BAB II
LANDASAN TEORI
A. Omzet atau Pendapatan 1. Pengertian Omzet atau Pendapatan Pendapatan
adalah
sesuatu
yang
sangat
penting
dalam
setiap
perusahaan.Tanpa ada pendapatan mustahil akan di dapat penghasilan atau earnings. Pendapatan adalah penghasilan yang timbul dari aktivitas perusahaan yang biasa dikenal atau disebut sebagai penjualan, penghasilan jasa (fees), bunga deviden, royalti dan sewa. Pengertian penghasilan menurut Standard Akuntansi Keuangan (2007:231) adalah sebagai berikut : Peningkatan manfaat ekonomi selama satu periode akuntansi tertentu dalam bentuk pemasukan atau penambahan aktiva atau penurunan kewajiban yang mengakibatkan kenaikan ekuitas, yang tidak berasal dari kontribusi penanaman modal. Menurut FASB, sebagaimana dikutip oleh Smith dan Skousen (2000 : 151), pendapatan didefinisikan sebagai berikut: Arus masuk atau kenaikan-kenaikan lainnya dari nilai harta suatu satuan usaha atau penghentian hutang-hutangnya (atau kombinasi dari keduanya) dalam suatu periode akibat dari penyerahan atau produksi barang-barang, penyerahan jasa-jasa, atau pelaksanaan aktivitas-aktivitas lainnya yang membentuk operasi-operasi utama yang berlanjut terus dari satuan usaha tersebut. Menurut Accounting Terminology Bulletin N o . 2 ya ng d i ku t i p d a l a m b u ku Harahap (1999:39):
Pendapatan berasal dari penjualan barang dan pemberian jasa dan diukur dengan jumlah yang dibebankan kepada langganan, klaim atas barang dan jasa yang disiapkan untuk mereka. Juga termasuk laba dari penjualan atau pertukaran asset (kecuali dari surat berharga), hakdividen dari
6
investasi dan kenaikan lainnya pada equity pemilik kecualiyang berasal dari modal donasi dan penyesuaian modal. Menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan Tahun 2000 (2000:267) memberikan pengertian penghasilan bahwa : Setiap tambahan kemampuan ekonomi yang diterima atau diperoleh wajib pajak baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipergunakan untuk dikonsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Untuk melengkapi definisi di atas, maka lebih lanjut akan diuraikan beberapa hal yang termasuk dalam pengertian penghasilan menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan: a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau diperoleh termasuk: Gaji, upah, tunjangan honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini, b. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan. c. Laba Usaha. d. Ketentuan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk: 1. Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal; 2. Keuntungan yang diperoleh perseroan persekutuan dan badan lainnya karena peralihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota; 3. Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecah atau pangambil alihan usaha; 4. Keuntungan karena peralihan harta hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga saudara dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil atau koperasi yang ditetapkan oleh Materi Keuangan 7
sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, pemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan. e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya. f. Bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan karena jaminan pengembalian utang. g. Deviden dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk deviden perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi. h. Royalty. i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta. j. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala. k. Keuntungan karena pembebasan hutang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. l. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing. m. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva. n. Premi asuransi. o. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggota yang terdiri dari wajib pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas. p. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak Dari beberapa definisi yang terdapat diatas, dapat disimpulkan bahwa pendapatan adalah kenaikan
gross/kotor dari keuntungan ekonomi selama
suatu
periode dari aktivitas utama perusahaan yang menyebabkan kenaikan ekuitas tetapi bukan disebabkan dari kontribusi penanaman modal.
8
2. Pengakuan Omzet atau Pendapatan Untuk pemilihan metode akuntansi, salah satunya seperti yang diperkenankan dalam ketentuan perpajakan adalah penerapan metode persentase penyelesaian sebagai dasar pengakuan pendapatan pada suatu kontrak konstruksi. Hal ini dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah nomor 138 tahun 2000 tentang perhitungan Penghasilan Kena Pajak dan pelunasan pajak penghasilan dalam tahun berjalan mengatur penetapan laba bruto dibidang jasa konstruksi. Pada pasal 6 ayat (1) menyatakan laba bruto usaha dalam suatu tahun pajak yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang berusaha di bidang jasa konstruksi yang proses pekerjaan fisiknya meliputi masa beberapa tahun dihitung berdasarkan metode persentase tingkat penyelesaian pekerjaan. Ketentuan pajak penghasilan menyatakan pajak dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak. Istilah “diterima” terlihat lebih menunjuk kepada penerimaan atau realisasi penghasilan, sedangkan istilah “diperoleh” tampaknya menunjuk kepada pengakuan (rekognisi) penghasilan. Untuk menentukan kapan penghasilan diterima atau diperoleh, Undang-Undang Perpajakan menunjuk kepada metode pembukuan (yangdiselenggarakan oleh Wajib Pajak) berdasarkan akrual dan kas basis.
