BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Kajian Penelitian yang Relevan Penelitian yang relevan sebelumnya dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Mochammad Ilham, Mohamad Sahril dan Nini Herlina, dalam Program Studi Pendidikan Bahasa, Program Pasca Sarjana, Universitas Negeri Jakarta (13 Desember 2011), dengan Judul penelitiannya adalah Kajian Semiotik dalam Karya Sastra Roman Bumi Manusia, Karya Pramoedya Ananta Toer. Adapun yang menjadi Rumusan Masalah dalam penelitiannya adalah Bagaimana Memahami Konsep Kajian Novel Bumi Manusia dengan Menggunakan Pendekatan Semiotik. Kesimpulan yang dicapai dalam penelitiannnya adalah memahami perbedaan tanda-tanda budaya di Eropa yang berkembang dengan cepat, yang dihadapkan pada budaya Indonesia khususnya budaya Jawa. Dimana, dalam novel Bumi Manusia, budaya orang Jawa disimbolkan sebagai pemalu, rendah ilmu pengetahuan, hukum yang mengedepankan etika dan nurani, dan selalu menunggu hasil dari Eropa, hal ini tentu sangat bertentangan dengan simbol-simbol budaya Eropa.1 Hasil tinjauan pustaka terhadap kajian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa, kajian semiotik pada naskah lakon Malam Jahanam karya Motinggo Boesye belum pernah dilakukan pada penelitian sebelumnya, adapun persamaan dalam penelitian ini adalah kedua penelitian ini menggunakan pendekatan 1
Dikutip dari Http://Contoh.In/Wpcontent/Uploads/Downloads/2012/06/Kajian_Semiotik_BumiManusia_Pramoedya.Pdf.
1
semiotik, sedangkan perbedaan dalam penelitian ini adalah terletak pada objek yang diteliti. 2.2 Konsep Umum Semiotik Pada hakikatnya, semiotik adalah kajian perihal tanda-tanda, sistem tanda dan cara bagaimana suatu makna ditarik dari tanda-tanda itu. Hal senada dikatakan oleh Ullmann (1972:14) bahwa ilmu yang khusus mempelajari sistem tanda adalah semiotik atau semiologi. Istilah kata “semiologi” digunakan oleh ilmuwan di Eropa, seperti Ferdinand De Saussure, Louis Hjelmslev, Roland Barthes, Umberto Eco, sedangkan istilah kata “semiotik” lazim dipakai oleh ilmuwan Amerika, seperti Charles Sanders Peirce, Charles Williams Morris dan Marcel Danesi. Telah dikatakan bahwa semiotik adalah teori tentang sistem tanda, nama lainnya semiologi2 yang berasal dari bahasa Yunani Semeion yang bermakna tanda, mirip dengan istilah semiotik (Lyons, 1977:100). Semiotik atau semiologi sama-sama mempelajari tanda, menurut Pateda (2001:28) tanda bermacammacam asalnya, ada tanda yang berasal dari manusia yang berwujud lambang dan isyarat misalnya; “orang yang mengacungkan jari telunjuk bermakna ingin bertanya”. Ada tanda yang berasal dari hewan misalnya; “burung Kuak menukik di depan rumah tanda akan mendapat musibah”, dan ada tanda yang diciptakan oleh manusia, misalnya; rambu-rambu lalu lintas, serta ada pula tanda yang dihasilkan oleh alam, misalnya; “langit mendung menandakan hujan akan turun”. Semiotik juga meliputi analisis sastra sebagai sebuah penggunaan bahasa yang
2
Merupakan terminologi dari kata semiotika; sama-sama mengkaji tentang ilmu tanda [penerj].
