlah pengguna yang sedang bekerja sesuai dengan sistemnya berkembang secara cepat. Dari hanya sedikit penganut dinegara ini beberapa dekade yang lalu. Jumlah dari pengikut berkembang menjadi ribuan dengan beberapa peneliti menyatakan sebanyak 20.000 orang awam dan profesional menganut teknik Adler. Jumlah dari ketertarikan dalam kerja Adler dilihat dari meningkatnya jumlah institusi nasional dan internasional yang menawarkan pelatihan teknik 33
Adler, termasuk konseling kelompok Adlerian sesuai Manaster dan Corsini (1980 dalam Corey,1984), ada 1977 organisasi Adlerian di Austria, Denmark, Prancis, Jerman, Britania, Yunani, Israel, Italia, Belada, Switzerland, dan Amerika. Di Amerika Utara ada kelompok psikologi Adlerian bagian Amerika Utara, sekitar selusin bagian atau asosiasi daerah. Dinkmeyer, Pew, dan Dinkmeyer (1979 dalam Corey,1984) memberi alamat dari 65 institusi pelatihan perhimpunan dan organisasi pendidikan keluarga, semua di Amerika. 2.2.2 Aplikasi Prinsip Adlerian pada konseling kelompok 2.2.2.1 Rasional Konseling kelompok Kelompok menyediakan konteks sosial dimana anggotanya dapat mengembangkan rasa kepemilikan dan komunitas Dinkmayer (1975 dalam Corey, 1984) menulis bahwa anggota kelompok datang dan melihat bahwa banyak masalah mereka adalah kepribadian interpersonal, sikap mereka mempunyai pengertian sosial dan bahwa tujuan mereka dapat dimengerti secara baik dalam kerangka tujuan sosial beberapa faktor konseling spesifik yang didiskripsikan Dinkmayer dalam kelompok Adlerian: 1. Kelompok menyediakan sebuah cermin dari sikap seseorang. 2. Anggota mendapatkan keuntungan dari feedback dari anggota yang lain dan ketua kelompok 3. Anggota memperoleh bantuan dari yang lain dan memberikan bantuan. 4. Kelompok menyediakan kesempatan untuk mengetes kenyataan dan mencoba sikap yang baru 34
5. Kontek kelompok mendorong anggota untuk membuat komitmen untuk mengambil bagian untuk mengubah hidupnya. 6. Transaksi dalam kelompok membantu anggota mengerti bagaimana fungsi mereka dalam pekerjaan dan rumah dan juga memperlihatkan bagaimana anggota mencari tempat mereka dalam komunitas. 7. Kelompok disusun sebagaimana mestinya bahwa anggota dapat bertemu kebutuhan mereka. 2.2.3 Tujuan Konseling Kelompok Adlerian Menurut Dinkmayer (1979 dalam Corey, 1984), konseling kelompok Adlerian mempunyai 4 tujuan pokok yang berhubungan dengan 4 siklus proses konseling konseling kelompok. Tujuan ini digunakan untuk konseling indivdu dan konseling kelompok: 1. Membangun dan mempertahankan hubungan empati antara konseli dan konselor yang berdasarkan pada kepercayaan bersama dan rasa hormat dan dimana konseli merasa dimengerti dan diterima konselor 2. Menyediakan suasana konseling dimana konseli dapat datang untuk mengerti kepercayaan dasar mereka dan perasaan tentang dirinya dan menemukan mengapa kepercayaan mereka bisa salah. 3. Membantu konseli mengembangkan pandangan ketujuan mereka yang salah dan kebiasaan kalah diri melalui proses konfrontasi dan interpretasi 4. Membimbing konseli dalam menemukan alternatif dan mendorong mereka untuk membuat keputusan yang memberi pandangan pada tindakan.