B. SPT Tahunan PPh Badan 1. Pengertian Pajak Pajak merupakan hak prerogatif pemerintah, iuran wajib yang dipungut oleh pemerintah dari masyarakat (wajib pajak) untuk menutupi pengeluaran rutin negara dan biaya pembangunan tanpa balas jasa yang dapat ditunjuk secara langsung berdasarkan undang-undang.
9
Menurut Rochmat Soemitro yang di kutip Situs resmi (2003:1) mendefinisikan pajak sebagai berikut: Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan, dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Pajak menurut Sommerfelt ray M, Anderson Herscheel M, dan Brocck Horace R, Mohammad Zain (2003:11) menyatakan : Pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sector swasta ke sector pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan terlebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proposional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugastugasnya untuk menjalankan pemerintahan. Sementara pemahaman pajak dari perspektif hukum menurut Soemitro merupakan :
Suatu perikatan yang timbul karena adanya undang-undang yang menyebabkan timbulnya kewajiban warga negara untuk menyetorkan sejumlah penghasilan tertentu kepada negara, negara mempunyai kekuatan untuk memaksa dan uang pajak tersebut harus dipergunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan. Dari pendekatan hukum ini memperlihatkan bahwa pajak yang dipungut harus berdsarkan undang-undang sehingga menjamin adanya kepastian hukum, baik bagi fiskus sebagai pengumpul pajak maupun wajib pajak sebagai pembayar pajak.
2. Fungsi Pajak Ada dua fungsi pajak, yaitu :
1. Fungsi Budgetair (Pendanaan)
Pajak sebagai sumber
dana
bagi
pemerintah
untuk membiayai
pengeluaran-pengeluarannya, yaitu pajak dimanfaatkan sebagai instrument pengumpul dana guna membiay ai pengeluaran – pengeluaran pemerintah.
10
Ditujukkan dengan masuknya pajak ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
2. Fungsi Regulair (Mengatur)
Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial ekonomi, yaitu pajak dimanfaatkan sebagai instrumen pengatur melalui kebijakan – kebijakan yang dapat mempengaruhi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat, misalnya untuk mempercepat laju perumbuhan ekonomi, redistribusi pendapatan, dan stabilisasi ekonomi.
3. Wajib Pajak Badan Undang – undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) yang berlaku saat ini memberikan batasan pengertian yang sangat luas untuk Badan, sebagaimana tercantum dari kutipan Pasal 1 angka 3 UU KUP berikut ini : Badan adalah sekumpulan orang dan /atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif, dan bentuk usaha tetap. Jenis badan yang di maksud dalam ketentuan Pasal 1 angka 3 UU KUP itu bisa disebut sebagai Subjek Pajak Badan. Sebagai Subjek Pajak, kesemua jenis badan tersebut bisa di kenakan pajak yang di atur dalam UU Perpajakan yang berlaku.Subjek Pajak badan masih dibedakan antara Subjek Pajak badan dalam negeri dan Subjek Pajak badan luar negeri.
11
Subjek Pajak badan dalam negeri merupakan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia termasuk BUT. Badan dalam negeri inilah yang dikenai pajak sekaligus memiliki hak dan kewajiban perpajakan .
4. Penerapan SPT Tahunan PPh Badan Pengertian SPT menurut Pasal 1 huruf f Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) sebagaimana yang telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 28 tahun 2007 menyebutkan bahwa Surat Pemberi tahuan atau SPT adalah Surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan atau pembayaran pajak, objek pajak dan atau bukan objek pajak dan atau harta dan kewajiban, menurut ketentuan perundang-undangan perpajakan. Pada Penjelasan Atas Undang-undang No. 28 tahun 2007 tentang KUP pasal 3 ayat 1 disebutkan bahwa fungsi SPT bagi Wajib Pajak Peng-hasilan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggung jawabkan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang : 1. Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau melalui pemo-tongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 (satu) Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak; 2. Penghasilan yang merupakan objek pajak dan/atau bukan objek pajak; harta dan kewajiban; dan/atau 3. Pembayaran dari pemotongan atau pemungut tentang pemo-tongan atau pemungutan pajak orang pribadi atau badan lain dalam 1 (satu) Masa Pajak sesuai dengan ketentuan peratur-an perundang-undangan perpa-jakan.