2
bergantung pada konvensi tambahan dan menyebabkan bermacam-macam makna, Preminger, (dalam Pradopo, 2009:119). Mengenai perkembangannya, kalau ditelusuri dalam buku-buku semiotik, hampir sebagian besar menyebutkan bahwa ilmu semiotik bermula dari dua aliran. Kedua aliran tersebut hidup sezaman di Benua yang berbeda, dan diantara keduanya tidak saling mengenal dan masing-masing membangun teori di atas pijakan yang berbeda3. Kedua aliran semiotik itu adalah Ferdinand De Saussure (Linguistik Modern, 1857-1913), dari Benua Eropa yang lahir di Jenewa pada tahun 1857. Saussure terkenal dengan sebutan Semiotion Continental, yang kemudian dikembangkan oleh Hjelmslev seorang strukturalis Denmark (Pateda, 2001:32). Aliran semiotik yang kedua adalah Charles Sanders Peirce (1839-1914, Filsuf Amerika), lahir di Cambridge, Massachusetts pada tahun 1839. Peirce menjadikan
logika
sebagai
landasan
teorinya.
Teori
Peirce
kemudian
dikembangkan oleh Charles Williams Morris (1901-1979) dalam bukunya Behaviourist Semiotics, Sudjiman & Zoest (dalam Pateda, 2001:32). 2.3 Landasan Teori 2.3.1 Dikotomi Ferdinand De Saussure Mengenai teori Saussure, Saussure tidak hanya dikenal sebagai bapak linguistik, tetapi juga banyak dirujuk sebagai tokoh semiotik. Kekhasan teorinya terletak pada kenyataan bahwa ia menganggap “bahasa sebagai suatu sistem tanda”. Ia menyatakan teori tentang tanda, linguistik perlu menemukan tempatnya 3
Buku-buku yang menyatakan antara lain: (1). Serba-Serbi Semiotik (1992) oleh P. Sudjiman & A. Art Van Zoest, (2). Semantik Leksikal (2001) oleh M. Pateda, (3). Metode Penelitian Sastra (2001) oleh Pradopo, Dkk, (4). Prinsip-Prinsip Kritik Sastra, (2007) oleh Pradopo (5). Filsafat Bahasa (2009) oleh Hidayat.
3
dalam sebuah teori yang lebih umum, dan untuk itu ia mengusulkan nama semiologi, linguistik hanyalah bagian dari ilmu umum. Menurutnya hukum yang akan ditemukan oleh semiologi untuk dapat diterapkan pada linguistik, dan linguistik akan berkaitan dengan suatu bidang yang sangat khusus di dalam kumpulan fakta manusia (Endraswara, 2011:264). Saussure berpendapat bahwa untuk membuat orang mengerti hakikat semiologi dan menyajikannya secara memadai, bahasa perlu dikaji secara mendalam. Sementara itu, sampai kini orang hampir selalu menelaah bahasa untuk keperluan lain, dan dari sudut pandang lain. Kondisi tersebut menurut Saussure, karena konsepsi dangkal dalam masyarakat luas, yakni masyarakat melihat bahasa sebagai suatu tata nama, maksudnya suatu himpunan nama-nama yang masing-masing secara konvensional ditempelkan pada benda atau padanan mental yang semuanya sama. Hal itu meniadakan segala penelitian mengenai hakikat bahasa yang sebenarnya (Hidayat, 2009: 133). Konsep dasar semiotik terdapat pada sistem dikotomi4 tanda, yakni penanda dan petanda. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Saussure bahwa, tanda merupakan suatu kesatuan dari penanda dan petanda. Petanda adalah bunyi yang memiliki makna, sedangkan penanda adalah aspek material dari bahasa. Petanda tidak akan ada artinya tanpa penanda, karena itu bukan sebuah tanda. Hubungan antara penanda maupun petanda saling memiliki ketergantungan satu sama lain.
4
Pembagian atas dua kelompok yang saling bertentangan akan tetapi tidak dapat dipisahkan [penerj].