35
2.2.4 Teknik Konseling kelompok Adlerian Konseling Adlerian menggunakan berbagai teknik untuk membantu siswa untuk mengeksplorasi perilaku. beberapa teknik ini tepat untuk konseling secara umum dan lainnya lebih sesuai untuk pengaturan individu atau kelompok. beberapa penjelasan teknik umum mengikuti: 1. Pelacakan. Siswa berpindah dalam ruangan, konselor sekolah yang profesioanal mengatakan kepada siswa apa yang sedang dia lakukan. contonya, "kamu memilih sebuah truk dan bawa itu kesini”. Ini dapat digunakan untuk mengembangkan hubungan dengan siswa dan untuk mengatakan bahwa apa yang dia lakukan itu ssangat penting. Teknik ini sangat bekerja dengan baik dalam konseling (Kottman & Johnson, 1993) 2. Pemberitahuan kembali. Mengulang pernyataan dari apa yang mau siswa katakan. Jika siswa mengatakan, “ boneka itu ingin memelukmu.” Konselor dapat merespon dengan “ boneka itu ingin memelukku”. Teknik Menyatakan kembali akan menjadi yang lebih sesuai di dalam konseling dan sebagai cara untuk menyajikan, mengembangkan hubungan dan membantu siswa untuk mengembangkan diri. Kottman & Johnson (1993 dalam Erford , 2004) 3. Refleksi. Mencerminkan emosi siswa untuk membantunya menjadi lebih sadar dan memahami perasaan sendiri. konselor harus berusaha untuk mencerminkan level permukaan dari emosi baik menekankan perasan. Sebuah contoh siswa melempar mainan rusak, menendang dan berkata, "Yang selalu terjadi padaku" Konselor mungkin mengatakan "Kadang-kadang Anda merasa
36
marah karena hal-hal tidak bekerja dan Anda merasa seperti yang sering terjadi pada Anda” Kottman & Johnson (1993 dalam Erford, 2004) 4. Ingatan awal. Teknik ini mengharuskan siswa untuk mengingat beberapa peristiwa kehidupan awal (yang biasanya berasal dari waktu siswa itu 4-6 tahun). Ingatan ini membantu konselor untuk mengidentifikasi apa yang siswa percaya tentang dunia, dirinya, dan orang lain. ingatan ini dapat mencerminkan tema sebaik emosi yang spesifik adalah penting untuk memahami siswa. Konselor dapat mengidentifikasi jika siswa menyampaikan perasaan aman, dirawat, dan dapat mengontrol hal-hal. Kottman & Johnson (1993 dalam Erford, 2004) 5. Metafora konseling. Siswa akan sering menggunakan metafora dari simbol dan konselor sekolah yang profesional dapat menggunakan metafora siswa untuk mengerti dan membantu anak mengerti diri mereka. Ini dapat digunakan dalam konseling, dimana siswa akan menggunakan metafora secara spontan, seperti “ Ini boneka ayah. Dia datang ke rumah dan berubah menjadi dokter dan memakan memakan seluruh keluarga, Kottman & Johnson (1993 dalam Erford, 2004). Secara jelas contoh ini menyediakan konselor sekolah yang profesional dengan yang sangat bagu tentang bagaiman perasaan siswa dan melihat dunia. 6. Bercerita bersama. Metafora siswa dapat juga digunakan untuk membantu siswa memahami kepercayaan dan pandangan hidupnya. Konselor sekolah yang profesional dapat memiliki anak yang menceritakan sebuah cerita dari permulaan tengah dan akhir. Cerita siswa mungkin berisi beberapa 37
kepercayaan dan persepsi yang salah dan konselor sekolah yang profesional dapat mengambil keuntungan untuk mengulang cerita dengan pandangan yang lebih positif dan adaptif untuk membantu siswa mengembangkan perspektif baru Kottman & Johnson (1993 dalam Erford, 2004)). Game bercerita bersama (Erford, 2000) progam CD-ROM yang berbasis progam window membantu memfasilitasi siswa bercerita bersama dengan menyediakan latar belakang dan karakter yang berbeda. 