12
Sedangkan untuk pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Peng-hasilan Wajib Pajak badan, disebutkan dalam pasal 3 ayat 2 UU No. 28 Tahun 2007 adalah paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak.
C. Penyerahan Kena Pajak Berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 entang PPN Barang dan Jasa dan PPnBM (UU PPN), yang dimaksud dengan penyerahan kena pajak yaitu ”Setiap kegiatan penyerahan barang berwujud, yang menurut sifat atau hukum-nya dapat berupa barang ber-gerak atau tidak bergerak dan barang tidak berwujud, yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang tersebut.” Dalam pasal 1A UU PPN dijelaskan lebih lanjut bahwa yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah: 1. Penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu per-janjian meliputi jual beli, tukar menukar, jual beli dengan angsuran, atau perjan-jian lain 2. Pengalihan Barang Kena Pajak, oleh karena suatu perjanjian sewa beli dan perjanjian leasing. 3. Penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang. 4. Pemakaian sendiri dan pem-berian cuma-cuma. 5. Persedian Barang Kena Pajak dan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diper-jualbelikan,
yang masih tersisa pada saat pembubar-an
perusahaan, sepanjang PPN atas per-olehan aktiva tersebut menurut ketentuan yang dapat dikre-ditkan. dapat dikreditkan.
13
6. Penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau seba-liknya dan penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang. 7. Penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi.
Sedangkan penyerahan Jasa Kena Pajak adalah: 1. Jasa Custodian atau jasa pe-nitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan kontrak yang diberikan oleh bank 2. Jasa Anjak Piutang (Factoring), baik financing maupun non-financing 3. Jasa Wali Amanat, jasa trust berupa corporate trusteeship/agency 4. Jasa Persewaan Ruangan, dengan imbalan jasa sewa dan service charge 5. Jasa Periklanan, berupa pembuatan materi iklan, pema-sangan iklan, serta konsultasi 6. Paket Program Acara TV, baik berupa sistem beli putus, sistem pemesanan, atau sistem bagi hasil
D. Pajak Pertambahan Nilai Dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai tidak terdapat defenisi mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak terdapat defenisi mengenai Pajak Pertambahan Nilai, sehingga setiap orang dapat secara bebas memberikan defenisi mengenai pajak tersebut. Pajak Pertambahan Nilai menurut Sukardji (2000 : 22) adalah “Pengenaan pajak atas pengeluaran untuk konsumsi baik yang dilakukan perseorangan maupun badan baik baik badan swasta maupun badan pemerintah dalam bentuk belanja
14
barang atau jasa yang dibebankan pada anggaran belanja negara”. .Berdasarkan objek yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai adalah konsumsi barang dan jasa, maka Pajak Pertambahan Nilai secara bebas dapat diartikan pajak yang dikenakan atas pertambahan nilai suatu barang atau jasa. Secara matematis pertambahan nilai atau nilai tambah suatu barang atau jasa dapat dihitung dari nilai/harga penjualan dikurangi nilai/harga pembelian, sehingga salah satu unsur pertambahan nilai atau nilai tambah suatu barang atau jasa adalah laba yang diharapkan.
1. Objek Pajak Pertambahan Nilai Sesuai dengan Pasal 4, Pasal 16 C, dan 16 D Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai, PPN dikenakan atas: a. Penyerahan barang kena pajak di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha. b. Impor barang kena pajak. c. Penyerahan jasa kena pajak yang dilakukan oleh pengusaha. d. Pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean. e.
Pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.
f. Ekspor barang kena pajak oleh pengusaha kena pajak. g. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain yang batasan dan tatacaranya diatur dengan keputusan menteri keuangan.
15
h. Penyerahan aktiva oleh pengusaha kena pajak yang menurut tujuan semula aktiva tersebut tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang pajak pertambahan nilai yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan.