4
Saussure (dalam Marianto, 2002:35-36), menjelaskan pemahaman tentang tanda-penanda dan petanda, ia menganalogikan kesatuan dari ketiganya itu dengan selembar kertas. Satu sisi kertas adalah penanda, sisi lainnya adalah petanda, dan kertas itu sendiri adalah tanda. Lebih lanjut Saussure mengatakan bahwa kita tidak dapat memisahkan penanda dan petanda dari tanda itu sendiri. Berikut ini adalah diagram tanda-penanda dan petanda dari Ferdinand De Saussure:
Sistem Dikotomi oleh Ferdinand De Saussure5: Tanda Penanda
Petanda
Benda atau materi
Konsep atau makna
Lebih dalam Saussure menjelaskan bahwa, ada beberapa poin yang perlu dicatat dalam ilmu tanda. Penanda dan petanda tidak dapat dipisahkan, mereka ada secara serentak sebagaimana yang ditunjukan dalam diagram di bawah ini:
Penanda
Tanda
Petanda
5
Pemaknaan
Sumber: Http://www.google.com/imgres?hl=id&sa=X&tbo=d&biw=1280&bih=670&tbm=isch&tbnid=u4 8LsJss_cjX2M:&imgrefurl=http://sherlyfirismapraselin.student.esaunggul.ac.id/tugas/tugas-3/2-dikotomisignifiant-penanda-dan-signifie.
5
Berdasarkan penjelasan di atas, penanda dan petanda nampak seperti dua hal yang terpisah dari tanda, seolah-olah tanda dapat membuat pemisahan antara keduanya. Namun sesungguhnya, penanda dan petanda hanyalah dua istilah yang berguna untuk memberi penekanan bahwa ada dua hal yang berbeda yang menjadi syarat mutlak untuk menjadi sebuah tanda. Penanda dan petanda selalu ada secara bersama-sama, hubungan antara penanda dan petanda disebut pemaknaan atau makna yang diinginkan, dengan demikian, telah jelas bahwa Saussure dalam bidang linguistiknya memakai dikotomi penanda dan petanda (Pradopo, 2009:119). 2.3.2 Trikotomi Charles Sanders Peirce Proses dikotomi yang dijelaskan oleh Saussure dalam bidangnya, tentu berbeda dengan proses semiotik C.S. Peirce. Menurut Peirce (dalam Hidayat, 2009:131), menjelaskan bahwa setiap hari manusia menggunakan tanda untuk berkomunikasi, pada waktu manusia menggunakan sistem, ia harus bernalar. Bagaimana orang bernalar dipelajari dalam logika, dengan mengembangkan teori semiotik, Peirce “memusatkan perhatian berfungsinya tanda pada umumnya”. Model tanda yang dikemukakan oleh Peirce adalah trikotomi atau triadik6 dan tidak memiliki ciri-ciri struktural sama sekali. Prinsip dasarnya adalah bahwa tanda bersifat representatif yaitu tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain, Peirce (dalam Marianto, 2002:37).
Proses Trikotomi/Triadik berdasarkan ikon, indeks dan simbol oleh C.S. Peirce7: 6
Pemisahan atau pembagian atas tiga golongan yang saling mengikat yakni, ikon, indeks dan simbol [penerj]. Sumber: Http://Ebookbrowse.Com/02-Peirce-Ppt-Pdf-D46676330. Hal. 19-20. Lihat juga dalam buku Marcel Danesi (2010), tentang Pesan, Tanda dan Makna, hal. 33-34. 7
6
Tanda
Ikon
Indeks
Simbol
Proses
Kemiripan
Hubungan Sebab-
Konvensi/
Akibat
Kesepakatan
Penandaan
Kalimat/Kata Contoh
Patung Pahlawan Nani Wartabone
Proses
Asap Gejala
Dapat di lihat
Api
Gestur/Bahasa
Penyakit
Tubuh
Dapat menyimpulkan
Interpretasi
R
O
I