7. Permainan konseling. Siswa yang lebih tua tidak berharap untuk mendatangi konseling atau tidak ingin untuk mendiskusikan emosinya atau untuk mengubah perilaku mereka. Game, antara yang dibeli ditoko dan game spesial yang didesain untuk konseling, seperti beberapa seri yang dikembangkan oleh Erford (2004) ( progam CD-ROM berbasis Window 2000 a-b, 2001 a-c, 2002 a-c), dapat digunakan untuk memancing siswa yang enggan. Bermain game dapat menyediakan konselor sebuah kesempatan untuk mengamati perilaku siswa dan untuk mengidentifikasi beberapa dari sikap siswa dirinya dan orang lain. Game yang dimainkan dalam kelompok, secara umum dapat menyediakan imformasi tentang kemampuan sosial, keinginan untuk menunggu, mengambil bagian menangani ketidakjanjian. Konselor sekolah yang profesional dapat menggunakan kemampuan ini untuk membantu siswa menemukan pikirannya. Berperasaan dan perilaku, mengembangkan rasa kompetensi, dan membangun harga diri. Kadang siswa mengatakan ketiak bermain game dan memberi informasi yang lebih dari sesi tatap muka, Kottman (1990 dalam Erford). 38
8. Simulasi dan bermain peran. Menggunakan drama yang kreatif dapat memotivasi
siswa yang lebih tua dalam pengaturan kelompok. anggota
kelompok dapat menggunakan bermain peran untuk menemukan perilaku yang berbeda dan untuk mengamati bagaimana perilaku ini berakibat pada yang lain. Simulasi dan bermain peran dapat dengan membantu anggota kelompok mengembangkan sikap empati untuk orang lain, mengembangkan kemampuan
sosial,
menemukan
dunia
terdalam
dengan
lainnya,
mengembangkan kemampuan mendengarkan dan kehadiran, bekerjasama dengan
yang
lain,
belajar
kemampuan
mengambil
keputusan,
dan
mengembangkan kemampuan untuk mengamati dan mengevaluasi diri yang lain, Kottman (1990 dalam Erford, 2004) 9. Pertanyaan “dapatkah ini”. Pertanyaan “ dapatkah ini” membuat konselor menjadi sadar tentang perasaan salah perilaku siswa dan membantu siswa mengidentifikasi salah perilakunya. Jadi, jika konselor merasa terganggu oleh kesadaran siswa mencoba untuk membuat konselor melihatnya, konselor dapat berkata “ dapatkah ini Kamu membuatku sibuk karena Kamu ingin aku memberi perhatian kepadamu?”. Ini akan membantu siswa menjadi lebih sadar denngan tujuan dari salah perilakunya, Poppen dan Thompson (1974 dalam Erford, 2004). 10. Tujuan paradoxical. Sebuah eksperimen, konselor dapat memiliki siswa melakukan kebalikan dari apa yang siswa harapkan untuk menemukan gejala atau salah perilaku. Ini dapat membantu siswa mengembangkan kesadaran yang besar dari akibat salah perilakunya jika dia tidak menahan diri 39
melakukan ini, tapi dengan sengaja melakukan ini. Contohnya, jika konselor mengatakan kepada siswa, sama seperti eksperimen, untuk dengan sengaja tidak membuat tugas rumah. Ini mungkin membantu siswa menjadi sadar dengan fakta bahwa dengan memilih perilakunya. Dengan tidak membuat tugas rumah tidak atraktif ketika ini diijinkan, dan mem bangtu siswa melihat bagaimana bodoh dan lucu siswa salah perilaku mereka, Dinkmayer (1979 dalam Erford, 2004). Teknik ini harus digunakan secar hati-hati untuk waktu yang terbatas, dengan siswa yangs sesuai (dan dengan persetujuan dan dukungan dengan guru siswa) untuk bekerja secara efektif. 11. Berpura-pura pada subklien. Teknik ini menyambut kepada sebuah kegiatan sekolah asrama dimana siswa akan berpura-pura untuk membuat siswa menyerah. Disini, konselor mengidentifikasi tujuan dan mengulangi beberapa salah perilaku dan merusak kelucuan. Dari siswa dengan menurunkan kesenangan klien mungkin dapat dari salah perilaku. Contohnya, konselor mungkin dengan merefleksi kepada siswa yang lebih tua bahwa masalah minum-minumannya mungkin adalah cara untuk siswa tetap berhubungan kepada ayah yang dia nyatakan benci, karena ayah adalah alkoholic dan itu adalah sesuatu yang klien dapat bagikan, Carlson & Sperry (2001 dalam Erford, 2004). 12. Berakting “seperti jika”. Konselor sekolah yang profesional dapat memiliki siswa, sebuah tugas atau latihan, berakting dengan cara dia ingi berakting. Siswa mungkin menahan diri pada awalnya, mengatakan bahwa ini hanya berpura-pura dan tidak nyata. Bagaimanapun juga, konselor dapat 40