2. Subjek Pajak Pertambahan Nilai a. Pengusaha Kena Pajak (PKP). Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan BKP / JKP yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-Undang PPN dan PPnBM, tidak termasuk Pengusaha kecil. Pengusaha dikatakan sebagai PKP apabila melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto melebihi Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah) dalam satu tahun, termasuk Pengusaha Kena Pajak antara lain: 1) pabrikan atau produsen, 2) importir, 3) pengusaha yang mempunyai hubungan istimewa dengan pabrikan atau importir, 4) agen utama dan penyalur utama pabrikan atau importir, 5) pemegang hak paten atau merek dagang barang kena pajak, 6) pedagang besar (distributor), 7) pengusaha yang melakukan hubungan penyerahan barang, 8) pedagang eceran (peritel)
b. Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
16
Pengusaha kecil adalah pengusaha yang melakukan penyerahan BKP / JKP dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah) dalam satu tahun. Pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, selanjutnya wajib melaksanakan kewajiban sebagaimana halnya Pengusaha Kena Pajak. c. Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan BKP /JKP. d. Orang pribadi atau badan yang melakukan pembangunan rumahnya sendiri dengan persyaratan tertentu.Orang pribadi atau badan yang melakukan pembangunan rumah sendiri harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. luas bangunan lebih atau sama dengan 200 meter persegi, b. bangunan diperuntukkan sebagai tempat tinggal atau tempat usaha, c. bangunan bersifat permanen, d. tidak dibangun dalam lingkungan real estat, e.
pembangunan dilakukan tidak dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan.
e.
Pemungut pajak yang ditunjuk oleh pemerintah. Pemungut pajak yang ditunjuk oleh pemerintah terdiri atas Kantor Perbendaharaan Negara, Bendaharawan Pemerintah Pusat dan Daerah, termasuk Bendaharawan Proyek.
3. Dasar Pengenaan Pajak Menurut Mardiasmo (2002 : 215) untuk menghitung besarnya pajak yang terutang adalah “ adanya dasar pengenaan pajak (DPP)”. Pajak yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan Dasar Pengenaan Pajak. Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual atau Penggantian atau Nilai Impor atau
17
Nilai Ekspor atau Nilai Lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang. Selanjutnya yang dimaksud dengan Harga Jual, Penggantian, Nilai Ekspor, dan Nilai Impor adalah: a. harga jual, ialah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan BKP/JKP, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang PPN dan PPnBM dan potongan harga yang dicantum dalam faktur pajak. b. penggantian, ialah nilai berupa uang termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan JKP, tidak termasuk pajak yang dipungut menurut undang-undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam faktur pajak. c. nilai ekspor, ialah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau yang seharusnya diminta oleh eksportir. Nilai Ekspor dapat diketahui dari dokumen ekspor, misalnya harga yang tercantum dalam Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB). d. nilai impor, ialah berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan pabean untuk Impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang PPN dan PPnBM
4. Tarif Pajak Pertambahan Nilai a. Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10% (sepuluh persen). Tarif Pajak Pertambahan Nilai yang berlaku atas penyerahan BKP/JKP adalah tarif tunggal, sehingga mudah dalam pelaksanaannya dan tidak memerlukan daftar
18
penggolongan barang atau penggolongan jasa dengan tarif yang berbeda sebagaimana berlaku pada Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
b. Tarif PPN atas Ekspor BKP sebesar 0% (nol persen). Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak di dalam daerah pabean. Oleh karena itu, barang atau jasa kena pajak yang diekspor atau dikonsumsi di luar daerah pabean, dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 0% (nol persen). Pengenaan tarif 0% (nol persen) bukan berarti pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Dengan demikian, Pajak Masukan yang telah dibayar dari barang yang diekspor tetap dapat dikreditkan.
5. Mekanisme Pajak Pertambahan Nilai Mekanisme PPN menurut Indonesian Tax Review (2012:66) adalah sebagai berikut : a) Setiap Pengusaha Kena Pajak menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa KenaPajak diwajibkan membuat faktur pajak untuk memungut pajak yang terutang. Pajak yang dipungut dinamakan Pajak Keluaran b) Pada saat Pengusaha Kena Pajak tersebut di atas membeli Barang Kena Pajak atau menerima Jasa Kena Pajak dari Pengusaha Kena Pajak lain, juga membayar pajak yang terutang, yang dinamakan Pajak Masukan c) Pada akhir masa pajak, Pajak Masukan tersebut dikreditkan dengan Pajak Keluaran sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam hal jumlah Pajak Keluaran lebih besar daripada jumlah Pajak Masukan, maka kekurangannya dibayar ke Kas Negara selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikutnya d) Pada akhir masa pajak, setiap Pengusaha Kena Pajak diwajibkan untuk melaporkan pemungutan dan pembayaran pajak yang terutang kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak setempat selambat-lambatnya tanggal 20 setelah akhir masa pajak.