Keterangan: R : Representamen (tanda) O : Objek (sesuatu yang dirujuk) I : Interpretan („hasil‟ antara representamen dan objek) Proses pemaknaan tanda pada Peirce mengikuti hubungan antara tiga arah anak panah, yaitu representamen (R), objek (O) dan interpretan (I). (R) adalah bagian tanda yang dapat dipersepsi secara fisik atau mental, yang merujuk pada sesuatu yang diwakili oleh (O), kemudian (I) adalah bagian dari proses yang menafsirkan hubungan antara (R) dan (O). Representamen adalah sesuatu yang bersifat indrawi atau material yang berfungsi sebagai tanda. Kehadirannya menimbulkan interpretan, yakni tanda lain
7
yang ekuivalen dengannya, atau dengan kata lain, sekumpulan interpretasi personal yang dapat menjelma menjadi publik. Jadi pada hakikatnya, representamen dan interpretan adalah tanda, yakni sesuatu yang menggantikan sesuatu yang lain, hanya saja representamen muncul mendahului interpretan dan interpretan ada karena dibangkitkan oleh representamen. Objek yang diacu oleh tanda atau sesuatu yang kehadirannya digantikan oleh tanda adalah “realitas” atau apa saja yang dianggap ada. Artinya objek tersebut tidak harus konkret atau real, bahkan yang abstrak, imajiner, dan fiktif. 2.3.3 Jenis Tanda Berdasarkan objek dari semiotik atau tanda, Peirce (dalam Lucy, 2001:104) membagi tanda ke dalam tiga jenis, yakni ikon, indeks dan simbol. Berikut penjelasannya: 1. Ikon Ikon adalah tanda yang penanda dan petandanya menunjukan ada yang bersifat alamiah, yaitu penanda sama dengan petandanya. Hubungan itu adalah hubungan persamaan, misalnya gambar orang, potret atau lukisan. Contoh lain, gambar rumah sebagai penanda adalah sama dengan rumah yang ditandai petanda, atau gambar rumah yang sesungguhnya.
2. Indeks Indeks adalah tanda yang penanda dan petandanya menunjukan adanya hubungan alamiah yang bersifat kausalitas (sebab-akibat).
8
Contoh, asap menandai api, mendung menandai hujan. Kalau di langit ada mendung, penanda akan ada hujan. Indeks bukan hanya tercipta sebagai bahasa verbal, Peirce (dalam Martin & Righam, 2000:132-133) menjelaskan bahwa, indeks adalah jenis dari tanda yang mencakup antara penanda dan petanda. Contoh lain dari indeks adalah mengetuk pintu, penanda bahwa ada seseorang yang datang. Perlu diperhatikan bahwa, penelitian dengan menggunakan pendekatan semiotik, tanda yang berupa indekslah yang paling banyak dicari (Pradopo, 2009:120). 3. Simbol Simbol adalah penanda dan petanda yang tidak menunjukan adanya hubungan alamiah atau bersifat arbitrer (semau-maunya). Arti tanda itu ditentukan oleh konvensi (berdasarkan kesepakatan). Misalnya kata Ibu adalah simbol, artinya ditentukan oleh konvensi masyarakat bahasa (Indonesia), menandai orang yang melahirkan kita, dalam bahasa Inggris Mother, dalam bahasa Perancis La mere. Hubungan antara penanda dan petanda bersifat konvensional yakni artinya ditentukan melalui kesepakatan bersama. Makna dari simbol biasanya dapat dipahami dengan mengetahui budaya dari tempat simbol digunakan, seperti contoh di Amerika bunga Mawar adalah simbol cinta, dan burung adalah simbol dari kebebasan.