menghubungkan untuk mencoba pikiran baru untuk mengganti pakaian. Siswa mungkin mencoba untuk memakai dan melihatnya bekerja. Jika siswa tidak mencoba dan merasa lebih baik, klien mungkin memutuskan untuk berperilaku berbeda. Ini dapat dilakukan untuk beberapa waktu, kemudian siswa dapat kembali kepada konselor untuk mendiskusikan hasilnya, Dinkmayer (1979 dalam Erford, 2004). Sebuah contoh seperti bahwa siswa yang malu dapat berakting seperti dengan berkata ramah dan mengatakan “ hallo” untuk tiap orang yang ditemui. 13. Menangkap seseorang. Seperti siswa menjadi lebih sadar, konselor sekolah yang profesional dapat menyarankan bahwa siswa menangkap dirinya melakukan sesuatu yang siswa mungkin ingin ubah. Pertama, siswa akan mencoba untuk menangkap dirinya terlalu lambat melakukan sesuatu. Seperti praktek siswa belajar untuk mengantisipasi dan mencegah situasi tertentu / mengubah perilakunya. Ini dapat dilakukan dengan rasa humor, dan bekerja baik jika siswa dapat tertawa tentang dirinya, Dinkmayer (1979 dalam Erford, 2004). 14. Membuat perpindahan. Kadang, siswa harus dimotivasi untuk berubah. Taktik ini harus digunakan secara hati-hati dan dalam rasa percaya dan hubungan konselor sekolah yang profesional berkembang dengan siswa. Untuk membuat perpindahan, konselor dapat menggunakan kejutan untuk menghantam siswa keluar dari kemalasan. Contohnya, jika siswa memutuskan ingin menyerah, konselor mungkin setuju dengannya, Dinkmayer (1979 dalam
41
Erford, 2004). Jika digunakan secara benar, tida mengatakan hal yang diinginkan dapat berakibat dalam waktu dari kesadaran diri yang dalam. 15. Mencegah pemberontakan kekuatan. Sering, siswa akan mencoba sejalan dengan konselor dalam peran dasar pada keinginan siswa dan keyakinan tentang dunia. Dengan demikian, siswa mungkin mencoba untuk memancing konselor ke dalam mengukur yang siswa tidak suka. Konselor harus tetap sadar tentang perasaan anak mencoba untuk memperoleh dan mencegah memberinya untuk rasa tersakiti atau ketidakberanian. Secara umum, konselor mencegah kekuatan pemberontakan dengan anak, Dinkmayer (1979 dalam Erford, 2004). 16. Pengaturan tugas dan komitmen. Disini, konselor membantu siswa untuk mengidentifikasi apa yang dia dapat lakukan dengan masalah dan berjanji untuk melakukan ini untuk periode waktu yang spesifik. Jika siswa sukses, siswa mungkin merasa didorong dan berlanjut untuk berubah. Jika tidak, perilaku baru dapat ditemukan dan siswa dapat mencoba lagi, Dinkmayer (1979 dalam Erfort, 2004) 17. Teknik tekan tombol. Siswa mengerti bahwa siswa bertanggung jawab untuk perasaan baik baik dan buruk yang siswa alami. Manusia mengatur mood siswa. Teknik ini, siswa dapat di tuntun secara mental mengalami sendiri sesuatu yang memberi perasaan yang sangat baik. Kemudian, siswa dapat menvisualisasi sebuah pengalaman yang membuatnya merasa sangat buruk. Sama seperti anak melakukan ini, konselor sekolah yang profesional dapat membantu siswa belajar untuk menghubungkan bagaimana pikiran 42
seseorang tentang pengalaman yang menuntun perasaan seseorang tentang pengalaman, Carlson & Sperry (2001 dalam Erford, 2004).