19
6. Pajak Masukan dan Pajak Keluaran Pajak Masukan Menurut Muljono ( 2008 : 61 ) adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak yang berkaitan dengan : perolehan BKP, penerimaan JKP, pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean, pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean, dan impor BKP. Sedangkan Pajak Keluaran Menurut Muljono ( 2008 : 61 ) adalah Pajak Pertambahan Nilai yang terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan BKP, Penyerahan JKP, atau ekspor BKP. PPN Masukan dan PPN Keluaran dihitung dengan mempergunakan tarif sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 Undang-Undang No. 18 Tahun 2000 dari Dasar Pengenaan Pajak. Dasar Pengenaan Pajak PPN adalah : harga jual, nilai pergantian, nilai impor, atau nilai lain.
1. Pengkreditan Pajak Masukan Pengkreditan pajak masukan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut : 1. pajak masukan dalam suatu masa pajak dikreditkan dengan pajak keluaran untuk masa pajak yang sama, 2. dalam hal belum ada pajak keluaran dalam suatu masa pajak, maka pajak masukan tetap dapat dikreditkan, apabila dalam suatu masa, PKP selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya, maka jumlah pajak keluaran yang dapat dikreditkan adalah pajak masukan yang berkenaan dengan penyerahan terutang pajak, 3. apabila dalam suatu pajak, PKP selain melakukan penyerahan terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan pajak masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, maka jumlah pajak masukan yang dapat dikreditkan untuk penyerahan
20
yang terutang pajak dihitung dengan menggunakan pedoman yang diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan, 4. besarnya pajak masukan yang dapat dikreditkan oleh pengusaha yang dikenakan Pajak Penghasilan dengan menggunakan Norma Perhitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan dapat dihitung dengan menggunakan pedoman pengkreditan Pajak Masukan yang ditatapkan Menteri Keuangan, 5. pajak masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan pajak keluaran pada masa pajak yang sama, dapat dikreditkan pada masa pajak berikutnya, selambat-lambatntya 3 bulan setelah berakhirnya masa pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.
7. SPT Masa PPN Pada Penjelasan Atas Undang-undang No. 28 tahun 2007 tentang KUP pasal 3 ayat 1 juga disebutkan bahwa bagi Pengusaha Kena Pajak, fungsi SPT adalah sebagai sarana untuk memperoleh dan mempertanggung jawabkan penghitungan jumlah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang : pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran; dan pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak dan/atau melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Format SPT Masa PPN sebagai sarana bagi Pengusaha Kena Pajak melaporkan pemenuhan kewajiban perpajakannya, dalam hal ini PPN telah mengalami beberapa kali mengalami perubahan. Format SPT untuk pelaporan PPN
21
diatur dengan Peraturan Dirjen Pajak No. 12/PJ/1995 Tentang Bentuk Dan Isi Surat Pemberitahuan Masa PPN (SPT Masa PPN) dan SPT Masa PPN Bagi Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran Yang Menggunakan Nilai Lain Sebagai Dasar Pengenaan Pajak. Dalam PER tersebut disebutkan bahwa Pelaporan PPN menggunakan Formulir 1195 beserta lampiran lampirannya. Penggunaan formulir 1195 ini efektif berlaku mulai 1 Januari 1995. Pada tanggal 15 September 2005, Direktur Jendral Pajak meng-eluarkan peraturan nomor PER 145/ PJ./2005, Tentang Bentuk Isi Dan Tata Cara Penyampaian Surat Pemberi tahuan Masa PPN sebagai pengganti PER No. 12/PJ/1995. Dalam PER 145/PJ./2005 disebutkan bahwa Pela-poran PPN menggunakan Formulir 1106 beserta lampiran lampirannya. Peng-gunaan formulir 1106 ini efektif berlaku mulai 1 Januari 2006. Dalam perkembangan, Dirjen Pajak merasa perlu menunda pelak-sanaan PER 145/ PJ./2005 yang semula ditetapkan efektif 1 Januari 2005 menjadi 31 Desember 2006 dengan mengeluarkan