9
Ke tiga jenis dari tanda tersebut, ada pula tanda yang disebut simtom (gejala), yakni penanda yang menunjukan petandanya belum pasti, misalnya suhu panas orang sakit tidak menunjukan penyakit tertentu. Suhu panas itu hanya menunjukan bahwa orang itu sakit tetapi apakah sakit malaria, tifus, atau jarang mandi, belum jelas, sebab semua penyakit mesti diikuti suhu panas badan. Relevan untuk di ingat bahwa, penelitian pada bidang sastra yang paling banyak ditemukan adalah tanda berupa simbol (Pradopo, 2009:122). 2.4 Sinopsis Naskah Lakon Malam Jahanam Karya Motinggo Boesye Di sebuah perkampungan nelayan, tinggallah Mat Kontan beserta istrinya, Paijah dan anaknya Mat Kontan Kecil. Soleman, teman dekat Mat Kontan, tinggal di seberang rumah mereka. Suatu malam, Paijah menunggu suaminya yang belum juga pulang. Ia mengkhawatirkan anaknya yang sedang sakit. Akhirnya, Mat Kontan pulang membawa se ekor burung. Ketika sedang bercerita dengan Soleman di halaman rumahnya, ia menyombongkan burung perkututnya yang baru itu, juga istri dan anaknya. Soleman yang tidak tahan mendengarnya mengungkit-ungkit ketakutan Mat Kontan ketika nyawanya hampir melayang karena terperosok ke dalam pasir. Mat Kontan yang ketakutan rahasianya akan dibongkar, langsung membujuk Soleman agar hal itu tidak diceritakannya lagi. Tidak lama kemudian, Mat Kontan mulai menyombongkan diri lagi. Ia juga menuduh Soleman iri karena dia mempunyai istri yang cantik dan seorang anak. Soleman bahkan dianggap takut menyentuh perempuan karena sampai 10
sekarang belum juga beristri. Mat Kontan masuk untuk melihat burung Beo kesayangannya tapi tidak menemukannya. Utai, seorang warga kampung itu yang setengah pandir, mengaku pernah melihat bangkai burung tersebut didekat sumur dengan leher tergorok. Mat Kontan yang jadi marah besar mengajak Utai menemaninya pergi ke tukang nujum (dukun) untuk mengetahui siapa pembunuhnya. Istri Mat Kontan yang ketakutan bertanya pada Soleman, apa yang sebaiknya ia katakan bila ditanya oleh suaminya nanti. Ternyata, Soleman-lah biang keladi, Soleman-lah yang membunuh burung Beo kesayangan si Mat Kontan, karena burung Beo itu sering mengejek mereka kala sedang berduaan dan agar perselingkuhannya dengan Paijah tidak ketahuan, dan Soleman juga berjanji akan melindungi Paijah. Mat Kontan segera pulang karena tukang nujum (dukun) yang hendak ditemuinya sudah meninggal. Ia pun marah-marah pada istrinya, dan bertanya siapa yang membunuh burung Beo tersebut. Paijah balas mengungkapkan kekesalannya pada Mat Kontan yang tidak pernah memikirkan dan menyayangi dirinya dan anaknya, akan tetapi selalu membangga-banggakan mereka dimana saja, dan pada semua orang. Awalnya, Soleman membela Paijah dari amarah Mat Kontan, lama-lama Soleman diam saja, Paijah sangat kecewa terhadap Soleman, sebab ia berjanji akan membelanya dan mengaku sebagai pembunuh burung Beo suaminya. Akhirnya Soleman pun mengaku bahwa dialah pembunuh burung Beo si Mat
11
Kontan dan mengakui bahwa dialah ayah dari anak Paijah, anak yang selama ini Mat Kontan bangga-banggakan sebagai anaknya. Sebagai suami yang diselingkuhi, Mat Kontan sangat marah dan mencabut goloknya, akan tetapi Soleman membuat Mat Kontan takut lagi dengan mengingatkannya tentang saat dia terperosok ke dalam pasir. Mat Kontan pun langsung membujuk kembali agar hal itu dirahasiakan. Tidak lama kemudian, ia pun pergi dan menyerahkan Paijah serta anaknya pada Soleman. Soleman yang menyusul Mat Kontan dikiranya hendak bunuh diri. Ternyata, Mat Kontan dan Utai sudah menunggu dan menyiasati untuk membunuhnya. Soleman berhasil meloloskan diri dan pergi ke Stasiun Kereta Api. Si Utai yang hendak menangkap Soleman, patah lehernya karena terkena tendangan oleh Soleman, Utai pun meninggal. Tidak lama kemudian, Mat Kontan kembali ke rumahnya dan masih mau hidup dengan Paijah serta anak dari Soleman itu. Ia bahkan mulai memperhatikan anak itu dan pergi memanggil dukun untuk mengobati penyakit si Kecil. Sayangnya, malam itu juga si bayi meninggal dunia akibat penyakitnya yang bertambah parah, Paijah pun langsung menangis setengah berteriak sambil berlari keluar rumah.
12