2.2.5 Fase-fase / Tahap-tahap Konseling Kelompok Adlerian Dreikurs (1969 dalam Corey, 1984) menggarisbawahi dari 4 fase konseling kelompok yang berhubungan dengan 4 tujuan konseling: 1. Membangun dan mempertahankan hubungan konseling secara menyeluruh 2. Menemukan kerja dinamis pada individu (analisa) 3. Mengkomunikasikan pada individu sebuah pengertian dari pandangan diri 4. Melihat allterntif baru dan membuat pilihan baru (orientasi kembali) Fase 1: Membangun dan mempertahankan hubungan konseling secara menyeluruh Pada fase awal penekanan pada membangun hubungan terapi yang baik berdasar kepada kerjasama dan saling menghormati. Anggota kelompok didorong untuk aktif dalam proses, anggota bertanggung jawab atas partisipasi ke dalam kelompok. Tidak selalu mudah untuk membuat situasi aktif karena meskipun konseli yang sangat berani untuk membuat perubahan mungkin tidak ingin untuk melakukan pekerjaan yang diperlukan untuk partisipasi kelompok efektif dan mungkin diputuskan untuk membuktikan bahwa konseli tak berdaya, Dreikurs (1969 dalam Corey, 1984). Dreikurs melihat sebuah kelompok kondusif untuk hubungan baik antara konseli dan konselor. Pada situasi kelompok ada terdapat kesempatan cukup saat bekerja dalam issu kepercayaan dan untuk memperkuat
43
hubungan antara anggota dan ketua. Juga menyaksikan perubahan dalam kelompok, anggota dapat mengamati nilai yang terjadi pada kelompok kerja. Hubungan konselor dan konseli dalam konseling Adlerian adalah hubungan seimbang. Konselor dan konseli bekerja bersama menuju tujuan bersama. Kontrak mungkin menjadi bagian dari usaha konseling. Dalam kelompok kontrak mengindikasi apa yang konseli inginkan dan harapkan dari kelompok menunjukan tanggung jawab dari ketua dan anggota. Adlerian percaya bahwa konseling, individu atau dalam kelompok, berjalan hanya ketika proses konseling difokuskan pada apa yang konseli lihat secara personal signifikan dan pada area yang mereka ingin temukan dan ubah. Ini apa yang, Dreikers (1967 dalam Corey, 1984) dikatakan bahwa kepribadian bekerja bersama dari hubungan terapi Adlerian dan dari kebutuhan untuk pelurusan dari tujuan konseli dan konselor: Kerjasama konseling memerlukan sebuah pelurusan tujuan. Ketika tujuan dan ketertarikan dari pasien dan konselor berkonflik tidak ada hubungan yang memuaskan yang dapat di bangun. Memenangkan kerjasama pasien untuk tugas biasa adalah syarat untuk setiap konseling: mempertahankan ini memerlukan kesiagaan yang terus menerus. Apa yang muncul sebaga ”perlawanan merupakan perselisihan antara tujuan konselor dan pasien” Fase 2: Menemukan kerja dinamis pada individu (analisis) Tujuan dari fase ke dua adalah mengerti gaya hidup seseorang dan melihat bagaimana gaya hidup berakibat pada fungsi seseorang dalam semua tugas hidup, Musak (1979 dalam Corey, 1984). Ketua memulai dari menemukan bagaimana fungsi anggota kelompok sekarang pada pekerjaan dan situasi sosial dan 44
bagaimana merasakan diri dan identitas peran jenis kelamin. Dinkmayer (1979 dalam Corey, 1984) menulis bahwa perkiraan awal ini dapat disempurnakan dengan menunjukkan prioritas konseli, mungkin dengan bertanya pertayaan seperti ” apa tujuan utama dalam hidupmu? Kesuksesan? kekuatan? Keamanan? Menyenangkan orang lain dengan memberikan keinginan mereka” tujuannya untuk membimbing orang-orang pergi dari kemustahilan dari posisi “ hanya jika. Contohnya, “ hanya jika aku berhasil menyenangkan orang lain disetiap waktu aku menghindari perasaan gagal”. Sesuai Dreikurs (1969 dalam Corey, 1984), tujuan individu dan gaya hidup sekarang menjadi lebih jelas dalam interaksi yang lain didalam kelompok. Juga, individu mungkin merespon secara berbeda ketika dilawan oleh anggota yang lain daripada ketika mereka dilawan oleh konselor itu sendiri. Analisa dan perkiraan tergantung dengan berat pada penemuan dari konstelasi keluarga konseli, dimana termasuk mengevaluasi kondisi yang menang dalam keluarga ketika seseorang