PER-166/PJ./2005 ten-tang Penundaan Berlakunya PER 145/PJ/2005. Pada tanggal 29 September 2006, sebelum PER 145/PJ./2005 efektif berlaku, Dirjen Pajak mengeluarkan Peraturan Dirjen Pajak No 146/PJ./2006 Tentang Bentuk Isi Dan Tata Cara Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa PPN. Dalam PER tersebut dinya-takan bahwa PER tersebut merupakan pengganti PER 145/PJ./2005 dan PER 145/PJ./2005 dinyatakan tidak berla-ku.Dalam PER No. 146/PJ./2006 dise-butkan bahwa pelaporan PPN meng-gunakan Formulir 1107 beserta lampiran lampirannya. Penggunaan formulir 1107 ini efektif berlaku mulai 1 Januari 2007. Pada tahun 2009 Pemerintah merubah kembali PPN dan seiring akan berlakunya ketentuan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang PPN dan
22
PPnBM mulai 1 April 2010 serta telah terbitnya aturan-aturan pelaksana dari UU Nomor 42 Tahun 2009 ini, maka mekanisme pelaporan SPT Masa PPN juga mengalami beberapa penyempurnaan. Penyempurnaan aturan tentang SPT Masa PPN serta mekanisme dan tata cara pelaporannya ini ditetapkan melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER14/PJ/2010 tanggal 26 Maret 2010 dan disampaikan melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-43/PJ/2010 tanggal 26 Maret 2010. Penggunaan SPT Masa PPN yang disesuaikan dengan PER-14/PJ/2010 ini mulai digunakan untuk pelaporan SPT Masa PPN Masa Pajak April 2010. SPT Masa PPN yang ditetapkan dalam PER-14/PJ/2010 ini, sebenarnya masih menggunakan formulir 1107 yang selama ini kita kenal. Tidak ada perubahan atas formulir SPT Masa PPN 1107. Yang mengalami perubahan hanyalah petunjuk pengisian SPT yang pada beberapa bagian, data yang diisikan disesuaikan dengan ketentuan baru UU PPN. Antara lain yaitu:
1. Adanya penambahan Pengusaha Kena Pajak yang dapt mengajukan permohonan pengembalian pendahuluan atas kelebihan pembayaran Pajak Masukan. 2. Ketentuan yang mengatur mengenai PKP yang hanya dapat mengajukan restitusi pada akhir tahun buku. 3. Ketentuan yang mengatur mengenai penambahan objek baru yang dikenakan PPN, yaitu ekspor BKP Tidak Berwujud dan ekspor JKP. 4. Ketentuan tentang pembatalan penyerahan JKP (sehubungan dengan Nota Pembatalan). 5. Tata Cara pelaporan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh PKP yang menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan. 23
6. Ketentuan mengenai Faktur Pajak, seperti tidak adanya Faktur Pajak Sederhana, penomoran Faktur Pajak, pelaporan dokumen tertentu yang dipersamakan dengan Faktur Pajak, dan pelaporan Faktur Pajak atas penyerahan BKP kepada orang pribadi pemegang paspor luar negeri. 7. Ketentuan mengenai penyetoran dan pelaporan SPT Masa PPN. 8. Perubahan contoh-contoh untuk menyesuaikan dengan ketentuan baru UU PPN. 9. Penambahan 1 (satu) lampiran baru berupa Daftar Rincian Penyerahan Barang Kena Pajak kepada Orang Pribadi Pemegang Paspor Luar Negeri.
E. Konsepsi Ekualisasi SPT PPh Badan dengan SPT Masa PPN
Ekualisasi SPT PPh Badan dengan SPT PPN berkaitan dengan prosedur pengecekan yang dilakukan oleh KPP untuk mengecek apakah jumlah omzet penjualan dalam SPT PPh Badan dengan jumlah omzet menurut SPT PPN bulan Desember tahun yang bersangkutan sudah sama. Perlu diperhatikan omzet penjualan antara yang tercantum dalam SPT PPh Badan dengan SPT PPN bisa berbeda. Hal ini dikarenakan: 1. Omzet penjualan yang tercantum dalam SPT PPh Badan lebih besar dari omzet penjualan SPT PPN karena penjualan untuk SPT PPh Badan menggunakan asas accrual basis sehingga atas penjualan kredit, jika barangtelah diserahkan maka penjualannya sudah dilaporkan, sedangkan pada SPT PPN, penjualan kredit baru dibuat faktur pajaknya pada akhir bulan setelah penyerahan barang.
24
2. Omzet penjualan yang tercantum dalam SPT PPh bisa lebih kecil dari omzet penjualan di SPT PPN, karena uang muka atas penjualan yang barangnya belum diserahkan sudah harus dibuat faktur pajaknya, sementara penjualan tersebut baru dilaporkan setelah penyerahan barang.
25