sebagai anak kecil dalam proses membentuk keyakinan gaya hidup dan asumsi dasar. Dinkmayer (1979 dalam Corey, 1984) mendiskripsikan kuesioner konstilasi keluarga yang menyediakan pada persepsi diri konseli, hubungan kandung, dorongan signifikan dalam diri mereka dan keputusan yang dibuat konseli Prosedur perkiraan yang lain dengan menyuruh konseli untuk melaporkan rekoleksi awal, peristiwa spesifik yang diingat dari awal usia balita, dengan perasaan dan pikiran yang menyertai kejadian mereka. Rekoleksi awal ini lebih dari laporan: konseli memperlihatkan keyakinan, “kesalahan dasar“, persepsi 45
kesalahan diri, hukum unik dari gerakan psikologi Dinkmayer (1979 dalam Corey, 1984). Adlerian berpendapat bahwa orang-orang mengingat peristiwa masa lalu yang konsisten dengan pandangan konseli sekarang tentang dirinya, Adler (1958 dalam Corey, 1984). Dreikers (1969 dalam Corey, 1984) menambahkan bahwa kerika orang-orang mengembangkan pandangan itu, mereka menyadari hanya bahwa sesuai dengan pandangannya. Persepsi diri ini memperkuat “ logika pribadi “ seseorang, yang membantu individu mempertahankan keyakinan dasar individu itu sendiri. Rekoleksi awal menyediakan pengertian dasar dari bagaimana kita melihat dan rasakan tentang diri individu, bagaimana individu melihat dunia, apa tujuan hidup individu, apa yang memotivasi individu, apa yang individu percaya, dan apa yang individu nilai. Dinkmayer (1979 dalam Corey, 1984) mendiskripsikan beragam teknik yang konselor dapat gunakan untuk mengira-ngira dan menganalisis masalah. Beberapa dari teknik antara lain: 1. Paraprase. Ketua meninjau anggota kelompok untuk meyakinkan bahwa mereka benar-benar mengerti apa yang mereka katakan, kemudian ketua mendorong anggota untuk mengklarifikasi pandangan mereka, keyakinan, sikap dan perilaku dengan interaksi kelompok. 2. Konfrontasi. Dilakukan dengan kepedulian, rasa perseptif, konfrontasi adalah proses dimana ketua membantu konseli menjadi lebih sadar akan perselisihan. Contohnya: perselisihan pada pandangan konseli dan perilaku konseli atau antara perilaku konseli dan maksud konseli. Ini adalah tantangan dan atau pertanyaan yang dibuat untuk membantu anggota 46
berpikir tentang tujuan dari perilaku mereka dan berpikir pada penemuan diri yang lebih dalam. 3. Pertanyaan. Ini adalah teknik yang Adler gunakan sebagai cara menemukan sebuah masalah yang antara akibat fungsional atau organik. Konselor bertanya, ” Apa yang akan berbeda jika....?” 4.
Hipotesa sementara. Untuk meminimalisasi resistensi dan untuk membuka komunikasi, saran ketua tentang tujuan dari perilaku anggota dalam situasi kelompok di presentasikan secara sementara sebagai hipotesa.
Fase ketiga: Pandangan diri Padahal posisi analisis klasik adalah kepribadiannya yang tidak bisa diubah jika tidak ada pandangan, pandangan Adlerian adalah pandangan yang hanya satu langkah kepada perubahan dan bukan prasyarat untuk ini, Dreikurs (1969 dalam Corey, 1984). Orang-orang dapat membuat perubahan mendadak dan signifikan tanpa terlalu banyak pandangan. Mosak (1979 dalam Corey, 1984) mendefinisikan
sebagai
”pengertian
yang
diterjemahkan
kedalam
aksi
konstruktif” Adler menentang bahwa gagasan freudian bahwa pandangan harus mendahului perubahan perilaku secara bertahap dalam perlakuan yang diperpanjang dan mendorong klien untuk menunda mengambil tindakan untuk berubah. Pandangan intelektual dapat membimbing kepada “ya, tapi” permainan yang tidak pernah berakhir dari “ aku tahu aku harus berhenti, tapi....” dalam konteks kelompok fase pandangan lebih fokus dalam membantu anggota untuk mengerti mengapa klien berfungsi seperti apa yang klien lakukan. Anggota belajar 47
tentang diri klien dengan menemukan tujuan mereka. Mitologi pribadi dan gaya hidup. Dreikurs (1969 dalam Corey, 1984) menyangkal bahwa selama fase ini dan selanjutnya konseli menerima keuntungan yang besar dari kelompok. Kelompok memfasilitasi proses dari memperoleh pandangan karena sebagai anggota mengalami resistensi dalam dirinya sendiri, klien juga dapat mengamati resistensi dari anggota kelompok yang lain. Terdapat persamaan yang cukup dalam sikap kesalahan dasar dan motivasi yang salah antara semua anggota untuk mengajak anggota mengamati diri mereka dan membantu satu sama lain, Dreikurs (1969 dalam Corey, 1984). Fase 4: Orientasi Kembali Fase reorientase kembali membahas tentang sikap alternatif, kepercayaan, tujuan dan perilaku. Satu dari tujuan adalah untuk mengajarkan anggota bagaimana untuk menjadi lebih efektif dalam berurusan dengan tugas hidup. Tujuan lain adalah untuk menantang dan mendorong konseli untuk mengambil resiko dan membuat perubahan. Kata-kata dorongan adalah aspek dasar dari fase ini. Melalui kata-kata dorongan, konseli mulai untuk mengalami sumber daya tersembunyi konseli dan kekuatan untuk memilih diri konseli dan untuk membimbing hidup konseli. Dreikurs (1969 dalam Corey, 1984) percaya bahwa kelompok biasanya berguna selama fase reorientasi karena konseli merangsang tindakan dan orientasi baru. Dalam kelompok orang-orang dapat mengenal diri mereka perilaku yang salah dari anggota lain dan menjadi sadar atas keyakinan kekalahan diri konseli dan perilaku. Dalam kelompok konseli dapat juga lebih mudah mengenal 48
lingkungan dasar konseli yang tidak benar dan tidak adil. Kata-kata dorongan sangat berguna pada fase ini ditemukan dalam dorongan dari kelompok dan dalam kepribadian equalitarian yang mengembalikan celah sosial dan mengurangi resiko dari pengungkapan diri. Dalam kata-kata Dreikurs, “ situasi sosial ini dari persamaan yang mengkarakterisasi kelompok konseling dan dimana memaksakan diri seseorang adalah konseling yang lebih efektif mempengaruhi satu sama lain. Reorientasi adalah fase aksi dari kelompok, ketika keputusan baru dibuat dan tujuan diperbaiki. Untuk menantang asumsi diri yang terbalas anggota didorong untuk berperan seperti konseli jika adalah seseorang yang konseli inginkan. Anggota diajak untuk “ menangkap diri konseli” dalam proses mengulang pola lama yang membimbing kepada perilaku yang tidak efektif. Komitmen adalah bahan yang penting dari fase reorientasi ; jika konseli berharap untuk berubah, konseli harus mau untuk mengatur tugas untuk diri konseli dan melakukan sesuatu yang spesifik tentang masalah konseli. Komitmen juga dibutuhkan untuk menerjemahkan pandangan baru kepada aksi nyata. Proses konseling kelompok Adlerian yang digunakan Sonstegard ada 4 langkah, yaitu meliputi: pembentukan, peralihan, kegiatan dan pengakhiran. 1. Pembentukan 1.1 Salam 1.2 Menerima secara terbuka dan mengungkapkan terimakasih 1.3 Berdoa 1.4 Mejelaskan pengertian dan tujuan konseling kelompok Adlerian
49
1.5 Menjelaskan cara pelaksanaan konseling kelompok Adlerian 1.6 Menjelaskan asas-asas konseling kelompok 1.7 Perkenalan dilanjutkan dengan permainan 2. Peralihan 2.1 Menjelaskan kembali kegiatan konseling kelompok Adlerian 2.2 Tanya jawab tentang kesiapan anggota untuk kegiatan lebih lanjut 2.3 Mengenali suasana kesiapan anggota secara keseluruhan untuk memasuki kegiatan berikutnya 2.4 Memberi contoh masalah pribadi yang dapat dikemukakan dan dibahas dalam konseling kelompok Adlerian 3. Kegiatan 3.1 Menjelaskan masalah rasa rendah diri yang hendak dikemukakan dan dibahas dalam konseling kelompok Adlerian 3.2 Membahas masalah satu persatu dari yang tertinggi dan memberikan kompensasi kepada konseli yang mempunyai masalah rasa rendah diri untuk melihat pandangan kedepan dirinya 3.3 Anggota kelompok saling membantu dan memberikan saran menyelesaikan masalah yang dialami konseli. 3.4 Setelah konseling kelompok selesai konseli/anggota kelompok diharapkan bisa mendapatkan superioritas. Superioritas, bukan lebih baik dibanding orang lain atau mengalahkan orang lain, tetapi berjuang menuju superioritas berarti terus menerus berusaha menjadi lebih baik,
50
menjadi semakin dekat dan semakin dekat dengan tujuan ideal individu yaitu menurunkan rasa rendah diri 3.5 Kesimpulan 4. Pengakhiran 4.1 Menjelaskan bahwa konseling kelompok akan diakhiri 4.2 Kesan-kesan anggota kelompok 4.3 Pembahasan kegiatan lanjutan 4.4 Ucapan terima kasih 4.5 Evaluasi tertulis
Dalam penelitian ini penulis menggunakan proses pelaksanaan konseling kelompok Adlerian yang dipakai Sonstegard. karena proses pelaksanaan konseling sangat jelas dan terperinci antara langkah pertama sampai dengan langkah berikutnya/pengakhiran. 2.2.6 Peran dan fungsi konselor Adlerian Konsep dari konselor adalah bagian dari pandangan Adlerian. Konselor akan meningkatkan jarak dari konseli dan pengganggu dengan equalitarian, hubungan dasar antar individu kepada pendekatan Adlerian. Mosak (1979 dalam Corey, 1984) menuliskan konselor Adlerian mempunyai perasaan dan pendapat dan bebas untuk mengekspresikannya Penulis Adlerian yang lain menekankan peran aktif dari konselor sebagai anggota dalam usaha konseling kerjasama. “ konselor membawa dimensi aktif ini keproses konseling dengan berfokus pada perilaku tujuan dan hukum unik 51
gerakan psikologi pada setiap individu, Dinkmayer (1979 dalam Corey, 1984). Fakta lain dari konseling Adlerian adalah komitmen prosedur aktif seperti konfrontasi pengungkapan diri intrepertasi dan analisis dari pola. Konselor menantang keyakinan dan tujuan konseli dan membantu konseli meneterjemahkan apa yang konseli pelajari dalam proses kelompok ke perilaku dan keyakinan baru. Dinkmayer (1979 dalam Corey, 1984) mengatakan bahwa konselor berperan sebagai model untuk konseli yang sering belajar lebih dari apa yang konselor lakukan dalam kelompok sama seperti hidup konseli, dari apa yang konselor katakan. Ini mengakibatkan bahwa konselor harus mempunyai perasaan yang jelas dari identitas kepercayaan dan keyakinan konselor. Konselor juga harus sadar kondisi dasar yang penting untuk perkembangan konseli. 2.3 Penelitian yang relevan Penelitian Brough, Marjorie F (1994). Penelitian ini menunjukkkan bahwa terdapat pengurangan rasa rendah diri yang dimana diikuti 179 orang dewasa yang menyelesaikan kuisioner dan diikuti 26 konseli dalam 10 sesi konseling kelompok Adlerian dengan hasil akhir dapat mengurangi perasaan rendah diri. Penelitian yang telah dilakukan Michael dan David (2000). Penelitian ini bertujuan untuk mengurangi perasaan rendah diri yang dialami remaja Burundi, Afrika tengah. Dengan mengisi Skala Perasaan Rendah Diri (Scale Feelings Inferiority), wawancara dan dokumentasi secara acak dari 30 remaja pria dan wanita dari keluarga miskin di Burundi. Proses terapi kelompok Adlerian dilakukan waktu sekitar satu setengah bulan untuk bisa mengurangi perasaan rendah diri remaja Burundi. Setelah proses terapi kelompok Adlerian diberikan 52
hasil
menunjukkan perasaan rendah diri
remaja Burundi
tidak dapat
berkurang/menurun. Setelah dievaluasi ditemukan penyebab utamanya adalah sejak kecil 30 remaja pria dan wanita Burundi sudah hidup dalam kemiskinan yang luar biasa yang mengakibatkan mereka banyak melihat orang yang kelaparan, kekurangan gizi dan kematian yang memunculkan perasaan rendah diri sejak kecil. 2.4 Hipotesis Hipotesis merupakan jawaban sebenarnya atas pertanyaan-pertanyaan penelitian yang harus dibuktikan kebenarannya, Arikunto, S (1993). Menurut Hadi ,S (1993) hipotesis adalah dugaan sementara yang mungkin benar atau mungkin salah, hipotesis akan ditolak jika salah dan diterima jika fakta-fakta membenarkan. Hipotesis dalam penelitian ini sebagai berikut: Ho (Hipotesis Nol)
: Konseling kelompok Adlerian tidak dapat menurunkan
secara signifikan rasa rendah diri siswa Hi (Hipotesis Kerja) : Konseling kelompok Adlerian dapat menurunkan secara signifikan rasa rendah diri siswa Berdasarkan kajian yang relevan yang telah diungkapkan sebelumnya, diajukan hipotesis dalam penelitian ini sebagai berikut: “ Konseling kelompok Adlerian dapat menurunkan secara signifikan rasa rendah diri siswa SMP Negeri 8 Salatiga”. 53